You are on page 1of 14

KESEHATAN JIWA DALAM MASYARAKAT PERKOTAAN

Disampaikan Pada Acara Penyuluhan Terhadap Pencegahan Resiko Psikotik


Dan Penanganan Terhadap PDMP Di Masyarakat Dalam Rangka Implementasi
Proyek Perubahan Pada
Diklatpim Tingkat II Angkatan XLII Kelas G

PENDAHULUAN
Sebagai hasil pembangunan nasional terjadi peningkatan
pendapatan, pendidikan dan sosial masyarakat dan hal ini menimbulkan
pergeseran pola penyakit yang terdapat dalam masyarakat dari
kelompok penyakit menular ke kelompok penyakit tidak menular,
termasuk diantaranya gangguan jiwa.
Tujuan Pembangunan Kesehatan adalah tercapainya kemampuan
hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan terciptanya
derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Kesehatan dalam hal ini
diartikan sebagai suatu kondisi yang bukan hanya bebas dari
penyakit, cacat dan kelemahan tapi benar-benar merupakan kondisi
yang positif dari kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang
memungkinkan seseorang untuk hidup produktif.
Pertumbuhan penduduk yang tidak seimbang dengan pertumbuhan
ekonomi, dapat menimbulkan berbagai masalah psiko-sosial yang
mempengaruhi taraf kesehatan jiwa masyarakat. Demikian pula dengan
adanya penyebaran dan imigrasi penduduk yang timpang terutama
urbanisasi, perubahan sosial yang cepat, pergeseran nilai-nilai
hidup, polusi informasi dan gaya hidup yang merusak kesehatan
seperti merokok, minum alkohol dan penyalah-gunaan obat.
Dari hasil survei epidemiologi gangguan jiwa yang dilakukan di
beberapa tempat di Indonesia, didapat angka-angka morbiditas
gangguan jiwa sebagai berikut :
a. Prevalensi psikosis : 1,44 per 1000 penduduk di perkotaan dan 4,6
per 1000 penduduk di pedesaan angka menurut WHO adalah : 1-3 per
1000 penduduk.
b. Prevalensi neurosis dan gangguan psikosomatik adalah 98 per 1000
penduduk, sedang angka WHO untuk neurosis adalah 20-60 per 1000
penduduk.
c. Menurut penelitian di USA didapatkan bahwa 2-5% dari populasi
menderita ansietas dan 10% dari populasi pernah mengalami
depresi.
d. Prevalensi retardasi mental : 1,25 per 1000 penduduk, dan menurut
WHO adalah 1-3 per 1000 penduduk.
e. Prevalensi penyahalgunaan obat dan alkohol belum ada pasti namun
dari data Rumah Sakit tercatat 10.000 pasien, dan diperkriakan
jumlah pasien penyalahgunaan obat dan alkohol yang terdapat dalam
masyarakat kurang lebih 100.000 orang.
f. Prevalensi Epilepsi adalah 0,26 per 1000 penduduk, sedang angka
menurut WHO adalah 8-10 per 1000 penduduk.

Penyandang Disabilitas Mental Psikotik 1


Angka tersebut di atas menggambarkan bahwa masalah kesehatan
jiwa merupakan masalah masyarakat. Dengan melaksanakan pelayanan
jiwa di masyarakat, diharapkan akan tercapai pelayanan kesehatan
paripurna yang diberikan kepada manusia seutuhnya.
U.U. Kesehatan No. 25/1992 pasal 24, meyebutkan bahwa :
1. Upaya yang diselenggarakan untuk mewujudkan jiwa yang sehat
secara optimal, baik intelektual, maupun emosional dan sosial,
yang antara lain, meliputi :
- Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan jiwa
- Pencegahan dan penanggulangan masalah psikososial dan gangguan
jiwa
- Penyembuhan dan pemulihan penderita gangguan jiwa.
2. Kesehatan jiwa dilakukan oleh perorangan, lingkungan keluarga,
lingkungan sekolah, lingkungan pekerjaan, lingkungan masyarakat,
didukung sarana pelayanan kesehatan jiwa dan sarana lainnya.
Upaya Kesehatan Jiwa adalah upaya kesehatan jiwa yang
dilaksanakan secara khusus atau terintegrasi dengan kegiatan pokok,
yang dilaksanakan oleh tenaga kesehatan dengan dukungan peran serta
masyarakat yang ditujukan pada individu, keluarga, masyarakat dan
diutamakan pada masyarakat berpenghasilan rendah, khususnya
kelompok rawan tanpa mengabaikan kelompok lainnya, dengan
menggunakan teknologi tepat guna yang disesuaikan dengan kondisi
dan kebutuhan masyarakat setempat.
Kegiatan upaya kesehatan jiwa tersebut dilaksanakan melalui :
a. Pengenalan dini gangguan jiwa (early detection).
b. Memberikan upaya pertolongan pertama pada pasien-pasien dengan
gangguan jiwa (primary treatment).
c. Kegiatan rujukan yang memadai (adequate referral).
Selain itu diharapkan agar upaya kesehatan jiwa yang dilakukan
oleh tenaga kesehatan dapat melaksanakan terapi lanjutan (follow
up) dari mereka yang sudah selesai perawatannya di Rumah Sakit Jiwa,
untuk meringankan beban dari pasien. Dengan adanya pelayanan ini
dapat diperoleh gambaran penyakit dalam masyarakat tertentu yang
dapat dipertanggung jawabkan melalui data yang ada pusat pelayanan
kesehatan masyarakat, khususnya dalam masyarakat perkotaan.
Mengingat hal tersebut di atas maka dalam pelayanan kesehatan
jiwa diharapkan dapat :
a. Menangani gangguan jiwa baik yang akut maupun yang kronik yang
dapat terjadi pada setiap manusia maupun kelompok masyarakat
hingga dapat menurunkan angka kesakitan pasien ganguan jiwa.
b. Menangani gangguan jiwa dari setiap kelompok umur mulai dari
anak, remaja, dewasa dan usia lanjut dengan memanfaatkan azas-
azas kesehatan jiwa.
c. Menilai lebih sensitif dan waspada terhadap kemungkinan
keterlibatan emosional pada keluhan-keluhan atau gejala yang

