You are on page 1of 25

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN DENGAN SINDROM KORONER AKUT


UNSTABILED ANGINA PECTORIS (UAP)
RSUP DR KARIADI SEMARANG

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Ajar Program Profesi Ners


Praktik Keperawatan Gawat Darurat
Dosen Pembimbing : Ns. Ahmat Pujianto, S.Kep., M.Kep.
Pembimbing Klinik :

Oleh:
Fida Husain
22020115220089

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS XXVII


JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2016

0
A. Definisi
Sindrom Koroner Akut atau Acute Coronary Syndrome ACS) merupakan
konsisi yang mengancam nyawa. Sindrom ini bervareasi dari pola angina
pektrosis tidak stabil hingga terjadi infak miokard yang luas. Infak miokard
merupakan nekrosis otot jantung terjasi secara irreversible. (PERKI,2015)
Sindroma Koroner akut merupakan sekumpulan gejala yang diakibatkan
oleh gagguan aliran pembuluh darah koroner akut. Umumnya disebabkan oleh
penyempitan pembuluh darah koroner akibat ateroskerosis yang lalu
mengakibatkan perobekan dan halini memicu terjadinya gumpalan-gumpalan
darah. (Corwin, 2005)
Salah satu keadaan SKA adalah Unstable Angina Pectoris (UAP). UAP
merupakan suatu keadaan menurunnya suplai oksigen pada miokard sebagai
akibat terjadinya erosi atau fisur pada plak aterosklerosis yang relatif kecil dan
menimbulkan oklusi trombus yang transien. Trombus biasanya labil dan
menyebabkan oklusi sementara yang berlangsung antara 10-20 menit.
(PERKI,2015)

B. Etiologi
Sindroma koroner akut ditandai oleh adanya ketidakseimbangan antara
pasokan dengan kebutuhan oksigen miokard. Etiologi SKA antara lain:
1. Penyempitan arteri koroner karena robek/pecahnya thrombus yang ada
pada plak aterosklerosis. Mikroemboli dari agregasi trombosit beserta
komponennya dari plak yang rupture mengakibatkan infark kecil di distal.
2. Obstruksi dinamik karena spasme fokal yang terus-menerus pada segmen
arteri koroner epikardium. Spasme ini disebabkan oleh hiperkontraktilitas
otot polos pembuluh darah dan/atau akibat disfungsi endotel.
3. Penyempitan yang hebat namun bukan karena spasme atau trombus yang
terjadi pada sejumlah pasien dengan aterosklerosis progresif atau dengan
stenosis ulang setelah intervensi koroner perkutan (PCI).
4. Inflamasi yang menyebabkan penyempitan arteri, destabilisasi plak, ruptur,
trombogenesis. Makrofag, limfosit T akan bereaksi dengan peningkatan
metalloproteinase yang akan melakukan penipisan plak dan menyebabkan
ruptur plak
5. Keadaan/factor pencetus:

1
a. Peningkatan kebutuhan oksigen miokard sehingga tubuh
mengkompensasi dengan demam, takikardi, tirotoksikosis
b. Penurunan aliran darah koroner
c. Penurunan pasokan oksigen miokard sehingga menjadi hipoksemia

C. Patofisiologi/Pathway
Mekanisme timbulnya angina pektoris tidak stabil didasarkan pada
ketidakadekuatan supply oksigen ke sel-sel miokardium yang diakibatkan
karena kekauan arteri dan penyempitan lumen arteri koroner (ateriosklerosis
koroner). Tidak diketahui secara pasti apa penyebab ateriosklerosis, namun
jelas bahwa tidak ada faktor tunggal yang bertanggungjawab atas
perkembangan ateriosklerosis. Ateriosklerosis merupakan penyakit arteri
koroner yang paling sering ditemukan. Sewaktu beban kerja suatu jaringan
meningkat, maka kebutuhan oksigen juga meningkat. Apabila kebutuhan
meningkat pada jantung yang sehat maka arteri koroner berdilatasi dan
megalirkan lebih banyak darah dan oksigen ke otot jantung. Namun apabila
arteri koroner mengalami kekakuan atau menyempit akibat ateriosklerosis dan
tidak dapat berdilatasi sebagai respon terhadap peningkatan kebutuhan akan
oksigen, maka terjadi iskemik (kekurangan suplai darah) miokardium.
Adanya endotel yang cedera mengakibatkan hilangnya produksi No (nitrat
Oksida) yang berfungsi untuk menghambat berbagai zat yang reaktif. Dengan
tidak adanya fungsi ini dapat menyababkan otot polos berkontraksi dan timbul
spasmus koroner yang memperberat penyempitan lumen karena suplai oksigen
ke miokard berkurang. Penyempitan atau blok ini belum menimbulkan gejala
yang begitu nampak bila belum mencapai 75 %. Bila penyempitan lebih dari
75 % serta dipicu dengan aktifitas berlebihan maka suplai darah ke koroner
akan berkurang. Sel-sel miokardium menggunakan glikogen anaerob untuk
memenuhi kebutuhan energi mereka. Metabolisme ini menghasilkan asam
laktat yang menurunkan pH miokardium dan menimbulkan nyeri. Apabila
kebutuhan energi sel-sel jantung berkurang, maka suplai oksigen menjadi
adekuat dan sel-sel otot kembali fosforilasi oksidatif untuk membentuk energi.
Angina pectoris adalah nyeri hebat yang berasal dari jantung dan terjadi
sebagai respon terhadap respons terhadap suplai oksigen yang tidak adekuat

