You are on page 1of 154

KONSEP GANGGUAN JIWA

ASKEP GGN JIWA PADA ANAK DAN REMAJA


ASKEP GANGGUAN JIWA PADA LANSIA
ASKEP HALUSINASI
ASKEP WAHAM
ASKEP RESIKO PRILKU KEKERASAN
ASKEP HARGA DIRI RENDAH
ASKEP ISOLASI SOSIAL
ASKEP DEFISIT PERAWATAN DIRI

Oleh :
I Wayan Suwidana (16060145035)

PROGRAM STUDI TRANSFER ALIH KREDIT DIII S1


KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BULELENG
2017
KONSEP GANGGUAN JIWA

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Proses keperawatan bertujuan untuk memberikan asuhan keperawatan


sesuai dengan kebutuhan dan masalah klien sehingga mutu pelayanan
keperawatan menjadi optimal. Kebutuhan dan masalah klien dapat diidentifikasi,
diprioritaskan untuk dipenuhi, serta diselesaikan. Dengan menggunakan proses
keperawatan, perawat dapat terhindar dari tindakan keperawatan yang bersifat
rutin, intuisis, dan tidak unik bagi individu klien. Proses keperawatan mempunyai
ciri dinamis, siklik, saling bergantung, luwes, dan terbuka. Setiap tahap dapat
diperbaharui jika keadaan klien klien berubah.

Dalam keperawatan jiwa, perawat memandang manusia secara holistik dan


menggunakan diri sendiri secara terapeutik. Metodologi dalam keperawatan jiwa
adalah menggunakan diri sendiri secara terapeutik dan interaksinya interpersonal
dengan menyadari diri sendiri, lingkungan, dan interaksinya dengan lingkungan.
Kesadaran ini merupakan dasar untuk perubahan. Klien bertambah sadar akan diri
dan situasinya, sehingga lebih akurat mengidentifikasi kebutuhan dan masalah
serta memilih cara yang sehat untuk mengatasinya. Perawat memberi stimulus
yang konstruktif sehingga akhirnya klien belajar cara penanganan masalah yang
merupakan modal dasar dalam menghadapi berbagai masalah.

1.2 Tujuan
Supaya kita sebagai tenaga kesehatan memahami mengenai masalah
kesehatan jiwa dan bagaimana cara kita sebagai tenaga kesehatan memberikan
asuhan keperawatan kesehatan jiwa dalam menanggulangi masalah kesehatan jiwa
itu sendiri.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Dedinisi Kesehatan dan Keperawan Jiwa


Kesehatan Jiwa adalah Perasaan Sehat dan Bahagia serta mampu mengatasi
tantangan hidup, dapat menerima orang lain sebagaimana adanya serta
mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain.

1) WHO
Kesehatan Jiwa bukan hanya suatu keadaan tdk ganguan jiwa, melainkan
mengandung berbagai karakteristik yg adalah perawatan langsung, komunikasi
dan management, bersifat positif yg menggambarkan keselarasan dan
keseimbangan kejiwaan yg mencerminkan kedewasaan kepribadian yg
bersangkutan.

2) UU Kesehatan Jiwa No.13 Tahun 1966


Kondisi yg memungkinkan perkembangan fisik, intelektual emosional
secara optimal dari seseorang dan perkebangan ini selaras dgn orang lain.
Keperawatan jiwa adalah pelayanan keperawatan profesional didasarkan pada
ilmu perilaku, ilmu keperawatan jiwa pada manusia sepanjang siklus kehidupan
dengan respons psiko-sosial yang maladaptif yang disebabkan oleh gangguan bio-
psiko-sosial, dengan menggunakan diri sendiri dan terapi keperawatan jiwa (
komunikasi terapeutik dan terapi modalitas keperawatan kesehatan jiwa ) melalui
pendekatan proses keperawatan untuk meningkatkan, mencegah, mempertahankan
dan memulihkan masalah kesehatan jiwa klien (individu, keluarga, kelompok
komunitas ).

3) American Nurse Association


Keperawatan jiwa adalah area khusus dalam praktek keperawatan yang
menggunakan ilmu tingkah laku manusia sebagai dasar dan menggunakan diri
sendiri secara teraupetik dalam meningkatkan, mempertahankan, memulihkan
kesehatan mental klien dan kesehatan mental masyarakat dimana klien berada (
Keperawatan jiwa adalah proses interpersonal yang berusaha untuk
meningkatkan dan mempertahankan perilaku sehingga klien dapat berfungsi utuh
sebagai manusia.
4) Yohada
Kes. Jiwa adalah keadaan yg dinamis yg mengandung pengertian positif,
yg dapat dilihat dari adanya kenormalan tingkalaku, keutuhan kepribadian,
pengenalan yg benar dari realitas dan bukan hanya merupakan nkeadaan tanpa
adanya penyakit, gangguan jiwa dan kelainan jiwa.
2.2 Prinsip Keperawatan Jiwa

1) Manusia
Fungsi seseorang sebagai makhluk holistik yaitu bertindak, berinteraksi
dan bereaksi dengan lingkungan secara keseluruhan. Setiap individu mempunyai
kebutuhan dasar yang sama dan penting. Setiap individu mempunyai harga diri
dan martabat. Tujuan individu adalah untuk tumbuh, sehat, mandiri dan tercapai
aktualisasi diri. Setiap individu mempunyai kemampuan untuk berubah dan
keinginan untuk mengejar tujuan personal. Setiap individu mempunyai kapasitas
koping yang bervariasi. Setiap individu mempunyai hak untuk berpartisipasi
dalam pengambilan keputuasan. Semua perilaku individu bermakna dimana
perilaku tersebut meliputi persepsi, pikiran, perasaan dan tindakan.

2) Lingkungan
Manusia sebagai makhluk holistik dipengaruhi oleh lingkungan dari dalam
dirinya dan lingkungan luar, baik keluarga, kelompok, komunitas. Dalam
berhubungan dengan lingkungan, manusia harus mengembangkan strategi koping
yang efektif agar dapat beradaptasi. Hubungan interpersonal yang dikembangkan
dapat menghasilkan perubahan diri individu.

3) Kesehatan
Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia yang
menunjukkan salah satu segi kualitas hidup manusia, oleh karena itu, setiap
individu mempunyai hak untuk memperoleh kesehatan yang sama melalui
perawatan yang adekuat.

4) Keperawatan
Dalam keperawatan jiwa, perawat memandang manusia secara holistik dan
menggunakan diri sendiri secara terapeutik.

2.3 Ciri-ciri Sehat Jiwa


1) Bersikap positif terhadap diri sendiri
2) Mampu tumbuh, kembang dan aktualisasi diri
3) Mampu mengatasi stress dan masalah pada dirinya
4) Bertanggung jawab atas keputusan dan tindakan yang di ambil
5) Persepsi realistic
6) Menghargai perasaan dan sikap orang lain
7) Menyusuaikan diri dengan lingkungan
2.4 Konsep Dasar Kesehatan dan keperawatan Jiwa
Kesehatan Jiwa adalah Perasaan Sehat dan Bahagia serta mampu mengatasi
tantangan hidup, dapat menerima orang lain sebagaimana adanya serta
mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain.
Kesehatan jiwa meliputi :
1) Bagaimana perasaan anda terhadap diri sendiri
2) Bagaimana perasaan anda terhadap orang lain
3) Bagaimana kemampuan anda mengatasi persoalan hidup anda Sehari - hari.

2.5 Tanda dan Gejala Gangguan Jiwa


Kapan seseorangg dikatakan mengalamai gangguan jiwa Normal dan
Abnormal. Gejala gangguan jiwa merupakan interaksi dari berbagai penyebab
sebagai proses penyesuaian terhadap stressor. Gejala gangguan jiwa dpt berupa
gangguan pada :
1) Kesadaran
2) Ingatan
3) Orientasi
4) Efek dan emosi
5) Psikomotor
6) Intelegensi
7) Kepribadian
8) Penampilan
9) Proses pikir, persepsi
10) Pola hidup

2.6 Penyebab Terjadinya Gangguan Jiwa


Walaupun gejala utama terdapat pada unsur kejiwaan tapi penyebab utamanya
mugkin di badan (Somatogenik), di lingkungan sosial (Sosiogenik) atau psike
(Psikogenik) Penyebabnya tidak tunggal tapi beberapa penyebab yg terjadi
bersamaan dan saling mempengaruhi.
Secara umum diketahui bahwa gangguan jiwa disebabkan oleh adanya
gangguan pada otak tapi tidak diketahui secara pasti apa yang mencetuskannya.
Stress diduga sebagai pencetus dari gangguan jiwa tapi stress dapat juga
merupakan hasil dari berkembangnya mental illness pd diri seseorang. Reaksi tiap
orang terhadap stress berbeda-beda.
Beberapa kemungkinan penyebab gangguan jiwa :
1) Somatogenik
a) Neuroanatomi
b) Neurofiologi
c) Neurokimia
d) Tingkat perkembangan organik
e) Faktor pre and perinatal
f) Excessive secretion of the neurotransmitter nor epinephrine

2) Faktor Psikologik
a) Interaksi ibu dan anak
b) Peranan ayah
c) Persaingan antar saudara kandung
d) Hubungan dalam keluarga, pekerjaan dan masyarakat
e) Kehilangan
f) Kosep diri
g) Pola adaptasi
h) Tingkat perkembangan emosi

3) Faktor Sosial Budaya


a) Kestabilan keluarga
b) Pola asuh anak
c) Tingak ekonomi
d) Perumahan
e) Pengaruh rasial dan keagamaan, nilai-nilai

2.7 Fungsi Perawat Kesehatan Jiwa dalam Upaya Penanganan Masalah


Kesehatan Jiwa

Fungsi perawat kesehatan jiwa adalah memberikan asuhan keperawatan


secara langsung dan asuhan keperawatan secara tiak langsung. Fungsi ini dapat
dicapai dengan aktifitas perawat kesehatan jiwa yaitu :
1) Memberikan lingkungan terapeutik yaitu lingkungan yang ditata sedemikian rupa
sehingga dapat memberikan perasaan aman, nyaman baik fisik, mental dan social
sehingga dapat membentu penyembuhan pasien.
2) Bekerja untuk mengatasi masalah klien here and now yaitu dalam membantu
mengatasi segera dan tiak itunda sehingga tidak terjai penumpukan masalah.
3) Sebagai model peran yaitu paerawat dalam memberikan bantuan kepada pasien
menggunakan dir sendiri sebagai alat melalui contoh perilaku yang ditampilkan
oleh perawat.
4) Memperhatikan aspek fisik dari masalah kesehatan klien merupakan hal yang
penting. dalam hal ini perawat perlu memasukkan pengkajian biologis secara
menyeluruh dalam mengevaluasi pasien kelainan jiwa untuk meneteksi adanya
penyakit fisik sedini mungkin sehingga dapat diatasi dengan cara yang tepat.
5) Memberi pendidikan kesehatan yang ditujukan kepada pasien, keluarga dan
komunitas yang mencakup pendidikan kesehatan jiwa, gangguan jiwa, cirri-ciri
sehat jiwa, penyebab gangguan jiwa, cirri-ciri gangguan jiwa, fungsi dan ugas
keluarga, dan upaya perawatan pasien gangguan jiwa.
6) Sebagai perantara social yaitu perawat dapat menjadi perantara dari pihak pasien,
keluarga dan masyarakat alam memfasilitasi pemecahan masalah pasien.
7) Kolaborasi dengan tim lain. Perawat dalam membantu pasien mengadakan
kolaborasi dengan petugas lain yaitu dokter jiwa, perawat kesehatan masyarakat
(perawat komunitas), pekerja social, psikolog, dan lain-lain.
8) Memimpin dan membantu tenaga perawatan dalam pelaksanaan pemberian
asuhan keperawatan jiwa didasarkan pada management keperawatan kesehatan
jiwa. Sebagai pemimpin diharapkan dapat mengelola asuhan keperawatan jiwa an
membantu perawat yang menjadi bawahannya.
9) Menggunakan sumber di masyarakat sehubungan dengan kesehatan mental. Hal
ini penting untuk diketahui perawat bahwa sumber-sumber di masyarakat perlu
iidentifikasi untuk digunakan sebagai factor penukung dalam mengatasi masalah
kesehatan jiwa yang ada di masyarakat.

2.8 Prinsip-Prinsip Keperawatan Kesehatan Jiwa


1) Roles and functions of psychiatric nurse : competent care (Peran dan fungsi
keperawatan jiwa : yang kompeten).
2) Therapeutic Nurse patient relationship (hubungan yang terapeutik antara perawat
dengan klien).
3) Conceptual models of psychiatric nursing (konsep model keperawatan jiwa).
4) Stress adaptation model of psychiatric nursing (model stress dan adaptasi dalam
keperawatan jiwa).
5) Biological context of psychiatric nursing care (keadaan-keadaan biologis dalam
keperawatan jiwa).
6) Psychological context of psychiatric nursing care (keadaan-keadaan psikologis
dalam keperawatan jiwa).
7) Sociocultural context of psychiatric nursing care (keadaan-keadaan sosial budaya
dalam keperawatan jiwa).
8) Environmental context of psychiatric nursing care (keadaan-keadaan lingkungan
dalam keperawatan jiwa).
9) Legal ethical context of psychiatric nursing care (keadaan-keadaan legal etika
dalam keperawatan jiwa).
10) Implementing the nursing process : standards of care (penatalaksanaan proses
keperawatan : dengan standar- standar perawatan).
11) Actualizing the Psychiatric Nursing Role : Professional Performance Standards
(aktualisasi peran keperawatan jiwa: melalui penampilan standar-standar
professional).

2.9 Hak-hak Pasien Jiwa


1) Hak untuk dihormati sebagai manusia
2) Hak memperoleh privacy
3) Hak untuk mempunyai kesempatan yang sama dan warga negara lainnya dlm
pelayanan kesehatan pendapatan, pendidikan pekerjaan perumahan, transportasi
dan hokum
4) Hak untuk mendapatkan informasi, pendidikan dan training ttg G.jiwa,
pengobatan perawatan dan pelayanan yg tersedia
5) Hak untuk bekerja atau berinteraksi dgn tenaga kesehatan, khususnya dlm
pengambilan keputusan sehubungan dgn tretment, perawatan dan rehabilitasi
6) Hak untuk complain
7) Hak untuk mendapatkan advocacy
8) Hak untuk menghubungi teman dan saudara
9) Hak mendapatkan pelayanan yg mempertimbangkan budaya, agama dan jenis
kelamin
10) Hak untuk hidup, bekerja dan berpartisipasi dlm masyarakat tanpa diskriminasi

2.10 Pelayanan Keperawatan Komprehensif


1) Pencegahan Primer
Target pelayanannya yaitu anggota masayarakat yang belum mengalami
gangguan sesuai dengan kelompok umur yaitu anak-anak, remaja, dewasa dan
usia lanjut.
Aktivitas:
a) Program pendidikan kesehatan, program sosialisasi, manajmen stres dan persiapan
menjadi orang tua.
b) Program dukungan sosial
c) Program pencegahan penggunaan obat.

2) Pencegahan Sekunder
Target pelayanannya yaitu anggota masyarakat yang beresiko atau
memperlihatkan tanda-tanda masalah psikososial atau gangguan jiwa.

Aktivitas:
a) Menentukan kasus sedini mungkin
b) Melakukan skrining dan langkah-langkah lanjut
c) Follow up

3) Pencegahan Tersier
Target pelayanannya yaitu masayarakat yang sudah mengalami gangguan
jiwa pada tahap pemulihan.
Aktivias:
a) Program dukungan sosial dan menggerakkan sumber-sumber di masyarakat
b) Program rehabilitasi dengan memberdayakan pasien dan keluarga hingga
mandiri
c) Program pencegahan stigma.

2.11 Konseptual Model Keperawatan Kesehatan Jiwa


Model View of Therapeutic Roles of a
behavioral process patient &
deviation therapist
Psychoanalytical Ego tidak Asosiasi Klien:
(freud, Erickson) mampu bebas & mengungkapkan
mengontrol analisa semua pikiran &
ansietas, mimpi mimpi
konflik tidak Transferen Terapist :
selesai untuk menginterpretasi
memperbaiki pikiran dan
traumatic mimpi pasien
masa lalu
Interpersonal Ansietas Build feeling Patient: share
(Sullivan, peplau) timbul & security anxieties
dialami secara Trusting Therapist : use
interpersonal, relationship empathy &
basic fear is & relationship
fear of interpersonal
rejection satisfaction
Social Social & Environment Pasien:
(caplan,szasz) environmental manipulation menyampaikan
factors create & social masalah
stress, which support menggunakan
cause anxiety sumber yang
&symptom ada di
masyarakat
Terapist:
menggali
system social
klien
Existensial Individu Experience Klien: berperan
(Ellis, Rogers) gagal in serta dalam
menemukan relationship, pengalaman
dan menerima conducted in yang berarti
diri sendiri group untuk
Encouraged mempelajari diri
to accept self Terapist:
& control memperluas
behavior kesadaran diri
klien
Supportive Therapy Faktor Menguatkan Klien: terlibat
(Wermon,Rockland) biopsikososial respon dalam
& respon koping identifikasi
maladaptive adaptif coping
saat ini Terapist:
hubungan yang
hangta dan
empatik
Medical Combination Pemeriksaan Klien: menjalani
(Meyer,Kreaplin) from diagnostic, prosedur
physiological, terapi diagnostic &
genetic, somatic, terapi jangka
environmental farmakologik panjang
& social & teknik Terapist :
interpersonal Therapy,
Repport
effects,Diagnose
illness,
Therapeutic
Approach
Berdasarkan konseptual model keperawatan diatas, maka dapat
dikelompokkan ke dalam 6 model yaitu:
1) Psycoanalytical (Freud, Erickson)
Model ini menjelaskan bahwa gangguan jiwa dapt terjadi pada seseorang
apabila ego(akal) tidak berfungsi dalam mengontrol id (kehendak nafsu atau
insting). Ketidakmampuan seseorang dalam menggunakan akalnya (ego) untuk
mematuhi tata tertib, peraturan, norma, agama(super ego/das uber ich), akan
mendorong terjadinya penyimpangan perilaku (deviation of Behavioral).
Faktor penyebab lain gangguan jiwa dalam teori ini adalah adanya konflik
intrapsikis terutama pada masa anak-anak. Misalnya ketidakpuasan pada masa
oral dimana anak tidak mendapatkan air susu secara sempurna, tidak adanya
stimulus untuk belajar berkata- kata, dilarang dengan kekerasan untuk
memasukkan benda pada mulutnya pada fase oral dan sebagainya. Hal ini akan
menyebabkan traumatic yang membekas pada masa dewasa.
Proses terapi pada model ini adalah menggunakan metode asosiasi bebas
dan analisa mimpi, transferen untuk memperbaiki traumatic masa lalu. Misalnya
klien dibuat dalam keadaan ngantuk yang sangat. Dalam keadaan tidak berdaya
pengalaman alam bawah sadarnya digali dengamn pertanyaan-pertanyaan untuk
menggali traumatic masa lalu. Hal ini lebih dikenal dengan metode hypnotic yang
memerlukan keahlian dan latihan yang khusus.
Dengan cara demikian, klien akan mengungkapkan semua pikiran dan
mimpinya, sedangkan therapist berupaya untuk menginterpretasi pikiran dan
mimpi pasien.
Peran perawat adalah berupaya melakukan assessment atau pengkajian
mengenai keadaan-keadaan traumatic atau stressor yang dianggap bermakna pada
masa lalu misalnya ( pernah disiksa orang tua, pernah disodomi, diperlakukan
secar kasar, diterlantarkan, diasuh dengan kekerasan, diperkosa pada masa anak),
dengan menggunakan pendekatan komunikasi terapeutik setelah terjalin trust
(saling percaya).

2) Interpersonal ( Sullivan, peplau)


Menurut konsep model ini, kelainan jiwa seseorang bias muncul akibat
adanya ancaman. Ancaman tersebut menimbulkan kecemasan (Anxiety). Ansietas
timbul dan alami seseorang akibat adanya konflik saat berhubungan dengan orang
lain (interpersonal).Menurut konsep ini perasaan takut seseorang didasari adnya
ketakutan ditolak atau tidak diterima oleh orang sekitarnya.
Proses terapi menurut konsep ini adalh Build Feeling Security (berupaya
membangun rasa aman pada klien), Trusting Relationship and interpersonal
Satisfaction (menjalin hubungan yang saling percaya) dan membina kepuasan
dalam bergaul dengan orang lain sehingga klien merasa berharga dan dihormati.
Peran perawat dalam terapi adalah share anxieties (berupaya melakukan
sharing mengenai apa-apa yang dirasakan klien, apa yang biasa dicemaskan oleh
klien saat berhubungan dengan orang lain), therapist use empathy and
relationship ( perawat berupaya bersikap empati dan turut merasakan apa-apa
yang dirasakan oleh klien). Perawat memberiakan respon verbal yang mendorong
rasa aman klien dalam berhubungan dengan orang lain.

3) Social ( Caplan, Szasz)


Menurut konsep ini seseorang akan mengalami gangguan jiwa atau
penyimpangan perilaku apabila banyaknya factor social dan factor lingkungan
yang akan memicu munculnya stress pada seseorang ( social and environmental
factors create stress, which cause anxiety and symptom).
Prinsip proses terapi yang sangat penting dalam konsep model ini adalah
environment manipulation and social support ( pentingnya modifikasi lingkungan
dan adanya dukungan sosial)
Peran perawat dalam memberikan terapi menurut model ini adalah pasien
harus menyampaikan masalah menggunakan sumber yang ada di masyarakat
melibatkan teman sejawat, atasan, keluarga atau suami-istri. Sedangkan therapist
berupaya : menggali system sosial klien seperti suasana dirumah, di kantor, di
sekolah, di masyarakat atau tempat kerja.
4) Existensial ( Ellis, Rogers)
Menurut teori model ekistensial gangguan perilaku atau gangguan jiwa
terjadi bila individu gagal menemukan jati dirinya dan tujuan hidupnya. Individu
tidak memiliki kebanggan akan dirinya. Membenci diri sendiri dan mengalami
gangguan dalam Bodi-image-nya
Prinsip dalam proses terapinya adalah : mengupayakan individu agar
berpengalaman bergaul dengan orang lain, memahami riwayat hidup orang lain
yang dianggap sukses atau dapat dianggap sebagai panutan(experience in
relationship), memperluas kesadaran diri dengan cara introspeksi (self
assessment), bergaul dengan kelompok sosial dan kemanusiaan (conducted in
group), mendorong untuk menerima jatidirinya sendiri dan menerima kritik atau
feedback tentang perilakunya dari orang lain (encouraged to accept self and
control behavior).
Prinsip keperawatannya adalah : klien dianjurkan untuk berperan serta
dalam memperoleh pengalaman yang berarti untuk memperlajari dirinya dan
mendapatkan feed back dari orang lain, misalnya melalui terapi aktivitas
kelompok. Terapist berupaya untuk memperluas kesadaran diri klien melalui feed
back, kritik, saran atau reward & punishment.

5) Supportive Therapy ( Wermon, Rockland)


Penyebab gangguan jiwa dalam konsep ini adalah: factor biopsikososial
dan respo maladaptive saat ini. Aspek biologisnya menjadi masalah seperti: sering
sakit maag, migraine, batuk-batuk. Aspek psikologisnya mengalami banyak
keluhan seperti : mudah cemas, kurang percaya diri, perasaan bersalah, ragu-ragu,
pemarah. Aspek sosialnya memiliki masalah seperti : susah bergaul, menarik
diri,tidak disukai, bermusuhan, tidak mampu mendapatkan pekerjaan, dan
sebagainya. Semua hal tersebut terakumulasi menjadi penyebab gangguan jiwa.
Fenomena tersebut muncul akibat ketidakmamupan dalam beradaptasi pada
masalah-masalah yang muncul saat ini dan tidak ada kaitannya dengan masa lalu.
Prinsip proses terapinya adalah menguatkan respon copinh adaptif,
individu diupayakan mengenal telebih dahulu kekuatan-kekuatan apa yang ada
pada dirinya; kekuatan mana yang dapat dipakai alternative pemecahan
masalahnya.
Perawat harus membantu individu dalam melakukan identifikasi coping
yang dimiliki dan yang biasa digunakan klien. Terapist berupaya menjalin
hubungan yang hangat dan empatik dengan klien untuk menyiapkan coping klien
yang adaptif.
6) Medica ( Meyer, Kraeplin)
Menurut konsep ini gangguan jiwa cenderung muncul akibat multifactor
yang kompleks meliputi: aspek fisik, genetic, lingkungan dan factor sosial.
Sehingga focus penatalaksanaannya harus lengkap melalui pemeriksaan
diagnostic, terapi somatic, farmakologik dan teknik interpersonal. Perawat
berperan dalam berkolaborasi dengan tim medis dalam melakukan prosedur
diagnostic dan terapi jangka panjang, therapist berperan dalam pemberian terapi,
laporan mengenai dampak terapi, menentukan diagnose, dan menentukan jenis
pendekatan terapi yang digunakan.

2.12 Peran Perawat Kesehatan Jiwa


1) Pengkajian yang mempertimbangkan budaya
2) Merancang dan mengimplementasikan rencana tindakan
3) Berperan serta dalam pengelolaan kasus
4) Meningkatkan dan memelihara kesehatan mental, mengatasi pengaruh penyakit
mental - penyuluhan dan konseling
5) Mengelola dan mengkoordinasikan sistem pelayanan yang mengintegrasikan
kebutuhan pasien, keluarga ,staf dan pembuat kebijakan
6) Memberikan pedoman pelayanan kesehatan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesehatan Jiwa adalah Perasaan Sehat dan Bahagia serta mampu mengatasi
tantangan hidup, dapat menerima orang lain sebagaimana adanya serta
mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain.
Secara umum diketahui bahwa gangguan jiwa disebabkan oleh adanya
gangguan pada otak tapi tidak diketahui secara pasti apa yang mencetuskannya.
Stress diduga sebagai pencetus dari gangguan jiwa tapi stress dapat juga
merupakan hasil dari berkembangnya mental illness pd diri seseorang.

Prinsip Keperawatan Jiwa


1) Manusia
2) Lingkungan
3) Kesehatan
4) Keperawatan

Kesehatan jiwa meliputi :


1) Bagaimana perasaan anda terhadap diri sendiri
2) Bagaimana perasaan anda terhadap orang lain
3) Bagaimana kemampuan anda mengatasi persoalan hidup anda Sehari - hari.

Fungsi perawat kesehatan jiwa adalah memberikan asuhan keperawatan secara


langsung dan asuhan keperawatan secara tiak langsung. Fungsi ini dapat icapai
dengan aktifitas perawat kesehatan jiwa yang membantu upaya penanggulangan
maslah kesehatan jiwa.

3.2 Saran
Diharapkan perawat lebih mempelajari mengenai fungsi dan perannya dalam
penanganan masalah kesehatan jiwa dengan memahami masalah kesehatan jiwa
yang ada serta upaya penanganannya dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA

Keliat, Budi Anna;Panjaitan;Helena. 2005. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa.


Ed.2. Jakarta: EGC.

Stuart, Gail W.2007.Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC.

Suliswati, 2005. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : EGC

Yosep,Iyus.2007. Keperawatan Jiwa. Jakarta: PT. Refika Aditama.


ASKEP GGN JIWA PADA ANAK DAN REMAJA

BAB I

PEMBAHASAN

A. Pengertian

Menurut Soemiarti (2003), anak-anak adalah fase perkembangan mulai


dari umur 1- 2 tahun sampai 10- 12 tahun. Usia anak merupakan periode yang
sangat menentukan kualitas seorang manusia dewasa nantinya.

Masa remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanak


dan masa dewasa, berlangsung antara usia 10 sampai 19 tahun. Masa remaja
terdiri dari masa remaja awal ( 10-14 tahun ), masa remaja penengahan ( 14-17
tahun ) dan masa remaja akhir ( 17-19 tahun ) ( Hurlock, Elizabeth B. 1999).

Pada masa remaja, banyak terjadi perubahan baik biologis, psikologis


maupun social. Tetapi umumnya proses pematangan fisik terjadi lebih cepat
dari proses pematangan kejiwaan (psikolososial). Seorang remaja tidak lagi
dapat disebut sebagai anak kecil, tetapi belum juga dianggap sebagai orang
dewasa, disatu sisi ia ingin bebas dan mandiri, lepas dari pengaruh orang tua,
di sisi lain pada dasarnya ia tetap membutuhkan bantuan dukungan orang
tuanya. Orang tua tidak mengetahui atau memahami perubahan yang terjadi
sehingga tidak menyadari bahwa anak mereka telah tumbuh menjadi seorang
remaja. Orang tua menjadi bingung menghadapi labilitas emosi dan perilaku
remaja, sehingga tidak jarang terjadi konflik diantara keduanya (Sarwono,
S.W. 2004).

Gangguan kesehatan jiwa pada anak dan remaja merupakan hal yang
banyak terjadi, yang umumnya tidak terdiagnosis dan pengobatannya kurang
adekuat. Masalah kesehatan jiwa terjadi pada 15-22 % anak- anak dan remaja,
namun yang mendapatkan penggobatan jumlahnya kurang dari 20 % ( Keys,
1998).
Menurut Videbeck (2001), gangguan jiwa pada anak dan remaja adalah
suatu keadaan yang di tandai dengan fungsi intelektual berada di bawah
normal, timbul pada masa perkembangan/dibawah usia 18 tahun, berakibat
lemahnya proses belajar dan adaptasi social.

Diagnosis gangguan jiwa pada anak dan remaja adalah perilaku yang
tidak sesuai dengan tingkat usianya, menyimpang bila duibandingkan dengan
norma budaya, yang mengakibatkan kirangnya atau terganggunya fungsi
adaptasi (Towsend, 1999).

