You are on page 1of 23

ASOSIASI MAKROZOOBENTHOS PADA EKOSISTEM TERUMBU

KARANG DI PERAIRAN BEDUKANG KECAMATAN RIAU SILIP


KABUPATEN BANGKA

PROPOSAL PENELITIAN

Oleh:
Nursyah Putra
202 1311 024

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN


FAKULTAS PERTANIAN PERIKANAN DAN BIOLOGI
UNIVERSITAS BANGKA BELITUNG
2017

i
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI........................................................................................................................ i
I. PENDAHULUAN ........................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................................... 1
1.2 Tujuan ....................................................................................................................... 2
1.3 Manfaat ..................................................................................................................... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................................. 3
2.1 Terumbu Karang ................................................................................................. 3
2.2 Makrozoobentos .................................................................................................. 3
2.3 Parameter Fisika dan Kimia Perairan.................................................................. 4
2.3.1 Kecepatan Arus ........................................................................................... 5
2.3.2 Potensial Hidrogen (pH) ............................................................................. 5
2.3.3 Suhu ............................................................................................................ 5
2.3.4 Salinitas ....................................................................................................... 5
2.3.5 Kecerahan ................................................................................................... 6
III. METODE PENELITIAN.............................................................................................. 7
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ............................................................................. 7
3.2 Alat dan Bahan .................................................................................................... 7
3.3 Metode Pengambilan Data .................................................................................. 8
3.3.1 Penentuan Titik Sampling ........................................................................... 8
3.3.2 Pengambilan Data Makrozoobentos ........................................................... 8
3.3.3 Pengambilan Data Terumbu Karang ........................................................... 9
3.4 Pengukuran Parameter Fisika dan Kimia Perairan.............................................. 9
3.4.1 Kecepatan Arus ........................................................................................... 9
3.4.2 Potensial Hidrogen (pH). .......................................................................... 10
3.4.3 Suhu .......................................................................................................... 10
3.4.4 Salinitas ..................................................................................................... 10
3.4.5 Kecerahan Perairan ................................................................................... 10
3.5 Analisis Data ..................................................................................................... 11
3.5.1 Struktur Komunitas Makrozoobentos ....................................................... 11
3.5.2 Persentase Penutupan Karang Hidup (% Cover) ...................................... 13
3.5.3 Asosiasi Makrozoobentos dengan Terumbu Karang ................................ 14

ii
3.5.4 Analisis Mengenai Manfaat Makrozoobentos .......................................... 14
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 16

iii
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Terumbu karang merupakan ekosistem yang memiliki keanekaragaman terdiri
dari berbagai jenis biota hidup di dalamnya karena mempunyai daerah yang subur
dan mempunyai peran sebagai tempat mencari makan (feeding ground), tempat
asuhan dan pembesaarn (nursery ground), serta tempat pemijahan (spawning
ground) bagi berbagai biota yang hidup bersimbiosis dengan terumbu karang
(Burkeet al., 2002). Salah satu biota yang hidup di daerah terumbu karang adalah
bentos.

Bentos adalah hewan-hewan yang mampu hidup dengan jumlah dan jenis
nutrien yang terbatas sekaligus bersifat toleran, bentos yang relatif mudah di
identifikasi dan peka terhadap perubahan lingkungan perairan adalah jenis-jenis
yang termasuk dalam kelompok invertebrata yang bersifat makro
(makrozoobentos), (Isnaeni, 2002). Makrozoobentos adalah fauna yang menghuni
bagian dasar perairan yang berukuran diameter tubuh lebih besar dari 1 mm
(Collignon, 1991). Makrozoobentos di suatu perairan dapat dijadikan indikator
kualitas dari lingkungan perairan karena dapat mencerminkan adanya perubahan
faktor-faktor lingkungan termasuk tingkat pencemaran lingkungan dari waktu ke
waktu (Oey, 1978 dalam Maulana, 2010).

