You are on page 1of 36

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Asma merupakan penyakit inflamasi (peradangan) kronik saluran napas yang ditandai
adanya mengi episodik, batuk, dan rasa sesak di dada. Asma mempunyai tingkat fatalitas yang
rendah namun jumlah kasusnya cukup banyak ditemukan dalam masyarakat. Asma
diperkirakan menyebabkan mortalitas sebesar 346.000 jiwa per tahunnya. Menurut GINA
(2011) jumlah prevalensi asma yang terjadi di seuruh dunia berjumlah sekitar 300 juta
penduduk. Diperkirakan pada tahun 2025, jumlah peduduk dunia yang mengalami asma adalah
sebanyak 400 juta penduduk. Peningkatan terjadi juga di negara-negara Asia Pasifik seperti
Indonesia. Studi di Asia Pasifik baru-baru ini menunjukkan bahwa tingkat tidak masuk kerja
akibat asma jauh lebih tinggi dibandingkan dengan di Amerika Serikat dan Eropa. Hampir
separuh dari seluruh pasien asma pernah dirawat di rumah sakit dan melakukan kunjungan ke
bagian gawat darurat setiap tahunnya. Kejadian asma di Indonesia sendiri menurut hasil Riset
Kesehatan Dasar (RISKESDAS) nasional tahun 2007 ditemukan sebesar 4% dari
222.000.000 total populasi nasional. Sementara itu, menurut RISKESDAS tahun 2013, asma
merupakan penyakit tidak menular (PTM) nomor satu di Indonesia. Prevalensi asma yang
ditemukan di tiap provinsi pun berbeda, pada tahun 2007 prevalensi asma di kalimantan timur
(kaltim) sekitar 3% dari total penduduk kaltim. Sedangkan pada tahun 2013, prevalensi
meningkat menjadi 4% dari total penduduk kaltim. Sedangkan kasus baru asma di RSUD Dr.
Kanujoso Djatiwibowo Balikpapan pada tahun 2015 adalah 1.515 orang dan yang datang
dengan kondisi status asmatikus sebanyak 11 orang dan pada tahun 2016 jumlah kasus baru
sebanyak 1.361 orang dengan jumlah 19 orang yang datang dengan kondisi status asmatikus.
Apabila tidak dicegah dan ditangani dengan baik, maka diperkirakan akan terjadi peningkatan
prevalensi yang lebih tinggi lagi pada masa yang akan datang serta mengganggu kualitas hidup
pasien.
Asma merupakan sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal ini
tergambar dari data Studi Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di berbagai propinsi di
Indonesia. Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1986 menunjukkan asma
menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan
bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai
penyebab kematian ke- 4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. Tahun 1995, prevalensi asma di
seluruh Indonesia sebesar 13/1000, dibandingkan bronkitis kronik 11/1000 dan obstruksi paru

1
2/1000. Berdasarkan riskesdas pada tahun 2013, prevalensi usia yang paling banyak mengalami
asma adalah 25-44 tahun terbukti dengan persentase pasien usia 25-44 tahun yang rawat inap
karena asma sebanyak 51,95% dan persentase pasien usia 25-44 tahun yang rawat jalan karena
asma sebanyak 29,95%. Dampak buruk asma meliputi penurunan kualitas hidup, produktivitas
yang menurun, ketidakhadiran di sekolah, peningkatan biaya kesehatan, risiko perawatan di
rumah sakit dan bahkan kematian. Hal ini tentu menjadi masalah dunia.
Pengamatan di 5 propinsi di Indonesia (Sumatra Utara, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Kalimantan Barat dan Sulawesi Selatan) yang dilaksanakan oleh Subdit Penyakit Kronik dan
Degeneratif Lain pada bulan April tahun 2007, menunjukkan bahwa pada umumnya upaya
pengendalian asma belum terlaksana dengan baik dan masih sangat minimnya ketersediaan
peralatan yang diperlukan untuk diagnosis dan tatalaksana pasien asma difasilitas kesehatan.
Peran dokter dalam mengatasi penyakit asma sangatlah penting. Dokter sebagai pintu
pertama yang akan diketuk oleh penderita dalam menolong penderita asma, harus selalu
meningkatkan pelayanan, salah satunya yang sering diabaikan adalah memberikan edukasi atau
pendidikan kesehatan. Pendidikan kesehatan kepada penderita dan keluarganya akan sangat
berarti bagi penderita, terutama bagaimana sikap dan tindakan yang bisa dikerjakan pada waktu
menghadapi serangan, dan bagaimana caranya mencegah terjadinya serangan asma.3

1.2. Tujuan Penulisan


Penulisan ini ditujukan untuk mengetahui definisi, patogenesis, gejala klinis, diagnosis,
penanganan, komplikasi serta prognosis dari asma bronkiale yang dapat menyebabkan
berbagai komplikasi dengan memaparkan contoh kasus yang diperoleh penulis.

2
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1. Anamnesis
Pasien MRS pada tanggal 13 Juli 2017 dan anamnesis dilakukan secara
autoanamnesis pada tanggal 13 Juli 2017.
a. Identitas
Nama : Ny. J
Usia : 40 tahun
Agama : Islam
Status : Menikah
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Ibu rumah tangga

b. Keluhan Utama
Sesak nafas sejak beberapa jam SMRS

c. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IRD RSKD pada tanggal 13 Juli 2017. Pasien mengeluhkan sesak
nafas tiba-tiba disertai dengan bunyi mengi saat bernafas yang muncul sejak malam
SMRS (pukul 7 malam). Pasien sudah meminum obat yang rutin digunakan, namun
keluhan yang dialami tidak berkurang. Pasien mengaku sesak nafas yang dialami begitu
mengganggu hingga pasien tidak bisa tidur. Saat subuh, sesak semakin bertambah dan
pasien datang ke IGD RSKD Balikpapan. Sesak nafas tersebut membuat pasien sulit
untuk menyelesaikan satu kalimat (mampu berbicara beberapa kata). Pasien merasa
lebih nyaman jika berada dalam posisi duduk. Tiga hari SMRS, pasien mengeluhkan
batuk berdahak kekuningan yang juga disertai nyeri tenggorokan namun saat berobat
keluhan nyeri tenggorokan sudah tidak dirasakan. Tidak ada keluhan seperti demam,
nyeri kepala, dan nyeri dada.

d. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien mengaku mengalami sesak nafas pertama kali dan didiagnosa asma pada
usia 20 tahun. Saat itu pasien bekerja di perusahaan kayu plywood dan pasien mengaku
jarang menggunakan masker. Sejak saat itu pasien mengaku sering mengalami sesak

3
nafas dan pasien mulai berobat ke dokter paru dan mendapatkan seretide diskus,
Salbutamol inhaler, dan obat batuk. Dengan obat-obatan tersebut pasien mengaku mulai
jarang mengalami serangan asma. Serangan asma terjadi jika pasien kehabisan obat
asmanya. Serangan dirasakan sekali seminggu yang menyebabkan pasien terbangun
pada malam hari. Sesak nafas dirasakan memberat apabila bekerja berat, terkena dingin,
dan debu. Dengan menggunakan skor kuisioner ACT pasien mempunyai skor 13. Pasien
pernah dirawat di rumah sakit pada tahun 2013 karena mengalami serangan asma dan
dalam keadaan hamil 8 bulan. Pasien memiliki alergi terhadap kacang, ketan, dan udang.
Riwayat Diabetes mellitus, hipertensi, dan penyakit jantung disangkal.

e. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat asma dalam keluarga disangkal. Namun ayah pasien memiliki riwayat
sering bersin di pagi hari. Ibu pasien juga memiliki alergi terhadap udang. Riwayat DM,
hipertensi, dan penyakit jantung dalam keluarga disangkal.

