You are on page 1of 13

MIASTENIA GRAVIS

A. Definisi
Miastenia Gravis berasal dari 2 kata yaitu miastenia dan gravis. Miastenia
berarti kelemahan otot motorik tertentu yang berfluktuasi, terutama yang diinervasi
oleh nukleus motorik di batang otak seperti otot mata (ocular), otot kelopak mata, otot
pengunyah (masticatory) dan otot wajah (facial), gravis sendiri berasal dari kata
grave yang berarti buruk.1,2,3 Romi dkk mengatakan bahwa Miastenia gravis (MG)
adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan kelemahan patologis yang
berfluktuasi dengan remisi dan eksaserbasi yang melibatkan kelompok otot satu atau
beberapa rangka, terutama disebabkan oleh antibodi terhadap reseptor asetilkolin
(ACHR) di lokasi pasca sinaptik dari sambungan neuromuskuler tanpa adanya
gangguan sensorik.4 Miastenia gravis adalah suatu kelainan autoimun yang ditandai
oleh suatu kelemahan abnormal dan progresif pada otot rangka yang dipergunakan
secara terus-menerus dan disertai dengan kelelahan saat beraktivitas, dan bila
penderita beristirahat, maka tidak lama kemudian kekuatan otot akan pulih kembali.
Penyakit ini timbul karena adanya gangguan dari synaptic transmission atau pada
neuromuscular junction.5,6

B. Epidemiologi
Miastenia Gravis merupakan penyakit autoimun yang jarang ditemukan.
Kasus lebih banyak ditemukan pada wanita daripada laki-laki dengan puncak onset
pada usia dekade kedua dan ketiga (pada wanita) dan dekade kelima dan keenam
(pria).7 Miastenia Gravis bukan suatu penyakit turunan ataupun jenis penyakit yang
bisa menular.7 Kasus MG adalah 5-10 kasus per 1 juta populasi per tahun, yang
dengan total kasus di Amerika Serikat sekitar 25.000 kasus.5

C. Etiologi
Penyebab MG yang paling umum adalah perkembangan abnormal dari bagian-
bagian imunologis (epitop) di dalam maupun sekitar AChR nicotinik pada
postsynaptic endplate regio neuromuscular junction.7 Antibodi AChR memicu
terjadinya degradasi imun dari AChR dan membran postsinaptik.7 Hilangnya AchRs
fungsional dalam jumlah besar dapat menyebabkan berkurangnya jumlah serat otot
yang berdepolarisasi selama aktivasi terminal nervus motorik, mengakibatkan
panurunan aksi potensial otot dan kontraksi serat otot yang penting.7 Adanya
hambatan pada tranmisi neuromuskular dapat menyebabkan kelemahan secara klinis
apabila jumlah serat yang rusak besar.7
Pasien yang negatif untuk antibodi anti-ACHR mungkin seropositif untuk
antibodi terhadap MuSK (Muscle-Specific Kinase). Biopsi otot pada pasien ini
menunjukkan tanda-tanda miopati dengan kelainan mitokondria menonjol yang
bertentangan dengan fitur neurogenik dan atrofi sering ditemukan pada pasien positif
MG untuk anti-ACHR. Penurunan mitokondria bisa menjelaskan keterlibatan anti
MuSK positif MG okulobulbar.8
Sejumlah temuan telah dikaitkan dengan MG, seperti perempuan dan orang
dengan leukosit antigen tertentu manusia (HLA) memiliki kecenderungan genetik
terhadap penyakit autoimun. Profil histokompatibilitas kompleks meliputi HLA-B8,
HLA-DRw3, dan HLA-DQw2 (meskipun ini belum terbukti berhubungan dengan
bentuk MG okular). Penyakit SLE dan RA mungkin berhubungan dengan MG.8
Sensitisasi terhadap antigen asing yang memiliki reaktivitas silang dengan reseptor
AcH nikotinat telah diusulkan sebagai penyebab miastenia gravis, tetapi antigen
pemicu belum diidentifikasi.8