Perairan Bedukang terletak di Desa Deniang, Kecamatan Riau Silip,


Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Perairan Bedukang
memiliki ekosistem terumbu karang yang tepatnya berlokasi di Pulau Tiga dan
Karang Kering Bedukang. Perairan Bedukang dimanfaatkan oleh masyarakat
setempat sebagai daerah penangkapan ikan oleh nelayan, oleh karena itu adanya
kegiatan masyarakat di perairan akan mempengaruhi faktor fisika dan kimia
perairan, sehingga secara tidak langsung akan mempengaruhi biota
makrozoobentos di perairan tersebut. Sampai saat ini belum ada data mengenai
makrozoobentos di perairan Bedukang, untuk itu perlu dilakukannya penelitian
tentang asosiasi makrozoobentos pada ekosistem terumbu karang di perairan
Bedukang, Kecamatan Riau Silip, Kabupaten Bangka.

1
2

1.2Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui jenis makrozoobentos yang terdapat pada ekosistem terumbu
karang di perairan Bedukang, Kecamatan Riau Silip, Kabupaten Bangka.
2. Mengetahui persentase tutupan karang hidup di perairan Bedukang,
Kecamatan Riau Silip, Kabupaten Bangka.
3. Menganalisa asosiasi/hubungan makrozoobentos dengan terumbu karang
di perairan Bedukang, Kecamatan Riau Silip, Kabupaten Bangka.
4. Mengkaji pemanfaatan biota makrozoobentos yang di temukan.

1.3Manfaat
Manfaat dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Memberi informasi tentang kelimpahan jenis makrozoobentos serta
diharapkan dapat memperoleh pemahaman mengenai makrozoobentos
pada ekosistem terumbu karang di perairan Bedukang Sungailiat Bangka.
2. Sebagai masukan dan pertimbangan bagi masyarakat dan pemerintah serta
akademisi tentang akan pentingnya peran dari makrozoobentos sebagai
bioindikator perairan.
3. Sebagai data acuan untuk penelitian selanjutnya.
3

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Terumbu Karang


Ekosistem terumbu karang ialah salah satu ekosistem dunia yang paling
kompleks dan khas di salah satu daerah tropis. Produktivitas dan keanekaragaman
yang tinggi merupakan sifat dari ekosistem ini. Perpaduan dalam keseimbangan
dari bentuk-bentuk kehidupan yang ada menghasilkan panorama yang bernilai
estetika tinggi (Nybaken, 1992). Terumbu karang terbentuk dari endapan-endapan
massif yang penting dari kalsium karbonat yang terutama dihasilkan oleh fauna
coral atau karang batu (Scleractina) dengan sedikit tambahan dari alga berkapur
dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat
(CaCO3). Profil dan konfigurasi terumbu karang membuat topografi dasar
perairan menjadi spesifik disertai bentuk-bentuk pertumbuhan karang batu yang
sangat bervariasi merupakan tempat ideal bagi asosiasi berbagai biota laut,
menjadikannya lebih bernilai dan unik (Lalamentik dan Rembet, 1996).
Terumbu karang mempunyai fungsi alami sebagai lingkungan hidup (habitat)
pelindung fisik bagi pulau dan daratan, sumberdaya hayati dan sumber keindahan
yang alamiah. Sebagai lingkungan hidup dan tempat hidup, terumbu karang
menjadi tempat berkembang biak (spawning ground), tempat mencari makan
(feeding ground), tempat bersembunyi (sheltering ground) bagi biota yang ada di
terumbu itu sendiri maupun biota peruaya dari perairan di sekitarnya.

2.2 Makrozoobentos
Bentos adalah hewan-hewan yang mampu hidup dengan jumlah dan jenis
nutrien yang terbatas sekaligus bersifat toleran, bentos yang relatif mudah
diidentifikasi dan peka terhadap perubahan lingkungan perairan adalah jenis-jenis
yang termasuk dalam kelompok invertebrata yang bersifat makro
(makrozoobentos), (Isnaeni, 2002). Menurut Ardi (2002), makrozoobentos dapat
membantu mempercepat proses dekomposisi materi organik. makrozoobentos
terutama yang bersifat herbivor dan detritivor, dapat menghancurkan makrofit
akuatik yang hidup maupun yang mati dan serasah yang masuk ke dalam perairan
menjadi potongan-potongan yang lebih kecil, sehingga mempermudah mikroba
untuk menguraikannya menjadi nutrien bagi produsen perairan. Berdasarkan

