You are on page 1of 35

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hookworm Disease atau Penyakit cacing tambang adalah infeksi cacing
umum yang didominasi oleh parasit nematoda Necator americanus dan
Ancylostoma duodenale. Infeksi cacing tambang diperoleh melalui paparan kulit
terhadap larva di tanah yang terkontaminasi oleh kotoran manusia. Di seluruh dunia,
cacing tambang menginfeksi sekitar 440 juta orang.1,2 Menurut data World Health
Organisation (WHO) tahun 2005, memperkirakan 198 juta orang dikawasan Sub
Sahara, Afrika terinfeksi, 149 juta orang terinfeksi di kawasan Asia Timur dan
Pasifik, 71 juta di India, 59 juta di Asia Selatan, 50 juta di Amerika Latin dan
Karbia, 39 juta di Cina, dan 10 juta di Timur Tengah dan Afrika Utara. Infeksi
cacing tambang berhubungan erat dengan sanitasi yang buruk, kemiskinan,
konstruksi rumah yang buruk, dan kurangnya akses untuk mendapat pelayananan
kesehatan.3
Prevalensi infeksi cacing pada anak lebih tinggi karena mereka belum
mengerti benar arti kesehatan dan kebersihan. Hasil survey infeksi cacing tambang
sekolah dasar di 27 provinsi Indonesia pada tahun 2002 sebanyak 2,4%, tahun 2003
sebanyak 0,6%, pada tahun 2004 sebanyak 5,1%, tahun 2005 sebanyak 1,6%, dan
pada tahun 2006 sebanyak 1,0%.4
Prevalensi infeksi cacing tambang terbanyak pada daerah perkebunan,
seperti di perkebunan karet di Sukabumi, Jawa Barat sebanyak 93,1% dan pada
perkebunan kopi di Jawa Timur 80,69%. 5 Sedangkan pada Desa Rejoso Kecamatan
Karang Kabupaten Damai pada sekolah dasar (SDN) dengan 173 siswa, data tahun
kemarin menunjukkan bahwa infeksi cacing tambang pada siswa SDN Rejoso
20,5%. Hal tersebut dikarenakan masih adanya perilaku buang air besar disekitar
rumah, dan perilaku anak-anak yang biasa bermain dengan tanah.
Di Desa Rejoso, memiliki wilayah perkebunan seluas 5000 hektar berupa
tanah kering yang merupakan tanah yang sesuai dengan perkembangan cacing
tambang. Namun di desa tersebut, kepala keluarga (KK) umumnya berpendidikan
sekolah menengah dan dasar dengan profesi tani atau buruh. Penghasilan orang tua

1
siswa sebagian besar masih dibawah upah minimum kota (UMK). Dalam kegiatan
pekerjaan mereka KK umumnya tidak menggunakan alas kaki.
Berdasarkan kasus pada Desa Rejoso Kecamatan Karang Kabupaten Damai
terdapat beberapa kesamaan penyebab terjadinya infeksi cacing tambang. Jadi perlu
adanya penanggulangan terhadap terjadinya infeksi cacing tambang terutama pada
Desa Rejoso Kecamatan Karang Kabupaten Damai. Karena apabila tidak ditangani
dengan baik maka dapat terjadi prevalensi infeksi cacing tambang meningkat,
anemia, dan intoksikasi pada penderita.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana cara menanggulangi terjadinya infeksi cacing tambang di Desa
Rejoso Kecamatan Karang Kabupaten Damai ?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Menanggulangi terjadinya Infeksi cacing tambang di Desa Rejoso
Kecamatan Karang, Kabupaten Damai.
2. Tujuan Khusus
1. Memperbaiki sanitasi fasilitas MCK di Desa Rejoso Kecamatan
Karang, Kabupaten Damai.
2. Penyuluhan tentang pencegahan infeksi cacing tambang di Desa
Rejoso Kecamatan Karang, Kabupaten Damai.
3. Pemberian pengobatan pada masyarakat yang terinfeksi cacing
tambang di Desa Rejoso Kecamatan Karang, Kabupaten Damai.

2
BAB II
ANALISIS DAN PEMBAHASAN

A. Skenario
Hookworm Disease
Desa Rejoso adalah salah satu desa di kecamatan Karang Kabupaten
Damai. Di desa tersebut terdapat Sekolah Dasar (SDN) dengan 173 siswa. Data
tahun kemarin menunjukan bahwa kejadian Infeksi Cacing tambang pada siswa
SDN rejoso 20,5%. Perilaku buang air besar di sekitar rumah 44,2%, Perilaku
anak anak yang biasa bermain dengan Tanah sebesar 54,2%. Kota Damai
Khususnya Kecamatan Karang Memiliki wilayah perkebunan seluas 5000
hektar berupa tanah kering yang merupakan tanah yg sesuai dengan
perkembangan Cacing tambang. Kepala keluarga umumnya 65% Rendah
dengan pekerjaan umumnya tani atau buruh tani (67%), Pemghasilan orang tua
siswa sebagian besar masih di bawah upah minimum (66%), sebanyak 83%
rumah mereka memiliki perkarangan atau lahan pertanian dan dalam menjalani
pekerjaan 76% kepala keluarga tidak menggunakan alas kaki.
Pemeriksaan keadaan lingkungan tercatat sebagai berikut :
1. Perilaku buang air besar disekitar rumah.
2. Perilaku anak anak yang biasa bermain di tanah.
3. Wilayah perkebunan berupa tanah kering sesuai dengan perkembangan
cacing tambang.
4. Kepala Keluarga umumnya bependidikan rendah dengan pekerjaan
umumnya tani atau buruh tani.
5. Penghasilan KK yang minimum.
6. Dalam kegiatan pekerjaan, kepala keluarga umumnya tidak menggunakan
alas kaki

3
B. Analisis
Masalah yang ditemukan adalah :
1. Proses :
a) Tidak menggunakan alas kaki saat melakukan pekerjaan.

2. Input :
a) Penghasilan kepala keluarga yang minimum.
b) Kepala Keluarga yang bependidikan rendah
c) Dana untuk proses pengolahan makanan

3. Lingkungan :
a) Perilaku BAB disekitar Rumah
b) Perilaku anak anak yang suka bermain di tanah

4
FISHBONE DIAGRAM

PROSES

Input
Tidak menggunakan Alas Kaki
saat bekerja di sawah Penghasilan Kepala Keluar Yang
Minimum