Penyandang Disabilitas Mental Psikotik 2


ditujukan pasien sewaktu berobat.
d. Memberikan penyuluhan hingga masyarakat dapat memanfaatkan azas
dasar kesehatan jiwa dalam kehidupannya.
Kesehatan Jiwa (mental health) menurut pengertian ilmu
kedokteran pada saat ini adalah suatu kondisi yang memungkinkan
perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari
seorang dan perkembangan itu berjalan selaras dengan orang lain.
Makna kesehatan jiwa adalah manusia mempunyai sifat-sifat yang
harmonis (serasi) dan memperhatikan semua segi dalam kehidupannya
dan dalam hubungan dengan manusia lain. Untuk mencapai kondisi yang
dimaksud maka pemerintah telah mengarahkan upaya penting antara
lain :
a. Memelihara kesehatan jiwa dalam pertumbuhan dan perkembangan
anak.
b. Mengusahakan keseimbangan jiwa dengan menyesuaikan penempatan
tenaga selaras dengan bakat dan kemampuan.
c. Perbaikan tempat kerja dan suasana kerja.
d. Mempertinggi taraf kesehatan jiwa seseorang dalam hubunganya
dengan keluarga dan masyarakat.
Mengingat hal tersebut di atas maka telah digariskan beberapa
kebijaksanaan yang pada prinsipnya menjabarkan dan menterjemahkan
lingkup kesehatan jiwa secara praktis dan konkrit.
Pelayanan Kesehatan Jiwa yang dilakukan oleh dokter/staf
terhadap individu adalah memberikan obat-obat psikofarmaka bila
diperlukan serta pemecahan masalah yang dihadapi pasien dan
keluarga.
Pengertian jiwa sehat dan jiwa sakit menurut pola sosial budaya
suatu masyarakat berbeda. Disamping itu hampir semua penyakit fisik
mengandung segi kejiwaan dan dengan pendekatan kesehatan jiwa yang
baik akan bermanfaat dalam menghadapi semua penderita.
Penderita gangguan jiwa tidak selalu abnormal tingkah lakunya,
dan sering kelainan yang ditujukkan hanyalah berdasarkan keluhan
saja. Oleh karena itu semua petugas pelayanan kesehatan jiwa
sebaiknya mengetahui dasar kesehatan jiwa.
Beberapa sifat yang dapat dipakai sebagai pegangan dalam
pemeriksaan seorang yang sehat jiwanya adalah :
a. Mempunyai emosi yang tenang. Ia cukup bahagia dalam kehidupannya
dan dapat bergaul baik dengan anak-anaknya, keluarga, maupun
lingkungan tempat tinggal atau tempat kerja. Suatu waktu dapat
saja merasa kurang gembira, bertengkar dan marah-marah, tapi pada
umumnya ia relatif bebas dari rasa khawatir, rasa benci dan rasa
cemas.
b. Dapat memelihara keseimbangan jiwanya secara mantap, yaitu cukup
tabah, penuh pengertian serta dapat mengambil keputusan dan
memiliki tangung jawab. Dengan demikian ia mengahadapi kehidupan
dengan segala persoalan serta ia dapat menikmati karunia-Nya.

Penyandang Disabilitas Mental Psikotik 3


c. Mempunyai masa kanak-kanak yang bahagia. Tata cara kehidupan pada
masa kanak-kanak adalah sangat penting artinya dalam perkembangan
menjadi dewasa. Beberapa hal penting yang harus diperoleh dalam
masa kanak-kanak adalah : cinta, kasih sayang, pujian dan
dorongan serta disiplin yang sehat.
Peran serta masyarakat adalah peran serta aktif masyarakat
baik sebagai key person maupun sebagai konsumen dalam pemecahan
masalah, perencanaan, pelaksanaan, penilaian, pembinaan dan
pengembangan upaya kesehatan jiwa masyarakat setempat.
Kegiatan pelayanan kesehatan jiwa terpadu dengan kegiatan
pokok pelayanan kesehatan lainnya, serta memberikan pelayanan
khusus bila diduga adanya faktor psikologi sebagai penyebab.

