You are on page 1of 38

ASMA

Definisi

Asma merupakan inflamasi kronis pada jalan nafas di mana banyak sel dan
elemen seluler yang berperan. Inflamasi kronik tersebut berhubungan dengan
hiperresponsif sehingga menyebabkan episode mengi, sesak nafas, chest
tightness dan batuk yang rekurens terutama pada malam hari atau awal pagi hari.
Episode ini biasanya berhubungan dengan obstruksi jalan nafas pada paru yang
menyebar, namun variabel dan seringkali reversibel secara spontan maupun
dengan pengobatan.

Gambaran fisiologis utama asma yaitu adanya obstruksi jalan nafas yang
ditandai dengan terbatasnya aliran udara ekspiratori. Gambaran patologis pada
asma adalah inflamasi jalan nafas, kadang kadang disertai dengan perubahan
struktural. Asma memiliki komponen genetik dan lingkungan yang signifikan

Karakteristik pada asma yang biasa ditemukan adalah atopi (adanya prick
test positif atan respon klinis terhadap allergen lingkungan yang umum),
hiperresposif jalan nafas (kecenderungan jalan nafas untuk menyempit secara
berlebihan sebagai respon terhadap pencetus yang tidak memiliki efek ataupun
memiliki sedikit efek pada individu normal), dan pengukuran sensitisasi alergi
lain.

Saat ini, manifestasi klinis asma gejala, gangguan tidur,terbatasnya


aktivitas sehari hari, gangguan fungsi paru, dan penggunaan obat obatan
daruratdapat dikontrol dengan pengobatan yang tepat. Ketika asma terkontrol,
rekurensi menjadi rendah dan eksaserbasi yang berat jarang sekali terjadi.

Prevalensi, Morbiditas, dan Mortalitas

Asma merupakan masalah yang mendunia dan mengenai sekitar 300 juta
orang dengan prevalensi global sebanyak 1 18 % yang menurun pada Amerika
Utara dan Eropa Barat serta meningkat pada Afrika, Amerika Latin, dan sebagian
Asia. WHO memperkirakan 15 juta disability-adjusted life years (DALYs) hilang
setiap tahun karena asma, kira-kira sebanyak 1% dari total tanggungan penyakit
global. Kematian pada penderita asma diperkirakan sekitar 250.000 orang tiap
tahunnya.

Asma merupakan penyebab utama absensi dari pekerjaan di berbagai


negara seperti Australia, Swedia, Inggris, dan Amerika Serikat. Asma juga
memepengaruhi tingkat kehadiran di sekolah. Pada penderita asma biaya
perawatan di emergensi lebih mahal dibandingkan dengan perawatan yang
direncanakan untuk mengontrol asmanya.

Di Indonesia prevalensi asma berkisar 5-7%. Dimana asma merupakan


sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal itu tergambar
dari data survei kesehatan rumah tangga (SKRT) di berbagai propinsi Indonesia.
Survei kesehatan rumah tangga (SKRT) 1986 menunjukkan asma menduduki
urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan bersama-sama dengan bronkitis kronik
dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai
penyebab kematian ke-4 di Indonesia atau sebesar 5,6%. Tahun 1995, prevalensi
asma di seluruh Indonesia sebesar 13/1000, dibandingkan bronkitis kronik
11/1000 dan obstruksi paru 2/1000.

Faktor yang mempengaruhi perkembangan dan ekspresi asma

Faktor yang mempengaruhi resiko asma dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu
faktor yang menyebabkan perkembangan asma yaitu faktor penjamu (biasanya
genetik), dan faktor yang mencetuskan gejala asma yaitu faktor lingkungan.
Faktor Penjamu (host factor)

1. Genetik. Asma memiliki komponen yang diturunkan dan banyak gen yang
terlibat dalam pathogenesis asma dan gen tersebut berbeda untuk seitap
kelompok etnik. Gen yang berhubungan pada perkembangan asma
difokuskan pada 4 daerah mayor, yaitu : produksi antibodi IgE yang
allergen spesifik (atopi), ekspresi hiperresponsif jalan nafas,
pembentukkan mediator inflamasi (sitokin, kemokin, dan growth factor)
dan penentuan rasio antara respon imun Th1 dan Th2. faktor genetik selain
berpengaruh terhadap perkembangan asma juga berpengaruh terhadap
respon terhadap pengobatan.
2. Obesitas. Obesitas merupakan faktor resiko asma. Mediator tertentu
seperti leptin, dapat mempengaruhi fungsi jalan nafas dan meningkatkan
kecenderungan perkembangan asma.
3. Jenis kelamin, Jenis kelamin pria merupakan faktor resiko asma pada
anak anak, terutama sebelum usia 14 tahun (2: 1). Ketika bertambah
dewasa, resiko asma lebih banyak pada wanita. Alasan perbedaan yang
berhubungan dengan jenis kelamin belum jelas. namun, ukuran paru
paru pria lebih kecil daripada wanita pada saat lahir tetapi lebih besar saat
dewasa.

Faktor Lingkungan (environmental factor)

