You are on page 1of 17

Kasus Kepailitan Batavia Air

BAB 1: PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah


Menurut UU No. 37 tahun 2004 pasal 1 ayat (1), kepailitan adalah sita umum atas semua
kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah
pengawasan hakim pengawas. Dalam hal ini, debitur dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan
apabila ia memiliki dua atau lebih kreditur dimana debitur tersebut tidak bisa membayar lunas
utangnya setidaknya salah satu dari kreditur tersebut hingga utang-utangnya jatuh tempo.
Kepailitan bisa diajukan oleh debitur itu sendiri atau oleh salah satu dari krediturnya. Debitur
yang telah dinyatakan pailit sudah tidak memiliki hak lagi atas segala kekayaannya, dan hak atas
kekayaannya tersebut berpindah ke tangan sang kreditur. Pengurusan atau pemberesan harta
yang telah pailit tersebut dilakukan oleh kurator dengan diawasi oleh hakim pengawas.
Merupakan hal yang wajar apabila suatu perusahaan melaksanakan perjanjian utang
piutang untuk memenuhhi biaya operasional perusahaan. Apabila kewajiban mengembalikan
utang tersebut berjalan dengan lancar sesuai dengan perjanjian tersebut tentu tidak masalah.
Permasalahan akan timbul apabila perusahaan yang menjadi debitur mengalami kesulitan untuk
mengambalikan utangnya tersebut, yang mana ini akan berujung pada kepailitan. Kepailitan
adalah suatu kasus yang menandakan bahwa suatu debitur telah gagal melaksanakan operasinya.
Hal ini karena kewajiban debitur, yaitu pembayaran utang ke pihak ketiga, yang merupakan
prioritas pertama dalam struktur keuangan debitur tidak terlaksana dengan baik. Seiring dengan
berjalannya dinamika perekonomian Indonesia yang fluktuatif, semua pihak yang menjalankan
suatu usaha dihadapkan pada suatu tantangan baru, yaitu bagaimana menangani utang dan juga
bagaimana menghadapi piutang dari pihak lain. Dalam menghadapi hal ini, pemerintah telah
membuat suatu aturan yang memberikan pedoman mengenai bagaimana penyelesaian kasus
utang piutang yang berujung pada kepailitan, yang dituangkan dalam UU No. 37 tahun 2004.
Kasus kepailitan telah menimpa banyak perusahaan-perusahaan di Indonesia, diantaranya
Eastman Kadak Co. (Kodak), PT. Asuransi Jiwa Manulife Indonesia (Asuransi Manulife), PT.
Adam SkyConnection Airline (Adam Air), hingga PT. Metro Batavia, yang merupakan
perusahaan penerbangan maskapai udara Batavia Air. Dalam makalah ini, kita akan membahas
mengenai kasus kepailitan Batavia Air sebagai model kasus kepailitan di Indonesia.
2. Permasalahan
Disaat industri penerbangan Indonesia tengah mengalami pertumbuhan yang positif, ada
kabar menyedihkan mengenai kepailitan salah satu maskapai penerbangan Indonesia, yaitu
Batavia Air. Di tengah industri transportasi udara Indonesia yang sedang tumbuh dengan cepat,
Batavia Air justru terpuruk. Pasalnya, maskapai penerbangan ini dinyatakan pailit oleh
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat atas permohonan salah satu kreditur Batavia Air, yaitu
International Lease Finance Corporation (ILFC).
Batavia Air dinyatakan pailit sejak tanggal 30 Januari 2013 atas surat putusan Pengadilan
Niaga Jakarta Pusat No.77/pailit/2012/PN.NIAGA.JKT.PST. Akibatnya, Batavia Air berhenti
beroperasi sejak tanggal 31 Januari 2013. Kepailitan ini disebabkan oleh permohonan pengajuan
pailit Batavia Air oleh salah satu krediturnya, yaitu ILFC, lantaran utang Batavia Air terhadap
ILFC yang telah jatuh tempo pada 13 Desember 2012 sebesar US$ 4.68 juta. Permohonan pailit
itu diajukan oleh ILFC kepada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada tanggal 20 Desember 2012.
Selain dari ILFC, Batavia Air juga memiliki utang dari Sierra Leasing Limited (SLL). Utang
Batavia Air kepada SLL adalah sebesar US$ 4.94 juta dan jatuh tempo pada 13 Desember 2012
juga.
Proses kepailitan ini menyebabkan berbagai masalah mulai dari jumlah pesawat Batavia
Air yang semakin berkurang hingga tidak beroperasi sama sekali, dan bahkan kepailitan ini
memberikan dampak negatif kepada konsumen Batavia Air dimana mereka yang telah membeli
tiket disaat Batavia Air sedang mengalami proses putusan kepailitan tidak
medapatkan refund atau pengembalian uang atas tiket yang telah mereka beli.