3
4

kebiasaan hidupnya, makrozoobentos dikelompokkan menjadi dua, yaitu infauna


adalah makrozoobentos yang hidup didalam dasar perairan dan epifauna adalah
makrozoobentos yang hidup melekat pada permukaan dasar perairan
(Setyobudiandi et al., 2009).

Komunitas makrozoobentos dapat juga dibedakan berdasarkan


pergerakannya, yaitu :
1. Kelompok makrozoobentos yang hidup menetap (sesile), seringkali
digunakan sebagai indikator kondisi perairan.
2. Kelompok makrozoobentos yang hidupnya berpindah-pindah (motile).
(Setyobudiandi et al., 2009)
Makrobentos merupakan salah satu kelompok penting dalam ekosistem
perairan. Pada umumnya mereka hidup sebagai suspension feeder, pemakan
detritus, karnivor atau sebagai pemakan plankton. Berdasarkan cara makannya,
makrobentos dikelompokkan menjadi dua, yaitu :
1. Filter feeder, yaitu hewan bentos yang mengambil makanan dengan
menyaring air.
2. Deposit feeder, yaitu hewan bentos yang mengambil makanan dalam substrat
dasar.
Kelompok pemakan bahan tersuspensi (filter feeder) umumnya tedapat
dominan disubstrat berpasir misalnya moluska-bivalvia, beberapa jenis
echinodermata dan crustacean, sedangkan pemakan deposit banyak tedapat pada
substrat berlumpur seperti jenis polychaeta.

2.3 Parameter Fisika dan Kimia Perairan


Menurut Nybakken (1992), sifat fisika-kimia perairan sangat penting dalam
ekologi. Oleh karena itu, selain melakukan pengamatan terhadap faktor biotik,
seperti makrozoobentos, perlu juga dilakukan pengamatan faktor-faktor abiotik
(fisika-kimia) perairan, karena antara faktor abiotik dan biotik saling berinteraksi.
Dengan mempelajari aspek saling ketergantungan antara organisme dengan
faktor-faktor abiotiknya maka akan diperoleh gambaran tentang kondisi dan
kualitas perairan. Faktor abiotik (fisika-kimia) perairan yang memengaruhi
komunitas makrozoobentos antara lain :
5

2.3.1 Kecepatan Arus


Kecepatan arus akan mempengaruhi komposisi substrat dasar (sedimen)
dan juga akan mempengaruhi aktifitas makrozoobentos yang ada. Kecepatan arus
merupakan faktor pembatas pada aliran yang deras, tetapi dasar yang berbatu
dapat menyediakan permukaan yang cocok untuk organisme menempel dan
melekat. Di dasar air tenang yang lunak dan terus-menerus berubah umumnya
membatasi organisme bentik yang lebih kecil sampai ke bentuk penggali, tetapi
apabila kedalaman lebih besar lagi, dimana gerakan air lebih besar lagi, dimana
gerakan air lebih lambat lagi, sesuai untuk plankton dan makrozoobentos (Odum,
1993).

2.3.2 Potensial Hidrogen (pH)


Potensial hidrogen (pH) merupakan faktor pembatas bagi organisme yang
hidup di suatu perairan. Perairan dengan pH yang yang terlalu tinggi atau rendah
akan mempengaruhi ketahanan hidup organisme yang hidup di dalamnya (Odum,
1993). Effendi (2003) menambahkan bahwa sebagian besar biota akuatik terutama
makrozoobentos sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai kisaran pH sekitar
7 8,5.