GANGGUAN JIWA
Seperti gangguan medis lainnya, gangguan psikiatri menyatakan
dirinya dalam cara yang khas. Penyimpangan dari normal, dari ringan
ke berat, dapat muncul dalam intensitas, durasi, waktu, dan isi
pikiran, emosi dan tingkah laku, beberapa keluhan dan gangguan
psikiatri harus dimengerti dalam kontak yang luas, membutuhkan
evaluasi lebih dari dunia interpersonal pasien, pekerjaan,
kehidupan keluarga dan budaya dari praktek medis yang umum. Alam
dan ekspresi dari tanda dan gejala kekuatan pasien.
Perbedaan yang paling penting antara tampilan tipikal dari
penyakit medis dan gangguan psikiatri adalah pasien kadang-kadang
gambarannya indiosinkron dari keadaan internal kualitatif mereka.
Pengalaman objectif sering sulit untuk di diskripsikan dalam kata-
kata. Penyair dan pembuat novel sering lebih mampu dari klinisi
untuk mengkarakterisasikan dan menggambarkan secara akurat kualitas
dan pengalaman beberapa gejala psikiatri. Banyak pasien dan klinisi
sering menemukan kesulitan untuk berkomunikasi secara akurat.
Pemilihan pada diagnosa psikiatri selama lebih dari 25 tahun
telah dipertahankan dengan meningkatnya dari reabilitas. Realitas
dari gejala klinis yang diobservasi, pemilihan ini telah mempunyai
pengaruh yang kuat, klinisi dan peneliti menggunakan aneka ragam
struktur wawancara dapat menjadi pernyataan yang beralasan pada
gejala apa pasien diteliti dan bagaimana pasien menemukan kriteria
untuk gangguan psikiatri yang khas pada edisi III dari diagnostik
dan stastik manual dari gangguan mental (DSM IV).

Genetik dan faktor intra uterin


Kelemahan genetik memainkan peranan penting dalam pernyataan
beberapa gangguan jiwa, terutama diantara demensia tipe alzeimer,
shizofrenia, gangguan mood, gangguan kecemasan dan ketergantungan
alkohol.
Proses intra urenaria menkonstribusikan ke banyak gangguan
jiwa sebagai contoh, kelaparan pada ibu hamil dan infeksi influenza

Penyandang Disabilitas Mental Psikotik 4


selama trimester kedua kehamilan telah dilibatkan pada pathogenesis
schizofrenia. Merokok saat kehamilan dan berat badan lahir rendah
dapat menjadi resiko pathogenesis terjadinya gangguan kurang
perhatian pada anak. Penyalahgunaan alkohol pada ibu dapat menjadi
syndrom alkohol fetus / penyebab utama ketidak mampuan perkembangan

Psikologikal Stresor
Kelemahan physological dapat menghasilkan masalah yang panjang
semua metabolisme, toksik, infeksi dan penyebab lain penyakit fisik
meningkatkan kelemahan pada gangguan kejiwaan.
Infeksi HIV yang menuju positiv dan AIDs yang merupakan
stressor, dapat menjadi gangguan jiwa. Pasien dengan gejala gangguan
jiwa dapat menampilkan perubahan organic yang merupakan efek
langsung dari virus pada susunan syaraf pusat menghasilkan perubahan
kepribadian dan mood dengan riwayat keluarga merasakan mentalnya
tidak aktif.

Stresor Lingkungan
Hubungan komplek antara berbagai jenis kehidupan pada umumnya
peristiwa yang terprediksi dan peristiwa negatif dan perkembangan
gejala psikiatri pada umumnya.

Karateristik dari gejala dan tanda-tanda


Gejala dan tanda-tanda dari 2 kategori-kategori mayor dari
fenomena klinis, secara klasik sebagai gangguan medis.
Penyakit dalam bahasa ilmiah merupakan suatu gejala yang
didasari oleh faktor sebab-akibat. Dalam kasus kejadian penyakit,
berbagai penelitian telah dilakukan oleh para ahli untuk mengetahui
akar penyebab munculnya penyakit itu, contohnya pada kasus penyakit
jiwa. Sebagian penelitian menyebutkan gangguan kejiwaan ini
disebabkan adanya ketidakseimbangan kimiawi pada otak penderita,
hubungan genetik, infeksi virus pada otak dan sebagainya. Tetapi
penelitian lain juga membuktikan bahwa penyakit ini memiliki dasar
biologis yang kuat seperti halnya penyakit jantung, diabetes dan
lain-lain.
Salah satu fenomena sosial yang sering terlihat dalam
keseharian masyarakat kita dewasa ini adalah banyaknya orang yang
terkena kasus penyakit jiwa. Jumlah kasus ini meningkat seiring
dengan berkembangnya zaman yang menimbulkan implikasi perubahan.
Stigma masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa akan
menekan para penderita pada lapisan terbawah struktural sosial,
sehingga sangat menyulitkan penderita untuk mendapatkan pekerjaan
yang layak.
Penyakit kejiwaan sesungguhnya disebabkan oleh multikausal
yang kompleks, mulai dari unsur biologik, psikologik hingga proses-

Penyandang Disabilitas Mental Psikotik 5


proses sosial yang ada di masyarakat. Semuanya itu dapat
menyebabkan munculnya penyakit kejiwaan mulai dari yang paling
ringan hingga yang berat.
Perubahan sosial adalah salah satu kontributor utama dalam
tahapan munculnya penyakit jiwa. Perubahan sosial dalam satu
komunitas masyarakat berhubungan dengan peningkatan kejadian
tekanan mental. Namun, pengaruh sosial bukanlah satu-satunya
penyebab dalam terjadinya penyakit jiwa.