Kepala keluarga berpendidikan rendah

Infeksi Cacing
Tambang/
Hookworm
Perilaku BAB di Sekitar Rumah disease

Kebijakan perilaku anak anak yang suka main di


tanah

5
LINGKUNGAN
Analisis Fish Bone
Masukan :
a) Penghasilan Kepala keluarga yang Minimum yang merupakan yang
merupakan
Setelah dilakukan pemeriksaan rektal swab ternyata ada anggota penjamah yang
hasil kultur kuman + typhoid fever. Hasil tersebut menunjukkan bahwa
penjamah makanan tersebut merupakan seorang karier tifoid, yang dapat
menularkan penyakit tersebut ke lingkungan sekitarnya. Dimana salah satu
kelompok berisiko tinggi penularan tifoid adalah pengelola makanan, yaitu ibu
rumah tangga yang ditunjuk tersebut sehingga dapat meningkatkan KLB tifoid.
b) Kepela Keluarga yang Berpendidikan rendah.
Penyimpanan dan pengolahan bahan serta hasil makanan membutuhkan
fasilitas yang memadai dan sesuai dengan standard kesehatan guna menjaga
kebersihan makanan itu sendiri baik sebelum dan sesudah diolah. Dimana hal
tersebut dapat mengurangi risiko penyebaran penyakit menular, seperti mesin
pendingin dengan suhu dan kapasitas yang sesuai, wadah yang dilengkapi
dengan penutup, dan akses air bersih. Namun, apabila fasilitas tersebut tidak
sesuai dengan standard kesehatan maka bahan makanan masih mengandung
bakteri Salmonella sp. serta lalat sebagai vektor penularan tifoid dapat hinggap
dengan membawa ataupun menularkan tifoid.
c) Keterbatasan pembiayaan/anggaran pemeliharaan dan penyehatan lingkungan
Kegiatan pengendalian penularan tifoid belum dapat dilaksanakan secara
optimal, antara lain karena belum didukung dengan pendanaan yang memadai
untuk program pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan oleh
pemerintah pusat dan daerah. Anggaran ini dapat digunakan untuk pengadaan
tempat sampah, jamban, vaksinasi, dan pendanaan untuk menjalankan program-
program pencegahan dan pengobatan tifoid lainnya.

6
Proses :
a) Tidak menggunakan alas kaki saat bekerja di sawah.
Penyediaan bahan makanan yang bersih dan segar tentunya akan memberikan
dampak yang baik bagi tubuh dikarenakan tidak terkontaminasi bakteri atau
patogen penularan penyakit sehingga makanan yang nantinya akan diolah dapat
memberikan nutrisi bagi tubuh.
b) Kurangnya pengetahuan mengenai proses pengolahan makanan yang benar
Kurangnya pengetahuan mengenai proses pengolahan makanan yang benar
dapat menyebabkan gangguan kesehatan. Pada bahan makanan yang diolah
terlalu lama atau berkali-kali sering dipanaskan, kandungan gizi pada makanan
tersebut akan berkurang, sehingga jika kekurangan gizi daya tahan tubuh
seseorang akan menurun dan mudah terserang penyakit. Sedangkan pada
makanan yang diolah terlalu cepat, tidak dapat mengeliminasi berbagai
mikroorganisme penyebab penyakit yang akan menyebabkan infeksi pada
tubuh.
c) Kurangnya kesadaran diri mengonsumsi makanan yang bersih dan segar
Kurangnya kesadaran diri mengonsumsi makanan yang bersih dan segar oleh
siswa ataupun warga SDN 1 Kebon Cengkeh seperti jajan sembarangan tanpa
memperhatikan sanitasi bahan-bahan yang digunakan atau cara pengolahan dan
penyimpanan makanan tentu saja dapat menyebabkan seseorang mudah
terserang penyakit.
d) Rendahnya perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS)
Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) adalah sekumpulan perilaku yang
dipraktikkan atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran yang menjadikan
seseorang keluarga atau masyarakat mampu menolong dirinya sendiri (mandiri)
di bidang kesehatan dan berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan,
diantaranya sebagai berikut: (1) menggunakan air bersih; (2) mencuci tangan
yang baik dan benar menggunakan sabun dan air mengalir; (3) gunakan jamban
sehat; (4) konsumsi buah dan sayuran setiap hari; dan (5) melakukan aktivitas
fisik setiap hari. Dimana apabila masyarakat memiliki perilaku hidup bersih dan
sehat tersebut rendah, maka dapat meningkatkan risiko penularan penyakit
menular, yang dalam hal ini berupa penularan tifoid.

7
e) Kurangnya media informasi sebagai bentuk promosi kesehatan
Bentuk promosi kesehatan dapat dilakukan melalui berbagai media, seperti
pemasangan poster membuang sampah pada tempatnya di ruang kelas dan
halaman sekolah, cara cuci tangan yang benar di kamar mandi/WC, kantin atau
warung makan, menutup makanan tanpa kemasan dengan baik dan benar di
kantin atau warung makan. Selain bertujuan untuk menginformasikan suatu
bentuk promosi kesehatan kepada masyarakat, media informasi ini dapat
digunakan sebagai ajakan atau himbauan hidup bersih dan sehat guna mencegah
terjadinya penularan penyakit.
f) Rendahnya kesadaran mengenai pentingnya tes kesehatan (skrining) secara
berkala pada kelompok berisiko tinggi
Tes kesehatan (skrining) sendiri penting bagi penjamah makanan karena
kesehatan penjamah akan berdampak bagi hasil makanan yang diolah. Dalam
hal ini tes kesehatan (skrining) sebagai upaya preventif dan diagnostik memiliki
tujuan mengetahui apakah seseorang tersebut terinfeksi penyakit yang
berpotensi sebagai host penularan penyakit dan kemudian dapat diobati secara
adekuat untuk menghindari peningkatan kasus-kasus karier atau relaps dan
resistensi terhadap pengobatan. Pihak sekolah sebenarnya dapat mencegah
terjadinya KLB jika sebelumnya telah mengetahui kondisi kesehatan penjamah
makanan yang ditunjuknya untuk mengolah makanan di kantin sekolah
tersebut.
g) Tes laboratorium air sumur yang digunakan sehari-hari normal tidak tercemar
kuman
Tes laboratorium air sumur berguna untuk mengetahui adanya pencemaran oleh
organisme tertentu yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit bagi orang-
orang yang mengonsumsinya. Pada kasus ini sudah dilakukan pemeriksaan
laboratorium terhadap air sumur yang digunakan, dan didapatkan hasil bahwa
air sumur tersebut bersih tanpa adanya pencemaran oleh kuman Salmonella
typhi dan Salmonella paratyphii.
h) Pengiriman tim surveilans dan tim medis oleh puskesmas
Tim surveilans bertugas untuk mempelajari, menganalisa, mencatat,
melaporkan, dan berusaha memecahkan berbagai masalah kesehatan pada suatu
kelompok populasi tertentu. Bila kinerja tim surveilans belum optimal maka
kegiatan pencatatan dan pelaporan tifoid di setiap jenjang administratif masih