2.3.3 Suhu
Suhu air di dekat pantai biasanya sedikit lebih tinggi dari pada dilepas
pantai (Nontji, 2002). Hewan yang hidup pada zona pasang surut dan sering
mengalami kekeringan mempunyai daya tahan yang besar terhadap perubahan
suhu. Hutabarat dan Evans (2008) menjelaskan tentang daerah intertidal yang
sangat berbahaya karena suhunya yang tinggi akibat pemanasan dari sinar
matahari yang dapat menyebabkan resiko kemungkinan besarnya kehilangan air
tubuh yang basah dan sifatnya cepat kehilangan air akibat penguapan. Kisaran
suhu optimum untuk organisme akuatik bagi pertumbuhannya berkisar antara
30 35oC. Welch (1980) dalam Retnowati (2003) menyebutkan bahwa suhu yang
berbahaya bagi makrozoobentos berkisar antara 350C-400C.

2.3.4 Salinitas
Salinitas dapat mempengaruhi penyebaran organisme. Secara tidak
langsung mengakibatkan adanya perubahan komposisi organisme dalam suatu
ekosistem (Odum, 1993).Gastropoda yang bersifat bergerak mempunyai
6

kemampuan untuk bergerak guna menghindari salinitas yang terlalu rendah,


namun Bivalvia yang bersifat sessile akan mengalami kematian jika pengaruh air
tawar berlangsung lama (Effendi, 2003). Menurut Hutabarat dan Evans (2008)
kisaran salinitas yang masih mampu mendukung kehidupan organisme perairan,
khususnya makrozoobentos adalah 15 35 0/00.

2.3.5 Kecerahan
Kecerahan merupakan ukuran transparansi perairan yang ditentukan secara
visual dengan menggunakan secchi disk (Effendi, 2003). Kecerahan air tergantung
pada warna dan kekeruhan. Di samping itu, nilai kecerahan juga sangat
dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, padatan tersuspensi dan
ketelitian orang yang melakukan pengukuran. Pengukuran kecerahan sebaiknya
dilakukan pada saat cuaca cerah. Kecerahan merupakan parameter fisika yang
penting karena berkaitan erat dengan aktivitas fotosintesis dari alga dan mikrofita.
Makrozoobenthos secara langsung maupun tidak langsung memerlukan alga dan
mikrofita tersebut sebagai sumber makanannya.
7

III. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2017 di perairan Bedukang,
Kecamatan Riau Silip, Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Pengambilan data dilakukan secara in-situ (langsung di lapangan) dan identifikasi
sampel contoh (makrozoobentos dan terumbu karang (berupa foto dan video)
dilakukan di Laboratorium Manajemen Sumberdaya Perairan, Universitas Bangka
Belitung. Peta lokasi dan stasiun penelitian:

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian

3.2 Alat dan Bahan


Alat dan bahan yang digunakan untuk pengamatan Makrozoobentos dan
pengukuran kualitas air di lapangan adalah sebagai berikut:
8

Tabel 1.Alat dan Bahan


No Alat Fungsi
1 GPS (Global positioning Pengambilan titik koordinat lokasi
System)
2 SCUBA SET Alat bantu pengambilan data
3 Buku Identifikasi karang dan Mengidentifikasi terumbu karang dan
makrozoobentos makrozoobentos
4 Alat tulis bawah air (sabak) Mencatat data dalam air
5 Underwater Camera Sebagai alat dokumentasi
6 Roll Meter Mengukur panajang koloni karang
7 Termometer Mengukur suhu perairan
8 Salinometer Mengukur salinitas perairan
9 pH paper Mengukur Ph
10 Sechi disk Mengukur kecerahan perairan
11 Kapal (perahu) Alat transportasi menuju lokasi

3.3 Metode Pengambilan Data

3.3.1 Penentuan Titik Sampling


Penentuan 4 titik stasiun pengamatan ditentukan sesuai dengan sebaran
terumbu karang. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka penentuan titik stasiun
pengamatan diasumsikan dapat mewakili seluruh badan perairan Bedukang.
Penelitian ini memiliki substasiun kedalaman yang berbeda yaitu kedalaman
Idengan kedalaman 1-5 m dan kedalaman II dengan kedalaman 6-10 m.
Penentuan substasiun ini sendiri bertujuan untuk mendapatkan data yang lebih
efisien dan lebih akurat.