Penyakit Kejiwaan Ditinjau Dari Aspek Sosial


Salah satu fenomena sosial yang sering terlihat dalam
keseharian masyarakat kita dewasa ini adalah banyaknya orang yang
terkena kasus penyakit jiwa. Jumlah kasus ini meningkat seiring
dengan berkembangnya zaman yang menimbulkan implikasi perubahan
yang terkadang bersifat radikal sehingga tidak semua golongan
masyarakat mampu beradaptasi dengan keadaan tersebut. Jumlah kasus
ini telah mencapai tahap yang mengkhawatirkan di beberapa negara
maju dan bukan tidak mungkin juga akan mengalami masalah serupa
transisi modernisasi global yang melanda seluruh dunia.
Salah satu penyakit kejiwaan yang sering dibicarakan akhir-
akhir ini adalah skizofrenia. Skizofrenia adalah penyakit yang
sangat dahsyat. Sebagian penelitian menyebutkan gangguan kejiwaan
ini disebabkan adanya ketidakseimbangan kimiawi pada otak
penderita, hubungan genetik, infeksi virus pada otak dsb.
Kenyataannya skizofrenia belum ada obatnya, dan belum diketahui
penyebabnya secara pasti. Namun penelitian membuktikan penyakit ini
memiliki dasar biologis yang kuat seperti halnya penyakit jantung,
diabetes dan lain-lain.
Penyakit ini juga bukan disebabkan oleh salah asuh, salah didik
dan keluarga yang broken home. Ia bisa diderita oleh siapa saja,
bahkan oleh keluarga yang paling normal sekalipun. Fakta statistik
menunjukkan bahwa skizofrenia diderita oleh sekitar 1% dari
populasi. Jadi, dari 200 juta penduduk Indonesia diperkirakan ada
sekitar 2 juta orang penderita skizofrenia.
Kemunculan penyakit ini dimulai pada usia antara 16-30 tahun.
Penyakit ini tidak hanya menghancurkan kondisi psikologis dan fisik
penderita, tapi juga membawa kerusakan pada sendi-sendi keluarga
dan masyarakat. Di negara-negara maju mereka menyebutnya Killer of
the Young People karena menghancurkan produktivitas kaum muda.
Beberapa studi menyarankan agar penderita skizofrenia tetap
menerima social resources seperti pekerjaan, gaji, latihan
rehabilitasi, konseling untuk menghindari keadaan yang lebih parah.
Rekayasa keadaan ini dapat menurunkan keparahan dari penyakit
(Estroff, 1981). Stigma masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa
juga menekan para penderita pada lapisan terbawah struktur sosial.
Akibatnya semakin banyak diskriminasi dan makin terpinggirkannya

Penyandang Disabilitas Mental Psikotik 6


orang-orang malang ini. Hal ini menambah semakin beratnya
penderitaan yang dialami oleh penderita dan keluarganya. Misalnya,
anggapan bahwa orang gila semuanya bodoh, atau orang gila
membahayakan orang yang waras. Padahal penelitian membuktikan bahwa
banyak diantara penderita skizofrenia memiliki I.Q. yang tinggi
bahkan di atas rata-rata.
Penelitian lain mengatakan orang yang mengalami gangguan
kejiwaan lebih rentan mengalami pelecehan dan tindak kekerasan dari
orang normal daripada sebaliknya. Stigma semacam ini sangat
menyulitkan penderita mencari pekerjaan yang layak, sedangkan biaya
pengobatan sangat mahal ditambah lagi krisis ekonomi yang makin
menghimpit. Akhirnya banyak penderita tidak mampu menjangkau
pengobatan yang memadai.
Skizofrenia dapat disembuhkan melalui suatu terapi yang
panjang. Tapi jalan menuju kesembuhan seringkali merupakan proses
yang melelahkan dan menghabiskan harapan. Bahkan ada penderita yang
menghabiskan belasan tahun bertarung menghadapi skizofrenia.
Sebagian lainnya mungkin tidak pernah sembuh dan berkeliaran seperti
mayat hidup di jalan-jalan.
Penyakit kejiwaan sesungguhnya disebabkan oleh multiaksial
yang kompleks, mulai dari unsur biologik, psikologik hingga proses-
proses sosial yang ada di masyarakat. Semuanya itu dapat
menyebabkan munculnya penyakit kejiwaan mulai dari yang paling
ringan hingga yang berat.

