You are on page 1of 9

Kajian Arbitrase oleh PT.

Freeport Indonesia kepada Pemerintah


Indonesia
Jumat, 3 Maret 2017

PENDAHULUAN
PT. Freeport Indonesia (PTFI) adalah sebuah perusahaan afiliasi dari Freeport-
McMoRan Copper & Gold Inc. PTFI menambang, memproses dan melakukan
eksplorasi terhadap bijih yang mengandung tembaga, emas, dan perak di daerah dataran
tinggi di kabupaten Mimika, provinsi Papua, Indonesia. Freeport Indonesia
memasarkan konsentrat yang mengandung tembaga, emas dan perak ke seluruh penjuru
dunia.
Awal mula PT. Freeport Indonesia berdiri, terdapat kisah perjalanan yang unik untuk
diketahui. Pada tahun 1904-1905, suatu lembaga swasta dari Belanda Koninklijke
Nederlandsche Aardrijkskundig Genootschap (KNAG) yakni Lembaga Geografi
Kerajaan Belanda, menyelenggarakan suatu ekspedisi ke Papua Barat Daya yang tujuan
utamanya adalah mengunjungi Pegunungan Salju yang konon kabarnya ada di Tanah
Papua.
Catatan pertama tentang pegunungan salju ini adalah dari Kapten Johan Carstensz yang
dalam perjalanan dengan dua kapalnya, Aernem dan Pera, ke selatan pada tahun 1623
di perairan sebelah selatan Tanah Papua, tiba-tiba melihat kilauan salju di pedalaman
dan mencatat di dalam buku hariannya pada tanggal 16 Februari 1623 tentang
pegungungan amat tinggi yang bagian-bagiannya tertutup oleh salju. Catatan
Carsztensz ini menjadi cemoohan kawan-kawannya yang menganggap Carstensz hanya
berkhayal.
Walaupun ekspedisi pertama KNAG tersebut tidak berhasil menemukan gunung es
yang disebut-sebut dalam catatan harian Kapten Carstensz, hal ini menjadi cikal-bakal
perhatian besar Belanda terhadap daerah Papua. Peta wilayah Papua pertama kali dibuat
dari hasil ekspedisi militer ke daerah ini pada tahun 1907 hingga 1915. Ekspedisi-
ekspedisi militer ini kemudian membangkitkan hasrat para ilmuwan sipil untuk
mendaki dan mencapai pegunungan salju.
Beberapa ekspedisi Belanda yang terkenal dipimpin oleh Dr. HA. Lorentz dan Kapten
A. Franzen Henderschee. Semua dilakukan dengan sasaran untuk mencapai puncak
Wilhelmina (Puncak Sudirman sekarang) pada ketinggian 4,750 meter. Nama Lorentz
belakangan diabadikan untuk nama Taman Nasional Lorentz di wilayah suku Asmat di
pantai selatan.
Pada pertengahan tahun 1930, dua pemuda Belanda Colijn dan Dozy yang merupakan
pegawai perusahaan minyak NNGPM merencanakan pelaksanaan cita-cita mereka
untuk mencapai puncak Cartensz. Petualangan mereka kemudian menjadi langkah
pertama bagi pembukaan pertambangan di Tanah Papua empat puluh tahun kemudian.
Pada tahun 1936, Jean Jacques Dozy menemukan cadangan Ertsberg atau disebut
gunung bijih, lalu data mengenai batuan ini dibawa ke Belanda. Setelah sekian lama
bertemulah seorang Jan Van Gruisen, Managing Director perusahaan Oost
Maatchappij, yang mengeksploitasi batu bara di Kalimantan Timur dan Sulawesi
Tenggara dengan kawan lamanya Forbes Wilson, seorang kepala eksplorasi pada
perusahaan Freeport Sulphur Company yang operasi utamanya ketika itu adalah
menambang belerang di bawah dasar laut. Kemudian Van Gruisen berhasil meyakinkan
Wilson untuk mendanai ekspedisi ke gunung bijih serta mengambil contoh bebatuan
dan menganalisisnya serta melakukan penilaian.
Pada awal periode pemerintahan Soeharto, pemerintah mengambil kebijakan untuk
segera melakukan berbagai langkah nyata demi meningkatkan pembanguan ekonomi.
Namun dengan kondisi ekonomi nasional yang terbatas setelah penggantian kekuasaan,
pemerintah segera mengambil langkah strategis dengan mengeluarkan Undang-undang
Modal Asing (UU No. 1 Tahun 1967).
Pimpinan tertinggi Freeport pada masa itu yang bernama Langbourne Williams melihat
peluang untuk meneruskan proyek Ertsberg. Dia bertemu Julius Tahija yang pada
zaman Presiden Soekarno memimpin perusahaan Texaco dan dilanjutkan pertemuan
dengan Jenderal Ibnu Sutowo, yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri
Pertambangan dan Perminyakan Indonesia. Inti dalam pertemuan tersebut adalah
permohonan agar Freeport dapat meneruskan proyek Ertsberg. Akhirnya dari hasil
pertemuan demi pertemuan yang panjang Freeport mendapatkan izin dari pemerintah
untuk meneruskan proyek tersebut pada tahun 1967. Itulah Kontrak Karya Pertama
Freeport (KK-I). Kontrak karya tersebut merupakan bahan promosi yang dibawa Julius
Tahija untuk memperkenalkan Indonesia ke luar negeri dan misi pertamanya adalah
mempromosikan Kebijakan Penanaman Modal Asing ke Australia.
Sebelum 1967, wilayah Timika adalah hutan belantara. Pada awal Freeport mulai
beroperasi, banyak penduduk yang pada awalnya berpencar-pencar mulai masuk ke
wilayah sekitar tambang Freeport sehingga pertumbuhan penduduk di Timika
meningkat. Tahun 1970 pemerintah dan Freeport secara bersama-sama membangun
rumah-rumah penduduk yang layak di jalan Kamuki. Kemudian dibangun juga
perumahan penduduk di sekitar selatan Bandar Udara yang sekarang menjadi Kota
Timika.
Pada tahun 1971, Freeport membangun Bandar Udara Timika dan pusat perbekalan.
Kemudian mereka juga membangun jalan-jalan utama sebagai akses ke daerah tambang
dan juga jalan-jalan di daerah terpencil sebagai akses ke desa-desa Tahun 1972,
Presiden Soeharto menamakan kota yang dibangun secara bertahap oleh Freeport
tersebut dengan nama Tembagapura. Pada tahun 1973 Freeport menunjuk kepala
perwakilannya untuk Indonesia sekaligus sebagai presiden direktur pertama Freeport
Indonesia. Adalah Ali Budiarjo, yang mempunyai latar belakang pernah menjabat
Sekretaris Pertahanan dan Direktur Pembangunan Nasional pada tahun 1950-an, suami
dari Miriam Budiarjo yang juga berperan dalam beberapa perundingan kemerdekaan
Indonesia, sebagai sekretaris delegasi Perundingan Linggarjati dan anggota delegasi
dalam perjanjian Renville.