BAB 2: PEMBAHASAN
1. Landasan Teori
Kepailitan, sesuai dengan pasal 1 ayat (1) UU No. 37 tahun 2004, adalah sita umum atas
semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di
bawah pengawasan hakim pengawas. Pengadilan yang berwenang dalam proses kepailitan suatu
perusahaan adalah Pengadilan Niaga. Menurut UU No. 37 tahun 2004 pasal 2, pihak yang dapat
mengajukan permohonan pailit yaitu
a) Debitur atau kreditur
b) Kejaksaan
c) Bank Indonesia, apabila debiturnya adalah Bank
d) Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam), apabila debiturnya adalah perusahaan efek, Bursa
Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, dan Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian
e) Menteri Keuangan, apabila debiturnya adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, Dana
Pensiun, dan BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik.
Suatu permohonan pailit yang diajukan oleh pihak-pihak diatas harus memenuhi
persyaratan yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) yaitu adanya utang yang jatuh tempo dan dapat
ditagih, dan adanya dua atau lebih kreditur. Dalam kepailitan, ada tiga jenis kreditur, yaitu:
a) Kreditur separatis, yaitu kreditur pemegang hak jaminan kebendaan, yang dapat bertindak
sendiri. Golongan kreditur ini tidak terkena akibat putusan pernyataan pailit, artinya hak-hak
eksekusi mereka tetap dapat dijalankan seperti tidak ada kepailitan debitur. Kreditur pemegang
gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, dan hipotek atau hak agunan atas kebendaan lainnya
merupakan karakteristik kreditur separatis,
b) Kreditur preferen, yaitu kreditur yang memiliki hak istimewa atau hak prioritas. Hak istimewa
mengandung makna hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang berpiutang
sehingga tingkatannya lebih tinggi daripada orang berpiutang lainnya.
c) Kreditur konkuren, yaitu kreditur yang harus berbagi dengan para kreditur lainnya secara
proporsional (pari passu), yaitu menurut perbandingan besarnya masing-masing tagihan, dari
hasil penjualan harta kekayaan debitur yang tidak dibebani dengan hak jaminan.
Pembayaran utang dengan prioritas paling utama adalah pembayaran utang kepada kreditur
separatis. Lalu, prioritas kedua adalah kepada kreditur preferan, dan yang terakhir adalah kepada
kreditur konkruen.
Suatu kepailitan tidak terjadi dalam suatu tahap yang mudah dan cepat, tetapi melalui
beberapa proses yang cukup panjang. Berikut adalah suatu proses kepailitan suatu debitur:
a) Permohonan pernyataan pailit diajukan kepada Pengadilan Niaga melalui panitera pengadilan
oleh penasehat hukum terdaftar,
b) Dilakukan penyitaan umum (sita jaminan) atas kekayaan debitur untuk menjamin piutang
kreditur,
c) Setelah pernyataan pailit ditetapkan, ditunjuk hakim pengawas dan kurator (pengurus dan
pelaksana kepailitan),
d) Setelah itu diadakan rapat verifikasi (pencocokan dan klarifikasi piutang) yang melibatkan
hakim pengawas, kurator, kreditur terkait, dan debitur,
e) Jika usul perdamaian debitur diterima (homologasi), kepailitan berakhir dan sisa tagihan yang
belum terbayar tidak dapat ditagih lagi,
f) Jika usul perdamaian ditolak, Pengadilan Niaga sekaligus menetapkan putusan pailit debitur dan
kekayaan debitur berada dalam keadaan insolvensi (debitur tidak mampu membayar utangnya
dan kekayaannya menjadi harta pailit),
g) Dalam waktu paling lama 5 (lima) hari sejak putusan pailit ditetapkan, kurator harus
mengumumnkannya dalam Berita Ngera RI dan dua surat kabar yang ditetapkan oleh hakim
pengawas,
h) Jika pihak terkait tidak mengusulkan kurator tertentu, Balai Harta Peninggalan (BHP) bertindak
sebagai kurator dalm proses kepailitan
i) Untuk kepentingan harta pailit, dapat dimintakan pembatalan perbuatan debitur sebelum putusan
pailit, yang merugikan kepentingan kreditur,
j) Apabila piutang kreditur tidak cukup terbayar, untuk sisanya, status kreditur separatis berubah
menjadi kreditur konkruen,
k) Terhadap putusan pailit dapat diajukan langsung kasasi ke Mahkamah Agung dan permohonan
peninjauan kembali (PK) apabila memenuhi syarat.
2. Kronologi Kepailitan Batavia Air
a) Peristiwa menjelang pailitnya Batavia Air
Utang ini bermula dari keinginan Batavia Air untuk mengikuti tender pelayanan haji dengan
menyewa (leasing) dua pesawat Airbus A330 dari ILFC. Namun, dari total kontrak leasing selama 9
tahun, sudah 3 tahun berturut-turut Batavia Air kalah tender di Kementerian Agama untuk mengangkut
jemaah haji. Dalam gugatan ILFC, Batavia Air memiliki tagihan sebesar USD 440rb di tahun pertama,
USD 470rb di tahun kedua, USD 500rb di tahun ketiga dan ke empat, dan USD 520rb di tahun kelima
dan keenam. Keseluruhan utang dari ILFC sebesar USD 4,68 juta ini memiliki tanggal jatuh tempo di 13
Desember 2012. Selain gugatan dari ILFC, Batavia Air juga memiliki utang sebesar USD 4,94 juta
kepada Sierra Leasing Limited yang jatuh tempo di 13 Desember 2012 juga. Analisa dari OSK Research
Sdn Bhd di bulan Oktober 2012 memperkirakan total utang Batavia Air sebesar USD 40juta. Sebagai
perusahaan swasta (private corporation) Batavia Air juga tidak memiliki kewajiban untuk memberikan
laporan keuangan nya secara publik, sehingga dalam hal ini juga sulit untuk memberikan menyimpulkan
kondisi keuangan Batavia Air.
Menurut Dudi Sudibyo, permasalahan ini diperparah dengan ketidak pedulian Batavia Air dalam
