You are on page 1of 31

LONG CASE

RINOSINUSITIS KRONIS

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


di Bagian Ilmu Penyakit THT RSUD Panembahan Senopati Bantul

Disusun oleh:

Zulqaidandy Rahman

20164011104

Diajukan kepada:

dr. I Wayan Marthana, M.Kes., Sp.THT

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan


Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Departemen Ilmu Penyakit THT
Rumah Sakit Panembahan Senopati
2017
LEMBAR PENGESAHAN

LONG CASE
RINOSINUSITIS KRONIS
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik
di Bagian Ilmu Penyakit THT RSUD Panembahan Senopati Bantul

Disusun oleh :
Zulqaidandy Rahman

20164011104

Telah disetujui dan dipresentasikan pada tanggal 27 Oktober 2017

Pembimbing

dr. I Wayan Marthana, M.Kes., Sp. THT

2
BAB I

STATUS PASIEN

IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. M
Umur : 55 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Bambangmulyo, Bambanglipuro, Bantul
Pendidikan terakhir : Tamat AK/Univ
Pekerjaan : Pensiunan PNS
Agama : Islam
Suku : Jawa
Bangsa : Indonesia
Status pernikahan : Menikah
Periksa ke poli tanggal : 20 Oktober 2017
No.RM : 170089

ANAMNESIS
Dilakukan autoanamnesis dengan pasien tanggal 20 Oktober 2017.
Keluhan utama
Hidung kiri tersumbat sejak 1 bulan yang lalu.
Keluhan tambahan
Keluhan disertai dengan ingus yang terasa menyumbat di hidung kiri dan
berbau busuk.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poli THT dengan keluhan hidung kiri tersumbat
sejak 1 bulan yang lalu. Pasien juga merasa ingus mengalir di sekitar
hidung kiri sejak 1 bulan yang lalu, gejala memberat ketika pasien berada
dalam posisi sujud dan pasien juga merasa ingus mengalir di tenggorokan,
ingus bau (+), warna kuning (+). Pasien juga sering mengeluh nyeri kepala

3
di dahi sebelah kiri dengan kira-kira skor VAS 4 dengan nyeri yang agak
sedikit mengganggu. Hidung berdarah (-), penurunan indra pembau (+)
pada hidung sebelah kiri, bersin (-), demam (-), nyeri telan (-), sakit gigi
(+), gigi bolong (+), riwayat trauma pada hidung disangkal, keluhan
pendegaran (-). Pasien sebelumnya sudah pernah berobat di Poli THT
RSPS selama 1 tahun yang lalu tapi belum merasakan bebas sepenuhnya
dari penyakitnya.

Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat keluhan serupa (+) sejak 2 tahun yang lalu.
Riwayat Rhinitis berulang (+) pada pasien sejak muda tetapi lupa tepatnya.
Riwayat Asma disangkal.
Riwayat Alergi disangkal.
Riwayat trauma pada hidung disangkal.

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga


Riwayat Asma disangkal.
Riwayat Alergi disangkal.
Riwayat Hipertensi disangkal.
Riwayat Diabetes melitus disangkal.
Riwayat anggota keluarga menderita keluhan yang sama disangkal.

Riwayat Personal Sosial dan Lingkungan


Pasien adalah seorang pensiunan PNS. Pasien tidak bekerja sehari-hari,
pasien tinggal bersama suaminya dan memiliki usaha pembuatan mebel
kayu di pekarangan rumahnya. Pasien mengaku debu dari kayu kerap
mengotori rumahnya terutama kamar tidur.

Anamnesis sistem
- Sistem serebrospinal : demam (-), pusing (-), riwayat demam (-)
- Sistem respiratorius : snooring (-), pilek (+), batuk (-)
- Sistem kardiovaskuler : berdebar-debar (-)
- Sistem gastrointestinal : odinofagia (-), dysfagia (-)

4
- Sistem genitalia : tidak ada keluhan
- Sistem muskuloskeletal : tidak ada hambatan dalam bergerak
- Sistem integumentum : akral teraba hangat
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Suhu : Afebris
Nadi : 78 x/menit
Pernafasan : 18x/menit
Tekanan darah : 110/80 mmHg
1. Kepala : Normochepale
Pupil mata isokor
Konjungtiva pucat (-/-)
Sklera ikterik (-/-)
STATUS LOKALIS
a. Telinga

Dextra Sinistra
pars flacida pars flacida

umbo
umbo

pars tensa
pars tensa

cone of light

Inspeksi: AD/AS: bentuk daun telinga normal, deformitas (-/-), tanda


peradangan (-/-), hematom (-/-), edema (-/-), otorrhea (-/-)
Palpasi: AD/AS: Tragus pain (-/-), retroauricular pain (-/-), nyeri
mastoid (-/-)
Otoskopi: AD/AS : serumen (+/+) minimal, membran timpani intak
(+/+), cone of light (+ arah jam 5/+ arah jam 7). Perasat
Toynbee dan Valsava tidak dilakukan.

5
Tes Penala
Kanan Kiri
Tes Rinne (+) (+)
Tes Weber Tidak ada lateralisasi
Tes Schwabach Sama dengan Sama dengan
pemeriksa pemeriksa
Penala yang digunakan 512Hz

b. Hidung dan Paranasal

Dextra Sinistra
meatus superior, lendir (-) meatus media et superior tidak tervisualisasi
meatus media, lendir (-)

konka media konka media edema (+), hiperemis (+)


edema (-), hiperemis (-)
cavum nasi edema (+), hiperemis (-) polip (-)

konka inferior konka inferior


edema (-), hiperemis (-) edema (+), hiperemis (+)

deviasi septum (-)

Inspeksi : Simetris (+), deformitas (-/-), deviasi septum (-),


tanda peradangan (-), massa (-), rhinorrea (+) pada
hidung kiri
Palpasi : Nyeri tekan (-/-), teraba massa (-/-), krepitasi (-)
Rhinoskopi Anterior :
Mukosa : lembab dan edema pada cavum nasi sinistra
Sekret : -/+ mukopurulen warna kuning pada cavum nasi dan
meatus nasi inferior
Konka : edema -/+ edema dan hiperemis pada konka inferior
sinistra dan konka media sinistra
Polip/tumor : -/-
Septum : deviasi -/-

6
Rhinoskopi Posterior

Dextra Sinistra

konka inferior edema (-), hiperemis (-) konka inferior edema (+), hiperemis (+)

deviasi septum (-)

konka media edema (-), hiperemis (-) konka media edema (+), hiperemis (+)
tuba eustachius
tuba eustachius