8
jauh dari yang diharapkan sehingga tidak tersedianya data untuk mengetahui
situasi yang sebenarnya untuk mendukung perencanaan strategi pencegahan
dan pengobatan yang matang serta belum bisa dijadikan sebagai bahan evaluasi
yang akurat.
Lingkungan :
a) Perilaku BAB di Sekitar Rumah
Kondisi sanitasi rumah penjamah yang buruk dapat memudahkan terjadinya
penularan penyakit baik dalam ligkungan keluarganya sendiri, maupun ke
lingkungan sekitarnya.
b) Perilaku anak anak yang suka bermain di tanah
Kebersihan tempat makan atau kantin dapat mempengaruhi kesehatan
penjamah makanan dan konsumen. Kondisi kantin yang kurang bersih
merupakan lingkungan yang memadai bagi vektor untuk berkembang biak
sehingga memudahkan proses terjadinya penularan penyakit.
c) Kondisi makanan yang dijual di kantin kurang bersih
Dalam proses pengolahan dan penyimpanan makanan yang kurang bersih dapat
memudahkan vektor, bakteri, atau patogen hinggap dan menjadi media
penularan penyakit.
d) Penumpukan makanan sisa yang membusuk
Makanan sisa yang menumpuk kemudian membusuk dan berbau merupakan
media yang dapat mengundang vektor penularan penyakit dalam hal ini adalah
lalat. Dengan hinggapnya lalat di sisa makanan busuk yang terkontaminasi
bakteri Salmonella sp., maka lalat dapat menularkan bakteri tersebut ke
makanan-makanan yang selanjutnya terhinggapi oleh lalat tersebut.
e) Kepedulian penyimpanan dan pengolahan bahan serta hasil makanan rendah
Setiap penjamah makanan seharusnya memiliki kewajiban untuk menyimpan
dan mengolah bahan serta hasil makanan sesuai dengan standard kesehatan
demi menjaga kebersihan dan nutrisi dari makanan tersebut yang kemudian
dikonsumsi oleh masyarakat luas. Penyimpanan dan pengolahan bahan serta
hasil makanan yang baik dan benar tentunya mengurangi angka kesakitan dan
kejadian penularan penyakit.
f) Halaman sekolah cukup bersih
Halaman dalam hal ini merupakan halaman sekolah merupakan salah satu
faktor pemicu tempat berkembangnya berbagai bakteri dan penyebaran vektor

9
untuk penyakit apabila kotor dan banyak sampah tetapi pada skenario, halaman
sekolah dalam keadaan bersih dimana faktor untuk penyebaran penyakit
berkurang.
g) Tempat sampah selalu tertutup
Tempat sampah biasanya akan mengundang lalat dan akan berbau tidak sedap
apabila dibiarkan terbuka. Lalat sendiri merupakan vektor dari beberapa bakteri
seperti Salmonella sp. Dengan ditutupnya tempat sampah maka diharapkan
dapat mengurangi risiko
h) Kamar mandi dan wc air cukup ada persediaan sabun
Faktor kebersihan diri terutama sanitasi dapat menimbulkan penyakit apabila
tidak dijaga dengan baik. Dimana pada kasus ini kamar mandi dan wc tersedia
air yang cukup sehingga dapat menghindari penumpukan feses atau urine yang
menjadi media penularan penyakit seperti demam tifoid. Selain itu pengguna
kamar mandi dan wc dapat mencuci tangan dengan sabun setelah BAB/BAK.
Namun selain itu harus dipastikan bahwa air dalam keadaan mengalir, tidak
tergenang, dan bersih serta penyimpanan sabunnya juga baik dan benar, bukan
menjadi sarang atau tempat berkumpulnya bakteri.
i) Kurangnya proteksi dalam hal vaksinasi tifoid pada kelompok berisiko tinggi
tifoid
Sejauh ini di Indonesia vaksin tifoid tidak termasuk dalam program imunisasi
dasar nasional yang wajib diberikan pada anak usia pra sekolah, sekolah,
penjamah makanan, dan masyarakat yang tinggal di dan sekitar daerah kejadian
luar biasa, meskipun tifoid merupakan penyakit yang bersifat endemik dan
mengancam kesehatan masyarakat. Penggunaan vaksin tifoid masih terbatas
pada sejumlah praktek dokter pribadi dan rumah sakit swasta. Dimana diketahui
pemberian vaksin merupakan salah satu proteksi khusus yang cost effective
untuk pembentukan sistem kekebalan tubuh yang tentunya dapat
meminimalkan pengeluaran biaya pengobatan.