2
ke sel-sel miocard di jantung. Nyeri angina dapat menyebar ke lengan kiri, ke
punggung, rahang, dan daerah abdomen.
Pada saat beban kerja suatu jaringan meningkat, kebutuhan oksigen juga akan
meningkat. Apabila kebutuhan oksigen meningkat pada jantung yang sehat,
maka arteri-arteri koroner akan berdilatasi dan mengalirkan lebih banyak
oksigen kepada jaringan. Akan tetapi jika terjadi kekakuan dan penyempitan
pembuluh darah seperti pada penderita arteosklerotik dan tidak mampu
berespon untuk berdilatasi terhadap peningkatan kebutuhan oksigen.
Terjadilah iskemia miokard, yang mana sel-sel miocard mulai menggunakan
glikolisis anaerob untuk memenuhi kebutuhan energinya.
Proses pembentukan ini sangat tidak efisien dan menyebabkan
terbentuknya asalm laktat. Asam laktat kemudian menurunkan PH
Miocardium dan menyebabkan nyeri pada angina pectoris. Apabila kebutuhan
energy sel-sel jantung berkurang (istirahat, atau dengan pemberian obat)
suplay oksigen menjadi kembali adekuat dan sel-sel otot kembali melakukan
fosforilasi oksidatif membentuk energy melalui proses aerob. Dan proses ini
tidak menimbulkan asam laktat, sehingga nyeri angina mereda dan dengan
demikian dapat disimpulkan nyeri angina adalah nyeri yang berlangsung
singkat (Corwin, 2000)

3
Faktor risiko: obesitas, perokok, Aterosklerosis
ras, usia > 40 tahun, laki-laki,
hiperkoletrolemia, hiperlipida
Terjadi penyempitan/oklusi
partial arteri koroner

Oksigen dan nutrisi Aliran darah ke


menurun jantung menurun

Suplai dan kebutuhan


oksigen tidak seimbang

Jaringan iskemia >30-45 menit Metabolisme anaerob

Selular hipoksia Timbunan asam laktat


meningkat

Integritas membrane
Nyeri dada Fatigue
sel berubah

Nyeri akut Intoleransi


Kontraktilitas menurun aktivitas

Kurang informasi
Stroke volume Tekanan atrium kiri
menurun meningkat
Tidak tahu kondisi
Gambar proses terjadinya aterosklerosis pada pembuluh darah ateri
dan pengobatan
Penurunan Curah Tekanan vena
Jantung coroner.
pulmonalis meningkat
Defisiensi Pegetahuan
Pathway Ansietas
Suplai darah ke jaringan Hipertensi kapiler paru
tidak adekuat

Edema paru
Ketidakefektifan Perfusi 4
Jaringan Perifer

Gangguan Petukaran Gas


D. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis dari UAP menurut Davey (2002) adalah sebagai berikut:
1. Keluhan utama: nyeri dada seperti rasa terbakar, ditindih benda berat,
seperti ditusuk, rasa diperas, dipelintir, tertekan yang berlangsung 20
menit dan tidak berkurang saat istirahat
2. Keparahan nyeri dapat meningkat secara menetap sampai nyeri tidak dapat
tertahankan lagi.
3. Nyeri dirasakan sangat sakit, seperti ditusuk-tusuk yang dapat menjalar ke
rahang, leher, bahu dan terus ke bawah menuju lengan (biasanya lengan
kiri), bahkan sampai punggung.
4. Nyeri mulai secara spontan (tidak terjadi setelah kegiatan atau gangguan
emosional), menetap selama beberapa menit dan terasa ringan

5
5. Nyeri sering disertai dengan sulit bernafas/sesak nafas, pucat, dingin,
diaforesis berat, pening atau kepala terasa melayang, mual, muntah, cemas
dan lemas.
6. Kelainan lain: di antaranya aritmia, henti jantung atau gagal jantung akut.
7. Tidak terdapat peningkatan biomarker jantung.

E. Pemeriksaan Penunjang
1. Elektrokardiografi (EKG
Tes EKG memonitor aktivitas listrik jantung. Ketika temuan EKG
tertentu yang hadir, risiko angina tidak stabil maju denagn serangan
jantung meningkat secara signifikan. Sebuah EKG biasanya normal
ketika seseorang tidak memiliki rasa sakit dada dan sering
menunjukkan perubahan tertentu ketika rasa sakit berkembang. Pada
pemeriksaan elektrokardiografi (EKG) lebih sering ditemukan adanya
depresi segmen ST dibandingkan angina pektoris yang stabil. Gambaran
EKG penderita Angina pectoris tidak stabil dapat berupa depresi
segmen ST, depresi segmen ST disertai inversi gelombang T, elevasi
segmen ST, hambatan cabang ikatan His dan tanpa perubahan
segmen ST dan gelombang T. Perubahan EKG pada Angina
pectoris tidak stabil bersifat sementara dan masing-masing
dapat terjadi sendiri-sendiri ataupun bersamaan. Perubahan
tersebut timbul di saat serangan angina dan kembali ke
gambaran normal atau awal setelah keluhan angina hilang dalam waktu
24 jam Bila perubahan tersebut menetap setelah 24 jam atau terjadi
evolusi gelombang Q, maka disebut sebagai IMA. Tetapi kelainan EKG
pada angina yang tidak stabil masih reversible.
Letak iskemik berdasarkan perubahan gambar EKG adalah sebagai
berikut: (Sudana, 2008).
No Lokasi Gambaran EKG
1 Anterior Depresi segmen ST dan/atau gelombang Q di
V1-V4/V5
2 Anteroseptal Depresi segmen ST dan/atau gelombang Q di
V1-V3
3 Anterolateral Depresi segmen ST dan/atau gelombang Q di
V1-V6 dan I dan aVL
4 Lateral Depresi segmen ST dan/atau gelombang Q di
V5-V6 dan inversi gelombang T/elevasi