B. Etiologi

Menurut Isaac, Ann. (2004), tidak ada penyebab tunggal dalam


gangguan mental pada anak-anak dan remaja. Berbagai situasi, termasuk
faktor psikobiologik, dinamika keluarga, dan faktor lingkungan berkombinasi
secara kompleks.
1. Faktor-Faktor Psikobiologik
a. Riwayat genetika keluarga
Seperti retardasi mental, autisme, skizofrenia kanak-kanak, gangguan
perilaku, gangguan bipolar, dan gangguan ansietas.
b. Abnormalitas struktur otak
Penelitian menemukan adanya abnormalitas struktur otak dan
perubahan neurotransmitter pada pasien yang menderita autisme,
skizofrenia kanak-kanak, dan ADHD.
c. Pengaruh prenatal
Seperti infeksi maternal, kurangnya perawatan pranatal, dan ibu yang
menyalahgunakan zat, semuanya dapat menyebabkan abnormalitas
perkembangan saraf yang berkaitan dengan gangguan jiwa. Trauma
kelahiran yang berhubungan dengan berkurangnya suplai oksigen pada
janin sangat signifikan dalam terjadinya retardasi mental dan gangguan
perkembangan saraf lainnya.
d. Penyakit kronis atau kecacatan
Dapat menyebabkan kesulitan koping bagi anak.
2. Dinamika keluarga
a. Penganiayaan anak.
Anak yang terus-menerus dianiaya pada masa kanak-kanak awal,
perkembangan otaknya kurang adekuat (terutama otak kiri).
Penganiayaan dan efeknya pada perkembangan otak berkaitan dengan
berbagai masalah psikologis, seperti depresi, masalah memori,
kesulitan belajar, impulsivitas, dan kesulitan dalam membina
hubungan (Glod, 2003).
b. Disfungsi sistem keluarga
Kurangnya sifat pengasuhan, komunikasi yang buruk, kurangnya
batasan antar generasi, dan perasaan terjebak disertai dengan
keterampilan koping yang tidak adekuat antar anggota keluarga dan
model peran yang buruk dari orang tua.
3. Faktor lingkungan
a. Kemiskinan
Perawatan pranatal yang tidak adekuat, nutrisi yang buruk, dan kurang
terpenuhinya kebutuhan akibat pendapatan yang tidak mencukupi
dapat memberi pengaruh buruk pada pertumbuhan dan perkembangan
normal anak.
b. Tunawisma.
Anak-anak tunawisma memiliki berbagai kebutuhan kesehatan yang
memengaruhi perkembangan emosi dan psikologi mereka. Berbagai
penelitian menunjukkan adanya peningkatan angka penyakit ringan
kanak-kanak, keterlambatan perkembangan dan masalah psikologis di
antara anak tunawisma ini bila dibandingkan dengan sampel kontrol
(Townsend, 1999).
c. Budaya keluarga.
Perilaku orang tua yang secara dramatis berbeda dengan budaya sekitar
dapat mengakibatkan kurang diterimanya anak-anak oleh teman sebaya
dan masalah psikologik.

C. Klasifikasi
Adapun jenis- jenis gangguan jiwa pada anak dan remaja yaitu:
1. Gangguan perkembangan pervasif. Ditandai dengan masalah awal pada
tiga area perkembangan utama : perilaku, interaksi sosial, dan komunikasi.
a. Retardasi mental
Muncul sebelum usia 18 tahun dan dicirikan dengan keterbatasan
substandar dalam berfungsi, yang dimanifestasikan dengan fungsi
intelektual secara signifikan berada dibawah rata-rata (mis. IQ di
bawah 70) dan keterbatasan terkait dalam dua bidang ketrampilan
adaptasi atau lebih (mis. komunikasi, perawatan diri, aktivitas hidup
sehari-hari, ketrampilan sosial, fungsi dalam masyarakat, pengarahan
diri, kesehatan dan keselamatan, fungsi akademis, dan bekerja.
b. Autisme
Dicirikan dengan gangguan yang nyata dalam interaksi sosial dan
komunikasi, serta aktivitas dan minat yang terbatas (Johnson, 1997).
Gejala-gejalanya meliputi kurangnya responsivitas terhadap orang lain,
menarik diri dan berhubungan sosial, kerusakan yang menonjol dalam
komunikasi, dan respon yang aneh terhadap lingkungan (mis.,
tergantung pada benda mati dan gerakan tubuh yang berulang-ulang
seperti mengepakkan tangan, bergoyang-goyang, dan memukul-mukul
kepala).
c. Gangguan perkembangan spesifik
Dicirikan dengan keterlambatan perkembangan yang mengarah pada
kerusakan fungsional pada bidang-bidang, seperti membaca,
aritmatika, bahasa, dan artikulasi verbal.
2. Defisit perhatian dan gangguan perilaku disrutif :
a. Attention Deficit-Hyperactivity Disorder (ADHD)
Dicirikan dengan tingkat gangguan perhatian, impulsivitas, dan
hiperaktivitas yang tidak sesuai dengan tahap perkembangan. Menurut
DSM IV, ADHD pasti terjadi di sekitanya dua tempat (mis., di sekolah
dan di rumah) dan terjadi sebelum usia 7 tahun (DSM IV, 1994).
b. Gangguan perilaku
Dicirikan dengan perilaku berulang, disuptif, dan kesengajaan untuk
tidak patuh, termasuk melanggar norma dan peraturan sosial. Sebagian
besar anak-anak dengan gangguan ini mengalami penyalahgunaan zat
atau gangguan kepribadian antisosial setelah berusia 18 tahun. Contoh
perilaku pada anak-anak dengan gangguan ini meliputi: mencuri,
berbohong, menggertak, melarikan diri, membolos, menyalahgunakan
zat, melakukan pembakaan, bentuk vandalisme yang lain, jahat
terhadap binatang, dan serangan fisik terhadap orang lain.
c. Gangguan penyimpangan oposisi
Gangguan ini merupakan bentuk gangguan perilaku yang lebih ringan,
meliputi perilaku yang kurang ekstrem. Perilaku dalam gangguan ini
tidak melanggar hak-hak orang lain sampai tingkat yang terlihat dalam
gangguan perilaku. Perilaku dalam gangguan ini menujukkan sikap
menentang, seperti berargumentasi, kasar, marah, toleransi yang
rendah erhadap frustasi, dan menggunakan minuman keras, zat
terlarang, atau keduanya.
3. Gangguan ansietas sering terjadi pada masa kanak-kanak atau remaja dan
berlanjut ke masa dewasa :
a. Gangguan obsesif kompulsif, gangguan ansietas umum, dan fobia
banyak terjadi pada anak-anak dan remaja, dengan gejala yang sama
dengan yang terlihat pada orang dewasa.
b. Gangguan ansietas akibat perpisahan adalah gangguan masa kanak-
kanak yang ditandai dengan rasa takut berpisah dari orang yang paling
dekat dengannya. Gejala-gejalanya meliputi menolak pergi ke sekolah,
keluhan somatic, ansietas berat terhadap perpisahan dan khawatir
tentang adanya bahaya pada orang-orang yang mengasuhnya.
c. Skizofrenia
a) Skizofrenia anak-anak jarang terjadi dan sulit didiagnosis. Gejala-
gejalanya dapat meneyerupai gangguan pervasive, seperti autisme.
walaupun penelitian tentang skizofrenia anak-anak sangat sedikit,
namun telah dijumpai perilaku yang khas (Antai-Otong, 1995b),
seperti beberapa gangguan kognitif dan perilaku, menarik diri
secara sosial, komunikasi.
b) Skizofrenia pada remaja merupakan hal yang umum dan
insidensinya selama masa remaja akhir sangat tinggi. Gejala-
gejalanya mirip dengan skizofrenia dewasa. Gejala awalnya
meliputi perubahan ekstrim dalam perilaku sehari-hari, isolasi
sosial, sikap yang aneh, penurunan nilai-nilai akademik, dan
mengekspresikan perilaku yang tidak disadarinya.
4. Gangguan mood
a. Gangguan ini jarang terjadi pada masa anak-anak dan remaja
dibanding pada orang dewasa (Kelter, 1999). Prevalensi pada anak-
anak dan remaja berkisar antara 1% sampai 5% untuk gangguan
depresi. Eksistensi gangguan bipolar (jenis manik) pada anak-anak
masih kontroversial. Prevalensi penyakit bipolar pada remaja
diperkirakan 1%. Gejala depresi pada anak-anak sama dengan yang
diobservasi pada orang dewasa.
b. Bunuh diri. Adanya gangguan mood merupakan faktor yang serius
untuk bunuh diri. Bunuh diri adalah penyebab kematian utama ketiga
pada individu berusia 15 sampai 24 tahun. Tanda-tanda bahaya bunuh
diri pada remaja meliputi menarik diri secara tiba-tiba, berperilaku
keras atau sangat memberontak, menyalahgunakan obat atau alkohol,
secara tidak biasanya mengabaikan penampilan diri, kualitas tugas-
tugas sekolah menurun, membolos, keletihan berlebihan dan keluhan
somatic, respon yang buruk terhadap pujian, ancaman bunuh diri yang
terang-terangan secara verbal, dan membuang benda-benda yang
didapat sebagai hadiah ( Newman, 1999)
5. Gangguan penyalahgunaan zat
a. Gangguan ini banyak terjadi ; diperkirakan 32% remaja menderita
gangguan penyalahgunaan zat (Johnson, 1997). Angka penggunaan
alkohol atau zat terlarang lebih tinggi pada anak laki-laki dibanding
perempuan. Risiko terbesar mengalami gangguan ini terjadi pada
mereka yang berusia antara 15 sampai 24 tahun. Pada remaja,
perubahan penggunaan zat dapat berkembang menjadi ketergantungan
zat dalam waktu 2 tahun sedangkan pada orang dewasa membutuhkan
waktu antara 15 sampai 20 tahun.
b. Komorbiditas dengan gangguan psikiatrik lainya merupakan hal yang
banyak terjadi, termasuk gangguan mood, gangguan ansietas, dan
gangguan perilaku disruptif.
c. Tanda bahaya penyalahgunaan zat pada remaja, di antaranya adalah
penurunan fungsi sosial dan akademik, perubahan dari fungsi
sebelumnya, seperti perilaku menjadi agresif atau menarik diri dari
interaksi keluarga, perubahan kepribadian dan toleransi yang rendah
terhadap frustasi, berhubungan dengan remaja lain yang juga
menggunakan zat, menyembunyikan atau berbohong tentang
penggunaan zat.

6. PENATALAKSANAAN
1. Perawatan Berbasis Komunitas (Managed Care)
a. Pencegahan primer
Melalui berbagai program sosial yang ditujukan untuk menciptakan
lingkungan yang meningkatkan kesehatan anak. Contohnya adalah
perawatan pranatal awal, program intervensi dini bagi orang tua
dengan faktor resiko yang sudah diketahui dalam membesarkan anak,
dan mengidentifikasi anak-anak yang berisiko untuk memberikan
dukungan dan pendidikan kepada orang tua dari anak-anak ini.
b. Pencegahan sekunder
Dengan menemukan kasus secara dini pada anak-anak yang
mengalami kesulitan di sekolah sehingga tindakan yang tepat dapat
segera dilakukan. Metodenya meliputi konseling individu dengan
program bimbingan sekolah dan rujukan kesehatan jiwa komunitas,
layanan intervensi krisis bagi keluarga yang mengalami situasi
traumatik, konseling kelompok di sekolah, dan konseling teman
sebaya.
c. Dukungan terapeutik bagi anak-anak
Diberikan melalui psikoterapi individu, terapi bermain, dan program
pendidikan khusus untuk anak-anak yang tidak mampu berpartisipasi
dalam sistem sekolah yang normal. Metode pengobatan perilaku pada
umumnya digunakan untuk membantu anak dalam mengembangkan
metode koping yang lebih adaptif.
d. Terapi keluarga dan penyuluhan keluarga
Penting untuk membantu keluarga mendapatkan keterampilan dan
bantuan yang diperlukan guna membuat perubahan yang dapat
meningkatkan fungsi semua anggota keluarga.
2. Pengobatan Berbasis Rumah Sakit
a. Unit khusus untuk mengobati anak-anak dan remaja, terdapat di rumah
sakit jiwa. Pengobatan di unit-unit ini biasanya diberikan untuk klien
yang tidak sembuh dengan metode alternatif yang kurang restriktif,
atau bagi klien yang beresiko tinggi melakukan kekerasan terhadap
dirinya sendiri ataupun orang lain.
b. Program hospitalisasi parsial juga tersedia, memberikan program
sekolah di tempat (on-site) yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan
khusus anak yang menderita penyakit jiwa.
c. Seklusi dan restrain untuk mengendalikan perilaku disruptif masih
menjadi kontroversi. Penelitian menunjukkan bahwa metode ini dapat
bersifat traumatik pada anak-anak dan tidak efektif untuk pembelajaran
respon adaptif. Tindakan yang kurang restriktif meliputi istirahat
(time-out), penahanan terapeutik, menghindari adu kekuatan, dan
intervensi dini untuk mencegah memburuknya perilaku.
3. Farmakoterapi
a. Medikasi digunakan sebagai satu metode pengobatan. Medikasi
psikotropik digunakan dengan hati-hati pada klien anak-anak dan
remaja karena memiliki efek samping yang beragam.
b. Perbedaan fisiologi anak-anak dan remaja memengaruhi jumlah dosis,
respon klinis, dan efek samping dari medikasi psikotropik.
c. Perbedaan perkembangan neurotransmiter pada anak-anak dapat
memengaruhi hasil pengobatan psikotropik, mengakibatkan hasil yang
tidak konsisten, terutama dengan antidepresan trisiklik.
BAB II
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN JIWA

A. PENGKAJIAN
Merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses keperawatan,
kegiatan yang perlu dilakukan oleh seorang perawat. Isi pengkajian
diantaranya yaitu :
1. Identitas pasien , keluhan utama saat MRS , faktor predisposisi , aspek
fisik atau biologis , aspek psikososial , dan status mental .
2. Kaji kembali riwayat klien untuk adanya hal-hal yang mencetuskan
stressor atau data yang signifikan, antara lain riwayat keluarga,
peristiwa-peristiwa hidup yang menimbulkan stres, hasil pemeriksaan
kesehatan jiwa, riwayat masalah fisik dan psikologis serta
pengobatannya.
3. Catat pola pertumbuhan dan perkembangan anak dan bandingkan
dengan alat standar, seperti The Developmental Screening Test dan
versi yang sudah direvisi (Wong, 1997).
4. Catat bukti pencapaian tugas perkembangan yang sesuai bagi anak atau
remaja.
5. Lakukan pemeriksaan fisik pada anak atau remaja, catat data normal
atau abnormal.
6. Kaji respon perilaku yang dapat mengindikasikan gangguan pada anak-
anak atau remaja. Pastikan untuk mengkaji interaksi langsung,
observasi permainan, dan interaksi dengan keluarga dan teman sebaya.
7. Identifikasi bukti gangguan kognitif.
8. Observasi adanya bukti-bukti gangguan mood.
9. Kaji kelebihan dan kelemahan sistem keluarga.

B. DIAGNOSA
Analisa dan data yang ditemukan (objektif dan subjektif) :
1. Tetapkan rumusan diagnosa dalam bentuk rumusan diagnosis tunggal.
Rumusannya : rumusan Problem etiologi tidak perlu dicantumkan
tetapi cukup dimengerti dan dipahami. Dengan cara :
a. Analisis
b. Tetapkan diagnosis keperawatan bagi klien dan keluarga
C. INTERVENSI
Rencana tindakan keperawatan terdiri dari : tujuan umum, tujuan
khusus, kriteria evaluasi dan rencana tindakan keperawatan.
1. Tujuan umum : hasil tindakan berupa kemampuan akhir yang hendak
dicapai (jika serangkaian tujuan khusus telah tercapai)
2. Tujuan khusus : tujuan jangka pendek sampai dengan tujuan jangka
panjang tercapai. Rumusan tujuan khusus berupa pernyataan
kemampuan pasien mengatasi masalah.
3. Tindakan keperawatan dirumuskan dalam bentuk kalimat perintah.
4. Untuk menetapkan tujuan umum dan khusus, perawat perlu memiliki
kemampuan berfikir :
a. Bekerjasama dengan klien dan keluarga dalam menetapkan tujuan
yang realistis
b. Tetapkan kriteria hasil yang diinginkan untuk klien, keluarga, atau
keduanya.

D. IMPLEMENTASI
Sebelum melaksanakan tindakan keperawatan yang sudah
direncanakan, perawat perlu memvalidasi apakah rencana tindakan
keperawatan masih dibutuhkan dan sesuai dengan kondisi klien saat ini
(here and now), menilai diri sendiri (kemampuan interpersonal, intelektual
dan teknikal untuk melaksanakan tindakan, menilai kembali apakah
tindakan aman bagi klien) (Keliat, Budi Aaan, dkk. 1990).

1. Implementasi umum :
a. Bentuk rasa saling percaya.
b. Dengarkan secara aktif, tunjukkan perhatian dan dukungan.
c. Tingkatkan komunikasi yang jelas, jujur, dan langsung.
d. Tempatkan diri sebagai pihak yang netral, jangan memihak orang tua
atau anak.
e. Dukung kelebihan klien dan keluarga.
f. Gunakan model kognitif untuk menjelaskan hubungan antara pikiran,
perasaan, dan perilaku.
g. Berpartisipasi dalam rencana pengobatan di unit rawat inap.
h. Perkuat secara positif perilaku yang dapat diterima.
i. Berpartisipasi dalam terapi bermain, biarkan anak mengekspresikan
dirinya melalui permainan imajinatif.
j. Bekerjasama dengan keluarga klien, sekolah, dan tim kesehatan jiwa.
k. Anjurkan digunakannya kelompok pendukung masyarakat bagi klien
dan keluarga
l. Anjurkan pada keluarga tentang cara menjaga kesehatan emosi anak
melalui penyuluhan klien dan keluarga.

2. Implementasi keperawatan yang dilakukan orang tua, apabila


menemukan gangguan jiwa pada anak dan remaja dengan contoh kasus
seperti dibawah ini :
1) Untuk anak atau remaja dengan gangguan perkembangan pervasive
:
a. Menciptakan lingkungan yang aman, dan bantu orangtua untuk
melakukannya juga di rumah.
b. Membantu orangtua mengurangi perasaan bersalah dan
menyalahkan atas apa yang mereka alami.
c. Mempertahankan konsistensi pengasuh anak di rumah sakit,
sekolah, dan rumah.
d. Membantu orangtua dan saudara kandung anak dalam
mengidentifikasi dan mendiskusikan perasaannya, berbagai hal
dan masalah yang berkaitan dengan tinggal bersama anak yang
menderita gangguan serius.
e. Mengalihkan perhatian anak bila ansietasnya meningkat dan
perilakunya memburuk.
f. Memberikan benda-benda yang dikenal anak.
2. Untuk anak atau remaja dengan ADHD :
a. Berikan medikasi stimulan di pagi hari guna memaksimalkan
efektivitasnya untuk kegiatan di siang hari.
b. Bantu keluarga menggunakan manipulasi lingkungan untuk
mengurangi stimulus guna mengendalikan perilaku.
c. Bantu keluarga menyusun jadwal yang tetap untuk makan, tidur,
bermain, dan mengerjakan tugas sekolah.
d. Bekerjasama dengan sekolah, keluarga, dan tim kesehatan jiwa
untuk memastikan penempatan ruang kelas yang sesuai.
3. Untuk anak atau remaja dengan gangguan perilaku atau gangguan
penyimpangan oposisi :
a. Buat batasan-batasan yang tegas, jelas, dan konsisten tentang
konsekuensi atas perilaku yang tidak dapat diterima.
b. Bantu orang tua menentukan dan mempertahankan batasan yang
telah ditetapkan.
c. Berikan umpan balik positif atas perilaku yang baik.
d. Dorong klien mengekspresikan kemarahannya dengan sikap
verbal yang tepat.
e. Gunakan latihan fisik dan aktivitas untuk membantu anak
menyalurkan kelebihan energi yang muncul karena peningkatan
ansietas atau kemarahan.
f. Catat tanda-tanda perburukan perilaku dan dan lakukan
intervensi segera.
4. Untuk anak atau remaja dengan gangguan ansietas :
a. Pertahankan sikap tenang bila klien dan orangtua mengalami
peningkatan ansietas.
b. Ajarkan pada klien tindakan koping untuk mengatasi ansietas.
c. Gunakan strategi kognitif dalam mendiskusikan tentang
ketakutan-ketakutan yang dirasakan klien, dengan
mengemukakan realitas yang ada.
d. Bantu klien segera kembali ke sekolah dengan dukungan dari
keluarga, bila terjadi ansietas akibat perpisahan.
5. Untuk anak atau remaja dengan gangguan mood :
a. Beritahukan pada klien dan keluarganya tentang gangguan
mood, penyebab, gejala, dan pengobatannya.
b. Fokuskan pada tindakan meningkatkan harga diri.
c. Gunakan tindakan kognitif dalam mengatasi perasaan dan
pikiran negative. Pertahankan sikap yang penuh harapan.
d. Gunakan tindakan kewaspadaan terhadap bunuh diri bagi klien
yang berisiko melakukannya.
6. Untuk anak atau remaja dengan gangguan penyalahgunaan zat :
a. Ajarkan pada klien dan keluarganya tentang zat-zat tersebut dan
dampaknya terhadap kesejahteraan fisik dan psikologis.
b. Anjurkan klien dan keluarganya untuk menghadiri kelompok
swadaya, misalkan alcoholic anonymous.
c. Perkuat sikap penuh harapan bahwa klien dapat mencapai dan
mempertahankan keadaan bersih tanpa penyalahgunaan.
d. Ajarkan tindakan koping untuk mengatasi perasaan dan situasi
yang tidak nyaman.

E. EVALUASI

Perawat menggunakan kreiteria hasil berikut ini untuk menentukan


efektivitas intervensi keperawatan yang dilakukan.

a. Klien dan keluarganya menunjukan perbaikan keterampilan koping .


b. Klien mengendalikan prilaku impulsifnya.
c. Klien menunjukan stabilitas mood yang normal.
d. Klien berpaisipasi dalam program penyuluhan sesuai kemampuan
e. Klien dan keluarganya berpaisipasi dalam program pengobatan dan
menerima rujukan komunitas..
f. Klien berinteraksi secara soosial dengan kelomopok teman sebaya.
DAFTAR PUSTAKA

Cecily L.Betz & Linda A. Sowden. 2001. Buku saku Keperawatan Pediatri. EGC
: Jakarta
Hamid, Achir yani S. 1999. Askep Kesehatan Jiwa pada Anak dan Remaja.
Jakarta : Widya Medika.
Isaac, Ann. 2004. Panduan Belajar ; Keperawatan Kesehatan Jiwa dan
Psikiatrik. Jakarta : EGC
Keliat, Budi Anaa, dkk. 1990. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta :
EGC
Videbeck, Sheila L. 2001. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC
Yosep,Iyus. 2007. Keperawatan Jiwa Ed.Revisi .Bandung:Refika Aditama.
Sarwono, S.W. 2004. Psikologi Perkembangan Remaja. Edis 8 Jakarta : Raja
Gravindo Puataka.
ASKEP GANGGUAN JIWA PADA LANSIA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Proses atau keadaan menjadi tua,senescence,merupakan
fenomena perkembangan manusi yang alamiah dimana secara berangsur-
angsur terjadi kemunduran dari kapasitas mental,berekurangnya minat
social dan menurunnya aktifitas fisik serupa dengan masa kanak-
kanak,remaja,dewasa,menjadi tua adalah hal yang normal yang disertai
pula dengan problema yang khusus pula. Tekanan hidup yang beraneka
ragam yang terdapat dalam masyarakat ikut membentuk keadaan
istimewa atau khusus ini pada usia lanjut.
Keperawatan geriatrik adalah cabang keperawatan yang
memperhatikan pencegahan, diagnosis, dan terapi gangguan fisik dan
psikologis pada lanjut usia dan dengan meningkatkan umur panjang.
Pelayanan/ asuhan keperawatan gangguan mental pada lanjut usia
memerlukan pengetahuan khusus karena kemungkinan perbedaan dalam
manifestasi klinis, patogenesis, dan patofisiologi gangguan mental antara
dewasa muda dan lanjut usia. Faktor penyulit pada pasien lanjut usia juga
perlu dipertimbangkan; faktor-faktor tersebut adalah sering adanya
penyakit dan kecacatan medis penyerta, pemakaian banyak medikasi, dan
peningkatan kerentanan terhadap gangguan kognitif.
Program Epoidiomological Catchment Area (ECA) dari National
Institute of Mental Health telah menemukan bahwa gangguan mkental
yang paling sering pada lanjut usia adalah gangguan depresif, gangguan
kognitif, fobia, dan gangguan pemakaian alkohol. Lanjut usia juga
memiliki resiko tinggi untuk bunuh diri dan gejala psikiatrik akibat obat.
Banyak gangguan mental pada lanjut usia dapat dicegah, dihilangkan,
atau bahkan dipulihkan. Sejumlah faktor resiko psikososial juga
mempredis[osisiskan lanjut usia kepada gangguan mental. Faktor resiko
tersebut adalah hilangnya peranan sosial, hilangnya otonomi, kematian
teman, atau sanak saudara, penurunan kesehatan, peningkatan isolasi,
keterbatasan finansial, dan penurunan fungsi kognitif.
Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai perawatan usia lanjut
yang keadaan kesehatannya terutama dipengaruhi oleh proses
ketuaannya,maka penulis mengambil judul makalah ini Asuhan
Keperawatan pada Pasien Lansia.

B. Tujuan
1. Dapat mengetahui konsep teori keperawatan jiwa pada lansia
2. Dapat mengetahui asuhan keperawatan jiwa pada lansia meliputi
pengkajian, diagnose, intervensi, implementasi dan evaluasi.
C. Manfaat
Manfaat penulis makalah ini yaitu sebagai wawasan atau pandangan
mengenai komunikasi terapeutik dengan tenaga kerja/pelayanan lain.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian
Lansia adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan
kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti died dan
mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat
bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan
yang diderita.
Proses menua (aging) adalah proses alami yang disertai adanya
penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi
satu sama lain. Keadaan itu cenderung berpotensi menimbulkan masalah
kesehatan secara umum maupun kesehatan jiwa secara khusus pada
lansia. Lansia adalah seseorang yang lebihdari 75 tahun.
Penuaan adalah konsekuensi yang tidak dapat dihindari.
Walaupun proses penuaan benar adanya dan merupakan sesuatu yang
normal, tetapi pada kenyataannya proses ini menjadi beban bagi orang
lain dibadingkan dengan proses lain yang terjadi. Perawat yang akan
merawat lansia harus mengerti sesuatu tentang aspek penuaan yang
normal dan tidak normal

B. Aspek-Aspek yang Mempengaruhi Perubahan Fungsi Lansia


Masalah kesehatan mental pada lansia dapat berasal dari 4 aspek
yaitu fisik, psikologik, sosial dan ekonomi. Masalah tersebut dapat berupa
emosi tidak labil, mudah tersinggung, gampang merasa dilecehkan,
kecewa, tidak bahagia, perasaan kehilangan, dan tidak berguna. Lansia
dengan problem tersebut menjadi rentan mengalami gangguan psikiatrik
seperti depresi, ansietas (kecemasan), psikosis (kegilaan) atau kecanduan
obat. Pada umumnya masalah kesehatan mental lansia adalah masalah
penyesuaian. Penyesuaian tersebut karena adanya perubahan dari
keadaan sebelumnya (fisik masih kuat, bekerja dan berpenghasilan)
menjadi kemunduran.
Aspek psikologi merupakan faktor penting dalam kehidupan
seseorang dan menjadi semakin penting dalam kehidupan seorang lansia.
Aspek psikologis ini lebih menonjol daripada aspek materiil dalam
kehidupan seorang lansia. Pada umumnya, lansia mengharapkan: panjang
umur, semangat hidup, tetap berperan sosial, dihormati,
mempertahankan hak dan hartanya, tetap berwibawa, kematian dalam
ketenangan dan diterima di sisi-Nya, dan masuk surga. Keinginan untuk
lebih dekat kepada Allah merupakan kebutuhan lansia. Proses menua
yang tidak sesuai dengan harapan tersebut, dirasakan sebagai beban
mental yang cukup berat.
Aspek sosial yang terjadi pada individu lanjut usia, meliputi
kematian pasangan hidupnya/teman-temannya, perubahan peran
seorang ayah/ibu menjadi seorang kakek/nenek, perubahan dalam
hubungan dengan anak karena sudah harus memerhitungkan anak
sebagai individu dewasa yang dianggap sebagai teman untuk dimintai
pendapat dan pertolongan, perubahan peran dari seorang pekerja
menjadi pensiunan yang sebagian besar waktunya dihabiskan di rumah.
Aspek ekonomi berkaitan dengan status sosial dan prestise. Dalam
masyarakat sebagai seorang pensiunan, perubahan pendapatan karena
hidupnya tergantung dari tunjangan pensiunan. Kondisi-kondisi khas yang
berupa penurunan kemampuan ini akan memunculkan gejala umum pada
individu lanjut usia, yaitu perasaan takut menjadi tua.
Pada umumnya, perubahan ini diawali ketika masa pensiun.
Meskipun tujuan ideal pensiun adalah agar para lansia dapat menikmati
hari tua atau jaminan hari tua, namun dalam kenyataannya sering
diartikan sebaliknya, karena pensiun sering diartikan sebagai kehilangan
penghasilan, kedudukan, jabatan, peran, kegiatan, status, dan harga diri.
Reaksi setelah orang memasuki masa pensiun lebih tergantung dari
model kepribadiannya dan sangat tergantung pada sikap mental individu
dalam menghadapi masa pensiun. Dalam kenyataan ada yang menerima,
ada yang takut kehilangan, ada yang merasa senang memiliki jaminan
hari tua dan ada juga yang seolah-olah pasrah terhadap pensiun.
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa aspek mental yang ada
pada diri manusia adalah aspek-aspek yang dapat menentukan sifat dan
karakteristik manusia itu sendiri. Perbuatan dan tingkah laku manusia
sangat ditentukan oleh keadaan jiwanya yang merupaka motor
penggerak suatu perbuatan. Oleh sebab itu aspek-aspek mental tersebut
bisa manusia kendalikan melalui proses pendidikan.