D. Patofisiologi
Mekanisme imunogenik memegang peranan yang sangat penting pada
patofisiologi miastenia gravis. Observasi klinik yang mendukung hal ini mencakup
timbulnya kelainan autoimun yang terkait dengan pasien yang menderita miastenia
gravis, misalnya autoimun tiroiditis, sistemik lupus eritematosus, arthritis rheumatoid,
dan lain-lain. 8
Ketika sebuah potensial aksi bergerak ke motor neuron dan mencapai motor
end plate, molekul asetilkolin (Ach) dilepaskan dari vesikel presinaptik, melalui
neuromuscular junction dan kemudian akan berinteraksi dengan reseptor Ach
(AchRs) di membrane postsinaptik. Kanal-kanal di AchRs terbuka, memungkinkan
Na + dan kation lain untuk masuk ke dalam serat ototdan menimbulkan depolarisasi.
Depolarisasi yang terus menerus terjadi akan berkumpul menjadi satu, dan jika
depolarisasi yang terkumpul cukup besar, maka akan memicu timbulnya potensial
aksi, yang bergerak sepanjang serat otot untuk menghasilkan kontraksi. Pada
miastenia gravis (MG), ada pengurangan jumlah AchRs yang tersedia di motor
endplate atau mendatarnya lipatan pada membran postsinaptik yang menyebabkan
pengurangan jumlah reseptor pada motor endplates, sehingga depolarisasi yang terjadi
pada motor endplate lebih sedikit dan tidak terkumpul menjadi potensial aksi. Akhir.
Hasilnya adalah sebuah transmisi neuromuskuler tidak efisien. Tiga mekanisme yang
didapatkan dari penelitian antara lain: auto antibodi terhadap reseptor AChR dan
menginduksi endositosis, sehingga terjadi deplesi AChR pada membran postsinaptik,
autoantibodi sendiri menyebabkan gangguan fungsi AChR dengan memblokir situs-
situs tempat terikatnya asetilkolin dan autoantibodi menyebabkan kerusakan pada
motor endplates sehingga menyebabkan hilangnya sejumlah AChR.9
Penyakit ini tidak mempengaruhi otot polos dan jantung karena mereka
memiliki antigenisitas reseptor kolinergik yang berbeda. Peran timus dalam
pathogenesis myasthenia gravis (MG) tidak sepenuhnya jelas, tetapi 75% dari pasien
myasthenia gravis (MG) memiliki beberapa derajat kelainan timus (misalnya,
hiperplasia pada 85% kasus, thymoma dalam 15% kasus). Mengingat fungsi
kekebalan timus dan adanya perbaikan klinis setelah dilakukan tindakan
timektomi,timus diduga menjadi tempat pembentukan autoantibodi. Namun, stimulus
yang memulai proses autoimun belum teridentifikasi.7
Sejak tahun 1960, telah didemonstrasikan bagaimana autoantibodi pada serum
penderita miastenia gravis secara langsung melawan konstituen pada otot. Hal inilah
yang memegang peranan penting pada melemahnya otot penderita dengan miastenia
gravis. Tidak diragukan lagi, bahwa antibodi pada reseptor nikotinik asetilkolin
merupakan penyebab utama kelemahan otot pasien dengan miastenia gravis.
Autoantibodi terhadap asetilkolin reseptor (anti-AChRs), telah dideteksi pada serum
90% pasien yang menderita acquired miastenia gravis generalisata. 8
Mekanisme pasti tentang hilangnya toleransi imunologik terhadap reseptor
asetilkolin pada penderita miastenia gravis belum sepenuhnya dapat dimengerti.
Miastenia gravis dapat dikatakan sebagai penyakit terkait sel B, dimana antibodi
yang merupakan produk dari sel B justru melawan reseptor asetilkolin. Peranan sel T
pada patogenesis miastenia gravis mulai semakin menonjol. Timus merupakan organ
sentral terhadap imunitas yang terkait dengan sel T. Abnormalitas pada timus seperti
hiperplasia timus atau thymoma, biasanya muncul lebih awal pada pasien dengan
gejala miastenik. 5,8
Pada pasien miastenia gravis, antibodi IgG dikomposisikan dalam berbagai
subklas yang berbeda, dimana satu antibodi secara langsung melawan area
imunogenik utama pada subunit alfa. Subunit alfa juga merupakan binding site dari
asetilkolin. Ikatan antibodi reseptor asetilkolin pada reseptor asetilkolin akan
mengakibatkan terhalangnya transmisi neuromuskular melalui beberapa cara, antara
lain: ikatan silang reseptor asetilkolin terhadap antibodi anti-reseptor asetilkolin dan
mengurangi jumlah reseptor asetilkolin pada neuromuscular junction dengan cara
menghancurkan sambungan ikatan pada membran post sinaptik, sehingga mengurangi
area permukaan yang dapat digunakan untuk insersi reseptor-reseptor asetilkolin yang
baru disintesis.8