mendayagunakan kedua pesawat A330 ini untuk melayani rute-rute lain selama menganggur. Barangkali
yang juga kurang dipublikasikan di media cetak adalah adanya kenaikan persyaratan deposit Travel
Agent di Batavia Air per bulan April 2012. Persyaratan minimum deposit yang sebelumnya sebesar
7.500.000, diubah menjadi minimum 15.000.000 rupiah. Kenaikan deposit ini hanya ditunjang dengan
alasan untuk mengurangi ribet nya administrasi penambahan deposit.
Di bulan Oktober 2012, Air Asia telah mengajukan rencana untuk mengakuisisi Batavia Air senilai
USD 80juta. Rencana akuisisi ini menjadi polemik yang cukup populer di Indonesia karena kekuatiran
akan masuk nya pihak luar ke dalam industri penerbagan Nusantara. Namun tidak lama berselang,
rencana tersebut kandas dengan keputusan Air Asia untuk membatalkan transaksi tersebut dikarenakan
risiko bisnis dan penurunan pendapatan.
Menurut Dirjen Perhubungan Udara, Herry Bakti, seusai gagal nya akuisisi Batavia Air oleh Air
Asia, rute Batavia Air telah berkurang secara drastis, yang awal nya 64 rute, menjadi 44 rute saja. Namun
di tengah pengurangan rute ini, airlines domestik lain malah memperlihatkan penambahan rute yang
cukup signifikan, terutama Air Asia, yang mulai merambah ke rute-rute strategis Batavia Air, seperti
Semarang-Singapura yang sebelumnya hanya dilayani oleh Batavia Air.
Di penghujung akhir Januari 2013, Batavia Air mulai mengalami penurunan secara drastis,
terutama diakibatkan oleh tuntutan pailit oleh ILFC. Kepercayaan calon penumpang pun mulai berkurang,
banyak penumpang kuatir akan terulang nya peristiwa tutup nya Adam Air dan Mandala Air. Dalam
penutupan dua airlines tersebut, tiket yang sudah dibeli oleh penumpang banyak yg hilang tanpa
pengembalian uang. Beberapa hoax messages pun juga banyak beredar di BBM, terutama yang
menyangkut akan segera ditutup nya Batavia Air oleh Dirjen Perhubungan.
Tepat sehari menjelang keluarnya putusan pailit oleh pengadilan negeri Jaksel (30 Jan 2013),
sempat terjadi pengajuan pencabutan gugatan pailit oleh ILFC. Namun pengajuan pembatalan ini telah
ditolak langsung oleh Batavia Air dikarenakan Batavia Air sudah merasakan dampak penurunan
kepercayaan publik secara drastis. Batavia Air pun mengakui semua utang-utangnya tersebut. Dengan
penolakan ini maka putusan pengadilan negeri Jaksel berlanjut menjadi pailit bagi Batavia Air.
b) Proses penyelesaian pailit oleh kurator
Penyelesaian pailit Batavia Air telah diputuskan untuk diurus oleh empat kurator, antara lain
Turman M Panggabean, Permata Nauli Daulay, Andra Reinhard Sirait, dan Alba Sumahadi.
Kantor kurator bertempat di Ruko Cempaka Mas B-24, Jl. Letjen Suprapto, Jakarta Pusat.
Beberapa aktifitas yang sudah terjadwal ada sebagai berikut:
15 Feb 2013: Rapat Kreditur di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada pukul 09:00,
18 Feb 2013: Mengundang kreditur non-tiket dan agen untuk mengajukan tagihan
kreditur dan pajak di Kantor Kurator,
18 Feb 1 Maret 2013: Penumpang Batavia Air bisa muendaftarkan diri sebagai kreditur
Batavia Air,
14 Maret 2013: Verifikasi dan pencocokan piutang di kantor Kurator.
Namun untuk para pemegang tiket calon penumpang, salah satu Kurator Batavia Air (Turman
Panggabean) sudah menyatakan bawah penggantian tiket calon penumpang dapat dilakukan
dengan syarat ada investor baru. Jadi sepertinya sudah pupus harapan bagi pemegang tiket untuk
bisa mendapatkan uang refund atau pengembalian.
c) Akibat pailitnya Batavia Air bagi penumpang dan agen travel
Akibat putusan pailit Batavia, beberapa asosiasi travel agent sudah mencatatkan kerugian
mencapai milliaran rupiah. Asosiasi Travel Agen Indonesia (Asita) Jakarta dengan anggota
sekitar 1500 agen, memperkirakan dana deposit yang hilang mencapai 20 milliar rupiah.
Sementara itu, Astindo Sulawesi Tengah mencatat kerugian uang deposit mencapai 500 juta
rupiah.
Pasca penutupan Batavia Air, beberapa airlines telah menawarkan bantuan bagi
penumpang Batavia Air dengan booking ulang secara cuma-cuma. Tiger Airways (dan Mandala
Airlines) telah menawarkan rebooking gratis untuk rute-rute tertentu (CGK-SG, CGK-PKB,
CGK-Padang, dan CGK-SUB). Express Air juga mengakomodir penumpang Batavia Air untuk
rute Yogyakarta Pontianak secara gratis.
d) Langkah kedepan untuk mencegah terulangnya Batavia Air
Escrow Account untuk deposit travel agent dan tiket yang belum terpakai. Dengan
terjadinya kasus pailit Batavia Air, Astindo (Assosiasi Perusahaan Penjual Tiket Penerbangan)
mendesak Departemen Perhubungan untuk membuat peraturan baru dimana deposit travel agent
dan deposit tiket yang belum terpakai untuk ditempatkan dalam escrow account atau akun
penjaminan yang terpisah dari operasional perusahaan penerbangan. Sehingga dalam kasus-kasus
pailit seperti Batavia Air, deposit tersebut dapat diamankan secara terpisah.
Proposal yang kedua adalah kerja sama dari Asosiasi Travel yang telah ada, antara lain
Astindo, Asita, maupun assosiasi-assosiasi lain nya, untuk membuat sebuah early detection
system. Early detection ini dapat menggunakan beberapa indikasi, antara lain: pengurangan rute
penerbangan secara signifikan, utang yang mulai gagal bayar, analisa perbandingan uutang
dengan aset perusahaan, dll. Dengan fasilitas seperti ini, iuran tahunan assosiasi-assosiasi yang
terkadang berjumlah cukup besar menjadi lebih berguna.