C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesehatan Jiwa Lansia


Ada beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap
kesehatan jiwa lansia. Faktor-faktor tersebut hendaklah disikapi secara
bijak sehingga para lansia dapat menikmati hari tua mereka dengan
bahagia.
Adapun beberapa faktor yang dihadapi para lansia yang sangat
mempengaruhi kesehatan jiwa mereka adalah sebagai berikut:
1. Penurunan Kondisi Fisik
Setelah orang memasuki masa lansia umumnya mulai dihinggapi
adanya kondisi fisik yang bersifat patologis berganda (multiple
pathology), misalnya tenaga berkurang, enerji menurun, kulit makin
keriput, gigi makin rontok, tulang makin rapuh, dan sebagainya.
Secara umum kondisi fisik seseorang yang sudah memasuki masa
lansia mengalami penurunan secara berlipat ganda. Hal ini semua
dapat menimbulkan gangguan atau kelainan fungsi fisik, psikologik
maupun sosial, yang selanjutnya dapat menyebabkan suatu keadaan
ketergantungan kepada orang lain. Dalam kehidupan lansia agar
dapat tetap menjaga kondisi fisik yang sehat, maka perlu
menyelaraskan kebutuhan-kebutuhan fisik dengan kondisi psikologik
maupun sosial, sehingga mau tidak mau harus ada usaha untuk
mengurangi kegiatan yang bersifat memforsir fisiknya. Seorang lansia
harus mampu mengatur cara hidupnya dengan baik, misalnya makan,
tidur, istirahat dan bekerja secara seimbang.
2. Penurunan Fungsi dan Potensi Seksual
Penurunan fungsi dan potensi seksual pada lanjut usia sering kali
berhubungan dengan berbagai gangguan fisik seperti : Gangguan
jantung, gangguan metabolisme, misal diabetes millitus, vaginitis,
baru selesai operasi : misalnya prostatektomi, kekurangan gizi, karena
pencernaan kurang sempurna atau nafsu makan sangat kurang,
penggunaan obat-obat tertentu, seperti antihipertensi, golongan
steroid, tranquilizer.
Faktor psikologis yang menyertai lansia antara lain :
a. Rasa tabu atau malu bila mempertahankan kehidupan seksual
pada lansia
b. Sikap keluarga dan masyarakat yang kurang menunjang serta
diperkuat oleh tradisi dan budaya.
c. Kelelahan atau kebosanan karena kurang variasi dalam
kehidupannya.
d. Pasangan hidup telah meninggal.
e. Disfungsi seksual karena perubahan hormonal atau masalah
kesehatan jiwa lainnya misalnya cemas, depresi, pikun dan
sebagainya.
3. Perubahan Aspek Psikososial
Pada umumnya setelah orang memasuki lansia maka ia
mengalami penurunan fungsi kognitif dan psikomotor. Fungsi kognitif
meliputi proses belajar, persepsi, pemahaman, pengertian, perhatian
dan lain-lain sehingga menyebabkan reaksi dan perilaku lansia
menjadi makin lambat. Sementara fungsi psikomotorik (konatif)
meliputi hal-hal yang berhubungan dengan dorongan kehendak
seperti gerakan, tindakan, koordinasi, yang berakibat bahwa lansia
menjadi kurang cekatan.
Dengan adanya penurunan kedua fungsi tersebut, lansia juga
mengalami perubahan aspek psikososial yang berkaitan dengan
keadaan kepribadian lansia.
4. Perubahan yang Berkaitan Dengan Pekerjaan
Pada umumnya perubahan ini diawali ketika masa pensiun.
Meskipun tujuan ideal pensiun adalah agar para lansia dapat
menikmati hari tua atau jaminan hari tua, namun dalam
kenyataannya sering diartikan sebaliknya, karena pensiun sering
diartikan sebagai kehilangan penghasilan, kedudukan, jabatan, peran,
kegiatan, status dan harga diri. Reaksi setelah orang memasuki masa
pensiun lebih tergantung dari model kepribadiannya seperti yang
telah diuraikan pada point tiga di atas.

D. Masalah Kesehatan Lansia


Masalah kesehatan jiwa lansia termasuk juga dalam masalah
kesehatan yang dibahas pada pasien-pasien Geriatri dan Psikogeriatri
yang merupakan bagian dari Gerontologi, yaitu ilmu yang mempelajari
segala aspek dan masalah lansia, meliputi aspek fisiologis, psikologis,
sosial, kultural, ekonomi dan lain-lain (Depkes.RI, 1992:6)
Geriatri adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari
masalah kesehatan pada lansia yang menyangkut aspek promotof,
preventif, kuratif dan rehabilitatif serta psikososial yang menyertai
kehidupan lansia. Sementara Psikogeriatri adalah cabang ilmu kedokteran
jiwa yang mempelajari masalah kesehatan jiwa pada lansia yang
menyangkut aspek promotof, preventif, kuratif dan rehabilitatif serta
psikososial yang menyertai kehidupan lansia.
Ada 4 ciri yang dapat dikategorikan sebagai pasien Geriatri dan
Psikogeriatri, yaitu :
1. Keterbatasan fungsi tubuh yang berhubungan dengan makin
meningkatnya usia
2. Adanya akumulasi dari penyakit-penyakit degeneratif
3. Lanjut usia secara psikososial yang dinyatakan krisis bila :
Ketergantungan pada orang lain (sangat memerlukan pelayanan
orang lain).
Mengisolasi diri atau menarik diri dari kegiatan kemasyarakatan
karena berbagai sebab, diantaranya setelah menajalani masa pensiun,
setelah sakit cukup berat dan lama, setelah kematian pasangan hidup
dan lain-lain.
4. Hal-hal yang dapat menimbulkan gangguan keseimbangan
(homeostasis) sehingga membawa lansia kearah kerusakan /
kemerosotan (deteriorisasi) yang progresif terutama aspek psikologis
yang mendadak, misalnya bingung, panik, depresif, apatis dan
sebagainya. Hal itu biasanya bersumber dari munculnya stressor
psikososial yang paling berat, misalnya kematian pasangan hidup,
kematian sanak keluarga dekat, terpaksa berurusan dengan penegak
hukum, atau trauma psikis.

E. Penyakit Psikiatris
Gangguan yang paling banyak diderita adalah gangguan depresi,
demensia, fobia, insomnia, paranoid dan gangguan terkait penggunaan
alkohol. Lansia dengan usia di atas 75 tahun juga beresiko tinggi
melakukan bunuh diri. Banyak gangguan mental pada lansia dapat
dicegah, diperbaiki, bahkan dipulihkan.
1. Gangguan demensia
Faktor resiko demensia yang sudah diketahui adalah usia, riwayat
keluarga, dan jenis kelamin wanita. Perubahan khas pada demensia
terjadi pada kognisi, memori, bahasa, dan kemampuan visuospasial,
tapi gangguan perilaku juga sering ditemui, termasuk agitasi,
restlessness, wandering, kemarahan, kekerasan, suka berteriak,
impulsif, gangguan tidur, dan waham.
2. Gangguan depresi
Gejala yang sering muncul pada gangguan depresif adalah
menurunnya konsentrasi dan fisik, gangguan tidur (khususnya bangun
pagi terlalu cepat dan sering terbangun [multiple awakenings]), nafsu
makan menurun, penurunan berat badan, dan masalah-masalah pada
tubuh.
3. Gangguan kecemasan
Termasuk gangguan panik, ketakutan (fobia), gangguan obsesif-
kompulsif, gangguan kecemasan yang menyeluruh, gangguan stres
akut, dan gangguan stres pasca trauma.
Tanda dan gejala ketakutan (fobia) pada lansia tidak seberat daripada
yang lebih muda, tetapi efeknya sama. Gangguan kecemasan mulai
muncul pada masa remaja awal atau pertengahan, tetapi beberapa
dapat muncul pertama kali setelah usia 60 tahun.
Pengobatan harus disesuaikan dengan penderita dan harus
diperhitungkan pengaruh biopsikososial yang menghasilkan
gangguan. Farmakoterapi dan psikoterapi dibutuhkan.
4. Gangguan insomnia
Kebiasaan atau pola tidur lansia dapat berubah, yang terkadang dapat
mengganggu kenyamanan anggota keluarga lain yang tinggal
serumah. Perubahan pola tidur dapat berubah tiak bisa tidur
sepanjang malam dan sering terbangun pada malam hari, sehingga
lansia melakukan kegiatannya pada malam hari.
Penyebab insomnia pada lansia:
a. Kurangnya kegiatan fisik dan mental sepanjang hari sehingga
mereka masih semangat sepanjang malam
b. Tertidur sebentar-sebentar sepanjang hari
c. Gangguan cemas dan depresi
d. Tempat tidur dan suasana kamar kurang nyaman
e. Sering berkemih pada waktu malam karena banyak minum pada
malam hari
f. Infeksi saluran kemih
5. Gangguan paranoid
Lansia terkadang merasa bahwa ada orang yang mengancam mereka,
membicarakan, serta berkomplot ingin melukai atau mencuri barang
miliknya
Gejala Paranoid:
a. Perasaan curiga dan memusuhi anggota keluarga, teman-teman,
atau orang-orang di sekelilingnya
b. Lupa akan barang-barang yang disimpannya kemudian menuduh
orang-orang di sekelilingnya mencuri atau menyembunyikan
barang miliknya
c. Paranoid dapat merupakan manifestasi dari masalah lain, seperti
depresi dan rasa marah yang ditahan
d. Tindakan yang dapat dilakukan pada lansia dengan paranoid
adalah memberikan rasa aman dan mengurangi rasa curiga
dengan memberikan alas an yang jelas dalam setiap kegiatan.
Konsultasikan dengan dokter bila gejala bertambah berat.

F. Pendekatan Perawatan Lansia


Dalam pendekatan pelayanan kesehatan pada kelompok lanjut
usia sangat perlu ditekankan pendekatan yang dapat mencakup sehat
fisik, psikologis, spiritual dan sosial. Hal tersebut karena pendekatan dari
satu aspek saja tidak akan menunjang pelayanan kesehatan pada lanjut
usia yang membutuhkan suatu pelayanan yang komprehensif.
Pendekatan inilah yang dalam bidang kesehatan jiwa (mental health)
disebut pendekatan eklektik holistik, yaitu suatu pendekatan yang tidak
tertuju pada pasien semata-mata, akan tetapi juga mencakup aspek
psikososial dan lingkungan yang menyertainya. Pendekatan Holistik
adalah pendekatan yang menggunakan semua upaya untuk
meningkatkan derajat kesehatan lanjut usia, secara utuh dan
menyeluruh.
1. Pendekatan fisik
Perawat mempunyai peranan penting untuk mencegah terjadinya
cedera sehingga diharapkan melakukan pendekatan fisik, seperti
berdiri disamping klien, menghilangkan sumber bahaya dilingkungan,
memberikan perhatian dan sentuhan, bantu klien menemukan hal
yang salah dalam penempatannya, memberikan label gambar atau hal
yang diinginkan klien.
2. Pendekatan psikologis
Disini perawat mempunyai peranan penting untuk mengadakan
pendekatan edukatif pada klien lanjut usia, perawat dapat berperan
sebagai supporter, interpreter terhadap segala sesuatu yang asing,
sebagai penampung rahasia yang pribadi dan sebagai sahabat yang
akrab. Perawat hendaknya memiliki kesabaran dan ketelitian dalam
memberikan kesempatan dan waktu yang cukup banyak untuk
menerima berbagai bentuk keluhan agar para lanjut usia merasa
puas. Perawat harus selalu memegang prinsip Tripple, yaitu sabar,
simpatik dan service. Hal itu perlu dilakukan karena perubahan
psikologi terjadi karena bersama dengan semakin lanjutnya usia.
Perubahan-perubahan ini meliputi gejala-gejala, seperti menurunnya
daya ingat untuk peristiwa yang baru terjadi, berkurangnya
kegairahan atau keinginan, peningkatan kewaspadaan, perubahan
pola tidur dengan suatu kecenderungan untuk tiduran diwaktu siang,
dan pergeseran libido. Perawat harus sabar mendengarkan cerita dari
masa lampau yang membosankan, jangan menertawakan atau
memarahi klien lanjut usia bila lupa melakukan kesalahan . Harus
diingat kemunduran ingatan jangan dimanfaatkan untuk tujuan
tertentu. Bila perawat ingin merubah tingkah laku dan pandangan
mereka terhadap kesehatan, perawat bila melakukannya secara
perlahan lahan dan bertahap, perawat harus dapat mendukung
mental mereka kearah pemuasan pribadi sehinga seluruh pengalaman
yang dilaluinya tidak menambah beban, bila perlu diusahakan agar di
masa lanjut usia ini mereka puas dan bahagia.
3. Pendekatan spiritual
Perawat harus bisa memberikan ketenangan dan kepuasan batin
dalam hubungan lansia dengan Tuhan atau agama yang dianutnya
dalam keadaan sakit atau mendeteksi kematian. Sehubungan dengan
pendekatan spiritual bagi klien lanjut usia yang menghadapi
kematian. Seorang dokter mengemukakan bahwa maut sering kali
menggugah rasa takut. Rasa semacam ini didasari oleh berbagai
macam faktor, seperti ketidakpastian akan pengalaman selanjutnya,
adanya rasa sakit dan kegelisahan kumpul lagi dengan keluarga dan
lingkungan sekitarnya. Dalam menghadapi kematian setiap klien
lanjut usia akan memberikan reaksi yang berbeda, tergantung dari
kepribadian dan cara dalam mengahadapi hidup ini. Adapun
kegelisahan yang timbul diakibatkan oleh persoalan keluarga, perawat
harus dapat meyakinkan lanjut usia bahwa kalaupun keluarga tadi
ditinggalkan , masih ada orang lain yang mengurus mereka.
Sedangkan rasa bersalah selalu menghantui pikiran lanjut usia.
4. Pendekatan social
Mengadakan diskusi, tukar pikiran, dan bercerita merupakan salah
satu upaya perawat dalam pendekatan social. Memberi kesempatan
untuk berkumpul bersama dengan sesama klien usia berarti
menciptakan sosialisasi mereka. Jadi pendekatan social ini merupakan
suatu pegangan bagi perawat bahwa orang yang dihadapinya adalah
makhluk sosial yang membutuhkan orang lain. Penyakit memberikan
kesempatan yang seluas-luasnya kepada para lanjut usia untuk
mengadakan konunikasi dan melakukan rekreasi, misal jalan pagi,
nonton film, atau hiburan lain. Tidak sedikit klien tidak tidur terasa,
stress memikirkan penyakitnya, biaya hidup, keluarga yang dirumah
sehingga menimbulkan kekecewaan, ketakutan atau kekhawatiran,
dan rasa kecemasan. Tidak jarang terjadi pertengkaran dan
perkelahian diantara lanjut usia, hal ini dapat diatasi dengan berbagai
cara yaitu mengadakan hak dan kewajiban bersama. Dengan demikian
perawat tetap mempunyai hubungan komunikasi baik sesama mereka
maupun terhadap petugas yang secara langsung berkaitan dengan
pelayanan kesejahteraan sosial bagi lanjut usia.
G. Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Lnasia
1. Pengkajian Pasien Lansia
Pengkajian pasien lansia menyangkut beberapa aspek yaitu
biologis, psikologis, dan sosiokultural yang beruhubungan dengan
proses penuaan yang terkadang membuat kesulitan dalam
mengidentifikasi masalah keperawatan. Pengkajian perawatan total
dapat mengidentifikasi gangguan primer. Diagnosa keperawatan
didasarkan pada hasil observasi pada perilaku pasien dan
berhubungan dengan kebutuhan.
a. Wawancara
Dalam wawancara ini meliputi riwayat: pernah mengalami
perubahan fungsi mental sebelumnya?. Kaji adanya demensia,
dengan alat-alat yang sudah distandardisasi (Mini Mental Status
Exam (MMSE)).
Hubungan yang penuh dengan dukungan dan rasa percaya sangat
penting untuk wawancara yang positif kepada pasien lansia.
Lansia mungkin merasa kesulitan, merasa terancam dan bingung
di tempat yang baru atau dengan tekanan. Lingkungan yang
nyaman akan membantu pasien tenang dan focus terhadap
pembicaraan.
b. Keterampilan Komunikasi Terapeutik
Perawat membuka wawancara dengan memperkenalkan diri dan
menjelaskan tujuan dan lama wawancara. Berikan waktu yang
cukup kepada pasien untuk menjawab, berkaitan dengan
pemunduran kemampuan untuk merespon verbal. Gunakan kata-
kata yang tidak asing bagi klien sesuai dengan latar belakang
sosiokulturalnya. Gunakan pertanyaan yang pendek dan jelas
karena pasien lansia kesulitan dalam berfikir abstrak. Perawat
dapat memperlihatkan dukungan dan perhatian dengan
memberikan respon nonverbal seperti kontak mata secara
langsung, duduk dan menyentuk pasien.
Melihat kembali kehidupan sebelumnya merupakan sumber data
yang baik untuk mengidentifikasi masalah kesehatan pasien dan
sumber dukungan. Perawat harus cermat dalam mengidentifikasi
tanda-tanda kepribadian pasien dan distress yang ada. Perawat
tidak boleh berasumsi bahwa pasien memahami tujuan atau
protocol wawancara pengkajian. Hal ini dapat meningkatkan
kecemasan dan stres pasien karena kekurangan informasi.
Perawat harus memperhatikan respon pasien dengan
mendengarkan dengan cermat dan tetap mengobservasi.
c. Setting wawancara
Tempat yang baru dan asing akan membuat pasien merasa cemas
dan takut. Lingkungan harus dibuat nyaman. Kursi harus dibuat
senyaman mungkin. Lingkuangan harus dimodifikasi sesuai
dengan kondisi lansia yang sensitif terhadap suara berfrekuensi
tinggi atau perubahan kemampuan penglihatan.
Data yang dihasilkan dari wawancara pengkajian harus dievaluasi
dengan cermat. Perawat harus mengkonsultasikan hasil
wawancara kepada keluarga pasien atau orang lain yang sangat
mengenal pasien. Perawat harus memperhatikan kondisi fisik
pasien pada waktu wawancara dan faktor lain yang dapat
mempengaruhi status, seperti pengobatan media, nutrisi atau
tingkat cemas.
d. Fungsi Kognitif
Status mental menjadi bagian dari pengkajian kesehatan jiwa
lansia karena beberapa hal termasuk :
Peningkatan prevalensi demensia dengan usia.
Adanya gejala klinik confusion dan depresi.
Frekuensi adanya masalah kesehatan fisik dengan confusion.
Kebutuhan untuk mengidentifikasi area khusus kekuatan dan
keterbatasan kognitif .
e. Status Afektif
Status afektif merupakan pengkajian geropsikiatrik yang penting.
Kebutuhan termasuk skala depresi. Seseorang yang sedang sakit,
khususnya pada leher, kepala, punggung atau perut dengan
sejarah penyebab fisik. Gejala lain pada lansia termasuk
kehilangan berat badan, paranoia, kelelahan, distress
gastrointestinal dan menolak untuk makan atau minum dengan
konsekuensi perawatan selama kehidupan.
Sakit fisik dapat menyebabkan depresi sekunder. Beberapa
penyakit yang berhubungan dengan depresi diantaranya
gangguan tiroid, kanker, khususnya kanker lambung, pancreas,
dan otak, penyakit Parkinson, dan stroke. Beberapa pengobatan
da[at meningkatkan angka kejadian depresi, termasuk steroid,
Phenothiazines, benzodiazepines, dan antihypertensive. Skala
Depresi Lansia merupakan ukuran yang sangat reliable dan valid
untuk mengukur depresi.

f. Respon Perilaku
Pengkajian perilaku merupakan dasar yang paling penting dalam
perencanaan keperawatan pada lansia. Perubahan perilaku
merupakan gejala pertama dalam beberapa gangguan fisik dan
mental. Jika mungkin, pengkajian harus dilengkapi dengan kondisi
lingkungan rumah. Hal ini menjadi modal pada faktor lingkungan
yang dapat mengurangi kecemasan pada lansia.
Pengkajian tingkah laku termasuk kedalam mendefinisikan tingkah
laku, frekuensinya, durasi, dan faktor presipitasi atau triggers.
Ketika terjadi perubahan perilaku, ini sangat penting untuk
dianalisis.
g. Kemampuan fungsional
Pengkajian fungsional pada pasien lansia bukan batasan indokator
dalam kesehatan jiwa. Dibawah ini merupakan aspek-aspek dalam
pengkajian fungsional yang memiliki dampak kuat pada status jiwa
dan emosi.
h. Mobilisasi
Pergerakan dan kebebasan sangat penting untuk persepsi
kesehatan pribadi lansia. Hal yang harus dikaji adalah kemampuan
lansia untuk berpindah di lingkungan, partisipasi dalam aktifitas
penting, dan mamalihara hubungan dengan orang lain. Dalam
mengkaji ambulasi , perawat harus mengidentifikasi adanya
kehilangan fungsi motorik, adaptasi yang dilakukan, serta jumlah
dan tipe pertolongan yang dibutuhkan. Kemampuan fungsi
i. Activities of Daily Living
Pengkajian kebutuhan perawatan diri sehari-hari (ADL) sangat
penting dalam menentukan kemampuan pasien untuk bebas. ADL
( mandi, berpakaian, makan, hubungan seksual, dan aktifitas
toilet) merupakan tugas dasar. Hal ini sangat penting dalam untuk
membantu pasien untuk mandiri sebagaimana penampilan pasien
dalam menjalankan ADL.
j. The Katz Indeks
Angka Katz indeks dependen dibandingkan dengan independen
untuk setiap ADL seperti mandi, berpakaian, toileting, berpindah
tempat , dan makan. Salah satu keuntungan dari alat ini adalah
kemampuan untuk mengukur perubahan fungsi ADL setiap waktu,
yang diakhiri evaluasi dan aktivitas rehabilisasi.
k. Fungsi Fisiologis
Pengkajian kesehatan fisik sangat penting pada pasien lansia
karena interaksi dari beberapa kondisi kronis, adanya deficit
sensori, dan frekuensi tingkah laku dalam masalah kesehatan jiwa.
Prosedur diagnostic yang dilakukan diantaranya EEG, lumbal;
funksi, nilai kimia darah, CT Scan dan MRI. Selain itu, nutrisi dan
pengobatan medis juga harus dikaji.
1. Nutrisi
Beberapa pasien lansia membutuhkan bantuan untuk makan
atau rencana nutrisi diet. Pasien lansia yang memiliki masalah
psikososial memiliki kebutuhan pertolongan dalam makan dan
monitor makan. Perawat harus secara rutin mengevaluasi
kebutuhan diet pasien. Pengkajian nutrisi harus dikaji lebih
dalam secara perseorangan termasuk pola makan rutin, waktu
dalam sehari untuk makan, ukuran porsi, makanan kesukaan
dan yang tidak disukai.
2. Pengobatan Medis
Empat faktor lansia yang beresiko untuk keracunan obat dan
harus dikaji yaitu usia, polifarmasi, komplikasi pengobatan,
komorbiditas.
3. Penyalahgunaan Bahan-bahan Berbahaya
Seorang lansia yang memiliki sejarah penyalahgunaan alcohol
dan zat-zat berbahaya beresiko mengalami peningkatan
kecemasan dan gangguan kesehatan lainnya apabila
mengalami kehilangan dan perubahan peran yang signifikan.
Penyalahgunaan alcohol dan zat-zat berbahaya lainnya oleh
seseorang akan menyebabkan jarak dari rasa sakit seperti
kehilangan dan kesepian.
4. Dukungan Sosial
Dukungan positif sangat penting untuk memelihara perasaan
sejahtera sepanjang kehidupan, khususnya untuk pasien
lansia. Latar belakang budaya pasien merupakan faktor yang
sangat penting dalam mengidentifikasi support system.
Perawat harus mengkaji dukungan sosial pasien yang ada di
lingkungan rumah, rumah sakit, atau di tempat pelayanan
kesehatan lainnya. Keluarga dan teman dapat membantu
dalam mengurangi shock dan stres di rumah sakit.
5. Interaksi Pasien- Keluarga
Peningkatan harapan hidup, penurunan angka kelahiran, dan
tingginya harapan hidup untuk semua wanita yang berakibat
pada kemampuan keluarga untuk berpartisipasi dalam
pemberian perawatan dan dukungan kepada lansia.
Kebanyakan lansia memiliki waktu yang terbatas untuk
berhubungan dengn anaknya. Masalah perilaku pada lansia
kemungkinan hasil dari ketiakmampuan keluarga untuk
menerima kehilangan dan peningkatan kemandirian pada
anggota keluarga yang sudah dewasa.

2. Diagnosa Keperawatan
a Gangguan pola tidur b.d ansietas
b Gangguan proses pikir berhubungan dengan kehilangan memori,
degenerasi neuron irreversible.
c Risiko cedera berhubungan dengan penurunan fungsi fisiologis
daan kognitif.
d Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan
persepsi, transmisi dan atau integrasi sensori ( defisit neurologist).
e Kurang perawatan diri : hygiene nutrisi, dan atau toileting
berhubungan dengan ketergantungan fisiologis dan atau
psikologis.
f Potensial terhadap ketidakefektifan koping keluarga berhubungan
dengan pengaruh penyimpangan jangka panjang dari proses
penyakit
3. Intervensi Keperawatan
a Gangguan pola tidur b.d ansietas.
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan kunjungan klien memiliki
pola tidur yang teratur.
Kriteria Hasil:
Klien mampu memahami factor penyebab gangguan pola
tidur.
Klien mampu menentukan penyebab tidur inadekuat.
Klien mampu memahami rencana khusus untuk menangani
atau mengoreksi penyebab tidur tidak adekuat.
Klien mampu menciptakan pola tidur yang adekuat dengan
penurunan terhadap pikiran yang melayang-layang
(melamun).
Klien tampak atau melaporkan dapat beristirahat yang cukup.
Intervensi :
1. Jangan menganjurkan klien untuk tidur siang apabila berakibat
efek negative terhadap tidur pada malam hari.
Rasional: irama sikardian (siklus tidur bangun) yang
tersinkronisasi disebabkan oleh tidur siang yang singkat.
2. Evaluasi efek obat klien yang mengganggu tidur.
Rasional: derangement psikis terjadi bila terdapat penggunaan
kortikosteroid termasuik perubahan mood, insomnia.
3. Tentukan kebiasaan dan rutinitas waktu tidur malam dengan
kebiasaan klien (member susu hangat).
Rasional: mengubah pola yang sudah terbiasa dari asupan
makan klien pada malam hari terbukti mengganggu tidur.
4. Berikan lingkungan yang nyaman untuk meningkatkan tidur.
Rasional: hambatan kortikal pada formasi retikuler akan
berkurang selama tidur, meningkatkan respon otomatik,
karenanya respon kardiovaskuler terhadap suara meningkat
selama tidur.
5. Buat jadwal intervensi untuk memungkinkan waktu tidur lebih
lama.
Rasional: gangguan tidur terjadi dengan seringnya tidur dan
mengganggu pemulihan sehubungan dengan gangguan
psikologis dan fisiologis, sehingga irama sikardian terganggu.
6. Berikan makanan kecil sore hari, susu hangat, mandi, dan
massage punggung.
Rasional: meningkatkan relaksasi dengan perasaan
mengantuk.
7. Putarkan music yang lembut atau suara yang jernih.
Rasional: menurunkan stimulasi sensori dengan menghambat
suara lain dari lingkungan sekitar yang akan menggaggu tidur.
8. Berikan obat sesuai indikasi seperti amitriptilin.
Rasional: Efektik menangani pseudodemensia atau depresi
menigkatkan kemampuan untuk ttidur, tetapi antikolinergik
dapat mencetuskan bingung, memperburuk kognitif an efek
samping hipertensi ortostatik.

b. Gangguan proses pikir berhubungan dengan kehilangan memori,


degenerasi neuron irreversible.
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan kunjungan klien dapat
berpikir rasional.
Kriteria hasil :
Klien mampu memperlihatkan kemampuan kognitif untuk
menjalani konsekuensi kejadian yang menegangkan terhadap
emosi dan pikiran tentang diri
Klien mampu mengembangkan strategi untuk mengatasi
anggapan diri yang negative
Klien mampu mengenali perubahan dalam berfikir atau
tingkah laku dan factor penyebab
Klien mampu memperlihatkan penurunan tingkah laku yang
tidak diinginkan, ancaman, dan kebingungan.
Intervensi:
1. Kembangkan lingkungan yang mendukung dan hubungan
klien-perawat yang terapeutik
Rasional: mengurangi kecemasan dan emosional, seperti
kemarahan, meningkatkan pengembanagan evaluasi diri yang
positif dan mengurangi konflik psikologis.
2. Kaji derajat gangguan kognitif, seperti perubahan orientasi,
rentang perhatian, kemampuan berfikir. Bicarakan dengan
keluarga mengenai perubahan perilaku.
Rasional: memberikan dasar perbandingan yang akan datang
dan memengaruhi rencana intervensi. Catatan: evaluasi
orientasi secar berulang dapat meningkatkan risiko yang
negative atau tingkat frustasi.
3. Pertahankan lingkungan yang menyenangkan dan tenang.
Rasional: kebisingan merupakan sensori berlebihan yang
meningkatkan gangguan neuron
4. Tatap wajah klien ketika sedang berbicara dengan klien
Rasional: menimbulkan perhatian, terutama pada klien
dengan gangguan perceptual.
5. Gunakan distraksi. Bicarakan tentang kejadian yang
sebenarnya saat klien mengungkapkan ide yang salah, jika
tidak meningkatkan kecemasan.
Rasional: lamunan membantu dalam meningkatkan
disorientasi. Orientasi pada realita meningkatkan perasaan
realita klien, penghargaan diri dan kemuliaan (kebahagiaan
personal).
6. Hormati klien dan evaluasi kebutuhan secara spesifik.
Rasional: klien dengan penurunan kognitif pantas
mendapatkan penghormatan, penghargaan, dan kebahagiaan.
7. Bantu klien menemukan hal yang salah dalam
penempatannya. Berikan label gambar atau hal yang
diinginkan klien. Jangan menentang.
Rasional: menurunkan defensive jika klien menyadari
kesalahan. Membantah klien tidak akan mengubah
kepercayaan dan menimbulkan kemarahan.
8. Berikan obat sesuai indikasi seperti, siklandelat.
Rasional ; meningkatkan kesadaran mental.