E. Tanda Gejala
Miastenia gravis dikarakteristikkan melalui adanya kelemahan yang
berfluktuasi pada otot rangka dan kelemahan ini akan meningkat apabila sedang
beraktivitas. Penderita akan merasa ototnya sangat lemah pada siang hari dan
kelemahan ini akan berkurang apabila penderita beristirahat. Gejala klinis miastenia
gravis antara lain adalah kelemahan pada otot ekstraokular atau ptosis. Ptosis yang
merupakan salah satu gejala sering menjadi keluhan utama penderita miastenia gravis,
ini disebabkan oleh kelumpuhan dari nervus okulomotorius. Walaupun pada miastenia
gravis otot levator palpebra jelas lumpuh, namun ada kalanya otot-otot okular masih
bergerak normal. Tetapi pada tahap lanjut kelumpuhan otot okular kedua belah sisi
akan melengkapi ptosis miastenia gravis. 10
Sewaktu-waktu dapat pula timbul kelemahan dari otot masseter sehingga
mulut penderita sukar untuk ditutup. Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi, diikuti
dengan kelemahan pada fleksi dan ekstensi kepala. Selain itu dapat pula timbul
kesukaran menelan dan berbicara akibat kelemahan dari otot faring, lidah, pallatum
molle, dan laring sehingga timbul paresis dari pallatum molle yang akan
menimbulkan suara sengau. Selain itu bila penderita minum air, mungkin air itu dapat
keluar dari hidungnya. 11
F. Interpretasi Pemeriksaan
Untuk penegakan diagnosis miastenia gravis, dapat dilakukan pemeriksaan sebagai
berikut:
1. Penderita ditugaskan untuk menghitung dengan suara yang keras. Lama kelamaan
akan terdengar bahwa suaranya bertambah lemah dan menjadi kurang terang.
Penderita menjadi anartris dan afonis
2. Penderita ditugaskan untuk mengedipkan matanya secara terus-menerus. Lama
kelamaan akan timbul ptosis. Setelah suara penderita menjadi parau atau tampak
ada ptosis,maka penderita disuruh beristirahat.. Kemudian tampak bahwa
suaranya akan kembali baik dan ptosis juga tidak tampak lagi
3. Uji kelelahan otot
Pada MG okuler, tes kelelahan dapat dilakukan dengan meminta pasien untuk
berkedip berulang kali atau menatap ke atas selama beberapa saat (uji Simpson).
Meningkatnya penurunan kerja otot adalah tanda kelelahan. Peningkatan
fenomena ptosis dapat ditunjukkan pada pasien dengan ptosis bilateral dengan
meninggikan dan menjaga kelopak mata yang lebih ptosis dalam posisi yang tetap.
Kelopak mata berlawanan perlahan jatuh dan mungkin akan menutup sepenuhnya.
Tanda kedutan kelopak mata merupakan cara lain untuk menguji kelelahan otot.
Pasien diarahkan untuk melihat ke bawah selama 10-15 detik dan kemudian
kembali dengan cepat dalam posisi semula. Pengamatan pada gerak kelopak mata
yang lebih ke atas ditambah dengan kedutan dan diikuti oleh reposisi kembali ke
kondisi ptosis, mengidentifikasi kelelahan yang mudah terjadi dan pemulihan
yang lambat dari otot. Tanda mengintip terjadi ketika fisura palpebral melebar
setelah periode penutupan kelopak mata secara volunter.1
Tes lainnya:
1. Tensilon atau Prostigmin tes
Untuk uji tensilon, disuntikkan 2 mg tensilon secara intravena, bila tidak terdapat
reaksi maka disuntikkan lagi sebanyak 8 mg tensilon secara intravena. Segera
sesudah tensilon disuntikkan hendaknya diperhatikan otot-otot yang lemah seperti
misalnya kelopak mata yang memperlihatkan ptosis. Bila kelemahan itu benar
disebabkan oleh miastenia gravis, maka ptosis itu akan segera lenyap. Pada uji ini
kelopak mata yang lemah harus diperhatikan dengan sangat seksama, karena
efektivitas tensilon sangat singkat. Pada tes Prostigmin suntikkan 3 cc atau 1,5 mg
prostigmin methylsulfat secara intramuskular (bila perlu, diberikan pula atropin
atau mg). Bila kelemahan itu benar disebabkan oleh miastenia gravis maka
gejala-gejala seperti misalnya ptosis, strabismus atau kelemahan lain tidak lama
kemudian akan lenyap.12
2. Uji Kinin
Diberikan 3 tablet kinin masing-masing 200 mg. 3 jam kemudian diberikan 3
tablet lagi (masing-masing 200 mg per tablet). Bila kelemahan itu benar
disebabkan oleh miastenia gravis, maka gejala seperti ptosis, strabismus, dan lain-
lain akan bertambah berat. Untuk uji ini, sebaiknya disiapkan juga injeksi
prostigmin, agar gejala-gejala miastenik tidak bertambah berat.9