1. Allergen. Walaupun allergen telah diketahui dengan baik bias


menyebabkan eksaserbasi asma namun peran spesifiknya dalam
perkembangan asma belum diketahui sepenuhnya. Beberapa allergen yang
biasanya mencetuskan asma diantaranya adalah : tungau, binatang berbulu
(anjing, kucing, tikus), kecoa, jamur, ragi, serbuk sari.
2. Infeksi. Ketika bayi, beberapa virus berhubungan dengan fenotipe
asmatik. RSV dan virus parainfluenza menghasilkan pola gejala termasuk
bronkhiolitis yang parallel dengan gambaran klinis asma pada anak anak.
Sekitar 40% anak yang dirawat di RS karena RSV tetap mengi atau
mendapatkan asma hingga setelah masa anak anak. Namun, di sisi lain,
beberapa bukti juga mengindikasikan bahwa infeksi pernafasan, termasuk
campak dan bahkan RSV saat awal kehidupan dapan memproteksi
terhadap asma. Infeksi parasit tidak memproteksi terhadap asma namun
infeksi dengan cacing tambang dapat menurunkan resiko.
Hygiene hypothesis asma menjabarkan bahwa infeksi pada awal
kehidupan mempengaruhi perkembangan sistem imun pada jalur non-
allergenik sehingga menurunkan resiko asma dan penyakit alergi lainnya.
Walaupun hipotesis ini sedang diselidiki, mekanisme ini dapat
menjelaskan hubungan antara jumlah anggota keluarga, urutan lahir,
perawatan di tempat penitipan anak, dan resiko asma. Sebagai contoh,
anak yang memiliki kakak dan anak yang dirawat di penitipan anak
memiliki resiko infeksi yang lebih besar namun memiliki proteksi
terhadap perkembangan penyakit alergi, termasuk asma.
Interaksi antara atopi dan infeksi virus merupakan hubungan yang
kompleks di mana status atopi dapat mempengaruhi respon jalan nafas
bawah terhadap infeksi viral dan infeksi viral dapat mempengaruhi
perkembangan sensitisasi alergi. interaksi ini dapat terjadi ketika individu
terpapar secara simultan oleh allergen dan virus.
3. Occupational sensitizer. Sekitar 300 substansi berhubungan dengan asma
okupasional yang didefinisikan sebagai asma yang disebabkan oleh
paparan zat yang berada di lingkungan kerja. Substansi substansi ini
termasuk molekul kecil yang reaktif seperti isosianat, iritan yang dapat
mengakibatkan perubahan responsivitas jalan nafas, beberapa imunogen
seperti garam platinum dan produk tumbuh tumbuhan serta produk
biologis hewan dapat menstimulasi produksi IgE.
Asma okupasional terutama terjadi pada orang dewasa dan occupational
sensitizer mengakibatkan 1 di antara 10 orang yang terkena asma pada usia
kerja. Asma juga merupakan gangguan pernafasan yang paling sering pada
negara industri. Pekerjaan yang berhubungan dengan resiko tinggi asma
okupasional termasuk peternak dan agrikultural, melukis, pekarya
kebersihan, dan pabrik plastik. Sebagian besar asma okupasional dimediasi
oleh imunologis dan memiliki periode laten beberapa bulan hingga
beberapa tahun setelah onset terpapar. Reaksi alergi yang dimediasi IgE
dan respon allergi yang dimediasi sel termasuk di dalamnya.
Paparan yang sangat tinggi terhadap iritan yang terhirup dapat
mengakibatkan irritant induced asthma yang dapat terjadi walaupun
pada orang non atopi. Atopi dan merokok dapat meningkatkan sensitisasi
okupasional namun skrining individu terhadap atopi memiliki nilai yang
terbatas dalam pencegahan asma okupasional. Metode pencegahan asma
okupasional yang paling penting adalah eliminasi atau menurunkan
paparan terhadap occupational senisitizer.
4. Merokok. Merokok berhubungan dengan akselerasi penurunan fungsi
paru pada orang dengan asma, meningkatkan beratnya asma, dan dapat
menurunkan respon obat inhalasi dan glukokortikoid sistemik, serta
menurunkan kecenderungan asma untuk terkontrol.
Paparan terhadap rokok prenatal dan setelah lahir berhubungan dengan
resiko yang lebih besar terhadap gejala seperti asma pada awal masa anak
anak. Pada ibu yang merokok saat kehamilan diketahui dapat
mempengaruhi perkembangan paru anak dan meningkatkan resiko 4 kali
lipat terhadap penyakit dengan mengi pada tahun pertama kehidupan.
Paparan terhadap rokok (perokok pasif) meningkatkan resiko penyakit
salurah nafas bawah pada bayi dan anak anak.
5. Polusi udara outdoor/indoor. Peran polusi outdoor dalam menyebabkan
asma masih merupakan kontroversi. Anak anak yang dibesarkan pada
lingkungan yang terpolusi memiliki penurunan fungsi paru namun
hubungannya dengan perkembangan asma belum diketahui. Outbreak
eksaserbasi asma terjadi ketika terdapat peningkatan polusi udara dan hal
ini mungkin berhubungan dengan peningkatan kadar polutan ataupun
allergen spesifik secara menyeluruh. Walaupun demikian, peran polutan
terhadap perkembangan asma masih belum diketahui dengan jelas,
Hubungan yang sama juga terjadi pada polutan indoor seperti gas dan asap
dari bahan bakar pemanas ataupun pendingin, dan infestasi kecoa.
6. Diet. Hubungan diet terutama pada ASI berhubungan dengan
perkembangan asma. Pada bayi yang mengkonsumsi susu formula atau
protein kedelai memiliki insidensi yang lebih tinggi terhadap penyakit
mengi pada masa awal anak anak dibandingkan dengan bayi yang
disusui dengan ASI.
Beberapa data juga mengindikasikan karakterisik diet barat seperti
meningkatnya konsumsi makanan yang diproses dan menurunnya
antioksidan (buah buahan dan sayuran), meningkatnya asam lemak tidak
jenuh n-6 (margarine dan minyak sayur), dan menurunnya asam lemak
tidak jenuh n-3 (minyak ikan) berkontribusi terhadap peningkatan penyakit
asma dan atopi lainnya.

MEKANISME ASMA

A. Patogenesis Asma
Patogenesis asma banyak dipelajari dari autopsi pada pasien yang
meninggal karena penyakit asma yang berat. Gambaran secara umum tidak
hanya oklusi pada saluran pernafasan karena plak mukus, tetapi
didapatkan juga sel-sel radang seperti neutrofil, eosinofil, dan limfosit.
Selain hal itu di atas terjadi juga hipertrofi dan hyperplasia otot polos.
Akhir-akhir ini proses inflamasi juga telah dikonfirmasi pada
biopsi bronkial yang berasal dari pasien dengan asma serangan ringan.
Walaupun sel neutrofil tidak ditemukan secara dominan pada kasus ini,
eosinofil, sel mast dan limfosit ditemukan bervariasi pada saluran
trakeobronkial. Ditemukan juga deposisi kolagen pada membran basalis
dan jejas pada sel.

Proses siklus inflamasi pada asma dimulai dengan adanya


sensitisasi karena inhalasi alergen. Sel dendritik yang merupakan antigen
precenting cells (sel penyaji antigen) akan mengolah antigen yang masuk
dan selanjutnya bergerak ke regional nodus limf dimana antigen
diperkenalkan ke tempat limfosit Y dan B. Sel B diinduksi untuk memulai
membentuk IgE oleh IL-4 dan IL-13 yang disekresi oleh sel T. IgE
kemudian berikatan pada reseptor IgE mast sel pada saluran nafas.

