You are on page 1of 4

Mengulas Manusia Indonesia Dari Perspektif Seorang Mochtar Lubis1

Oleh: Muhammad Fachrizal Helmi

Kembali ke tahun 1977. Saya diajak untuk membayangkan manusia Indonesia pada masa lalu.
Dalam buku ini, Mochtar Lubis sangat lugas dan berani memaparkan ciri-ciri manusia Indonesia
menurut pandangan pribadinya. Mochtar Lubis adalah seorang jurnalis, sastrawan, serta budayawan
yang sangat kapabel di bidangnya. Jakob Utama di dalam kata pengantar buku ini menulis begini;

.....Pidato Bung Mochtar yang diterbitkan oleh Yayasan Obor


Indonesia berjudul Manusia Indonesia, ramai dibicarakan.
Gaya dan sikapnya yang terus terang mengupas terutama sifat-
sifat negatif orang Indonesia kecuali mengundang pendapat
pro dan kontra, terutama juga membangkitkan pemikiran kritis
tentang manusia Indonesia.

Mochtar Lubis menyatakan di dalam ceramahnya (atau tulisan teks ceramahnya yang
dibukukan ini) bahwa ada enam sifat atau ciri utama (ditambah sifat lainnya) manusia Indonesia yang
dipaparkan yaitu:

1. Munafik atau hipokrit; Mochtar Lubis menyebutkan bahwa sifat ini ditampilkan dan disuburkan
lewat semboyan ABS (Asal Bapak Senang).
2. Enggan dan segan bertanggung jawab atas perbuatannya.
3. Bersikap dan berperilaku feodal.
4. Percaya takhayul.
5. Artistik atau berbakat seni.
6. Lemah watak atau karakternya, dan sifat lainnya.

Ciri pertama yaitu munafik atau hipokrit. Menurut Mochtar Lubis, suka berpura-pura, lain di
muka, lain di belakang. Sikap seperti ini dilatarbelakangi oleh kejadian masa lampau, masa ketika
Indonesia terkungkung oleh penjajahan dan penjejalan sesuatu yang baru. Manusia Indonesia dulu,
ketika terjajah, selalu dipaksa oleh tekanan-tekanan dari luar untuk menyembunyikan sesuatu yang
dapat membahayakannya. Banyak segala sesuatu yang ada dalam diri dibungkam oleh sistem feodal
yang dulu sangat-sangat mengikat orang-orang Indonesia.

Segala bentuk inisiatif masyarakat Indonesia dibungkam, bahkan masyarakat ditindas oleh
kesewenang-wenangan, tetapi masyarakat takut melawan karena tekanan dari sistem feodal begitu
tinggi. Oleh karena itulah, masyarakat Indonesia cenderung menyembunyikan sesuatu karena tidak

1
Mochtar Lubis. Manusia Indonesia (Sebuah Pertanggungjawaban) buku ini adalah ceramah Mochtar Lubis
pada tanggal 6 April 1977 di Taman Ismail Marzuki Jakarta. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001.
mau cari masalah. Segala sesuatu yang diperintahkan, walaupun tidak berkenan di hati, tetap
dilaksanakan. Misalnya saja tanam paksa yang pernah dialami oleh masyarakat Indonesia. Selain itu,
hal-hal baru (misalnya, agama) yang datang ke bagian masyarakat Indonesia, yang kedatangannya tak
jarang menggunakan cara yang memaksa, pun menjadi salah satu faktor yang menyebabkan manusia
Indonesia cenderung memiliki sikap hipokrit. Sikap hipokrit ini dihayati manusia Indonesia (tidak
bermaksud melabeli) untuk bertahan atau survive dari segala kemungkinan yang mengancam dirinya.

Ciri kedua yaitu enggan dan segan bertanggung jawab atas perbuatannya. Menurut Mochtar
Lubis, pernyataan bukan saya adalah indikator atas sikap enggan dan segan bertanggung jawab yang
dimiliki oleh manusia Indonesia. Bukan saya sangat populer terlontar dari mulut manusia Indonesia.
Ketika seseorang yang memiliki jabatan mengemban suatu tugas, lalu, tugas yang diembannya itu tidak
berjalan sesuai dengan ekspektasi dan harapan, maka si atasan tersebut akan melemparkan
kesalahannya kepada bawahannya. Dan seterusnya. Sikap saling menunjuk atau menumbalkan
seseorang untuk menjamin kenyamanan dirinya dari segala kemungkinan.