Koana : normal
Dinding belakang : tidak ada kelainan
Septum nasi : deviasi (-)
Mukosa : lembab (+), sekret (+)
Fossa rossenmuler : hiperemis (-), tumor (-)
Muara tuba eustachius : tidak tertutup sekret
Tes Transluminasi

kanan kiri

Sinus frontalis terang redup

Sinus maksilaris terang Redup

7
c. Tenggorok dan laring (Leher)

uvula
Arkus palatofaringeus

Dextra Sinistra

Tonsila palatina Post


T0/T0 nasal
drip Arkus palatoglossus
(+)
Inspeksi, Palpasi:
Massa (-), glandula thyroid tak teraba
Cavum oris : peradangan ginggiva (-), mukosa mulut
dalam batas normal, papil lidah dalam batas normal, lidah mobile, uvula
sentral tak hiperemis, massa (-), karies pada molar tiga dextra
mandibularis permanen, missing pada molar dua dextra mandibularis
permanen
Tonsil : T0-T0, hiperemis (-), kripta melebar (-/-)
detritus (-/-)
Arcus palatoglosus : tidak hiperemis, protrusi asimetris (-),
massa(-)
Arcus palatopharingeus : hiperemis (-), protrusi asimetris(-),massa(-)
Faring : mukosa hiperemis (+), post nasal drip (+),
edema (-), massa (-)

8
Plica glosoepiglotis

epiglotis

Fossa Trabecula
piriformis cuneiformis

Dextra Sinistra

Plica aritenoid
Trabekula kornikulata
Plica trachea
Plica
vocalis
vestibularis

Laringoskopi indirek
Gerakan pita suara: (Vibrasi +, simetris +) Nodul (-) tumor (-) hiperemis
(-) mukosa pucat (-) glotis (+)
2. Leher: pembesaran limfonodi (-), peningkatan JVP (-)
3. Thorax
a. Jantung
- Inspeksi: iktus cordis tidak terlihat
- Palpasi: iktus cordis teraba pada sela iga ke-4 linea midclavicula kiri
- Perkusi : tidak dilakukan pemeriksaan
- Auskultasi: bunyi jantung S1-S2 regular, murmur(-) bising (-)
b. Paru-paru:
- Inspeksi: simetris saat inspirasi dan ekspirasi, retraksi substernal
intracostal dan substernal (-)
- Palpasi: Vocal fremitus kanan kiri sama, nyeri tekan (-)
- Perkusi: sonor (+/+)
- Auskultasi: vesikuler (+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
4. Abdomen:
- Inspeksi: simetris
- Auskultasi: peristaltik (+)
- Perkusi: tympani (+)

9
- Palpasi: nyeri tekan (-), turgor kulit baik, hepar teraba normal, lien tidak
teraba,
5. Ekstremitas: akral hangat, nadi kuat, capillary refill< 2 detik, edema (-)
RENCANA PEMERIKSAAN PENUNJANG
CT-Scan sinus paranasal
DIAGNOSA KLINIS
Rinosinusitis Kronis
Karies Dentes Molar 3
RENCANA TERAPI
1. Medikamentosa
Irigasi nasal dengan NaCl 0,9%
Amoksisilin 500mg + Asam Clavulanat 125 mg 3x1 (XLII)
Nasal spray fluticasone furoate 27,5 mcg 1x2 spray (pagi) (I)
2. Non medikamentosa
Menghindari kontak dengan terduga alergen debu serbuk kayu.
Konsul dokter gigi spesialis bedah mulut.
3. Edukasi:
Rutin kontrol untuk mengetahui perkembangan penyakit dan mencegah
agar tidak memburuk serta menghindari kontak dengan terduga alergen.

10
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Sinusitis adalah peradangan pada satu atau lebih mukosa sinus
paranasal dengan gejala berupa buntu hidung, nyeri fasial dan pilek kental
(purulen).
Pada tahun 1996, American Academy of Otolaryngology - Head
and Neck Surgery mengusulkan untuk mengganti terminologi sinusitis
dengan rinosinusitis. Istilah rinosinusitis dianggap lebih tepat karena
menggambarkan proses penyakit dengan lebih akurat. Beberapa alasan lain
yang mendasari perubahan "sinusitis" menjadi "rinosinusitis" adalah
1. Membran mukosa hidung dan sinus secara embriologis
berhubungan satu sama lain (contiguous).
2. Sebagian besar penderita sinusitis juga menderita rinitis, jarang
sinusitis tanpa disertai rinitis
3. Gejala pilek, buntu hidung dan berkurangnya penciuman
ditemukan baik pada sinusitis maupun rinitis.
4. Foto CT scan dari penderita common cold menunjukkan
inflamasi mukosa yang melapisi hidung dan sinus paranasal
secara simultan. Beberapa fakta diatas menunjukkan bahwa
sinusitis merupakan kelanjutan dari rinitis.
Keadaan ini menunjukkan rinosinusitis sebenarnya merupakan
kondisi atau manifestasi dari suatu respon inflamasi mukosa sinus
paranasal.

B. Klasifikasi Rinosinusitis
Menurut EPOS 2012, rinosinusitis secara umum diklasifikasikan
berdasarkan keparahan gejala, dan lamanya waktu terjadinya penyakit.
Berdasarkan waktu dibagi menjadi rinosinusitis akut dan kronik.
Dimana rinositis akut dengan batasan >10 hari sampai dengan <12 minggu