10
C. Pembahasan

1. Definisi
Demam tifoid adalah penyakit sistemik yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi yang masuk ke dalam tubuh manusia.
Demam tifoid merupakan penyakit yang mudah menular dan menyerang banyak
orang sehingga dapat menimbulkan wabah. 4
Demam tifoid (tifus abdominalis, enteric fever) adalah penyakit infeksi akut
yang biasanya terdapat pada saluran cerna dengan gejala demam lebih dari 7 hari,
gangguan pada saluran cerna, dan gangguan kesadaran.5

2. Epidemiologi
Infeksi manusia dengan duodenale atau N americanus diperkirakan
mempengaruhi sekitar 439 juta orang di seluruh dunia. [ 17 ] Parasit ini menguras
setara semua darah dari sekitar 1,5 juta orang setiap hari.6
Infeksi paling banyak terjadi di daerah tropis dan subtropis, kira-kira antara
garis lintang 45 LU dan 30 S; Di beberapa komunitas, prevalensi mungkin
setinggi 90%. Penyakit ini berkembang di masyarakat pedesaan dengan tanah yang
teduh dan jamban yang tidak memadai. Pekerja pertanian secara tradisional berisiko
tinggi. Pembuangan tinja manusia yang tidak benar dan kebiasaan umum berjalan
tanpa alas kaki adalah fitur epidemiologis utama. Namun, penggunaan alas kaki
belum terbukti mempengaruhi prevalensi cacing tambang, karena larva bisa
menyerang melalui permukaan kulit . Pada tahun 2010, diperkirakan bahwa 117
juta individu di sub-Sahara Afrika terinfeksi cacing tambang, serta 64 juta di Asia
Timur, 140 juta di Asia Selatan, 77 juta di Asia Tenggara, 30 juta di Amerika Latin
dan Karibia, 10 juta di Oseania, dan 4,6 juta di Timur Tengah dan Afrika Utara.
Oseania memiliki prevalensi tertinggi (49%), diikuti oleh sub-Sahara Afrika (13%),
Asia Tenggara (12,6%), Asia Selatan (8,6%), Asia Timur (5%), dan Amerika Latin
/ Karibia (5% ). (ref16). Ini mewakili sekitar 20% penurunan prevalensi dari
perkiraan WHO di tahun 2005.
Infeksi terkait erat dengan kemiskinan; sanitasi yang tidak memadai,
konstruksi perumahan yang buruk, dan kurangnya akses terhadap obat-obatan
esensial adalah faktor utama dalam hubungan ini. Studi yang dilakukan di Brazil
menunjukkan bahwa prevalensi dan intensitas infeksi lebih tinggi di antara rumah

11
tangga miskin. Studi serupa di Uganda menunjukkan bahwa jika dibandingkan
dengan prevalensi ascariumasis dan trichuriasis yang jerawatan, penyakit cacing
tambang lebih banyak terdistribusi secara homogen. [ 18 ] Seiring berkembangnya
negara, faktor yang menyebabkan penyakit cacing tambang dikurangi, dan infestasi
cacing tambang menurun. [ 19 ] Di negara maju, infeksi paling sering ditemui pada
pelancong, imigran, dan adopsi dari negara-negara berkembang. Baik spesies
Necator dan Ancylostoma memiliki distribusi di seluruh dunia.
3. Etiologi
Organisme penyebab:
Organisme yang telah terbukti menyebabkan penyakit cacing tambang adalah
sebagai berikut:
N americanus
Duodenale
Sebuah ceylonicum
Sebuah caninum
Sebuah braziliense
N americanus adalah cacing tambang manusia yang dominan secara global dan
merupakan satu-satunya anggota genus yang diketahui menginfeksi manusia. [ 14
] Ini adalah cacing kecil berbentuk silinder dan putih; Laki-laki dewasa berukuran
7-9 mm, dan betina dewasa berukuran 9-11 mm. [ 4 ]
Duodenale lebih dibatasi secara geografis daripada N americanus dan merupakan
satu dari beberapa anggota antroposilik dari genus Ancylostoma . Ini terutama
menginfeksi manusia dan bertanggung jawab atas penyakit cacing tambang klasik.
Duodenale menyerupai N americanus dalam penampilan namun agak lebih besar,
dengan pria dewasa berukuran 8-11 mm dan betina dewasa berukuran 10-13 mm.
Pada mikroskopi, N americanus dapat dibedakan dari A duodenale berdasarkan
lempeng pemotongan yang ada di tempat gigi (lihat gambar di bawah). [ 15 ]

12
4. Patogenesis

13
5. Manifestasi Klinis
Masa inkubasi demam tifoidsekitar 10-14 hari, rata-rata 2 minggu. Spektrum
klinis demam tifoid tidak khas dari asimtomatik atau ringan seperti panas disertai diare
sampai dengan klinis yang berat seperti panas tinggi, gejala septik, ensefalopati, atau
timbul komplikasi gastrointestinal berupa perdarahan dan perforasi usus. Hal ini
mempersulit penegakkan diagnosis jika hanya berdasarkan gambaran klinisnya. 1, 3
Demam merupakan gejala klinis terpenting yang timbul pada semua penderita
demam tifoid. Demam dapat muncul tiba-tiba, dalam 1-2 hari menjadi parah dengan
gejala yang menyerupai septikemia karena Streptococcus atau Pneumococcus daripada
Salmonella typhi. Menggigil tidak biasa didapatkan pada demam tifoid tetapi pada
malaria. Namun, demam tifoid dan malaria dapat timbul bersamaan pada 1 penderita.
Sakit kepala hebat yang menyertai demam tinggi dapat menyerupai gejala meningitis.
Nyeri perut kadang tidak dapat dibedakan dengan apendiksitis. Pada tahap lanjut dapat
muncul gejala peritonitis akibat perforasi usus. 4
o
Minggu ke-1 penderita mengalami demam (suhu berkisar 39-40 C), nyeri
kepala,epistaksis, batuk, anoreksia, mual, muntah, konstipasi, diare, nyeri perut,
nyeri otot, dan malaise. Minggu ke-2 pasien mengalami demam, lidah khas
berwarna putih (lidah kotor), bradikardia relatif, hepatomegali, splenomegali,
meteorismus, dan bahkan gangguan kesadaran (delirium, stupor, koma, atau psikosis).
4, 10

Demam pada demam tifoid umumnya berangsur-angsur naik selama


minggu ke-1, terutama sore dan malam hari (febris remiten). Pada minggu ke-2dan
ke-3 demam terus-menerus tinggi (febris kontinyu) kemudian turun secara lisis.
Demam tidak hilang dengan antipiretik, tidak menggigil, tidak berkeringat, dan
kadang disertai epistaksis. Gangguan gastrointestinal meliputi bibir kering dan
pecah-pecah disertai lidah kotor, berselaput putih, dan tepi hiperemis. Perut agak
kembung dan mungkin nyeri tekan. Lien membesar, lunak, dan nyeri tekan. Pada
awal penyakit umumnya terjadi diare kemudian menjadi obstipasi. 4, 10

6. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk demam tifoid meliputi pemeriksaan
hematologi, urinalisis, kimia klinis, imunoserologi, mikrobiologi, dan biologi
molekuler. Pemeriksaan ini untuk membantu menegakkan diagnosis, menentukan