Sikap saling menujuk ini pada akhirnya hanya akan menumbuhkan ketidakbertanggungjawaban
kolektif (ini istilah saya). Si A menyalahkan si B, si B menyalahkan si C, dan begitu seterusnya. Dan,
menurut Mochtar Lubis, sebaliknya, ketika ada sesuatu kebaikan yang ada dalam lingkungan masing-
masing, mereka akan berlomba saling unjuk diri bahwa kebaikan tersebut adalah hasil dari apa yang
dilakukan oleh dirinya. Tidak mau disalahkan atas kesalahan, tapi rakus akan buaian pujian ketika ada
suatu kebaikan. Mungkin itu yang tepat.

Ciri ketiga adalah bersikap dan berperilaku feodal. Menurut Mochtar Lubis, yang melihat pada
tahun 1977, setelah berkumandang kemerdekaan, Indonesia masih belum terbebas dari sikap feodalisme
yang merupakan peninggalan dari pemerintah kolonial dan kerajaan-kerajaan pada masa lalu. Sikap
feodal tersebut, menurut Mochtar Lubis, dapat dilihat dalam tata cara upacara resmi kenegaraan, dalam
hubungan-hubungan organisasi kepegawaian, etc. Misal, dalam organisasi kepegawaian istri-istri
petinggi atau pembesar negeri. Pasti, yang menjadi pemimpin atau ketua organisasi tersebut adalah istri
dari para petinggi (suami) juga. Dipilih bukan berdasarkan keahlian, pengetahuan, pengalaman,
leadership, dan pengabdiannya. Itu, menurut Mochtar Lubis, adalah salah satu ciri feodalisme yang
masih melekat pada manusia Indonesia.

Menurut Mochtar Lubis, sikap feodal tersebut dilanggengkan oleh yang ada di atas juga di
bawah. Yang di atas gila hormat, atau sekadar senang saja. Banyak petinggi-petinggi yang selalu ingin
dihormati, dipatuhi (walaupun itu salah), dan dibesarhatikan atau disanjung-sanjung. Mochtar Lubis
menguraikan contoh sebagai berikut:

pernah seorang kawan berceritera, bahwa dia pernah hendak menelepon seorang
pembesar, yang diterima oleh seorang ajudan atau sekretaris dan ketika dia
mengatakan bahwa dia hendak berbicara dengan sang bapak, maka sang ajudan
atau sekretaris berkata; Apa bapak sudah ada janji? Dia heran sekali dan
bertanya, kok mau menelepon perlu janji. Soalnya banyak orang yang merasa
bahwa langsung menelepon pembesar itu kurang sopan. Yang sopan menurut jiwa
feodal kita ialah pergi menghadap, maka perlu menunggu, dari beberapa hari
sampai beberapa Minggu. Semakin lama diperlukan waktu untuk dapat menghadap
maka semakin besar dan tinggi gengsi sang pembesar

Mungkin cerita tersebut cukup menggambarkan bagaimana hubungan antara pembesar yang bukan
pembesar, terbatas oleh jarak yang bernama feodal. Seorang pembesar seolah memiliki sesuatu yang
khas yaitu, kotak khusus yang dapat membesarkan segala hal yang ada pada dirinya. Seakan dunia
para pembesar tersebut berbeda lebih penuh hormat, penuh kekuasaan, dan lain sebagainya, dan
berbeda dengan dunia yang bukan pembesar dipenuhi keharusan kepatuhan pada pembesar, dan lain
sebagainya. Dan hubungan tersebut dilanggengkan dan berterima oleh kedua-belah pihak, yang
pembesar semakin dihormati, dan yang bukan pembesar pun semakin menghormati. Kritik dan koreksi
kepada para pembesar pun dihindarkan oleh para yang bukan pembesar, entah karena alasan tidak sopan
atau tidak hormat, atau apapun.

Ciri keempat adalah manusia Indonesia yang masih percaya pada hal-hal takhayul. Mochtar
Lubis mengungkapkan bahwa dulu, bahkan sekarang (1977), manusia Indonesia masih senantiasa
percaya terhadap hal-hal takhayul. Seperti, percaya kepada benda-benda yang dikeramatkan, batu,
gunung, pantai, sungai, danau, karang, pohon, patung, bangunan, keris, pisau, pedang, atau segala hal
yang dianggap memilik daya magis, memiliki kekuatan gaib, keramat, manusia Indonesia masih
percaya akan hal-hal seperti itu.