Pada saat paparan ulang, IgE yang berikatan dengan kompleks


mast sel dan alergen akan mengaktivasi sel. Aktivasi ini diikuti dengan
dilepaskannya histamin, leukotrien, dan sitokin yang merupakan media
fisiologis untuk mempertahankan proses inflamasi dan asma.

Di antara sitokin-sitokin yang, beberapa sitokin, terutama IL-4, IL-


5, granulocute macrophage colony stimulating factor (GM-CSF)
membawa eosinofil ke paru-paru, merangsang mediator mediator seperti
major basic protein (MBP) yang dapat membuat jejas mukosa bronkus
menginduksi bronkospasme, dan mempertahankan keadaan inflamasi.

Mekanisme predisposisi pada individu tertentu untuk berkembang menjadi


asma tidak diketahui. Akhir-akhir ini terdapat bukti yang mendukung
hipotesis higiene. Teori ini mengemukakan bahwa paparan lingkungan
pada masa awal-awal kehidupan mengatur berkembangnya respons imun
yang secara klinik bermanifestasi alergi dan asma.

Sel-T Helper dapat dibagi menjadi sel Th-1, yang memproduksi IL-
2 dan interferon gamma yang berperan pada cell-mediated immunity, dan
sel Th-2 yang memproduksi IL-4, IL-5, IL-10 dan IL-13. Hipotesis higiene
beranggapan bahwa bayi cenderung ke fenotipe Th-2 dan membutuhkan
paparan dini untuk berkembangnya Th-1 dan menyeimbangkan respon
terhadap paparan antigen yang akan datang. Paparan awal terhadap
penyakit campak (measles), hepatitis A, dan bahkan paparan sewaktu di
dalam kandungan mungkin menginduksi perubahan Th-2 menjadi Th-1,
tetapi besarnya perubahan ini dipengaruhi oleh faktor genetik. Sel Th-1
bersifat protektif sedangkan Th-2 bersifat menimbulkan penyakit alergi,
termasuk asma.

Faktor herediter pada pasien asma sangat kompleks, dengan lebih


dari 100 gen yang terlihat. Walaupun faktor atopi berperan banyak, tetapi
tidak semua pasien memperlihatkan.

B. Patofisiologi Asma
Secara klasik serangan asma akut dibagi menjadi fase awal dan
fase lanjut. Dalam waktu beberapa menit setelah paparan terhadap suatu
pencetus terjadi aktivasi reseptor pada sel mast yang menginduksi
degranulasi dan pelepasan histamine, leukotrien dan bronkokonstriktor
yang lainnya.

Kontraksi otot polos dan edema mukosa menyebabkan obstruksi saluran


nafas yang bertanggung jawab terhadap gejala asma. Fase ini biasanya
pulih dalam waktu 1 jam.

Puncak gejala ke 2 dimulai setelah 1-6 jam setelah terpapar sampai


24 jam yang merupakan respon lambat (fase lanjut). Gejala yang muncul
sering lebih berat dan sel eosinofil yang paling bertanggung jawab, tetapi
sel-sel yang lain juga terlihat.

Bronkokonstriksi akut dan edema jalur nafas, diikuti oleh formasi


plak mukus, bertanggung jawab terhadap peningkatan resisten aliran
udara. Terjadi penyempitan hampir sebagiain besar saluran nafas, terutama
bronkus kecil 2-5 mm. Kapasitas residu fungsional sering meningkat
karena waktu ekspirasi memanjang. Faktor ini meningkatkan kerja otot
nafas selama serangan akut.

Penyempitan saluran nafas ternyata tidak merata di seluruh bagian paru.


Ada daerah-daerah yang kurang mendapat ventilasi, sehingga darah
kapiler yang melalui daerah tersebut mengalami hipoksemia. Berbeda
dengan pasien penyakit paru obstruksi kronik, pasien-pasien asma
melakukan kompensasi dengan cara hiperventilasi. Jadi walaupun
hipoksemia ringan sampai sedang sering ditemukan, sebagian besar
pasien-pasien ini mengalami hipokapnia selama serangan. Jika terjadi
hiperkapnia merupakan tanda ancaman respiratory arrest.

Selama perjalanan penyakitnya, penderita asma tetap mengalami


proses inflamasi pada saluran nafas walaupun pada pasien ini tidak
ditemukan gejala klinik atau asimptomatik. Proses inflamasi kronik
tersebut menyebabkan desposisi jaringan ikat dan penebalan membran
basalis. Hal ini berlanjut terus sehingga dapat terjadi obstruksi yang
ireversibel.

Asma merupakan penyakit inflamasi pada jalan nafas yang melibatkan


beberapa sel inflamatoris dan mediator mediator inflamasi sehingga
mengakibatkan perubahan patofisiologis. Walaupun belum dimengerti secara
menyeluruh, pola inflamasi ini berhubungan dengan hiperresponsivitas jalan nafas
dan gejala asma.

Inlamasi Jalan Nafas pada Asma

Spektrum klinis asma sangat variabel dan melibatkan beberapa pola


seluler yang berbeda, namun adanya inflamasi jalan nafas merupakan hal yang
konsisten. Inflamasi tersebut terjadi secara persisten walaupun gejala yang terjadi
bersifat episodik dan hubungan antara beratnya serangan asma dan intensitas
inflamasi belum ditegakkan secara jelas. Inflamasi ini meliputi semua jalan nafas
namun efek fisiologisnya lebih menonjol pada bronkus ukuran sedang. Pola
inflamasi yang terjadi sama pada semua bentuk klinis asma, alergi maupun non
alergi, atau diinduksi aspirin, dan pada semua kelompok umur.

Sel-sel inflamasi. Pola inflamasi khas pada penyakit alergi juga terlihat
pada asma, dengan aktivasi mast cell, meningkatnya eosinofil yang teraktivasi dan
meningkatnya jumlah reseptor sel T seperti NK sel dan Th2 yang mengeluarkan
mediator yang berkontribusi terhadap gejala gejala yang terjadi. Sel sel
struktural pada jalan nafas juga memproduksi mediator inflamasi, dan
berkontribusi terjadap persistensi inflamasi pada jalur yang bervariasi.
Mediator Inflamasi. Lebih dari 100 mediator inflamasi dikenali berperan dalam
asma dan memediasi respon inflamasi kompleks pada jalan nafas.