2.2. Pemeriksaan Fisik Generalis


Dilakukan pada tanggal 13 Juli 2017
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Tanda vital
Tekanan darah : 130/70 mmHg
Nadi : 80x/menit
Frekuensi nafas : 32x/menit
Suhu : 36,9C

Kepala
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya
(+/+), pupil isokor dekstra = sinistra (3 mm/3mm)
Telinga : bersih, sekret(-)
Hidung : sumbat (-), sekret (-), nafas cuping hidung (-)
Mulut : basah, faring hiperemis (-), pembesaran tonsil (-)bibir tampak
pucat

4
Leher
Pembesaran Kelenjar : (-)

Thorax
Pulmo
Inspeksi : dinding dada simetris statis/dinamis, retraksi (+)
Palpasi : pergerakan nafas simetris D=S
Perkusi : sonor +/+
Auskultasi : suara nafas vesikuler dengan ekspirasi memanjang, rhonki -/-,
wheezing +/+

Cor
Inspeksi : iktus cordis tidak tampak
Palpasi : iktus cordis tidak teraba
Perkusi : pembesaran batas jantung (-)
Auskultasi : S1/S2 reguler, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
Inspeksi : bentuk normal, datar
Palpasi : supel, tidak ada nyeri tekan, hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) normal

- -
Ekstremitas : akral hangat, oedema , CRT < 2s
- -

2.3. Pemeriksaan Penunjang


a) Laboratorium
Parameter Hasil Nilai Rujukan
Hemoglobin 14,1 12,0 15,0
Hematokrit 41,9 35,0 49,0
Leukosit 9.010 4.500 11.500
Trombosit 320.000 150.000 450.000

5
Gula Darah Sewaktu 93 76 180
Eosinofil 2,4 1,0 - 3,0
Segmen 76,2 50,0 - 70,0
Limfosit 17,0 18,0 - 42,0
Monosit 4,2 2,0 - 11,0

2.4. Diagnosis Banding


Asma Bronkiale eksaserbasi akut
PPOK
Gagal jantung
2.5. Diagnosis Kerja
Asma Bronkiale Eksaserbasi Akut derajat serangan sedang

2.6. Penatalaksanaan
Terapi awal :
O2 nasal kanul 3 lpm
Nebulizer ventolin : NaCl 0,9%
Nebulizer combivent : NaCl 0,9%
Dexametason inj. 2 ampul
IVFD RL 500 cc + Aminofilin 1 ampul 15 tpm
Nebulizer combivent : NaCl/ 4-6 jam
Dexametason inj. 2 x 2 ampul
Ranitidin inj. 2 x 1 ampul
Ceftriaxone 1 x 1 gram

2.7. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia

6
FOLLOW UP HARIAN

Tanggal Perjalanan Penyakit Penatalaksanaan


13 Juli S: Sesak nafas (+), batuk (+) IVFD D5% + Aminofilin 1
2017 ampul/12 jam
(H.1 O: KU: sedang, compos mentis Nebule combivent/ 4 jam
ruangan) TD: 130/70 mmHg Metilprednisolon inj. 3 x
HR: 88x/menit 125 mg i.v
RR: 28x/menit Ranitidin inj. 2 x 1 amp.
T: 36C Ceftriaxone inj. 2 x 1 gr.
Pem. Fisik paru : Codein 3 x 10 mg p.o
Inspeksi : Retraksi (-/-)
Palpasi : pergerakan nafas simetris D=S
Perkusi : sonor di semua lapangan paru
Auskultasi : wheezing (+/+)

A: Asma Bronkiale Eksaserbasi Akut


14 Juli S: Batuk (+), sesak nafas () IVFD D5% + Aminofilin 1
2017 O: KU: sedang, compos mentis ampul/12 jam
(H.2) TD: 110/70 mmHg Nebule combivent/ 4 jam
HR: 84x/menit Metilprednisolon inj. 3 x
RR: 24x/menit 125 mg i.v
T:36,5C Ranitidin inj. 2 x 1 amp.
Pem. Fisik paru : Ceftriaxone inj. 2 x 1 gr.
Inspeksi : Retraksi (-/-) Codein 3 x 10 mg p.o
Palpasi : pergerakan nafas simetris D=S
Perkusi : sonor di semua lapangan paru
Auskultasi : wheezing (+/+), rhonki (-/-)

A: Asma Bronkiale Eksaserbasi Akut


15 Juli S: Batuk (), sesak nafas () IVFD D5% + Aminofilin 1
2017 ampul/12 jam
(H.3) O: KU: sedang, compos mentis Nebule combivent/ 4 jam

7
TD: 110/80 mmHg Metilprednisolon inj. 3 x
HR: 88x/menit 125 mg i.v
RR: 22x/menit Ranitidin inj. 2 x 1 amp.
T: 36,5C Ceftriaxone inj. 2 x 1 gr.
Pem. Fisik paru : Codein 3 x 10 mg p.o
Inspeksi : Retraksi (-/-)
Palpasi : pergerakan nafas simetris D=S
Perkusi : sonor di semua lapangan paru
Auskultasi : vesikuler (+/+) wheezing (-/-),
rhonki (-/-)

A: Asma Bronkiale Eksaserbasi Akut


16 Juli S: Batuk (-), sesak nafas () IVFD D5% + Aminofilin 1
2017 ampul/12 jam
(H.4) O: KU: sedang, compos mentis Nebule combivent/ 4 jam
TD: 120/80mmHg Metilprednisolon inj. 3 x
HR: 88x/menit 125 mg i.v
RR: 22x/menit Ranitidin inj. 2 x 1 amp.
T: 36,5C Ceftriaxone inj. 2 x 1 gr.
Pem. Fisik paru : Codein 3 x 10 mg p.o
Inspeksi : Retraksi (-/-)
Palpasi : pergerakan nafas simetris D=S
Perkusi : sonor di semua lapangan paru
Auskultasi : vesikuler (+/+) wheezing (-/-),
rhonki (-/-)

A: Asma Bronkiale Eksaserbasi Akut


17 Juli S: Sesak nafas (-), Batuk (-) Rencana pulang
2017 Terapi pulang :
(H.5) O: KU: sedang, compos mentis Retaphyl SR 2 x tab
TD 120/80 mHg Methylprednisolon 3 x 8
HR: 84x/menit mg
RR 20x/menit Lansoprazole 1 x 30 mg

8
T: 36,7C Azitromisin 1 x 500 mg
Pem. Fisik paru : Meptin swinghaler 2 x 1
Inspeksi : Retraksi (-/-)
Palpasi : pergerakan nafas simetris D=S
Perkusi : sonor di semua lapangan paru
Auskultasi : vesikuler (+/+) wheezing (-/-),
rhonki (-/-)

A: Asma Bronkiale post Eksaserbasi Akut


2 Agustus S = Kontrol, sesak nafas masih dirasakan Seretide 2 x 1
2017 kadang-kadang, pemeriksaan Asthma Berotec MDI
(Poli Controlled Test (ACT) 13 belum Codein 10 mg, CTM 2 mg,
Paru) terkontrol dengan baik mucohexin (2 x 1)

O = KU baik, composmentis
TD 120/80 mHg
HR: 64x/menit
RR 22x/menit
Pem. Fisik paru :
Inspeksi : Retraksi (-/-)
Palpasi : pergerakan nafas simetris D=S
Perkusi : sonor di semua lapangan paru
Auskultasi : vesikuler (+/+) wheezing (-/-),
rhonki (-/-)