Political Economy
Para ekonom barat telah membuktikan bahwa kondisi ekonomi
masyarakat di negara bagian utara Amerika selama seratus tahun
belakangan merupakan pemicu yang signifikan dari jumlah kejadian
di rumah sakit untuk kasus penyakit kejiwaan dan bunuh diri
(Brenner, 1981). Pada golongan ekonomi lemah jumlah kasus bahkan
dua kali lebih besar dibandingkan yang lainnya, mereka melaporkan
dirinya berada dalam kondisi yang buruk untuk kesehatan mental
mereka.
Warner (1985) dalam penelitiannya telah menganalisa prevalensi
kejadian skizofrenia dihubungkan dengan kondisi politik dan
ekonomi. Ia menyimpulkan bahwa ada hubungan yang erat antara
permulaan penyakit, pengobatan yang diberikan dan pergantian
pegawai di satu sisi dengan keadaan ekonomi di sisi yang lain.
Kejadian penyakit ini juga meningkat pada imigran dibandingkan
dengan jumlah kejadian yang sama di negara asal mereka.
Namun hasil penelitian di atas bukannya tanpa kontradiksi.
Beberapa ahli kejiwaan mempunyai pendapat yang berbeda mengenai
kaitan politik ekonomi dengan kejadian penyakit kejiwaan ini.
Iskandar (2001) dalam penelitiannya menyatakan tidak ada korelasi
yang signifikan antara ketidakpastian politik dan ekonomi dengan

Penyandang Disabilitas Mental Psikotik 7


kejadian gangguan jiwa. Oleh karena itu, pernyataan yang
menyebutkan bahwa makin banyak orang terkena gangguan mental akibat
krisis ekonomi dan politik harus dikaji dengan teliti. Khusus
Indonesia, selain tidak pernah ada data yang menunjukkan jumlah
penderita gangguan jiwa di Indonesia, data yang ada di rumah sakit
pun harus diwaspadai karena bisa jadi merupakan data atas orang
yang sama. Karena, penderita gangguan jiwa itu jarang yang
merupakan pasien baru, yang ada adalah pasien yang berpindah-
pindah dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain.
Namun yang jelas, kondisi politik dan ekonomi Indonesia yang
telah gonjang-ganjingkan selama lebih kurang empat tahun lebih
memberikan efek yang hampir sama dengan penelitian di atas.
Walaupun tidak ada angka detail yang menggambarkan jumlah total
kejadian penyakit jiwa di seluruh Indonesia, tapi dapat dirasakan
bahwa penderita penyakit ini semakin banyak. Rendahnya kemauan
masyarakat terutama keluarga, untuk melaporkan kasus ini disebabkan
mereka tidak ingin menanggung malu akibat stigma negatif penyakit
ini. Selain itu, kebanyakan penderita penyakit jiwa ini tidak merasa
dirinya menderita penyakit kejiwaan ini, akibatnya mereka juga tidak
berinisiatif mencari pengobatan.

Perubahan Sosial Dan Kontribusi Dalam Kejadian Penyakit Kejiwaan


Perubahan sosial adalah salah satu kontributor utama dalam
tahapan munculnya penyakit jiwa. Lin et al. (1969) menyimpulkan
bahwa perubahan sosial besar-besaran di Taiwan dari tahun 1940-an
hingga pertengahan 1960 telah menyebabkan peningkatan yang besar
pada kejadian kelainan neuerotic. Beberapa peneliti lainnya bahkan
mendapatkan bahwa perubahan sosial dalam satu komunitas masyarakat
berhubungan dengan peningkatan kejadian tekanan mental.
Alkoholisme, penyalahgunaan obat, dan bunuh diri merupakan risiko
terbesar pada penyakit mental selama periode modernisasi yang cepat
dalam lingkungan tradisional. Contohnya, orang Indian di Amerika
Utara, penduduk asli Alaska (Kraus dan Bufler, 1979; Shore dan
Manson, 1983).
Penggusuran rumah penduduk dan pemaksaan akulturasi pada
pengungsi dan imigran telah menyebabkan munculnya penyakit kejiwaan
yang berulang-ulang. Sebagai contoh, manusia kapal dari kawasan
Asia Tenggara yang terdampar di Amerika utara mengalami depresi
yang tinggi, kebimbangan serta gangguan psikososial (Beiser dan
Fleming, 1986). Beberapa masalah sosial bahkan menjadi hal yang
biasa diantara kelompok minoritas tertentu, seperti sikap
antisocial personality antara anak muda kota yang berkulit hitam
di Amerika Serikat.
Kelompok pria di bawah usia tujuh puluh tahun di Amerika Utara
yang mengalami kehilangan pasangan bahkan mengalami peningkatan
jumlah kematian yang signifikan bila dibandingkan dengan kelompok

Penyandang Disabilitas Mental Psikotik 8


yang tidak (Osterweis et all. 1984). Dan mereka yang kemudian
menikah kembali dapat mengurangi risiko ini (Mechanic, 1986). Hasil
dari penelitian kohort yang dilakukan beberapa pengamat sosial
menunjukkan bahwa kelas sosial, tingkat ekonomi, kejadian masa lalu
mempengaruhi perubahan dalam masa hidup mulai dari kelahiran hingga
akhir masa hidup, dan institusi sosial adalah kausa utama yang
mempengaruhi kesehatan fisik dan mental mereka. Namun, pengaruh
sosial bukanlah satu-satunya kausa dalam kejadian penyakit
kejiwaan.