11
dimana gejala yang dirasakan dapat hilang sepenuhnya. Sedangkan untuk
gejala yang tidak dapat sepenuhnya hilang dan terjadi selama >12 minggu
disebut sebagai rinosinusitis kronik.
Sedangkan menurut keparahan gejala, digunakan visual analog
scale (VAS). Untuk rinosinusitis ringan dengan skala VAS 3. Sementara
untuk rasa nyeri dengan skala 3 7 diklasifikasikan sebagai rinosinusitis
sedang, dan VAS 7 untuk rinosinusitis berat.
C. Epidemiologi
Berdasarkan data dari National Health Interview Survey 1995,
sekitar 17,4 % penduduk dewasa Amerika Serikat (AS) pernah mengidap
sinusitis dalam jangka waktu 12 bulan. Dari survei yang dilakukan,
diperkirakan angka prevalensi rinosinusitis kronik pada penduduk dewasa
AS berkisar antara 13-16 %, dengan kata lain, sekitar 30 juta penduduk
dewasa AS mengidap rinosinusitis kronik. Dengan demikian rinosinusitis
kronik menjadi salah satu penyakit kronik yang paling populer di AS
melebihi penyakit asma, penyakit jantung, diabetes dan sefalgia. Kennedy
melaporkan pada tahun 1994 adanya peningkatan jumlah kunjungan
pasien sinusitis kronik sebanyak 8 juta menjadi total 24 juta pertahun
antara tahun 1989 dan 1992.
Dari Kanada tahun 2003 diperoleh angka prevalensi rinosinusitis
kronik sekitar 5% dengan rasio wanita berbanding pria yaitu 6 berbanding
4 lebih tinggi pada kelompok wanita.
Berdasarkan penelitian divisi Rinologi Departemen THT-KL FKUI
tahun 1996, dari 496 pasien rawat jalan ditemukan 50 % penderita sinusitis
kronik. Dampak yang diakibatkan rinosinusitis kronik meliputi berbagai
aspek, antara lain aspek kualitas hidup ( Quality of Life / QOL ) dan aspek
sosioekonomi.
D. Etiologi
Kesehatan sinus setiap orang bergantung pada sekresi mukus yang
normal baik dari segi viskositas, volume dan komposisi; transport
mukosiliar yang normal untuk mencegah stasis mukus dan kemungkinan

12
infeksi; serta patensi kompleks ostiomeatal untuk mempertahankan
drainase dan aerasi.
Etiologi rinosinusitis akut dan rinosinusitis kronik berbeda secara
mendalam. Pada rinosinusitis akut, infeksi virus dan bakteri patogen telah
ditetapkan sebagai penyebab utama. Namun sebaliknya, etiologi dan
patofisiologi rinosinusitis kronik bersifat multifaktorial dan belum
sepenuhnya diketahui; rinosinusitis kronik merupakan sindrom yang
terjadi karena kombinasi etiologi yang multipel. Ada beberapa pendapat
dalam mengkategorikan etiologi rinosinusitis kronik. Berdasarkan EP3OS
2007, faktor yang dihubungkan dengan kejadian rinosinusitis kronik tanpa
polip nasi yaitu ciliary impairment, alergi, asma, keadaan
immunocompromised, faktor genetik, kehamilan dan endokrin, faktor
lokal, mikroorganisme, jamur, osteitis, faktor lingkungan, faktor
iatrogenik, H.pylori dan refluks laringofaringeal.
Publikasi Task Force (2003) menyatakan bahwa rinosinusitis
kronik merupakan hasil akhir dari proses inflamatori dengan kontribusi
beberapa faktor yaitu faktor sistemik, faktor lokal dan faktor lingkungan.
Berdasarkan ketiga kelompok tersebut, maka faktor etiologi rinosinusitis
kronik dapat dibagi lagi menjadi berbagai penyebab secara spesifik, ini
dapat dilihat pada tabel 2 berikut.
James Baraniuk (2002) mengklasifikasikan bermacam
kemungkinan patofisiologi penyebab rinosinusitis kronik menjadi
rinosinusitis inflamatori (berdasarkan tipe infiltrat selular yang
predominan) dan rinosinusitis non inflamatori (termasuk disfungsi neural
dan penyebab lainnya seperti hormonal dan obat).15 Rinosinusitis
inflamatori kemudian dibagi lagi berdasarkan tipe infiltrasi selular menjadi
jenis eosinofilik, neutrofilik dan kelompok lain.

13
Tabel 1. Faktor Etiologi Rinosinusitis kronik.
Genetic/PhysiologicFactors Environmental Factors Structural Factors
Airway hyperreactivity Allergy Septal deviation
Immunodeficiency Smoking Concha bullosa
Aspirin sensitivity Irritants/pollution Paradoxic middle
turbinate
Ciliary dysfunction Viruses Haller cells
Cystic fibrosis Bacteria Frontal cells
Autoimmune disease Fungi Scarring
Granulomatous disorders Stress Bone inflammation
Craniofacial anomalies
Foreign bodies
Dental disease
Mechanical trauma
Barotrauma
E. Patofisiologi
Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan tempat drainase bagi
kelompok sinus anterior (frontalis, ethmoid anterior dan maksilaris) dan
berperan penting bagi transport mukus dan debris serta mempertahankan
tekanan oksigen yang cukup untuk mencegah pertumbuhan bakteri.
Obstruksi ostium sinus pada KOM merupakan faktor predisposisi yang
sangat berperan bagi terjadinya rinosinusitis kronik. Namun demikian,
kedua faktor yang lainnya juga sangat berperan bagi terjadinya
rinosinusitis kronik. Interupsi pada satu atau lebih faktor diatas akan
mempengaruhi faktor lainnya dan kemudian memicu terjadinya kaskade
yang berkembang menjadi rinosinusitis kronik dengan perubahan
patologis pada mukosa sinus dan juga mukosa nasal, seperti gambar
dibawah ini:

14
Gambar 1. Patofisiologi rinosinusitis kronik
Sebagian besar kasus rinosinusitis disebabkan karena inflamasi
akibatdari colds (infeksi virus) dan rinitis alergi. Infeksi virus yang
menyerang hidung dan sinus paranasal menyebabkan udem mukosa
dengan tingkat keparahan yang berbeda. Virus penyebab tersering adalah
coronavirus, rhinovirus, virus influenza A , dan respiratory syncytial virus
(RSV).
Selain jenis virus, keparahan udem mukosa bergantung pada
kerentanan individu. Infeksi virus influenza A dan RSV biasanya
menimbulkan udem berat. Udem mukosa akan menyebabkan obstruksi
ostium sinus sehingga sekresi sinus normal menjadi terjebak (sinus stasis).
Pada keadaan ini ventilasi dan drainase sinus masih mungkin dapat
kembali normal, baik secara spontan atau efek dari obat-obat yang
diberikan sehingga terjadi kesembuhan. Apabila obstruksi ostium sinus
tidak segera diatasi (obstruksi total) maka dapat terjadi pertumbuhan
bakteri sekunder pada mukosa dan cairan sinus paranasal. Sekitar 0,5% -
5% dari rinosinusitis virus (RSV) pada dewasa berkembang menjadi
rinosinusitis akut bakterial.
Peneliti lain mengatakan, infeksi saluran napas atas akut yang
disertai komplikasi rinosinusitis akut bakterial tidak lebih dari 13%.
Bakteri yang paling sering dijumpai pada rinosinusitis akut dewasa adalah
Streptococcus pneumoniae dan Haemaphilus influenzae, sedangkan pada
anak Branhamella (Moraxella) catarrhalis. Bakteri ini kebanyakan