c. Risiko cedera berhubungan dengan penurunan fungsi fisiologis


dan kognitif.
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan kunjungan klien tidak
mengalami cedera.
Kriteria hasil :
Klien mampu meningkatkan tingkat aktivitas.
Klien dapat beradaptasi dengan lingkungan untuk mengurangi
risiko trauma atau cedera
Klien tidak mengalami trauma atau cedera
Keluarga mampu mengenali potensial di lingkungan dan
mengidentifikasi tahap-tahap untuk memperbaikinya.
Intervensi:
1. Kaji derajat gangguan kemampuan, tingkah laku impulsive dan
penurunan persepsi visual. Bantu keluarga mengidentifkasi
risiko terjadinya bahaya yang mungkin timbul.
Rasional: mengidentifikasi risiko di lingkungan dan
mempertinggi kesadaran perawat akan bahaya. Klien dengan
tingkah laku impulsive berisiko trauma karena kurang mampu
mengendalikan perilaku. Penurunan persepsi visual berisiko
terjatuh
2. Hilangkan sumber bahaya lingkungan.
Rasional: klien dengan gangguan kognitif, gangguan persepsi
adalah awal terjadi trauma akibat tidak bertanggung jawab
terhadap kebutuhan keamanan dasar.
3. Alihkan perhatian saat perilaku teragitasi atau berbahaya,
seperti memanjat pagar tempat tidur.
Rasional: mempertahankan keamanan dengan menghindari
konfrontasi yang meningkatkan risiko terjadinya trauma.
4. Gunakan pakaian sesuai dengan lingkungan fisik atau
kebutuhan klien.
Rasional: perlambatan proses metabolism mengakibatkan
hipotermia. Hipotalamus dipengaruhi proses penyakit yang
menyebabkan rasa kedinginan.
5. Kaji efek samping obat, tanda keracuna (tanda
ekstrapiramidal, hipotensi ortostatik, gangguan penglihatan,
gangguan gastrointestinal).
Rasional: klien yang tidak dapat melaporkan tanda/gejala obat
dapat menimbulkan kadar tolsisitas pada lansia. Ukuran
dosis/penggantian obat diperlukan untuk mengurangi
gangguan.
6. Hindari penggunaan restrain terus-menerus. Berikan
kesempatan keluarga tinggal bersama klien selama periode
agitasi akut.
Rasional: membahayakan klien, meningkatkan agitasi dan
timbul risiko fraktur pada klien lansia (berhubungan dengan
penurunan kalsium tulang).

d. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan


persepsi, transmisi dan atau integrasi sensori ( defisit neurologis ).
Tujuan:
Setelah dilakukan dilakukan keperawatan kunjungan tidak terjadi
penurunan lebih lanjut pada persepsi sensori klien.
Kriteria hasil :
Klien mengalami penurunan halusinasi.
Klien mampu mengembangkan strategi psikososial untuk
mengurangi stress atau mengatur perilaku.
Klien mampu mendemonstrasikan respon yang sesuai
stimulasi.
Intervensi:
1. Kaji derajat sensori atau gangguan persepsi dan bagaimana hal
tersebut mempengaruhi klien termasuk penurunan
penglihatan atau pendengaran.
Rasional : keterlibatan otak memperlihatkan masalah yang
bersifat asimetris menyebabkan klien kehilangan kemampuan
pada salah satu sisi tubuh. Klien tidak dapat mengenali rasa
lapar atau haus.
2. Anjurkan memakai kacamata atau alat bantu dengar sesuai
kebutuhan
Rasional : meningkatkan masukan sensori, membatasi atau
menurunkan kesalahan intepretasi stimulasi.
3. Pertahankan hubungan orientasi realita. Memberikan
petunjuk pada orientasi realita dengan kalender, jam, atau
catatan.
Rasional : menurunkan kekacauan mental dan meningkatkan
koping terhadap frustasi karena salah persepsi dan
disorientasi. Klien menjadi kehilangan kemampuan mengenali
keadaan sekitar.
4. Ajarkan strategi mengatasi stress.
Rasional : menurunkan kebutuhan akan halusinasi
5. Libatkan dalam aktivitas sesuai indikasi dengan keadaan
tertentu, seperti satu ke satu pengunjung, kelompok sosialisasi
pada pusat demensia, terapi okupasi.
Rasional : memberi kesempatan terhadap stimulasi partisipasi
dengan orang lain.
e. Kurang perawatan diri : hygiene nutrisi, dan atau toileting
berhubungan dengan ketergantungan fisiologis dan atau
psikologis.
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatankunjungan klien mampu
melakukan aktivitas perawatan diri sesuai dengan tingkat
kemampuan.
Kriteria hasil :
Klien mampu mengidentifikasi dan menggunakan sumber
pribadi atau komunitas yang dapat memberikan bantuan.
Intervensi:
1. Identifikasi kesulitan dalam berpakaian/ perawatan diri.
Rasional: memahami penyebab yang mempengaruhi
intervensi. Masalah dapat diminimalkan dengan
menyesuaikan atau memerlukan konsultasi dari ahli.
2. Identifikasi kebutuhan akan kebersihan diri dan berikan
bantuan sesuai kebutuhan.
Rasional: seiring perkembangan penyakit kebutuhan
kebersihan dasar mungkin dilupakan.
3. Lakukan pengawasan dan berikan kesempatan untuk
melakukan sendiri sesuai kemampuan.
Rasional: mudah sekali terjadi frustasi jika kehilangan
kemandirian.
4. Beri banyak waktu untuk melakukan tugas
Rasional: pekerjaan yang tadinya mudah sekarang menjadi
terhambat karena penurunan motorik dan perubahan kognitif.
5. Bantu mengenakan pakaian yang rapi dan indah.
Rasional: meningkatkan kepercayaan hidup.
f. Potensial terhadap ketidakefektifan koping keluarga berhubungan
dengan pengaruh penyimpngan jangka panjang dari proses
penyakit.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x kunjungan koping
keluarga efektif.
Kriteria hasil :
Klien mampu mengidentifikasi atau mengungkapkan sendiri
untuk mengatasi keadaan.
Keluarga mampu menerima kondisi orang yang dicintai dan
mendemonstrasikan tingkah laku koping positif dalam
mengatasi keadaan.
Klien mampu menggunakan system pendukung yang ada
secara efektif.
Intervensi:
1. Bantu keluarga mengungkapkan persepsinya tentang
mekanisme koping yang digunakan.
Rasional: keluarga dengan keterbatasan pemahaman tentang
strategi koping memerlukan informasi akibat konflik.
2. Libatkan keluarga dalam pendidikan dan perencanaan
perawatan dirumah.
Rasional: memudahkan beban terhadap penanganan dan
adaptasi dirumah.
3. Fokuskan pada masalah spesifik sesuai dengan yang terjadai
pada klien.
Rasional: penurunan penyakit mengikuti perkembangan yang
tidak menentu
4. Realistis dan tulus dalam mengatasi semua permasalahan.
Rasional: menurunkan stress yang menyelimuti harapan yang
keliru.
5. Anjurkan untuk tidak membatasi pengunjung.
Rasional: kontak kekeluargaan merupakan dasar dari realitas,
terbebas dari kesepian.
6. Rujuk pada sumber pendukung seperti perawatan lansia,
pelayanan dirumah, berhubungan dengan asosiasi penyakit
demensia.
Rasional: memberikan tanggung jawab pada tempat
perawatan, mengurangi kejenuhan dan resiko terjadinya
isolasi social dan mencegah kemarahan keluarga.

4. Evaluasi
Stuart dan Sundeen (1995) menyebutkan beberapa kondisi dan
perilaku perawat yang diperlukan pada saat melakukan evaluasi dalam
proses keperawatan, yaitu:
1. Kondisi perawat :
Supervisi, analisis diri, peer review, partisipasi pasien dan keluarga
2. Perilaku perawat ;
Membandingkan respon pasien dan hasil yang diharapkan, mereview
proses keperawatan, memodifikasi proses keperawatan sesuai yang
dibutuhkan, berpartisipasi dalam peningkatan kualitas dari aktifitas
yang dilakuk
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan.
Perawat yang bekerja dengan lansia yang memiliki gangguan
kejiwaan harus menggabungkan keterampilan keperawatan jiwa dengan
pengetahuan gangguan fisiologis, proses penuaan yang normal, dan
sosiokultural pada lansia dan keluarganya. Sebagai pemberi pelayanan
perawatan primer, perawat jiwa lansia harus pandai dalam mengkaji
kognitif, afektif, fungsional, fisik, dan status perilaku. Perencanaan dan
intervensi keperawatan mungkin diberikan kepada pasien dan
keluarganya atau pemberi pelayanan lain.
Perawat jiwa lansia mengkaji penyediaan perawatan lain pada
lansia untuk mengidentifikasi aspek tingkah laku dan kognitif pada
perawatan pasien. Perawat jiwa lansia harus memiliki pengetahuan
tentang efek pengobatan psikiatrik pada lansia. Mereka dapat memimpin
macam-macam kelompok seperti orientasi, remotivasi, kehilangan dan
kelompok sosialisasi dimana perawat dengan tingkat ahli dapat
memberikan psikoterapi.

B. Saran
1. Diharapkan mahasiswa benar-benar mampu memahami tentang
asuhan keperawatan kehilangan disfungsional
2. Untuk institusi pendidikan hendaknya lebih melengkapi literatur
yang berkaitan dengan kehilangan
DAFTAR PUSTAKA

Stuart & Sundeen. 1995. Principles and Practice of Psychiatric Nursing Fifth
Edition. United State of America : Mosby.
Carpenito, L. Diagnosa Keperawatan Aplikasi Pada Praktek Klinis, Edisi ke-6,
EGC, Jakarta, 2000
Nugroho, Wahjudi. Keperawatan Gerontik, Edisi ke-2, EGC, Jakarta 2000.

Leeckenotte, Annete Glesler. Pengkajian Gerontologi, Edisi ke-2, EGC, Jakarta,


1997.

Watson, Roger. Perawatan Lansia, Edisi ke-3, EGC, Jakarta 2003.

Kusharyadi. 2010. Asuhan Keperawatan pada Klien Lanjut Usia. Jakarta:Salemba


Medika

Maryam, R. Siti. 2008. Mengenal Usi Lanjut dan Perawatannya. Jakarta:


SalembaMedika

Nugroho, Wahjudi. 1995. Perawatan Lanjut Usia.Jakarta: EGC

Tamher, S., Noorkasiani. 2009. Kesehatan Usia Lanjut dengan Pendekatan asuhan
Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Watson, Roger. 2003. Perawatan Pada Lansia. Jakarta: EGC

Stuart & Sundeen. 1995. Principles and Practice of Psychiatric Nursing Fifth
Edition. United State of America : Mosby.

Carpenito, L. Diagnosa Keperawatan Aplikasi Pada Praktek Klinis, Edisi ke-6,


EGC, Jakarta, 2000.

Nugroho, Wahjudi. Keperawatan Gerontik, Edisi ke-2, EGC, Jakarta 2000.

Leeckenotte, Annete Glesler. Pengkajian Gerontologi, Edisi ke-2, EGC, Jakarta,


1997.

Watson, Roger. Perawatan Lansia, Edisi ke-3, EGC, Jakarta 2003.


Asuhan Keperawatan Jiwa Halusinasi

A. KONSEP DASAR HALUSINASI

1. Pengertian

Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien mengalami
perubahan sensori, seperti merasakan sensasi palsu berupasuara, penglihatan,
pengecapan, perabaan atau penghiduan.Klien merasakan stimulus yang sebetulnya
tidak ada. (WHO, 2006)

Halusinasi merupakan proses akhir dari pengamatan yang diawali oleh proses
diterimanya, stimulus oleh alat indra, kemudian individu ada perhatian, lalu
diteruskan ke otak dan baru kemudian individu menyadari tentang sesuatu yang
dinamakan persepsi (Yosep, 2009)

2. Etiologi

a. Faktor predisposisi

Faktor predisposisi adalah factor resiko yang mempengaruhi jenis dan jumlah
sumber yang dapat dibangkitkan oleh individu untuk mengatasi stress.Diperoleh baik
dari klien maupun keluarganya. Factor predisposisi dapat meliputi factor
perkembangan, sosiokultural, biokimia, psikologis, dan genetic. (Yosep, 2009)

1) Faktor perkembangan

Jika tugas perkembangan mengalami hambatan dan hubungan interpersonal


terganggu,maka individu akan mengalami stress dan kecemasan.

2) Faktor sosiokultural

Berbagai factor dimasyarakat dapat menyebabkan seseorang merasa disingkirkan,


sehingga orang tersebut merasa kesepian dilingkungan yang membesarkannya.

3) Faktor biokimia

Mempunyai pengaruh terhadap terhadap terjadinya gangguan jiwa. Jika seseorang


mengalami stress yang berlebihan, maka didalam tubuhnya akan dihasilkan suatu zat
yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti buffofenon dan
dimethytrenferase (DMP).

4) Faktor psikologis

Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggungjawab mudah terjerumus pada


penyalahgunaan zat adiktif.Berpengaruh pada ketidakmampuanklien dalam
mengambil keputusan demi masa depannya.Klien lebih memilih kesenangan sesaat
dan lari dari alam nyata menuju alam hayal.
5) Faktor genetic

Gen yang berpengaruh dalam skizofrenia belum diketahui, tetapi hasil studi
menunjukkan bahwa factor keluarga menunjukkan hubungan yang sangat
berpengaruh pada penyakit ini.

b. Factor presipitasi

Respon klien terhadap halusinasi dapat berupa curiga, ketakutan, penasaran, tidak
aman, gelisah,

bingung, dan lainnya.

Menurut Rawlins dan Heacock, 1993 halusinasi dapat dilihat dari 5 dimensi yaitu :

1) Dimensi fisik

Halusinasi dapat timbul oleh kondisi fisik seperti kelelahan yang luar biasa,
penyalahgunaan obat, demam, kesulitan tidur.

2) Dimensi emosional

Perasaan cemas yang berlebihan atas masalah yang tidak dapat diatasi merupakan
penyebab halusinasi berupa perintah memaksa dan menakutkan.

3) Dimensi intelektual

Halusinasi merupakan usaha dari ego untuk melawan implus yang menekan
merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh
perhatian klien.

4) Dimensi sosial

Klien mengalami interaksi sosial menganggap hidup bersosialisasi di alam nyata


sangat membahyakan.Klien asyik dengan halusinasinya seolah merupakan temapat
memenuhi kebutuhan dan interaksi sosial, kontrol diri dan harga diri yang tidak di
dapatkan di dunia nyata.

5) Dimensi spiritual

Secara spiritual halusinasi mulai denga kehampaan hidup, ritinitas tidak bermakna,
hilangnya aktifitas ibadah dan jarang berupaya secara spiritual untuk menyucikan diri.

3. Tanda dan Gejala

Menurut Yosep, 2009 tanda dan gejala halusinasi adalah :


a. Melihat bayangan yang menyuruh melakukan sesuatu berbahaya.

b. Melihat seseorang yang sudah meninggal.

c. Melihat orang yang mengancam diri klien atau orang lain

d. Bicara atau tertawa sendiri.

e. Marah-marah tanpa sebab.

f. Menutup mata.

g. Mulut komat-kamit

h. Ada gerakan tangan

i. Tersenyum

j. Gelisah

k. Menyendiri, melamun

4. Proses terjadinya halusinasi

Menurut Yosep, 2009 proses terjadinya halusinasi terbagi menjadi 4 tahap yaitu:

a. Tahap pertama

Pada fase ini halusinasi berada pada tahap menyenangkan dengan tingkat ansietas sedang,
secara umum halusinasi bersifat menyenangkan.Adapun karakteristik yang tampak pada
individu adalah orang yang berhalusinasi mengalami keadaan emosi seperti ansietas,
kesepian, merasa takut serta mencoba memusatkan penenangan pikiran untuk mengurangi
ansietas.

b. Tahap kedua

Pada tahap ini halusinasi berada pada tahap menyalahkan dengan tingkat kecemasan yang
berat. Adapun karakteristik yang tampak pada individu yaitu individu merasa kehilangan
kendali dan mungkin berusaha untuk menjauhkan dirinya dari sumber yang dipersiapkan,
individu mungkin merasa malu dengan pengalaman sensorinya dan menarik diri dari
orang lain.

c. Tahap ketiga

Pada tahap ini halusinasi berada pada tahap pengendalian dengan tingkat ansietas berat,
pengalaman sensori yang dirasakan individu menjadi penguasa.Adapun karakteristik yang
tampak pada individu adalah orang yang berhalusinasi menyerah untuk melawan
pengalaman halusinasinya dan membiarkan halusinasi tersebut menguasai dirinya,
individu mungkin mengalami kesepian jika pengalaman sensori tersebut berakhir.

d. Tahap keempat

Pada tahap ini halusinasi berada pada tahap menakutkan dengan tingkat ansietas panic.
Adapun karakteristik yang tampak pada individu adalah pengalaman sensori mungkin
menakutkan jika individu tidak mengikuti perintah, dimana halusinasi bisa berlangsung
beberapa jam atau beberapa hari, apabila tidak ada intervensi terapeutik.

5. Mekanisme koping

Mekanisme koping merupakan tiap upaya yang diarahkan pada pengendalian stress,
termasuk upaya penyelesaian masalah secara langsung dan mekanisme pertahanan lain
yang digunakan melindungi diri. Mekanisme koping menurut Yosep, 2009 meliputi cerita
dengan orang lain (asertif), diam (represi/supresi), menyalahkan orang lain (sublimasi),
mengamuk (displacement), mengalihkan kegiatan yang bermanfaat (konversi),
memberikan alasan yang logis (rasionalisme), mundur ke tahap perkembangan
sebelumnya (regresi), dialihkan ke objek lain, memarahi tanaman atau binatang
(proyeksi).

6. Penatalaksanaan (Yosep, 2009)

a. Medis (Psikofarmako)

1) Chlorpromazine

a) Indikasi

Indikasi obat ini utnuk sindrom psikis yaitu berdaya berat dalam kemampuan menilai
realitas, kesadaran diri terganggu, daya ingat norma social dan tilik diri terganggu.
Berdaya berat dalam fungsi-fungsi mental seperti: waham dan halusinasi. Gangguan
perasaan dan perilaku yang aneh atau tidak terkendali, berdaya berat dalam fungsi
kehidupan sehari-hari seperti tidak mampu bekerja, hubungan social dan melakukan
kegiatan rutin.

b) Mekanisme kerja

Memblokade dopamine pada reseptor pasca sinap di otak, khususnya system ekstra
pyramidal.

c) Efek samping

- Sedasi, dimana pasien mengatakan merasa melayang-layang antar sadar atau tidak
sadar.

- Gangguan otonomi (hipotensi) antikolinergik atau parasimpatik, seperti mulut


kering, kesulitan dalam miksi dan defekasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekana
intraokuler meninggi, gangguan irama jantung.
- Gangguan ektrapiramidal seperti : distonia akut, akathsia syndrome
parkinsontren, atau bradikinesia regiditas.

d) Kontra indikasi

Kontra indikasi obat ini seperti penyakit hati, penyakit darah, epilepsi (kejang,
perubahan kesadaran), kelainan jantung, febris (panas), ketergantungan obat, penyakit
SSP (system saraf pusat), gangguan kesadaran disebabkan oleh depresan.

e) Penggunaan obat

Penggunaan obat pada klien dengan kondisi akut di berikan 3x100mg.Apabila kondisi
klien sudah stabil dosisnya di kurangi menjadi 1x100mg pada malam hari saja.

2) Haloperidol (HLP)

a) Indikasi

Indikasi dalam pemberian obat ini, yaitu pasien yang berdaya berat dalam kemampuan
menilai realitas, baik dalam fungsi mental dan dalam fungsi kehidupan sehari-hari.

b) Mekanisme kerja

Obat anti psikis ini dapat memblokade dopamine pada reseptor pasca sinaptik neuron di
otak, khususnya system limbic dan system pyramidal.

c) Efek samping

- Sedasi dan inhibisi psikomotor

- Gangguan miksi dan parasimpatik, defekasi, hidung tersumbat, mata kabur,


tekanan intraokuler meninggi, gangguan irama jantung.

d) Kontra indikasi

Kontra indikasi obat ini seperti penyakit hati, penyakit darah, epilepsi (kejang, perubahan
kesadaran), kelainan jantung, febris (panas), ketergantungan obat, penyakit SSP (system
saraf pusat), gangguan kesadaran.

e) Penggunaan obat

Penggunaan obat pada klien dengan kondisi akut biasanya dalam bentuk injeksi 3x5mg
IM pemberian ini dilakukan 3x24 jam. Sedangkan pemberian peroral di berikan 3x1,5mg
atau 3x5 mg.

3) Trihexyphenidil (THP)

a) Indikasi dalam pemberian obat ini, yaitu segala jenis penyakit parkinson, termasuk
pasca encephalitis (infeksi obat yang disebabkan oleh virus atau bakteri) dan idiopatik
(tanpa penyebab yang jelas). Sindrom Parkinson akibat obat, misalnya reserpina dan
fenotiazine.
b) Mekanisme kerja

Obat ini sinergis (bekerja bersama) dengan obat kiniden; obat depreson, dan
antikolinergik lainnya.

c) Efek samping

Mulut kering, penglihatan kabur, pusing, mual, muntah, bingung, agitasi (gerakan
motorik yang menunjukkan kegelisahan), konstipasi, takikardia, dilatasi, ginjal, retensi
urine.

d) Kontra indikasi

Kontra indikasinya seperti hipersensitif terhadap trihexypenidil (THP), glaucoma sudut


sempit, psikosis berat psikoneurosis, hipertropi prostat, dan obstruksi saluran edema.

e) Penggunaan obat

Penggunaan obat ini di berikan pada klien dengan dosis 3x2 mg sebagai anti parkinson.

b. Keperawatan

Tindakan keperawatan dapat dilakukan secara individual dan terapi berkelompok (TAK)
Terapi Aktifitas Kelompok.

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN


HALUSINASI

1. Pengkajian Pasien Halusinasi

a. Identitas klien meliputi Nama, umur, jenis kelamin, tanggal dirawat, tanggal
pengkajian, nomor rekam medic

b. Faktor predisposisi merupakan factor pendukung yang meliputi factor biologis,


factor psikologis, social budaya, dan factor genetic

c. Factor presipitasi merupakan factor pencetus yang meliputi sikap persepsi merasa
tidak mampu, putus asa, tidak percaya diri, merasa gagal, merasa malang, kehilangan,
rendah diri, perilaku agresif, kekerasan, ketidak adekuatan pengobatan dan penanganan
gejala stress pencetus pada umunya mencakup kejadian kehidupan yang penuh dengan
stress seperti kehilangan yang mempengaruhi kemampuan individu untuk berhubungan
dengan orang lain dan menyebabkan ansietas.

d. Psikososial yang terdiri dari genogram, konsep diri, hubungan social dan spiritual

e. Status mental yang terdiri dari penampilan, pembicaraan, aktifitas motorik, alam
perasaan, afek pasien, interaksi selama wawancara, persepsi, proses pikir, isi pikir, tingkat
kesadaran, memori, tingkat kosentrasi dan berhitung, kemampuan penilaian, dan daya
tilik diri.
f. Mekanisme koping: koping yang dimiliki klien baik adaptif maupun maladaptive

g. Aspek medic yang terdiri dari diagnose medis dan terapi medis.

Pada proses pengkajian, data penting yang perlu diketahui saudara dapatkan adalah:

a. Jenis halusinasi

Berikut adalah jenis-jenis halusinasi, data objektif dan subjektifnya. Data objektif dapat
dikaji dengan cara melakukan wawancara dengan pasien. Melalui data ini perawat dapat
mengetahui isi halusinasi pasien.

Jenis halusinasi Data objektif Data subjektif

Halusinasi - Bicara atau tertawa - Mendengar suara atau


dengar sendiri kegaduhan

- Marah-marah tanpa sebab - Mendengar suara yang


bercakap-cakap
- Menyedengkan telinga
kearah tertentu - Mendengar suara
menyuruh melakukan sesuatu
- Menutup telinga yang berbahaya

Halusinasi - Menunjuk-nunjuk kearah - Melihat bayangan, sinar,


Penglihatan tertentu bentuk geometris, bentuk
kartoon, melihat hantu atau
- Ketakutan pada sesuatu monster
Yang tidak jelas

Halusinasi - Menghidu seperti sedang - Membaui bau-bauan sperti


penghidu membaui bau-bauan tertentu bau darah, urin, feces, kadang-
kadang bau itu menyenangkan
- Menutup hidung

Halusinasi - Sering meludah - Merasakan rasa seprti


pengecapan darah, urin atau feces
- Muntah

Halusinasi - Menggaruk-garuk - Mengatakan ada serangga


permukaan kulit dipermukaan kulit
Perabaan
- Merasa seperti tersengat
listrik
b. Isi halusinasi

Data tentang halusinasi dapat dikethui dari hasil pengkajian tentang jenis halusinasi.

c. Waktu, frekuensi dan situasi yang menyebabkan munculnya halusinasi

Perawat juga perlu mengkaji waktu, frekuensi dan situasi munculnya halusinasi yang
dialami oleh pasien.Kapan halusinasi terjadi? Apakah pagi, siang, sore atau malam? Jika
mungkin jam berapa? Frekuensi terjadinya halusinasi apakah terus menerus atau hanya
sekal-kali?Situasi terjadinya apakah kalau sendiri, atau setelah terjadi kejadian
tertentu.Hal ini dilakukan untuk menetukan intervensi khusus pada waktu terjadinya
halusinasi, menghindari situasi yang menyebabkan munculnya halusinasi.Sehingga pasien
tidak larut dengan halusinasinya.Sehingga pasien tidak larut dengan
halusinasinya.Dengan mengetahui frekuensi terjadinya halusinasinya dapat direncanakan
frekuensi tindakan untuk mencegah terjadinya halusinasi.

d. Respon halusinasi

Untuk mengetahui apa yang dilakukan pasien ketika halusinasi itu muncul. Perawat dapat
menanyakan pada pasien hal yang dirasakan atau dilakukan saat halusinasi
timbul.Perawat dapat juga menanyakan kepada keluarga atau orang terdekat dengan
pasien.Selain itu dapat juga dengan mengobservasi perilaku pasien saat halusinasi timbul.
2. Pohon masalah

Resiko perilaku mencederai diri

Gangguan sensori/persepsi:

Halusinasi penglihatan

Isolasi sosial

Harga diri rendah


3. Diagnosa Keperawatan

Menurut Yosep, 2009 diagnosa keperawatan yang muncul adalah :

a. Gangguan persepsi sensori : halusinasi penglihatan

b. Isolasi sosial

c. Resiko periaku mencederai diri

d. Harga diri rendah

4. Rencana Tindakan Keperawatan

a. Gangguan persepsi sensori halusinasi penglihatan

b. Tujuan tindakan untuk pasien meliputi :

1) Pasien mengenali halusinasi yang dialaminya

2) Pasien dpat mengontrol halusinasinya

3) Pasien mengikuti program pengobatan secara optimal

c. Tindakan keperawatan

1) Membantu pasien mengenali halusinasi

Untuk membantu pasien mengenali halusinasi saudara dapat melakukannya dengan cara
berdiskusikan dengan pasien tentang isi halusinasi (apa yang dilihat), waktu terjadi
halusinasi, frekuensi terjadinya halusinasi, situasi yang menyebabkan halusiansi muncul
dan respon pasien saat muncul.

2) Melatih pasien mengontrol halusinasi.

Untuk membantu pasien agar mampu mengontrol halusinasi saudara dapat melatih pasien
empat cara yang sudah terbukti dapat mengendalikan halusinasi. Keempat cara tersebut
meliputi :

a) Menghardik halusinasi adalah upaya mengendalikan diri terhadap halusinasi yang


muncul. Pasien dilatih untuk mengatakan tidak terhadap halusinasi yang muncul atau
tidak mempedulikan halusinasinya. Kalau ini dapat dilakukan, pasien akan mampu
mengendalikan diri dan tidak mengikuti halusinasi yang muncul. Mungkin halusinasi
tetap ada namun dengan kemampuan ini pasien tidak akan larut untuk menuruti apa yang
ada dalam halusinasinya.

Tahapan tindakan meliputi :

1) Menjelaskan cara menghardik halusinasi


2) Memperagakan cara menghardik

3) Meminta pasien memperagakan ulang

4) Memantau penerapan cara ini, menguatkan perilaku pasien.

b) Bercakap-cakap dengan orang lain

Untuk mengontrol halusinasi dapat juga dengan bercakap-cakap dengan halusinasi


orang lain. Ketika pasien bercakap-cakap dengan orang lain maka terjadi distraksi; focus
perhatian pasien akan beralih dari halusiansi adalah dengan bercakap-cakap dengan orang
lain.

c) Melakukan aktifitas yang terjadwal

Untuk mengurangi risiko halusinasi muncul lagi adalah dengan menyibukkan diri
dengan aktifitas yang teratur. Dengan beraktifitas secara terjadwal, pasien tidak akan
mengalami banyak waktu luang sendiri yang seringkali mencetuskan halusinasi. Untuk
itu pasien mengalami halusinasi biasa dibantu untuk mengatasi halusinasinya dengan cara
beraktifitas secara teratur dari bangun pagi sampai tidur malam, tujuh hari dalam
seminggu.

Tahapan intervensinya sebagai berikut :

Menjelaskan pentingnya aktifitas yang teratur untuk mengatasi halusinasi

Mendiskusikan aktifitas yang dilakukan pasien

Melatih pasien melakukan aktiftas

Menyusun jadwal aktifitas sehari-hari sesuai dengan aktifitas yang telah


dilatih.Upayakan pasien mempunyai aktifitas dari bangun pagi sampai tidur malam, 7 hari
dalam seminggu.

Memantau pelaksanaan jadwal kegiatan, memberikan penguatan terhadap perilaku


pasien yang positif.

d) Menggunakan obat secara teratur

Untuk mampu mengontrol halusinasi pasien juga harus dilatih untuk menggunakan
obat secara teratur sesuai dengan program.Pasien gangguan jiwa yang dirawat dirumah
seringkali mengalami putus obat sehingga akibatnya pasien mengalami kekambuhan. Bila
terjadi kekambuhan maka untuk mencapai kondisi seperti semula akan lebih sulit. Untuk
itu pasien perlu dilatih menggunakan obat sesuai program dan berkelanjutan.

Berikut ini tindakan keperawatan agar pasien patuh menggunakan obat:

Jelaskan guna obat

Jelaskan akibat bila putus obat


Jelaskan cara mendapatkan obat/berobat

Jelaskan cara menggunakan obat dengan prinsip 5 benar (benar obat, benar
pasien, benar cara, benar waktu, benar dosis)

5. Implementasi

Menurut Depkes, 2000 Implementasi adalah tindakan keperawatan yang disesuaikan


dengan rencana tindakan keperawatan. Sebelum melaksanakan tindakan keperawatan
yang sudah di rencanakan perawat perlu memvalidasi rencana tindakan keperawatan yang
masih di butuhkan dan sesuai dengankondisi klien saat ini.