3.3.2 Pengambilan Data Makrozoobentos


Pengambilan data makrozoobentos menggunakan metode Belt Transect
berdasarkan Hill and Wilcinson (2004), Pada setiap stasiun pengambilan data,
digunakan roll transek sepanjang 50 meter, yang diletakkan di daerah terumbu
karang pada kedalaman 1-5 meter dan 6-10 meter. Setiap stasiun hanya
menggunakan 1 transek sepanjang 50 meter. Observasi dilakukan dengan jarak 1
meter ke kiri dan 1 meterke kanan sepanjang transek, sehingga total area yang
9

disurvey adalah 200 m2 di mana 100 m2 pada kedalaman 5 meter dan 100 m2
pada kedalaman 10 meter (Yusuf dkk, 2009). Daerah yang menjadi lokasi
penelitian sebelumnya telah dilakukan survey awal, dan penentuan titik sampling
dilakukan dengan menggunakan GPS.

3.3.3 Pengambilan Data Terumbu Karang


Pengambilan data terumbu karang dengan cara menggunakan metode LIT
(Line Intercept Transect), panjang line 50 m (English et al., 1994) dengan cara
membentangkan line sepanjang 50 m sejajar garis pantai. Kemudian penyelam
mengambil dokumentasi data menggunakan video kamera yang dibawa oleh
penyelam yang menyusuri line dari titik 0 cm sampai titik 50 m pada line. Semua
karang yang dilewati oleh Line Transect diidentifikasi sampai tingkatgenusdengan
menggunakan video dan dokumentasi foto - foto.

Gambar 2. Skema Belt Transect

3.4 Pengukuran Parameter Fisika dan Kimia Perairan


Data parameter fisika kimia juga dilakukan pengambilan data sesuai dengan
titik-titik stasiun pengamatan pada terumbu karang. Parameter fisika kimia yang
diamati antara lain:

3.4.1 Kecepatan Arus


Alat yang digunakan dalam pengukuran kecepatan arus adalah bola arus
dan stopwatch. Bola arus yang telah diberi tali dengan panjang 1 m, setelah
panjang tali menegang dan bola arus berhenti, stopwatch dimatikan. Kecepatan
10

arus dapat dihitung dengan cara membagi panjang tali dengan lama waktu yang
terukur (Hutagalung et al., 1997).Kecepatan arus dihitung dengan persamaan :

V=s/t

Keterangan :
V = kecepatan arus (m/s)
s = panjang tali atau jarak yang di tempuh (m)
t = waktu pengamatan atau lama waktu (dt)

3.4.2 Potensial Hidrogen (pH).


pH diukur menggunakan kertas pH. Carannya dengan mencelupkan kertas
pH kedalam perairan dan mencocokkannya dengan nilai pH yang tertera pada
skala kertas pH (Hutagalung et al., 1997).

3.4.3 Suhu
Termometer batang dimasukkan ke dasar air di kedalaman lokasi
pengambilan data, kemudian pembacaan suhu dilakukan pada saat termometer
masih berada didalam air agar nilai suhu yang terukur tidak dipengaruhi oleh suhu
udara (Hutagalung et al., 1997).

3.4.4 Salinitas
Salinitas diukur dengan menggunakan refraktometer, yaitu dengan cara
meneteskan sempel air laut pada alat tersebut. Selanjutnya dilakukan pembacaan
skala yang terdapat pada alat teropong yang dilengkapi kaca pembesar
(Hutagalung et al.,1997).

3.4.5 Kecerahan Perairan


Alat yang digunakan dalam penentuan kecerahan perairan adalah secchi
disk. Alat secchi disk ini dicelupkan perlahan-lahan ke dalam air kemudian
diamati saat secchi disk mulai tidak terlihat warna hitam dan putih dan diukur
kedalamannya (m). Secchi disk diangkat lagi secara perlahan-lahan dan diamati
saat secchi disk mulai terlihat warna hitam dan putih lagi dan diukur kedalaman
(n) dan diukur pula kedalaman perairan (Z). Setelah didapat kedua nilai
11

kedalaman tersebut, kecerahan (C) diukur dengan persamaan dibawah ini


(Hutagalung et al., 1997).