3. Analisis Hukum / Yuridis


Proses pailit Batavia Air ini dilaksanakan atas suatu dasar hukum, yaitu UU No. 37 tahun
2004, yang mengatur tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang. Proses
awal pailit dimulai dari permohonan pailit yang diajukan oleh ILFC. Permohonan ini telah
memenuhi syarat dalam pasal 2 ayat (1) dan pasal 8 ayat (4) UU No. 37 tahun 2004, yaitu adanya
utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih, dan adanya kreditur lain. Karena itulah, permohonan
ini ditindaklanjuti oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Lalu, proses pembuktian juga memiliki
dasar hukum yang kuat, yaitu sesuai dengan pasal 164 HIR. Bukti tersebut yaitu berupa
pengakuan yang dilontarkan oleh Batavia Air atas utang-utang yang dimilikinya.
Tak ada kemampuan Batavia dalam membayar utangnya disebabkan karena force majeur, yaitu
kalah tender pelayanan transportasi ibadah haji dan umroh ini. Hal ini menjadi biang kerok tersendatnya
pembayaran. Karena, pesawat yang disewa tersebut diperuntukkan melayani penumpang yang hendak
melakukan ibadah haji dan umrah ke Mekah-Madinah. Sehingga, sumber pembayaran sewa pesawat
berasal dari pelayanan penumpang yang melakukan ibadah haji dan umrah. Akan tetapi, dalil force
majeur ini tidak dapat dibuktikan dan disetujui karena tidak tercantum dalam perjanjian utangnya dengan
ILFC. Perjanjian ini merupakan dasar hukum bagi pelaksanaan utang piutang kedua pihak tersebut.
Namun nyatanya, Batavia Air tidak dapat membuktikan dalil tersebut. Untuk itu, majelis hanya
mempertimbangkan apa yang dapat dibuktikan saja.
Kepailitan Batavia Air juga memiliki dasar hukum yang kuat, yaitu surat putusan Pengadilan Niaga
Jakarta Pusat No.77/pailit/2012/PN.NIAGA.JKT.PST tertanggal 30 Januari 2013.

4. Komentar
Proses pembuktian yang dilakukan terhadap Batavia Air terbilang mudah karena Batavia Air
sendiri mengakui utang-utangnya tersebut. Akan tetapi, alasan Batavia Air tidak bisa membayar utang-
utangnya karena force majeur ditolak oleh pengadilan. Lalu, ketika dilakukan verivikasi jumlah utang,
terdapat perbedaan antara jumlah utang Batavia Air menurut ILFC dan SLL. Pada akhirnya, perbedaan
jumlah utang tersebut tidak menghalangi dijatuhkannya putusan pernyataan pailit dikarenakan hakim
hanya melihat fakta adanya pengakuan utang. Apabila nantinya terdapat perbedaan jumlah utang, maka
dapat diselesaikan oleh kurator pada masa pencocokan utang.
Pemberhentian operasi Batavia Air ini menimbulkan tanda tanya dari berbagai pihak, salah
satunya adalah situs hukumonline.com. Ketika ditanya hukumonline.com untuk belajar dari
kasus Telkomsel agar tetap beroperasi, Raden Catur Wibowo, kuasa hukum Batavia Air,
mengatakan bahwa kasus tersebut berbeda. Pasalnya, industri penerbangan tidak sama dengan
industri telekomunikasi. Akibat dari permohonan pailit ini, semua pemilik pesawat telah menarik
pesawat-pesawatnya, Alhasil, Batavia hanya memiliki 14 pesawat yang diberdayakan. Dan itu
sangat berat hanya mengoperasikan 14 pesawat. Kalau sudah ditarik, apa yang mau kita
operasikan, pungkas Catur usai persidangan.
Menurut Suharto Abdul Majid, Ketua Forum Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), kepailitan
Batavia Air dinilai mencurigakan. Ada dua poin penting mengenai kecurigaannya terhadap kepailitan
Batavia Air. Yang pertama, berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan, setiap perusahaan penerbangan diwajibkan memiliki dana cadangan yang memadai.
Dalam hal ini berarti bahwa dalam struktur keuangan maskapai penerbangan ada bank garansi yang
menjamin. Suharto menuturkan, dengan adanya garansi tersebut, jika terjadi sesuatu seperti kepailitan,
sudah ada jaminan bank yang dapat melunasi utang perusahaan penerbangan. Ia yakin Batavia Air
memiliki dana cadangan. Tetapi nyatanya, kasus kepailitan Batavia Air tidak dapat dihindari. Lalu yang
kedua, kepailitan Batavia Air ini terbilang tiba-tiba. Menurut Suharto, jangka waktu penyelesaian utang
Batavia Air tergantung kemauan perusahaan penerbangan itu. Suharto mengatakan, jangka waktu
penyelesaian utang bisa dilakukan dalam satu bulan, bahkan satu tahun. "Peluang sengaja dipailitkan,
bisa saja," kata Suharto.
Terlepas dari semua persepsi dan dugaan yang telah diarahkan kepada kasus kepailitan Batavia
Air, nyatanya kasus kepailitan Batavia Air ini telah menjadi suatu luka dalam industri transportasi udara di
Indonesia yang tidak dapat dihindari. Untuk itu, perlu dilakukan perbaikan sistem keuangan maskapai
penerbangan, yang harus dimulai dari regulasi oleh pemerintah.

5. Kesimpulan Kasus
Dengan adanya putusan dari Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, yaitu berupa surat putusan
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat No.77/pailit/2012/PN.NIAGA.JKT.PST tertanggal 30 Januari 2013, maka
secara hukum PT. Metro Batavia, yang merupakan perusahaan maskapai penerbangan Batavia Air,
dipailitkan. Dan mulai berhenti beroperasi sejak tanggal 31 Januari 2013 pukul 00:00, sesuai dengan
ketentuan dalam UU No. 37 tahun 2004 pasal 24 ayat (2).

BAB 3: PENUTUP
1. Kesimpulan Atas Materi Bahasan
Kepailitan bisa saja menimpa setiap pihak atas kelalaiannya dalam mengoperasikan dana
pinjaman dari krediturnya. Proses menuju kepailitan tersebut dimulai dari permohonan yang
diajukan kepada Pengadilan Niaga, hingga ketok palu yang menandakan bahwa suatu debitur
dinyatakan pailit. Kepailitan menyebabkan berbagai masalah dan kerugian. Kerugian utama
dirasakan oleh debitur karena aset-aset yang dimilikinya akan dinyatakan insolvensi dan pada
akhirnya akan dieksekusi oleh bank. Kerugian juga dialami oleh kreditur dimana bisa saja
piutang-piutangnya tidak tertagih secara penuh. Lalu, kepailitan terkadang juga merugikan pihak
konsemen dari debitur, seperti yang dialami oleh calon penumpang Batavia Air.

