You are on page 1of 5

NIKAH TANPA KUA

Oleh : Ust. Ogi Irawan,.

ATAS PERMINTAAN DARI TEMAN saya Sedikit Paparkan Kajian Fiqh INI :
semoga bermanfaat
Nikah Tanpa KUA

Definisi Nikah Urfi

Masalah yang sedang kita bahas ini dalam istilah fiqih kontemporer dikenal dengan
istilah Zawaj Urfi yaitu

suatu pernikahan yang memenuhi syarat-syarat pernikahan tetapi tidak dicatat secara
resmi oleh pegawai pemerintah yang menangani pernikahan (baca: KUA).[1]

Disebut dengan nikah urfi (adat) karena pernikahan ini merupakan adat dan
kebiasaan yang berjalan dalam masyarakat muslim sejak masa Nabi dan para sahabat
yang mulia, di mana mereka tidak perlu untuk mencatat akad pernikahan mereka tanpa
ada permasalahan dalam hati mereka.[2]

Dari definisi di atas, dapat kita fahami bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan yang
menonjol antara pernikahan syari dengan pernikahan urfi, perbedaannya hanyalah
antara resmi dan tidak resmi, karena pernikahan urfi adalah sah dalam pandangan
syari disebabkan terpenuhinya semua persyaratan nikah seperti adanya wali dan
saksi, hanya saja belum dianggap resmi oleh pemerintah karena belum tercatat oleh
pegawai KUA setempat sehingga mudah untuk digugat.

DR. Abdul Fattah Amr berkata: Nikah urfi mudah untuk dipalsu dan digugat, berbeda
dengan pernikahan resmi yang sulit untuk digugat.[3]

Faktor-Faktor Pendorong Nikah Urfi

Ada beberapa faktor yang menyebabkan seorang untuk memilih pernikahan tanpa dicatat
di KUA. Di antaranya adalah:

1. Faktor Sosial:

a. Problem Poligami

Syariat Islam membolehkan bagi seorang laki-laki yang mampu untuk menikah lebih
dari satu istri. Sebagian kaum lelaki ingin mempraktekkan hal ini, namun ada
hambatan sosial yang menghalanginya, sebab poligami dipandang negatif oleh
masyarakatnya atau undang-undang Negara yang mempersulit poligami atau bahkan
melarangnya. Nah, tatkala ada seorang yang ingin berpoligami dan dalam waktu yang
sama dia ingin menjaga keutuhan keluargannya, di situlah dia memilih jalan
pernikahan model ini.

b. Undang-Undang Usia

Dalam suatu Negara, biasanya ada undang-undang tentang usia layak menikah. Di saat
ada seorang pemuda atau pemudi yang sudah siap menikah tetapi belum terpenuhi usia
dalam undang-undang, maka diapun akhirnya memilih jalan ini.

3. Tempat Tinggal Yang Tidak Menetap

Sebagian orang tidak menetap tempat tinggalnya karena terikat dengan pekerjaan yang
digelutinya. Terkadang dia harus tinggal beberapa waktu yang cukup lama sedangkan
istrinya tidak bisa menemaninya di sana. Dari situlah dia memilih pernikahan model
ini guna menjaga kehormatannya.
2. Faktor Harta

Dalam sebagian suku atau Negara masih mengakar adat jual mahal maskawin alias mahar
sehingga menjadi medan kebanggaan bagi mereka. Nah, tatkala ada pasangan suami
istri yang ridho dengan mahar yang relatif murah, mereka menempuh pernikahan model
ini karena khawatir diejek oleh masyarakatnya.

3. Faktor agama

Termasuk faktor juga adalah lemahnya iman, dimana sebagian orang lebih menempuh
jalan ini untuk memenuhi hasratnya bersama kekasihnya dan tidak ingin terikat dalam
suatu pernikahan resmi.[4]

Sejarah Pencatatan Akad Nikah

Kaum muslimin pada zaman dahulu mencukupkan diri untuk melangsungkan nikah dengan
lafadz dan saksi, tanpa memandang perlu untuk dicatat dalam catatan resmi. Namun,
dengan berkembangnya kehidupan dan berubahnya keadaan, di mana dimungkinkan para
saksi untuk lupa, lalai, meninggal dunia dan sebagainya, maka diperlukan adanya
pencatatan akad nikah secara tertulis.[5]

Awal pencatatan akad nikah adalah ketika kaum muslimin mulai mengakhirkan mahar
atau sebagian mahar, lalu catatan pengakhiran mahar tersebut dijadikan sebagai
bukti pernikahan.