15
ditemukan di saluran napas atas, dan umumnya tidak menjadi patogen
kecuali bila lingkungan disekitarnya menjadi kondusif untuk
pertumbuhannya. Pada saat respons inflamasi terus berlanjutdan respons
bakteri mengambil alih, lingkungan sinus berubah ke keadaan yang lebih
anaerobik. Flora bakteri menjadi semakin banyak (polimikrobial) dengan
masuknya kuman anaerob, Streptococcus pyogenes (microaero-philic
streptococci), -dan Staphylococcus aureus. Perubahan lingkungan bakteri
ini dapat menyebabkan peningkatan organisme yang resisten dan
menurunkan efektivitas antibiotik akibat ketidakmampuan antibiotik
mencapai sinus.
Infeksi menyebabkan 30% mukosa kolumnar bersilia mengalami
perubahan metaplastik menjadi mucus secreting goblet cells, sehingga
efusi sinus makin meningkat. Pada pasien rinitis alergi, alergen
menyebabkan respons inflamasi dengan memicu rangkaian peristiwa yang
berefek pelepasan mediator kimia dan mengaktifkan sel inflamasi.
Limfosit T-helper 2 (Th-2) menjadi aktif dan melepaskan sejumlah sitokin
yang berefek aktivasi sel mastosit, sel B dan eosinofil. Berbagai sel ini
kemudian melanjutkan respons inflamasi dengan melepaskan lebih banyak
mediator kimia yang menyebabkan udem mukosa dan obstruksi ostium
sinus. Rangkaian reaksi alergi ini akhirnya membentuk lingkungan yang
kondusif untuk pertumbuhan bakteri sekunder seperti halnya pada infeksi
virus.
Klirens dan ventilasi sinus yang normal memerlukan mukosa yang
sehat. Inflamasi yang berlangsung lama (kronik) sering berakibat
penebalan mukosa disertai kerusakan silia sehingga ostium sinus semakin
buntu. Mukosa yang tidak dapat kembali normal setelah inflamasi akut
dapat menyebabkan gejala persisten dan-mengarah pada rinosinusitis
kronik.
Bakteri yang sering dijumpai pada rinosinusitis kronik adalah
Staphylococcus coagulase negative (51%), Staphylococcus aureus (20%),

16
anaerob (3%), Streptococcus pneumoniae, dan bakteri yang sering
dijumpai pada rinosinusitis akut bakterial.
Rinosinusitis kronik yang merupakan perjalanan penyakit yang
panjang, seperti pada tabel 1 yang menunjukkan berbagai faktor etiologi
dapat berperan dalam patofisiologi terjadinya rinosinusitis kronik.
1. Faktor genetic/fisiologik:
Hipereaktivitas saluran napas (asma) merupakan faktor yang
berperan bagi rinosinusitis kronik, banyak penelitian menemukan ada
asosiasi yang kuat antara asma dengan rinosinusitis kronik. Identifikasi
gen ADAM-33 (disintegrin dan metaloprotease 33) pada pasien asma
semakin memperkuat kemungkinan adanya hubungan tersebut.
Imunodefisiensi (bawaan atau dapatan) juga berperan terhadap
rinosinusitis kronik. Penelitian Chee dkk (2001) menunjukkan bahwa
pada keadaan level imunoglobulin (IgG, IgA, IgM) yang rendah dan
kurangnya fungsi sel limfosit T, maka kejadian sinusitis yang refrakter
cenderung meningkat. Defisiensi IgG adalah yang paling sering
menjadi penyebab bagi rinosinusitis kronik. Pada individu dengan
HIV, rinosinusitis sering terjadi (38-68 %) dengan klinis yang lebih
berat namun resisten terhadap terapi. Garcia-Rodriques dkk (1999)
melaporkan adanya korelasi kuat antara jumlah sel CD4+ dengan
probabilitas rinosinusitis. Juga disebutkan bahwa organisme atipikal
seperti Aspergilus spp, Pseudomonas aeruginosa dan mikrosporidia
sering diisolasi dari sinus penderita dan neoplasma seperti Limfoma
Non Hodgkin dan sarkoma Kaposi dapat menjadi faktor penyebab
gangguan sinonasal pasien HIV-AIDS. Keadaan hiperimun seperti
pada sindroma vaskulitis Churg-Strauss dan sindroma Job dapat juga
menjadi predisposisi bagi rinosinusitis kronik.
Keadaan autoimun lain yang juga berhubungan dengan
rinosinusitis kronik adalah sistemik lupus eritematosus, polikondritis
relaps dan sindroma Sjogren. Sindroma Samter dimana terdapat polip
nasi, asma bronkial dan intoleransi aspirin merupakan suatu kondisi

17
dengan etiologi yang tidak jelas namun mempunyai hubungan dengan
rinosinusitis onset dini. Kelainan bawaan seperti kistik fibrosis,
sindroma Young, sindroma Kartagener atau diskinesia siliar primer,
berkaitan dengan klirens mukosiliar sinus yang abnormal sehingga
menyebabkan timbulnya rinosinusitis kronik. Wang dkk (2000)
menemukan adanya mutasi gen pada pasien kistik fibrosis yang
mengarah pada terjadinya rinosinusitis kronik. Pada diskinesia siliar
primer dan sindroma Kartagener, terjadi disfungsi siliar yang menjadi
faktor penyebab rinosinusitis.
Rinosinusitis juga sering ditemukan pada kelainan granulomatosis
seperti sarkoidosis dan granulomatosis Wegener. Pada keadaan ini,
terjadi respon inflamasi kronik diikuti dengan perubahan jaringan
lokal yang bervariasi tingkat berat ringannya dari destruksi silia dan
kelenjar mukus sampai destruksi jaringan lokal.
2. Faktor Lingkungan
Hubungan antara rinitis alergi dengan rinosinusitis telah banyak
dipelajari dan tercatat walaupun hubungan kausal belum dapat
ditegakkan secara pasti. Pada pasien dengan rinosinusitis kronik,
prevalensi rinitis alergi berkisar antara 25-50 %. Pada pasien yang
menjalani operasi sinus, prevalensi hasil test kulit positif berkisar
antara 50-84 %, mayoritas (60%) dengan sensitivitas multipel. Namun
bagaimana alergi bisa mengakibatkan rinosinusitis kronik, hingga hari
ini belum diketahui secara jelas. Menurut Stammberger 1991
menyatakan bahwa: udem mukosa nasal pada pasien rinitis alergi
yang terjadi pada ostium sinus dapat mengurangi ventilasi bahkan
mengakibatkan obstruksi ostium sinus sehingga mengakibatkan retensi
mukus dan infeksi. Namun hal ini lebih mengarah kepada
rinosinusitis akut sedangkan sejauh mana perkembangan dan
persistensi keadaan ini memberikan pengaruh bagi rinosinusitis
kronik, hingga kini belum dapat dijelaskan.