Perubahan Struktural pada Asma. Selain terjadi respon inflamasi, perubahan


struktural yang khas juga terjadi pada pasien asma. Perubahan-perubahan ini
berhubungan dengan beratnya penyakit dan dapat menyebabkan penyempitan
jalan nafas yang ireversibel.
Penyempitan jalan nafas merupakan kejadian akhir yang mengakibatkan
gejala dan perubahan fisiologis pada asma. Beberapa faktor berkontribusi
terhadap perkembangan penyempitan jalan nafas pada asma.

Hiperresponsivitas Jalan Nafas. Hal ini merupakan abnormalitas fungsional


yang khas pada asma yang mengakibatkan penyempitan jalan nafas sebagai
respon terhadap stimulus yang tidak berpengaruh pada individu normal.
Penyempitan ini berhubungan dengan inflamasi dan perbaikan jalan nafas yang
reversibel dengan terapi. Namun mekanisme hiperresponsivitas jalan nafas ini
belum dapat dimengerti secara menyeluruh.
Mekanisme Khusus

Eksaserbasi Akut. Perburukan asma yang berlangsung sementara dapat


terjadi sebagai akibat paparan faktor resiko asma atau mencetuskan asma, seperti
olah raga, polutan udara, dan perubahan musim. Perburukan yang lebih lama
dapat terjadi dan biasanya disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan atas oleh
virus terutama rhinovirus dan RSV atau paparan allergen yang meningkatkan
inflamasi pada saluran nafas bawah yang dapat menetap selama beberapa hari
atau minggu.

Asma Nokturnal.

Mekanisme yang terjadi pada perburukan asma di malam hari belum


diketahui secara menyeluruh namun dapat disebabkan oleh irama sirkadian
hormon yang berada dalam sirkulasi seperti epinefrin, kortisol dan melatonin,
serta mekanisme neural seperti kolinergik. Peningkatan inflamasi jalan nafas pada
malam hari telah dilaporkan. Hal ini dapat mencerminkan adanya penurunan
mekanisme anti inflamasi endogen.

Keterbatasan Aliran Udara Ireversibel.

Beberapa pasien dengan asma berat dapat terjadi keterbatasan aliran udara
yang tidak reversibel dengan terapi. Hal ini dapat mengindikasikan adanya
perubahan struktur jalan nafas pada asma kronik.

Asma yang sulit ditangani.

Alasan mengapa pada beberapa pasien asma susah ditangani dan tidak
sensitif terhadap efek glukokortikoid sistemik kurang dapat dimengerti. Hal hal
yang biasanya berhubungan adalah kurangnya kepatuhan terhadap pengobatan
dan masalah psikologis serta psikiatris. Walaupun demikian, faktor genetik juga
dapat berkontribusi pada beberapa kasus. Pada pasien pasien ini terjadi kesulitan
untuk mengobati sejak onset asma terjadi. Selain itu penutupan jalan nafas dapat
mengakibatkan terperangkapnya udara dan hiperinflasi. Walaupun secara
patologis, mirip dengan bentuk asma lain, pada pasien pasien ini terjadi
peningkatan neutrofil, keterlibatan jalan nafas yang lebih kecil, dan lebih banyak
perubahan struktural.
Merokok dan Asma.

Merokok mengakibatkan asma lebih sulit dikontrol dan mengakibatkan


eksaserbasi yang lebih sering dan akselerasi penurunan fungsi paru serta
meningkatkan resiko kematian. Pasien asma yang merokok dapat memiliki
inflamasi yang didominasi oleh neutrofil pada jalan nafas dan kurang responsive
terhadap glukokortikoid.

Bagan 1. Mekanisme dasar kelainan asma

Faktor faktor resiko


lingkungan (penyebab)

Inflamasi

Hiperresponsif jalan nafas Obstruksi jalan nafas

Pencetus
Gejala

DIAGNOSIS DAN KLASIFIKASI

Diagnosis yang tepat pada asma diperlukan untuk pemberian pengobatan.


Gejala asma dapat intermiten dan non spesifik sehingga dapat terjadi kesalahan
diagnosis.

DIAGNOSIS KLINIS

Studi epidemiologi menunjukkan asma underdiagnosed di seluruh dunia,


disebabkan berbagai hal antara lain gambaran klinis yang tidak khas dan beratnya
penyakit yang sangat bervariasi, serta gejala yang bersifat episodik sehingga
penderita tidak merasa perlu ke dokter. Diagnosis asma didasari oleh gejala yang
bersifat episodik, gejala berupa batuk, sesak nafas, mengi, rasa berat di dada, dan
variabiliti yang berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk
menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran
faal paru terutama reversibiliti kelainan faal paru akan lebih meningkatkan nilai
diagnostik.

Riwayat penyakit/gejala :

1. Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan


2. Gejala berupa batuk, sesak nafas, rasa berat di dada dan berdahak
3. Gejala timbul/memburuk terutama malam/dini hari
4. Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
5. Respon terhadap pemberian bronkodilator

Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit :

Riwayat keluarga (atopi)


Riwayat alergi/atopi
Penyakit lain yang memberatkan
Perkembangan penyakit dan pengobatan

Diagnosis klinis asma biasanya berdasarkan gejala gejala yang biasanya


terjadi setelah paparan allergen ataupun perubahan musim. Adanya riwayat asma
dan penyakit atopi pada keluarga juga dapat berguna untuk diagnosis. Beberapa
pertanyaan yang berguna untuk menegakkan diagnosis asma tercantum pada tabel
di bawah ini :
Cough Variant Asthma. Pada pasien dengan cough-variant asthma mengalami
batuk kronik sebagai gejala yang menonjol. Seringkali terjadi pada anak anak
dan lebih berat pada malam hari sehingga evaluasi pada siang hari dapat normal.
Untuk pasien pasien seperti ini, dokumentasi fungsi paru atau hiperresponsivitas
jalan nafas dan pencarian eosinofil sputum penting dilakukan. Cpugh variant
asthma ini harus disingkirkan dari bronchitis eosinofilik di mana pada pasien
tersebut terdapat batuk dan eosinofil sputum namun dengan fungsi paru normal
dan jalan nafas yang tidak hiperresponsif.

Diagnosis lain yang perlu dipikirkan adalah batuk yang diinduksi oleh ACE
inhibitor, GERD, postnasal drip, sinusitis kronis dan disfungsi pita suara.