14
prognosis, serta memantau perjalanan penyakit, hasil pengobatan, dan timbulnya
komplikasi.
a) Hematologi
i. Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun jika terjadi komplikasi
perdarahan atau perforasi usus.
ii. Hitung leukosit rendah (leukopenia) tetapi dapat normal atau tinggi.
iii. Hitung jenis neutrofil rendah (neutropenia) dengan limfositosis relatif.
iv. Laju endap darah (LED) meningkat.
v. Jumlah trombosit normal atau menurun (trombositopenia).13
b) Urinalisis
i. Protein bervariasi dari negatif sampai positif (akibat demam).
ii. Leukosit dan eritrosit normal tetapi meningkat jika terjadi komplikasi. 7
c) Kimia klinis
Enzim hati (SGOT dan SGPT) sering meningkat dengan gambaran radang
sampai hepatitis akut. 7
d) Imunoserologi
i. Widal
Widal digunakan untuk mendeteksi antibodi di dalam darah
terhadap antigen bakteri Salmonella typhi atau paratyphi (reagen). Pada uji
ini hasil positif jika terjadi reaksi aglutinasi antara antigen dengan antibodi
yang disebut aglutinin.Oleh karena itu, antibodi jenisini dikenal sebagai
febrile agglutinin. Hasil uji ini dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga
dapat memberikan hasil positif palsu atau negatif palsu. Hasil positif palsu
dapat disebabkan pernah vaksinasi, reaksi silang dengan spesies lain
(Enterobacteriaceae sp), reaksi anamnestik (pernah sakit), dan adanya
faktor reumatoid (RF). Hasil negatif palsu dapat disebabkan sudah
mendapatkan terapi antibiotik, waktu pengambilan darah kurang dari 1
minggu sakit, keadaan umum buruk, dan adanya penyakit imun lain.3, 13
Aglutinin O dan H yang digunakan untuk diagnosis demam tifoid.
Makin tinggi titer, makin besar kemungkinan menderita demam
tifoid.Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu ke-1 demam
kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu ke-4
serta tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul
aglutinin O dan diikuti aglutinin H. Orang yang sembuh, aglutinin O masih

15
dijumpai setelah 4-6 bulan sedangkan aglutinin H menetap lebih lama 9-12
bulan.3, 13
Jika titer O sekali periksa 1/200 atau terjadi kenaikan titer 4 kali,
diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H dikaitkan dengan
pasca imunisasi atau infeksi masa lampau sedangkanViuntuk deteksi
pembawa kuman (karier).13
ii. Elisa Salmonella typhi atau paratyphi lgG dan lgM
Uji ini lebih sensitif dan spesifik dibandingkan uji widal untuk
mendiagnosis demam tifoid. lgM positif menandakan infeksi akut
sedangkan lgG positif menandakan pernah kontak, terinfeksi, reinfeksi, atau
di daerah endemik.7
e) Mikrobiologi (kultur)
Gall culture atau biakan empedu merupakan gold standard untuk
demam tifoid. Jika hasil positif, diagnosis pasti untuk demam tifoid. Jika hasil
negatif, belum tentu bukan demam tifoid karena hasil biakan negatif palsu dapat
disebabkan jumlah darah terlalu sedikit (< dari 2 ml), darah tidak segera
dimasukkan ke media gall (darah membeku dalam spuitsehingga kuman
terperangkap dalam bekuan), saat pengambilan darah masih dalam minggu
ke-1 sakit, sudah mendapatkan terapi antibiotik, dan sudah vaksinasi.
Kekurangan uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu
waktu untuk pertumbuhan kuman (positif antara 2-7 hari, jika belum ada
ditunggu 7 hari lagi). Spesimenyang digunakan pada awal sakit adalah darah
kemudian untuk stadium lanjut atau carrier digunakan urin dan feses. 1, 3, 10
f) Biologi molekular
PCR (polymerase chain reaction) mulai banyak digunakan. Cara ini
dilakukan dengan perbanyakan DNA kuman kemudian diindentifikasi dengan
DNA probe yang spesifik. Kelebihan uji ini dapat mendeteksi kuman yang
terdapat dalam jumlah sedikit (sensitivitas) dan spesifisitas tinggi. Spesimen yang
digunakan dapat berupa darah, urin, cairan tubuh lain, dan jaringan biopsi. 6
7. Diagnosis
Diagnosis demam tifoid ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Diagnosis pasti dilakukan dengan cara menguji sampel
feses atau darah untuk mendeteksi adanya bakteri Salmonella sp dengan
membiakkan pada 14 hari awal setelah terinfeksi. 7

16
Selain itu, tes widal (aglutinin O dan H) mulai positif pada hari ke-10 dan
titer akan meningkat sampai berakhirnya penyakit. Pengulangan tes widal selang 2
hari jika peningkatan aglutinin progresif (di atas 1/200) menunjukkan diagnosis
positif dari infeksi aktif demam tifoid. Biakan feses dilakukan pada minggu ke-2
dan ke-3 serta biakan urin pada minggu ke-3 dan ke-4 dapat mendukung diagnosis
dengan ditemukannya bakteri Salmonella. 3, 13
Gambaran darah juga membantu menentukan diagnosis. Jika terdapat
leukopenia polimorfonuklear (PMN) dengan limfositosis relatif pada hari ke-10
dari demam, arah demam tifoid menjadi jelas. Jika terjadi leukositosis PMN, berarti
terdapat infeksi sekunder kuman di dalam lesi usus. Peningkatan cepat dari
leukositosis PMN waspada akan terjadinya perforasi usus. Tidak mudah
mendiagnosis karena gejala yang timbul tidak khas. Ada penderita yang setelah
terpapar kuman hanya mengalami demam kemudian sembuh tanpa diberi obat. Hal
itu dapat terjadi karena tidak semua penderita yang secara tidak sengaja menelan
kuman langsung sakit, tergantung dari banyaknya kuman dan imunitas seseorang.
Jika kuman hanya sedikit yang masuk saluran cerna, dapat langsung dimatikan oleh
sistem imun. 7