18
Faktor iritan dan polutan banyak memberikan implikasi bagi
perkembangan rinosinusitis kronik, antara lain : asap rokok, debu,
ozon, sulfur dioksida, komponen volatil organik, dll. Bahan polutan ini
bertindak sebagai iritan nasal mengakibatkan kekeringan dan inflamasi
lokal diikuti influks neutrofil. Sebagai tambahan, asap rokok juga
menyebabkan kelainan siliar sekunder dengan defek mikrotubular
primer.
Peranan virus dalam menyebabkan rinosinusitis kronik belum
sepenuhnya jelas. Pada studi epidemiologik skala besar, Gable dkk
(1994) menemukan peningkatan insiden rinosinusitis kronik selama
musim infeksi saluran pernapasan atas. Sedangkan studi yang
melibatkan manusia dan hewan, menunjukkan bahwa virus
menyebabkan perubahan morfologis dan fungsional multipel pada sel
epitel nasal, termasuk peningkatan pelepasan sel epitel, pemendekan
silia, berkurangnya frekuensi gerakan silia serta penurunan klirens
mukosiliar. Adenovirus dan RSV (respiratory syncytial virus)
didapatkan pada pasien rinosinusitis kronik yang menjalani operasi
sinus endoskopik.
Walau ada hipotesis bahwa rinosinusitis kronik berkembang dari
rinosinusitis akut, namun sejauh ini hal tersebut belum dapat
dibuktikan. Gambaran bakteriologi rinosinusitis kronik berbeda
dengan rinosinusitis akut. Pada rinosinusitis kronik, kuman yang
predominan adalah S.aureus, stafilokokus koagulase negatif, bakteri
anaerob dan gram negatif. Sedangkan pada rinosinusitis akut, kuman
predominan antara lain S.pneumoniae, H.influenzae dan M.catarrhalis.
Beberapa penelitian retrospektif dan prospektif telah dilakukan
untuk menilai bakteri penyebab rinosinusitis kronik baik pada orang
dewasa maupun anak. Pada orang dewasa, gambaran kuman umumnya
polimikrobial baik gram positif maupun gram negatif, aerob dan
anaerob. Kuman aerob yang terisolasi berkisar antara 50-100 %

19
sedangkan kuman anaerob berkisar antara 0-100 %. Kuman anaerob
banyak terdapat pada infeksi sekunder akibat masalah gigi.
Bakteri biofilm diperkirakan juga menjadi salah satu penyebab
persistensi rinosinusitis kronik. Biofilm merupakan suatu matriks
kompleks polisakarida yang disintesis oleh bakteri dan bertindak
sebagai protektor lingkungan mikro bagi koloni bakteri. Keberadaan
biofilm membantu menjelaskan adanya bentuk rinosinusitis kronik
yang refrakter walaupun telah diberi terapi antimikroba poten. Cryer
dkk (2004) berhasil mengidentifikasi bakteri biofilm dari mukosa sinus
yang terinfeksi Pseudomonas aeruginosa, dengan mikroskop elektron.
Biofilm juga ditemukan pada otitis media, kolesteatoma dan tonsilitis.
Peranan bakteri anaerob pada rinosinusitis kronik telah ditunjukkan
pada berbagai studi yang dilakukan oleh Nord (1995). Kemampuan
potensial bakteri aerob dan anaerob memproduksi beta laktamase
untuk melindungi organisme yang suseptibel terhadap penisilin
ditunjukkan oleh Brook dkk (1996). Resistensi kuman Streptocossus
pneumoniae penghasil protein pengikat penisilin berkisar antara 28
hingga 44 %.
Para peneliti berpendapat bahwa bakteri dapat secara langsung
bertindak mengaktifkan kaskade inflamatori, disamping fungsi
tradisional mereka yang berlaku sebagai agen infeksius. Pada individu
yang suseptibel, bakteri superantigen seperti staphylococcal
enterotoxin dapat langsung mengaktifkan sel limfosit T melalui jalur
aktivasi sel T dengan mekanisme antigen presenting cell (APC).
Istilah superantigen digunakan untuk menjelaskan kemampuan bakteri
(S.aureus dan S.pyogenes) memproduksi partikel yang dapat
mengaktifkan sejumlah besar suppopulasi sel T (berkisar antara 530
%) yang kontras dengan antigen topikal konvensional (kurang dari
0,01 %).
Pada jalur tradisional, antigen difagosit oleh APC (antigen
presenting cell), terdegradasi menjadi sejumlah fragmen peptida yang

20
kemudian diproses pada permukaan sel setelah berikatan dengan
reseptor MHC (major histocompatibility complex) kelas II, selanjutnya
akan dikenal oleh sel limfosit T yang kompatibel dan dimulailah
respon inflamasi. Superantigen mempunyai kemampuan memintas
proses diatas, langsung berikatan dengan permukaan domain HLA-DR
alpha pada MHC kelas II dan domain V beta pada reseptor sel T.
Selanjutnya terjadi stimulasi ekspresi masif IL-2, kemudian IL-2
menstimulasi produksi sitokin lainnya seperti TNF-, IL-1, IL-8 dan
PAF (platelet activating factor) yang memicu terjadinya respon
inflamasi. Selain itu, superantigen juga bertindak sebagai antigen
tradisional yang menstimulasi produksi antibodi superantigen.
Schubert (2001) menyatakan bahwa potensi bakteri superantigen
disertai persistensi mikroba, produksi superantigen dan respon sel
limfosit T merupakan komponen fundamental yang menyatukan
berbagai kelainan kronik mukosa respiratorik tipe eosinofilik-
limfositik pada patogenesis rinosinusitis kronik.
3. Faktor Struktural
Mukosa cavum nasi dan sinus paranasal memproduksi sekitar satu
liter mukus per hari, yang dibersihkan oleh transport mukosiliar.
Obstruksi ostium sinus KOM akan mengakibatkan akumulasi dan
stagnasi cairan, membentuk lingkungan yang lembab dan suasana
hipoksia yang ideal bagi pertumbuhan kuman patogen.
Obstruksi KOM dapat disebabkan oleh berbagai kelainan anatomis
seperti deviasi septum, konka bulosa, sel Haier (ethmoidal
infraorbital), prosesus unsinatus horizontal, skar akibat bekas operasi
dan anomali kraniofasial.
Perubahan tulang (ethmoid dan maksila) yang terjadi pada
rinosinusitis kronik telah lama diamati secara klinis, radiografik dan
histologik. Beberapa studi menunjukkan bahwa perubahan osteitis
dimulai dari meningkatnya vaskularisasi, infiltrasi proses inflamasi
dan selanjutnya terjadi fibrosis pada sistem kanal Haversian.