PENGELOLAAN PASIR SISA TAMBANG (SIRSAT)


Upaya pencegahan dan pengendalian air asam batuan dilaksanakan secara terpadu.
PTFI melakukan pengelompokkan jenis batuan penutup dan menempatkan batuannya
secara selektif sehingga dapat meminimalkan pembentukan air asam batuan. Air asam
batuan yang terjadi dikumpulkan dan penetralan air asam batuan dilakukan dengan
menambahkan kapur.
Perpanjangan MoU menggunakan Pasir Sisa Tambang (SIRSAT) sebagai bahan
konstruksi pembangunan inftrastruktur. Pemerintah provinsi Papua dan PTFI telah
memperpanjang MoU pada tahun 2011 untuk penggunaan pasir sisa tambang sebagai
bahan konstruksi dalam pembangunan infrastruktur provinsi dan pasir sisa tambang
juga telah digunakan sebagai bahan konstruksi dalam pembangunan jalan dan jembatan
di Mimika. Sebagai bagian dari pelaksanaan MoU tersebut, PTFI telah melakukan
pengiriman lebih dari 460.000 m3 ton SIRSAT sebagai bahan konstruksi ke Merauke,
berbagai proyek pembangunan di Timika, dan di wilayah proyek PTFI.
Kualitas pada titik penaatan SIRSAT dan 3 titik penaatan di laut telah memenuhi baku
mutu yang telah ditetapkan oleh pemerintah, sesuai dengan Keputusan Menteri
Lingkungan Hidup No. 431/2008 mengenai Pengelolaan Tailing di ModADA.
Biaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan 2012 sejumlah USD 101 juta dan terus
meningkat dari tahun-tahun sebelumnya.