Kekerasan
Selama ini, orang sering dibingungkan oleh apakah kekerasan
memicu gangguan mental, atau gangguan mental yang menyebabkan
kekerasan. Kekerasan adalah sebagai sesuatu yang hanya bisa
dilakukan oleh segolongan individu yang kuat terhadap individu
lain yang lemah. Ini didukung hasil penelitian yang menunjukkan
bahwa kekerasan dipicu oleh perubahan biokimia otak, sementara yang
menanggung akibat kekerasan kimia pada otak itu sendiri dapat
mengalami gangguan mental yang disebut gangguan anxietas post
traumatic stress disorder.
Budaya bisa meredam kekerasan, dan akal sehat bisa menyalurkan
kekerasan menjadi hal-hal yang bisa diterima, misalnya dalam bentuk
tinju atau sepak bola. Sementara teror adalah ancaman yang
dilakukan oleh sekelompok atau individu yang lemah, bukan oleh yang
kuat. Tujuan teror bagi si lemah adalah untuk menunjukkan dirinya
eksis dengan cara mengubah persepsi orang lain melalui cara menakut-
nakuti atau mengancam.
Oleh karena itu, perbedaan antara teror dan kekerasan
tergantung dari pelakunya. Bila pelakunya jelas dan kuat, disebut
kekerasan. Bila kekerasan dilakukan pemerintah maka disebut
pelanggaran HAM. Bila pelakunya tidak jelas, disebut teror. Bila
tujuannya cuma untuk materi, disebut kriminal. Namun, bila ada motif
lain yang dianggap luhur maka teror menjadi isme. Berarti kriminal
pada pihak lawan, tetapi jadi pahlawan di pihak kawan.
Selain itu, satu hal yang juga menjadi konsen dalam penyakit
kejiwaan ini adalah proporsi penderita berdasarkan jenis kelamin.
Wanita merupakan kelompok yang paling rentan untuk terkena penyakit
jiwa dibandingkan pria, kejadian ini dihubungkan dengan
ketidakberdayaan relatif mereka dalam masyarakat (Weissman dan
Klerman, 1977; Brown dan Harris, 1978). Hal lain yang mempengaruhi
wanita sebagai kelompok risiko terbesar untuk terkena penyakit
kejiwaan adalah dukungan sosial yang kurang, baik dari keluarga
maupun sanak saudara serta teman-temanya.

Prevalensi Dan Penderitaan Manusia


Sangat sulit untuk menentang bahwa lingkungan sosial sangat

Penyandang Disabilitas Mental Psikotik 9


mempengaruhi onset dan lamanya gangguan jiwa. Namun data pada
prevensi yang berdasarkan pengaruh yang saling berhubungan ini
baru dibentuk. Kehilangan konseling dan kelompok menolong diri
sendiri sepertinya memperbaiki efek negatif jangka panjang dari
kehilangan pada populasi resiko, meskipun penelitian yang mendukung
penemuan ini diperlemah oleh masalah teknik. Tetapi jenis dari
ukuran preventif yang diperkenalkan pada beberapa penelitian
biasanya minimal apabila dibandingkan dengan besarnya masalah
sosial. Sangat beralasan untuk mengharapkan bahwa apabila
intervensi sosial dipropagasi bersamaan dengan modalitas terapetis
yang efektif, prevansi akan cenderung untuk sukses. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa apaibla pasien skizofrenia dan
jaringan pendukung mereka menerima sumber sosial yang adekuat
(pendapatan, pekerjaan, pelatihan rehabilitasi, konseling) untuk
menghadapi kronisitas, rehospitalisasi dan disabilitas yang dapat
dikurangi. Perilaku penyakit kronis dapat dibatasi dan lebih banyak
konsekuensi negatif yang dikendalikan melalui prevensi tersier,
seperti intervensi dalam keluarga untuk mengurangi emosi negatif
yang diekspresikan dan memperbaiki fungsi keluarga.
Gangguan depresi dan ansietas yang berasal dari sebab-sebab
sosial lebih dapat dimengerti sebagai penyakit yang bebas,
melainkan suatu bentuk nonspesifik todily (psychobiological) dari
distress manusia. Mengapa mengistimewakan gejala, kapankah mereka
berbagi wilayah sosial yang sama? Demoralisasi dan berhutang yang
memperburuk keluarga, pekerjaan atau masalah ekonomi memicu sindrom
dari distress yang memiliki hubungan biologikal seperti halnya juga
hubungan psikologikal. Hubungan ini sering disebut sebagai gangguan
psikiatrik, tetapi mereka telah lebih dimengerti oleh ilmuwan
dibidang sosial sebagai sekuele psikobiologikal dari patologi
sosial dan penderitaan manusia secara umum. Bahkan ketika
predisposisi genetik dan kerentanan neurogikal mengubah efek
eksperiensial dari tekanan sosial di sini ke dalam gangguan
depresif, di sana ke dalam gangguan panik, transduksi sosiosomatik
dapat sangat terbatas pada bentuk distress sosial.
Dalam penelitian klinikal dan epidemiologikal sampai dengan
tahun 1960, psikiatris sangat dipengaruhi untuk pemikiran
psikoanalitik, melihat neurosis histeria, gangguan depresi,
gangguan ansietas, lebih sebagai spektrum distress
psikofisiologikal daripada kelainan yang tidak dapat ditentukan.
Istilah psikoneurosis sering digunakan sebagai diagnosis untuk
berbagai macam gangguan. Konsep reaksi dari stress, John Hopkins
Psikiatris, Adolph Meyer, masuk ke dalam formulasi ini selanjutnya
dengan pengenalan terapi spesifik utnuk kondisi individual-depresi,
panik, fobia, dll, titik pandang paling umum bahwa neurosis
merupakan kelompok penyakit tertentu semakin meningkat. Produk dari
penyakit ini, titik pandang spesifik adalah DSM III yang telah