Pemeriksaan laboratorium:
1. Anti-asetilkolin reseptor antibodi
Hasil dari pemeriksaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis suatu miastenia
gravis, dimana terdapat hasil yang positif pada 74% pasien. 80% dari penderita
miastenia gravis generalisata dan 50% dari penderita dengan miastenia okular
murni menunjukkan hasil tes anti-asetilkolin reseptor antibodi yang positif. Pada
pasien thymoma tanpa miastenia gravis sering kali terjadi false positive anti-
AChR antibodi.
2. Antistriated muscle (anti-SM) antibodi
Merupakan salah satu tes yang penting pada penderita miastenia gravis. Tes ini
menunjukkan hasil positif pada sekitar 84% pasien yang menderita thymoma
dalam usia kurang dari 40 tahun. Pada pasien tanpa thymoma dengan usia lebih
dari 40 tahun, anti-SM Ab dapat menunjukkan hasil positif.
3. Anti-muscle-specific kinase (MuSK) antibodies
Hampir 50% penderita miastenia gravis yang menunjukkan hasil anti-AChR Ab
negatif (miastenia gravis seronegarif), menunjukkan hasil yang positif untuk anti-
MuSK Ab.1
4. Antistriational antibodies
Dalam serum beberapa pasien dengan miastenia gravis menunjukkan adanya
antibodi yang berikatan dalam pola cross-striational pada otot rangka dan otot
jantung penderita. Antibodi ini bereaksi dengan epitop pada reseptor protein titin
dan ryanodine (RyR). Antibodi ini selalu dikaitkan dengan pasien thymoma
dengan miastenia gravis pada usia muda. Terdeteksinya titin/RyR antibodi
merupakan suatu kecurigaaan yang kuat akan adanya thymoma pada pasien muda
dengan miastenia gravis.1

Imaging:
1. Chest x-ray
Foto roentgen thorak dapat dilakukan dalam posisi anteroposterior dan lateral.
Pada roentgen thorak, thymoma dapat diidentifikasi sebagai suatu massa pada
bagian anterior mediastinum.7 Hasil roentgen belum tentu dapat menyingkirkan
adanya thymoma ukuran kecil, sehingga terkadang perlu dilakukan chest CT-
scan untuk mengidentifikasi thymoma pada semua kasus miastenia gravis,
terutama pada penderita dengan usia tua.7
2. MRI
Pada otak dan orbita sebaiknya tidak digunakan sebagai pemeriksaan rutin. MRI
dapat digunakan apabila diagnosis miastenia gravis tidak dapat ditegakkan
dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan untuk mencari penyebab defisit pada
saraf otak.7