6. Strategi Pelaksanaan

Halusinasi Pasien Keluarga

Sp1 SP 1 k

1. Mengidentifikasi jenis halusinasi 1. Mendiskusikan


pasien masalah yang dirasakan
keluarga dalam rawat
2. Mengidentifikasi isi halusinasi pasien
pasien
2. Menjelaskan
3. Mengidentifikasi waktu halusinasi pengertian, tanda dan
pasien gejala halusinasi, dan
jenis halusinasi yang
4. Mengidentifikasi frekuensi
halusinasi pasien dialami pasien beserta
proses terjadinya.
5. Mengidentifikasi situasi yang
menimbulkan halusinasi 3. Mejelaskan cara-
cara merawat pasien
6. Mengidentifikasi respon pasien halusinasi
terhadap halusinasi
SP II k
7. Mengajarkan pasien menghardik
halusinasi 1. Melatih keluarga
mempraktekkan cara
8. Menganjurkan pasien memasukkan merawat pasien dengan
cara menghardik halusinasi dalam jadwal halusinasi
kegiatan harian
2. Melatih keluaraga
SP II p melakukan cara merawat
langsung kepada pasien
1. 1. Mengevaluasi jadwal kegiatan halusinasi
harian pasien
SP III k
2. Melaih pasien mengendalikan
halusinasi dengan cara bercakap-cakap 1. Membantu keluarga
membuat jadwal kegiatan
dengan orang lain. aktifitas di rumah
termasuk minum obat
3. Menganjurkan pasien memasukan
dalam jadwal kegiatan harian 2. Menjelaskan follow
up pasien setelah pulang

SP III p

1. Mengevaluasi jadwal kegiatan


harian pasien

2. Melatih pasien mengendalikan


halusinasi dengan melakukan kegiatan
(kegiatan yang biasa dilakukan pasien)

3. Menganjurkan pasien memasukan


dalam kegiatan harian

SP IV p

1. Mengevaluasi jadwal kegiatan


harian pasien

2. Memberikan pendidikan kesehatan


tentang penggunaan obat secara teratur

3. Menganjurkan pasien memasukan


dalam kegiatan harian

7. Evaluasi

Menurut Keliat, 1998 evaluasi adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari
tindakan keperawatan pada klien.

Evaluasi dapat dilakukan berdasarkan SOAP sebagai pola pikir.

S : respon subjektif dari klien terhadap intervensi keperawatan

O : respon objektif dari klien terhadap intervensi keperawatan

A : analisa ulang atas dasar subjek dan objek untuk mengumpulkan apakah masalah
masih ada, munculnya masalah baru, atau ada data yang berlawanan dengan masalah
yang masih ada.

P : perencanaan atau tindakan lanjut berdasarkan hasil analisa pada respon klien
DAFTAR PUSTAKA

Antonim. 2008. Askep Halusinasi. Dimuat


dalam http://augusfarly.wordpress.com/2008/08/21/askep-halusinasi/. (Diakses : 8
Agustus 2012)

Anonim. 2009. Askep dengan Halusinasi. Dimuat


dalam http://aggregator.perawat.web.id [Diakses : 15 Oktober 2011]

Anonim. 2008. Halusinasi . Dimuat


dalam. http://harnawatiaj.wordpress.com/ [Diakses : 15 Oktober 2011]

Kusumawati dan Hartono .2010 . Buku Ajar Keperawatan Jiwa .Jakarta : Salemba
Medika

Stuart dan Sundeen .2005 . Buku Keperawatan Jiwa .Jakarta : EGC .

Keliat Budi Ana. 1999. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa edisi I. Jakarta :
EGC

Nita Fitria. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan untuk 7 Diagnosis Keperawatan Jiwa
Berat. Jakarta: Salemba Medika.

Rasmun, (2001). Keperawatan Kesehatan Mental Psikiatri Terintegrasi Dengan


Keluarga. Konsep, Teori, Asuhan Keperawatan dan Analisa Proses Interaksi
(API). Jakarta : fajar Interpratama.
ASKEP WAHAM

LAPORAN PENDAHULUAN

A. Masalah Utama.
Perubahan isi pikir : waham

B. Pengertian.
Waham adalah keyakinan seseorang yang berdasarkan penilaian
realitas yang salah. Keyakinan klien tidak konsisten dengan tingkat
intelektual dan latar belakang budaya klien (1).
Manifestasi klinik waham yaitu berupa : klien mengungkapkan
sesuatu yang diyakininya ( tentang agama, kebesaran, kecurigaan,
keadaan dirinya ) berulang kali secara berlebihan tetapi tidak sesuai
kenyataan, klien tampak tidak mempunyai orang lain, curiga,
bermusuhan, merusak (diri, orang lain, lingkungan), takut, kadang
panik, sangat waspada, tidak tepat menilai lingkungan / realitas,
ekspresi wajah tegang, mudah tersinggung (2).

C. Proses terjadinya masalah


1. Penyebab
Penyebab secara umum dari waham adalah gannguan konsep diri : harga
diri rendah. Harga diri rendah dimanifestasikan dengan perasaan yang
negatif terhadap diri sendiri, termasuk hilangnya percaya diri dan harga
diri, merasa gagal mencapai keinginan.(3)

2. Akibat
Akibat dari waham klien dapat mengalami kerusakan komunikasi verbal
yang ditandai dengan pikiran tidak realistic, flight of ideas, kehilangan
asosiasi, pengulangan kata-kata yang didengar dan kontak mata yang
kurang. Akibat yang lain yang ditimbulkannya adalah beresiko
mencederai diri, orang lain dan lingkungan.

D. Pohon masalah

Kerusakan Resiko tinggi


komunikasi verbal mencederai diri,
orang lain dan
lingkungan

Perubahan isi
pikir: waham

Gangguan konsep diri: harga diri rendah

E. Masalah keperawatan dan data yang perlu dikaji


1. Masalah keperawatan :
a. Resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan
b. Kerusakan komunikasi : verbal
c. Perubahan isi pikir : waham
d. Gangguan konsep diri : harga diri rendah.
2. Data yang perlu dikaji :
a. Resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan
1). Data subjektif
Klien memberi kata-kata ancaman, mengatakan benci dan
kesal pada seseorang, klien suka membentak dan
menyerang orang yang mengusiknya jika sedang kesal, atau
marah, melukai / merusak barang-barang dan tidak mampu
mengendalikan diri
2). Data objektif
Mata merah, wajah agak merah, nada suara tinggi dank eras,
bicara menguasai, ekspresi marah, pandangan tajam,
merusak dan melempar barang-barang.

b. Kerusakan komunikasi : verbal


1). Data subjektif
Klien mengungkapkan sesuatu yang tidak realistik
2). Data objektif
Flight of ideas, kehilangan asosiasi, pengulangan kata-
kata yang didengar dan kontak mata kurang

c. Perubahan isi pikir : waham ( .)


1). Data subjektif :
Klien mengungkapkan sesuatu yang diyakininya (
tentang agama, kebesaran, kecurigaan, keadaan dirinya)
berulang kali secara berlebihan tetapi tidak sesuai
kenyataan.
2). Data objektif :
Klien tampak tidak mempunyai orang lain, curiga,
bermusuhan, merusak (diri, orang lain, lingkungan),
takut, kadang panik, sangat waspada, tidak tepat menilai
lingkungan / realitas, ekspresi wajah klien tegang,
mudah tersinggung

d. Gangguan harga diri rendah

1). Data subjektif

Klien mengatakan saya tidak mampu, tidak bisa, tidak


tahu apa-apa, bodoh, mengkritik diri sendiri, mengungkapkan
perasaan malu terhadap diri sendiri

2). Data objektif

Klien terlihat lebih suka sendiri, bingung bila disuruh


memilih alternatif tindakan, ingin mencedaerai diri/ ingin
mengakhiri hidup

F. Diagnosa Keperawatan
a. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan waham
b. Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan berhubungan
dengan waham
c. Perubahan isi pikir : waham (..) berhubungan dengan harga
diri rendah.

E. Rencana Keperawatan
Diagnosa Keperawatan 1: kerusakan komunikasi verbalberhubungan
dengan waham
1. Tujuan umum :
Klien tidak terjadi kerusakan komunikasi verbal
2. Tujuan khusus :
a. Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat
Tindakan :
Bina hubungan. saling percaya: salam terapeutik,
perkenalkan diri, jelaskan tujuan interaksi, ciptakan
lingkungan yang tenang, buat kontrak yang jelas topik,
waktu, tempat).
Jangan membantah dan mendukung waham klien: katakan
perawat menerima keyakinan klien "saya menerima
keyakinan anda" disertai ekspresi menerima, katakan
perawat tidak mendukung disertai ekspresi ragu dan
empati, tidak membicarakan isi waham klien.
Yakinkan klien berada dalam keadaan aman dan
terlindungi: katakan perawat akan menemani klien dan klien
berada di tempat yang aman, gunakan keterbukaan dan
kejujuran jangan tinggalkan klien sendirian.
Observasi apakah wahamnya mengganggu aktivitas harian
dan perawatan diri.

b. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan yang dimiliki


Tindakan :
Beri pujian pada penampilan dan kemampuan klien yang
realistis.
Diskusikan bersama klien kemampuan yang dimiliki pada
waktu lalu dan saat ini yang realistis.
Tanyakan apa yang biasa dilakukan kemudian anjurkan
untuk melakukannya saat ini (kaitkan dengan aktivitas
sehari - hari dan perawatan diri).
Jika klien selalu bicara tentang wahamnya, dengarkan
sampai kebutuhan waham tidak ada. Perlihatkan kepada
klien bahwa klien sangat penting.

c. Klien dapat mengidentifikasikan kebutuhan yang tidak


terpenuhi
Tindakan :
Observasi kebutuhan klien sehari-hari.
Diskusikan kebutuhan klien yang tidak terpenuhi baik
selama di rumah maupun di rumah sakit (rasa sakit, cemas,
marah).
Hubungkan kebutuhan yang tidak terpenuhi dan timbulnya
waham.
Tingkatkan aktivitas yang dapat memenuhi kebutuhan klien
dan memerlukan waktu dan tenaga (buat jadwal jika
mungkin).
Atur situasi agar klien tidak mempunyai waktu untuk
menggunakan wahamnya.

d. Klien dapat berhubungan dengan realitas


Tindakan :
Berbicara dengan klien dalam konteks realitas (diri, orang
lain, tempat dan waktu).
Sertakan klien dalam terapi aktivitas kelompok : orientasi
realitas.
Berikan pujian pada tiap kegiatan positif yang dilakukan
klien

e. Klien dapat menggunakan obat dengan benar


Tindakan :
Diskusikan dengan kiten tentang nama obat, dosis,
frekuensi, efek dan efek samping minum obat.
Bantu klien menggunakan obat dengan priinsip 5 benar
(nama pasien, obat, dosis, cara dan waktu).
Anjurkan klien membicarakan efek dan efek samping obat
yang dirasakan.
Beri reinforcement bila klien minum obat yang benar.

f. Klien dapat dukungan dari keluarga


Tindakan :
Diskusikan dengan keluarga melalui pertemuan keluarga
tentang: gejala waham, cara merawat klien, lingkungan
keluarga dan follow up obat.
Beri reinforcement atas keterlibatan keluarga.

Diagnosa Keperawatan 2: Resiko mencederai diri, orang lain dan


lingkungan berhubungan dengan waham
a. Tujuan Umum:
Klien terhindar dari mencederai diri, orang lain dan lingkungan.
b. Tujuan Khusus:
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya.
Tindakan:
Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, empati,
sebut nama perawat dan jelaskan tujuan interaksi.
Panggil klien dengan nama panggilan yang disukai.
Bicara dengan sikap tenang, rileks dan tidak menantang.
Beri perhatian dan penghargaan : teman klien walau tidak
menjawab.
2. Klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
Tindakan:
Beri kesempatan mengungkapkan perasaan.
Bantu klien mengungkapkan perasaan jengkel / kesal.
Dengarkan ungkapan rasa marah dan perasaan bermusuhan
klien dengan sikap tenang.

3. Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.


Tindakan :
Anjurkan klien mengungkapkan yang dialami dan
dirasakan saat jengkel/kesal.
Observasi tanda perilaku kekerasan.
Simpulkan bersama klien tanda-tanda jengkel / kesal yang
dialami klien.

4. Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa


dilakukan.
Tindakan:
Anjurkan mengungkapkan perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan.
Bantu bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan
yang biasa dilakukan.
Tanyakan "apakah dengan cara yang dilakukan masalahnya
selesai?"

5. Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.


Tindakan:
Bicarakan akibat/kerugian dari cara yang dilakukan.
Bersama klien menyimpulkan akibat dari cara yang
digunakan.
Tanyakan apakah ingin mempelajari cara baru yang sehat.

6. Klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif dalam berespon


terhadap kemarahan.
Tindakan :
Beri pujian jika mengetahui cara lain yang sehat.
Diskusikan cara lain yang sehat.Secara fisik : tarik nafas
dalam jika sedang kesal, berolah raga, memukul bantal /
kasur.
Secara verbal : katakan bahwa anda sedang marah atau kesal
/ tersinggung
Secara spiritual : berdo'a, sembahyang, memohon kepada
Tuhan untuk diberi kesabaran.

7. Klien dapat mengidentifikasi cara mengontrol perilaku


kekerasan.
Tindakan:
Bantu memilih cara yang paling tepat.
Bantu mengidentifikasi manfaat cara yang telah dipilih.
Bantu mensimulasikan cara yang telah dipilih.
Beri reinforcement positif atas keberhasilan yang dicapai
dalam simulasi.
Anjurkan menggunakan cara yang telah dipilih saat jengkel
/ marah.

8. Klien mendapat dukungan dari keluarga.


Tindakan :
Beri pendidikan kesehatan tentang cara merawat klien
melalui pertemuan keluarga.
Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga.
9. Klien dapat menggunakan obat dengan benar (sesuai program).
Tindakan:
Diskusikan dengan klien tentang obat (nama, dosis,
frekuensi, efek dan efek samping).
Bantu klien mengunakan obat dengan prinsip 5 benar
(nama klien, obat, dosis, cara dan waktu).
Anjurkan untuk membicarakan efek dan efek samping obat
yang dirasakan.

Diagnosa Keperawatan 3: Perubahan isi pikir : waham ( .. )


berhubungan dengan harga diri rendah
1. Tujuan umum :
Klien tidak terjadi gangguan konsep diri : harga diri rendah/klien akan
meningkat harga dirinya.

2. Tujuan khusus :
a. Klien dapat membina hubungan saling percaya
Tindakan :

Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, perkenalan diri,


jelaskan tujuan interaksi, ciptakan lingkungan yang tenang, buat
kontrak yang jelas (waktu, tempat dan topik pembicaraan)
Beri kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaannya
Sediakan waktu untuk mendengarkan klien
Katakan kepada klien bahwa dirinya adalah seseorang yang
berharga dan bertanggung jawab serta mampu menolong dirinya
sendiri
b. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang
dimiliki
Tindakan :

Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki


Hindarkan memberi penilaian negatif setiap bertemu klien,
utamakan memberi pujian yang realistis
Klien dapat menilai kemampuan dan aspek positif yang dimiliki

c. Klien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan


Tindakan :

Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki


Diskusikan pula kemampuan yang dapat dilanjutkan setelah
pulang ke rumah

d. Klien dapat menetapkan / merencanakan kegiatan sesuai dengan


kemampuan yang dimiliki
Tindakan :

Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap


hari sesuai kemampuan
Tingkatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi klien
Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang boleh klien lakukan

e. Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi dan kemampuan


Tindakan :

Beri kesempatan mencoba kegiatan yang telah direncanakan


Beri pujian atas keberhasilan klien
Diskusikan kemungkinan pelaksanaan di rumah

f. Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada


Tindakan :

Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat


klien
Bantu keluarga memberi dukungan selama klien dirawat
Bantu keluarga menyiapkan lingkungan di rumah
Beri reinforcement positif atas keterlibatan keluarga
DAFTAR PUSTAKA

1. Aziz R, dkk. Pedoman asuhan keperawatan jiwa. Semarang: RSJD Dr. Amino
Gondoutomo. 2003
2. Keliat Budi A. Proses keperawatan kesehatan jiwa. Edisi 1. Jakarta: EGC. 1999
3. Tim Direktorat Keswa. Standart asuhan keperawatan kesehatan jiwa. Edisi 1.
Bandung: RSJP.2000
4. Townsend M.C. Diagnosa keperawatan pada keperawatan psikiatri; pedoman
untuk pembuatan rencana keperawatan. Jakarta: EGC. 1998
5. ..Pelatihan asuhan keperawatan pada klien gangguan jiwa. Semarang. 20
22 Novembr 2004. unpublished
ASKEP RESIKO PRILKU KEKERASAN

BAB I

TINJAUAN TEORI

A. KONSEP DASAR MEDIS


1. Definisi
Agression is harsh physical or verbal action that reflects
rage,hostility,and potential for physical or verbal destructiveness
(Varcarolis,2006:490).
Agresi adalah sikap atau perilaku kasar atau kata-kata yang
menggambarkan perilaku amuk, permusuhan dan potensi untuk merusak
secara fisik atau dengan kata-kata.
Perilaku kekerasan adalah respon terhadap stressor yang dihadapi
oleh seseorang,yang ditunjukkan dengan perilaku actual melakukan
kekerasan,baik pada diri sendiri,orang lain maupun nonverbal,bertujuan
untuk melukai orang lain secara fisik atau psikologis (Berkowitz,2000).
Suatu keadaan dimana seseorang individu mengalami perilaku yang dapat
melukai secara fisik baik diri sendiri atau orang lain (Towsend,1998).
Suatu keadaan dimana klien mengalami perilaku yang dapat
membahayakan klien sendiri,lingkungan termasuk orang lain dan barang-
barang (Maramis,2004).
2. Proses Terjadinya Perilaku Kekerasan
2.1 Faktor Predisposisi
2.1.1 Teori Biologik
1) Neurologik factor ,mempunyai peran memfasilitasi atau
menghambat rangsangan dan pesan-pesan yang akan
memengaruhi sifat agresif.Sistem limbik sangat terlibat dalam
menstimulasi timbulnya perilaku bermusuhan dan respon
agresif.
2) Genetik faktor, adanya gen yang diturunkan melalui orang
tua,menjadi potensi agresif. Menurut riset Kazuo
Murakami(2007) dalam gen manusia terdapat dorman(potensi)
agresif yang sedang tidur dan akan bangun jika terstimulasi
oleh faktor eksternal.
3) Cyrcardian Rhytm (irama sirkadian tubuh), memegang peranan
pada individu. Menurut penelitian pada jam-jam tertentu
manusia mengalami peningkatan cortisol terutama pasa jam-
jam sibuk seperti menjelang masuk kerja dan menjelang
berakhirnya pekerjaan sekitar jam 9 dan jam 13. Pada jam
tertentu biasanya lebih mudah terstimulasi bersikap agresif.
4) Biochemistry factor (faktor biokimia tubuh) seperti
neurotransmitter di otak sangat berperan dalam penyampaian
informasi melalui sistem persyarafan dalam tubuh,adanya
stimulasi dari luar yang dianngap mengancam atau
membahayakan akan dihantar melalui impuls neurotransmitter
ke otak dan meresponnya melalui serabut efferent.
5) Brain Area disorder, ganggaun pada sistem limbik dan lobus
temporal,sindrom otak organic,tumor otak,trauma
otak,penyakit ensepalitis,epilepsy ditemukan sangat
berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.
2.1.2 Teori Psikologik
1) Teori psikoanalisa
Agresivitas dan kekerasan dapat dipengaruhi oleh riwayat
tumbuh kembang seseorang. Teori ini menjelaskan bahwa adanya
ketidakpuasan fase oral antara usia 0-2 tahun, dimana anak tidak
mendapat kasih sayang dan pemenuhan kebutuhan air susu yang
cukup cenderung mengembangkan sikap agresif dan bermusuhan
setelah dewasa sebagai kompensasi adanya ketidakpercayaan
pada lingkungannya.Tidak terpenuhnya kepuasan dan rasa aman
dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat
konsep diri yang rendah.Perilaku agresif dan tindak kekerasan
merupakan pengungkapan secara terbuka terhadap rasa
ketidakberdayaannya dan rendahnya harga diri pelaku tindak
kekerasan

2) Imitation,modeling and information processing theory


Menurut teori ini perilaku kekerasan bias berkembang dalam
lingkungan yang menolerir kekerasan.Adanya contoh,model dan
perilaku yang ditiru dari media atau lingkungan sekitar
memungkinkan individu meniru perilaku tersebut.Dalam satu
penelitian beberapa anak dikumpulkan untuk menonton tayangan
pemukulan pada boneka dengan reward positif(makin keras
pukulannya akan diberi cokelat),anak lain menonton tayangan
cara mengasihi dan mencium boneka dengan reward positif
pula(makin baik belaiannya mendapat hadiah cokelat).Setelah
anak-anak keluar dan diberi boneka ternyata masing-masing anak
berperilaku sesuai tontonan yang pernah dialaminya.

3) Learning theory
Perilaku kekerasan merupakan hasil belajar individu terhadap
lingkungan terdekatnya.ia mengamati bagaimana respons ayah
saat menerima kekecewaan dan mengamati bagaimana respons
ibu saat marah. Ia juga belajar bahwa dengan agresivitas
lingkungan sekitar menjadi peduli, bertanya, menanggapi dan
menganggap bahwa dirinya eksis dan patut untuk diperhitungkan

2.1.3 Teori Sosiokultural


Dalam budaya tertentu seperti rebutan uang rece,sesaji atau kotoran
kerbau dikraton,serta ritual-ritual yang cenderung mengarah pada
kemusyrikan secara tidak langsung turut memupuk sikap agresif
dan ingin menang sendiri.Faktor predesposisi terjadinya perilaku
kekerasan adalah control masyarakat yang rendah dan
kecenderungan menerima perilaku kekerasan sebagai cara
penyelesaian masalah. Hal ini juga dipicu dengan maraknya
demonstrasi,film-film kekerasan,mistik,tahayul dan perkudunan
dalam tayangan televisi.

2.1.4 Aspek Religiusitas


Dalam tinjauan religiusitas, kemarahan dan agresifitas merupakan
dorongan dan bisikan setan yang sangat menyukai kerusakan agar
manusia menyesal. Semua bisikan setan melalui pembuluh darah
ke jantung,otak dan organ vital manusia lain yang dituruti manusia
sebagai bentuk kompensasi bahwa kebutuhan dirinya terancam dan
harus segera dipenuhi tetapi tanpa melibatkan akal dan norma
agama.

2.2 Faktor Presipitasi


Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan berkaitan
dengan:
o Ekspresi diri,ingin menunjukan eksistensi diri atau simbil
solidaritas seperti dalam sebuah konser,penonton sepak bola,geng
sekolah,perkelahian masal,dan sebagainya.
o Ekspresi dari tidak terpenuhnya kebutuhan dasar dan kondisi social
ekonomi.
o Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta
tidak membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung
melakukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
o Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan
ketidakmampuan menempatkan dirinya sebagai seorang yang
dewasa.
o Adanya riwayat perilaku anti social meliputi penyalahgunaan obat
dan alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat
menghadapi rasa frustasi.
o Kematian anggota keluarga yang terpenting,kehilangan
pekerjaan,perubahan tahap perkembangan,atau perubahan tahap
perkembangan keluarga
4. Rentang Respons Marah

Perilaku kekerasan merupakan satu rentang emosi dan ungkapan


kemarahan yang dimanifestasikan dalam bentuk fisik. Kemarahan
tersebut merupakan suatu bentuk komunikasi dan proses penyampaian
pesan dari individu. Orang yang mengalami kemarahan sebenarnya ingin
menyampaikan pesan bahwa ia tidak setuju,tersinggung,merasa tidak
dianggap,merasa tidak diturut atau diremehkan.Rentang respon
kemarahan individu dimulai dari respon normal(aseptic)sampai pada
respon sangat tidak normal atau maladaptif.

Respon adaptif Respon


maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Kekerasan

klien mampu Klien gagal Klien merasa Klien Perasaaan marah


mengungkapkan mencapai tidak dapat mengekspresik dan bermusuhan
marah tanpa tujuan mengungkapkan an secara yang kuat dan
menyalahkan kepuasan/saat perasaannya,tid fisik,tapi masih hilang
orang lain dan marah dan ak berdaya dan terkontrol,men control,diserrtai
memberikan tidak dapat menyerah. dorong orang amuk,merusak
kelegaan. menemukan lain dengan lingkungan.
alternative. ancaman.
5. Pohon Masalah Perilaku Kekerasan

Akibat Resiko Perilaku Gangguan


mencederai diri Pemeliharaan
Kesehatan

Ketidakefektifan Perilaku Defisit Perawatan


penatalaksanaan Kekerasan Diri: mandi dan
program berhias
terapeutik Masalah Utama

Ketidakefektifan Gangguan konsep


Penyebab
koping keluarga: diri: harga diri
ketidakmampuan rendah kronis
keluarga merawat
klien di rumah

(Anna Keliat,Budi.2005:30)

6. Manifestasi Klinis
o Muka merah dan tegang
o Pandangan tajam
o Mengatupkan rahang dengan kuat
o Mengepalkan tangan
o Jalan mondar-mandir
o Bicara kasar
o Suara tinggi,menjerit atau berteriak
o Mengancam secara verbal atau fisik
o Melempar atau memeukul benda/orang lain
o Merusak barang/benda
o Tidak memiliki kemampuan mencegah/mengendalikan perilaku
kekerasan
BAB II

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
1.1 Identitas
Usia (px sebagai pelaku,korban atau saksi), sumber data.
1.2 Alasan Masuk
Penyebab px dibawa ke RS, penanganan oleh keluarga
1.3 Faktor Predesposisi
-aniaya fisik,seksual, penolakan,kekerasan dalam keluarga,tindakan
kriminal
-riwayat gangguan jiwa yang lalu
-riwayat pengobatan sblumnya
-riwayat kesehatan keluarga
-Pengalaman lalu yang tidak menyenangkan
1.4 Fisik
TTV: TD meningkat,nadi kuat,cepat, RR meningkat
Keluhan (px/klrga): dada berdebar-debar,mata melotot, rahang
terkatup rapat
1.5 Psikososial
-Kesulitan komunikasi dalam keluarga.
-Riwayat perilaku anti social: meliputi penyalahgunaan obat dan
alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat
menghadapi rasa frustasi.
-pengambilan keputusan :dengan sikap agresif dan ingin menang
sendiri, tidak membiasakan dialog untuk memecahkan masalah
cenderung melakukan kekerasan dalam menyelesaikan konflik
-pola asuh: lingkungan yang agresif,kekerasan dalam keluarga
-Konsep diri: ketidakpuasan terhadap diri, tidak mmpu melaksanakan
peran,ideal diri tdk/blm tercapai, gangguan harga diri
-Hubungan sosial
- Spiritual:percaya ritual-ritual,takhayul,dukun
1.6 Status Mental
Penampilan: tidak rapi
Pembicaraan: Bicara kasar, Suara tinggi,menjerit atau berteriak,
mengancam secara verbal
Aktivitas Motorik: lesu,tegang,gelisah, Mengepalkan tangan, Jalan
mondar-mandir, Melempar atau memukul benda/orang lain
Alam perasaan: putus asa,cemas berat
Afek:labil
Interaksi selama wawancara:bermusuhan,tidak kooperatif, mudah
tersingung,defensif,curiga
Tingkat kesadaran: kacau,disorientasi (karena prilaku anti sosial)
Memori:daya ingat menurun
Daya tilik diri: menyalahkan orang lain/lingkungan

Selain itu data yang dikumpulkan meliputi data biologis, psikologis, sosial
dan spiritual.
a) Aspek biologis
Respons fisiologis timbul karena kegiatan system saraf otonom bereaksi
terhadap sekresi epineprin sehingga tekanan darah meningkat,
tachikardi, muka merah, pupil melebar, pengeluaran urine meningkat.
Ada gejala yang sama dengan kecemasan seperti meningkatnya
kewaspadaan, ketegangan otot seperti rahang terkatup, tangan dikepal,
tubuh kaku, dan refleks cepat. Hal ini disebabkan oleh energi yang
dikeluarkan saat marah bertambah.
b) Aspek emosional
Individu yang marah merasa tidak nyaman, merasa tidak berdaya,
jengkel, frustasi, dendam, ingin memukul orang lain, mengamuk,
bermusuhan dan sakit hati, menyalahkan dan menuntut.
c) Aspek intelektual
Sebagian besar pengalaman hidup individu didapatkan melalui proses
intelektual, peran panca indra sangat penting untuk beradaptasi dengan
lingkungan yang selanjutnya diolah dalam proses intelektual sebagai
suatu pengalaman. Perawat perlu mengkaji cara klien marah,
mengidentifikasi penyebab kemarahan, bagaimana informasi diproses,
diklarifikasi, dan diintegrasikan.
d) Aspek sosial
Meliputi interaksi sosial, budaya, konsep rasa percaya dan
ketergantungan. Emosi marah sering merangsang kemarahan orang
lain. Klien seringkali menyalurkan kemarahan dengan mengkritik
tingkah laku yang lain sehingga orang lain merasa sakit hati dengan
mengucapkan kata-kata kasar yang berlebihan disertai suara keras.
Proses tersebut dapat mengasingkan individu sendiri, menjauhkan diri
dari orang lain, menolak mengikuti aturan.
e) Aspek spiritual
Kepercayaan, nilai dan moral mempengaruhi hubungan individu dengan
lingkungan. Hal yang bertentangan dengan norma yang dimiliki dapat
menimbulkan kemarahan yang dimanifestasikan dengan amoral dan
rasa tidak berdosa.
Dari uraian tersebut di atas jelaslah bahwa perawat perlu mengkaji
individu secara komprehensif meliputi aspek fisik, emosi, intelektual,
sosial dan spiritual yang secara singkat dapat dilukiskan sebagai berikut
:
Aspek fisik terdiri dari :muka merah, pandangan tajam, napas pendek
dan cepat, berkeringat, sakit fisik, penyalahgunaan zat, tekanan darah
meningkat.
Aspek emosi : tidak adekuat, tidak aman, dendam, jengkel.
Aspek intelektual : mendominasi, bawel, sarkasme, berdebat,
meremehkan.
Aspek sosial : menarik diri, penolakan, kekerasan, ejekan, humor.