2. Saran
Dalam menghindari terjadinya kepailitan perusahaan-perusahaan di Indonesia, terutama
industri penerbangan udara, perlu adanya campur tangan pemerintah dalam hal regulasi struktur
keuangan perusahaan, misalnya peraturan mengenai jumlah dana cadangan yang harus dimiliki
perusahaan. Lalu, pemerintah juga harus memiliki instrumen yang kuat untuk menilai kinerja
perusahaan, misalnya melalui pembentukan tim khusus untuk mengevaluasi laporan keuangan
yang masuk dari perusahaan. Hal ini karena, bisa saja laporan keuangan yang dibuat oleh suatu
perusahaan berbeda-beda tergantung dari kebutuhannya. Lalu, menurut Suharto, pemerintah
harus memperketat pengawasan terhadap kinerja keuangan atau aspek bisnis perusahaan
penerbangan. Suharto pun menyarankan Kementerian Perhubungan untuk menyusun kriteria
kesehatan keuangan perusahaan penebangan, sehingga secara dini bisa diketahui indikasi ke arah
kebankrutan maskapai.
Hal ini dilaksanakan agar kasus kepailitan perusahaan-perusahaan di Indonesia, terutama
maskapai penerbangan bisa dicegah dan tidak sampai terjadi.

2
1. Sumber website
- http://splashurl.com/p2ld2nu
- http://splashurl.com/nkkuq9k
- http://splashurl.com/o6gd7jv
- http://splashurl.com/nppnx6e
- http://splashurl.com/pelgtrg
- http://splashurl.com/ok73fxf
- http://splashurl.com/nzubcwm
BAB I

PENDAHULAN

Batavia Air telah memulai bisnis di Indonesia lebih dari dua puluh tahun. Dimulai dari
usaha travel agent dan tumbuh menjadi usaha charter angkutan udara. Batavia Air berdiri pada
tahun 2001. Kemudian pada tahun 2002, Batavia Air memperoleh Sertifikasi sebagai Operator
Penerbangan. Dengan pengalaman di bidang usaha biro perjalanan dan industri angkutan udara,
dan didukung dengan armada yang dapat dipercaya disertai sumber daya manusia yang handal,
kami percaya dan optimis dapat bertahan didalam melaksanakan kompetisi angkutan udara.

Namun di awal tahun 2013 Seperti yang sudah diberitakan pada berbagai media bahwa
Batavia Air telah dinyatakan pailit karena tak mempu melunasi utang-utang dalam jutaan Dollar.
Memang tak dapat dipungkiri bahwa penggunaan utang sebagai modal operasional atau pun
ekspansi usaha merupakan salah satu hal yang dapat dilakukan oleh lembaga atau perusahaan.
Namun jangan lupa bahwa menggunakan utang diibaratkan memiliki dua bentuk yakni pedang
bermata dua. Untuk pembahasan selanjutnya akan diarahkan pada aplikasi utang sebagai salah
satu sumber pendanaan perusahaan.

Dalam bidang keuangan terdapat dua bentuk pendanaan yakni yang bersumber dari
internal perusahaan dan eksternal perusahaan. Internal perusahaan seperti laba ditahan,
keuntungan dan lain-lainnya. Sedangkan ekternal perusahaan dapat berupa utang, obligasi,
penjualan saham dan lain-lainnya. Namun dala tulisan ini akan emmfokuskan pada utang yang
mana diduga merupakan salah satu penyebab pailitnya Batavia Air. Untuk memperjelas bahwa
menumpuknya utang oleh Batavia Air karena ketika jatuh tempo pelunasan utang, yang terjadi
adalah ketidakmampuan. Pertanyaannya adalah mengapa tidak mampu?

Dalam aplikasi utang sebagai pendanaan biasanya diikuti juga dengan analisis tentang
kemampuan melunasi serta kredibilitas sang pengutang. Dalam hal ini, menumpuknya utang
mungkin saja disebabkan lemahnya aspek manajemen keuangan dalam tubuh Batavia Air.
Karena bagaimana pun kasus pailitnya Batavia Air diduga disebabkan oleh utang sehingga
menimbulkan pertanyaan bagaimana proses persetujuan untuk berutang hingga pencairan dana
utang tersebut? Apakah melalui analisis komprehensif bisnis ataukah tidak? Dalam hal ini hanya
pihak interen perusahaan Batavia Air yang mampu menjawabnya.

Namun apabila dikaji dari perspektif keuangan maka pailitnya Batavia Air
mendeskripsikan pengelolaan keuangan yang kurang bagus yang mana dapat terindikasi dari
kemampuan menghasilkan nilai lebih dari utang atau biasanya disebut sebagai cost lebih besar
dari benefit. Hal ini dapat terjadi mungkin saja disebabkan telaah kondisi bisnis serta sense of
crisis pihak manajemen Batavia Air mengalami kendala. Karena bagaimana punketika membuat
keputusan untuk berutang haruslah memperkirakan kemampuan untuk melunasi serta
kemampuan memprediksi trens pasar untuk kepentingan bisnis.

BAB II

PEMBAHASAN

Penutupan Batavia Air pada tanggal 30 Januari merupakan salah satu kejadian yang
paling menyedihkan bagi industri penerbangan Indonesia. Di tengah pertumbuhan transportasi
udara yang cukup tinggi di Indonesia, Batavia Air malah menjadi terpuruk. Permohonan pailit
Batavia Air diajukan oleh International Lease Finance Corporation (ILFC) kepada Pengadilan
Niaga Jakarta Pusat.