KONTRIBUSI DAN PERANAN PT. FREEPORT INDONESIA BAGI NEGARA


1. Menyediakan lapangan pekerjaan bagi sekitar 24.000 orang di Indonesia
(karyawan PTFI terdiri dari 69,75% karyawan nasional; 28,05% karyawan
Papua, serta 2,2% karyawan Asing).
2. Menanam Investasi > USD 8,5 Miliar untuk membangun infrastruktur
perusahaan dan sosial di Papua, dengan rencana investasi-investasi yang
signifikan pada masa datang.
3. PTFI telah membeli > USD 11,26 Miliar barang dan jasa domestik sejak 1992.
4. Dalam kurun waktu empat tahun terakhir, PTFI telah memberikan kontribusi
lebih dari USD 37,46 Miliar dan dijadwalkan untuk berkontribusi lebih banyak
lagi terhadap pemerintah Indonesia hingga lebih dari USD 6,5 Miliar dalam
waktu empat tahun mendatang dalam bentuk pajak, dividen, dan pembayaran
royalti.
5. Keuntungan finansial langsung ke pemerintah Indonesia dalam kurun waktu
empat tahun terakhir adalah 59%, sisanya ke perusahaan induk (FCX) 41%. Hal
ini melebihi jumlah yang dibayarkan PTFI apabila beroperasi di negara-negara
lain.
6. Kajian LPEM-UI pada dampak multiplier effect dari operasi PTFI di Papua dan
Indonesia di 2011: 0,8% untuk PDB Indonesia, 45% untuk PDRB Provinsi
Papua, dan 95% untuk PDRB Mimika. Membayar Pajak 1,7% dari anggaran
nasional Indonesia.
7. Membiayai > 50% dari semua kontribusi program pengembangan masyarakat
melalui sektor tambang di Indonesia.
8. Membentuk 0,8% dari semua pendapatan rumah tangga di Indonesia.
9. Membentuk 44% dari pemasukan rumah tangga di provinsi Papua.

ANCAMAN ARBITASE PT. FREEPORT


Freeport McMoran telah memukul genderang untuk membawa pemerintah ke arbitrase.
Pemerintah dituduh telah melanggar Kontrak Karya (KK) dengan mewajibkan Freeport
mengubah bentuk usaha pertambangan dari KK menjadi izin usaha pertambangan
khusus. Menurut Freeport, ini niat sepihak pemerintah untuk mengakhiri KK.
Tuduhan Freeport bahwa pemerintah memaksa dirinya untuk mengubah bentuk usaha
pertambangan KK menjadi IUPK adalah tidak benar. Pemerintah justru telah mencoba
memahami kesulitan yang akan dihadapi oleh Freeport saat relaksasi yang diberikan
kepada para pemegang KK berakhir pada 11 Januari 2017.