Pengkajian Perilaku Asertif,Pasif,dan Agresif/Kekerasan


Aspek Pasif Asertif Agresif

Isi Negative,merendahkan Positif menawarkan Menyombangkon


pembicaraan diri, diri,misalnya: diri,merendahkan
orang lain,misalnya:
Misalnya:biasakah saya saya mampu,saya
melakukan hal itu? bisa,anda kamu pasti tidak
Bisakah anda boleh,anda dapat bisa,kamu selalu
melakukannya. melanggar,kamu
tidak pernah
menurut,kamu tidak
akan bisa

Tekanan suara Lambat,mengeluh Sedang Keras ,ngotot

Posisi badan Menundukkan kepala Tegap dan santai Kaku,condong


kedepan

Jarak Menjaga jarak dengan Mempertahankan Siap dengan jarak


sikap mengabaikan jarak yang nyaman akan menyerang
orang lain

Penampilan Loyo,tidak dapat tenang Sikap tenang Mengancam,posisi


menyerang

Kontak mata Sedikit/sama sekali tidak Mempertahankan Mata melotot dan


kontak mata sesuai dipertahankan
dengan hubungan
Pengkajian Mekanisme Koping
Mekanisme koping yang umum digunakan adalah mekanisme
pertahanan ego seperti displacemen (dapat menggunakan
kemarahan pada objek yang salah,misalnya pada saat marah pada
dosen,mahasiswa mengungkapkan kemarahan dengan dengan
memukul tembok).
Proyeksi yaitu kemarahan dimana secara verbal mengalihkan
kesalahan diri sendiri pada orang lain yang dianggap
berkaitan,misalnya pada saat nilai buruk seseorang mahasiswa
menyalahkan dosennya atau menyalahkan sarana kampus atau
menyalahkan administrasi yang tidak becus mengurus
nilai.Mekanisme koping yang lainnya adalah represi,dimana
individu merasa seolah-olah tidak marah dan tidak kesal,ia tidak
mencoba menyampaikannya kepada orang terdekat atau ekspresi
feeling,sehingga rasa marahnya tidak terungkap dan ditekan
sampai ia melupakannya.
Perilaku kekerasan biasanya diawali dengan situasi berduka
kepanjangan dari seseorang yang dianggap berpengaruh dalam
hidupnya.
Bila kondisi ini tidak berakhir akan menyebabkan perasaan harga
diri rendah sehingga sulit untuk bergaul dengan orang lain. Bila
ketidakmampuan bergaul ini tidak segera diatasi maka akan
timbul halusinasi yang menyuruh melakukan tindakan kekerasan
dan ini berdampak terhadap resiko tinggi yang mencederai
diri,orang lain,dan lingkungan.
Selain mengakibatkan berduka yang berkepanjangan,dukungan
keluarga yang kurang baik untuk menghadapi keadaan klien
mempengaruhi perkembangan klien (koping keluarga tidak
efektif),hal ini tentunya menyebabkan klien akan sering keluar
masuk RS/timbulnya kekambuhan karena dukungan keluarga
tidak maksimal
1 Alternatif Diagnosa Keperawatan
1.2 Resiko perilaku mencederai diri berhubungan dengan perilaku
kekerasan
1.3 Perilaku kekerasan berhubungan dengan harga diri rendah kronis
1.4 Gangguan pemeliharaan kesehatan berhubungan dengan defisit
perawatan diri mandi dan berhias
1.5 Ketidakefektifan penatalaksanaan program terapeutik berhubungan
dengan ketidakmampuan keluarga merawat klien di rumah
2 Intervensi
No
Tujuan Kriteria Hasil Intervensi
DP
1 TUM
Klien tidak mencederai
diri sendiri
TUK
1. Klien dapat 1.1 Klien mau membalas 1.1.1 Beri salam/panggil nama
membina hubungan salam
saling percaya 1.2 Klien mau menjabat 1.2.1 Sebutkan nama perawat sambil
tangan berjabat tangan
1.3 Klien mau menyebutkan 1.3.1 Jelaskan maksud hubungan
nama interaksi
1.4 Klien mau tersenyum 1.4.1 Jelaskan tentang kontrak yang
akan dibuat
1.5 Klien mau kontak mata 1.5.1 Beri rasa aman dan rasa empati
1.6 Klien mau mengetahui 1.6.1 Lakukan kontak singkat tetapi
nama perawat sering

2. Klien dapat 2.1 Klien mengungkapkan 2.1.1 Beri kesempatan untuk


mengidentifikasi perasaannya mengungkapkan perasaannya
penyebab perilaku 2.2 Klien dapat 2.2.1 Bantu klien untuk
kekerasan mengungkapkan mengungkapkan penyebab
penyebab perasaan perasaan jengkel/ kesal
jengkel/ kesal (dari diri
sendiri, lingkungan atau
orang lain)
No
Tujuan Kriteria Hasil Intervensi
DP

3. Klien dapat 2.2 Klien dapat 3.1.1 Anjurka klien mengungkapkan


mengidentifikasi mengungkapkan apa yang dialami dan dirasakan
tanda dan gejala perasaan saat saat jengkel/ marah
perilaku kekerasan marah/jengkel 3.1.2 Observasi tanda dan gejala
perilakukekerasan pada klien

2.3 Klien dapat 3.2.1 Simpulkan bersama klien tanda


menyimpulkan tanda dan dan gejala jengkel/kesal yang
gejala jengkel/kesal yang dialami klien
dialaminya

4. Klien dapat 4.1 Klien dapat 4.1.1 Anjurkan klien untuk


mengidentifikasi mengungkapkan perilaku mengungkapkan perilaku kekerasan
perilaku kekerasan kekerasan yang biasa yang biasa dilakukan klien (verbal,
yang biasa dilakukan pada orang lain,pada
dilakukan lingkungan,dan pada diri sendiri)

4.2 Klien dapat bermain 4.2.1 Bantu klien bermain peran sesuai
peran sesuai perilaku dengan perilaku kekerasan yang
kekerasan yang biasa biasa dilakukan
dilakukan
4.3 Klien dapat mengetahui 4.3.1 Bicarakan dengan klien, apakah
cara yang biasa dengan cara yang klien lakukan
dilakukan untuk masalahnya selesai
menyelesaikan masalah

5. Klien dapat 5.1 Klien dapat menjelaskan 5.1.1Bicarakan akibat dari cara yang
mengidentifikasi akibat dari cara yang dilakukan klien
akibat perilaku digunakan klien: 5.1.2Bersama klien menyimpulkan
kekerasan Akibat pada klien akibat dari cara yang dilakukan
sendiri oleh klien
Akibat pada orang 5.1.3 Tanyakan kepada klien apakah ia
lain ingin mempelajaricara baru yang
Akibat pada sehat
No
Tujuan Kriteria Hasil Intervensi
DP
lingkungan

6. Klien dapat 6.1 Klien dapat menyebutkan 6.1.1 Diskusikan kegiatan fisik yang
mendemonstrasikan contoh pencegahan perilaku biasa dilakukan klien
cara fisik untuk kekerasan secara fisik 6.1.2 Beri pujian atas kegiatan fisik
mencegah perilaku Tarik napas dalam yang biasa dilakukan klien
kekerasan Pukul kasur dan 6.1.3 Diskusikan 2 cara fisik yang
bantal paling mudah dilakukan untuk
Dll: kegiatan fisik mencegah perilaku kekerasan ,
yaitu tarik napas dalam dan pukul
kasur serta bantal

6.2 Klien dapat 6.2.1 Diskusikan cara melakukan tarik


mendemonstrasikan cara napas dalam dengan klien
fisik untuk mencegah 6.2.2 Beri contoh kepada klien tentang
perilaku kekerasan cara menarik napas dalam
6.2.3 Minta klien untuk mengikuti
contoh yang diberikan sebanyak 5
kali
6.2.4 Beri pujian positif atas
kemampuan klien
mendemonstrasikan cara menarik
napas dalam
6.2.5 Tanyakan perasaan klien setelah
selesai
6.2.6 Anjurkan klien untuk
menggunakan cara yang telah
dipelajari saat marah/jengkel
6.2.7 Lakukan hal yang sama dengan
6.2.1 sampai 6.2.6 untuk cara fisik
lain di pertemuan yang lain

6.3 Klien mempunyai jadwal 6.3.1 Diskusikan dengan klien


untuk melatih cara mengenai frekuensi latihan yang
pencegahan fisik yang telah akan dilakukan sendiri oleh klien
dipelajari sebelumnya 6.3.2 Susun jadwal kegiatan untuk
No
Tujuan Kriteria Hasil Intervensi
DP
melatih cara yang telah dipelajari

6.4 Klien mengevaluasi 6.4.1 Klien mengevaluasi pelaksanaan


kemampuannya dalam latihan ,cara pencegahan perilaku
melakukan cara fisik sesuai kekerasan yang telah dilakukan
jadwal yang telah disusun dengan mengisi jadwal kegiatan
harian (self-evaluation)
6.4.2 Validasi kemampuan klien
dalam melakukan latihan
6.4.3 Berikan pujian atas keberhasilan
klien
6.4.4 Tanyakan pada klien : Apakah
kegiatan cara pencegahan perilaku
kekerasan dapat mengurangi
perasaaan marah

7. Klien dapat 7.1 Klien dapat menyebutkan 7.1.1 Diskusikan cara bicara yang baik
mendemonstrasikan cara bicara (verbal) yang dengan klien
cara sosial untuk baik dalam mencegah 7.1.2 Beri contoh cara bicara yang
mencegah perilaku perilaku kekerasan baik:
kekerasan Meminta dengan -Meminta dengan baik
baik -Menolak dengan baik
Menolak dengan -Mengungkapkan perasaan dengan
baik baik
Mengungkapkan
perasaan dengan
baik
7.2 Klien dapat 7.2.1 Minta klien mengikuti contoh
mendemonstrasikan cara cara bicara yang baik:
herbal yang baik -Meminta dengan baik: Saya minta
uang untuk beli makanan
-Menolak dengan baik: Maaf saya
tidak dapat melakukannya karena ada
kegiatan lain
-Mengungkapkan perasaaan
No
Tujuan Kriteria Hasil Intervensi
DP
denganbaik:Saya kesal karena
permintaan saya tidak dikabulkan,
disertai nada suara yang rendah

7.2.2 Minta klien mengulang sendiri


7.2.3 Beri pujian atas keberhasilan
klien

7.3 Klien mempunyai jadwal 7.3.1 Diskusikan dengan klien tentang


untuk melatih cara bicara waktu dan kondisi cara bicara yang
yang baik dapat dilatih di ruangan. Misalnya:
meminta obat,baju,dll. Menolak
ajakan merokok,tidur tidak pada
waktunya,menceritakan kekesalan
pada perawat.
7.3.2 Susun jadwal kegiatan untuk
melatih cara yang telah dipelajari

7.4 Klien melakukan evaluasi 7.4.1 Klien mengevaluasi pelaksanaan


terhadap kemampuan cara latihan cara bicara yang baik dengan
bicara yang sesuai dengan mengisi jadwal kegiatan (self
jadwal yang telah disusun evaluation).
7.4.2 Validasi kemampuan klien
dalam melaksanakan latihan
7.4.3 Berikan pujian atas keberhasilan
klien
7.4.4 Tanyakan pada klien :
Bagaimana perasaan Budi setelah
latihan bicara yang baik? Apakah
keinginan marah berkurang?

8. Klien dapat 8.1 Klien dapat menyebutkan 8.1.1 Diskusikan dengan klien
mendemonstrasikan kegiatan ibadah yang biasa kegiatan ibadah yang pernah
cara spiritual untuk dilakukan dilakukan
mencegah perilaku
kekerasan 8.2 Klien dapat 8.2.1 Bantu klien menilai kegiatan
No
Tujuan Kriteria Hasil Intervensi
DP
mendemonstrasikan cara ibadah yang dapat dilakukan di ruang
ibadah yang dipilih rawat
8.2.2 Bantu klien memilih kegiatan
ibadah yang akan dilakukan
8.2.3 Minta klien mendemonstrasikan
kegiatan ibadah yang dipilih
8.2.4 Beri pujian atas keberhasilan
klien
8.3 Klien menpunyai jadwal 8.3.1 Diskusikan dengan klien tentang
untuk melatih kegiatan waktu pelaksanaan kegiatan ibadah
ibadah 8.3.2 Susun jadwal kegiatan untuk
melatih kegiatan untuk ibadah

8.4 Klien melakukan evaluasi 8.4.1 Klien mengevaluasi pelaksanaan


terhadap kemampuan kegiatan ibadah dengan mengisi
melakukan kegiatan ibadah jadwal kegiatan harian
8.4.2 Validasi kemampuan klien
dalam melaksanakan latihan
8.4.3 Berikan pujian atas keberhasilan
klien
8.4.4 Tanyakan kepada klien:
Bagaimana perasaan Budi setelah
teratur melakukan ibadah? Apakah
keinginan marah berkurang?

9.1 Klien dapat menjelaskan 10.3.1 Diskusikan dengan klien


9. Klien dapat jenis ,dosis, dan waktu tentang jenis obat yang
mendemonstrasikan minum obat serta diminumnya (nama,
kepatuhan minum manfaat dari obat itu warna,besarnya);waktu minum
obat untuk (prinsip 5B): Benar obat (jika
mencegah perilaku orang,obat, dosis, waktu, 3x:pkl.07.00,13.00,19.00), cara
kekerasan cara pemberian minum obat
10.3.2 Diskusikan dengan klien
tentang manfaat minum obat
secara teratur:
No
Tujuan Kriteria Hasil Intervensi
DP
-Beda perasaan sebelum minum
obat dan sesudah minum obat
-Jelaskan bahwa dosis hanya
boleh diubah oleh dokter
-Jelaskan mengenai akibat
minum obat yang tidak teratur
misalnya penyakitnya kambuh

9.2 Klien 9.2.1 Diskusikan tentang proses


mendemonstrasikan minum obat:
latihan kepatuhan minum -Klien meminta obat kepada
obat sesuai jadwal yang perawat (jika di rumah sakit) ,
ditetapkan kepada keluarga (jika dirumah)
-Klien memeriksa obat sesuia
dosisnya
-Klien minum obat pada waktu
yang tepat
9.2.2 Susun jadwal minum obat
bersama klien

9.3 Klien mengevaluasi 9.3.1 Klien mengevaluasi pelaksanaan


kemampuannya dalam minum obat dengan mengisi
mematuhi minum obat jadwal kegiatan harian
9.3.2 Validasi pelaksanaan minum
obat
9.3.3 Beri pujian atas keberhasilan
klien
9.3.4 Tanyakan pada kilen:
Bagaimana perasaan Budi
dengan minum obat secara
teratur? Apakah keinginan untuk
marah berkurang?

10.1 Klien mengikuti TAK: 10.1.1 Anjurkan klien untuk ikut


10. Klien dapat stimulasi persepsi TAK: stimulasi persepsi
No
Tujuan Kriteria Hasil Intervensi
DP
mengikuti TAK: pencegahan perilaku pencegahan perilaku kekerasan
stimulasi persepsi kekerasan 10.1.2 Klien mengikuti TAK:
pencegahan stimulasi persepsi pencegahan
perilaku kekerasan perilaku kekerasan (kegiatan
tersendir)
10.1.3 Diskusikan dengan klien
tentang kegiatan selama TAK
10.1.4 Fasilitasi klien untuk
mempraktikan hasil kegiatan
TAK dan beri pujian atas
keberhasilannya
10.2 Klien mempunyai 10.2.1Diskusikan dengan klien tentang
jadwal TAK: stimulasi jadwal TAK
persepsi pencegahan 10.2.2 Masukkan jadwal TAK ke
perilaku kekerasan dalam jadwal kegiatan harian
klien
10.3 Klien melakukan 10.3.1 Klien mengevaluasi
evaluasi terhadap pelaksanaan TAK dengan
pelaksanaan TAK mengisi jadwal kegiatan harian
10.3.2 Validasi kemampuan klien
dalam mengikuti TAK
10.3.3 Beri pujian atas kemampuan
mengikuti TAK
10.3.4 Tanyakan kepada klien:
11.1 Keluarga dapat Bagaimana perasaan Budi
mendemonstrasikan setelah ikut TAK?
cara merawat klien 11.1.1 Identifikasi kemampuan
11. Klien mendapatkan keluarga dalam merawat klien
dukungan keluarga sesuai dengan yang telah
dalam melakukan dilakukan keluarga terhadap
cara pencegahan klien selama ini
perilaku kekerasan 11.1.2 Jelaskan keuntungan peran
serta keluarga dalam merawat
klien
11.1.3 Jelaskan cara-cara merawat
klien:
No
Tujuan Kriteria Hasil Intervensi
DP
-Terkait dengan cara
mengontrol perilaku marah
secara konstruktif
-Sikap dan cara bicara
-Membantu klien mengenal
penyebab marah dan
pelaksanaan cara pencegahan
perilaku kekerasan
11.1.4 Bantu keluarga
mendemonstrasikan cara
merawat klien
11.1.5 Bantu keluarga
mengungkapkan perasaannya
setelah melakukan demonstrasi
11.1.6 Anjurkan keluarga
mempraktikkannya pada klien
selama di rumah sakit dan
melanjutkannya setelah pulang
ke rumah

2 TUM:
Klien dapat
berhubungan dengan
orang lain secara
optimal

TUK: 2.1.1 Tindakan :


2.1 Klien bias percaya
1. Klien dapat membina Bina hubungan saling percaya,
dengan perawat
hubungan saling Beri kesempatan pada klien
percaya dengan
mengungkapkan perasaannya.
perawat
Sediakan waktu untuk
mendengarkan klien.

Katakan kepada klien bahwa ia


adalah seseorang yang berharga dan
bertanggung jawab serta mampu
No
Tujuan Kriteria Hasil Intervensi
DP
menolong dirinya sendiri.

R/
hubungan saling percaya
memungkinkan klien terbuka pada
perawat dan sebagai dasar untuk
intervensi selanjutnya.

2. Klien dapat 2.2 Klien menyadari


2.2.1 Diskusikan kemampuan dan
mengidentifikasi kemampuan dan aspek
aspek positif yang dimiliki klien.
kemampuan dan positif yang dimiliki.
aspek positif yang R/mengidentifikasi hal-hal positif yang
dimiliki. masih dimiliki klien.
2.2.2 Setiap bertemu klien hindarkan
dari memberi penilaian negatif

R/pemberian penilaian negatif dapat


menurunkan semangat klien dalam
hidupnya.
2.2.3 Utamakan memberi pujian yang
realistis.

3. Klien dapat menilai 2.3 Klien dapat menerapkan R/ meningkatkan harga diri klien

kemampuan yang kemampuan yang dapat


dapat digunakan. digunakan 2.3.1 Diskusikan bersama klien
kemampuan yang masih dapat
digunakan selama sakit

R/mengidentifikasi kemampuan yang


masih dapat digunakan.
2.3.2 Diskusikan pula kemampuan
yang dapat dilanjutkan setelah pulang
ke rumah.

R/mengidentifikasi kemampuan yang


masih dapat dilanjutkan.
2.3.3Berikan Pujian
4. Klien dapat 2.4 Klien melakukan R/meningkatkan harga diri dan
menetapkan/ kegiatan sesuai merasa diperhatikan.
No
Tujuan Kriteria Hasil Intervensi
DP
merencanakan kemampuan yang
kegiatan sesuai dimiliki 2.4.1 Minta klien untuk memilih satu
kemampuan yang kegiatan yang mau dilakukan di
dimiliki. rumah sakit.
R/ agar klien dapat melakukan
kegiatan yang realistis sesuai
kemampuan yang dimiliki.
2.4.2 Bantu klien melakukannya jika
perlu beri contoh.
R/ menuntun klien dalam melakukan
kegiatan.
2.4.3 Beri pujian atas keberhasilan
klien.
R/ meningkatkan motivasi untuk
berbuat lebih baik.
2.4.4 Diskusikan jadwal kegiatan

5. Klien dapat 2.5 Klien dapat melakukan harian atas kegiatan yang telah

melakukan kegiatan kegiatan sesuai kondisi dilatih.


sesuai kondisi dan dan kemampuannya R/ mengidentifikasi klien agar berlatih
kemampuannya secara teratur

2.5.1 Beri kesempatan klien untuk


mencoba kegiatan yang telah
direncanakan.

R/ tujuan utama dalam penghayatan


pasien adalah membuatnya
menggunakan respon koping mal
adaptif dengan yang lebih adaptif.
2.5.2 Beri pujian atas keberhasilan
klien.

R/ meningkatkan harga diri klien.


6. Klien dapat 2.6 Klien dapat 2.5.3 Diskusikan kemungkinan
memanfaatkan sistem memanfaatkan sistem
pelaksanaan di rumah
pendukung yang ada. pendukung yang ada
R/ mendorong pengulangan perilaku
No
Tujuan Kriteria Hasil Intervensi
DP
yang diharapkan

2.6.1 Beri pendidikan kesehatan pada


keluarga tentang cara merawat klien
dengan harga diri rendah.

R/meningkatkan pengetahuan keluarg


a dalam merawat klien secara
bersama.
2.6.2 Bantu keluarga memberi
dukungan selama klien dirawat.

R/ meningkatkan peran serta keluarga


dalam membantu klien meningkatkan
harga diri rendah.
2.6.3 Bantu keluarga menyiapkan
lingkungan di rumah.

R/ memotivasi keluarga untuk


merawat klien.
2.6.4 Beri reinforcement positif atas
keterlibatan keluarga

R/ Memberikan pemahan keluarga


atas kondisi klien

(Anna Keliat,Budi.2005:31)
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

Budi Anna Keliat. 2005. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Ed.2. Jakarta: EGC

Budi Anna Keliat. 2009. Model praktik keperawatan profesional jiwa. Jakarta:
EGC

Mary C, Townsend. 2009. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Psikiatri: Rencana


Asuhan & Medikasi Psikotropik. Ed.5. Alih Bahasa: Devi Yuliani. Jakarta: EGC
SKENARIO PERILAKU KEKERASAN

SP 1 pasien :Membina hubungan saling percaya,mengidentifikasi penyebab


marah,tanda dan gejala yang dirasakan,perilaku kekerasan yang
dilakukan,akibat dan cara mengendalikan perilaku kekerasan
dengan cara fisik pertama(latihan napas dalam )

Fase orientasi

Perawat 1 :selamat pagi ibu,perkenalkan nama saya stella dan ini teman saya
anna. (sambil berjabat tangan).

Ibu : (pasien menolak bersalaman dengan perawat.)

Perawat 1 :Baiklah tidak apa kalau ibu tidak mau berjabat tangan sekarang.
Ibu kami perawat yang dinas di ruangan mawar ini.Hari ini kami
dinas pagi dari jam 07.00 pagi 02.00 siang.Kami yang akan
merawat ibu selama Ibu dirumah sakit ini. Baik ibu,Ibu mau
dipanggil apa???

Ibu : panggil saya itin . (dengan nada bersemangat,wajah tegang)

Perawat 2 :Bagaimana perasaan ibu saat ini??apa masih ada perasaan kesal
atau masih marah??apa yang terjadi dirumah??

(Ibu terdiam beberapa menit kemudian menjawab)

Ibu :HMMM.. (dengan nada ketus).ia lah sus,saya masih kesal dengan
anak
perempuan saya satu-satunya

Perawat 2 :baiklah kalau begitu,sekarang kita akan berbincang tentang


perasaan ibu
Perawat 1 :berapa lama ibu mau kita berbincang-bincang??

Ibu :terserah (dengan nada tinggi)

Perawat 2 :bagaimana kalau 20 menit??

Ibu : ya udah (dengan nada bersemangat)

Perawat 1 :Dimana Bu? bagaimana kalau kita berbincang- bincang diruang


tamu saja ya
bu?

Ibu :terserah Sus!

Fase kerja

Perawat 2 :Baik Ibu,sekarang apa yang ingin Ibu ceritakan?


apa yang menyebabkan ibu kesal??

Ibu :Gimana saya gak kesal sus, saya ini selalu dipanggil ke sekolah,dia
sering bertengkar,nilainya juga selalu jelek,jarang pulang ke
rumah. Suami saya juga nggak pernah pulang,kalaupun pulang
kerjaannya hanya mabuk dan minta uang. Saya ini Cuma tukang
cuci. Suami nggak pernah ngasih uang. Anak cari masalah..
(dengan emos tinggii)

Perawat 1 & 2 :oooo ia...ia Baik iya

Perawat 1 :apakah sebelumnya ibu pernah marah??apakah penyebabnya


sama dengan sekarang??

Ibu :Ya,iya gmn nggak marah,saya capai Sus!! Anak,suami jarang


pulang kerumah,suka buat masalah,anak nilainya juga sangat-
sangat buruk.
Perawat 1 :oooo iajadi ibu marah karena kenakalan anak ibu dan suami ibu
yang tidak
bekerja. Dan kalau pulang hanya mabuk dan minta uang,ya?..

Perawat 2 :Baik, Ibu tadi kan bilang kalau anak dan suami ibu jarang pulang
ke rumah,saat anak maupun suami ibu pulang apa yang ibu
rasakan???

Perawat 1 :apakah ibu merasakan kesal,kemudian dada ibu terasa berdebar-


debar,mata
melotot??

Ibu :Sngat kesal!!! Jantung saya mau copot rasanya!

Perawat 2 :setelah itu apa yang ibu lakukan??

Ibu :saya memukul anak saya dan melemparnya dengan benda yang
ada ditangan
saya. Kalau suami yang pulang,saya hanya marah dan membanting
semua
barang di dekat saya.

Perawat 2 : jadi ibu memukul dan melempari anak ibu dengan benda yang
ada ditangan ibu?? apakah dengan cara ini anak ibu tidak nakal
lagi??

Ibu :ia,tentu tidak

Perawat 2 :Bagaimana dengan suami ibu? Apakah dengan marah dan


membanting
barang,suami ibu menyesal?

Ibu :NGaak juga Sus. Malah suami saya lebih ngeri kalau marah. Dia
mengancam
dan memukuli saya kalau saya tidak membrikan semua gaji saya
padanya.
wkwkwwkw,Benar-benar gila dia!!!!

Perawat 1 : (mengangguk2) Iya2,baik Ibu. Lalu apa kerugian dari cara yang
ibu
lakukan pada anak dan suami ibu??

Ibu :anak saya jadi sakit dan takut. Suami makin marah dan
meninggalkan saya.
Saya ga tahu dimana dia skrg.

Perawat 1 :betul,anak ibu jadi sakit dan takut.Suami justru makin marah. Dan
banyak
barang ibu yang rusak..

Perawat 2 :menurut ibu adakah cara yang lebih baik??

(Ibu hanya terdiam tanpa menjawab)

Perawat 1 :maukah ibu belajar cara mengungkapkan kemarahan dengan baik


tanpa menimbulkan kerugian??

(Ibu mengangguk )

Perawat 2 :ada beberapa cara untuk mengendalikan kemarahan ibu.Salah


satunya adalah dengan cara fisik.Jadi,melalui kegiatan fisik,rasa
marah disalurkan.

Perawat 1 :bagaimana kalau kita belajar satu cara dulu???

Ibu :iya sus

Perawat 2 :begini bu,kalau tanda-tanda marah tadi sudah ibu rasakan ,ibu
berdiri,lalu tarik napas dari hidung,tahan sebentar,lalu keluarkan
atau tiup perlahan-lahan melalui mulut seperti mengeluarkan
kemarahan.
Perawat 1 :ayo coba lagi,tarik dari hidung,bagus.,tahan,dan tiup melalui
mulut.Nah,lakukan 5 kali. Bagus sekali,ibu sudah bisa
melakukannya.Bagaimana perasaannya??

Ibu :masih kesal Sus

Perawat 2 :nah, untuk itu sebaiknya latihan ini ibu lakukan secara rutin
sehingga bila sewaktu-waktu rasa marah itu muncul ibu sudah
terbiasa melakukannya

(ibu mengangguk)

Fase Terminasi

Perawat 1 :bagaimana perasaan ibu setelah berbincang-bincang tentang


kemarahan ibu??

Ibu :saya merasa sedikit legah

Perawat 2 :iya,jadi ada 4 penyebab ibu marah yaitu anak ibu sering dipanggil
kesekolah,nilai anak ibu juga jelek dan anak ibu juga jarang pulang
kerumah,sehingga ibu memukul dan melempari anak ibu dengan
benda yang ada ditangan ibu serta akibatnya anak ibu jadi sakit
dan takut.

Perawat 1 : Selain itu, karena suami ibu tidak pernah pulang,kalau pulang
hanya mabuk dan meminta semua gaji ibu dengan marah dan
mengancam ibu. Akhirnya suami ibu memukuli ibu dan tidak
pulang sampai sekarang.

Ibu :iya sus

Perawat 1 :coba selama saya tidak ada,ingat-ingat lagi penyebab marah ibu
yang lalu,apa yang ibu lakukan kalau marah yang belum kita bahas
dan jangan lupa latihan napas dalam ,ya bu.
Ibu :iya sus

Perawat 2 :sekarang kita buat jadwal latihannya ya bu,berapa kali sehari ibu
mau latihan napas dalam??

Ibu :1 kali saja sus

Perawat 1 :baik,Dimana Bu.? Bagaimana kalau tempatnya disini saja bu??

Ibu :iya sus

Perawat 2 :Berapa lama? Jam berapa?

Ibu :kayak tadi.

Perawat 2 :Baik 20 menit ya,Bu.Kalau begitu saya ulangi ya. Mulai besok pagi
jam 9,
kita,saya sr.Ana dan sr.Stella akan latihan napas dalam selama 20
menit di
sini,di ruang tamu,ya Bu? Jadi besok apa yang kita lakukan ibu? Ibu
dapat
mengulanginya?

Ibu :Latihan pernapasan dalam disini, di ruang tamu jam 9 selama 20


menit

Perawat 1 :Baik,bagus kalau gitu ibu sudah mengerti ya janji kita besok?

