Professional Documents
Culture Documents
Definisi
Asma merupakan inflamasi kronis pada jalan nafas di mana banyak sel dan
elemen seluler yang berperan. Inflamasi kronik tersebut berhubungan dengan
hiperresponsif sehingga menyebabkan episode mengi, sesak nafas, chest
tightness dan batuk yang rekurens terutama pada malam hari atau awal pagi hari.
Episode ini biasanya berhubungan dengan obstruksi jalan nafas pada paru yang
menyebar, namun variabel dan seringkali reversibel secara spontan maupun
dengan pengobatan.
Gambaran fisiologis utama asma yaitu adanya obstruksi jalan nafas yang
ditandai dengan terbatasnya aliran udara ekspiratori. Gambaran patologis pada
asma adalah inflamasi jalan nafas, kadang kadang disertai dengan perubahan
struktural. Asma memiliki komponen genetik dan lingkungan yang signifikan
Karakteristik pada asma yang biasa ditemukan adalah atopi (adanya prick
test positif atan respon klinis terhadap allergen lingkungan yang umum),
hiperresposif jalan nafas (kecenderungan jalan nafas untuk menyempit secara
berlebihan sebagai respon terhadap pencetus yang tidak memiliki efek ataupun
memiliki sedikit efek pada individu normal), dan pengukuran sensitisasi alergi
lain.
Asma merupakan masalah yang mendunia dan mengenai sekitar 300 juta
orang dengan prevalensi global sebanyak 1 18 % yang menurun pada Amerika
Utara dan Eropa Barat serta meningkat pada Afrika, Amerika Latin, dan sebagian
Asia. WHO memperkirakan 15 juta disability-adjusted life years (DALYs) hilang
setiap tahun karena asma, kira-kira sebanyak 1% dari total tanggungan penyakit
global. Kematian pada penderita asma diperkirakan sekitar 250.000 orang tiap
tahunnya.
Faktor yang mempengaruhi resiko asma dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu
faktor yang menyebabkan perkembangan asma yaitu faktor penjamu (biasanya
genetik), dan faktor yang mencetuskan gejala asma yaitu faktor lingkungan.
Faktor Penjamu (host factor)
1. Genetik. Asma memiliki komponen yang diturunkan dan banyak gen yang
terlibat dalam pathogenesis asma dan gen tersebut berbeda untuk seitap
kelompok etnik. Gen yang berhubungan pada perkembangan asma
difokuskan pada 4 daerah mayor, yaitu : produksi antibodi IgE yang
allergen spesifik (atopi), ekspresi hiperresponsif jalan nafas,
pembentukkan mediator inflamasi (sitokin, kemokin, dan growth factor)
dan penentuan rasio antara respon imun Th1 dan Th2. faktor genetik selain
berpengaruh terhadap perkembangan asma juga berpengaruh terhadap
respon terhadap pengobatan.
2. Obesitas. Obesitas merupakan faktor resiko asma. Mediator tertentu
seperti leptin, dapat mempengaruhi fungsi jalan nafas dan meningkatkan
kecenderungan perkembangan asma.
3. Jenis kelamin, Jenis kelamin pria merupakan faktor resiko asma pada
anak anak, terutama sebelum usia 14 tahun (2: 1). Ketika bertambah
dewasa, resiko asma lebih banyak pada wanita. Alasan perbedaan yang
berhubungan dengan jenis kelamin belum jelas. namun, ukuran paru
paru pria lebih kecil daripada wanita pada saat lahir tetapi lebih besar saat
dewasa.
MEKANISME ASMA
A. Patogenesis Asma
Patogenesis asma banyak dipelajari dari autopsi pada pasien yang
meninggal karena penyakit asma yang berat. Gambaran secara umum tidak
hanya oklusi pada saluran pernafasan karena plak mukus, tetapi
didapatkan juga sel-sel radang seperti neutrofil, eosinofil, dan limfosit.
Selain hal itu di atas terjadi juga hipertrofi dan hyperplasia otot polos.
Akhir-akhir ini proses inflamasi juga telah dikonfirmasi pada
biopsi bronkial yang berasal dari pasien dengan asma serangan ringan.
Walaupun sel neutrofil tidak ditemukan secara dominan pada kasus ini,
eosinofil, sel mast dan limfosit ditemukan bervariasi pada saluran
trakeobronkial. Ditemukan juga deposisi kolagen pada membran basalis
dan jejas pada sel.