A: Asma Bronkiale

9
BAB III
PEMBAHASAN
Pasien Ny. J usia 40 tahun datang diantar oleh keluarganya ke Instalasi Gawat Darurat
RSKD Balikpapan pada 13 Juli 2017 dengan keluhan utama sesak nafas. Awalnya demam
dialami sejak malam sebelum pasien datang ke IGD, pasien sudah mencoba menggunakan obat
asma yang rutin digunakan namun keluhan tidak berkurang. Pada saat subuh,sesak yang
dialami semakin bertambah. Keluhan lain berupa batuk berdahak dan nyeri tenggorokan yang
telah dialami sejak 3 hari sebelumnya. Pasien memang memiliki riwayat asma dan rutin kontrol
di poli paru RSKD Balikpapan. Pasien pertama kali mengalami asma pada usia 20 tahun saat
pasien bekerja di pabrik kayu plywood. Selama ini pasien rutin menggunakan seretide diskus,
salbutamol inhaler, dan obat batuk. Pasien mengaku jika kehabisan obat, ia akan mengalami
serangan asma. Setelah dilakukan pemeriksaan dengan Ashtma Control Test (ACT), pasien
memiliki skor 13.
Data anamnesis pasien sesuai dengan teori mengenai Asma bronkiale. Asma adalah
gangguan infalamasi kronik saluran napas yang mengakibatkan hiperesponsif jalan napas yang
menyebabkan munculnya gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa
berat, dan batuk terutama pada malam atau dini hari. Gejala episodik yang muncul
berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat
reversibel dan derajatnya dapat berubah-ubah baik secara spontan maupun hasil dari
pengobatan.
Berbagai sel inflamasi yang berperan dalam terjadinya asma terutama sel mast,
eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil, dan sel epitel. Faktor lingkungan dan berbagai
faktor lain berperan sebagai penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas pada penderita
asma. Patomekanisme yang terjadi pada asma bronkiale terdiri dari proses inflamasi akut,
inflamasi kronik, dan airway remodelling. Pada proses inflamasi akut, pencetus serangan asma
dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain alergen, virus, iritan yang dapat menginduksi
respon inflamasi akut yang terdiri atas reaksi asma tipe cepat dan pada sejumlah kasus diikuti
reaksi asma tipe lambat. Pada reaksi asma tipe cepat, alergen akan terikat pada IgE yang
menempel pada sel mast dan terjadi degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut
mengeluarkan preformed mediator seperti histamin, protease, dan newly generated mediator
seperti leukotrien, prostaglandin, dan PAF yang menyebabkan kontraksi otot polos bronkus,
sekresi mukus, dan vasodilatasi. Sedangkan pada reaksi asma tipe lambat biasanya timbul
antara 6-9 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan pengerahan serta aktivasi eosinofil,
sel T CD4+, neutrofil, dan makrofag.

10
Proses lain yang terjadi pada patomekanisme asma ialah inflamasi kronik. Sel yang
terlibat dan teraktivasi pada proses inflamasi kronik antara lain limfosit T, eosinofil, makrofag,
sel mast, dan sel epitel. Limfosit T mengaktivasi sitokpi IL-3, IL-4, IL-5, IL-13, dan GM-CSF.
IL-4 menginduksi Th0 ke arah Th 2 yang kemudian bersama dengan IL-13 mengsintesis IgE.
Sedangkan IL-3, IL-5, dan GM-CSF berperan dalam maturasi, aktivasi, dan perpanjangan
hidup eosinofil. Eosinofil sendiri mengandung granul protein yang toksik terhadap saluran
napas. Sel mast merupakan reseptor IgE dengan afinitas tinggi. Cross-linking reseptor IgE
dengan factors pada sel mast mengaktifkan sel mast. Sel mast yang teraktivasi mengeluarkan
preformed mediator seperti histamin, protease, dan newly generated mediator seperti
leukotrien, prostaglandin, dan PAF yang menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, sekresi
mukus, dan vasodilatasi. Makrofag merupakan sel terbanyak yang terdapat pada organ
pernapasan baik pada orang normal maupun pada penderita asma. Makrofag menghasilkan
leukotrien, PAF, dan sitokin yang berperan dalam proses inflamasi. Selain itu, makrofag
berperan dalam proses aiirway remodelling melalui proses sekresi growth promoting factor.
Proses inflamasi kronik pada asma akan menimbulkan kerusakan jaringan yang secara
fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing process) yang menghasilkan
perbaikan dan pergantian sel-sel mati/rusak dengan sel-sel yang baru. Hal ini akan
menghasilkan perubahan struktur yang mempunyai mekanisme yang sangat kompleks.
Mekanisme tersebut sangat heterogen dengan proses yang sangat dinamis dari diferensiasi,
migrasi,maturasi, dediferensiasi sel sebagaimana deposit jaringan penyambung dengan diikuti
oleh restitusi/pergantian atau perubahan struktur dan fungsi yang dipahami sebagai fibrosis dan
peningkatan otot polos serta kelenjar mukus. Pada proses airway remodelling, perubahan yang
terjadi adalah hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas, hipertrofi dan hiperplasia
kelenjar mukus, penebalan membran retikular basal, pembuluh darah matriks ekstraseluler
fungsinya meningkat, perubahan struktur parenkim, dan peningkatan fibrogenic growth factor
menjadikan terbentuknya fibrosis. Konsekuensi dari terjadinya airway remodelling adalah
peningkatan gejala dan tanda asma seperti hiperaktifitas jalan napas, masalah
distensibilitas/pergegan jalan napas, dan obstruksi jalan napas. Proses airway remodelling
sendiri merupakan fenomena sekunder dari proses infalamasi yang terjadi pada asma.

11
Gambar 3.1 Mekanisme inflamasi akut dan kronik pada asma dan proses remodelling

Gambar 3.2 Hubungan antara inflamasi akut, inflamasi kronik, dan airway remodelling dengan
gejala klinis

Diagnosis asma bronkiale ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan


pemeriksaan penunjang. Pada pasien a.n Ny. J penegakkan diagnosis dibahas sebagai berikut
Tabel 3.1. Pembahasan Anamnesis.
Kasus Teori
Anamnesis Anamnesis 3,4
Pasien mengalami sesak napas sejak Bersifat episodik, seringkali reversibel
malam disertai dengan bunyi mengi Lebih dari satu gejala berikut ini
saat bernafas (wheezing, dispnea, batuk, dada terasa
berat), terutama pada dewasa

12
Pasien tidak bisa tidur karena sesak Gejala memburuk pada malam hari
nafas atau pada awal pagi hari
Saat subuh, sesak semakin Gejala bervariasi dalam hal waktu dan
bertambah dan pasien datang ke internsitas
IGD RSKD Balikpapan. Gejala dipicu oleh infeksi virus (flu),
Sesak nafas tersebut membuat olahraga, paparan alergen, perubahan
pasien sulit untuk menyelesaikan musim, atau iritan seperti asap, atau
satu kalimat (mampu berbicara bau yang menyengat.
beberapa kata). Sesak nafas Respon terhadap pemberian
dirasakan membaik bila pasien bronkodilator
duduk. Riwayat penyakit lainnya :
Tiga hari SMRS, pasien - Riwayat Keluarga (atopi)
mengeluhkan batuk berdahak - Riwayat alergi/atopi
kekuningan yang juga disertai nyeri - Penyakit lain yang memberatkan
tenggorokan - Perkembangan penyakit dan
Sesak nafas pertama kali dan pengobatan
didiagnosa asma pada usia 20
tahun, saat pasien bekerja di
perusahaan kayu plywood dan
jarang menggunakan masker
Serangan asma terjadi jika pasien
kehabisan obat asmanya. Serangan
dirasakan sekali seminggu yang
menyebabkan pasien terbangun
pada malam hari. Sesak nafas
dirasakan memberat apabila bekerja
berat, terkena dingin, dan debu.
Dengan menggunakan skor
kuisioner ACT pasien mempunyai
skor 13.
Pasien memiliki alergi terhadap
kacang, ketan, dan udang.