( + )
= 0,5 100%

Keterangan : C = Kecerahan
m = Kedalaman ( tidak terlihat di secchi disk )
n = Kedalaman ( mulai terlihat di secchi disk )
z = Kedalaman perairan
3.5 Analisis Data
3.5.1 Struktur Komunitas Makrozoobentos
3.5.1.1 Kepadatan Jenis
Kepadatan jenis adalah jumlah individu persatuan luas atau volume
(Brower and Zar, 1997). Kepadatan suatu jenis dihitung berdasarkan (Suin, 2003):


=

Keterangan :
K : Kepadatan populasi ( individu/150 m2)

3.5.1.2 Indeks Keanekaragaman


Keanekaragaman jenis dapat dikatakan sebagai indikasi banyaknya jenis
makrozoobentos pada tiap jenis tersebut dan pada tiap lokasi. Menentukan
keanekaragaman makrozoobentos digunakan Indeks Keanekaragaman (H)
Shannon dan Wienner dalam Brower and Zar (1997) sebagai berikut :



H = () =


=1

Keterangan :
H = Indeks Diversitas Shannon - Wiener
Ni = Jumlah Individu Spesies ke-i
N = Jumlah Individu Semua Spesies
Kisaran nilai Indeks keanekaragaman (H) berdasarkan modifikasi kisaran yang
diklasifikasikan oleh Mason (1981) adalah sebagai berikut:
12

H 2,30 = Keanekaragaman populasi kecil tekanan ekologis sangat


kuat
2,30 H 6,90 = Keanekaragaman populasi sedang
H 6,90 = Keanekaragaman tinggi, terjadi keseimbangan ekosistem
Jika H' = 0 berarti komunitas hanya terdiri dari satu spesies (jenis
tunggal) sedangkan apabila nilai H mendekati maksimum
berarti semua spesies Makrozoobentos dalam komunitas
terumbu karang tersebut menyebar merata.

3.5.1.3 Indeks Keseragaman


Indeks keseragaman digunakan untuk mengetahui penyebaran jumlah
individu tiap spesies. Indeks keseragaman dihitung dengan rumus sebagai berikut:


= =

Keterangan :
E = Indek Keseragaman
H = Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener
Hmaks = Keanekaragaman Maksimum
S = Jumlah Spesies
Indeks keseragaman menunjukan distribusi jumlah individu dalam setiap
spesies yang ada, indeks keseragaman berkisar antara 0 1 dengan kisaran
sebagai berikut (Krebs,1989), yaitu:
E 0,6 = Keseragaman spesies tinggi
0,4 E 0,6 = Keseragaman spesies sedang
E 0,4 = Keseragaman spesies rendah
Jika Indeks keseragaman mendekati 0 menunjukan bahwa dalam ekosistem
tersebut terdapat kecenderungan dominasi spesies tertentu yang mungkin
disebabkan adanya ketidakstabilan faktor lingkungan. Jika nilai indeks
keseragaman mendekati 1, menunjukan bahwa ekosistem tersebut berada dalam
kondisi relative mantap dan jumlah individu tersebar di setiap spesies yang ada
(Krebs, 1989).

3.5.1.4 Indeks Dominansi


Indeks dominansi digunakan untuk mengetahui ada tidaknya dominasi dari
13

spesies tertentu dapat dilihat dari nilai Indeks Dominansi Simpson ;



2
= ( )

=1
Keterangan :
C = Indeks Dominansi Simpson
Pi = Jumlah individu spesies ke-i
N = Jumlah total individu yang ditemukan
Nilai indeks dominansi (C) berkisar antara 0 1, indeks 1 menunjukan dominansi
oleh suatu jenis-jenis yang ditemukan sangat tinggi sedangkan indeks 0
menunjukan bahwa diantara jenis-jenis yang ditemukan tidak ada yang
mendominansi.
Kisaran indeks dominansi yaitu:
0,00 C 0,30 = Dominansi rendah
0,30 C 0,60 = Dominansi sedang
0,60 C 1,00 = Dominansi tinggi