Tidak Berdasar
Pangkal masalah yang memunculkan kegaduhan terletak pada Pasal 170 Undang-
Undang Mineral dan Batubara (UU Minerba). Pasal 170 menentukan pemegang KK
yang telah berproduksi mempunyai kewajiban untuk melakukan pemurnian di dalam
negeri selambat-lambatnya lima tahun sejak berlakunya UU Minerba tahun 2009. Ini
berarti, pada tahun 2014 semua pemegang KK sudah tidak lagi diperbolehkan untuk
melakukan penjualan ke luar negeri. Namun, pada 2014 ternyata banyak pemegang KK
tak mampu melakukan pemurnian di dalam negeri. Untuk mengatasi permasalahan ini,
pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2014 dan peraturan
pelaksanaannya yang memungkinkan pemegang KK melakukan ekspor dengan
membayar bea keluar, tetapi tetap berkomitmen membangun smelter dalam jangka
waktu tiga tahun.
Menjelang berakhirnya tiga tahun pada akhir 2016, ternyata sejumlah pemegang KK
masih belum membangun smelter. Freeport salah satunya meski telah mengalokasikan
dana untuk pembangunan smelter. Freeport tak kunjung membangun smelter karena
ingin mendapat kepastian perpanjangan KK yang akan berakhir 2021. Dalam
perhitungan Freeport, tanpa kepastian perpanjangan pembangunan smelter tak akan
ekonomis.
Menghadapi kondisi belum terbangunnya smelter sementara terhadap Pasal 170 UU
Minerba tak dilakukan perubahan, pemerintah pun harus mencari jalan keluar bagi
pemegang KK yang belum mampu melakukan pemurnian di dalam negeri. Di sinilah
kemudian diterbitkan PP Nomor 1 Tahun 2017 dan sejumlah peraturan menteri
(permen) ESDM. Dalam Pasal 17 Permen ESDM Nomor 5 Tahun 2017 disebutkan,
pemegang KK dapat melakukan penjualan hasil pengolahan ke luar negeri dalam
jumlah tertentu paling lama lima tahun dengan ketentuan mengubah bentuk
pengusahaan pertambangannya menjadi IUPK dan membayar bea keluar.
Apabila mencermati ketentuan tersebut, tak ada keharusan bagi pemegang KK untuk
mengubah dirinya menjadi IUPK. Freeport, misalnya, bisa saja tetap mempertahankan
KK. Hanya saja sesuai Pasal 170 UU Minerba, Freeport tidak dapat lagi melakukan
penjualan ke luar negeri. Namun, jika Freeport ingin tetap melakukan penjualan ke luar
negeri, Freeport harus mengubah diri dari KK ke IUPK. Pilihan ini ada di tangan
Freeport dan pemerintah tidak sedikitpun melakukan pemaksaan.
Oleh karena itu, tuduhan Freeport bahwa pemerintah hendak mengakhiri KK sebelum
2021 adalah tidak benar. Justru pemerintah telah memberi jalan keluar bagi pemegang
KK di tengah keinginan publik agar pemerintah tegas menjalankan Pasal 170 UU
Minerba. Pemerintah menuai kritik. Bahkan, Permen ESDM No 5/2017 pun dibawa ke
Mahkamah Agung untuk dilakukan uji materi. Dalam konteks demikian, betapa tidak
adilnya Freeport yang mengancam pemerintah ke arbitrase. Tak heran jika Menteri
ESDM Ignasius Jonan menyebut Freeport rewel. Pemegang KK lain seperti Vale tetap
mempertahankan KK telah menunaikan kewajibannya dengan membangun smelter.
Sementara PT Amman Mineral Nusa Tenggara (dahulu dimiliki oleh Newmont) telah
mengubah bentuk menjadi IUPK agar tetap dapat melakukan penjualan ke luar negeri.
Arbitrase
Melihat kenyataan di atas menjadi pertanyaan apakah Freeport memiliki dasar yang
kuat untuk menggugat pemerintah ke arbitrase? Atau ancaman membawa pemerintah
ke arbitrase hanya gertakan belaka. Gertakan ini pernah dilakukan Freeport pada 2014
saat bea keluar ekspor diberlakukan. Ujungnya, Freeport membatalkan gugatannya.
Ancaman Freeport terhadap Pemerintah Indonesia merupakan bentuk arogansi.
Arogansi karena Freeport merasa sejajar dengan pemerintah. Penyebabnya, dengan KK
pemerintah didudukkan sejajar dengan Freeport.
Secara hukum ini tidak masuk logika. Mana mungkin sebuah negara yang berdaulat
dengan jumlah penduduk 250 juta diposisikan sejajar dengan pelaku usaha? Freeport
sejak lama telah membangun persepsi yang salah dengan memosisikan Pemerintah
Indonesia secara sejajar. Atas dasar itu, berbagai peraturan perundangundangan yang
dikeluarkan pemerintah diminta untuk tidak diberlakukan atas dasar kesucian kontrak
(sanctity of contract) atau ketentuan yang khusus akan mengenyampingkan ketentuan
yang umum (lex specialis derogat legi generali).
Padahal, ketentuan khusus akan mengenyampingkan ketentuan umum jika produk
hukumnya serupa. Jika perjanjian yang bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan, berdasarkan Pasal 1337 KUH Perdata, perjanjian yang akan gugur. Argumen
Freeport bahwa pemerintah sejajar dengan dirinya karena Freeport mengabaikan dua
dimensi dari pemerintah yang harus dibedakan. Dimensi pertama, pemerintah sebagai
subyek hukum perdata. Sebagai subyek hukum perdata pemerintah melakukan
perjanjian dengan subyek hukum perdata lain. Semisal dalam rangka pengadaan barang
dan jasa. Dalam kapasitas sebagai subyek hukum perdata, kedudukan pemerintah
memang sejajar dengan pelaku usaha.
Namun, ada dimensi lain dari pemerintah, yaitu subyek hukum publik. Sebagai subyek
hukum publik, posisi pemerintah berada di atas pelaku usaha dan rakyat. Fiksi hukum
yang berlaku: ketika pemerintah membuat aturan, semua orang dianggap tahu tanpa
perlu mendapat persetujuan. Pemerintah dapat memaksakan aturan yang dibuatnya
dengan melakukan penegakan hukum.
Apabila rakyat atau pelaku usaha keberatan dengan aturan yang dibuat pemerintah
sebagai subyek hukum publik, mereka dapat memanfaatkan proses uji materi, baik di
Mahkamah Konstitusi maupun Mahkamah Agung, bergantung pada produk hukumnya.
Dua dimensi ini yang dinafikan Freeport. Tak heran jika Freeport hendak membelenggu
kedaulatan hukum negara Indonesia dengan KK. Apabila demikian apa bedanya
Freeport dengan VOC di zaman Belanda? Perlu dipahami pemerintah sebagai subyek
hukum perdata tetap harus tunduk pada aturan yang dibuat pemerintah sebagai subyek
hukum publik, semisal di bidang perpajakan.
Nasionalisme
Ancaman Freeport membawa pemerintah ke arbitrase justru telah membangkitkan rasa
nasionalisme publik Indonesia. Publik marah. Saat ini pemerintah mendapat dukungan
dari publik untuk bertindak tegas terhadap Freeport. Publik tak rela jika pemerintah
mundur, bahkan berkompromi, karena ancaman Freeport. Freeport tak seharusnya
memainkan tenaga kerjanya yang dirumahkan dengan alasan efisiensi untuk menekan
pemerintah. Ini karena bola untuk tetap melakukan kegiatan operasi berada di tangan
Freeport. Freeport bisa bertahan dengan KK asalkan melakukan pemurnian di dalam
negeri atau tetap ekspor dengan mengubah status menjadi IUPK.
Freeport juga tidak seharusnya memainkan isu Papua, bahkan kehadiran pasukan
marinir AS di Australia. Ada tiga alasan untuk ini. Pertama, dalam kisruh kali ini,
pemerintah sudah bijak untuk memberi jalan keluar bagi Freeport yang ingin menang
sendiri dan menuntut pemerintah tunduk pada KK dengan mengabaikan Pasal 170 UU
Minerba. Sesuatu yang tak mungkin dilakukan pemerintah di era Indonesia yang
demokratis. Kedua, saat ini pemerintahan di Indonesia dipimpin seorang yang berlatar
belakang pengusaha seperti juga Presiden AS Donald Trump. Presiden Jokowi seperti
Trump dalam membuat kebijakannya bisa sangat tegas dengan mengedepankan
kepentingan nasional atau Indonesia first.
Ketiga, Freeport tidak bisa menggunakan tangan pemerintahnya untuk melakukan
intervensi karena memang posisi Freeport tidak terlalu baik. Mana mungkin Pemerintah
AS melakukan pembelaan terhadap pelaku usahanya dengan melakukan intervensi,
bahkan menggunakan kekerasan padahal tindakan pelaku usaha itu salah. Pemerintah
Indonesia tidak sedang menzalimi Freeport. Seharusnya Freeport paham negeri ini
sudah mengalami pahitnya penjajahan di masa lalu dan pemerintah tidak dapat
mengambil keputusan tanpa memperhatikan suara rakyat. Pendekatan dengan ancaman
ataupun mendikte, bahkan merongrong kedaulatan, bukanlah pendekatan yang tepat
jika Freeport ingin tetap berbisnis di Indonesia.