Ibu :Iya Sus

Perawat 1 & 2 :kalau begitu sampai ketemu lagi besok pagi dengan saya Sr.
Stella dan saya
Sr.Ana ya.selamat pagi bu Itin

ASKEP HARGA DIRI RENDAH

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kesehatan jiwa merupakan suatu kebutuhan tiap individu yang sangat


penting.Oleh karena itu kesehatan jiwa harus juga diperhatikan. Selain hal ini
merupakan peran petugas kesehatan, tetapi merupakan hal yang menuntut
adanya keselarasan dan kerja sama dari berbagai pihak selain individu itu
sendiri, keluarga maupun lingkungan.

Dari berbagai masalah kesehatan jiwa, gangguan konsep diri dengan harga
diri rendah banyak mengiringi penyakit-penyakit gangguan jiwa. Bila hal ini
terjadi, terkadang dapat menimbulkan dampak yang buruk pada diri pasien
sendiri maupun orang lain di sekitarnya.

TUJUAN PENULISAN

a) Tujuan khusus

Tujuan utama dari penulisan makalah ini yaitu untuk memenuhi tugas
individu mata kuliah Keperawatan jiwa

b) Tujuan umum
Menerapkan teori dan lebih menekankan dalam mempraktekan
proses keperawatan yang terdiri dari pengkajian, perencanaan,
tindakan dan evaluasi
Dapat mengetahui cara merawat klien dengan harga diri rendah
BAB II
KONSEP DASAR

1. Konsep Harga Diri

1.1. Pengertian harga diri

Harga diri merupakan evaluasi yang dibuat individu dan kebiasaan


memandang dirinya, terutama sikap menerima, menolak, dan indikasi besarnya
kepercayaan individu terhadap kemampuan, keberartian, kesuksesan, dan
keberhargaan (Coopersmith, 1998).

Menurut Stuart dan Sundeen (1998) harga diri adalah penilaian individu
terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa seberapa jauh perilaku memenuhi
ideal dirinya.Dapat disimpulkan bahwa harga diri menggambarkan sejauh mana
individu tersebut menilai dirinya sebagai orang yang memiliki kemampuan,
keberartian, berharga, dan kompeten.Secara singkat, harga diri adalah personal
judgment mengenai perasaan berharga atau berarti yang diekspresikan dalam
sikap-sikap individu terhadap dirinya.

1.2. Pembentukan harga diri

Harga diri mulai terbentuk setelah anak lahir, ketika anak berhadapan
dengan dunia luar dan berinteraksi dengan orang-orang di lingkungan
sekitarnya.Interaksi secara minimal memerlukan pengakuan, penerimaan peran
yang saling tergantung pada orang yang bicara dan orang yang diajak
bicara.Interaksi menimbulkan pengertian tentang kesadaran diri, identitas, dan
pemahaman tentang diri. Hal ini akan membentuk penilaian individu terhadap
dirinya sebagai orang yang berarti, berharga, dan menerima keadaan diri apa
adanya sehingga individu mempunyai perasaan harga diri (Burn, 1998).

Harga diri mengandung pengertiansiapa dan apa diri saya. Segala sesuatu
yang berhubungan dengan seseorang, selalu mendapat penilaian berdasarkan
kriteria dan standar tertentu, atribut-atribut yang melekat dalam diri individu akan
mendapat masukan dari orang lain dalam proses berinteraksi dimana proses ini
dapat menguji individu yang memperlihatkan standar dan nilai diri yang
terinternalisasi dari masyarakat dan orang lain. Harga diri seseorang diperoleh dari
diri sendiri dan orang lain.

1.3. Aspek-aspek harga diri

Coopersmith (1998) membagi harga diri kedalam empat aspek yaitu:

1) Kekuasaan (power) Kemampuan untuk mengatur dan mengontrol tingkah


laku orang lain. Kemampuan ini ditandai adanya pengakuan dan rasa
hormat yang diterima individu dari orang lain.
2) Keberartian (significance) Adanya kepedulian, penilaian, dan afeksi yang
diterima individu dari orang lain
3) Kebajikan (virtue) Ikuti standar moral dan etika, ditandai oleh ketaatan
untuk menjauhi tingkah laku yang tidak diperbolehkan
4) Kemampuan (competence) Sukses memenuhi tuntutan prestasi.

2. Konsep Harga Diri Rendah

2.1 Defenisi harga diri rendah

Harga diri rendah adalah perasaan tidak berharga, tidak berarti dan
rendah diri yang berkepanjangan akibat evaluasi yang negatif terhadp diri
sendiri atau kemampuan diri.Adanya perasaan hilang kepercayaan diri, merasa
gagal karena tidak mampu mencapai keinginan sesuai dengan ideal diri
(Keliat, 1998).

Harga diri rendah adalah evaluasi diri dan perasaan tentang diri sendiri
atau kemampuan diri yangnegatif yang dapat secara langsung atau tidak
langsung diekspresikan. (Towsend, 1998).

2.2 Etiologi

Berdasarkan hasil riset Malhi (2008, dalam http:www.tqm.com)


menyimpulkan bahwa harga diri rendah diakibatkan oleh rendahnya cita-cita
seseorang.Hal ini mengakibatkan berkurangnya tantangan dalam mencapai
tujuan.Tantangan yang rendah menyebabkan upaya yang rendah.Selanjutnya,
hal ini menyebabkan penampilan seseorang yang tidak optimal.
Dalam tinjauan life span history klien, penyebab terjadinya harga diri
rendah adalah pada masa kecil sering disalahkan, jarang diberi pujian atas
keberhasilannya.Saat individu mencapai masa remaja keberadaannya kurang
dihargai, tidak diberi kesempatan dan tidak diterima.Menjelang dewasa awal
sering gagal di sekolah, pekerjaan, atau pergaulan. Harga diri rendah muncul
saat lingkungan cenderung mengucilkan dan menuntut lebih dari
kemampuannya

Menurut Fitria (2009), faktor-faktor yang mempengaruhi proses


terjadinya harga diri rendah yaitu faktor predisposisi dan faktor presipitasi.

2.2.1. Faktor predisposisi Faktor predisposisi terjadinya harga diri rendah adalah
penolakan orang tua yang tidak realistis, kegagalan berulang kali, kurang
mempunyai tanggung jawab personal, ketergantungan pada orang lain
ideal diri yang tidak realistis.

2.2.2. Faktor presipitasi Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah biasanya
adalah hilannya sebagian tubuh, perubahan penampilan/bentuk
tubuh,perubahan peran, mengalami kegagalan serta menurunya
produktivitas.

Sementara menurut Purba, dkk (2008) gangguan harga diri rendah dapat
terjadi secara situasional dan kronik.Gangguan harga diri yang terjadi secara
situasional bisa disebabkan oleh trauma yang muncul secara tiba-tiba misalnya
harus dioperasi, mengalami kecelakaan, menjadi korban perkosaan, atau
menjadi narapidana sehingga harus masuk penjara. Selain itu, dirawat di rumah
sakit juga menyebabkan rendahnya harga diri seseorang diakibatkan penyakit
fisik, pemasangan alat bantu yang membuat klien tidak nyaman, harapan yang
tidak tercapai akan struktur, bentuk dan fungsi tubuh, serta perlakuan petugas
kesehatan yang kurang mengharagai klien dan keluarga. Sedangkan gangguan
harga diri kronik biasanya sudah berlangsung sejak lama yang dirasakan klien
sebelum sakit atau sebelum dirawat dan menjadi semakin meningkat saat
dirawat.
Menurut Peplau dan Sulivan dalam Yosep (2009) mengatakan bahwa
harga diri berkaitan dengan pengalaman interpersonal, dalam tahap
perkembangan dari bayi sampai lanjut usia seperti good me, bad me, not me,
anak sering dipersalahkan, ditekan sehingga perasaan amannya tidak terpenuhi
dan merasa ditolak oleh lingkungan dan apabila koping yang digunakan tidak
efektif akan menimbulkan harga diri rendah

Menurut Caplan, lingkungan sosial akan mempengaruhi individu,


pengalaman seseorang dan adanya perubahan sosial seperti perasaan
dikucilkan, ditolak oleh lingkungan sosial, tidak dihargai akan menyebabkan
stress dan menimbulkan penyimpangan perilaku akibat harga diri rendah.
Caplan (dalam Keliat 1999) mengatakan bahwa lingkungan sosial, pengalaman
individu dan adanya perubahan sosial seperti perasaan dikucilkan, ditolak oleh
lingkungan sosial, tidak dihargai akan menyebabkan stress dan menimbulkan
penyimpangan perilaku akibat harga diri rendah

2.3. Tanda dan gejala harga diri rendah Keliat (2009) mengemukakan beberapa
tanda dan gejala harga diri rendah adalah:

a.Mengkritik diri sendiri.

b.Perasaan tidak mampu.

c. Pandangan hidup yang pesimis.

d.Penurunan produkrivitas.

e. Penolakan terhadap kemampuan diri.

Selain tanda dan gejala tersebut, penampilan seseorang dengan harga


diri rendah juga tampak kurang memperhatikan perawatan diri, berpakaian
tidak rapi, selera makan menurun,tidak berani menatap lawan bicara, lebih
banyak menunduk, dan bicara lambat dengan nada suara lemah

Rentang Respon

Rentang Respon harga diri rendah(stuard dan sundeent 1998)


Respon adaptif Respon maladaptif

Aktualisasi diri Konsep diri + HDR Kekacauan identitas


Depersonalisasi

Dalam Purba (2008), ada empat cara dalam meningkatkan harga diri yaitu:

1) Memberikan kesempatan berhasil

2) Menanamkan gagasan

3) Mendorong aspirasi

4) Membantu membentuk koping

Harga diri meningkat bila diperhatikan/dicintai dan dihargai atau


dibanggakan.Tingkat harga diri seseorang berada dalam rentang tinggi sampai
rendah. Harga diri tinggi/positif ditandai dengan ansietas yang rendah, efektif
dalam kelompok, dan diterima oleh orang lain. Individu yang memiliki harga diri
tinggi menghadapi lingkungan secara aktif dan mampu beradaptasi secara efektif
untuk berubah serta cenderung merasa aman (Yoseph, 2009).

2. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

a. Pengkajian

Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses


keperawatan. Tahap pengkajian terdiri atas pengumpulan data dan
perumusan kebutuhan atau masalah klien. Adapun data yang diperoleh
dari klien dengan gangguan konsep diri : harga diri rendah yaitu:

1) Data Subjektif

Mengkritik diri sendiri/orang lain, perasaan tidak mampu, rasa bersalah,


perasaan negatif mengenai diri sendiri, klien mengatakan bersedih dan
kecewa, klien mengatakan pesimis dalam menghadpi kehidupan,
mengatakan hal-hal yang negatif tentang keadaan tubuhnya.

2) Data Objektif

Gangguan dalam berhubungan, pandangan bertentangan terhadap


penolakan kemampuan personal, menarik diri secara personal, menarik dir
secara sosial, menarik diri secara realitas, merusak diri sendiri dan orang
lain, produktivitas menurun,bengong dan putus asa.

Harga diri rendah merupakan karakteristik skizofrenia dimana pada lien


skizofrenia harus dikaji riwayat keluarga karena salah satu faktor yang berperan
serta bagi munculnya gejala tersebut adalah faktor genetik atau keturunan
(Hawari,2001).

Dari data yang muncul diatas dianalisa dan pada umumnya dapat
dirumuskan masalah keperawatan diantaranya yaitu:

a) Kerusakan interasi sosial

b) Harga diri rendah kronis

c) Koping individu tak efektif

Pohon Masalah

Kerusakan interaksi sosial akibat

HDRrendah
Harga diri core problem

Tidak efektifnya koping individu penyebab

b.Diagnosa Keperawatan

a) Kerusakan interaksi sosial.

b) Harga diri rendah kronis


c) Tidak efektifnya koping individu

c.Rencana Keperawatan

Rencana tindakan keperawatan terdiri dari tiga aspek yaitu tujuan umum, tujuan
khusus, dan rencana tindakan keperawatan ( Keliat, 2002, hal.13)

Tujuan Umum: Klien tidak mengalami harga diri rendah

Tujuan Khusus:

1) Klien dapat membina berhubungan saling percaya

Kriteria evaluasi :Ekspresi wajah bersahabat, menunjukkan rasa senang, ada


kontak mata, mau berjabat tangan dan menyebut nama, mau menjawab
salam, klien mau duduk berdampingan dengan perawat, mau mengutarakan
masalah yang dihadapi

Intervensi :Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip


komunikasi terapeutik: Sapa klien dengan ramah baik dengan verbal maupun
non verbal, perkenalkan diri dengan sopan, tanyakan nama lengkap klien dan
nama panggilan yang disukai klien, jelaskan tujuan pertemuan, jujur dan
menepati janji, tunjukkan sikap menerima klien apa adanya, beri perhatian
kepada kllien dan perhatikan kebutuhan dasar klien

Rasionalisasi : Hubungan saling percaya merupakan dasar untuk hubungan


interaksi selanjutnya.

2) Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki.

Kriteria Evaluasi : Daftar kemampuan yang dimiliki klien di RS, rumah, sekolah
dan tempat kerja., daftar positif keluarga klien, daftar positif lingkungan klien

Intervensi :Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien, buat
daftarnya.

Rasionalisasi:Diskusikan tingkat kemampuan klien seperti menilai realitas,


kontrol diri atau integritas ego diperlukan sebagai dasar asuhan
keperawatannya.Setiap bertemu klien dihindarkan dari memberi penilaian
negatif

Rasional : Reinforcement positif akan meningkatkan harga diri klien.


Utamakan memberi pujian yang realistik pada kemampuan dan aspek positif
klien.

Rasional : Pujian yang realistik tidak menyebabkan klien melakukan kegiatan


hanya karena ingin mendapatkan pujian.

3) Klien dapat menilai kemampuan yang digunakan

Kriteria evaluasi :Klien menilai kemampuan yang dapat digunakan di rumah


sakit, klien menilai kemampuan yang dapat digunakan dirumah

Intervensi Keperawatan :

a.Diskusikan dengan klien kemampuan yang masih digunakan selama sakit

Rasional : Diskusikan pada klien tentang kemampuan yang dimiliki adalah


prasyarat untuk berubah

b.Diskusikan kemampuan yang dapat dilanjutkan kemampuannya di rumah


sakit

Rasional : Pengertian tentang kemampuan yang dimiliki diri memotivasi


untuk tetap mempertahankan kemampuannya.

c.Berikan pujian

Rasional : Pujian dapat meningkatkan harga diri klien

4)Klien dapat menetapkan dan merencanakan kegiatan sesuai dengan kemampuan


yang dimiliki.

Kriteria Evaluasi :Klien memiliki kemampuan yang akan dilatih, klien mencoba,
susun jadwal harian

Intervensi Keperawatan :
a.Minta klien untuk memilih satu kegiatan yang mau dilakukan di rumah sakit.

Rasional : Klien adalah individu yang bertanggung jawab terhadap dirinya


sendiri

b.Beri pujian atas keberhasilan klien

Rasional : Sebagai motivasi tindakan yang akan dilakukan oleh klien

c.Diskusikan jadwal kegiatan harian atas kegiatan yang telah dilatih.Catatan :


ulangi untuk kemampuan lain sampai semuanya selesai

Rasional : Klien perlu bertindak secara realistis dalam kehidupannya.

d.Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap hari sesuai
kemampuan,

Rasional : Contoh peran yang dilihat klien akan memotovasi klien untuk
melaksanakan kegiatan.

5)Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi sakit dan kemampuanya.

Kriteria Evaluasi :

Klien melakukan kegiatan yang telah dilatih (mandiri, dengan bantuan atau
tergantung), klien mampu melakukan beberapa kegiatan mandiri

Intervensi Keperawatan :

a. Beri kesempatan pada untuk mencoba kegiatan yang telah direncanakan.

Rasional : Memberikan kesempatan kepada klien untuk tetap melakukan


kegiatan yang biasa dilakukan

b.Beri pujian atas keberhasilan klien

Rasional : Reinforcement positif dapat meningkatkan harga diri klien

c.Diskusikan kemungkinan pelaksanaan di rumah

Rasional : Dapat mengetahui perkembangan dan keaktifan klien dengan keluarga


6)Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada

Kriteria Evaluasi : Keluarga dapat memberi dukungan dan pujian, klien


termotivasi untuk melakukan therapi, keluarga memahami jadwal kegiatan
harian klien.

Intervensi Keperawatan :

a.Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat klien denga
harga diri rendah.

Rasional : Mendorong keluarga akan sangat berpengaruh dalam mempercepat


proses penyembuhan klien

b.Bantu keluarga memberikan dukungan selama klien dirawat

Rasional : Mempercepat proses penyembuhan

c.Jelaskan cara pelaksanaan jadwal kegiatan klien di rumah

Rasional : Meningkatkan peran serta keluarga dalam merawat kien dirumah.

d.Anjurkan memberi pujian pada klien setiap berhasil

Rasional : meningkatkan harga diri klien

d.Pelaksanaan

Pelaksanaan atau implementasi perawatan merupakan tindakan dari


rencana keperawatan yang disusun sebelumnya berdasarkan prioritas yang telah
dibuat dimana tindakan yang diberikan mencakup tindakan mandiri dan
kolaboratif. Pada situasi nyata sering impelmentasi jauh berbeda dengan rencana,
hal ini terjadi karena perawat belum terbiasa menggunakan rencana tertulis dalam
melaksanakan tindakan tindakan keperawatan yang biasa adalah rencana tidak
tertulis yaitu apa yang dipikirkan, dirasakan, itu yang dilaksanakan. Hal ini sangat
membahayakan klien dan perawat jika berakibat fatal dan juga tidak memenuhi
aspek legal. Sebelum melaksanakan tindakan yang sudah direncanakan, perawat
perlu memvalidasi dengan singkat apakah rencana perawatan masih sesuai dan
dibutuhkan klien sesuai kondisi saat ini. Setelah semua tidak ada hambatan maka
tindakan keperawatan boleh dilaksanakan. Pada saat akan dilaksanakan tindakan
keperawatan maka kontrak dengan klien dilaksanakan. Dokumentasikan semua
tidakan yang telah dilaksanakan beserta respon klien.

STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN

Masalah : Harga diri rendah

Pertemuan : I (satu)

FASE ORIENTASI

a. Salam Terapeutik

Selamat pagi pak. Nama saya .. biasa dipanggil . Saya Mahasiswa STIKES
Bulelengi. Saya Sekarang saya di sini dari jam 08.00-14.00 Wita utuk membantu
dan merawat Bapak. Nama Bapak siapa ? Senang dipanggil apa ?

b. Validasi

Bagaimana persaan Bapak hari ini ?Bagaimana tidurnya semalam ? Nyenyak ?


Apakah Bapak masih ingat mengapa Bapak dibawa kesini ?

c. Kontrak

Topic : Baiklah kalau begitu, bagaimana kalau kita berbincang-bincang tentang


hobi atau kegiatan yang Bapak sukai ?

Tempat : Mau dimana kita berbincang-bincang ?, Bagaimana kalau di ruangan ini.

Waktu : Mau berapa lama ? Bagaimana kalau 10 menit.

FASE KERJA

1. Sekarang Bapak Saya ajak Ngobrol-ngobrol ya! Bapak tidak usah


malu saya ngajak ngobrol, Bapak ungkapkan saja apa yang Bapak
Rasakan?
2. Tadi Bapak sudah menyebutkan nama lengkap dan nama panggilan
Bapak, terus umur Bapak berapa sekarang?

3. Bapak sudah berapa lama di sini?

4. Bapak berasal dari mana ?

5. Bapak ingat tidak, siapa yang mengajak Bapak kesini? Bagaimana


perasaan Bapak saat di bawa kesini?

6. Menurut Bapak, dibawa kesini karna apa?

7. Selama disini setiap hari apa saja yang Bapak lakukan?

8. Bagaimana perasaan Bapak saat melakukan kegiatan tersebut?

9. Kalau boleh tahu, hobi Bapak apa ?

10. Kegiatan apa yang sering Bapak lakukan dirumah ?

11. Apakah Bapak sering melakukan kegiatan tersebut ?

FASE TERMINASI

1. Evaluasi respon klien terhadap tindakan keperawatan.

a. Evaluasi Subyektif

Bagaimana perasaan Bapak setelah kita bercakap-cakap ?

b. Evaluasi Obyektif

- Klien mampu mengungkapkan atau mengulang kembali pembicaran

- Klien mampu mempertahankan kontrak

- Klien mau melakukan aktivitas yang sesuai dengan kemampuan


yang dimiliki.

2. Rencana Tindak Lanjut.


Pak kalau nanti ada yang mau Bapak ceritakan atau ditanyakan
kepada saya, Bapak bisa sampaikan saat kita bertemu lagi

3. Kontrak

Saya kira, sekian dulu perbincangan kita hari ini. Nanti kita
lanjutkan dengan membahas tentang kemampuan yang Bapak miliki
baik itu dirumah, di sini ataupun ditempat lain. Menurut Bapak kita
berbincang-bincang jam berapa ? bagaimana kalau jam 10 besok
setelah kegiatan rehabilitasi.

Dimana tempatnya ? Bagaimana kalau di kursi belakang.

STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN

Masalah : Harga diri rendah

Pertemuan : II (dua)

FASE ORIENTASI

a. Salam Terapeutik

Selamat pagi bapak? Bagaimana apakah bapak masih ingat dengan saya
yang kemarin dapat berbincang-bincang

b. Validasi

Bagus sekali, ternyata bapak masih ingat dengan saya, Bagaimana persaan
bapak hari ini ?apa bapak masih ingat topik yang akan kita bicarakan hari ini ?

d. Kontrak

Baiklah kalau begitu, bagaimana kalau kita berbincang-bincang tentang


kemampuan dan aspek positif yang bapak miliki.

Mau dimana kita berbincang-bincang ?Bagaimana kalau di kursi belakang.


Mau berapa lama ? Bagaimana kalau 15 menit.
FASE KERJA

- Apa yang biasa BAPAK lakukan atau kerjakan dirumah ?

- Sekarang kegiatan apa saja yang BAPAK lakukan disini ?

- Apa yang menarik dari kegiatan tersebut ?

- Apa ada kemampuan lain yang BAPAK.miliki ?

FASE TERMINASI

1. Evaluasi respon klien terhadap tindakan keperawatan.

a. Evaluasi Subyektif

Bagaimana perasaan BAPAK setelah kita bercakap-cakap ?

b. Evaluasi Obyektif

- Klien mampu mengungkapkan atau mengulang kembali pembicaran

- Klien mampu mempertahankan kontrak

- Klien mau melakukan aktivitas yang sesuai dengan kemampuan


yang dimiliki

- Klien mau tersenyum dan menganggukkan kepala

2. Rencana Tindak Lanjut

Baiklah, sekarang coba BAPAK ingat - ingat lagi kemampuan


lain yang BAPAK miliki yang belum kita bicarakan?

3. Kontrak

Saya kira, sekian dulu perbincangan kita hari ini. Nanti kita
akan membahas tentang kemampuan mana yang BAPAK miliki yang
masih dapat dilakukan di RS dan kemampuan yang dapat dilakukan
dirumah.
Kapan kita bisa berbincang- bincang lagi ? Bagaimana kalau
jam 10 besok? Kita mau berbincang- bincang dimana ? Bagaimana
kalau di ruangan ini. Mau berapa lama? bagaimana kalau 15 menit,
Apa Bapak setuju?

e. Evaluasi

Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan
keperawatan pada klien. Evaluasi dilaksanakan terus menerus pada respon klien
terhadap tindakan keperawatan. Evaluasi dilakukan perdiagnosa keperawatan
dengan menggunakan pendekatan SOAP sebagai pola pikir. Evaluasi yang dicapai
yaitu :

1). Klien tidak menarik diri dan mau berhubungan dengan orang lain

2). Klien dapat menunjukkan peningkatkan rasa harga diri

3). Klien dapat menggunakan mekanisme koping yang konstruktif


BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Setelah penulis melakukan pengkajian dan perawatan pada Tn. Y dengan


gangguan konsep diri : harga diri rendah di Ruang perkasa Rumah Sakit Jiwa
Daerah Klaten selama 2 minggu penulis dapat menarik kesimpulan bahwa dalam
malakukan perawatan jiwa sangat penting sekali membina hubungan saling
percaya dan juga membutuhkan kolaborasi yang baik dengan tenaga medis
(dokter dan perawata), keluarga dan juga lingkungan (tetangga dan masarakat)
terapeutik, agar semua maksud dan tujuan klien dirawat maupun perawat yang
merawat tercapai.

B. SARAN

1. Klien

- Libatkan klien dalam aktivitas positif

- Minum obat secara rutin dengan prinsip 5B

- Memahami aspek positif dan kemampuan yang dimilikinya

- Berlatih untuk berinteraksi dengan orang lain

2. Keluarga

- Mau dan mampu berperan serta dalam pemusatan kemajuan klien

- Membantu klien dalam pemenuhan aktivitas positif

- Menerima klien apa adanya

- Hindari pemberian penilaian negatif

3. Perawat

- Lebih mengingatkan terapi theraupetik terhadap klien


- Menyarankan keluarga untuk menyiapkan lingkungan dirumah

- Meningkatkan pemenuhan kebutuhan dan perawatan klien

- Memberi reinforcement
DAFTAR PUSTAKA

Maramis, W.F. (2005). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya : Airlangga

University Press

Townsend, Mary C. (1998).Diagnosa Keperawatan Pada Keperawatan Psikiatri

(Edisi 3). Jakarta : EGC

Stuart, G.W. dan Sundeen, S.J. ( 2006). Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta :

EGC

Suliswati. (2005). Konsep Dasar Keperewatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : EGC

Keliat, B.A. dan Akemat. (2005). Keperawatan Jiwa Terapi Aktivitas


Kelompok.

Jakarta : EGC

Keliat, B.A. (2002). Gangguan Konsep Diri Pada Klien Gangguan Jiwa. Jakarta :

EGC

Kaplan, M.D. dan Sadock,M.D. (1998). Sinopsis Psikiatri (Edisi 7). Jakarta : Bina

Rupa Aksara
ASKEP ISOLASI SOSIAL

I. Kasus (Masalah Utama)


Isolasi Sosial
Isolasi sosial adalah ketika seorang individu mengalami penurunan
atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain
disekitarnya pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan
tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain ( Keliat,
2011).
Townsend (1998 ) dalam Nita Fitria (2009) mengatakan isolasi sosial
merupakan suatu keadaan kesepian yang dialami seseorang karena orang
lain menyatakan sikap negatif dan mengancam.
Keadaan ini dapat menimbulkan perilaku tidak ingin berkomunikasi
dengan orang lain, lebih menyukai berdiam diri,menghindar dari orang
lain,dan kegiatan sehari-hari terabaikan (Kusumawati dan Hartono, 2010).
Menarik diri merupakan percobaan untuk menghindari interaksi
dengan orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain (Surya Direja,
2011).
Nurjanah (2004) menyatakan bahwa Isolasi sosial merupakan
pengalaman menyendiri dari seseorang dan perasaan segan terhadap orang
lain sebagai sesuatu yang negatif atau keadaan yang mengancam.

II. Proses Terjadinya Masalah (Dalam Bentuk Narasi)


a. Etiologi
Ada beberapa hal yang menyebabkan gangguan jiwa pada
prilaku menarik diri yaitu faktor predisposisi merupakan faktor
pendukung munculnya prilaku menarik diri faktor presipitasi yang
merupakan faktor pencetus munculnya prilaku menarik diri .
Faktor predisposisi
Menurut Stuart (2007) adapun faktor predisposisi yaitu:

a. Faktor tumbuh kembang


Pada masa tumbuh kembang individu, ada tugas
perkembangan yang harus dipenuhi agar tidak terjadi gangguan
dalam hubungan sosial, bila tugas-tugas dalam perkembangan
ini tidak terpenuhi akan menghambat fase perkembangan
selanjutnya misalnya dalam fase oral, apabila perkembangan
dalam membentuk rasa percaya diri tidak terpenuhi akan
mengakibatkan individu tersebut tidak percaya pada dirinya dan
orang lain.
b. Faktor komunikasi dalam keluarga
Gangguan komunikasi dalam keluarga merupakan faktor
pendukung untuk terjadimya gangguan dalam hubungan sosial
termasuk komuuikasi yang tidak jelas, ekspresi emosi yang tidak
tinggi dalam keluarga, pola asuh keluarga yang tidak
mengganjurkan anggota keluarga untuk berhhubungan diluar
lingkungan.
c. Faktor sosial budaya
Isolasi sosial atu mengasingkan diri dari lingkungan sosial
merupakan suatu faktor pendukung unutk terjadinya gangguan
dalam hubungan sosial. Hal ini disebabkan oleh norma-norma
yang dianut oleh keluarga yang salah, dimana setiap anggota
keluarga yang tidak produktif disingkan dari lingkungan
sosialnya. Misalnya pada usila.

d. Faktor biologis
Faktor keturunan juga merupakan faktor pendukung terjadinya
gangguan dalam hubungan sosial.

Faktor presipitasi
Beberapa pencetus terjadinya gangguan hubungan sosial yaitu:
a. Sosial budaya
Stress yang ditimbulkan oleh faktor sosial budaya ini antara lain:
keluarga yang labil, berpisah dengan orang terdekat dan
perceraian.
b. Hormonal
Gangguan dari fungsi kelenjar bawah otak (gland pituitari)
menyebabkan turunnya hormon FSH dan EH kondisi ini
terdapat pada klien skizoprenia.
c. Virus
HIV dapat menyebabkan tingkah laku psikotik.
d. Biologikal lingkungan sosial
Tubuh akan menggambarkan ambang toleransi seseorang
terhadap stress pada saat terjadi interaksi dengan stressor
lingkungan sosial.
e. Stressor psikologik
Yang lebih nyata adalah adanya kecemasan yang
berkepanjangan dan cukup berat dengan terbatasnya
kemampuan individu dalam menyelesaikan masalah tersebut
akan menyebabkan gangguan hubungan sosial.
Pada mulanya klien merasa dirinya tidak berharga lagi sehingga merasa
tidak aman dalam berhubungan dengan orang lain. Biasanya klien berasal
dari lingkungan yang penuh permasalahan, ketegangan, kecemasan dimana
tidak mungkin mengembangkan kehangatan emosional dalam hubungan
yang positif dengan orang lain yang menimbulkan rasa aman. Dunia
merupakan alam yang tidak menyenangkan, sebagai usaha untuk
melindungi diri, klien menjadi pasif dan kepribadiannya semakin kaku
(rigid). Klien semakin tidak dapat melibatkan diri dalam situasi yang baru.
Dan berusaha mendapatkan rasa aman tetapi hidup itu sendiri begitu
menyakitkan dan menyulitkan sehingga rasa aman itu tidak tercapai. Hal ini
menyebabkan klien akan mengembangkan rasionalisasi dan mengaburkan
realitas daripada mencari penyebab kesulitan serta menyesuaikan diri
dengan kenyataan. Konflik antara kesuksesan dan perjuangan untuk meraih
kesuksesan itu sendiri terus berjalan dan penarikan diri dari realitas diikuti
penarikan diri dari keterlibatan secara emosional dengan lingkungannya
yang menimbulkan kesulitan. Semakin klien menjauhi kenyataan semakin
kesulitan yang timbul dalam mengembangkan hubungan dengan orang lain.
(Sutrisno, 2008).