6
ST/gelombang Q di I dan aVL
5 Inferolateral Depresi segmen ST dan/atau gelombang Q di II,
III, aVF, dan V5-V6 (kadang-kadang I dan
aVL).
6 Inferior Depresi segmen ST dan/atau gelombang Q di II,
III, dan aVF
7 Inferoseptal Depresi segmen ST dan/atau gelombang Q di II,
III, aVF, V1-V3
8 True posterior Gelombang R tinggi di V1-V2 dengan segmen
ST depresi di V1-V3. Gelombang T tegak di
V1-V2
9 RV Infraction Depresi segmen ST di precordial lead (V3R-
V4R).
Biasanya ditemukan konjungsi pada infark
inferior.
Keadaan ini hanya tampak dalam beberapa jam
pertama infark

2. Pemeriksaan Laboratorium Biomarker jantung


Angina tidak stabil disebabkan oleh trombus non-oklusif, oklusi ringan
(dapat mengalami reperfusi spontan), atau oklusi yang dapat
dikompensasi oleh sirkulasi kolateral yang baik. Pada UAP tidak
disertai peningkatan biomarker jantung berupa enzim CKMB dan
Troponin.
CKMB (Creatinin Kinase Isoenzym MB) merupakan gugus
poshpat ke ADP untuk memproduksi ATP yang terletak pada sel
jantung. Enzim ini akan meningkat 3 jam setelah terjadinya infark dan
mencapai puncaknya 12-24 jam kemudian akan turun setelah 48-72 jam
(Apple, 1995)
Troponin adalah suatu protein regulator yang terdapat pada filamen
tipis aparatus kontraktil otot bergaris. Troponin terdiri dari 3 subunit,
yaitu troponin T (cTnT) , troponin I , dan troponin C. Troponin I yang
berikatan dengan aktin, berperan menghambat interaksi aktin myosin.
Troponin T yang berikatan dengan tropomiosin dan memfasilitasi
kontraksi, bekerja meregulasi kontraksi otot jantung.
Cardiac troponin T (cTnT) berada dalam miosit dengan konsentrasi
yang tinggi pada sitosol dan secara struktur berikatan dengan protein.
Sitosol, yang merupakan prekursor tempat pembentukan miofibril,
memiliki 6% dari total massa troponin dalam bentuk bebas. Sisanya
(94%), cTnT berikatan dalam miofibril. Dalam keadaan normal, kadar

7
cTnT tidak terdeteksi dalam darah. Keberadaan cTnT dalam darah
diawali dengan keluarnya cTnT bebas bersamaan dengan sitosol yang
keluar dari sel yang rusak.
Ketika terjadi iskemia miokard, maka membran sel menjadi lebih
permeabel sehingga komponen intraseluler seperti troponin jantung
merembes ke dalam interstitium dan ruang intravaskuler. Protein ini
mempunyai ukuran molekul yang relatif kecil dan terdapat dalam 2
bentuk. Sebagian besar dalam bentuk troponin komplek yang secara
struktural berikatan pada miofibril serta tipe sitosolik sekitar 6-8% pada
cTnT dan 2,8-4,1% pada cTnI.13,15 Ukuran molekul yang relatif kecil
dan adanya bentuk troponin komplek dan bebas ini akan mempengaruhi
kinetika pelepasannya. Pada troponin I (cTnI) karena jumlah troponin
sitosoliknya lebih kecil kemungkinan pelepasannya monofasik sehingga
tidak terdeteksi di dalam darah. Pelepasan troponin I biasanya terjadi
pada pasien dengan UAP (Samsu, 2007)
Akan terjadi pelepasan troponin dini segera setelah jejas iskemia,
diikuti oleh pelepasan troponin miofibriler yang lebih lama, yang
menyebabkan pola pelepasan bifasik yang terutama terjadi pada
troponin T (cTnT). Bila terjadi iskemia yang persisten, maka sel
mengalami asidosis intraseluler dan terjadilah proteolisis yang
melepaskan sejumlah besar cTnT terikat ke dalam darah. Masa
pelepasan cTnT ini berlangsung 30-90 jam (pelepasan tahap kedua),
lalu perlahan-lahan kadarnya turun. Kadar cTnT mulai meningkat 3-5
jam setelah jejas dan tetap meningkat selama 14-21 hari. Kadar cTnI
mulai meningkat 3 jam setelah terjadi jejas dan tetap meningkat selama
5-7 hari. Kadar kedua troponin mencapai puncak 12- 24 jam setelah
jejas. Peningkatan terus terjadi selama 7-14 hari . cTnT tetap meningkat
kira-kira 4-5 kali lebih lama daripada CKMB. cTnT membutuhkan
waktu 5-15 hari untuk kembali normal Diagnosis infark miokard
ditegakkan bila ditemukan kadar cTnT dalam 12 jam sebesar 0.03
g/L, dengan atau tanpa disertai gambaran iskemi atau infark pada
lembaran EKG dan nyeri dada (PERKI, 2015)

8
3. Kateterisasi jantung dan angiografi
Dokter dapat merekomendasikan kateterisasi jantung dan angiografi,
terutama jika perubahan penting EKG istirahat adalah tes darah jantung
atau ada abnormal. Selama angiography, sebuah kateter dimasukkan ke
arteri di paha atau lengan dan maju ke jantung. Ketika kateter
diposisikan dekat arteri yang memasok darah ke jantung, dokter
menyuntikkan zat warna kontras. Sebagai pewarna perjalanan melalui
arteri, X-ray gambar diambil untuk melihat seberapa baik darah
mengalir melalui arteri, dan jika ada penyumbatan maka terjadi
coronary arteri disease
4. Ekokardiografi
Pemeriksaan ekokardiografi tidak memberikan data untuk diagnosis
angina tidak stabil secara langsung.Tetapi bila tampak adanya gangguan
faal ventrikel kiri,adanya insufisiensi mitral,dan abnormalitas gerakan
dinding regional jantung, menandakan prognosis kurang baik.
Ekokardiografi sres juga dapat membantu menegakkan adnya iskemia
miokardium.