Bronkhokonstriksi yang Diinduksi Olah Raga. Aktivitas fisik merupakan


penyebab yang penting pada pasien asma. Bronkhokonstriksi yang diinduksi olah
raga secara tipikal terjadi 5 10 menit setelah selesai berolah raga (jarang terjadi
selama berolah raga). Pasien mengalami gejala asma atau kadang kadang batuk
yang terus menerus yang mereda secara spontan setelah 30 45 menit. Beberapa
jenis olah raga seperti berlari merupakan pencetus yang poten. Bronkhokonstriksi
yang diinduksi olah raga dapat terjadi pada setiap kondisi iklim, terutama bila
udara kering, dingin dan jarang pada udara panas dan lembab.

Hilangnya gejala post olah raga yang cepat setelah penggunaan 2 agonist
atau pencegahan dengan inhalasi 2 agonist mendukung diagnosis asma. Pada
anak anak, asma dapat terjadi hanya saat olah raga. Untuk menegakkan
diagnosis ini, dapat dilakukan tes lari selama 8 menit.
PEMERIKSAAN FISIK

Karena gejala asma bervariasi, pada pemeriksaan fisik sistem pernafasan


dapat normal. Penemuan pemeriksaan fisik abnormal yang sering ditemukan
adalah terdengarnya wheezing pada ekspirasi yang mengkonfirmasi adanya
keterbatasan aliran udara. Walaupun demikian, pada beberapa orang dengan asma,
wheezing dapat tidak ada atau hanya dapat dideteksi bila melakukan ekspirasi
maksimum ataupun pada keterbatasan aliran udara yang signifikan. Kadang
kadang, pada eksaserbasi berat asma, wheezing dapat tidak ada karena adanya
penurunan aliran udara dan ventilasi. Walaupun demikian, pasien seperti ini
memiliki tanda fisik yang merefleksikan eksaserbasi dan beratnya eksaserbasi
tersebut, seperti sianosis, susah berbicara, takikardia, hiperinflasi, penggunaan
otot otot aksesorius, dan resesi interkostal.

Tanda klinis yang lain dapat hanya muncul pada pemeriksaan saat periode
simtomatik. Hiperinflasi terjadi karena pasien bernafas dengan volume paru yang
lebih besar untuk meningkatkan retraksi outward jalan nafas dan menjaga patensi
jalan nafas yang lebih kecil ( yang menyempit karena kontraksi otot polos
pernafasan, edema , dan hipersekresi mucus). Kombinasi hiperinflasi dan
keterbatasan aliran nafas pada eksaserbasi asma meningkatkan kerja pernafasan.

UJI DIAGNOSIS DAN MONITORING

Pengukuran Fungsi Paru.

Diagnosis asma biasanya berdasarkan adanya gejala yang khas. Walaupun


demikian, pengukuran fungsi paru dan terutama demonstrasi adanya abnormalitas
fungsi paru yang reversibel dapat meyakinkan diagnosis. Hal ini karena pasien
asma seringkali kurang mengenali gejala gejala yang terjadi dan memiliki
persepsi yang kurang terhadap berat ringannya gejala, terutama pada asma yang
lama terjadi. Penilaian gejala seperti dyspnea dan wheezing oleh dokter juga dapat
kurang akurat. Pengukuran fungsi paru dapat menyediakan pengukuran berat
ringannya keterbatasan aliran udara, reversibilitasnya, dan variabilitasnya dan
juga konfirmasi diagnosis asma. Walaupun pengukuran ini tidak berkorelasi kuat
dengan gejala atau pengukuran lain untuk mengontrol asma, perngukuran ini
memberikan informasi mengenai aspek lain dalam pengontrolan asma.
Beberapa metode digunakan untuk menilai keterbatasan aliran udara,
namun ada 2 metode yang dapat diterapkan pada pasien usia 5 tahun ke atas yaitu
dengan pengukuran FEV1 (forced expiratory volume dalam 1 detik) dan FVC
(forced vital capacity) serta pengukuran PEF (peak expiratory volume). Istilah
reversibilitas dan variabilitas merujuk pada perubahan gejala yang terjadi seiring
dengan perubahan keterbatasan aliran udara yang terjadi secara spontan ataupun
sebagai respon terapi.

Reversibilitas diaplikasikan secara umum sebagai peningkatan FEV1 (atau


PEF) yang cepat, dalam hitungan menit, setelah inhalasi bronchodilator kerja
cepat atau kemajuan yang bertahap selama beberapa hari ataupun minggu setelah
diberikan controller seperti glukokortikoid inhalasi.

Variabilitas merujuk pada perkembangan ataupun perburukan gejala dan


fungsi paru dalam jangka waktu tertentu. Variabilitas dapat terjadi dalam 1 hari
(diurnal), hari ke hari, bulan ke bulan, ataupun musiman. Mendapatkan riwayat
variabilitas merupakan komponen penting dalam diagnosis asma. Variabilitas
merupakan bagian dari peniliaian dalam pengontrolan asma.

Spirometri

Direkomendasikan sebagai metode untuk mengukur keterbatasan aliran


udara dan reversibilitas untuk menegakkan diagnosis asma. Derajat reversibilitas
pada FEV1 yang mengindikasikan diagnosis asma yaitu > 12% dan > 200 ml dari
nilai pre-bronkhodilator. Reversibilitas seringkali tidak ditemukan pada pasien
asma sehingga kadang diperlukan beberapa kali test.

Pada penilaiand dengan spirometri diperlukan penjelasan pada pasien untuk


melakukan forced expiratory maneuver dan hasil yang diambil adalah hasil
tertinggi dari 3 kali penilaian. Nilai spirometri berbeda pada etnis yang berbeda
sehingga diperlukan pengukuran rasio FEV1 dan FVC. Nilai normal rasio
FEV1/FVC adalah lebih dari 0,75 0,80 pada dewasa dan > 0,90 pada anak
anak. Nilai yang lebih rendah mengindikasikan adanya keterbatasan aliran udara.
Pengukuran Peak Expiratory Flow

Dilakukan menggunakan peak flow meter dan merupakan alat yang


penting untuk diagnosis dan monitoring asma. Walaupun spirometri merupakan
metode yang lebih sering dipilih untuk mendokumentasikan keterbatasan aliran
udara, peningkatan 60L/menit (> 20% prebronkhodilator PEF) setelah inhalasi
bronchodilator ataupun variasi diurnal PEF > 20% (dengan 2 kali pembacaan
dalam 1 hari, > 10%) menegakkan diagnosis asma. Selain itu PEF dapat pula
untuk mengidentifikasi penyebab gejala asma dengan pengukuran PEF setiap hari
atau setelah terpapar faktor resioko atau selama olah raga atau aktivitas lain yang
dapat mencetuskan asma, dan pada saat periode tidak terpapar.