1. Penyebab Utama Putusan Pailit Batavia Air

Keputusan pailit PT. Metro Batavia disebabkan oleh utang sebanyak USD 4,68 juta yang
sudah lewat jatuh tempo namun tidak kunjung di bayar. Tuntutan pailit ini telah diajukan
semenjak 20 Desember 2012 dan diputuskan pada tanggal 30 Januari 2013.

Hutang ini bermula dari keinginan Batavia Air untuk mengikuti tender pelayanan haji
dengan menyewa (leasing) dua pesawat Airbus A330 dari ILFC. Namun, dari total kontrak
leasing selama 9 tahun, sudah 3 tahun berturut-turut Batavia Air kalah tender di Kementerian
Agama untuk mengangkut jemaah haji.
Dalam gugatan ILFC, Batavia Air memiliki tagihan sebesar USD 440rb di tahun pertama,
USD 470rb di tahun kedua, USD 500rb di tahun ketiga dan ke empat, dan USD 520rb di tahun
kelima dan keenam. Keseluruhan hutang dari ILFC sebesar USD 4,68 juta ini memiliki tanggal
jatuh tempo di 13 Desember 2012.
Selain gugatan dari ILFC, Batavia Air juga memiliki utang sebesar USD 4,94 juta kepada
Sierra Leasing Limited yang jatuh tempo di 13 Desember 2012 juga. Analisa dari OSK Research
Sdn Bhd di bulan Oktober 2012 memperkirakan total utang Batavia Air sebesar USD 40juta.
Sebagai perusahaan swasta (private corporation) Batavia Air juga tidak memiliki
kewajiban untuk memberikan laporan keuangan nya secara publik, sehingga dalam hal ini juga
sulit untuk memberikan menyimpulkan kondisi keuangan Batavia Air. Dari kasus pailitnya
Batavia Air dapat dipahami bahwa ada celah pemasukan dan pengeluaran serta bias akan potensi
bisnis bahwa semua itu tidak pasti. Oleh karena itu, pemanfaatan celah pasar yang diharapkan
oleh pihak manajemen Batavia Air tidak berjalan sesuai rencana. Dengan demikian berpijak pada
ulasan sebelumnya terdapat beberapa hal yang dapat diambil hikmahnya dari kasus pailitnya
Batavia Air, yakni:

a. Sense of crisis

Alasan pertama dari sense of crisis yakni pihak manajerial tidak mampu memahami bahwa
kondisi bisnis saat ini tidak pasti, oleh karena itu kepekaan dan ketanggapan bisnis perlu
diperhatikan. Dalam aplikasi penggunaan utang sebagai sumber pendanaan maka langkah
pertama yang harus ditelaah secara mendalam adalah kemampuan dan kondisi pemasukan bisnis.
Sampai di sini dapat ditarik benarng merah bahwa sense of crisis perlu mendapatkan perhatian
serius dari perusahaan-perusahaan yang berkeinginan bertahan pada kondisi persaingan yang
tajam serta penuh ketidakpastian. Lanjut bahwa apabila perusahaan memiliki sense of crisis
maka pihak manajerial perusahaan dapat bersikap dengan tepat sebelum bahaya itu terjadi.
Dalam kasus Batavia Air, sudah terjadi goncangan barulah mulai memikirkan solusi untuk
menyelesaikannya. Tentu saja hal tersebut terlambat dan ebrakhir dengan pailit.

b. GCG

Seperti yang diketahui bahwa penerapan tata kelola perusahaan yang baik saat ini tidak dapat
diabaikan seperti waktu-waktu sebelumnya dan memang hal itu benar adanya karena melalui tata
kelola yang baiklah akan memudahkan proses operasionalisasi dan perbaikan secara kontinyu.
Dalam konteks pailitnya Batavia Air perlu mendapatkan perhatian untuk meningkatkan tata
kelola perusahaan yang baik.

c. Lemahnya analis C/B

Analisis cost benefit sangat penting ketika suatu perusahaan hendak membuat keputusan
menggunakan utang sebagai sumber pendanaan. Karena dari analisis C/B inilah akan membantu
memahami kondisi perusahaan dengan lebih baik. Dalam arti akan membuka cakrawala kekuatan
melunasi utang serta bagaimana keuntungan lainnya apabila mau menggunakan utang. Dalam
konteks Batavia Air ada indikasi bahwa analisis C/B belumlah dilakukan sepenuhnya sehingga
analisis utang diabaikan dan mengalami utang yang berlebihan, atau dengan kata lain mengalami
kekurangan kemampuan melunasi utang.

d. Harga

Harga memang sangat peka oleh konsumen karena konsumen cenderung lebih memilih harga
yang murah. Dan hal itu memang normal karena lebih kecil jumlah uang untuk mendapatkan
suatu barang maka akan semakin baik adanya. Hanya saja dalam konteks Batavia Air, untuk
menunjang keberlangsungan arus kas masuk membutuhkan lebih dari hanya sekedar bersaing
menggunakan harga sebagai ujung tombak. Dalam arti membutuhkan aspek lainnya selain harga
guna memperkuat arus kas masuk sehingga laba ditahan pun dapat meningkat, dan apabila
kondisi itu terus berlangsung akan meningkatkan kemampuan melunasi utang.

e. Gunakan sumber pendanaan berimbang

Maksudnya adalah bagaimana menggunakan sumber pembiayaan atau kombinasi yang sehat dari
dana internal dan dana ekternal. Kasus pailitnya Batavia Air mengindikasikan penggunaan utang
yang berelbihan tanpa analisis yang mendalam. Oleh karena itu gunakan persentase dana internal
dan eksternal yang bijak yang mana terindikasi dari tidak jangan menggunakan utang sebagai
modal utama operasionalisasi. Memang benar bahwa ada juga perusahaan yang menggunakan
utang sebagai sumber utama pendanaan yakni perusahaan-perusahaan yang berbisnis dalam
lang[angan bisnis perbankan. Nah dalam hal ini dapat dilihat bahwa karakteristik jenis industri
dimana Batavia Air beroperasionaliasi memiliki perbedaan karakter dengan industri perbankan
sehingga sekali lagi persentase penggunaan utang sebagai sumber pendanaan haruslah benar-
benar dianalisis secara mendalam. Sebaiknya jangan melebihi dari 40% dari total aset yang
dimiliki sehingga ketika terjadi goncangan keuangan masih berpeluang untuk menghasilkan aset.