Syaikhul Islam mengatakan: Para sahabat tidak menulis mahar karena mereka tidak
mengakhirkannya, bahkan memberikannya secara langsung, seandainya di antara mereka
ada yang mengakhirkan tetapi dengan cara yang baik. Tatkala manusia mengakhirkan
mahar padahal waktunya lama dan terkadang lupa maka mereka menulis mahar yang
diakhirkan tersebut, sehingga catatan itu merupakan bukti kuat tentang mahar dan
bahwasanya wanita tersebut adalah istrinya.[6]

Manfaat Pencatatan Akad Nikah

Pencatatan akad nikah secara resmi memiliki beberapa manfaat yang banyak sekali, di
antaranya:

Menjaga hak dari kesia-siaan, baik hak suami istri atau hak anak berupa nasab,
nafkah, warisan dan sebagainya. Catatan resmi ini merupakan bukti otentik yang
tidak bisa digugat untuk mendapatkan hak tersebut.
Menyelesaikan persengkatan antara suami istri atau para walinya ketika mereka
bersengketa dan berselisih, karena bisa jadi salah satu di antara mereka akan
mengingkari suatu hak untuk kepentingan pribadi dan pihak lainnya tidak memiliki
bukti karena saksi telah tiada. Maka dengan adanya catatan ini, hal itu tidak bisa
diingkari.
Catatan dan tulisan akan bertahan lama jangka waktunya, sehingga sekalipun yang
bertanda tangan telah meninggal dunia namun catatan masih bisa digunakan setiap
waktu. Oleh karena itu, para ulama menjadikan tulisan merupakan salah satu cara
penentuan hukum.
Catatan nikah akan menjaga suatu pernikahan dari pernikahan yang tidak sah, karena
akan diteliti terlebih dahulu beberapa syarat dan rukun pernikahan serta
penghalang-penghalangnya.
Menutup pintu pengakuan-pengakuan dusta dalam pengadilan, di mana bisa saja
sebagian orang yang hatinya rusak mengaku telah menikahi seorang wanita secara
dusta untuk menjatuhkan lawannya dan mencemarkan kehormatannya hanya karena
mudahnya suatu pernikahan dengan saksi palsu.[7]

Bila Undang-Undang Mewajibkan Pencatatan Akad Nikah


Melihat manfaat-manfaat pencatatan akad nikah di atas, maka hampir semua Negara
sekarang membuat undang-undang agar pernikahan warganya dicatat oleh pegawai yang
telah ditunjuk pemerintah. Undang-undang ini merupakan politik syari[8] yang
ditetapkan oleh pemerintah karena memandang maslahat di baliknya yang sangat besar
sekali yaitu untuk menjaga hak dan khawatir adanya pengingkaran.[9]

Kita tidak boleh lupa bahwa agama Islam dibangun di atas maslahat dan menolak
kerusakan. Seandainya saja undang-undang ini disepelehkan pada zaman sekarang
niscaya akan terbuka lebar kerusakan dan bahaya yang sangat besar serta pertikaian
yang berkepanjangan, tentu saja hal itu sangat tidak sesuai dengan syariat kita
yang indah.

Jadi, apabila pemerintah memandang adanya undang-undang keharusan tercatatnya akad


pernikahan, maka itu adalah undang-undang yang sah dan wajib bagi rakyat untuk
mematuhinya dan tidak melanggarnya. Allah berfirman:

??? ???????? ????????? ???????? ?????????? ?????? ???????????? ?????????? ?????????


???????? ???????

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. (QS. An-Nisa: 59)

Al-Mawardi berkata: Allah mewajibkan kepada kita untuk mentaati para pemimpin
kita.[10]

Dan masih banyak lagi dalil-dalil lainnya yang mewajibkan kepada kita untuk taat
kepada pemimpin selama perintah tersebut bukan suatu yang maksiat.[11]

Dalam sebuah kaidah fiqih yang populer dikatakan:

????????? ????????? ????? ???????????? ???????? ???????????????

Ketetapan pemerintah pada rakyat tergantung kepada maslahat (kebaikan).[12]

Lantas, masalahat apa yang lebih besar daripada menjaga kehormatan dan nasab
manusia?!!!

Syaikh Ibnu Utsaimin berkata: Perintah pemerintah terbagi menjadi tiga macam:

Perintah yang sesuai dengan perintah Allah seperti sholat fardhu, maka wajib
mentaatinya.
Perintah yang maksiat kepada Allah seperti cukur jenggot, maka tidak boleh
mentaatinya.
Perintah yang bukan perintah Allah dan bukan juga maksiat kepada Allah seperti
undang-undang lalu lintas, undang-undang pernikahan dan sebagainya yang tidak
bertentangan dengan syariat, maka majib ditaati juga, bila tidak mentaatinya maka
dia berdosa dan berhak mendapatkan hukuman setimpal.

Adapun anggapan bahwa tidak ada ketaatan kepada pemimpin kecuali apabila sesuai
dengan perintah Allah saja, sedangkan peraturan-peraturan yang tidak ada dalam
perintah syariat maka tidak wajib mentaatinya, maka ini adalah pemikiran yang
bathil dan bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah.[13]

Apakah Pencatatan Akad Merupakan Syarat Sahnya Nikah?