Penyandang Disabilitas Mental Psikotik 10


mengganti rubrik neurosis dengan distres dari gangguan tidak
tertentu. Setiap cluster berasal dari kriteria luklusi dan eksklusi
yang memudahkan klinisi untuk mendiagnosis kondisi yang overlaping
seperti halnya penyakit yang berdiri sendiri; seperti gangguan
ansietas cluster menspesifikasikan kriteria ke dalam gangguan
ansietas tertentu, gangguan panik, gangguan obsesif kompulsif,
agorafobia, fobia sosial, dan fobia sederhana. Idenya adalah bahwa
masing-masing memiliki psikologi, penyebab, jangka waktu dan
respons pengobatan yang berbeda-beda.
Banyak data yang tidak cocok bila dimasukkan ke dalam formulasi
ini. Pertama, spesifitas pengobatan tidak mendekati kejelasan
seperti biasanya dikleim. Antidepresan dapat digunakan untuk
mengobati beberapa gangguan ansietas, beberapa ansietas memiliki
efek terhadap depresi. Kedua, untuk semua penelitian terbaru yang
memperhatikan mengenai kondisi neurotik, ada bukti bahwa
penyebabnya dapat diketahui. Bahkan penyertaan biologis menyebabkan
tumpang tindih yang besar. Gangguan panik menunjukkan bahwa hal
tersebut memiliki fokus otak yang unik terhadap aliran darah
cerebral asimetrik, sehingga perubahan sistem saraf autonomik dan
sistem limbik tampak menjadi tidak spesifik pada depresi maupun
ansietas. Lebih jauh lagi, ansietas sering disertai dengan depresi,
sehingga kedua hal tersebut primer. Mungkin lebih rasional untuk
memikirkan kontinuitas dari respons psikobiologikal dari ansietas
murni ke depresi murni, dengan kebanyakan kasus berada di
tengahnya. Terakhir, penemuan ini dapat dijelaskan dengan
alternatif, yang dapat digambarkan seperti berikut ini.
Kerentanan psikologikal dan biologikal dari seseorang
digabungkan dengan tekanan sosial lokal untuk menciptakan sindrom
dari distress menyatukan respons neuroendokrin, autonomis,
kardiovascular, gastrointestinal dan sistem limbik. Respons
tersebut menyusun sebuah spektrum dari afektif, ansietas dan keuhan
somatik. Norma-norma kultural secara berbalasan berinteraksi dengan
proses biologikal untuk membentuk pengalaman tubuh/pribadi ini
sehingga bentuk yang berbeda dari distress menjadi predominasi pada
kelompok sosial yang berbeda, seperti neurasthemia pada Cina
kontemporer, fatique pada Perancis. Chronic pain pada Amerika Utara,
Nervios pada Amerika Latin dll. Pengaruh interpersonal dan
intrapsikis juga membentuk psikobiologi pada respons neurotik, yang
mungkin lebih akurat digambarkan oleh konsep sosiologikal mengenai
perilaku sakit. Sehingga dapat dikatakan penyakit gangguan
neurotik adalah perubahan psikobiologikal non spesifik secara
beragam pada budaya yang berbeda-beda, mungkin anorexia,
dysthuymia, agoraphobia, taijin kyofustio, gangguan panik, terakhir
syndrom virus kronik.
Dari titik pandang sosial ini, neurosis menghadirkan
medikalisasi dari sosial yang menyebabkan sindrom

Penyandang Disabilitas Mental Psikotik 11


psikofisiologikal dari penderitaan manusia. Penelitian lintas
budaya menghadirkan bukti yang nyata dalam mendukung hipotesis
ini. Kategori diagnostik dari penelitian klinis dan kerentanan
partikular dari orang dan kelompok menetapkan mana paket berikut
yang dielaborasi dan diinterprestasi sebagai gangguan depresif
mayor dan mana yang merupakan gangguan panik. Dari perspektif
sosial ini, neurosis bukanlah penyakit melainkan manifestasi
perilaku dari distress yang dipengaruhi oleh sosial.