F. Strarifikasi Risiko
Beberapa cara stratifikasi risiko telah dikembangkan dan divalidasi untuk
SKA. Beberapa strarifikasi risiko yang digunakan adalah TIMI (Thrombolysis
In Myocardial Infraction) an GRACE (Global Registry of Acute Coronaru
Events). Tujuan dari stratifikasi risiko adalah untuk menentukan strategi
penanganan, selanjutnya (konservatif atau intervensi segera) bagi seseorang
dengan UAP atau NSTEMI. Stratifikasi risiko TIMI ditentukan oleh jumlah
skor dari 7 variabel yang masingmasing setara dengan 1 poin. Variabel
tersebut antara lain adalah usia 65 tahun, 3 faktor risiko, stenosis koroner
50%, deviasi segmen ST pada EKG, terdapat 2 kali keluhan angina dalam 24
jam yang telah lalu, peningkatan marka jantung, dan penggunaan asipirin
dalam 7 hari terakhir. Dari semua variabel yang ada, stenosis koroner 50%
merupakan variabel yang sangat mungkin tidak terdeteksi. Jumlah skor 0-2:
risiko rendah (risiko kejadian kardiovaskular <8,3%, skor 3-4 risiko menengah
(risiko kejadian kardiovaskuler <19,9%) dan skor 5-7 risiko tinggi (risiko

9
kejadian kardiovaskular hingga 41%). Stratufikasi TIMI telah divaliddi untuk
memprediksi kematian 30 hari dan 1 tahun pada semua spectrum SKA
termasuk UAP dan NSTEMI.
Tabel 1. Skor TIMI untuk UAP dan NSTEMI
Parameter
Usia > 65 tahun 1
Lebih dari 3 faktor resiko (hipertensi, DM, merokok, riwayat dalam keluarga 1
dan dislipidemia)
Angiogram coroner sebelumnya menunjukkan stenosis > 50% 1
Penggunaan aspirin dalam 7 hari terakhide 1
Setidaknya 2 episode nyeri saat istirahat dalam 24 jam 1
Deviasi ST> 1mm saat tiba 1
Peningkatan marka jantung (CK, Troponin) 1

Tabel 2. Stratifikasi risiko berdasarkan skor TIMI

Skor TIMI Risiko Risiko Kejadian Kedua


0-2 Rendah <8,3%
3-4 Menengah <19,9%
5-7 Tinggi 41%

Klasifikasi GRACE (Tabel 3) mencantumkan beberapa variable yaitu usia,


kelas Killip, tekanan darah sistolik, deviasi segmen ST, cardiac arrest saat tiba
diruang gawat darurat, kreatinin serum, marka jantung yang positif dan
frekuensi denyut jantung. Klasifikasi ini ditujukan untuk memprediksi
mortalitas saat perawatan dirumah sakit dan dalam waktu 6 bulan saat keluar
dari rumah sakit. Untuk prediksi kematian di rumah sakit, pasien dengan skor
risiko GRACE 108 dianggap mempunyai risiko rendah (kematian <1%).
Sementara itu pasien dengan skor risiko GRACE 109-140 dan > 140 berurutan
mempunyai resiko kematian menengah (1-3%) dan tinggi (>3%). Untuk
prediksi kematian dalam 6 bulan setelah keluar dari rumah sakit, pasien
dengan skor risiko GRACE 88 dianggap mempunyai risiko rendah (risiko
kematian <3%). Sementara itu pasien dengan skor risiko GRACE 89-118
dan>118 mempunyai risiko kematian menengah (3-8%) dan tinggi (>8%).
Table 3. Skor GRACE

Prediktor Skor
Usia dalam tahun
<40 0

10
40-49 18
50-59 36
60-69 55
70-79 73
80 91
Laju denyut jantung (kali per menit)
<70 0
70-89 7
90-109 13
1120-149 23
150-199 36
>200 46
Tekanan darah sistolik (mmHg)
<80 63
80-99 58
100-119 47
120-139 37
140-159 26
160-199 11
>200 0
Kreatinin (Umol/L)
0-34 2
35-70 5
71-105 8
106-140 11
141-176 14
177-353 23
>354 31
Gagal jantung berdasarkan klasifikasi killip
I 0
II 21
III 43
IV 64
Henti jantung saat tiba di RS 43
Peningkatan marka jantung 15
Deviasi segmen ST 30

G. Penatalaksanaan UAP
Tujuan tatalaksana UAP berfokus kepada tiga hal yaitu menstabilkan plak
serta mencegah plak agar tidak lisis, menghilangkan gejala dan mengobati
penyakit arteri coroner yang mendasarinya.
1. Menstabilkan Plak
Dasar dari sebuah stabilisasi plak pecah adalah mengganggu proses
pembekuan darah yang dapat menyebabkan serangan jantung.. Pasien
yang mengalami gejala-gejala angina tidak stabil dan yang tidak minum
obat harus segera mengunyah aspirin, yang akan memblok faktor
pembekuan dalam darah.Mengunyah aspirin, daripada menelan utuh,
mempercepat tubuh proses menyerap aspirin stabil Ketika angina terjadi