21
Histomorfometri menunjukkan peningkatan jumlah sel inflamatori
dan turnover tulang, seperti yang terdapat pada osteomielitis. Pada CT-
scan terlihat adanya peningkatan densitas tulang dan penebalan tulang
iregular. Penebalan tulang iregular yang terjadi merupakan tanda
adanya proses inflamasi pada tulang yang berpengaruh pada inflamasi
mukosa.
Inflamasi memegang peranan penting dalam patogenesis
rinosinusitis kronik. Fase inisial yang paling penting bagi terjadinya
rinosinusitis kronik adalah iritasi mukosa. Gambaran skematik
dibawah (gambar 2) menunjukkan alterasi potensial pada mukosa
nasal yang terjadi setelah terpapar oleh bakteri, virus, alergen, polusi
udara, superantigen maupun jamur. Semua itu mengakibatkan
peningkatan ICAM-1 (intercellullar adhesion molecule 1) dan sitokin
lainnya. Molekul HLA-DR (human leukocyte antigen DR) pada
permukaan epitelial ikut meningkat, selanjutnya memegang peranan
pada respon imun spesifik melalui sel TH1 dan TH2 untuk kemudian
melepaskan berbagai sitokin spesifik. GM-CSF (granulocyte-
macrophage-colony stimulating factor), IL-8 dan TNF- (tumor
necrosing factor alpha) ikut dilepaskan yang kemudian memberikan
efek kepada sel makrofag, mastosit, eosinofil dan neutrofil. Interferon
gamma yang dilepaskan sel TH1 juga ikut meningkatkan produksi
ICAM-1 pada permukaan sel epitel respiratorik.

Gambar 2. Alterasi potensial pada mukosa nasal post-invasi antigen.

22
F. Diagnosis
Menurut Task Force on Rhinosinusitis (TFR) 2003, ada tiga
kriteria yang dibutuhkan untuk mendiagnosis rinosinusitis kronik,
berdasarkan penemuan pada pemeriksaan fisik seperti ditampilkan pada
tabel 2.
Diagnosis klinik ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang meliputi transiluminasi, pemeriksaan
radiologi, endoskopi nasal, CT-scan dan lainnya.
Tabel 2. Kriteria diagnosis rinosinusitis kronik terdiri dari durasi dan
pemeriksaan fisik. Bila hanya ditemukan gambaran radiologis namun tanpa klinis
lainnya maka diagnosis tidak dapat ditegakkan.

REQUIREMENTS FOR DIAGNOSIS OF CHRONIC RHINOSINUSITIS


(2003 TASK FORCE)
Duration Physical findings (on of the following must be present)
>12 weeks of continuous 1. Discolored nasal discharge, polyps, or polypoid
swelling on anterior rhinoscopy (with
symptoms (as described
decongestion) or nasal endoscopy
by 1996 Task Force) or 2. Edema or erythema in middle meatus on nasal
endoscopy
physical findings
3. Generalized or localized edema, erythema, or
granulation tissue in nasal cavity. If it does not
involve the middle meatus, imaging is required for
diagnosis
4. Imaging confirming diagnosis (plain filmsa or
computerized tomography)b

Diagnosis rinosinusitis kronik tanpa polip nasi (pada dewasa)


berdasarkan EP3OS 2007 ditegakkan berdasarkan penilaian subyektif,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang lainnya.1 Penilaian
subyektif berdasarkan pada keluhan, berlangsung lebih dari 12 minggu:
1) Buntu hidung, kongesti atau sesak
2) Sekret hidung / post nasal drip, umumnya mukopurulen
3) Nyeri wajah / tekanan, nyeri kepala dan
4) Penurunan / hilangnya penciuman

23
Pemeriksaan fisik yang dilakukan mencakup rinoskopi anterior dan
posterior.1 Yang menjadi pembeda antara kelompok rinosinusitis kronik
tanpa dan dengan nasal polip adalah ditemukannya jaringan polip /
jaringan polipoid pada pemeriksaan rinoskopi anterior. Pemeriksaan
penunjang yang dilakukan antara lain endoskopi nasal, sitologi dan
bakteriologi nasal, pencitraan (foto polos sinus, transiluminasi, CT-scan
dan MRI), pemeriksaan fungsi mukosiliar, penilaian nasal airway, fungsi
penciuman dan pemeriksaan laboratorium.
Anamnesis
Anamnesis yang cermat dan teliti sangat diperlukan terutama
dalam menilai gejala-gejala yang ada pada kriteria diatas, mengingat
patofisiologi rinosinusitis kronik yang kompleks. Adanya penyebab infeksi
baik bakteri maupun virus, adanya latar belakang alergi atau kemungkinan
kelainan anatomis rongga hidung dapat dipertimbangkan dari riwayat
penyakit yang lengkap. Informasi lain yang perlu berkaitan dengan
keluhan yang dialami penderita mencakup durasi keluhan, lokasi, faktor
yang memperingan atau memperberat serta riwayat pengobatan yang
sudah dilakukan. Beberapa keluhan/gejala yang dapat diperoleh melalui
anamnesis dapat dilihat pada tabel 1 pada bagian depan. Menurut EP3OS
2007, keluhan subyektif yang dapat menjadi dasar rinosinusitis kronik
adalah:
1) Obstruksi nasal
Keluhan buntu hidung pasien biasanya bervariasi dari obstruksi aliran
udara mekanis sampai dengan sensasi terasa penuh daerah hidung dan
sekitarnya
2) Sekret / discharge nasal
Dapat berupa anterior atau posterior nasal drip
3) Abnormalitas penciuman
Fluktuasi penciuman berhubungan dengan rinosinusitis kronik yang
mungkin disebabkan karena obstruksi mukosa fisura olfaktorius
dengan / tanpa alterasi degeneratif pada mukosa olfaktorius

24
4) Nyeri / tekanan fasial
Lebih nyata dan terlokalisir pada pasien dengan rinosinusitis akut,
pada rinosinusitis kronik keluhan lebih difus dan fluktuatif.