Diperkuat dengan percayanya perlambang-perlambang atau pertanda; misal, jika ada burung
gagak terbang berputar di atas rumah, itu alamat mengerikan, akan ada orang rumah yang meninggal.
Dan pertanda-pertanda lain yang juga dipercaya. Itu adalah salah satu ciri bahwa manusia Indonesia
masih percaya kepada takhayul. Selain itu, ada juga, bahwa, manusia Indonesia percaya bahwa ada
manusia yang menjelma binatang (siluman)2. Manusia Indonesia masih banyak yang percaya terhadap
hantu-hantu. Menurut Mochtar Lubis, manusia Indonesia, setinggi apapun pendidikannya, pasti ada saja
yang masih memercayai hal-hal seperti itu.

Ciri kelima adalah artistik. Menurut Mochtar Lubis, manusia Indonesia memiliki jiwa artistik
yang cukup tinggi. Hal tersebut karena sikap orang Indonesia yang memasang roh, sukma, jiwa, tuah
dan kekuasaan pada segala benda alam di sekelilingnya, maka manusia Indonesia dekat dengan alam.

2
Dalam hal ini saya ingin menambahkan catatan kaki, terkait manusia Indonesia pada masa ini (2015) pun masih
sangat percaya sekali pada hal-hal takhayul. Buktinya, tontonan Ganteng-Ganteng Serigala dan Manusia
Harimau, atau film-film yang berlatar siluman, masih sangat banyak sekali yang menonton. Dan memiliki rating
tinggi.
Dia (manusia Indonesia) hidup lebih banyak dengan naluri, dengan perasaannya, dengan perasaan
sensualnya, dan melalui perasaan tersebut daya artistik dalam diri manusia Indonesia dikembangkan.
Tentunya hal itu dapat dilihat dari banyaknya benda-benda artistik yang tercipta oleh manusia
Indonesia. Misalnya, patung batu, ukiran kayu, tenunan, seni musik, seni tari, folklor, dan lain
sebagainya, yang begitu banyaknya (tercipta di suku-suku bangsa manusia Indonesia). Dan masyarakat
dunia pun tidak menyangsikan hal ini.

Ciri keenam adalah manusia Indonesia berwatak lemah. Menurut Mochtar Lubis, orang
Indonesia kurang kuat dalam mempertahankan keyakinannya, karakternya kurang kuat, lemah. Orang-
orang Indonesia mudah sekali dipaksa, atas nama keamanan diri atau survive. Hal tersebut dapat
dilihat dari gejala pelacuran intelektual yang terjadi pada masa Soekarno. Pada masa itu, orang-orang
Indonesia banyak yang menumbangkan prinsip ilmiah demi revolusinya Soekarno. Dahulu Soekarno
mengatakan bahwa inflasi itu baik, asal demi revolusi Indonesia. Akibatnya, pada waktu Soekarno
jatuh, laju inflasi di negeri ini sudah mencapai 650 persen setahun, dan negeri ini bangkrut, rakyat
morat-marit. Para ahli ekonomi menyanjung pemikiran Soekarno tersebut, yang padahal membuat
rakyat morat-marit. Betapa goyah dan lemahnya para ahli ekonomi tersebut.

Selain membicarakan tentang enam ciri manusia Indonesia yang utama, Mochtar Lubis pun di
dalam bukunya, membicarakan tentang ciri lainnya yang begitu panjang dan banyak. Buku ini dapat
dijadikan sebagai salah satu sumber yang cukup mumpuni, untuk melihat perkembangan manusia
Indonesia dari tahun 1990-an sampai sekarang. Pun pernyataan Mochtar Lubis di dalam ceramahnya
ini hanya berdasarkan intuisi dari seorang Mochtar Lubis, saya rasa, tidak dapat sedikit pun dipungkiri,
bahwa kita akan merasa demikian (mungkin). Dalam bukunya, Mochtar Lubis memberikan sepenuhnya
penilaian pada apa yang dipaparkannya kepada para pembaca. Belum tentu benar dan belum tentu salah,
itulah ceramah Mochtar Lubis dalam hal ini.

You might also like