13
Ayah pasien memiliki riwayat
sering bersin di pagi hari. Ibu pasien
juga memiliki alergi terhadap udang.

Pasien ini merupakan pasien asma yang rutin berobat dan kontrol rutin di poli paru.
Pasien pertama kali didiagnosa asma pada saat usia 20 tahun. Hal ini sesuai dengan tipe asma
dengan late onset. Asma memiliki beberapa fenotipe yang berhubungan dengan onset
munculnya asma dan karakteristik penderita asma antara lain asma alergi, asma non-alergi,
asma late onset, asma dengan fixed airflow limitation, dan asma dengan kegemukan. Asma
alergi merupakan jenis asma yang paling mudah dikenali. Biasanya dimulai pada usia anak-
anak. Berhubungan dengan riwayat penyakit sebelumnya dan/atau riwayat alergi dalam
keluarga seperti eksema, alergi, rhinitis, alergi makanan atau obat. Pasien dengan tipe asma ini
berespon baik terhadap terapi kortikosteroid inhalasi. Selain itu terdapat pula asma non-alergi
yaitu asma yang terjadi tanpa adanya riwayat alergi. Biasanya pasien dengan tipe asma ini,
berespon kurang baik terhadap pengobatan kortikosteroid inhalasi. Asma late onset merupakan
asma yang onset awl terjadinya pada usia dewasa, kebanyakan dialami oleh wanita. Biasanya
diperlukan kortikosteroid inhalasi dengan dosis lebih tinggi. Secaa relatif, susah disembuhkan
dengan terapi kortikosteroid inhalasi. Jenis asma lainnya adalah asma dengan airflow
limitation, asma ini biasanya terjadi pada asma yang telah terjadi cukup lama dan berhubungan
dengan proses airway remodelling yang telah disebutkan sebelumnya. Asma dengan obesitas
merupakan gejala pernapasan menonjol yang terdapat pada orang dengan obesitas. Asma pada
kehamilan, biasanya sepertiga dari pasien asma akan memiliki perbaikan pada saat kehamilan,
sepertiga mengalami perbaikan, dan sepertiga lainnya akan tetap. Obat-obatan seperti
salbutamol, kortikosteroid inhalasi, dan teofilin bersifat aman dan tidak ada kontraindikasi pada
saat pasien menyusui.
Selain itu, terjadinya asma juga dipengaruhi oleh faktor risiko yang dimiliki oleh pasien.
Pada pasien ini faktor risiko yang dimiliki adalah alergi makanan yang dimiliki oleh pasien dan
riwayat alergi yang ada pada keluarga. Faktor risiko sendiri terdiri antara lain :
1. Faktor pejamu
a. Atopi/alergi
Hal yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum diketahui bagaimana cara
penurunannya. Penderita dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat
yang juga alergi. Dengan adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena
penyakit asma bronkial jika terpajan dengan faktor pencetus.

14
b. Hipereaktivitas bronkus
Saluran napas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun iritan.
c. Jenis kelamin
Pria merupakan resiko untuk asma pada anak. Sebelum usia 14 tahun, prevalensi asma
pada anak laki-laki adalah 1,5-2 kali dibanding anak perempuan. Tetapi menjelang
dewasa perbandingan tersebut lebih kurang sama dan pada masa menopause perempuan
lebih banyak.
d. Ras/etnik
e. Obesitas
Obesitas atau peningkatan body mass index (BMI), merupakan faktor resiko asma.
Mediator tertentu seperti leptin dapat mempengaruhi fungsi saluran napas dan
meningkatkan kemungkinan terjadinya asma. Meskipun mekanismenya belum jelas,
penurunan berat badan penderita obesitas dengan asma, dapat memperbaiki gejala
fungsi paru, morbiditas dan status kesehatan.
2. Faktor lingkungan
a. Alergen dalam rumah (tungau, debu rumah, spora jamur, kecoa, serpihan kulit binatang
seperti anjing, kucing, dan lain-lain).
b. Alergen luar rumah (serbuk sari, dan spora jamur)
3. Faktor lain
a. Alergen makanan
Contoh: susu, telur, udang, kepiting, ikan laut, kacang tanah, coklat, kiwi, jeruk, bahan
penyedap, pengawet dan pewarna makanan.
b. Alergen obat-obatan tertentu
Contoh: penisilin, sefalosporin, golongan beta laktam lainnya, eritosin, tetrasiklin,
analgesik, antipiretik, dan lain-lain.
c. Bahan yang mengiritasi
Contoh:parfum, household spray, dan lain-lain.
d. Ekspresi emosi berlebih
Stress/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain itu dapat
memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala asma yang timbul harus
segera diobati, penderita asma yang mengalami stress/gangguan emosi perlu diberi
nasihat untuk menyelsaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya belum diobati
maka gejala asmanya lebih sulit diobati.

15
e. Asap rokok bagi perokok aktif maupun pasif
Asap rokok berhubungan dengan penurunan fungsi paru. Pajanan asap rokok, sebelum
dan sesudah kelahiran berhubungan dengan efek berbahaya yang dapat diukur seperti
meningkatkan resiko terjadinya gejala serupa asma pada usia dini.
f. Polusi udara dari luar dan dalam ruangan
g. Exercise-induced asthma
Pada penderita yang kambuh asmanya ketika melakukan aktivitas/olahraga tertentu.
Sebagaian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktiviatas
jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan
asma. Serangan asma karena aktivitas biasanya terjadi segera setelah selesai aktivitas
tersebut.
h. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma.
Atmosfer yang mendadak dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan asma.
Serangan kadang-kadang berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musin
kemarau, musim bunga (serbuk sari beterbangan)
i. Status ekonomi
Faktor lingkungan dan faktor lainnya dapat menjadi pencetus serangan asma dan dapat
menginduksi respon inflamasi akut. Asma dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis
dan syaraf otonom. Jalur imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi
hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi alergi timbul
pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibodi IgE abnormal dalam
jumlah besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi, antibodi IgE terutama melekat pada
permukaan sel mast pada interstisial paru, yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan
bronkus kecil. Bila sesorang menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang
tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel
mast dan menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai macam mediator.
Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah histamin, leukotrien, faktor kemotaktik, eosinofil
dan bradikinin. Hal itu akan menimbulkan efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil,
sekresi mukus yang kental dalam lumen bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus,
sehingga menyebabkan inflamasi saluran nafas.
Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran nafas terjadi segera yaitu 10-15 menit
setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons terhadap mediator
sel mast terutama histamin yang bekerja langsung pada otot polos bronkus. Pada fase lambat,

16
reaksi terjadi setelah 6-8 jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel
inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast dan antigen precenting cell (APC) merupakan sel-
sel kunci fdalam patogenesis asma.
Pada jalur syaraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen,
makrofag alveolar, nervus vagus, dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal
menyebabkan reflek bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan
makrofag akan menbuat epitel saluran napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk
ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel bronkus
oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi tanpa
melibatkan sel mast, misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut, dan SO2.
Pada keadaan tersebut, reaksi asma terjadi melalui reflek syaraf. Ujung syaraf eferen vagal
mukosa yang terangsang menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin
A, dan Calcitonin Gen-Related Peptid (CGRP). Neuropeptida itulah yang menyebabkan
terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir, dan aktifasi
sel-sel inflamasi.

Tabel 3.2. Pembahasan Pemeriksaan Fisik.


Kasus Teori
Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan Fisik 3
Pasien komposmentis Tekanan darah biasanya meningkat,
Tanda vital pada pasien saat di IGD frekuensi pernapasan dan denyut
Tekanan darah 130/70 mmHg, nadi nadi juga meningkat
80x/menit, frekuensi nafas Perubahan cara bernapas dan terjadi
32x/menit,dan suhu 36,9C perubahan bentuk anatomi toraks.
Pada pemeriksaan kepala, bibir Pada inspeksi dapat ditemukan:
tampak mulai pucat sedikit kebiruan napas cepat sampai sianosis,
Pada pemeriksaan thorax, inspeksi kesulitan bernapas, menggunakan
dinding dada tampak retraksi (+), otot napas tambahan di leher, perut,
pada auskultasi suara nafas vesikuler dan dada.
dengan ekspirasi memanjang, Pada auskultasi dapat ditemukan
wheezing +/+, ronki -/- mengi, ekspirasi diperpanjang.
Ekstremitas, akral hangat dan CRT <
2s