3.5.2 Persentase Penutupan Karang Hidup (% Cover)


Persentase penutupan karang hidup dihitung dengan menggunakan
persamaan Yulianda,et al., (2003), yaitu:

= / 100%
Dimana
Ni : Persentase Penutupan Karang Hidup ke-i
Li : Panjang Total Suatu Jenis Life From Karang ke-i (cm)
L : Panjang Garis Transek
Kriteria penilaian persentase kerusakan karang menurut Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Nomor 04 Tahun 2001(Tabel 1).

Tabel 1. Kriteria Persentase Penutupan Karang Hidup


Kriteria Persentase (%)
Buruk 0 24.9
Sedang 25 49.9
Baik 50 74.9
Baik sekali 75 100
14

3.5.3 Asosiasi Makrozoobentos dengan Terumbu Karang


Hubungan asosiasi antara keanekaragaman makrozoobentos dengan
penutupan karang hidup ditentukan dengan menggunakan regresi linear sedehana.
Persamaan regresi linier sederhana adalah suatu analisis yang mengukur pengaruh
antara variabel bebas (X) dan variabel terikat (Y) (Sunyoto, 2011) .

Y= a+ bX
Dimana:
Y = Keanekaragaman Makrozoobentos
X = Persentase penutupan karang hidup
Analisis korelasi (r) diketahui melalui koefisien korelasi (r), mempunyai
nilai antara -1 dan +1 dan koefisien determinasinya (R2) serta analisis sidik ragam
dari kedua hubungan tersebut. Menurut Sarwono (2006), koefisien korelasi ialah
pengukuran statistika kovarian atau asosiasi antara dua variabel. Besarnya
koefisien korelasi menunjukan kekuatan hubungan kelinieran dan arah hubungan
dua variabel acak. Jika koefisien korelasi positif, maka kedua variabel mempunyai
hubungan searah dan jika nilai x tinggi, maka nilai variabel Y akan tinggi pula.
Sebaliknya juga koefisien korelasi negatif, maka kedua variabel mempunyai
hubungan terbalik. Untuk memudahkan melakukan interprestasi mengenai
kekuatan hubungan antara dua variabel dibuat kriteria sebagai berikut :
a. Jika 0 : Tidak Ada Korelasi Antara Dua Variabel.
b. Jika>0-0,25 : Korelasi Sangat Sederhana.
c. Jika>0,25-0,5 : Korelasi Cukup.
d. Jika>0,5-0,75 : Korelasi Kuat.
e. Jika>0,75-0,99 : Korelasi Sangat Kuat.
f. Jika 1 : Korelasi Sempurna

3.5.4 Analisis Mengenai Manfaat Makrozoobentos


Pengolahan data yang dilakukan diantaranya analisis deskriptif dan
analisis kelayakan pemanfaatan potensi makrozoobentos, dimana menurut Bog
dan Taylor (1975) yang dirujuk oleh Moleong (2005), pendekatan ini dapat
memberikan hasil data bersifat deskriptif berbentuk kata-kata tertulis atau lisan
yang terkait dengan makrozoobentos. Analisis pemanfaatan makrozoobentos
dilakukan dengan studi pustaka. Literatur makrozoobentos yang ditemukan,
15

ditelusuri pemanfaatannya dan kemudian disajikan dalam bentuk tabel. Hasil


analisis ini diharapkan membantu menyajikan alternatif pemanfaatan hewan
makrozoobentos.
DAFTAR PUSTAKA