11
pasien harus mencari bantuan medis segera di rumah sakit. Setelah di
rumah sakit, obat-obatan lainnya untuk blok pembekuan proses tubuh
dapat diberikan, termasuk heparin, clopidogrel, dan platelet glikoprotein
(GP) IIb / IIIa obat reseptor blocker. Dalam beberapa kasus, prosedur
untuk mengurangi atau menstabilkan penyumbatan dalam arteri koroner
mungkin diperlukan di samping obat anti-pembekuan.
Prosedur yang umum dilakukan adalah koroner angioplasti Dalam
angioplasti koroner, sebuah balon berujung kateter dimasukkan ke
pembuluh darah di lengan atau pangkal paha dan maju melalui pembuluh
darah dan ke jantung. Ketika kateter mencapai penyumbatan di arteri
koroner, dokter mengembang balon di ujung kateter. Balon mengembang
dan mengempis, menekan penumpukan plak pada dinding arteri koroner
dan meningkatkan diameter arteri,. Sering-mesh tabung logam, dikenal
sebagai stent, ditempatkan di arteri untuk tetap terbuka. stent tetap secara
permanen di arteri koroner, dan balon dan kateter dikeluarkan pada akhir
prosedur.
2. Menghilangkan Gejala-gejala
Obat angina,baik dan prosedur untuk mengurangi penyumbatan dalam
arteri koroner bisa meringankan gejala angina tidak stabil. Tergantung
pada keadaan pasien individu, obat sendiri atau obat dalam kombinasi
dengan prosedur yang dapat digunakan untuk mengobati angina.
3. Mengobati penyakit arteri coroner yang mendasarinya
Penatalaksanaan pada dasarnya bertujuan untuk memperpanjang hidup
dan memperbaiki kualitas hidup dengan mencegah serangan angina baik
secara medikal atau pembedahan.
a. Terapi Farmakologi
Terapi farmakologi bertujuan untuk mencegah dan menghilangkan
nyeri akibat angina. Terdapat 3 golongan obat yang biasa digunakan
yaitu:
1) Oksigen: suplemen oksigen harus diberikan ada pasien dengan
saturasi oksigen <90%. Pada semua pasien STEMI tanpa
komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama
2) Golongan Nitrat

12
Umumnya dikenal sebagai nitrogliserin, nitrat adalah obat
yang paling umum diresepkan untuk mengobati angina. Nitrat
melebarkan pembuluh darah, yang memungkinkan lebih banyak
darah mengalir melewati penyumbatan. Nitrat juga menurunkan
resistensi jantung wajah ketika memompa darah ke seluruh tubuh,
yang pada gilirannya dapat mengurangi stres (beban kerja) pada
jantung. Nitrogliserin merupakan obat pilihan utama
pada serangan angina akut. Mekanisme kerjanya sebagai
dilatasi vena perifer dan pembuluh darah koroner.
Efeknya langsung terhadap relaksasi otot polos
vaskuler. Nitrogliserin juga dapat meningkatkan toleransi pada
penderita angina sebelum terjadi hipokesia miokard. Bahan
utama yang menyebabkan pembuluh-pembuluh darah kecil seperti
areteri koroner melebar (dilatasi) adalah oksida nitrat (NO).Ini
dihasilkan secara alami oleh sel-sel pelapis arteri sebagi respon
terhadap perubahan pada aliran darah dan kimia darah. Di dalam
darah,nitrat diubah menjadi oksida nitrat dan membuka pembuluh
darah. Nitrogliserin biasanya diletakkan dibawah lidah (sublingual)
atau di pipi (kantong bukal) dan akan menghilangkan nyeri iskemia
dalam 3 menit. Efek utama adalah pada vena yang besar,sehingga
darah berkumpul di vena dan kurang kembali ke jantung. Ini
menurunkan tekanan yang tercipta di dalam jantung,dan
menurunkan kebutuhan oksigen jantung. Dengan membuka arteri-
arteri terkecil di perifer atau pinggiran tubuh,terutama di anggota
tubuh,nitrat juga menurunkan tekanan yang dibutuhkan jantung
untuk mendorong aliran darah,dan juga menurunkan kebutuhan
oksigen dari jantung.
Golongan obat ini juga menyebarkan peredaran koroner ke
area-area jantung,jauh di dalam otot jantung,yang telah kekurangan
darah selama serangan angina.Pada semua cara ini,obat-obatan
golongan nitrat cenderung mengembalikan perimbangan pasokan
kebutuhan ke keadaan normal.

13
3) Ca Antagonis
Dipakai pada pengobatan jangka panjang untuk mengurangi
frekuensi serangan pada beberapa bentuk angina. Cara kerjanya :
- Memperbaiki spasme koroner dengan
menghambat tonus vasometer pembuluh darah arteri
coroner
- Dilatasi arteri koroner sehingga meningkatkan suplai darah ke
miokard
- Dilatasi arteri perifer sehingga mengurangi resistensi perifer dan
menurunkan afterload.
- Efek langsung terhadap jantung yaitu dengan mengurangi
denyut, jantung dan kontraktilitis sehingga mengurangi
kebutuhan O2
4) Beta Blocker
Beta-blocker memperlambat denyut jantung dan menurunkan
kekuatan kontraksi otot jantung, sehingga mengurangi tekanan
pada jantung. Obat-obatan seperti diltiazem, nifedipin, atau
verapamil, cara kerjanya menghambat sistem
adrenergenik terhadap miokard yang menyebabkan
kronotropik dan inotropik positif, sehingga denyut jantung
dan curah jantung dikurangi. Karena efeknya yang kadiorotektif,
obat ini sering digunakan sebagai pilihan pertama untuk mencegah
serangan angina pektoris pada sebagian besar penderita.
5) Trombolitik
Terapi trombolitik merupakan terapi yang bertujuan untuk
mereperfusi jaringan miokardium dengan cara memperbaiki aliran
darah pada pembuluh darah yang mengalami oklusi. Terapi
trombolitik digunakan untuk melarutkan oklusi yang menyumbat.
Obat intravena trombolitik mempunyai keuntungan karena dapat
diberikan melalui vena perifer, sehingga terapi ini dapat diberikan
seawall mungkin dan dikerjakan di manapun. Terapi ini
direkomendasikan untuk penderita infark miokard akut <12 jam
atau yang mempunyai left bundle banch block (LBBB) diberikan
IV fibrinolitik jika tanpa kontrra indikasi. Sedangkan penderita