2. Urutan Peristiwa Menjelang Pailit nya Batavia Air

Sesuai dengan yang sudah diberitakan sebelumnya, tuntutan hutang Batavia Air bermula
dari keikut sertaan nya dalam tender haji di tahun 2009. Menurut Dudi Sudibyo, permasalahan
ini diperparah dengan ketidak pedulian Batavia Air dalam mendayagunakan kedua pesawat
A330 ini untuk melayani rute-rute lain selama menganggur.
Barangkali yang juga kurang dipublikasikan di media cetak adalah adanya kenaikan
persyaratan deposit Travel Agent di Batavia Air per bulan April 2012. Persyaratan minimum
deposit yang sebelumnya sebesar 7.500.000, diubah menjadi minimum 15.000.000 rupiah.
Kenaikan deposit ini hanya ditunjang dengan alasan untuk mengurangi ribet nya administrasi
penambahan deposit.

Di bulan Oktober 2012, Air Asia telah mengajukan rencana untuk mengakuisisi Batavia
Air senilai USD 80juta. Rencana akuisisi ini menjadi polemik yang cukup populer di Indonesia
karena kekuatiran akan masuk nya pihak luar ke dalam industri penerbagan Nusantara. Namun
tidak lama berselang, rencana tersebut kandas dengan keputusan Air Asia untuk membatalkan
transaksi tersebut dikarenakan risiko bisnis dan penurunan pendapatan4.
Menurut Dirjen Perhubungan Udara, Herry Bakti, seusai gagal nya akuisisi Batavia Air
oleh Air Asia, rute Batavia Air telah berkurang secara drastis, yang awal nya 64 rute, menjadi 44
rute saja. Namun di tengah pengurangan rute ini, airlines domestik lain malah memperlihatkan
penambahan rute yang cukup signifikan, terutama Air Asia, yang mulai merambah ke rute-rute
strategis Batavia Air, seperti Semarang-Singapura yang sebelumnya hanya dilayani oleh Batavia
Air.
Di penghujung akhir Januari 2013, Batavia Air mulai mengalami penurunan secara
drastis, terutama diakibatkan oleh tuntutan pailit oleh ILFC. Kepercayaan calon penumpang pun
mulai berkurang, banyak penumpang kuatir akan terulang nya peristiwa tutup nya Adam Air dan
Mandala Air. Dalam penutupan dua airlines tersebut, tiket yang sudah dibeli oleh penumpang
banyak yg hilang tanpa pengembalian uang. Beberapa hoax messages pun juga banyak beredar di
BBM, terutama yang menyangkut akan segera ditutup nya Batavia Air oleh Dirjen
Perhubungan6.
Tepat sehari menjelang keluarnya putusan pailit oleh pengadilan negeri Jaksel (30 Jan
2013), sempat terjadi pengajuan pencabutan gugatan pailit oleh ILFC. Namun pengajuan
pembatalan ini telah ditolak lansung oleh Batavia Air dikarenakan Batavia Air sudah merasakan
dampak penurunan kepercayaan publik secara drastis. Dengan penolakan ini maka putusan
pengadilan negeri Jaksel berlanjut menjadi pailit bagi Batavia Air.

3. Akibat Bangkrutnya Batavia Air terhadap penumpang dan Agen Travel


Akibat putusan pailit Batavia, beberapa asosiasi travel agent sudah mencatatkan kerugian
mencapai milliaran rupiah. Asosiasi Travel Agen Indonesia (Asita) Jakarta dengan anggota
sekitar 1500 agen, memperkirakan dana deposit yang hilang mencapai 20 milliar rupiah.
Sementara itu, Astindo Sulawesi Tengah mencatat kerugian uang deposit mencapai 500 juta
rupiah.
Pasca penutupan Batavia Air, beberapa airlines telah menawarkan bantuan bagi
penumpang Batavia Air dengan booking ulang secara cuma-cuma. Tiger Airways (dan Mandala
Airlines) telah menawarkan rebooking gratis untuk rute-rute tertentu (CGK-SG, CGK-PKB,
CGK-Padang, dan CGK-SUB)9. Express Air juga mengakomodir penumpang Batavia Air untuk
rute Yogyakarta Pontianak secara gratis.
4. Proses Penyelesaian Pailit oleh Kurator

Penyelesaian pailit Batavia Air telah diputuskan untuk diurus oleh empat kurator, antara
lain Turman M Panggabean, Permata Nauli Daulay, Andra Reinhard Pasaribu, dan Alba
Sumahadi. Kantor kurator bertempat di Ruko Cempaka Mas B-24, Jl. Letjen Suprapto, Jakarta
Pusat.

Beberapa aktifitas yang sudah terjadwal ada sebagai berikut:


15 Feb 2013 Rapat Kreditur di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada pukul 09:00
18 Feb 2013 Mengundang kreditur non-tiket dan agen untuk mengajukan tagihan kreditur dan
pajak di Kantor Kurator.
18 Feb 1 Maret 2013 Penumpang Batavia Air bisa muendaftarkan diri sebagai kreditur Batavia
Air
14 Maret 2013 Verifikasi dan pencocokan piutang di kantor Kurator
Namun untuk para pemegang tiket calon penumpang, salah satu Kurator Batavia Air
(Turman Panggabean) sudah menyatakan bawah penggantian tiket calon penumpang dapat
dilakukan dengan syarat ada investor baru. Jadi sepertinya sudah pupus harapan bagi pemegang
tiket untuk bisa mendapatkan uang refund atau pengembalian.