Pengukuran Responsivitas Jalan Nafas

Untuk pasien dengan gejala yang konsisten dengan asma namun dengan
fungsi paru normal, perlu dilakukan pengukuran responsivitas jalan nafas dengan
direct airway challenging seperti methacholine inhalasi dan histamine atau
indirect airway challenge seperti mannitol inhalasi ataupun challenge dengan olah
raga. Pengukuran ini merefleksikan sensitivitas jalan nafas terhadap faktor yang
dapat menyebabkan gejala asma, dan kadang kadang disebut trigger atau
pencetus dan hasil tes biasanya diekspresikan sebagai dosis/konsentrasi provokatif
mengakibatkan penurunan FEV1 (biasanya 20). Test ini sensitif untuk asma
namun memiliki spesifisitas yang rendah. Hal ini berarti hasil negative dapat
mengekslusi diagnosis persisten asma pada pasien yang tidak mendapatkan
inhalasi glukosotikoid namun hasil positif tidak selalu berarti pasien memiliki
asma. Hal ini terjadi karena hiperresponsif juga rejadi pada rhinitis alergi dan
keterbatasan aliran udara lain seperti pada fibrosis kistik, bronkiektasis, dan
PPOK.

Marker Non Invasif pada Inflamasi Jalan Nafas

Evaluasi inflamasi jalan nafas yang berhubungan dengan asma dapat


dilakukan dengan penilaian sputum yang diinduksi oleh larutan garam hipertonis
ataupun sputum spontan untuk melihat adanya inflamasi eosinofil atau neutrofil.
Selain itu, kadar nitric oksida (FeNO) dan karbon monoksida (FeCO) merupakan
marker non invasive inflamasi jalan anfas pada asma. Kadar FeNO meningkat
pada asma (yang tidak menggunakan glukokortikoid inhalasi) namun tidak
spesifik untuk asma. Pengukuran eosinofilia pada sputum dan FeNO berguna
untuk menentukan terapi yang optimal.

Penilaian Status Alergi

Karena hubungan yang kuat antara asma dan rhinitis alergi, adanya alergi,
penyakit alergi dan rhinitis alergi meningkatkan probabilitas diagnosis asma pada
pasien dengan gejala respiraoti. Adanya alergi pada pasien asma (tes kulit dengan
allergen atau IgE serum) dapat membantu identifikasi faktor resiko yang
mengakibatkan gejala asma.

DIAGNOSIS BANDING

Anamnesa dan pemeriksaan fisik yang cermat dengan adanya obstruksi aliran
udara yang reversibel dan variabel (spirometri) dapat mengkonfirmasi diagnosis
asma. Kategori berikut ini perlu juga dipikirkan, yaitu :

- Sindrom hiperventilasi atau serangan panic


- Obstruksi jalan nafas atas dan benda asing yang terinhalasi
- Disfungsi pita suara
- Bentuk lain penyakit paru obstruktif
- Penyakit paru non obstruktif seperti penyakit parenkim paru
- Gejala yang tidak disebabkan oleh pernafasan seperti gagal jantung kiri

Diagnosis Banding Asma antara lain :


Dewasa :
1. PPOK
2. Bronkitis kronik
3. Gagal jantung kongestif
4. Batuk kronik akibat lain-lain
5. Obstruksi mekanis (misal tumor)
6. Emboli paru
Anak :
1. Benda asing di saluran nafas
2. Laringotrakeomalasia
3. Pembesaran kelenjar limfe
4. Tumor
5. Stenosis trakea
6. Bronkiolitis

Asma Okupasional

Seringkali diagnosis asma okupasional terlewat, karena onsetnya yang


mendadak seringkali didiagnosa sebagai bronchitis kronis ataupun PPOK. Adanya
gejala baru rhinitis, batuk, dan atau mengi terutama pada orang yang tidak
merokok perlu dicurigai. Deteksi asma okupasional ini memerlukan adanya
riwayat paparan sensitizing agent, tidak adanya gejala asma sebelum bekerja,atau
adanya perburukan asma setelah bekerja.

Karena penatalaksanaan asma ini memerlukan penggantian pekerjaan, dan


memperngaruhi sosioekonomi, diagnosis harus objektif dan memerlukan te
provokasi bronchial. Selain itu dapat juga menggunakan monitor PEF setidaknya
4X dalam 1 hari selama 2 minggu saat bekerja dan saat tidak bekerja.

Menyingkirkan Asma dengan PPOK

PPOK memiliki ciri khas yaitu keterbatasan aliran udara yang tidak
reversibel dan biasanya progresif serta berhubungan dengan respon inflamasi
abnormal terhadap partikel atau gas tertentu. Namun individu asma yang terpapar
gas seperti rokok dapat juga berkembang menjadi keterbatasan aliran udara yang
menetap seperti PPOK. Dan bila telah terjadi hal ini, akan sulit dibedakan dengan
asma.
KLASIFIKASI ASMA

Etiologi

Banyak yang mengklasifikasikan asma berdasarkan etiologi, terutama


sensitizing agents di lingkungan. Namun klasifikasi ini terbatas pada asma tanpa
penyabab lingkungan.

Berat Ringannya Asma

Klasifikasi asma menurut GINA berdasarkan berat ringannya gejala,


keterbatasan aliran udara, dan variabilitas fungsi paru, yaitu : intermitten, mild
persistent, atau severe persistent. Klasifikasi ini berguna untuk penatalaksanaan
saat penilaian pasien.
Kontrol Asma

Kontrol asma dapat didefinisikan dalam beberapa cara. Secara umum,


istilah kontrol mengindikasikan adanya pencegahan penyakit maupun
penyembuhan. Walaupun demikian, pada asma istilah ini berarti adanya kontrol
terhadap manifestasi penyakit dan juga abnormalitas fungsi paru.