Model Stres
Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh yang ditimbulkan oleh
lingkungan sosial terhadap perkembangan pribadi dan kemunculan
penyakit kejiwaan dan yang lainnya, para psikolog mengembangkan
model stress. Metode ini dikembangkan oleh Walter Cannon dan Hans
Selye, namun model yang digunakan pada saat itu telah mengalami
berbagai modifikasi dan tambahan.
Setiap individu mempunyai keseimbangan (homeostasis) dalam
dirinya. keseimbangan ini dapat terganggu oleh pengaruh yang muncul
dari lingkungan di sekitar individu. Gangguan atau tekanan yang
serius akan menyebabkan tubuh merasakan kondisi ketegangan. Tubuh
akan berusaha untuk mempertahankan keseimbangan dini dengan
melakukan satu mekanisme pertahanannya sndiri. Mekanisme ini
terkadang bahkan sering tidak berhasil sehingga membuat tubuh
kehilangan keseimbangannya. Dalam kondisi ini tubuh disebut
mengalami stress.
Stres merupakan interaksi antara individu dengan stressor
interaksi ini menyebabkan individu akan melakukan adaptasi terhadap
stressor. Stressor yang umumnya muncul adalah perubahan hidup,
seperti kematian pasangan, kehilangan pekerjaan, perceraian dll.
Yang kesemuanya itu dapat menyebabkan tubuh menjadi sakit akibat
kegagalan untuk beradaptasi.
Stres erat dikaitkan dengan penderitaan yang dialami manusia.
Pihak yang dianggap paling menderita diantara manusia adalah kaum
miskin, kaum tertindas, kaum tidak berdaya sehingga prevalensi
terbesar adalah dari kelompok ini. Penderitaan ini dikaitkan dengan
keadaan mereka yang sangat tidak diuntungkan. Rumah yang tidak
nyaman, makanan yang tidak cukup gizi, pendidikan yang minim,
pekerjaan yang berlebihan.

Nilai-Nilai Profesional Yang Mempengaruhi Kerja Psikiatri


Psikiatri di Negara Barat sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai
budaya secara implisit mengenai diri sendiri dan patologinya yang
membentuk suatu individu yang dalam dan tertutup. Sebagai suatu
perbandingan, baik buku-buku klasik dari Cina maupun titik pandang
common-sense kontemporer diantara orang-orang Cina, baik psikologi
maupun psikiatris. Menyebutkan bahwa individu adalah sant

Penyandang Disabilitas Mental Psikotik 12


interpersonal. Pandangan Cina mengenai diri sendiri, sampai derajat
yang luas, sebagai konsensual sebuah personalisasi yang
berorientasi pada pemusatan sosial. Yang lebih memperhatikan
kebutuhan akan situasi tertentu dan kunci menuju hubungan daripada
kejadian satu hal yang sangat pribadi. Tetapi untuk psikiatris
Cina dan pasien-pasiennya yang mengintiminasi bahwa hal tersebut
begitu penting seperti lingkup hubungan sosial dan masalah-masalah
moral. Konteks sosial, bukan kedalaman hubungan, merupakan ukuran
untuk validitas. Pada beberapa konteks, apakah moral, bukan
interpretasi psikologik, dipandang sebagai teras dari tugas
retorikal dan persuasi dan penyembuhan.
Asal dari psikiatri di Cina bukanlah pengobatan Cina, meskipun
dikenal sebagai kegilaan, histeria, depresi dan efek psikosomatik,
tidak ada satupun yang diatur sebagai cabang yang berbeda dari
ilmu pengetahuan dari penyakit jiwa, langka dalam hal pengobatan
maupun kelompok spesialis terlatih untuk mengobati penyakit jiwa.
Perspektif dari pengetahuan sosial tidak dapat mengharapkan
masalah moral ini hilang baik sebagai masalah sosial, bukan
individual ataupun sebagai sesuatu yang dapat dialamatkan pada
tingkat politik, meskipun tingkat politik sangat crusial terhadap
pertanyaan ini; bahwa perspektif dapat digambarkan ke dalam
peningkatan sensibilitas personal terhadap masalah ini dengan
mendorong para praktisi sebagai sebuah sikap self-reflective
terhadap nilai-nilai profesional dan sosial yang mempengaruhi
keputusan dan tindakan klinis mereka. Hal ini menjadi suatu contoh
mengenai pentingnya mengantropologikan perenungan para praktisi.
Bahwa sensibilitas antropologi harus mendorong skanning, rutin dari
perspektif seorang profesional dalam membuat alternatif perspektif
pasien, keluarga, profesional lainnya, budaya lainnya. Pendekatan
ini tidak dapat meyakinkan tindakan moral. Namun hal tersebut dapat
dihadirkan dalam perilaku sehari-harei dari praktisi sebuah
mekanisme untuk refleksi moral yang rutin.

PENUTUP
Upaya kesehatan jiwa dalam masyarakat perkotaan ini dapat
berhasil bila mendapat dukungan dan peran serta masyarakat melalui
kerjasama yang baik. Di mana unsur masyarakat merupakan hal yang
penting dan menentukan keberhasilan. Kerjasama tersebut dapat
dijabarkan secara operasional dalam loka karya mini yang akan
menampilkan peranan pelayan kesehatan yang didukung oleh mobilisasi
tenaga pelayan kesehatan, peralatan, obat, dan teknologi. Dalam
pelaksanaan pembinaan dan pengembangan kesehatan jiwa pada
masyarakat perkotaan, termasuk swasta yang terkait, merupakan unsur
penentu keberhasilan. Hal penting lainnya adalah pengertian dan
kesadaran yang lebih baik oleh masyarakat Indonesia dan perhatian
yang lebih baik oleh pemerintah Indonesia akan sangat membantu dalam

Penyandang Disabilitas Mental Psikotik 13


terwujudnya kesehatan jiwa yang diinginkan.

Penyandang Disabilitas Mental Psikotik 14

You might also like