Sel-T Helper dapat dibagi menjadi sel Th-1, yang memproduksi IL-
2 dan interferon gamma yang berperan pada cell-mediated immunity, dan
sel Th-2 yang memproduksi IL-4, IL-5, IL-10 dan IL-13. Hipotesis higiene
beranggapan bahwa bayi cenderung ke fenotipe Th-2 dan membutuhkan
paparan dini untuk berkembangnya Th-1 dan menyeimbangkan respon
terhadap paparan antigen yang akan datang. Paparan awal terhadap
penyakit campak (measles), hepatitis A, dan bahkan paparan sewaktu di
dalam kandungan mungkin menginduksi perubahan Th-2 menjadi Th-1,
tetapi besarnya perubahan ini dipengaruhi oleh faktor genetik. Sel Th-1
bersifat protektif sedangkan Th-2 bersifat menimbulkan penyakit alergi,
termasuk asma.
B. Patofisiologi Asma
Secara klasik serangan asma akut dibagi menjadi fase awal dan
fase lanjut. Dalam waktu beberapa menit setelah paparan terhadap suatu
pencetus terjadi aktivasi reseptor pada sel mast yang menginduksi
degranulasi dan pelepasan histamine, leukotrien dan bronkokonstriktor
yang lainnya.
Sel-sel inflamasi. Pola inflamasi khas pada penyakit alergi juga terlihat
pada asma, dengan aktivasi mast cell, meningkatnya eosinofil yang teraktivasi dan
meningkatnya jumlah reseptor sel T seperti NK sel dan Th2 yang mengeluarkan
mediator yang berkontribusi terhadap gejala gejala yang terjadi. Sel sel
struktural pada jalan nafas juga memproduksi mediator inflamasi, dan
berkontribusi terjadap persistensi inflamasi pada jalur yang bervariasi.
Mediator Inflamasi. Lebih dari 100 mediator inflamasi dikenali berperan dalam
asma dan memediasi respon inflamasi kompleks pada jalan nafas.
Asma Nokturnal.
Beberapa pasien dengan asma berat dapat terjadi keterbatasan aliran udara
yang tidak reversibel dengan terapi. Hal ini dapat mengindikasikan adanya
perubahan struktur jalan nafas pada asma kronik.
Alasan mengapa pada beberapa pasien asma susah ditangani dan tidak
sensitif terhadap efek glukokortikoid sistemik kurang dapat dimengerti. Hal hal
yang biasanya berhubungan adalah kurangnya kepatuhan terhadap pengobatan
dan masalah psikologis serta psikiatris. Walaupun demikian, faktor genetik juga
dapat berkontribusi pada beberapa kasus. Pada pasien pasien ini terjadi kesulitan
untuk mengobati sejak onset asma terjadi. Selain itu penutupan jalan nafas dapat
mengakibatkan terperangkapnya udara dan hiperinflasi. Walaupun secara
patologis, mirip dengan bentuk asma lain, pada pasien pasien ini terjadi
peningkatan neutrofil, keterlibatan jalan nafas yang lebih kecil, dan lebih banyak
perubahan struktural.
Merokok dan Asma.
Inflamasi
Pencetus
Gejala
DIAGNOSIS KLINIS
Riwayat penyakit/gejala :
Diagnosis lain yang perlu dipikirkan adalah batuk yang diinduksi oleh ACE
inhibitor, GERD, postnasal drip, sinusitis kronis dan disfungsi pita suara.
Hilangnya gejala post olah raga yang cepat setelah penggunaan 2 agonist
atau pencegahan dengan inhalasi 2 agonist mendukung diagnosis asma. Pada
anak anak, asma dapat terjadi hanya saat olah raga. Untuk menegakkan
diagnosis ini, dapat dilakukan tes lari selama 8 menit.
PEMERIKSAAN FISIK
Tanda klinis yang lain dapat hanya muncul pada pemeriksaan saat periode
simtomatik. Hiperinflasi terjadi karena pasien bernafas dengan volume paru yang
lebih besar untuk meningkatkan retraksi outward jalan nafas dan menjaga patensi
jalan nafas yang lebih kecil ( yang menyempit karena kontraksi otot polos
pernafasan, edema , dan hipersekresi mucus). Kombinasi hiperinflasi dan
keterbatasan aliran nafas pada eksaserbasi asma meningkatkan kerja pernafasan.