17
Diagnosis asma didasari oleh gejala yag bersifat episodik, gejala berupa batuk, sesak
napas, mengi, rasa berat di dada, dan variabiliti yang berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang
baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
fungsi paru akan lebih meningkatkan nilai diagnostik. Pada anamnesis ditemukan riwayat
penyakit/gejala sebagai berikut :
1. Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan
2. Gejala berupa batuk, sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak.
3. Gejala timbul atau memburuk terutama malam/dini hari
4. Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
5. Respons terhadap pemberian bronkodilator
6. Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit :
Riwayat keluarga (atopi)
Riwayat alergi
Penyakit lain yang memberatkan
Perkembangan penyakit dan pengobatan
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan fisik dapat normal. Kelainan
pemeriksaan fisik yang paling sering ditemukan adalah mengi pada auskultasi. Pada keadaan
serangan, kontraksi otot polos saluran napas, edema, dan hipersekresi dapat menyumbat
saluran napas, maka sebagai kompensasi penderita bernapas pada volume paru yang lebih besar
untuk mengatasi menutupnya saluran napas. Hal itu meningkatkan kerja pernapasan dan
menimbulkan tanda klinis berupa sesak napas, mengi, dan hiperinflasi. Pada serangan ringan,
mengi hanaya terdengar pada waktu ekspirasi paksa. Walaupun demikian, mengi dapat tidak
terdengar (silent chest) pada serangan yang sangat berat, tetapi biasanya disertai gejala lain
misalnya sianosis, gelisah, sukarbicara, takikardi, hiperinflasi, dan penggunaan oto bantu
napas. Untuk meningkatkan nilai diagnostik dapat dilakukan pemeriksaan faal paru yang
digunakan untuk menilai obstruksi jalan napas, reversibiliti kelainan faal paru, dan variabiliti
faal paru. Banyak parameter dan metode untuk menilai faal paru tetapi yang telah diterima
secara luas (standar) dan mungkin dilakukan adalah pemeriksaan spirometri dan arus puncak
ekspirasi (APE). Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan nilai
diagnosis adalah uji provokasi bronkus dan pengukuran status alergi. Uji provokasi bronkus
dilakukan pada pasien dengan gejala asma dan memiliki faal paru normal. Uji provokasi
bronkus memiliki sensitifitas tinggi namun memiliki spesifitas rendah. Hasil positif pada uji
provokasi bronkus dapat terjadi pada asma, rhinitis alergi, berbagai gangguan dengan

18
penyempitan jalan napas seperti PPOK, bronkiektasis, dan fibrosis kistik. Pengukuran status
alergi dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan uji kulit atau penguuran IgE spesifik serum. Uji
tersebut mempunyai nilai kecil untuk mendiagnosis, tetapi membantu mengidentifikasi faktor
risiko.pencetus sehingga dapat dilakukan kontrol lingkungan dalam penatalaksanaan. Pada
pemeriksaan rontgen thoraks pada pasien asma biasanya memperlihatkan gambaran normal.

Tabel 3.3. Pembahasan Pemeriksaan Penunjang dan Diagnosis.


Kasus Teori
Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan pemeriksaan Hasil spirometri menunjukkan
spirometri, rontgen thoraks, uji adanya obstruksi jalan napas jika
provokasi bronkus, dan pengukuran nilai rasio VEP1/KVP <75% atau
status alergi VEP1 < 80% nilai prediksi
Nilai APE >20% dinyatakan sebagai
asma
Uji provokasi bronkus menunjukkan
hasil positif
Pengukuran status alergi dapat
dilakukan prick test dan ditemukan
alergen spesifik yang dapat
menimbulkan reaksi alergi pada
pasien.
Diagnosis Diagnosis 2,4
Asma Bronkiale eksaserbasi akut derajat Asma bronkiale eksaserbasi akut derajat
serangan sedang serangan sedang berdasarkan kondisi
pasien saat datang ke IGD

Parameter objektif yang digunakan untuk menilai asma adalah pemeriksaan faal paru
menggunakan spirometri.Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan
kapasitas vital paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui prosedur yang
standar. Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai yang
reproducible dan acceptable. Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/KVP < 75%
atau VEP1 < 80% nilai prediksi. Manfaat pemeriksaan spirometri dalam diagnosis asma :

19
Obstruksi jalan napas diketahui dari nilai rasio VEP1/KVP < 75% atau VEP1 <80% nilai
prediksi
Reversibiliti, yaitu perbaikan VEP1 15% secara spontan, atau setelah inhalasi
bronkodilator seperti salbutamol 200-400 ug inhalasi(uji bronkodiator), atau setelah
pemberian bronkodilator oral 10-14 hari, atau setelah pemberian kortikosteroid
(inhalasi/oral) 2 minggu terjadi peningkatan kadar VEP1>12% dan >200 ml dari nilai dasar
menunjukkan tes yang positif. Reversibiliti ini dapat membantu diagnosis asma.
Menilai derajat berat asma.
Apabila tidak mempunyai spirometri dapat digunakan alat peak expiratory flow rate meter
(PEFR) untuk mengukur arus puncak ekspirasi (APE). Penentuaan dengan PEFR daapat
digunakan untuk menilai reversibilitas dan variabilitas. Penilaian reversibilitas dengan terjadi
perbaikan 20% atau 60L/menit setelah diberikan bronkodilator. Penilaian variasi diurnal dapat
dilakukan dengan meminta pasien mengukur APE pagi dan malam (untuk mendapatkan nilai
terendah dan tertinggi) setiap hari selama 1-2 minggu, kemudiaan dihitung variasinya. Bilai
nilai variasi diurnal APE>20% (selama 2 minggu) maka akan mendukung diagnosis asma.
Pemeriksaan gejala-gejala dan uji faal paru berguna untuk mengklasifikasikan penyakit
menurut berat ringannya. Klasifikasi itu sangat penting untuk penatalaksanaan asma. Berat
ringan asma ditentukan oleh berbagai faktor seperti gambaran klinis sebelum pengobatan
(gejala, eksaserbasi, gejala malam hari, pemberian obat inhalasi -2 agonis, dan uji faal paru)
serta obat-obat yang digunakan untukmengontrol asma (jenis obat, kombinasi obat, dan
frekuensi pemakaian obat). Asma dapat diklasifikasikan menjadi intermitten, persisten ringan,
persisten sedang, dan persisten berat (Tabel 3.3.1). Selain klasifikasi derajat asma berdasarkan
frekuensi serangan dan obat yang digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan
berat ringannya serangan. Global initiative for asthma (GINA) melakukan pembagian derajat
serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan pemeriksaan
laboratorium. Derajat serangan menetukan terapi yang akan diterapkan. Klasifikasi tersebut
adalah asma serangan ringan, asma serangan sedang, dan asma serangan berat (tabel 3.3.2).
Dalam melakukan penilaian berat ringannya serangan asma, tidak harus lengkap untuk setiap
pasien. Penggolongannya harus diartikan sebagai prediksi dalam menangani pasien asma yang
datang ke fasilitas kesehatan dengan keterbatasan yang ada.