Betapapun pentingnya pencatatan akad nikah pada zaman sekarang yang penuh dengan
fitnah dan pertikaian. Sekalipun demikian, pencatatan akad nikah dalam catatan
resmi KUA bukanlah sebuah syarat sahnya sebuah pernikahan. Artinya, suatu
pernikahan tetap hukumnya sah apabila telah terpenuhi semua syaratnya sekalipun
tidak tercatat dalam KUA. Hal ini berdasarkan argumen sebagai berikut:

Tujuan pencatatan akad nikah adalah menjaga hak suami istri, dan nasab anak apabila
terjadi persengketaan. Tujuan ini sudah bisa terwujudkan dengan adanya saksi dan
mengumumkan pernikahan.
Tidak ada dalil syari untuk mengatakan bahwa pencatatan akad nikah adalah syarat
sahnya pernikahan.
Pencatatan akad nikah tidak dikenal pada zaman Nabi, sahabat dan ulama salaf,
mereka hanya mencukupkan dengan saksi dan mengumumkan pernikahan.
Dalam persyaratan ini terkadang sulit realisasinya dalam sebagian tempat dan
keadaan, seperti di pelosok-pelosok desa yang sulit mendapatkan pegawai resmi
pencatatan akad nikah.[14]

Hukum Nikah Tanpa KUA

Karena masalah pencatatan akad nikah ini termasuk masalah kontemporer, maka tak
heran biasanya para ulama berbeda pandang tentang hukumnya. Silang pendapat mereka
dapat kita bagi sebagai berikut:

Sebagian ulama berpendapat bahwa nikah tanpa KUA hukumnya boleh dan sah secara
mutlak, karena pencatatan bukanlah termasuk syarat nikah dan tidak ada pada zaman
Nabi dan sahabat.
Sebagian ulama berpendapat bahwa nikah tanpa KUA hukumnya haram dan tidak boleh
pada zaman sekarang, karena itu termasuk nikah sirri yang terlarang dan melanggar
peraturan pemerintah.
Sebagian ulama berpendapat bahwa nikah tanpa KUA hukumnya sah karena semua syarat
nikah telah terpenuhi hanya saja dia berdosa karena melanggar peraturan pemerintah
yang bukan maksiat.

Setelah menimbang ketiga pendapat di atas, penulis lebih cenderung kepada pendapat
ketiga yang mengatakan bahwa pernikahan tanpa KUA hukumnya adalah sah sebab
pencatatan akad nikah bukanlah syarat sahnya nikah sebagaimana telah lalu. Hanya
saja, bila memang suatu pemerintah telah membuat suatu undang-undang keharusan
pencatatan akad nikah, maka wajib bagi kita untuk mentaatinya dan tidak
melanggarnya karena hal itu bukanlah undang-undang yang maksiat atau bertentangan
dengan syariat bahkan undang-undang tersebut dibuat untuk kemaslahatan yang
banyak. Apalagi, hal itu bukanlah suatu hal yang sulit, bahkan betapa banyak
penyesalan terjadi akibat pernikahan yang tak tercatat di bagian resmi
pemerintah[15].

Berikut ini sebuah fatwa tentang masalah ini dari anggota komisi fatwa Saudi Arabia
yang diketuai oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz, anggota Syaikh Abdur Rozzaq Afifi,
Abdullah Al-Ghudayyan, Abdullah bin Quud:

Soal:

Dalam undang-undang Negara, seorang muslim dan muslimah yang ingin menikah dituntut
untuk datang ke kantor pencatatan akad nikah, sehingga keduanya-pun datang ke
kantor bersama para saksi dan melangsungkan akad nikah di sana. Apakah ini
merupakan nikah yang syari? Bila jawabannya adalah tidak, maka apakah muslim dan
muslimah harus mendaftar dan mencatat sebelum akad nikah sesuai dengan undang-
undang? perlu diketahui bahwa pencatatan ini berfaedah bagi suami istri ketika
terjadi sengketa?

Jawab:

Apabila telah terjadi akad ijab qobul dengan terpenuhinya semua syarat nikah dan
tidak ada semua penghalangnya maka pernikahan hukumnya adalah sah. Dan apabila
secara undang-undang, pencatatan akad nikah membawa masalahat bagi kedua mempelai
baik untuk masa sekarang maupun masa depan maka hal itu wajib dipatuhi.[16]

Kesimpulan

Dari keterangan di atas, dapat kita tarik sebuah kesimpulan sebagai berikut:

Nikah tanpa pencatatan secara resmi oleh pegawai pemerintah hukumnya adalah sah
selagi semua persyaratan nikah telah terpenuhi.
Pencatatan nikah memang tidak ada pada zaman Nabi dan para sahabat, namun itu
hanyalah politik syari yang tidak bertentangan dengan agama, bahkan memiliki
banyak manfaat.
Wajib bagi setiap muslim untuk mentaati undang-undang tersebut dan tidak
melanggarnya karena ini termasuk salah satu bentuk ketaatan kepada pemimpin.

Demikianlah pembahasan yang dapat kami ketengahkan pada kesempatan kali ini. Sekali
lagi, hati kami terbuka untuk menerima tanggapan dan kritikan dari saudara pembaca
semua demi kebaikan kita bersama.

You might also like