8. Diagnosis Banding
Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit secara klinis dapat
menjadi diagnosis banding seperti influenza, bronkitis, bronkopneumonia, dan
gastroenteritis. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme
intraseluler seperti tuberkulosis, infeksi jamur sistemik, bruselosis, tularemia,
shigelosis, dan malaria juga perlu dipikirkan. Demam tifoid yang berat dapat
didiagnosisbanding dengan sepsis, leukemia, limfoma, dan penyakit hodgkin.2, 7, 13

9. Tatalaksana
Tatalaksana umum, asuhan keperawatan, dan asupan gizi merupakan aspek
penting dalam pengobatan demam tifoid selain pemberian antibiotik. Tatalaksana
demam tifoid meliputi:
a) Tirah baring
Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat tidur seperti
makan, minum, mandi, buang air kecil, maupun buang air besar dapat

17
mempercepat penyembuhan. Kebersihan tempat tidur, pakaian, dan
perlengkapanyang dipakai juga perlu dijaga.5
Pasien demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk
isolasi,observasi, dan pengobatan. Pasien harus tirah baring absolut sampai
minimal 7 hari bebas demam atau 14 hari. Tirah baring bertujuan untuk
mencegahterjadinya komplikasi perdarahanatau perforasi usus. Mobilisasi
pasien dilakukan bertahap sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.5
Pasien dengan kesadaran menurun, posisi tubuh harus diubah pada
waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostatik dan
dekubitus. Defekasi dan buang air kecil harus diperhatikan karena kadang
terjadi obstipasi dan retensi urin. 5
b) Managemen nutrisi
Penderita demam tifoid selama menjalani perawatan dianjurkan
mengikuti petunjuk diet berikut:
i. Makanan yang cukup cairan, kalori, vitamin, dan protein.
ii. Tidak mengandung banyak serat.
iii. Tidak merangsang dan tidak menimbulkan banyak gas.
iv. Makanan lunak diberikan selama istirahat.
Makanan rendah serat bertujuan untuk membatasi volume feses dan tidak
merangsang saluran cerna. Pemberian bubur ditujukan untuk menghindari
terjadinya komplikasi perdarahan atau perforasi usus.11
c) Managemen medis
Pengobatan simtomatik diberikan untuk menekan gejala seperti demam,
diare, obstipasi, mual, muntah, dan meteorismus. Jika obstipasi > 3 hari, perlu
dibantu dengan parafin atau lavase dengan glistering. Obat laksansia atau
enema tidak dianjurkan karena dapat mengakibatkanperdarahan maupun
perforasi usus.11
Pengobatan suportif diberikan untuk memperbaiki keadaan penderita
seperti pemberian cairan dan elektrolit jika terjadi gangguan keseimbangan
cairan. Penggunaan kortikosteroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid
(disertai gangguan kesadaran dengan atau tanpa kelainan neurologis dan hasil
pemeriksaan CSF dalam batas normal) atau demam tifoid yang mengalami syok
septik. Regimen yang digunakan adalah deksametason dengan dosis 3 x 5 mg.
Pada anak digunakan deksametason intravena dengan dosis 3 mg/kg BB dalam

18
30 menit sebagai dosis awal dilanjutkan dengan 1 mg/kg BB tiap 6jam hingga
48 jam. 3, 11, 12

Antibiotik diberikan untuk mencegah terjadinya penyebaran kuman.


Antibiotik yang dapat digunakan dalam demam tifoid yaitu:
i. Kloramfenikol.
Dosis orang dewasa 4 x 500 mg per hari oral atau intravena sampai
7 hari bebas demam.Suntikintramuskuler tidak dianjurkan karena dapat
terjadi hidrolisis esterdan tempat suntikan terasa nyeri.Tingginya angka
kekambuhan (10-25%), masa penyakit memanjang, karier kronis, depresi
sumsum tulang (anemia aplastik), dan angka mortalitas yang tinggi
merupakan perhatian yang perlu terhadap kloramfenikol. Kekambuhan
dapat diobati dengan obat yang sama. Penurunan demam terjadi pada hari
ke-5.11, 12
ii. Tiamfenikol
Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama
dengan kloramfenikol tetapi komplikasi hematologi sepertianemia
aplastik lebih rendah dibandingkan kloramfenikol.Dosis tiamfenikol 4 x
500 mg. Demam menurun pada hari ke-6. 11, 12
iii. Ampisilin dan kotrimoksazol
Efektivitas obat ini hampir sama dengan kloramfenikol. Dosis orang
dewasa 2 x 2 tablet (1 tablet mengandung sulfametoksazol 400 mg dan
trimetoprin 80 mg) diberikan selama 2 minggu.Diberikan karena
meningkatnya angka mortalitas akibat resistensikloramfenikol. Munculnya
strain Salmonella typhiMDR menjadikan ampisilin dan kotrimoksazol
resisten.11, 12
iv. Kuinolon
Kuinolon mempunyai aktivitas tinggi terhadapSalmonellain vitro
sertamencapai konsentrasi tinggi di usus danlumen empedu. Siprofloksasin
mempunyai efektivitas tinggi terhadap strain Salmonella typhi MDRdan
tidak menyebabkan karier. Kuinolon yang dapat digunakan untuk demam
tifoid meliputi:
1) Norfloksasin dosis 2 x 400 mg per hari selama 14 hari.

19
2) Siprofloksasin dosis 2 x 500 mg per hari selama 6 hari.
3) Ofloksasin dosis 2 x 400 mg per hari selama 7 hari.
4) Pefloksasin dosis 400 mg per hari selama 7 hari.
5) Fleroksasin dosis 400 mg per hari selama 7 hari.
Demam umumnya lisis pada hari ke-3 atau ke-4. Penurunan demam sedikit
lambat pada penggunaan norfloksasin. 11, 12

v. Sefalosporin generasi III


Sefotaksim, seftriakson, dan sefoperazon digunakanselama 3 hari
dan memberi efek terapi samadengan obat yang diberikan 10-14 hari.
Respon baik juga dilaporkan dengan pemberian seftriakson dosis 3-4 gram
dalam dekstrosa 100 cc selama 30 menit per infus 1 x diberikan 3-5 hari. 11,
12

vi. Antibiotik lainnya


Beberapa studi melaporkan keberhasilan pengobatan demam tifoid
dengan aztreonam (monobaktam). Antibiotik ini lebih efektif daripada
kloramfenikol.Azitromisin (makrolid) diberikan dengan dosis 1 x 1 gram
per hari selama 5 hari. Aztreonam dan azitromisindapat digunakan anak-
anak, ibu hamil, dan menyusui. 11, 12
vii. Kombinasi antibiotik
Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan hanya pada keadaan
tertentu seperti toksik tifoid, peritonitis, perforasi, dan syok septik dimana
pernah terbukti ditemukan 2 macam organisme dalam kultur darah selain
bakteriSalmonella typhi. Kepekaan kuman terhadap antibiotik yaitu:
1) Ampisilin, amoksisilin, sulfametoksazol, dan trimetoprin mempunyai
kepekaan 95,12%.
2) Sisanya seperti kloramfenikol mempunyai kepekaan 100%. 11,12
Tabel 3. Obat dan Dosis Antibiotik untuk Demam Tifoid