Pemeriksaan Fisik
Rinoskopi anterior dengan cahaya lampu kepala yang adekuat dan
kondisi rongga hidung yang lapang (sudah diberi topikal dekongestan
sebelumnya). Dengan rinoskopi anterior dapat dilihat kelainan rongga
hidung yang berkaitan dengan rinosinusitis kronik seperti udem konka,
hiperemi, sekret (nasal drip), krusta, deviasi septum, tumor atau polip.
Rinoskopi posterior bila diperlukan untuk melihat patologi di
belakang rongga hidung.
Pemeriksaan Penunjang
Transiluminasi, merupakan pemeriksaan sederhana terutama untuk
menilai kondisi sinus maksila. Pemeriksaan dianggap bermakna bila
terdapat perbedaan transiluminasi antara sinus kanan dan kiri.
Endoskopi nasal, dapat menilai kondisi rongga hidung, adanya
sekret, patensi kompleks ostiomeatal, ukuran konka nasi, udem disekitar
orifisium tuba, hipertrofi adenoid dan penampakan mukosa sinus. Indikasi
endoskopi nasal yaitu evaluasi bila pengobatan konservatif mengalami
kegagalan. Untuk rinosinusitis kronik, endoskopi nasal mempunyai tingkat
sensitivitas sebesar 46 % dan spesifisitas 86 %.
Radiologi, merupakan pemeriksaan tambahan yang umum
dilakukan, meliputi X-foto posisi Water, CT-scan, MRI dan USG. CT-
scan merupakan modalitas pilihan dalam menilai proses patologi dan
anatomi sinus, serta untuk evaluasi rinosinusitis lanjut bila pengobatan
medikamentosa tidak memberikan respon. Ini mutlak diperlukan pada
rinosinusitis kronik yang akan dilakukan pembedahan. Contoh gambaran
CT-scan rinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada orang dewasa dapat
dilihat pada gambar 3.

25
Gambar 3. CT-scan penampang koronal menunjukkan rinosinusitis kronik akibat
konka bulosa sehingga mengakibatkan penyempitan KOM.

Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan antara lain:


1. Sitologi nasal, biopsi, pungsi aspirasi dan bakteriologi
2. Tes alergi
3. Tes fungsi mukosiliar : kliren mukosiliar, frekuensi getar siliar,
mikroskop elektron dan nitrit oksida
4. Penilaian aliran udara nasal (nasal airflow): nasal inspiratory
peakflow, rinomanometri, rinometri akustik dan rinostereometri
5. Tes fungsi olfaktori: threshold testing
6. Laboratorium : pemeriksaan CRP ( C-reactive protein)
G. Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan rinosinusitis kronik tanpa polip nasi pada
orang dewasa dibedakan menjadi dua yaitu penatalaksanaan
medikamentosa dan pembedahan. Pada rinosinusitis kronik (tanpa polip
nasi), terapi pembedahan mungkin menjadi pilihan yang lebih baik
dibanding terapi medikamentosa. Adanya latar belakang seperti alergi,
infeksi dan kelainan anatomi rongga hidung memerlukan terapi yang
berlainan juga.

26
Terapi Medikamentosa
Terapi medikamentosa memegang peranan dalam penanganan
rinosinusitis kronik yakni berguna dalam mengurangi gejala dan keluhan
penderita, membantu dalam diagnosis rinosinusitis kronik (apabila terapi
medikamentosa gagal maka cenderung digolongkan menjadi rinosinusitis
kronik) dan membantu memperlancar kesuksesan operasi yang dilakukan.
Pada dasarnya yang ingin dicapai melalui terapi medikamentosa adalah
kembalinya fungsi drainase ostium sinus dengan mengembalikan kondisi
normal rongga hidung.
Jenis terapi medikamentosa yang digunakan untuk rinosinusitis
kronik tanpa polip nasi pada orang dewasa antara lain:
1. Antibiotika, merupakan modalitas tambahan pada rinosinusitis kronik
mengingat terapi utama adalah pembedahan. Jenis antibiotika yang
digunakan adalah antibiotika spektrum luas antara lain:
Amoksisilin + asam klavulanat
Sefalosporin: cefuroxime, cefaclor, cefixime
Florokuinolon : ciprofloksasin
Makrolid : eritromisin, klaritromisin, azitromisin
Klindamisin
Metronidazole
2. Antiinflamatori dengan menggunakan kortikosteroid topikal atau
sistemik.
a. Kortikosteroid topikal : beklometason, flutikason, mometason
b. Kortikosteroid sistemik, banyak bermanfaat pada rinosinusitis
kronik dengan polip nasi dan rinosinusitis fungal alergi.
3. Terapi penunjang lainnya meliputi:
a. Dekongestan oral/topikal yaitu golongan agonis -adrenergik
b. Antihistamin
c. Stabilizer sel mast, sodium kromoglikat, sodium nedokromil
d. Mukolitik
e. Antagonis leukotrien

27
f. Imunoterapi
g. Lainnya: humidifikasi, irigasi dengan salin, olahraga,
avoidance terhadap iritan dan nutrisi yang cukup

Terapi Pembedahan
Terapi bedah yang dilakukan bervariasi dimulai dengan tindakan
sederhana dengan peralatan yang sederhana sampai operasi menggunakan
peralatan canggih endoskopi. Beberapa jenis tindakan pembedahan yang
dilakukan untuk rinosinusitis kronik tanpa polip nasi ialah:
1. Sinus maksila:
a. Irigasi sinus (antrum lavage)
b. Nasal antrostomi
c. Operasi Caldwell-Luc
2. Sinus etmoid:
a. Etmoidektomi intranasal, eksternal dan transantral
3. Sinus frontal:
a. Intranasal, ekstranasal
b. Frontal sinus septoplasty
c. Fronto-etmoidektomi
4. Sinus sfenoid :
a. Trans nasal
b. Trans sfenoidal
5. FESS (functional endoscopic sinus surgery), dipublikasikan pertama
kali oleh Messerklinger tahun 1978. Indikasi tindakan FESS adalah:
a. Sinusitis (semua sinus paranasal) akut rekuren atau kronis
b. Poliposis nasi
c. Mukokel sinus paranasal
d. Mikosis sinus paranasal
e. Benda asing
f. Osteoma kecil
g. Tumor (terutama jinak, atau pada beberapa tumor ganas)