14
yang mempunyai riwayat perdarahan intra kranial, stroke atau
perdarahan aktif tidak diberikan terapi fibrinolitik. Dosis
streptokinase diberikan 1,5 juta IU dalam tempo 30-60 menit
b. Pembedahan
Pada prinsipnya pembedahan bertujuan untuk memperbaiki
obstruksi pada pembuluh darah sehingga aliran darah ke miokard
lancar.
1) Coronary Angioplasty
Selama angioplasti koroner, sebuah balon berujung kateter
dimasukkan ke dalam pembuluh darah di lengan atau pangkal
paha dan melalui pembuluh darah dan ke jantung. Ketika
kateter mencapai penyumbatan di arteri koroner, dokter akan
mengembangkan balon di ujung kateter. Balon mengembang
dan mengempis, menekan penumpukan plak pada dinding
arteri koroner dan meningkatkan diameter arteri. Sering-mesh
tabung logam, dikenal sebagai stent, ditempatkan di arteri
untuk tetap terbuka. stent tetap secara permanen di arteri
koroner, dan balon dan kateter dikeluarkan pada akhir
prosedur. Ini membuka kembali arteri dan memungkinkan
darah kembali mengalir.
2) CABG (Coronary Artery Bypass Grafiting)
Bila penyumbatan terlalu banyak atau sulit diobati dengan
angioplasti koroner, CABG operasi mungkin diperlukan.
Dalam prosedur ini, vena diambil dari kaki atau pembuluh
darah diambil dari dada dan digunakan untuk menghindari
penyempitan atau penyumbatan sebagian dari arteri di jantung.
Tabung stent, atau sempit, yang ditempatkan ke dalam arteri di
daerah dibuka kembali untuk menjaga dari penyempitan lagi.
3) Pembedahan laser, yang menggunakan gelombang cahaya
untuk membubarkan plak
4) Atherectomy, prosedur pembedahan di mana plak yang
menyebabkan penyempitan pembuluh darah akan dihapus

H. Komplikasi

15
Adapun komplikasi yang terjadi pada pasien UAP, adalah:

1. Disfungsi ventrikuler
Setelah UAP, ventrikel kiri akan mengalami perubahan serial dalam
bentuk, ukuran, dan ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan
non infark. Proses ini disebut remodeling ventikuler dan umumnya
mendahului berkembangnya gagal jantung secara klinis dalam hitungan
bulan atau tahun pasca infark. Segera setelah infark ventrikel kiri
mengalami dilatasi.Secara akut, hasil ini berasal dari ekspansi infark;
slippage serat otot, disrupsi sel miokardial normal dan hilangnya jaringan
dalam zona nekrotik.
Selanjutnya, terjadi pula pemanjangan segmen noninfark,
mengakibatkan penipisan yang didisprosional dan elongasi zona infark.
Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan
ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi tersebar pasca infark pada apeks
ventikrel kiri yang yang mengakibatkan penurunan hemodinamik yang
nyata, lebih sering terjadi gagal jantung dan prognosis lebih buruk.
Progresivitas dilatasi dan konsekuensi klinisnya dapat dihambat dengan
terapi inhibitor ACE dan vasodilator lain. Pada pasien dengan fraksi ejeksi
< 40 % tanpa melihat ada tidaknya gagal jantung, inhibitor ACE harus
diberikan.
2. Gangguan hemodinamik
Gagal pemompaan (puump failure) merupakan penyebab utama
kematian di rumah sakit pada STEMI. Perluasaan nekrosis iskemia
mempunyai korelasi yang baik dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas,
baik pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya. Tanda klinis yang sering
dijumpai adalah ronkhi basah di paru dan bunyi jantung S3 dan S4 gallop.
Pada pemeriksaan rontgen dijumpai kongesti paru.
3. Gagal jantung
Gagal jantung terjadi karena kongesti sirkulasi akibat disfungsi
miokardium. Disfungsi ventrikel kiri atau gagal jantung kiri menimbulkan