5. Langkah ke Depan untuk Mencegah Terulangnya Batavia Air

Escrow Account untuk deposit travel agent dan tiket yang belum terpakai. Dengan
terjadinya kasus pailit Batavia Air, Astindo (Assosiasi Perusahaan Penjual Tiket Penerbangan)
mendesak Departemen Perhubungan untuk membuat peraturan baru dimana deposit travel agent
dan deposit tiket yang belum terpakai untuk ditempatkan dalam escrow account atau akun
penjaminan yang terpisah dari operasional perusahaan penerbangan. Sehingga dalam kasus-kasus
pailit seperti Batavia Air, deposit tersebut dapat diamankan secara terpisah.
Proposal yang kedua adalah kerja sama dari Asosiasi Travel yang telah ada, antara lain
Astindo, Asita, maupun assosiasi-assosiasi lain nya, untuk membuat sebuah early detection
system. Early detection ini dapat menggunakan beberapa indikasi, antara lain: pengurangan rute
penerbangan secara signifikan, hutang yang mulai gagal bayar, analisa perbandingan hutang
dengan aset perusahaan, dll. Dengan fasilitas seperti ini, iuran tahunan assosiasi-assosiasi yang
terkadang berjumlah cukup besar menjadi lebih berguna.

6. Solusi

Batavia Air seperti yang diketahui merupakan suatu organisasi dan yang namanya organisasi
mendeskrisikan kumpulan orang-orang yang secara sadar bergabung untuk mencapai visi
organisasi. Berpijak pada definisi tersebut diketahui bahwa dalam tubuh Batavia Air terdapat
cukup besar tenaga kerja. Nah apa yang akan terjadi pada mereka ketika Batavia Air dinyatakan
pailit? Jawabannya adalah tenaga kerjanya sudah dipastikan tidak akan bekerja lagi, atau dengan
kata lain akan menganggur. Hal inilah yang perlu dipikirkan oleh pihak manajerial Batavia Air
karena jumlah kapasitas tenaga kerja yang cukup banyak akan berdampak pada aspek makro dan
mikro. Dengan demikian berpijak pada kasus pailitnya Batavia Air, perusahaan-perusahaan
lainnya dapat mempersiapkan program-program khusus guna menyelamatkan nasib tenaga
kerjanya apabila perusahaan tempat mereka bekerja mengalami kasus yang sama dengan Batavia
Air. Dalam jargon manajemen biasanya disebut sebagai corporate social responsibility (CSR)
yakni bagaimana sebuah perusahaan memahami dan mengerti serta memberikan tangung jawab
berupa solusi kepada stakeholder yang meliputi juga tenaga kerjanya apabila perusahaan
mengalami pailit. Dengan demikian, jalankan program CSR sekarang juga untuk mempersiapkan
sesuatu yang mungkin saja terjadi dari sekarang hingga di masa depan.

7. Kebijakan Pemerintah dalam Permasalahan

Pemerintah dapat mengatur dengan maskapai lain untuk mengijinkan seseorang dengan
tiket Batavia Air yang berlaku untuk dibookingkan kembali secara gratis sehingga setidaknya
penumpang dapat terbang ke tujuan mereka tanpa biaya tambahan apapun. Hal tersebut tentunya
dibayar oleh pemerintah.

Tetapi ada cara lain tentang bagaimana pemerintah membantu persoalan ini, yaitu dengan
mengambil alih Batavia. Pemerintah Indonesia sendiri telah berjuang memiliki
Merpati Nusantara yang bisa bertahan hanya dengan suntikan dana yang besar dari pemerintah.

Dengan mengambil alih Batavia maka dapat memungkinkan untuk penyatuan operasi,
restrukturisasi dan privatisasi mereka dengan sebuah IPO (Initial Public Offering) dalam
beberapa tahun mendatang. Hal tersebut memang mahal tetapi merupakan kesempatan
sebagaimanaMerpati menjadi penyebab sakit kepala pemerintah Indonesia karena
Merpati terlalu lemah untuk bertahan padahal Merpati menyediakan fungsi penting layanan
publik dalam melayani lokasi terpencil.
Di sisi lain, kebanyakan penerbangan Batavia berada pada rute populer. Kombinasi ini
menguntungkan karena akan memungkinkan Merpati untuk melayani sebagai pengganti rute
utama Batavia, sama seperti Wings Air yang merupakan pengganti untuk rute Lion Air .

Pengambilalihan oleh pemerintah juga akan menstabilkan pasar secara langsung, hal
tersebut akan menjadikan harga tetap rendah dan menjamin keselamatan penerbangan lain. Sama
seperti selama krisis keuangan yang diselamatkan oleh pemerintah di seluruh dunia karena
mereka dianggap "terlalu besar juga gagal", yang berarti kebangkrutan bank akan menyebabkan
percikan kerusakan yang signifikan terhadap perekonomian. Batavia bukanlah sebuah bank
tetapi dapat dianggap "terlalu besar juga gagal" pula. Pengambilalihan keseluruhan oleh
perusahaan lokal, pemerintah atau bahkan investor asing akan menjadi solusi terbaik tetapi
diperlukan waktu yang cepat.

BAB III

KESIMPULAN

Batavia Air dinyatakan Pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat karena terkait Batavia
Mengikuti Tender Pemerintah dengan menyewa Pesawat Air Bus sebagai Angkutan Ibadah Haji,
namun Batavia Air tidak memenuhi syarat dan kemudian hutang sewa tersebut tidak sanggup
terbayar.

ILFC adalah perusahaan yang memegang Pesawat Air Bus menggugat PT. Metro Batavia
yang bernilai US$ 4,68 juta, yang jatuh tempo pada 13 Desember 2012. Karena Batavia Air tidak
melakukan pembayaran, maka ILFC mengajukan somasi atau peringatan. Namun karena
maskapai itu tetap tidak bisa membayar utangnya, maka ILFC mengajukan gugatan pailit kepada
Batavia Air di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pesawat yang sudah disewa pun menganggur
dan tidak dapat dioperasikan untuk menutup utang.

You might also like