TUNTUTAN
1. Pemerintah harus berani untuk tidak pragmatis
2. Pemerintah harus merangkul dan memberdayakan tenaga-tenaga kerja di
Indonesia
3. Melakukan revisi kontrak PT. Freeport agar tidak dilakukan arbitase melalui
Revisi UU
4. Mencabut PP No. 20 Tahun 1994 tentang kepemilikan saham dalam perusahaan
yang didirikan dalam rangka penanaman modal asing
5. Mencabut SK Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM No.
415/A.6/1997)
6. Pemerintah harus bersikap tegas kepada PT. Freeport atas PHK yang dilakukan
secara sepihak
7. Pemerintah harus bisa mempersiapkan perusahaan (BUMN) untuk mengelola
Freeport nantinya

SOLUSI
1. Penegasan dari pemerintah akan hal yang terjadi
2. Menghentikan produksi untuk mengurangi kuota ekspor sampai PTFI
menyetujui IUPK
3. Pemerintah harus konsisten dalam proses pengubahan KK menjadi IUPK
4. Mem-BUMN kan PT. Freeport Indonesia
5. Melakukan revolusi mental dan meningkatkan rasa nasionalisme bangsa
Indonesia
6. Penegasan ke PTFI bahwa perpanjangan KK ataupun permohonan perubahan
menjadi IUPK baru dapat diajukan pada 2019 mendatang

KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam menghadapi
ancaman arbitase FT. Freeport, pemerintah Indonesia sebaiknya tidak gentar melainkan
berani bersikap tegas kepada FT. Freeport. Dari kajian ini, dihasilkan tujuh tuntutan
dan enam solusi atas permasalahan yang terjadi yang diharapkan dapat benar disalurkan
dan mengawali berbagai kebijakan pemerintah, serta menjadi penyambung lidah bagi
masyarakat dan pemerintah demi kemajuan Indonesia.

You might also like