Spirometri
Untuk pasien dengan gejala yang konsisten dengan asma namun dengan
fungsi paru normal, perlu dilakukan pengukuran responsivitas jalan nafas dengan
direct airway challenging seperti methacholine inhalasi dan histamine atau
indirect airway challenge seperti mannitol inhalasi ataupun challenge dengan olah
raga. Pengukuran ini merefleksikan sensitivitas jalan nafas terhadap faktor yang
dapat menyebabkan gejala asma, dan kadang kadang disebut trigger atau
pencetus dan hasil tes biasanya diekspresikan sebagai dosis/konsentrasi provokatif
mengakibatkan penurunan FEV1 (biasanya 20). Test ini sensitif untuk asma
namun memiliki spesifisitas yang rendah. Hal ini berarti hasil negative dapat
mengekslusi diagnosis persisten asma pada pasien yang tidak mendapatkan
inhalasi glukosotikoid namun hasil positif tidak selalu berarti pasien memiliki
asma. Hal ini terjadi karena hiperresponsif juga rejadi pada rhinitis alergi dan
keterbatasan aliran udara lain seperti pada fibrosis kistik, bronkiektasis, dan
PPOK.
Karena hubungan yang kuat antara asma dan rhinitis alergi, adanya alergi,
penyakit alergi dan rhinitis alergi meningkatkan probabilitas diagnosis asma pada
pasien dengan gejala respiraoti. Adanya alergi pada pasien asma (tes kulit dengan
allergen atau IgE serum) dapat membantu identifikasi faktor resiko yang
mengakibatkan gejala asma.
DIAGNOSIS BANDING
Anamnesa dan pemeriksaan fisik yang cermat dengan adanya obstruksi aliran
udara yang reversibel dan variabel (spirometri) dapat mengkonfirmasi diagnosis
asma. Kategori berikut ini perlu juga dipikirkan, yaitu :
Asma Okupasional
PPOK memiliki ciri khas yaitu keterbatasan aliran udara yang tidak
reversibel dan biasanya progresif serta berhubungan dengan respon inflamasi
abnormal terhadap partikel atau gas tertentu. Namun individu asma yang terpapar
gas seperti rokok dapat juga berkembang menjadi keterbatasan aliran udara yang
menetap seperti PPOK. Dan bila telah terjadi hal ini, akan sulit dibedakan dengan
asma.
KLASIFIKASI ASMA
Etiologi
Aktivitas fisik dapat menjadi pencetus gejala asma namun pasien tidak
boleh menghindari aktivitas fisik. Gejala dapat dicegah dengan menggunakan 2
agonist inhalasi kerja cepat sebelum olah raga.
Pasien dengan asma sedang hingga berat dapat dianjurkan untuk divaksin
terhadap influenza setiap tahun.
Pasien yang tidak bisa dikontrol asmanya dengan step 4 dapat dipikirkan
sebagai asma yang sulit diobati. Pada pasien ini dapat dilakukan kontrol yang
sebisa mungkin dengan sedikit pembatasan terhadap aktivitas fisik sehari hari.
Pengobatan inhalasi lebih dipilih karena penghantaran obat yang langsung
ke jalan nafas sehingga dapat mencapai efek terapi dengan efek samping yang
minimal. Penggunaan inhaler juga harus diajarkan kepada pasien sehingga pasien
dapat mengontrol asmanya dengan baik.
Secara tipikal, pasien perlu datang satu hingga tiga bulan setelah
kunjungan pertama dan tiga bulan sekali setelahnya. Setelah eksaserbasi, follow
up harus dilakukan dalam 2 minggu hingga 1 bulan.
Pada setiap kunjungan dapat ditanyakan hal hal seperti pada daftar di bawah ini
:
Menyesuaikan pengobatan
Monitoring harus tetap dilakukan setelah kontrol tercapai karena asma merupakan
penyakit yang variabel. Pengobatan harus selalu disesuaikan dengan respon
ataupun tingkat kontrol pasien.
Sedatif
Obat mukolitik (dapat memperburuk batuk)
Fisioterapi dada (dapat meningkatkan ketidaknyamanan pasien)
Hidrasi dengan volume yang besar
Antibiotic (kecuali ada tanda tanda infeksi seperti pneumonia atau
sinusitis)
Epinefrin / adrenalin
Monitor Respon Terapi
Evaluasi gejala dan peak flow diperlukan untuk memonitor respon terapi. Pada
setting rumah sakit, dapat dilakukan pengukuran saturasi oksigen. Pemeriksaan
analisa gas darah dapat dilakukan pada pasien yang dicurigai hipoventilasi,
kelelahan, distress yang berat, atau PEF diprediksi 30 50%.
Global Initiative For Asthma. 2008. Pocket Guide For Asthma Management and
Prevention. Medical Communication Resources, Inc.
Global Initiative For Asthma. 2008. Global Strategy For Asthma Management
And Prevention. Medical Communication Resources, Inc.
ASMA
Pembimbing :
Oleh :
BANDUNG
2009