Tabel 3.3.1. Klasifikasi derajat asma berdasarkan gejala pada orang dewasa

20
Derajat Asma Gejala Gejala Malam Faal Paru
intermitten Bulanan 2 kali sebulan APE 80%
Gejala <1x/minggu, VEP1 80% nilai
tanpa gejala di luar prediksi APE 80%
serangan nilai terbaik
Serangan singkat Variabilitas APE
<20%
Persisten ringan Mingguan >2 kali sebulan APE >80%
Gejala >1x/minggu, VEP1 80% nilai
tetapi <1x/hari prediksi APE 80%
Serangan dapat nilai terbaik
menggangu aktivitas Variabilitas APE 20-
dan tidur 30%
Persisten sedang Harian >2 kali sebulan APE 60-80%
Gejala setiap hari -VEP1 60-80% nilai
Serangan menggangu prediksi APE 60-
aktivitas dan tidur 80% nilai terbaik
Bronkodilator setiap -Variabilitas APE
hari >30%
Persisten berat Kontinyu Sering APE 60%
Gejala terus menerus VEP1 60% nilai
Sering kambuh prediksi APE 60%
aktivitas fisik terbatas nilai terbaik
Variabilitas APE
>30%

Tabel 3.3.2. Klasifikasi Derajat Beratnya Serangan Asma


Ringan Sedang Berat
Aktivitas Dapat berjalan Jalan terbatas Sukar berjalan
Dapat berbaring Lebih suka duduk Duduk
membungkuk ke
depan
Bicara Beberapa kalimat Kalimat terbatas Kata demi kata

21
Kesadaran Mungkin terganggu Biasanya terganggu Biasanya
terganggu
Frekuensi napas Meningkat meningkat Sering >30
kali/menit
Retraksi otot-otot Umumnya tidak ada Kadang kala ada ada
bantu napas
Mengi Lemah sampai sedang Keras Keras
Frekuensi nadi <100 100-120 >120
Pulsus paradoksus Tidak ada (<10mmHg) Mungkin ada (10- Sering ada (>25
25mmHg) mmHg)
APE sesudah >80% 60-80% <60%
bronkodilator (%
prediksi)
PaCO2 <45mmHg <45mmHg <45mmHg
SaCO2 >95% 91-95% <90%

Tabel 3.4. Pembahasan Diagnosa Banding


Diagnosa banding Gejala dan Tanda
Batuk kronik yang mengeluarkan sputum 3 bulan dalam setahun
Bronkitis Kronik untuk sedikitnya 2 tahun. Gejalanya dimulai dengan batuk pagi
hari, lama kelmaan disertai mengi dan menurunnya kemampuan
kegiatan jasmani.
pasien berumur lebih dari 35 tahun
perokok berat.
stadium lanjut, datap ditemukan sianosis dan tanda-tanda cor
pulmonal.

22
Emfisema Paru Sesak merupakan gejala utama emfisema.
Batuk dan mengi jarang menyertainya
Pasien biasanya kurus.
Tidak pernah ada masa remisi, pasien selalu sesak pada kegiatan
jasmani.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan dada kembung,, hipersonor,
pekak hati menurun, dan suara napas sangat lemah.
Pemeriksaan foto dada menunjukkan hiperinflasi.
Gagal jantung Gagal jantung dikenal dengan nama asma kardial, dan bila timbul
pada malam hari disebut paroxyismal nokturnal dyspnea.
Terbangun pada malam hari karena sesak, tetapi sesak
menghilang atau berkurang bila duduk.
Pada anamnesis dijumpai hal-hal yang memperberat atau
memperingan gejala gagal jantung.
pemeriksaan fisik ditemukan kardiomegali dan edema paru.

Tabel 3.5. Pembahasan Terapi.


Kasus Teori 3,4
Pasien didiagnosis dengan asma Penilaian keparahan eksaserbasi
bronkiale eksaserbasi akut derajat seharusnya berdasarkan pada derajat
serangan sedang, tatalaksana yang sesak nafas, laju pernafasan, denyut
diberikan pasien ini adalah nadi, saturasi oksigen dan fungsi
Terapi awal : paru, sambil memulai terapi short-
O2 nasal kanul 3 lpm acting beta2 agonist (SABA) dan
Nebulizer ventolin : NaCl 0,9% terapi oksigen
Nebulizer combivent : NaCl 0,9% Ke ICU jika terdapat penurunan
Dexametason inj. 2 ampul kesadaran atau silent chest. Saat
IVFD RL 500 cc + Aminofilin 1 ampul pemindahan pasien, inhalasi SABA,
15 tpm ipratropium bromide, terapi oksigen
Nebulizer combivent : NaCl/ 4-6 jam terkendali dan kortikosteroid
Dexametason inj. 2 x 2 ampul sistemik jika diperlukan
Ranitidin inj. 2 x 1 ampul

23
Ceftriaxone 1 x 1 gram Terapi seharusnya dimulai dengan
Terapi saat Rawat Jalan : pemberian SABA berulang (dengan
Seretide 2 x 1 MDI atau spacer), atau pemberian
Berotec MDI dini kortikosteroid oral, dan
Codein 10 mg, CTM 2 mg, pemberian oksigen terkendali jika
mucohexin (2 x 1) tersedia. Penilaian ulang respons
gejala terhadap terapi, saturasi
oksigen dan fungsi paru harus
dilakukan tiap 1 jam
Sebelum pasien dipulangkan, harus
direncanakan tatalaksana
selanjutnya, termasuk pemulaian
terapi controller atau penaikan dosis
dari terapi controller untuk 2-4
minggu, dan penurunan reliever
sesuai penggunaan sebutuhnya.

Tujuan jangka panjang dari manajemen asma adalah untuk mendapatkan kontrol gejala
pada pasien dengan baik sehingga dapat membuat pasien dapat beraktivitas dengan normal dan
untuk meminimalisir kemungkinan terjadinya eksaserbasi di masa yang akan datang, hambatan
aliran nafas paten, dan efek samping penggunaan obat. Manajemen asma yang dapat dilakukan
dapat dalam bentuk terapi non farmakologis dan juga terapi farmakologis. Tatalaksanan non
farmakologis yang dapat dilakukan antara lain :
a. Penghentian kebiasaan merokok dan paparan alergen
b. Aktivitas fisik
c. Penghindaran paparan alergen kerja
d. Penghindaran obat-obatan yang dapat memicu asma
e. Penghindaran alergen dalam ruangan
f. Diet sehat dan Penurunan Berat badan
g. Kontrol stress emosional
h. Penghindaran alergen dan polutan di luar ruangan
i. Penghindaran makanan alergen dan makanan berkimiawi
Sedangkan tatalaksana farmakologis menggunakan obat-obatan yang dibagi menjadi
beberapa kategori yaitu :

24
a. Controller medication, yaitu obat yang digunakan untuk pemeliharaan asma secara
reguler. Obat ini menurunkan inflamasi jalan nafas, mengendalikan gejala dan
menurunkan risiko eksaserbasi dan penurunan fungsi paru
Tabel 3.5.1 Obat Controller asma
Nama generik Nama dagang Sediaan Keterangan
Golongan anti-inflamasi non-steroid
Kromoglikat MDI Tidak tersedia
lagi
Nedokromil MDI Tidak tersedia
lagi
Golongan anti-inflamasisteroid
Budesonid Pulmicort MDI,
inflammide Turbuhaler
Flutikason Flixotide MDI Tidak tersedia
lagi
Beklometason Becotide MDI
Golongan -agonis kerja panjang
Prokaterol Meptin Sirup tablet,
MDI*
Bambuterol Bambec Tablet
Salmeterol Serevent MDI
Klenbuterol Spiropent Sirup, tablet
Golongan obat lepas lambat / lepas terkendali
Terbutalin Kapsul
Salbutamol Volmax Tablet
Teofilin Tablet salut
Golongan antileukotrin
Zafirlukas Accolade Tablet -ada
montelukas - belum ada
Golongan kombinasi steroid + LABA
Budesonid + Symbicort Turbuhaler
form oterol seretide MDI
Flukason +
salme terol

b. Reliever (rescue) medication, yaitu obat yang digunakan untuk meredakan gejala asma,
misalnya saat perburukan atau eksaserbasi, atau saat terjadi brokonstriksi terkait olahraga.