16
kongesti vena pulmonalis, sedangkan disfungsi ventrikel kanan atau gagal
jantung kanan mengakibatkan kongesti vena sistemik (Juni, 2010).
4. Syok kardiogenik
Syok kardiogenik disebabkan oleh disfungsi ventrikel kiri sesudah
mengalami iskemia yang lama kelamaan dapat menjadi infark, biasanya
mengenai lebih dari 40% ventrikel kiri. Timbul lingkaran setan akibat
perubahan hemodinamik progresif hebat yang ireversibel dengan
manifestasi seperti penurunan perfusi perifer, penurunan perfusi koroner,
peningkatan kongesti paru-paru, hipotensi, asidosis metabolic, dan
hipoksemia yang selanjutnya makin menekan fungsi miokardium (Juni,
2010).
5. Perikardiatis
Infark transmural dapat membuat lapisan epikardium yang langsung
berkontak dan menjadi kasar, sehingga merangsang permukaan
pericardium dan menimbulkan reaksi peradangan (Sudoyo, 2009).
6. Ruptur
Ruptur dinding ventrikel yang bebas dapat terjadi pada awal perjalanan
infark selama fase pembuangan jaringan nekrotik sebelum pembentukan
parut. Dinding nekrotik yang tipis pecah, sehingga terjadi peradarahan
massif ke dalam kantong pericardium yang relative tidak elastic dapat
berkembang. Kantong pericardium yang terisi oleh darah menekan
jantung, sehingga menimbulkan tamponade jantung. Tamponade jantung
ini akan mengurangi aliran balik vena dan curah jantung (Juni, 2010).
7. Ventrikrel
Infark ventrikel kanan menyebabkan tanda gagal ventrikel kanan yang
berat (distensi vena jugularis, tanda Kussmaul, hepatomegali) dengan atau
tanpa hipotensi (Sudoyo, 2009).
8. Kelainan septal ventrikel
Nekrosis septum interventrikular dapat menyebabkan rupture dinding
septum sehingga terjadi defek septum ventrikel (Sudoyo, 2009).

17
9. Aneurisma ventrikel
Aneurisma ini biasanya terjadi pada permukaan anterior atau apeks
jantung. Aneurisma ventrikel akan mengembang bagaikan balon pada
setiap sistolik dan teregang secara pasif oleh sebagian curah sekuncup
(Sudoyo, 2009).

I. Masalah Keperawatan yang Muncul


1. Nyeri akut (00132) b/d suplai oksigen ke miokard kurang
2. Penurunan curah jantung (00029) b/d perubahan kontraktilitas otot jantung
3. Gangguan pertukaran gas (00030) b/d edema paru
4. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer (00204) b/d suplai darrah ke
jaringan tidak adekuat
5. Intoleransi aktivitas (00092) b/d ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen
6. Defisiensi pengetahuan b/d kurang informasi tentang kondisi dan
pengobatan
7. Ansietas (00146) b/d perubahan status kesehatan

18
J. Intervensi Keperawatan

No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi TTD


Keperawatan Hasil
1. Nyeri akut NOC: Pain management (1400)
Pain level 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif (PQRST)
Pain control 2. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan.
Comfort level 3. Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau
4. Ajarkan teknik nonfarmakologi (nafas dalam, distraksi)
Kriteria Hasil: 5. Tingkatkan istirahat
Mampu mengontrol nyeri Cardiac care (4040)
Melaporkan bahwa nyeri berkurang 1. Nilai skala nyeri dada (PQRST)
dengan menggunakan manajemen 2. Periksa sirkulasi perifer (denyut nadi, edema, capillary refill,
nyeri warna dan suhu ekstremitas)
Mampu mengenali nyeri (skala, 3. Periksa ada atau tidaknya disritmia jantung
intensitas, frekuensi dan tanda nyeri) 4. Catat jika ada tanda dan gejala penurunan cardiac output
5. Monitor tanda-tanda vital secara berkala
Menyatakan rrasa nyaman setelah
6. Monitor status pernapasan
nyeri berkurang
7. Monitor keseimbangan cairan (intake dan output)
8. Monitor hasil laboratorium (enzim jantung dan level elektrolit)
9. Instruksikan klien dan keluarga klien untuk membatasi kegiatan
klien
10. Monitor kardiorespiratori terhadap kegiatan (dispnea, takipnea,
dan ortopnea)
11. Ajarkan klien cara mengurangi stress
12. Instruksikan klien untuk segera melapor jika merasakan nyeri
dada
Kolaborasi:
13. Kolaborasi dalam pemberian analgetik
14. Cek riwayat alergi
15. Evaluasi efektivitas analgesik

19
2. Gangguan NOC: Airway Management
pertukaran gas Respiratory status: gas exchange 1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
Respiratory status: ventilation 2. Identifikasi perlunya pemasangan alat jalan nafas bantuan.
Vital sign status 3. Auskultasi suara nafas tambahan
Kriteria Hasil: 4. Berikan bronkodilator bila perlu
Mendemonstrasikan 5. Monitor respirasi dan status O2
peningkatan
ventilasi dan oksigenasi yang Respiratory monitoring:
adekuat 1. Pantau kecepatan, irama, kedalaman dan usaha respirasi
Memelihara kebersihan paru-paru 2. Perhatikan pergerakan dada, amati kesimetrisan, penggunaan
dan bebas dari tanda tanda distress otot-otot bantu, serta retraksi otot supraklavikular dan interkostal
pernapasan 3. Pantau pola pernapasan: bradipnea, takipnea, hiperventilasi,
Tanda-tanda vital dalam rentang pernapasan kussmaul, cheyne stokes dan apnea sticks.
normal 4. Auskultasi bunyi napas, perhatikan area penurunan atau tidak
adanya ventilasi dan adanya bunyi napas tambahan
5. Pantau peningkatan kegelisahan, ansietas, dan tersengal-sengal
6. Catat perubahan pada SaO2, SpO2, CO2 akhir-tidal, dan nilai gas
darah arteri dengan tepat
7. Pantau dispnea beserta faktor yang memperbaiki dan
memperburuk
3. Penurunan NOC: Cardiac Care:
curah jantung Cardiac pump effectiveness 1. Evaluasi adanya nyei dada (PQRST)
Circulation status 2. Catat adanya disritmia jantung
Vital sign status 3. Catat adanya tanda dan gejala penurunan cardiac output
Krriteria Hasil: 4. Monitor status kardiovaskuler
Tanda vital dalam rentang normal 5. Monito balance cairan
Dapat mentoleransi aktivitas, tidak 6. Monitor adanya perubahan tekanan darah
ada kelelahan 7. Monitor pola pernapasan abnormal
Tidak ada edema paru, perifer, dan 8. Monito bunyi dan irama jantung
tidak ada asites 9. Monitor sianosis perifer
Tidak ada penurunan kesadaran