Klasifikasi Tingkatan Asma yang Terkontrol

Karakteristik Terkontrol Terkontrol sebagian Tidak terkontrol


Gejala harian Tidak ada/ > 2x/minggu 3 atau lebih gambaran
( 2x/minggu) pada asma terkontrol
sebagian muncul
kapan saja
Pembatasan aktivitas Tidak ada Beberapa 3 atau lebih gambaran
pada asma terkontrol
sebagian muncul
kapan saja
Gejala Nokturnal Tidak ada Beberapa 3 atau lebih gambaran
pada asma terkontrol
sebagian muncul
kapan saja
Kebutuhan akan Tidak ada/ ( > 2 kali / minggu 3 atau lebih gambaran
pengobatan 2/minggu) pada asma terkontrol
sebagian muncul
kapan saja
Fungsi Paru Normal <80 % nilai prediksi / 3 atau lebih gambaran
(APE/VEP1) nilai terbaik (jika pada asma terkontrol
diketahui) sebagian muncul
kapan saja
Eksaserbasi Tidak ada 1/ tahun 1x di minggu kapan
saja
Penatalaksanaan Asma

Empat Komponen Perawatan Asma

Tujuan penatalaksanaan Asma adalah untuk mencapai dan


mempertahankan kontrol manifestasi klinis asma dalam jangka waktu tertentu.
Saat asma terkontrol, pasien dapat mencegah hampir semua serangan, mencegah
gejala yang mengganggu pada siang dan malam hari, dan tetap akrif secara fisik.

Untuk mencapai tujuan ini, 4 komponen terapi diperlukan, yaitu :

1. Mengembangkan hubungan pasien dan dokter yang baik


2. Mengidentifikasi dan menurunkan paparan terhadap faktor resiko
3. Menilai, mengobatai, dan memonitor asma
4. Menangani eksaserbasi asma

Komponen 1 : Mengembangkan Hubungan Doktor/Pasien

Penanganan yang efektif terhadap asma memerlukan hubungan antara pasien


dengan dokter yang baik sehingga dengan bantuan kita, pasien dapat belajar untuk
:

Mencegah faktor resiko


Meminum obat dengan benar
Mengerti perbedaan antara controller dan reliever
Mengenali tanda asma yang memburuk dan mengambil tindakan
Mencari pertolongan medis bila diperlukan

Edukasi harus merupakan bagian yang terintegrasi dengan semua interaksi


antara dokter dan pasien. Dengan menggunakan metode yang bervariasi,
diharapkan pasien dapat mendapatkan pesan edukasi tentang penyakitnya.
Personal asthma action plan juga harus dibuat bersama, antara dokter dan pasien
sehingga pengobatan yang dilakukan praktis dan tepat.
Tabel contoh isi dari Personal asthma action plan

Komponen 2 : Mengidentifikasi dan Menurunkan Paparan terhadap Resiko

Untuk mengontrol asma dan menurunkan medikasi yang diperlukan,


paparan terhadap resiko juga harus diturunkan. Namun ada beberapa faktor resiko
yang tidak bisa dihindari oleh pasien sehingga medikasi untuk mengontrol asma
memegang peranan yang penting karena pasien kurang sensitif terhadap faktor
resiko bila asmanya terkontrol.

Aktivitas fisik dapat menjadi pencetus gejala asma namun pasien tidak
boleh menghindari aktivitas fisik. Gejala dapat dicegah dengan menggunakan 2
agonist inhalasi kerja cepat sebelum olah raga.
Pasien dengan asma sedang hingga berat dapat dianjurkan untuk divaksin
terhadap influenza setiap tahun.

Tabel strategi menghindari allergen dan polutan

Komponen 3 : Menilai, Mengobati, dan Memonitor Asma

Berdasarkan patogenesis asma, strategi pengobatan yang diberikan dapat ditinjau


dari berbagai pendekatan, seperti:
Mencegah ikatan alergen-IgE
1. Mencegah ikatan alergen dengan cara menghindari alergen atau dengan
hiposensitisasi.
2. Mencegah pelepasan mediator
Antara lain dengan pemberian natrium kromolin, agonis beta 2, maupun
teofilin.
3. Melebarkan saluran nafas dengan bronkodilator
- Simpatomimetik: obat pilihan untuk serangan asma akut adalah
agonis beta 2, dapat diberikan secara inhalasi atau nebulizer.
Epinefrin subkutan diberikan pada serangan asma berat, dianjurkan
hanya untuk anak atau dewasa muda.
- Aminofilin: digunakan pada serangan asma akut
- Kortikosteroid: bukan golongan bronkodilator, tetapi secara tidak
langsung dapat melebarkan saluran nafas. Dipakai pada serangan
asma akut atau terapi pemeliharaan.
- Antikolinergik
4. Mengurangi respon dengan jalan meredam inflamasi saluran nafas
Dapat diberikan natrium kromolin atau dengan kortikosteroid baik per
oral, parenteral atau inhalasi.

Berdasarkan fungsinya, obat asma dibagi menjadi:


a. Pencegah (controller)
Adalah obat yang dipakai setiap hari dalam jangka panjang untuk menjaga
agar gejala asma tetap terkendali melalui efek anti inflamasi obat. Termasuk
golongan ini antara lain Glukokortikoid inhalasi dan sistemik, leukotriene
modifiers, beta 2 agonis inhalasi kerja panjang dikombinasikan dengan
Glukokortikoid, teofilin lepas lambat, kromon, dan anti IgE. Glukokortikoid
inhalasi adalah pengobatan pencegah yang paling efektif saat ini.
b. Penghilang gejala (reliever)
Adalah obat yang dipakai sesuai kebutuhan, yaitu untuk mengurangi
bronkokonstriksi dan menghilangkan gejala-gejala asma dengan segera. Termasuk
golongan ini adalah beta 2 agonis inhalasi kerja cepat, antikolinergik inhalasi,
teofilin kerja cepat, dan beta 2 agonis oral kerja cepat.

Menilai kontrol asma merupakan tindakan yang penting untuk menentukan


pengobatan yang akan kita berikan. Setelah menilai status kontrol asma pada
pasien, pengobatan yang diberikan meliputi reliever untuk menangani gejala akut
yang terjadi dan controller, untuk menjaga gejala dan serangan terjadi. (Lihat
bagan pengobatan asma)

Untuk sebagian besar pasien yang baru didiagnosis, pengobatan biasanya


dimulai pada step 2 (atau bila gejala sangat berat, step 3). Bila asma tidak
terkontrol dengan regimen yang diberikan, dapat dinaikkan stepnya.

Pasien yang tidak bisa dikontrol asmanya dengan step 4 dapat dipikirkan
sebagai asma yang sulit diobati. Pada pasien ini dapat dilakukan kontrol yang
sebisa mungkin dengan sedikit pembatasan terhadap aktivitas fisik sehari hari.
Pengobatan inhalasi lebih dipilih karena penghantaran obat yang langsung
ke jalan nafas sehingga dapat mencapai efek terapi dengan efek samping yang
minimal. Penggunaan inhaler juga harus diajarkan kepada pasien sehingga pasien
dapat mengontrol asmanya dengan baik.