20
Tabel 4. Rekomendasi DOC Pengobatan Antibiotik untuk Demam Tifoid

sensitif fluorokuinolon (ofloksasin, siprofloksasin) 5-7 hari


Demam
tifoid tanpa MDR fluorokuinolon 5-7 hari atau sefiksim 7-14 hari

komplikasi resisten kuinolon azitromisin 7 hari atau seftriakson 10-14 hari

sensitif fluorokuinolon (ofloksasin) 10-14 hari


Demam
tifoid dengan MDR fluorokuinolon (ofloksasin) 10-14 hari
komplikasi resisten kuinolon azitromisin 7 hari atau seftriakson 10-14 hari

10. Prognosis
Prognosis demam tifoid tergantung dari usia, keadaan umum, status
imunitas, jumlah dan virulensi kuman, serta cepat dan tepatnya pengobatan.
Prognosis buruk jika terdapat gejala klinis yang berat seperti hiperpireksia atau
febris kontinyu, kesadaran menurun, malnutrisi, dehidrasi, asidosis, peritonitis,
bronkopneumonia, dan komplikasi lain. Di negara maju dengan terapi antibiotik
yang adekuat angka mortalitas < 1%. Di negara berkembang angka mortalitas >
10%, biasanya disebabkan keterlambatan diagnosis dan pengobatan.Angka
mortalitas pada anak-anak 2,6% dan pada orang dewasa 7,4% dengan rata-rata
5,7%.6, 7

21
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan bakteri
Salmonella typhi 3 bulan setelah infeksi umumnya manjadi karier kronis. Risiko
menjadi karier pada anak-anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronis
terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid. Insidensi penyakit traktus
biliaris lebih tinggi pada karier kronis dibandingkan dengan populasi umum.
Walaupun karier urin kronis juga dapat terjadi, hal ini jarang dan dijumpai terutama
pada individu dengan skistosomiasis. 7, 1

22
BAB III
RENCANA PROGRAM

A. Tabel Prioritas Solusi Masalah Penjamah Makanan dalam Pengawasan pada


Proses Penyediaan Makanan yang Dipersiapkan untuk Murid SDN 01 Kebon
Cengkeh

No. Prioritas Jalan Keluar Efektifitas Efisiensi Hasil


M I V C
P=

1 Home visite ke rumah penjamah 4 3 4 4 12


makanan
2 Mengevaluasi hasil rectal swab 3 2 2 3 4
3 Penyuluhan pencegahan penularan 5 5 5 5 25
dan pengobatan penyakit thyfoid
4 Pengobatan terhadap penjamah 4 3 4 4 12
yang carrier
5 Advokasi dan sosialisasi ke Dinas 5 5 5 2 62,5
Kesehatan terkait vaksinasi tifoid
sebagai imunisasi dasar
6 Pembentukan contoh desa tanggap 5 5 5 5 25
tifoid

Keterangan :
P : Prioritas jalan keluar
M : Magnitude, besarnya masalah yang bisa diatasi apabila solusi ini
dilaksanakan (turunnya prevalensi dan besarnya masalah lain)
I : Implementasi, kelanggengan selesai masalah
V : Vulnerability, sensitifnya dalam mengatasi masalah
C : Cost, Biaya yang diperlukan

23
Maka, prioritas jalan keluar yang terpilih adalah melakukan penyuluhan penularan
typhoid fever.

24
B. Pelaksanaan Kegiatan Penyuluhan Penularan Typhoid Fever

Volume Lokasi Tenaga Kebutuhan


No Kegiatan Sasaran Target Rincian kegiatan Jadwal
kegiatan pelaksana pelaksana pelaksanaan

1. Menentuka Petugas Terbentukn 2 kali 1. Mengumpulkan Ruang Dokter 3 April 1. Ruangan


n kriteria Kesehatan ya tim kriteria - pertemuan Puskesmas 2017 dan
2. Kursi dan
tim Puskesmas penyuluh kriteria tim puskesmas dan Kepala 7 April
meja
penyuluh penyuluh Puskesmas 2017
2. Menyepakati 3. Konsumsi

tim penyuluh 4. Buku laporan

25
2 Pembentuka Tenaga Terbentuk 1 kali 1. Memilih dan Ruang Dokter 10 April 1. Konsumsi
n tim kesehatan tim menyeleksi pertemuan Puskesmas 2017
2. Ruangan
penyuluhan puskesmas penyuluh kandidat tim puskesmas dan Kepala
kebon cengkeh 3. Papan Tulis
penyuluh kebon Puskesmas
2. Menyetujui cengkeh 4. Alat tulis
terbentuknya tim (spidol,
penyuluh penghapus)
3. Pembentukan
5. Mic
struktural tim
penyuluh 6. Kursi

7. Buku laporan

26
3. Perencanaa Tim penyuluh Terbentukn 3x dalam 1. Menyusun materi Ruang Tim 14, 17, 20 1. Ruangan
n Program terpilih (petugas ya program seminggu pelatihan pertemuan penyuluh April
2. Kursi
Pelatihan kesehatan penyuluhan 2. Penyuluhan sanitasi puskesmas terpilih 2017
dan puskesmas) dan lingkungan dan 3. Meja

Penyuluhan pelatihan perilaku hidup 4. Mic dan


. bersih dan sehat perlengkatan
3. Memberikan contoh teknik
cara penyimpanan
5. Pelaporan
dan pengolahan
bahan serta 6. Laptop
makanan yang
7. LCD
bersih dan sehat
8. Konsumsi
4. Demo cara cuci
tangan yang benar 9. Buku laporan
5. Pembagian Pamflet
tentang tifoid

27
4. Pelatihan Tim penyuluh Tim 2 kali 1. Pembahasan materi Ruang Dokter 25 April 1. Lokasi
Tim yang terpilih penyuluh penyuluhan pertemuan Puskesmas 2017
2. Bahan materi
penyuluh (petugas yang puskesmas
2. Pemantapan materi (power point)
kesehatan terpilih
penyuluhan
puskesmas) (petugas 3. Alat-alat

kesehatan peraga,

puskesmas) 4. Konsumsi.