28
h. Dekompresi orbita / n.optikus
i. Fistula likuor serebrospinalis dan meningo ensefalokel
j. Atresia koanae
k. Dakriosistorinotomi
l. Kontrol epistaksis
m. Tumor pituitari, ANJ, tumor pada skull base
H. Komplikasi
Pada era pra antibiotika, komplikasi merupakan hal yang sering terjadi dan
seringkali membahayakan nyawa penderita, namun seiring
berkembangnya teknologi diagnostik dan antibiotika, maka hal tersebut
dapat dihindari. Komplikasi rinosinusitis kronik tanpa polip nasi
dibedakan menjadi komplikasi orbita, oseus/tulang, endokranial dan
komplikasi lainnya.
1.1.Komplikasi orbita :
a) Selulitis periorbita
b) Selulitis orbita
c) Abses subperiosteal
d) Abses orbita
1.2.Komplikasi oseus/tulang : Osteomielitis (maksila dan frontal)
1.3.Komplikasi endokranial:
a) Abses epidural / subdural
b) Abses otak
c) Meningitis
d) Serebritis
e) Trombosis sinus kavernosus
1.4.Komplikasi lain yang sangat jarang terjadi : abses glandula lakrimalis,
perforasi septum nasi, hilangnya lapangan pandang, mukokel/mukopiokel,
septikemia.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Hilger,A Peter. Rinosinusitis Alergika. Dalam : Adams, Boies, Higler. BOIES:


Buku Ajar Penyakit THT (Boies Fundamentals of Otolaryngology) edisi 6.
Jakarta : EGC. 1997. h.210-218.
2. Nina Irawati, Elise Kasakeyan dan Nikmah Rusmono. Rinitis Alergi. Soepardi
EA, Iskandar N, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok
Kepala Leher Edisi Keenam. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007. h. 118-122.
3. Fokkens W, Lund V, Mullol J, et al. European position paper on rhinosinusitis
and nasal polyps. Rhinology, 2012; 50(suppl 23): 1-198.
4. Busquets JM, Hwang PH. Nonpolypoid rhinosinusitis: Classification, diagnosis
and treatment. In Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, eds. Head & Neck
Surgery Otolaryngology. 4th ed. Vol 1. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins, 2006; 406-416.
5. Jr File. Sinusitis: Epidemiology. In Brook I, eds. Sinusitis from microbiology
to management. New York: Taylor & Francis,2006; 1-13.
6. Lund VJ. Impact of chronic rhinosinusitis on quality of life and health care
expenditure. In Hamilos DL, Baroody FM, eds. Chronis rhinosinusitis
pathogenesis and medical management. New York: Informa,2007; 15-21.
7. Gosepath J, Mann WJ. Current concepts in therapy of chronic rhinosinusitis
and nasal polyposis. ORL,2005; 67: 125-136.
8. NN. Sinusitis termasuk penyakit mahal. Waspada Online.2007 Agustus 9.
http://www.waspada.co.id. Accessed at 20th September 2008.
9. Clement PAR. Classification of rhinosinusitis. In Brook I, eds. Sinusitis from
microbiology to management. New York: Taylor & Francis, 2006; 15-34.
10. Pawankar R, Nonaka M, Yamagishi S, et al. Pathophysiologic mechanisms of
chronic rhinosinusitis. Immunol Allergy Clin N Am, 2004; 24:75-85.
11. Kentjono WA. Rinosinusitis: etiologi dan patofisiologi. In Mulyarjo, Soedjak
S, Kentjono WA, Harmadji S, JPB Herawati S, eds. Naskah lengkap
perkembangan terkini diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis. Surabaya:
Dep./SMF THT-KL Univ.Airlangga,2004; 1-16.
12. Osguthorpe JD. Adult rhinosinusitis : diagnosis and management. American
Family Physician, 2001; 63:69-74.
13. Hamilos DL. Chronic rhinosinusitis pattern of illness. In Hamilos DL, Baroody
FM, eds. Chronis rhinosinusitis pathogenesis and medical management. New
York: Informa, 2007;1-12.
14. Shah DR, Salamone FN, Tami TA. Acute & chronic rhinosinusitis. In Lalwani
AK, eds. Current diagnosis and treatment in otolaryngology head and neck
surgery. New York: Mc Graw Hill, 2008; 273-281.
15. Hamilos DL. Chronic sinusitis. Current reviews of allergy and clinical
immunology, 2000; 106: 213-226.
16. Jackman AH, Kennedy DW. Pathophysiology of sinusitis.In Brook I, eds.
Sinusitis from microbiology to management. New York: Taylor & Francis,
2006;109-129.

30
17. Ferguson BJ, Johnson JT. Chronic sinusitis. In Cummings CW, Flint PW,et al
eds. Cummings: otolaryngology - head & neck surgery. 4th ed. Philadelphia:
Elsevier Mosby, 2005; 1-4.
18. Naclerio RM, Gungor A. Etiologic factors in inflammatory sinus disease. In
Kennedy DW, Bolger WE, Zinreich SJ, eds. Diseases of the sinuses diagnosis
and management. Hamilton: BC Decker Inc, 2001;47-53.
19. Bernstein JM. Chronic rhinosinusitis with and without nasal polyposis. In
Brook I, eds. Sinusitis from microbiology to management. New York: Taylor
& Francis, 2006;371-398.
20. Mulyarjo. Diagnosis klinik rinosinusitis. In Mulyarjo, Soedjak S, Kentjono
WA, Harmadji S, JPB Herawati S, eds. Naskah lengkap perkembangan terkini
diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis. Surabaya: Dep./SMF THT-KL
Univ.Airlangga,2004; 17-23.
21. Farina D, Tomenzoli D, et al. Inflammatory lessions. In Leuven ALB,
Heidelberg KS, eds. Imaging in treatment planning for sinonasal diseases. New
York : Springer, 2005; 68.
22. Mulyarjo. Terapi medikamentosa pada rinosinusitis. In Mulyarjo, Soedjak S,
Kentjono WA, Harmadji S, JPB Herawati S, eds. Naskah lengkap
perkembangan terkini diagnosis dan penatalaksanaan rinosinusitis. Surabaya:
Dep./SMF THT-KL Univ.Airlangga,2004; 59-65.
23. Clerico DM. Medical treatment of chronic sinus disease. In Kennedy DW,
Bolger WE, Zinreich SJ, eds. Diseases of the sinuses diagnosis and
management. Hamilton: BC Decker Inc,2001;155-165.
24. Chiu AG, Becker DG. Medical management of chronic rhinosinusitis. In Brook
I, eds. Sinusitis from microbiology to management. New York: Taylor &
Francis, 2006; 219-229.

31

You might also like