G. Diagnosis dan Diagnosis Banding


Pemeriksaan fisik yang cermat harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis
suatu miastenia gravis. Kelemahan otot dapat muncul dalam berbagai derajat yang
berbeda, biasanya menghinggapi bagian proksimal dari tubuh serta simetris di kedua
anggota gerak kanan dan kiri. Refleks tendon biasanya masih ada dalam batas
normal.4,8
Miastenia gravis biasanya selalu disertai dengan adanya kelemahan pada otot
wajah. Kelemahan otot wajah bilateral akan menyebabkan timbulnya a mask-like face
dengan adanya ptosis dan senyum yang horizontal.
Kelemahan otot bulbar juga sering terjadi pada penderita dengan miastenia
gravis. Pada pemeriksaan fisik, terdapat kelemahan otot-otot palatum, yang
menyebabkan suara penderita seperti berada di hidung (nasal twang to the voice) serta
regurgitasi makanan terutama yang bersifat cair ke hidung penderita. Selain itu,
penderita miastenia gravis akan mengalami kesulitan dalam mengunyah serta menelan
makanan, sehingga dapat terjadi aspirasi cairan yang menyebabbkan penderita batuk
dan tersedak saat minum. Kelemahan otot-otot rahang pada miastenia gravis
menyebakan penderita sulit untuk menutup mulutnya, sehingga dagu penderita harus
terus ditopang dengan tangan. Otot-otot leher juga mengalami kelemahan, sehingga
terjadi gangguan pada saat fleksi serta ekstensi dari leher.8
Otot-otot anggota tubuh tertentu mengalami kelemahan lebih sering
dibandingkan otot-otot anggota tubuh yang lain, dimana otot-otot anggota tubuh atas
lebih sering mengalami kelemahan dibandingkan otot-otot anggota tubuh bawah.
Deltoid serta fungsi ekstensi dari otot-otot pergelangan tangan serta jari-jari tangan
sering kali mengalami kelemahan. Otot trisep lebih sering terpengaruh dibandingkan
otot bisep. Pada ekstremitas bawah, sering kali terjadi kelemahan saat melakukan
fleksi panggul, serta melakukan dorsofleksi jari-jari kaki dibandingkan dengan
melakukan plantarfleksi jari-jari kaki.8
Kelemahan otot-otot pernapasan dapat dapat menyebabkan gagal napas akut,
dimana hal ini merupakan suatu keadaan gawat darurat dan tindakan intubasi cepat
sangat diperlukan. Kelemahan otot-otot interkostal serta diafragma dapat
menyebabkan retensi karbondioksida sehingga akan berakibat terjadinya
hipoventilasi. Kelemahan otot-otot faring dapat menyebabkan kolapsnya saluran
napas atas, pengawasan yang ketat terhadap fungsi respirasi pada pasien miastenia
gravis fase akut sangat diperlukan.8
Biasanya kelemahan otot-otot ekstraokular terjadi secara asimetris. Kelemahan
sering kali mempengaruhi lebih dari satu otot ekstraokular, dan tidak hanya terbatas
pada otot yang diinervasi oleh satu nervus cranialis. Hal ini merupakan tanda yang
sangat penting untuk mendiagnosis suatu miastenia gravis. Kelemahan pada muskulus
rektus lateralis dan medialis akan menyebabkan terjadinya suatu pseudointernuclear
ophthalmoplegia, yang ditandai dengan terbatasnya kemampuan adduksi salah satu
mata yang disertai nistagmus pada mata yang melakukan abduksi. 8

Beberapa diagnosis banding untuk menegakkan diagnosis miastenia gravis, antara


lain:8
1. Adanya ptosis atau strabismus dapat juga disebabkan oleh lesi nervus III pada
beberapa penyakit selain miastenia gravis, antara lain :
a) Meningitis basalis (tuberkulosa atau luetika)
b) Infltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring
c) Aneurisma di sirkulus arteriosus Willisii
d) Paralisis pasca difteri
e) Pseudoptosis pada trachoma
f) Apabila terdapat suatu diplopia yang transient maka kemungkinan adanya
suatu sklerosis multipleks
g) Sindrom Eaton-Lambert (Lambert-Eaton Myasthenic Syndrome), penyakit ini
dikarakteristikkan dengan adanya kelemahan dan kelelahan pada otot anggota
tubuh bagian proksimal dan disertai dengan kelemahan relatif pada otot-otot
ekstraokular dan bulbar. Pada LEMS, terjadi peningkatan tenaga pada detik-
detik awal suatu kontraksi volunter, terjadi hiporefleksia, mulut kering, dan
sering kali dihubungkan dengan suatu karsinoma terutama oat cell carcinoma
pada paru. EMG pada LEMS sangat berbeda dengan EMG pada miastenia
gravis. Defek pada transmisi neuromuscular terjadi pada frekuensi renah (2Hz)
tetapi akan terjadi ahmbatan stimulasi pada frekuensi yang tinggi (40 Hz).
Kelainan pada miastenia gravis terjadi pada membran postsinaptik sedangkan
kelainan pada LEMS terjadi pada membran pre sinaptik, dimana pelepasan
asetilkolin tidak berjalan dengan normal, sehingga jumlah asetilkolin yang
akhirnya sampai ke membran postdinaptik tidak mencukupi untuk
menimbulkan depolarisasi
h) Botulisme
Efek dari racun ini terbatas untuk blokade terminal perifer saraf
kolinergik, termasuk neuromuskuler junction, postganglionik ujung saraf
parasimpatik, dan ganglia perifer. Blokade ini menghasilkan karakteristik
penurunan kelumpuhan bilateral dari otot yang diinervasi oleh saraf otonom
cranial, tulang spinal, dan kolinergik tetapi tidak terdapat penurunan saraf
adrenergik atau sensoris. Botulisme memiliki pola berat, progresif, dan
simetris.4