Tabel 3.5.2 Obat Reliever asma

25
Nama Nama Sediaan Keterangan
generik dagang
Golongan -agonis (kerja pendek)
Terbutalin Bricasma Sirup, tablet, 0,05-0,1
Nairet turbuhaler sirup, mg/kgBB/kali
Forasma tablet, ampul sirup,
tablet
Salbutamol Ventolin Sirup, tablet, MDI 0,05-0,1
mg/kgBB/kali
Orsiprenalin Alupent Sirup, tablet, MDI
Heksorenalin Tablet
Fenoterol Berotec MDI
Golongan xantin
Teofilin Sirup, tablet

c. Add-on therapy untuk pasien dengan asma berat, mulai dipertimbangkan jika pasien
mengalami gejala persisten dan eksaserbasi yang terus menerus walaupun sudah diberikan
terapi secara optimal.
Untuk hasil yang lebih baik, terapi pemeliharaan asma harian harus dimulai secepat
mungkin setelah diagnosis asma dibuat, berdasarkan bukti klinis adalah sebagai berikut:
a. Pemberian ICS dosis rendah dini pada pasien asma akan meningkatkan fungsi paru lebih
baik dibandingkan jika pemberiannya dilakukan sudah muncul gejala selama 2-4 tahun.
Jika telah berlangsung dalam waktu tersebut, dosis ICS lebih tinggi dibutuhkan, sedangkan
fungsi paru sudah sangat lebih menurun.
b. Pasien yang tidak mengonsumsi ICS dan mengalami eksaserbasi akan mengalami
penurunan fungsi paru yang lebih hebat daripada pasien yang telah mulai menggunakan
ICS
c. Pada pasien dengan asma akibat pekerjaan, penghindaran dari agen iritan dan terapi dini
dapat meningkatkan kemungkinan untuk sembuh.
Tatalaksana Lainnya
a. Imunoterapi Alergen (GINA, 2017)
Terapi alergen spesifik dapat menjadi pilihan jika alergi memerankan peran utama
dalam asma, misalnya pada asma dengan rinokonjungtivitis alergika. Terdapat dua
pendekatan utama, yaitu: 1) subcutaneous immunotherapy (SCIT) dan 2) sublingual
immunotherapy (SLIT). Studi saat ini kebanyakan dilakukan pada asma ringan, dan
sebagian lainnya.

26
SCIT: pada pasien dengan sensitisasi alergi, SCIT terkait dengan penurunan gejala dan
kebutuhan pengobatan, dan penurunan responsivitas terhadap alergen. Efek samping
dari terapi ini adalah reaksi anafilaksis yang dapat mengancam jiwa.
SLIT: Metode ini sangat bermanfaat pada dewasa dan anak-anak. Sebuah setudi SLIT
pada rumah dengan tungau debu pada pasien dengan asma dan rinitis alergi menunjukan
penurunan bermakna penggunaan ICS pada SLIT dosis tinggi. Efek samping yang
terjadi akibat metode ini antara lain adalah gejala oral dan gastrointestinal ringan.
b. Vaksinasi (GINA, 2017)
Influenza berkontribusi terhadap terjadinya eksaserbasi akut asma, dan pasien dengan
asma sedang-berat disarankan untuk mendapatkan vaksinasi influenza setiap tahun.
Akan tetapi, vaksinasi ini tidak dapat menurunkan frekuensi atau keparahan serangan
asma.
c. Termoplasti Bronkial (GINA, 2017)
Terapi ini menjadi terapi potensial pada pasien dewasa dengan asma yang tetap tidak
terkontrol walaupun dengan regimen terapi yang optimal. Terapi ini dilakukan melalui
tiga bronkoskopi terpisah dengan gelombang radiofrekuensi lokal. Pada follow up
jangka waktu sedang memang pasien yang diterapi dengan metode ini akan mengalami
penurunan jumlah eksaserbasi. Akan tetapi, butuh studi yang lebih lama lagi untuk
menjadi dasar bukti rekomendasi metode ini.
d. Vitamin D (GINA, 2017)
Beberapa studi cross-sectional telah memperlihatkan bahwa kadar serum vitamin D
rendah terkait dengan penurunan fungsi paru, peningkatan frekuensi eksaserbasi dan
penurunan respons kortikosteroid. Akan tetapi, sampai saat ini suplementasi vitamin D
belum bisa dikaitkan secara kuat dengan peningkatan kontrol asma atau penurunan
eksaserbasi.

27
Gambar 3.3 Tahapan Tatalaksana Farmakologis Asma Bronkial (GINA, 2017)

Saat pengobatan asma dimulai, pengobatan selanjutnya berdasarkan siklus yaitu menilai,
menentukan terapi, dan menilai respon pengobatan.

Langkah 1 : SABA jika dibutuhkan dengan tanpa penggunaan controller. Hal ini
diindikasikan jika gejala jarang, tidak ada terbangun di malam hari karena asma, tidak ada
kejadian eksaserbasi selama 1 tahun terakhir, dan nilai FEV1 normal. Pilihan lainnya adalah
pemberian reguler ICS dosis rendah untuk pasien dengan risiko eksaserbasi

Langkah 2 : Reguler ICS dosis rendah ditambah SABA jika dibutuhkan


Pilihan lainnya : LTRA kurang efektif dibandingkan ICS; ICS/LABA menunjukkan
peperbaikan gejala yang lebih cepat dan nilai FEV1 dibandingkan penggunaan ICS tunggal
namun harga lebih mahal dan kemungkinan eksaserbasi sama. Untuk asma yang murni karena
alergi musiman, mulai segera penggunaan ICS kemudian hentikan penggunaanya 4 minggu
setelah berakhirnya pajanan.
Langkah 3 : Dosis rendah ICS/LABA sebagai terapi rutin ditambah SABA jika
dibutuhkan, atau ICS/formoterol rutin dan terapi pelega
Untuk pasien dengan 1 kejadian eksaserbasi dalam 1 tahun terakhir, dosis rendah
BDP/formoterol atau BUD/formoterol rutin dan pemberian pelega lebih efektif daripada
ICS/LABA rutin dengan SABA jika diperlukan.
Pilihan lainnya : Dosis medium ICS, untuk pasien dewasa dengan rhinitis dan alergi pada
tungau dengan eksaserbasi mesikupun telah diberikan ICS, pertimbangkan tambahan
imunoterapi sublingual (SLIT), dengan syarat FEV1 >70% nilai prediksi.

28
Langkah 4 : Dosis rendah ICS/formoterol rutin dana terapi pelega, atau dosis medium
ICS/LABA sebagai terapi rutin ditambah SABA jikadiperlukan
Pilihan lainnya : tambahkan tiotropium inhalasi untuk pasien usia 12 tahun dengan riwayat
eksaserbasi; Dosis tinggi ICS/LABA, namun lebih banyak efek samping dan sedikit
keuntungan;tambahan controller seperti LTRA atau teofilin lepas lambat (dewasa); untuk
pasien dewasa dengan rhinitis dan alergi tungau dengan eksaserbasi meskipun menggunakan
ICS, pertimbangkan tambahan SLIT, dengan syarat FEV1 >70% nilai prediksi.
Langkah 5 : Rujuk untuk pemeriksaan ahli dan terapi tambahan (add-on treatment).
Terapi tambahan meliputi tiopropium inhaler untuk pasien dengan riwayat eksaserbasi (usia
12 tahun), anti IgE (omalizumab) untuk asma alergi berat usia 6 tahun, dan anti IL-5
(mepolizumab SC atau reslizumab IV) untuk asma eosinofilik berat (usia 12 tahun). Terapi
berdasarkan hasil sputum, jika tersedia, meningkatkan hasil pengobatan.
Pilihan lainnya : Beberapa pasien mendapat manfaat dari penggunaan dosis rendah ICS namun
efek samping jangka panjang sistemik umumnya terjadi.
Pasien seharunya dievaluasi 1-3 bulan setelah memulai pengobatan dan setiap 3-12 bulan
setelahnya. Setelah mengalami eksaserbasi, kontrol kembali kurang lebih 1 minggu setelahnya.
Pertimbangan dilakukannya step-up pada pengobatan asma adalah jika setelah pengobatan
menggunakan controller selama 2-3 bulan namun masih ada gejala dan eksaserbasi. Sebelum
melakukan step-up, terdapat beberapa hal yang memerlukan evaluasi yaitu teknik penggunaan
inhaler, ketaatan penggunaan obat, pengendalian faktor risiko, dan faktor komorbid yang
dimiliki pasien. Sedangkan step-down dapat dilakukan jika gejala asma terkontrol dengan baik
dalam 3 bulan pengobatan, hal ini dilakukan untuk menemuka terapi terendah yang dapat
mengontrol gejala dan eksaserbasi pada pasien serta meminimalisir efek samping dari
pengobatan asma. Tingkat kontrol asma dapat dinilai menggunakan Asthma Control Test
(ACT), jika hasilnya menunjukkan 25 maka asma telah terkontrol dengan baik, jika 20-24 asma
terkontrol sebagian, dan jika hasilnya 19 maka asma masih belum terkontrol.