20
4. Ansietas NOC: Anxiety Reduction
(00146) Anxiety self-control 1. Gunakan pendekatan yang menenangkan
Anxiety level 2. Jelaskan semua prosedur dan apa yang dirasakan selama prosedur
Coping 3. Temani pasien untuk memberikan keamanan dan mengurangi
takut
Kriteria Hasil: 4. Ajarkan teknik relaksasi
Klien mampu mengidentifikasi dan 5. Dorong pasien untuk mengungkapkan perasaan, ketakutan,
mengungkapkan gejala cemas persepsi.
Mengidentifikasi, mengungkapkan 6. Berikan obat untuk mengurangi kecemasan
dan menunjukkan teknik mengontrol
cemas
Tanda vital dalam batas nomal
Postur tubuh, ekspesi wajah, bahasa
tubuh dan tingkat aktivitas
menunjukkan berkurangnya
kecemasan

21
DAFTAR PUSTAKA

Apple FS. 1995. Glycogen phosphorylase BB and other cardiac proteins:


challenges to Creatine Kinase MB as the marker for detecting myocardial
injury. Clin Chem 1995;41:963-5.
Beasley Bulecheck, Gloria M., Butcher, Howard K., Dochterman, J. McCloskey.
2012. Nursing Interventions Classification (NIC). Fifth Edition. Iowa:
Mosby Elsavier
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Volume
2 Edisi 8. Jakarta : EGC
Bulecheck, Gloria M., Butcher, Howard K., Dochterman, J. McCloskey. 2012.
Nursing Outcomes Classification (NIC). Fifth Edition. Iowa: Mosby
Elsavier
Cabello et all. 2013. Oxygen therapy for Acute Miocardial Infraction (Review).
The Cochrane Library, Issue 8: 1-42
Carpenito, Lynda Juall. 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta: EGC
Corwin, Elizabeth. 2005. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC
Davey, Patrick. 2005. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga
Dharma Surya. 2010. Sistematika Interpretasi Ekg: Pedoman Praktis.
Jakarta:EGC
Dochterman, Joanne McCloskey. Gloria M. Bulechek. 2008. Nursing Intervention
Classification (NIC). Missouri: Elsevier
Eliastam, Michael., Sternbach, George., Bresler, Michael Jay. 1998.
Penuntun Kedaruratan Medis. Jakarta : EGC
Ester, M. 2002. Keperawatan Medical Bedah. Jakarta: EGC
Farissa, (2006). Komplikasi pada Pasien IMA STEMI. eprints.undip.ac.id.
Farissa, I.P. (2012). Komplikasi Pada Pasien Infark Miokard Akut ST- Elevasi
(STEMI) yang Mendapat Maupun Tidak Mendapat Terapi Reperfusi. Studi
di RSUP Dr.Kariadi Semarang.
Firman, (2010). Intervensi Koroner Perkutan Primer.Jurnal Kardiologi Indonesia.
Jurnal Kardiologi Indonesia. 2010; 31:112-117ISSN 0126/3773

22
Herdman, T. Heather. 2012. Diagnosa Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi
2012-2014. Ahli Bahasa Made Sumarwati dan Nike Budi Subekti. Jakarta:
EGC
Juni,W.U. 2010. Keperawatan Kardio Vaskuler. Jakarta: Salemba Medika
Kowalak, Welsh. 2002. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC
Majampoh, Aneci Boki. 2013. Pengaruh Pemberian Posisi Semi Fowler Terhadap
Kestabilan Pola Nafas Pada Pasien TB Paru di Irina C5 RSUP Dr. Kandaou
Manado. Ejournal Keperawatan Volume 3 Nomer 1, Februari 2013.
Mamat Supriyono. 2008. Faktor-faktor Risiko yang Berpengaruh Terhadap
Kejadian Penyakit Jantung Koroner pada Kelompok Usia 45 Tahun.
Program Pasca Sarjana Magister Epidemiologi Universitas Diponegoro
Semarang. http://eprints.undip.ac.id.
Moorhead, Sue, et al. 2008. Nursing Outcomes Classification (NOC). Missouri:
Elsevier.
Nurarif, Amin Huda dan Hardhi Kusuma. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan
berdasarkan Diagnosa Medis dan NANDA NIC-NOC. Yogyakarta:
Mediaction
PERKI (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskuler Indonesia). 2015.
Pedoman Tatalaksana Sindroma Koroner Akut. Jakarta: PERKI
Robbins, SL., dkk. 2007. Buku Ajar Patologi Robbins. Jakarta: EGC
Samsu, Djanggan Sargowo. 2007. Sensitivitas dan Spesifitas Troponin T dan I
pada Diagnosis Infark Miokard Akut. Majalah Kedokteran Indonesia,
Volume 57 Nomor 10 Oktober 2007, Hal: 263-371
Signal, Getta. 2013. A study on the effect of position in COPD patient to improve
breathing pattern. Research paper, volume 2 issue 6 ,June 2013
Smeltzer, S.C & B. G. Bare. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddart. Edisi 8. Jakarta: EGC.
Sudana, Krisna. 2008. Interpretasi EKG: Pedoman Untuk Perawat. Jakarta: EGC
Sudoyo, Aru W. et al. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed V. Jakarta: Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.

23
Tucker, Susan Martin., dkk. 1998. Standar Perawatan Pasien: Proses
Keperawatan, Diagnosis, dan Evaluasi. Jakarta: EGC

24

You might also like