III. Rentang Respon


Kerusakan interaksi sosial adalah keadaan dimana seorang individu
berpartisipasi dalam kuantitas yang berlebihan atau tidak cukup atau
ketidakefektifan kualitas pertukaran sosial. Dalam Stuart dan Sundeen
disebutkan bahwa kerusakan interaksi sosial adalah satu gangguan
kepribadian yang tidak fleksibel, tingkah maladaptif dan mengganggu
fungsi individu dalam hubungan sosialnya.

RENTANG RESPON
R. Adaptif R. Maladaptif

Solitude Kesepian Manipulasi


Otonomi Menarik diri Impulsif
Kebersamaan Ketergantungan Narsisisme
Saling ketergantungan
(Stuart, 2007)

Keterangan :
1. Respon Adaptif
Respon adaptif adalah respon yang masih bisa diterima oleh
norma-norma sosial dan kebudayaan secara umum yang
berlaku dimasyarakat dimana individu dalam menjelaskan
masalahnya dalam batas normal.
a. Solitude (menyendiri) adalah respon yang dibutuhkan
seseorang untuk merenungkan apa yang telah dilakukan
di lingkungan sosialnya dan suatu cara untuk
mengevaluasi diri untuk menentukan masalah
selanjutnya.
b. Otonomi adalah kemampuan individu untuk
menentukan dan menyampaikan ide, pikiran, perasaan
dalam berhubungan sosial.
c. Kebersamaan (mutuality) adalah suatu kondisi dimana
individu mampu saling memberi dan menerima.
d. Saling ketergantungan (interdependency) adalah saling
ketergantungan antara individu dengan orang lain.
2. Diantara Respon Adaptif dan Maladaptif
Respon yang dialami oleh individu dan individu itu sendiri
memerlukan dukungan dan perhatian dari orang lain dalam
menyelesaikan masalah, apabila respon ini terjadi secara terus
menerus maka akan terjadi respon yang maladaptif.
a. Kesepian adalah individu merasa seorang diri dan tidak
ada orang lain yang memperhatikannya.
b. Menarik diri (withdrawal) adalah individu menemukan
kesulitan dalam membina hubungan yang intim dan
terbuka dengan orang lain.
c. Ketergantungan (dependence) adalah individu
mengalami kegagalan dalm mengembangkan diri dan
kemampuan untuk berfungsi secara sukses.
3. Respon Maladaptif
Respon maladaptif adalah respon yang diberikan individu
dalam menyelesaikan masalahnya menyimpng dari norma-
norma sosial dan kebudayaan suatu tempat.
a. Manipulasi adalah individu menganggap orang lain
sebagai objek untuk mencapai kebutuhannya, tidak
dapat membina hubungan social secara mendalam.
b. Impulsif adalah individu tidak mampu merencanakan
sesuatu, tidak mampu belajar dari pengalaman dan tidak
dapat diandalkan.
c. Narsisisme adalah individu yang memiliki harga diri
yang rapuh. Secara terus menerus harus mendapatkan
pujian, sikap yang egosentris dan marah jika orang lain
tidak mendukung.
IV. Psikofarmaka
a. Clorpromazine (CPZ,Largactile)

Indikasi untuk mensupresi gejala -gejala psikosa : agitasi, ansietas,

ketegangan, kebingungan, insomnia, halusinasi, waham, dan gejalagejala lain

yang bisanya terdapat pda penderita skizofrenia, manic depresif, gangguan

personalitas, psikosa involution, psikosa masa kecil. Kontra indikasi

sebaiknya tidak diberikan kepada klien dengan keadaan koma, keracunan

alkohol, barbiturat, atau narkotika dan penderita yang hipersensitif terhadap

derifat fenothiazine. Efek samping yang sering terjadi misalnya lesu dan

mengantuk, hipotensi orthostatik, mulut kering, hidung tersumbat, konstipasi,

amenorrhea pada wanita, hiperpireksia atau hipopireksia, gejala

ekstrapiramida. Intoksikasinya untuk penderita non psikosa dengan dosis yang

tinggi 15 menyebabkan gejala penurunan kesadaran karena depresi susunan

saraf pusat, hipotensi, ekstrapiramidal, agitasi, konvulsi, dan perubahan

gambaran irama EKG. Pada penderita psikosa jarang sekali menimbulkan

intoksikasi.

b. Haloperidol(Haldol,Serenace)

Indikasinya yaitu manifestasi dari gangguan psikotik, sindroma gillesde la

Tourette pada anak-anak dan dewasa maupun pada gangguan perilaku yang

berat pada anak -anak. Kontra indikasinya depresi sistem saraf pusat atau

keadaan koma, penyakit parkinson, hipersensitif terhadap haloperidol. Efek

samping yang sering adalah mengantuk, kaku, tremor, lesu, letih, gelisah,

gejala ekstrapiramidal atau pseudo parkinson. Efek samping yang jarang

adalah nausea diare, konstipasi, hipersalivasi, hipotensi, gejala gangguan


otonomik. Efek samping yang sangat jarang yaitu alergi, reaksi hematologis.

Intoksikasinya adalah bila klien memakai dalam dosis melebihi dosis

terapeutik dapat timbul kelemasan otot atau kekakuan, tremor, hipotensi,

sedasi, koma, depresi pernafasan.

c. Trihexiphenidyl(THP,Artane,Tremin)

Indikasinya untuk penatalaksanaan manifestasi psikosa khususnya gejala

skizofrenia. Kontra indikasinya pada depresi susunan saraf pusat yang hebat,

hipersensitif terhadap fluphenazine atau ada riwayat sensitif terhadap

phenotiazine. Intoksikasi 16 biasanya terjadi gejala-gejala sesuai dengan efek

samping yang hebat. Pengobatan over dosis; hentikan obat berikan terapi

simptomatis dan suportif, atasi hipotensi dengan levarterenol hindari

menggunakan ephineprine. Terapi Medis (Kaplan dan Sadock, 1997) Rang

paranoid atau dalam keadaan luapan katatonik memerlukan trankuilisasi.

Ledakan kekerasan yang episodic berespon terhadap lithium (Eskalith),

penghambatbeta, dan carbamazepine (Tegretol). Jika riwayat penyakit

mengarahkan suatu gangguan kejang, penelitian klinis dilakukan untuk

menegakkan diagnosis, dan suatu pemeriksaan dilakukan untuk memastikan

penyebabnya. Jika temuan adalah positif, antikonvulsan adalah dimulai, atau

dilakukan pembedahan yang sesuai (sebagai contohnya, pada masa serebral).

Jika kemarahan disebabkan oleh alcohol atau sebagi bagian dari gangguan

psikomotor pascakejang, tidur yang ditimbulkan oleh medikasi IV dengan

jumlah relative kecil dapat berlangsung selama berjam-jam. Saat terjaga,

pasien seringkali sepenuhnya terjaga dan rasional dan biasanya memiliki

amnesia lengkap untuk perilaku kekerasan.


V. A. Masalah Keperawatan dan Data yang Perlu Dikaji
a. Tanda dan gejala
Tanda dan gejala menarik diri dapat dilihat dan diketahui dengan
cara observasi dan wawancara. Dalam observasi dapat diketahui
ekspresi wajah kurang berseri, apatis (acuh terhadap lingkungan),
kurang spontan, tidak merawat diri dan tidak memperhatika
kebersihan diri. Tidak ada atau kurang komunikasi verbal.
Mengisolasi diri, tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan
sekitarnya, masukan makanan dan minuman terganggu aktifitas
menurun, kurang energi, rendah diri, sikap janin pada possi tidur,
retensi urine dan feses. Sedangkan pada wawancara, diarahkan pada
penyebab menarik diri dan perasaan klien (Keliat,2011).
b. Mekanisme Koping.
Mekanisme koping yang digunakan klien sebagai usaha mengatasi
kecemasan yang merupakan suatu kesepian nyata yang mengancam
dirinya. Mekanisme yang sering digunakan pada klien menarik diri
adalah Regresi, Represi dan isolasi.
Tanda tanda menarik diri dilihat dari beberapa aspek :
1) Aspek fisik :
Makan dan minum kurang
Tidur kurang atau terganggu
Penampilan diri kurang
Kebersihan kurang
2) Aspek emosi :
Bicara tidak jelas, merengek, menangis seperti anak kecil
Merasa malu, bersalah
Mudah panik dan tiba-tiba marah
3) Aspek sosial
Duduk menyendiri
Selalu tunduk
Tampak melamun
Tidak peduli lingkungan
Menghindar dari orang lain
Tergantung dari orang lain
4) Aspek intelektual
Putus asa
Merasa sendiri, tidak ada sokongan
Kurang percaya diri

c. Data yang perlu di kaji.


Masalah
NO Data Subyektif Data Obyektif
Keperawatan
1 Isolasi sosial Mengungkapkan Ekspresi wajah kosong
enggan berbicara Tidak ada kontak mata
dengan orang lain ketika diajak bicara
Klien tidak mau Suara pelan dan tidak
mengungkapkan jelas
perasaannya Menarik diri dari
hubungan sosial
Klien sering duduk
sendiri
Klien hanya berbicara
bila hanya ditanya,
jawaban singkat
2 Harga diri Mengungkapan ingin Tidak mau makan dan
rendah diakui jati dirinya tidak tidur
Mengungkapkan tidak Perasaan malu
ada lagi yang peduli Tidak nyaman jika jadi
Mengungkapkan tidak pusat perhatian
bisa apa-apa
Mengungkapkan
dirinya tidak berguna
Mengkritik diri sendiri
Pasien mengatakan
malu
Klien malu bertemu
dan berhadapan dengan
orang lain
3 Halusinasi Pasien mengatakan Klien tampak berbicara
mendengar suara untuk sendiri
menyuruh pergi Klien tampak
Pasien merasa menyondongkan
ketakutan karena kupingnya kearah suara
mendengar yang didengarnya
suara/melihat sesuatu
yang tidak ada

4 Defisit Mengungkapkan tidak Badan bau


perawatan diri pernah mandi Pakaian kotor
Mengungkapkan tidak Rambut dan kulit kotor
pernah menyisir rambut Kuku panjang dan kotor
Mengungkapkan tidak Gigi kotor dan mulut
pernah menggosok gigi bau
Mengungkapkan tidak Penampilan tidak rapi
pernah memotong kuku Tidak bisa
Mengungkapkan tidak menggunakan alat
pernah berhias mandi
Mengungkapkan tidak
bisa menggunakan alat
mandi/kebersihan diri
.
B. Pohon Masalah (gambar pohon masalah)

Resiko Perilaku Kekerasan

Gangguan sensori perseptual :


halusinasi

Isolasi Sosial Defisit Perawatan


(Core Problem) Diri

Gangguan Konsep Diri:


Harga Diri Rendah

IV. Diagnosa Keperawatan


a. Isolasi Sosial
b. Gangguan konseps diri: harga diri rendah
c. Gangguan sensori perseptual : halusinasi
d. Defisit perawatan diri
e. Risiko Perilaku Kekerasan
DAFTAR PUSTAKA

Keliat, Budi Anna. (2011). Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas. Jakarta: EGC.

Kusumawati & Hartono, 2010, Buku Ajar Keperawatn Jiwa, Jakarta : Salemba Merdika
Mocomedia.

Nita, Fitria. (2009). Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta: Salemba Medika.

Nurjanah, I. 2004. Pedoman Penanganan Pada Gangguan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika

Stuart, G. W. 2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa . Edisi 5. Jakarta. EGC.

Surya Direja, A. H. (2011). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika.
ASKEP DEFISIT PERAWATAN DIRI

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya, kesehatan dan kesejahteraan sesuai dengan kondisi kesehatannya.

Defisit perawatan diri merupakan suatu kondisi pada seseorang yang mengalami
kelemahan kemampuan dalam melakukan/melewati aktivitas perawatan diri secara mandiri.

1.2 Tujuan Penulisan

1. Untuk membahas tentang Defisit Perawatan Diri


2. Untuk Pengetahuan Dasar Praktek Lapangan
3. Untuk membahas Asuhan Keperawatan Jiwa dengan Defisit Perawatan Diri

1.3 Metode Penulisan

Dalam penulisan makalah ini menggunakan penulisan metode studi pustaka, diskusi
kelompok dan browsing internet.
BAB II
KAJIAN TEORITIS

II.1 Masalah Utama

Defisit Perawatan Diri


II.2 Proses Terjadinya Masalah
a. Pengertian
Perawatan diri adalah salah satu kemampuan dasar manusia dalam memenuhi
kebutuhannya guna memepertahankan kehidupannya, kesehatan dan kesejahteraan sesuai dengan
kondisi kesehatannya, klien dinyatakan terganggu keperawatan dirinya jika tidak dapat
melakukan perawatan diri ( Depkes 2000). Defisit perawatan diri adalah gangguan kemampuan
untuk melakukan aktifitas perawatan diri (mandi, berhias, makan, toileting) (Nurjannah, 2004).
Menurut Poter. Perry (2005), Personal hygiene adalah suatu tindakan untuk memelihara
kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan psikis. Kurang perawatan diri
adalah kondisi dimana seseorang tidak mampu melakukan perawatan kebersihan untuk dirinya (
Tarwoto dan Wartonah 2000).

b. Tanda dan Gejala :

Gangguan kebersihan diri, ditandai dengan rambut kotor, gigi kotor, kulit berdaki dan
bau, serta kuku panjang dan kotor
Ketidakmampuan berhias/berpakaian, ditandai dengan rambut acak-acakan, pakain kotor
dan tidak rapi, pakaian tidak sesuai, pada pasien laki-laki bercukur, pada pasien
perempuan tidak berdandan.
Ketidakmampuan makan secara mandiri, ditandai oleh ketidakmampuan mengambil
makan sendiri, makan berceceran, dan makana tidak pada tempatnya
Ketidakmampuan eliminasi sevara mandiri, ditandai dengan buang air besar atau buang
air kecil tidak pada tempatnya, dan tidak membersihakan diri dengan baik setelah
BAB/BAK

c. Etiologi

Menurut Tarwoto dan Wartonah, (2000) Penyebab kurang perawatan diri adalah sebagai
berikut :kelelahan fisik dan penurunan kesadaran.

Menurut Depkes (2000: 20) Tanda dan gejala klien dengan defisit perawatan diri adalah:
Faktor Predisposisi
Perkembangan : keluarga terlalu melindungi dan memanjakan klien sehingga
perkembangan inisiatif terganggu.
Biologis : penyakit kronis yang menyebabkan klien tidak mampu melakukan perawatan
diri.
Kemampuan realitas turun : klien dengan gangguan jiwa dengan kemampuan realitas
yang kurang menyebabkan ketidakpedulian dirinya dan lingkungan termasuk perawatan
diri.
Sosial : kurang dukungan dan latihan kemampuan perawatan diri lingkungannya. Situasi
lingkungan mempengaruhi latihan kemampuan dalam perawatan diri.

Faktor Presipitasi

Yang merupakan faktor presiptasi defisit perawatan diri yaitu : penurunan motivasi,
kerusakan kognisi atau perseptual, cemas, lelah/lemah yang dialami individu sehingga
menyebabkan individu kurang mampu melakukan perawatan diri.

d. Manifestasi Klinis

Menurut Depkes (2000) Tanda dan gejala klien dengan defisit perawatan diri adalah:

a) Fisik

Badan bau, pakaian kotor.


Rambut dan kulit kotor.
Kuku panjang dan kotor
Gigi kotor disertai mulut bau
Penampilan tidak rapi

b) Psikologis

Malas, tidak ada inisiatif.


Menarik diri, isolasi diri.
Merasa tak berdaya, rendah diri dan merasa hina.

c) Sosial

Interaksi kurang
Kegiatan kurang
Tidak mampu berperilaku sesuai norma.
Cara makan tidak teratur
BAK dan BAB di sembarang tempat
e. Pohon Masalah

Perawatan diri tidak efektif (BAB / BAK / PH / Nutrisi dan cairan )

Defisit Perawatan Diri

Penurunan motivasi dan kemampuan

f. Masalah keperawatan dan data yang perlu dikaji


a) Penurunan kemampuan dan motivasi merawat diri
Data subyektif
Klien mengatakan saya tidak mampu mandi, tidak bisa melakukan apa-
apa,
Data obyektif
Klien terlihat lebih kurang memperhatikan kebersihan, halitosis, badan
bau, kulit kotor
b) Isolasi Sosial
Data subyektif
Klien mengatakan saya tidak mampu, tidak bisa, tidak tahu apa-apa,
bodoh, mengkritik diri sendiri, mengungkapkan perasaan malu terhadap
diri sendiri.
Data obyektif
Klien terlihat lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih alternatif
tindakan, ingin mencederai diri/ingin mengakhiri hidup, Apatis, Ekspresi
sedih, Komunikasi verbal kurang, Aktivitas menurun, Posisi janin pada
saat tidur, Menolak berhubungan, Kurang memperhatikan kebersihan

c) Defisit Perawatan Diri

Data subyektif
Pasien merasa lemah
Malas untuk beraktivitas
Merasa tidak berdaya.
Data obyektif
Rambut kotor, acak acakan
Badan dan pakaian kotor dan bau
Mulut dan gigi bau.
Kulit kusam dan kotor
Kuku panjang dan tidak terawat

g. Diagnosa Keperawatan
a. Penurunan kemampuan dan motivasi merawat diri
b. Isolasi Sosial
c. Defisit Perawatan Diri : kebersihan diri, berdandan, makan, BAB/BAK

h. Rencana Tindakan Keperawatan


Diagnosa 1 : Penurunan kemampuan dan motivasi merawat diri
Tujuan Umum :Klien dapat meningkatkan minat dan motivasinya untuk
memperhatikan kebersihan diri

Tujuan Khusus :
TUK I :
Klien dapat melakukan kebersihan diri dengan bantuan perawat.
Intervensi
a. Berikan salam setiap berinteraksi.
b. Perkenalkan nama, nama panggilan perawat dan tujuan perawat berkenalan.
c. Tanyakan nama dan panggilan kesukaan klien.
d. Tunjukan sikap jujur dan menepati janji setiap kali berinteraksi.
e. Tanyakan perasaan dan masalah yang dihadapi klien.
f. Buat kontrak interaksi yang jelas.
g. Dengarkan ungkapan perasaan klien dengan empati.
h. Penuhi kebutuhan dasar klien.
TUK II :

klien dapat mengenal tentang pentingnya kebersihan diri.

Intervensi
a. Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi
terapeutik.
b. Diskusikan bersama klien pentingnya kebersihan diri dengan cara menjelaskan
pengertian tentang arti bersih dan tanda- tanda bersih.
c. Dorong klien untuk menyebutkan 3 dari 5 tanda kebersihan diri.
d. Diskusikan fungsi kebersihan diri dengan menggali pengetahuan klien terhadap
hal yang berhubungan dengan kebersihan diri.
e. Bantu klien mengungkapkan arti kebersihan diri dan tujuan memelihara
kebersihan diri.
f. Beri reinforcement positif setelah klien mampu mengungkapkan arti kebersihan
diri.
g. Ingatkan klien untuk memelihara kebersihan diri seperti: mandi 2 kali pagi dan
sore, sikat gigi minimal 2 kali sehari (sesudah makan dan sebelum tidur), keramas
dan menyisir rambut, gunting kuku jika panjang.

TUK III :
Klien dapat melakukan kebersihan diri dengan bantuan perawat.
Intervensi
a. Motivasi klien untuk mandi.
b. Beri kesempatan untuk mandi, beri kesempatan klien untuk mendemonstrasikan
cara memelihara kebersihan diri yang benar.
c. Anjurkan klien untuk mengganti baju setiap hari.
d. Kaji keinginan klien untuk memotong kuku dan merapikan rambut.
e. Kolaborasi dengan perawat ruangan untuk pengelolaan fasilitas perawatan
kebersihan diri, seperti mandi dan kebersihan kamar mandi.
f. Bekerjasama dengan keluarga untuk mengadakan fasilitas kebersihan diri seperti
odol, sikat gigi, shampoo, pakaian ganti, handuk dan sandal.

TUK IV :
Klien dapat melakukan kebersihan perawatan diri secara mandiri.
Intervensi
a. Monitor klien dalam melakukan kebersihan diri secara teratur, ingatkan untuk
mencuci rambut, menyisir, gosok gigi, ganti baju dan pakai sandal.

TUK V :
Klien dapat mempertahankan kebersihan diri secara mandiri.
Intervensi
a. Beri reinforcement positif jika berhasil melakukan kebersihan diri.

TUK VI :
Klien dapat dukungan keluarga dalam meningkatkan kebersihan diri.
Intervensi
a. Jelaskan pada keluarga tentang penyebab kurang minatnya klien menjaga
kebersihan diri.
b. Diskusikan bersama keluarga tentang tindakan yang telah dilakukan klien selama di
RS dalam menjaga kebersihan dan kemajuan yang telah dialami di RS.
c. Anjurkan keluarga untuk memutuskan memberi stimulasi terhadap kemajuan yang
telah dialami di RS.
d. Jelaskan pada keluarga tentang manfaat sarana yang lengkap dalam menjaga
kebersihan diri klien.
e. Anjurkan keluarga untuk menyiapkan sarana dalam menjaga kebersihan diri.
f. Diskusikan bersama keluarga cara membantu klien dalam menjaga kebersihan diri.
g. Diskusikan dengan keluarga mengenai hal yang dilakukan misalnya: mengingatkan
pada waktu mandi, sikat gigi, mandi, keramas, dan lain-lain.
Diagnosa 2 : Isolasi sosial

Tujuan Umum :klien tidak terjadi perubahan sensori persepsi

Tujuan Khusus :
TUK I :
Klien dapat membina hubungan saling percaya
Intervensi
a. Bina hubungan saling percaya: salam terapeutik, memperkenalkan diri, jelaskan
tujuan interaksi, ciptakan lingkungan yang tenang, buat kesepakatan dengan jelas
tentang topik, tempat dan waktu.
b. Beri perhatian dan penghaargaan: temani klien walau tidak menjawab.
c. Dengarkan dengan empati: beri kesempatan bicara, jangan terburu-buru,
tunjukkan bahwa perawat mengikuti pembicaraan klien.

TUK II :
Klien dapat menyebutkan penyebab menarik diri
Intervensi
a. Kaji pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri dan tanda-tandanya
b. Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan penyebab menarik
diri atau mau bergaul
a) Diskusikan bersama klien tentang perilaku menarik diri, tanda-tanda serta
penyebab yang muncul
b) Berikan pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan perasaannya

TUK III :
Klien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan dengan orang lain dan kerugian tidak
berhubungan dengan orang lain.
Intervensi
a) Kaji pengetahuan klien tentang manfaat dan keuntungan berhubungan dengan
orang lain
b) Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan tentang keuntungan
berhubungan dengan prang lain
c) Diskusikan bersama klien tentang manfaat berhubungan dengan orang lain
d) Beri reinforcement positif terhadap kemampuan mengungkapkan perasaan tentang
keuntungan berhubungan dengan orang lain
e) Kaji pengetahuan klien tentang kerugian bila tidak berhubungan dengan orang lain
f) Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan dengan orang lain
g) Diskusikan bersama klien tentang kerugian tidak berhubungan dengan orang lain
h) Beri reinforcement positif terhadap kemampuan mengungkapkan perasaan tentang
kerugian tidak berhubungan dengan orang lain

TUK IV :

Klien dapat melaksanakan hubungan sosial


Intervensi

a. Kaji kemampuan klien membina hubungan dengan orang lain


b. Dorong dan bantu kien untuk berhubungan dengan orang lain
c. Beri reinforcement positif terhadap keberhasilan yang telah dicapai
d. Bantu klien untuk mengevaluasi manfaat berhubungan
e. Diskusikan jadwal harian yang dilakukan bersama klien dalam mengisi waktu
f. Motivasi klien untuk mengikuti kegiatan ruangan
g. Beri reinforcement positif atas kegiatan klien dalam kegiatan ruangan
TUK IV :
Klien dapat mengungkapkan perasaannya setelah berhubungan dengan orang lain
Intervensi
a. Dorong klien untuk mengungkapkan perasaannya bila berhubungan dengan orang
lain
b. Diskusikan dengan klien tentang perasaan masnfaat berhubungan dengan orang
lain
c. Beri reinforcement positif atas kemampuan klien mengungkapkan perasaan
manfaat berhubungan dengan oranglain

Diagnosa 3 :
Defisit Perawatan Diri : kebersihan diri, berdandan, makan, BAB/BAK

Tujuan Umum :
Pasien tidak mengalami defisit perawatan diri
Tujuan Khusus :
TUK I
Pasien bisa membina hubungan saling percaya dengan perawat
Intervensi
Bina hubungan saling percaya dgn menggunakan prinsip komunikasi terapeutik :

a) Sapa pasiendengan ramah, baik verbal maupun non verbal


b) Perkenalkan diri dengan sopan
c) Tanyakan nama lengkap dan nama panggilan yang di sukai pasien
d) Jelaskan tujuan pertemuan
e) Jujur dan menepati janji
f) Tunjukkan sikap empati dan menerima pasien apa adanya
g) Beri perhatian dan perhatikan kebutuhan dasar pasien

TUK II

Pasien mampu melakukan kebersihan diri secara mandiri

Intervensi

Melatih pasien cara-cara perawatan kebersihan diri :

a) Menjelasan pentingnya menjaga kebersihan diri.


b) Menjelaskan alat-alat untuk menjaga kebersihan diri
c) Menjelaskan cara-cara melakukan kebersihan diri
d) Melatih pasien mempraktekkan cara menjaga kebersihan diri

TUK III

Pasien mampu melakukan berhias/ berdandan secara baik


Intervensi

Melatih pasien berdandan/berhias :

1. Untuk pasien laki-laki latihan meliputi :

a) Berpakaian
b) Menyisir rambut
c) Bercukur

2. Untuk pasien wanita, latihannya meliputi :

a) Berpakaian
b) Menyisir rambut
c) Berhias

TUK IV

Pasien mampu melakukan makan dengan baik

Intervensi

Melatih pasien makan secara mandiri :

a) Menjelaskan cara mempersiapkan makan


b) Menjelaskan cara makan yang tertib
c) Menjelaskan cara merapihkan peralatan makan setelah makan
d) Praktek makan sesuai dengan tahapan makan yang baik

TUK V

Pasien mampu melakukan BAB/BAK secara mandiri

Intervensi

Mengajarkan pasien melakukan BAB/BAK secara mandiri :

a) Menjelaskan tempat BAB/BAK yang sesuai


b) Menjelaskan cara membersihkan diri setelah BAB dan BAK
c) Menjelaskan cara membersihkan tempat BAB dan BAK
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Defisit perawatan diri adalah gangguan kemampuan untuk melakukan aktifitas perawatan
diri (mandi, berhias, makan, toileting)

Rentang respon defisit perawatan diri : pola perawatan diri seimbang, kadang perawatan
diri kadang tidak, tidak melakukan perawatan diri

Jenis-jenis perawatan diri : kurang perawatan diri : mandi/kebersihan, pakaian/berhias,


makan, toileting.

Menurut Tarwoto dan Wartonah (2000), Penyebab kurang perawatan diri adalah sebagai
berikut :

Kelelahan fisik
Penurunan kesadaran

Mekanisme koping berdasarkan penggolongannya dibagi menjadi 2 (Stuart & Sundeen,


2000) yaitu :

Mekanisme koping adaptif


Mekanisme koping maladaptif

3.2 Saran

Untuk pembuatan makalah ini kami menyadari masih banyak kekurangan, kami berharap
bagi pembaca untuk mengkritik guna untuk menyempurnakan makalah ini.Terima kasih
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. 2001. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Jakarta : EGC.
Depkes. 2000. Standar Pedoman Perawatan jiwa.Kaplan Sadoch. 1998. Sinopsis Psikiatri. Edisi
7. Jakarta : EGC
Keliat. B.A. 2006. Modul MPKP Jiwa UI . Jakarta : EGC
Keliat. B.A. 2006. Proses Keperawatan Jiwa. Jakarta : EGC
Nurjanah, Intansari S.Kep. 2001. Pedoman Penanganan Pada Gangguan Jiwa. Yogyakarta :
Momedia
Perry, Potter. 2005 . Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Jakarta : EGC
Rasmun S. Kep. M 2004. Seres Kopino dan Adaptasir Toors dan Pohon Masalah Keperawatan.
Jakarta : CV Sagung Seto
Stuart, Sudden, 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa edisi 3. Jakarta : EGC
Santosa, Budi. 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan Nanda, 2005 2006. Jakarta : Prima
Medika.
Stuart, GW. 2002. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Edisi 5. Jakarta: EGC.
Tarwoto dan Wartonah. 2000. Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta.
Townsend, Marry C. 1998. Buku Saku Diagnosa Keperawatan pada Perawatan Psikiatri. Edisi
3. Jakarta. EGC
KESAN DAN PESAN

1. Kesan
Sistem mengajar yang cukup baik dengan metode pemberian tugas dan
mempresentasikan dengan mengajak mahsiswa ikut diskusi untuk
memecahkan masalah ataupun pertanyaan-pertanyaan dari mahasiswa yang
melakukan presentasi dan kemudian dibahas bersama.sedikit canggung dalam
pemberian materi walaupun sebenarnya isi materi sudah berisi
2. Pesan
Mempertahankan teknik mengajarseperti sebelumnya mohon selanjutbya
lebih banyak memberikan latihan soal-soal agar pemahaman materi lebih
baik.

You might also like