Ardi. 2002. Pemanfaatan Makrozoobenthos sebagai Indikator Kualitas Perairan


Pesisir. http://tumoutow.net./702_04212/ardi.htm. [20 Januari 2012].
Bengen, D. G., 2004. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut
sertaPrinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan
LautanInstitut Pertanian Bogor, Bogor.
Brower, J. E. And J. H, Zar. 2007. Field and Laboratory Methods for General
Ecology. W. M Brown Company Publ. Dubuque Lowa.Departemen Ilmu
dan Teknologi Kelautan.
Burke L., Selig E., Spalding M., 2002 Terumbu Karang Yang Terancam Di Asia
Tenggara (Ringkasan untuk Indonesia), World Resources Institute,
AmerikaSerikat.
COLLIGNON, J., (1991). Ecologie et biologie marines: Introduction
l'halieutique. Mason, Paris.
Hutabarat S dan Evans S M. 1985. Pengantar Oseanografi. Universitas Indonesia
Press. Jakarta.
Hutagalung, H., D. Setiapermana dan S. Hadi Riyono. 1997. Metode Analisis Air
Laut, sedimen dan Biota. Jakarta : Pusat Penelitian Pengembangan
Oseanologi LIPI.
Effendi, H., 2003.Telaah Kualitas Air, Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan
Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta.
English S., C. Wilkinson & V. Baker. 1994. Survey manual for tropical marine
resources. ASEAN-Australia Marine Science Project: Living Coastal
Resources.
Isnaeni, W. 2002. Fisiologi Hewan. Semarang: Universitas Negeri Semarang
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup. Nomor 04. Tahun 2001. Kriteria Baku
Kerusakan Terumbu Karang.

Krebs, C.J. 1989. Ecological Methodology. Haper Collins Publisher. New York.
Lalamentik L.T.X., dan U.N.W.J.Rembet., 1996. Penilaian Kondisi Terumbu
Karang Dengan Penekanan Pada Karang Batu. Metodologi Penelitian
Terumbu Karang. P3O LIPI Sumberdya Alam Ambon dan Fakultas
Perikanan UNSRAT Manado. 42 halaman
Nontji A., 2002. Laut Nusantara. Jakarta : Djambatan
Nybakken, JW. 1992. Biologi Laut Sebagai Suatu Pendekatan Ekologis.
PT.Gramedia. Jakarta.

16
17

Odum, E.P. Dasar-dasar Ekologi. Dialihbahasakan oleh Tjahjono Samingan


1993. Edisi Ketiga. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Resosoedarmo, S., K. Kartawinata, danSoegianto. 1985. PengantarEkologi.
Jakarta: FakultasPascaSarjana IKIP Jakarta & BKKBN Jakarta.
Retnowati, D. N. 2003. Struktur Komunitas Makrozoobentos dan Beberapa
Parameter Fisika Kimia Perairan Situ Rawa Besar, Depok, Jawa Barat.
[Skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Setyobudiandi, I., Sulistiono, Fredinan Y, Cecep K, Sigid H, Ario D, Agustinus S,
dan Bahtiar. 2009. Sampling dan Analisis Data Perikanan dan Kelautan.
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.
Soraya I. 2013. Keragaman Makroinvertebrata Di Kawasan Terumbu Karang Di
Perairan Laut Aceh Besar. Skripsi. Universitas Syiah Kuaka Darussalam,
Banda Aceh
Suharsono, 2008. Jenis-jenis Karang yang Umum dijumpai di Perairan Indonesia,
Puslitbang Oseanologi - LIPI. Jakarta.
Suin,N.M. 2003. Ekologi Hewan Tanah. Bumi Aksara. Jakarta.
Veron, J.E.N. 2000a. Corals of the world. Vol 1. Australian Institute of Marine
Scinces, Townsville. 463p.
Yulianda, F. 2003. Pengelolaan Terumbu Karang Di Kawasan Wisata Bahari.
Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor.
Lampiran

1. Gastropoda

Spesies : Bolma rugosa Spesies : Druppela sp.

Spesies : Turbo petholatus Spesies : Ergalatax junionae

2. Echinodermata

Spesies : Diadema setosum Spesies : Holothuria atra

18
Spesies : Fromia indica

3. Bivalvia

Spesies : Tridacna maxima Spesies : Pedum spondyloideum

4. Annelida

Spesies : Sabellastarte sp.

19

You might also like