29
Gambar 3.4 Asthma Control Test (ACT)
Indikasi merujuk ke fasilitas kesehatan lebih lanjut:
1) Kesulitan mengonfirmasi diagnosis asma
2) Asma persisten tidak terkontrol dan eksaserbasi frekuent
3) Adanya faktor risiko asma yang mengancam nyawa
4) Bukti yang besar adanya risiko atau efek samping terapi
5) Gejala eksaserbasi tidak terkontrol walaupun dengan ICS dosis sedang dengan teknik yang
benar dan kepatuhan yang cukup
6) Curiga efek samping terapi
Tatalaksana yang dapat dilakukan jika terjadi asma eksaserbasi akut:
1. Eksaserbasi adalah perburukan akut atau subakut dalam hal gejala dan fungsi paru dari
keadaan pasien biasanya, dan dalam beberapa kasus, gejala klinis pertama dari asma.
Istilah episode, serangan, atau asma berat akut sering digunakan, tapi pengertiannya
berbeda.
2. Pasien dengan peningkatan risiko kematian terkait asma seharusnya dikenali, dan
diperhatikan lebih dalam. Berikut ini adalah ciri-ciri pasien dengan risiko kematian akibat
asma:
a. Pernah mengalami asma berat yang hampir fatal dan membutuhkan intubasi dan
ventilasi
30
b. Pernah dirawat inap atau perawatan IGD akibat asma dalam waktu 12 bulan terakhir
c. Sedang tidak menggunakan ICS, kepatuhan rendah dengan ICS
d. Saat ini menggunakan atau baru saja menghentikan oral kortikosteroid
e. Penggunaan SABA yang berlebihan, terutama jika menggunakan lebih dari 1
canister/bulan
f. Kurangnya rencana penanganan asma yang dibuat
g. Pernah mengalami penyakit psikiatrik atau masalah psikososial
h. Pasien asma dengan alergi makanan
3. Tatalaksana perburukan dan eksaserbasi asma adalah bagian dari tatalaksana mandiri dan
berkelanjutan dari pasien dengan sebuah rencana tertulis, melalui tatalaksana dari gejala
yang lebih berat dalam fasilitas kesehatan tingkat awal, instalasi gawat darurat dan dalam
rumah sakit (GINA, 2017).
4. Semua pasien seharusnya diberikan tatalaksana tertulis sesuai dengan derajat asma
sehingga dapat memudahkan mengenali dan menangani asma (GINA, 2017).
a) Rencana tatalaksana seharusnya termasuk kapan dan bagaimana mengganti obat
controller dan reliever, penggunaan kortikosteroid oral, dan akses ke perawatan medis
jika gejala tidak berespons dengan terapi.
b) Pasien yang mengalami perburukan cepat seharusnya diarahkan untuk pergi ke instalasi
medis akur atau untuk berobat ke dokter segera,
c) Rencana tatalaksana dapat berdasar pada perubahan gejala atau PEF (pada dewasa).
5. Pada pasien dengan gejala eksaserbasi akut pada fasilitas kesehatan tingkat pertama,
berikut adalah tatalaksananya (GINA, 2017):
a) Penilaian keparahan eksaserbasi seharusnya berdasarkan pada derajat sesak nafas, laju
pernafasan, denyut nadi, saturasi oksigen dan fungsi paru, sambal memulai terapi short-
acting beta2 agonist (SABA) dan terapi oksigen
b) Pemindahan segera ke fasilitas pelayanan kesehatan akut jika ditemuai adanya tanda
tanda eksaserbasi, atau ke ICU jika terdapat penurunan kesadaran atau silent chest. Saat
pemindahan pasien, inhalasi SABA, ipratropium bromide, terapi oksigen terkendali dan
kortikosteroid sistemik jika diperlukan
c) Terapi seharusnya dimulai dengan pemberian SABA berulang (dengan MDI atau
spacer), atau pemberian dini kortikosteroid oral, dan pemberian oksigen terkendali jika
tersedia. Penilaian ulang respons gejala terhadap terapi, saturasi oksigen dan fungsi paru
harus dilakukan tiap 1 jam
d) Ipratropium bromide direkomendasikan hanya jika terdapat eksaserbasi berat

31
e) Pemberian MgSO4 intravena seharusnya dipertimbangkan pada pasien dengan
eksaserbasi berat yang tidak berespons terhadap terapi awal
f) Foto thorax tidak direkomendasikan secara rutin
g) Keputusan mengenai hospitalisasi seharusnya berdasarkan atas status klinis, fungsi
paru, respons terhadap terapi, riwayat eksaserbasi dan kemampuan untuk
mengendalikan asma di rumah
h) Sebelum pasien dipulangkan, harus direncanakan tatalaksana selanjutnya, termasuk
pemulaian terapi controller atau penaikan dosis dari terapi controller untuk 2-4 minggu,
dan penurunan reliever sesuai penggunaan sebutuhnya.
i) Antibiotik seharusnya tidak secara rutin diberikan pada eksaserbasi asma

32
Gambar 3.5 Tatalaksana Asma Eksaserbasi Akut di Fasilitas Kesehatan Pertama
(GINA, 2017)

33
Gambar 3.6 Tatalaksana Asma Eksaserbasi Akut di Fasilitas Medis Akut (IGD)
(GINA, 2017)

6. Rencanakan pemantauan segera setelah setiap eksaserbasi meliputi (GINA, 2017):


a) Penilaian ulang pengendalian gejala, faktor risiko untuk eksaserbasi selanjutnya
b) Untuk banyak pasien, berikan terapi controller regular untuk menurunkan risiko untuk
eksaserbasi lebih lanjut. Lanjutkan peningkatan dosis controller untuk 2-4 minggu
c) Pantau terus teknik inhalasi dan kepatuhan

34
BAB IV
KESIMPULAN

Asma bronkiale merupakan penyakit yang banyak ditemui pada pelayanan kesehatan
terutama pelayanan kesehatan tingkat pertama. Diagnosis dan penatalaksanaan yang tepat pada
pasien asma dapat membantu menurunkan angka kekambuhan dan juga angka kematian yang
dapat disebabkan oleh asma.
Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan dalam
kasus ini sudah cukup sesuai dengan teori yang direkomendasikan dalam penegakkan diagnosis
dan penatalaksanaan asma bronkiale namun masih diperlukannya pemeriksaan berkala
spirometri pada pasien asma yang datang untuk kontrol ke poli.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Rengganis I. Diagnosis and Management of Bronchial Asthma. Journal of the Indonesian


Medical Association. 2011;58(11).
2. Global Initiative for Asthma (GINA). Global strategy for asthma management and
prevention. 2017, Accessed October 2017. Available from: http://www.ginasthma.
org/2017-gina-report-global-strategy-for-asthma-management-and-prevention/
3. Global Initiative for Asthma (GINA). Pocket Guide for Asthma Management and
prevention. 2017, accessed Oktober 2017. Available from: http://www.ginasthma.org
4. Barnes PJ. Asthma. In: Kasper DL et al, editors. Harrisons Principles of Internal Medicine.
19thed. McGraw Hills;2015. P. 1669-81.
5. Dewan Asma Indonesia. Pedoman Tatalaksana Asma. Jakarta:2011.
6. Lockey RF. Defining Phenotypes: Expanding Our Understanding of Asthma Challenges in
Treating a Heterogeneous Disease. Accessed March 2016. Available from:
http://www.worldallergy.org/UserFiles/file/NHLBI%20Asthma%20Phenotypes-
Lockey.pdf
7. Corren J. asthma phenotypes and endotypes an evolving paradigm for classification. Discov
Med. 2013. 15(83):243-249.

36

You might also like