H. Tatalaksana
Terapi Farmakologis termasuk obat antikolinesterase dan agen imunosupresif, seperti
kortikosteroid, azatioprin, siklosporin, plasmaferesis, dan immune globulin intravena
(IVIG).1

I. Pencegahan
Karena penyebab miastenia gravis belum diketahui, tidak ada cara pencegahannya.
Tetapi kita dapat mencegah agar penyakitnya tidak memburuk dengan :
- Hindari stress, suhu yang terlalu panas dan dingin, serta penyebaran infeksi
- Perbanyak istirahat, jangan sampai terlalu lelah
J. Prognosis
a) Tanpa pengobatan angka kematian MG 25-31%
b) MG yang mendapat pengobatan, angka kematian 4%
c) 40% hanya gejala okuler
Dalam myasthenia gravis (MG) okuler, lebih dari 50% kasus berkembang ke
myasthenia gravis (MG) umum dalam waktu satu tahun, remisi spontan <10%.
Sekitar 15-17% pasien akan tetap mengalami gejala okular selama masa tindak lanjut
rata-rata hingga 17 tahun. Pasien-pasien ini disebut sebagai myasthenia gravis (MG)
okular. Sisanya mengembangkan kelemahan umum dan disebut sebagai generalized
myasthenia gravis (MG). Sebuah studi dari 37 pasien myasthenia gravis (MG)
menunjukkan bahwa kehadiran thymoma terkait dengan gejala yang lebih buruk.1

DAFTAR PUSTAKA

1. Goldenberg, William. Myasthenia Gravis. 20 Januari 2012. Diunduh dari


http://emedicine.medscape.com/article/1171206-overview , pada 1 Februari 2017
2. Myasthenia Gravis and Related Disorders of The Neuromuscular Junction. In:
Ropper A, Brown R, eds. Adam and Victors : Principles of Neurology 8thed.
McGraw Hill. 2005
3. Eric M, Eliahu S, Feen, Jose I. Myasthenia Gravis Crisis. Southern Medical
Journal. 2008
4. Romi, Gilhus, Aarli. Myasthenia gravis: clinical, immunological,and therapeutic
advances. Acta Neurol Scand. 2005
5. Keesey, John. Clinical Evaluation and Management of Myasthenia Gravis.
Muscle& Nerve. 2004
6. Kumala P, Komala S, Santoso AH, Sulaiman JR, Rienita Y. Kamus saku
Kedokteran Dorland. 26 ed. EGC. 2015
7. Burns et al. Myasthenia Gravis. In Netter`s Neurology 2nd Edition. 2012
8. Drachman DB. Myasthenia Gravis and Other Diseases of The Neuromuscular
Junction Kasper. In: Braunwald, Fauci, Hauser, Longo, Jameson. Harrisons :
Principle of Internal Medicine 18th ed. McGraw Hill. 2012
9. Myasthenia Gravis &Neuromuscular Junction (NMJ) Disorders. Diunduh dari
www.neuromuscular.wustl.edu , 1 Februari 2017
10. James F.H. Epidemiology and Pathophysiology. In: Myasthenia Gravis A Manual
For Health Care Provider. Ed.1. USA: Myasthenia Gravis Foundation of America.
2008
11. John C. Keesey, MD. Clinical Evaluation and Management of Myasthenia Gravis.
In: Muscle and Nerve. Ed. 29. USA: Department of Neurology, UCLA School of
Medicine, Los Angeles. 2004
12. Burmester GR, Pezzutto A. Color Atlas of Immunology. 1sted. Thieme. 2003

You might also like