5. Laptop

6. LCD

7. Pelaporan

28
5. Penyuluhan 1. Penjamah Tercakup 4 kali Pelaksanaan 1. Sekolah Dokter 1.1-4 Mei 1. Lokasi
Pencegahan makanan, seluruh penyuluhan, SD Kebon puskesmas 2017 (SD
2. LCD
Penularan seluruh siswa, siswa, orang penyampaian materi Cengkeh dan Tim Kebon
Typoid orang tua siswa, tua siswa, penyuluhan dan Penyuluh Cengkeh) 3. Laptop
2. Balai
Fever dan pengelola guru, staff pembagian pamflet 4. Alat peraga
Desa 2. 10 Mei
Pengobatan kantin, guru, di SD tentang tifoid
Kebon 2017 dan 5. Pamflet
penyakit dan staff di SD Kebon
Cengkeh 13 Mei
Tifoid Kebon Cengkeh Cengkeh 6. Buku laporan
2017
2. Tokoh 7. Konsumsi
Masyarakat dan
8. Doorprize
Warga Desa
(tanya-jawab)
Kebon Cengkeh

29
6. Evaluasi 1. Penjamah Peningkatan 2 kali 1. Inspeksi mendadak 1.Kantin Tim 1. 1 Juni 1. Transport
Hasil makanan, pemahaman kantin sekolah sekolah penyuluh 2017 2. Kuisioner
Penyuluhan seluruh siswa, tentang 2. Kunjugan ke rumah kebon (kantin 3. Kamera
orang tua siswa, pencegahan warga untuk melihat cengkeh sekolah 4. pelaporan
pengelola penularan dapur dan cara SD Kebon
2. Rumah
kantin, guru, penyakit penyajian makanan Cengkeh)
warga desa
dan staff di SD typhoid 3. Penyebaran
kebon 2. 5 Juni
Kebon Cengkeh fever dan kuisioner untuk
cengkeh 2017
pengobatan menilai tingkat
2.Tokoh (desa
penyakit pengetahuan
masyarakat dan kebon
tyfoid penjamah makanan
warga Desa cengkeh)
Kebon Cengkeh

30
31
32
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Penyebab terjadinya penyakit demam tifoid pada daerah yang cukup


bersih sesuai pada skenario diatas adalah kurangnya kebersihan dari pihak
pengolah makanan dalam mengolah makanannya dan mengontrol kesehatan
pekerja di dapur, sehingga pengolah makanan yang terpapar tifoid dapat
menularkan penyakit tersebut melalui makanan yang diolahnya kepada
konsumen.

Setelah diketahui penyebab terjadinya demam tifoid pada skenario diatas,


cara pencegahan difokuskan pada penanganan terhadap penjamah makanan
yang bertugas menyediakan makanan untuk anak-anak di sekolah. Cara
pencegahan dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti home visite ke rumah
penjamah makanan , mengevaluasi hasil pemeriksaan penunjang yang sudah
dilakukan, advokasi dan sosialisasi ke Dinas Kesehatan terkait vaksinasi tifoid
sebagai imunisasi dasar, memberikan pengobatan pada penjamah makanan yang
carrier, pembentukan contoh desa tanggap tifoid dan dengan prioritas
melakukan penyuluhan mengenai pemberantasan dan pencegahan penularan
thypoid fever.

Program penyuluhan mengenai pemberantasan dan pencegahan penularan


thypoid fever pada penjamah makanan dan warga sekitar sekolah dimulai
dengan menentukan kriteria tim penyuluh, pembentukan tim penyuluhan,
perencanaan program pelatihan dan penyuluhan, pelatihan tim penyuluh,
penyuluhan pemberantasan dan pencegahan penularan tifoid fever, dan evaluasi
hasil penyuluhan.

33
B. Saran
1. Jagalah kebersihan dengan cara mencuci tangan sebelum dan setelah
melakukan kegiatan, setelah keluar dari kamar mandi, dll dengan
menggunakan air bersih yang mengalir dan menggunakan sabun sehingga
dapat meminimalisir penyakit.
2. Perlu adanya tes kesehatan secara rutin bagi para pengolah makanan untuk
mengetahui lebih awal adanya penyakit yang dapat ditularkan melalui
makanan.
3. Perlu adanya peningkatan kesadaran dari pengolah makanan, guru,
penjamah makanan, staff sekolah dan orang tua siswa serta siswa sendiri
dalam menjaga kebersihan lingkungan dan makanan.

34
DAFTAR PUSTAKA

Alan, R.T. 2003. Diagnosis dan Tatalaksana Demam Tifoid: Pediatrics Update.
Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Cammie, F.L. & Samuel, I.M. 2005. Salmonellosis: Principles of Internal


Medicine: Harrison 16th Ed. 897-900.

Chambers, H.F. 2006. Infectious Disease: Bacterial and Chlamydial. Current


Medical Diagnosis and Treatment 45th Ed. 1425-6.

Chin, J. 2006. Pemberantasan Penyakit Menular Edisi 17. Jakarta: Infomedika.

Djoko Widodo. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi IV. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.

Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2008. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis 2nd
Ed. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.

Jawetz, Melnick, & Adelberghs. 2005. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta:


Salemba Medika.

Mansjoer, A. 2000. Demam Tifoid: Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: FK UI.

Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam :


Soegijanto S, Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan,
edisi 1. Jakarta : Salemba Medika, 2002:1-43.

Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2006. Standar


Pelayanan Medik. Jakarta: PB PABDI.

Rampengan, T. H. 2007. Penyakit Infeksi Tropis pada Anak Edisi II. Jakarta:
EGC.

Soedarmo, P., dkk. 2010. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis Edisi II. Jakarta:
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI.

Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar infeksi & pediatri
tropis. Ed. 2. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h. 338-45

35

You might also like