Bagan langkah-langkah pengobatan asma


Monitoring untuk Mempertahankan Kontrol

Monitoring yang terus menerus penting untuk menjaga kontrol dan


menegakkan step yang lebih rendah dan dosis pengobatan untuk meminimalisir
biaya dan memaksimalkan keamanan.

Secara tipikal, pasien perlu datang satu hingga tiga bulan setelah
kunjungan pertama dan tiga bulan sekali setelahnya. Setelah eksaserbasi, follow
up harus dilakukan dalam 2 minggu hingga 1 bulan.
Pada setiap kunjungan dapat ditanyakan hal hal seperti pada daftar di bawah ini
:

Menyesuaikan pengobatan

Bila asma tidak terkontrol, step up pengobatan. Perkembangan secara


umu terjadi selama 1 bulan, namun harus ditinjau pula teknik medikasi,
kepatuhan, dan penghindaran terhadap faktor resiko
Bila asma sebagian terkontrol, pikirkan untuk meningkatkan step
pengobatan tergantung apakah ada pilihan yang lebih efektif, keamanan,
dan harga obat, serta kepuasan tingkat kontrol pasien yang dicapai.
Bila kontrol terjadi selama minimal 3 bulan, step down secara
gradual. Tujuannya adalah untuk menggunakan obat sesedikit mungkin
untuk mempertahankan kontrol.

Monitoring harus tetap dilakukan setelah kontrol tercapai karena asma merupakan
penyakit yang variabel. Pengobatan harus selalu disesuaikan dengan respon
ataupun tingkat kontrol pasien.

Komponen 4 : mengatasi eksaserbasi

Eksaserbasi asma (serangan asma) merupakan episode peningkatan sesak nafas


yang progresif, batuk, mengi, atau chest tightness atau kombinasi dari gejala
gejala ini.

Asma berat dapat mengancam jiwa sehingga penanganannya harus diperhatikan


dengan baik. Pasien dengan resiko tinggi asma yang berhubungan dengan
kematian memerlukan perhatian yang lebih dan harus dipacu untuk mencari
pertolongan bila terjadi serangan. Pasien pasien tersebut di antaranya adalah
pasien :

Dengan riwayat asma yang fatal sehingga memerlukan intubasi dan


ventilasi mekanik
Yang dirawat atau datang ke UGD karena asma dalam 1 tahun terakhir
Yang sekarang sedang menggunakan atau baru berhenti menggunakan
glukokortikoid oral
Yang sedang tidak menggunakan inhalasi glukokortikoid
Yang bergantung secara berlebihan terhadap 2 agonist inhalasi kerja
cepat terutama yang menggunakan lebih dari 1 tabung salbutamol setiap
bulannya
Dengan riwayat penyakit psikiatri atau masalah psikososial terutama
pengguna sedative
Dengan riwayat kepatuhan yang kurang terhadap pengobatan asma
Pasien harus segera mencari pertolongan medis bila :

Serangan yang terjadi berat :


- Pasien sesak saat beristirahat, membungkukkan badan ke depan,
berbicara dalam beberapa kata, agitasi, bingung, bradikardia, atau
pernafasan > 30 x/menit.
- Mengi keras ataupun tidak ada
- Nadi lebih dari 120 x/menit
- PEF kurang dari 60% nilai yang diprediksi, walaupun telah diterapi
inisial
- Pasien kelelahan
Respon terhadap pengobatan dengan bronkodilator inisial tidak
berhasil dan masih berlangsung setidaknya 3 jam
Tidak ada kemajuan dalam 2 6 jam setelah meminum
glukokortikoid oral
Terjadi perburukan

Serangan asma memerlukan pengobatan yang tepat :


2 agonist inhalasi kerja cepat (dimulai dengan 2 4 puff setiap 20
menit untuk 1 jam pertama, serangan ringan 2 4 puff setiap 3 4 jam,
dan serangan sedang 6 10 puff setiap 1 2 jam)
Glukokortikoid oral (0,5 1,0 mg prednisolon / kgBB selama 24 jam)
pada serangan sedang dan berat untuk mengurangi inflamasi dan
mempercepat penyambuhan
Oksigen diberikan bila saturasi O2 kurang dari 95%
Kombinasi 2 agonist dengan antikolinergik berhubungan dengan
angka perawatan di rumah sakit yang lebih rendah dan perkembangan
PEV dan FEV1 yang lebih baik.
Methylxanthine tidak direkomendasikan bila digunakan bersama
dengan 2 agonist inhalasi. Walaupun demikian, teofilin dapat
digunakan bila 2 agonist inhalasi tidak tersedia. Bila pasien
mengkonsumsi teofilin, konsentrasi serum harus diukur sebelum
menambahkan teofilin kerja cepat.

Terapi yang tidak direkomendasikan untuk serangan asma, yaitu :

Sedatif
Obat mukolitik (dapat memperburuk batuk)
Fisioterapi dada (dapat meningkatkan ketidaknyamanan pasien)
Hidrasi dengan volume yang besar
Antibiotic (kecuali ada tanda tanda infeksi seperti pneumonia atau
sinusitis)
Epinefrin / adrenalin
Monitor Respon Terapi

Evaluasi gejala dan peak flow diperlukan untuk memonitor respon terapi. Pada
setting rumah sakit, dapat dilakukan pengukuran saturasi oksigen. Pemeriksaan
analisa gas darah dapat dilakukan pada pasien yang dicurigai hipoventilasi,
kelelahan, distress yang berat, atau PEF diprediksi 30 50%.

Follow Up : Setelah eksaserbasi ditangani, penyebab serangan perlu diidentifikasi


dan perlu ditetapkan strategi untuk mencegah serangan dan menentukan
pengobatan pada pasien.
Daftar Pustaka

Global Initiative For Asthma. 2008. Pocket Guide For Asthma Management and
Prevention. Medical Communication Resources, Inc.

Global Initiative For Asthma. 2008. Global Strategy For Asthma Management
And Prevention. Medical Communication Resources, Inc.
ASMA

Pembimbing :

Arto Yuwono Soeroto, dr., SpPD-KP

Oleh :

Tri Hapsoro Guno 1301 1209 0023

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM

Fakultas Kedokteran UNPAD/ RSHS

BANDUNG

2009

You might also like