You are on page 1of 6

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kelainan gastrointestinal pada bayi dan anak tidak jarang memerlukan tindakan bedah
untuk menyelamatkan nyawa mereka. Kelainan-kelainan gastrointestinal yang memerlukan
tindakan pembedahan tersebut, pada pokoknya terdiri dari 2 golongan besar yaitu kelainan
kongenital dan kelainan didapat. Kelainan konginetal gastrointestinal yang memerlukan
tindakan bedah pada umumnya akibat gangguan kontinuitas usus sehingga mengakibatkan
gangguan pasase makanan seperti atresia, stenosis dan malrotasi. Gangguan fungsi pasase
usus tanpa kelainan kontinuitas lumen terjadi pada akhlasia esofagus, stenosis pilorus dan
penyakit Hirchsprung. Sedangkan kelainan gastrointestinal didapat yang memerlukan
tindakan bedah antara lain apendisitis, enterokolitis nekrotikans, perdarahan gastrointestinal,
volvulus, invaginasi, hernia, trauma saluran cerna, tumor gastrointestinal, dan perforasi usus.
EA (Esofagial Atresia), suatu kelainan bawaan dimana kerongkongan dan lambung
tidak tersambung (terputus). Kelainan ini merupakan kasus yang jarang terjadi, di Amerika
probabilitasnya sekitar 1 dari 4000 kelahiran.
Sampai saat ini tidak diketahui penyebab kelainan ini, hanya diperkirakan bahwa
prosesnya terjadi pada minggu ke 4-8 masa kehamilan. Kasus yang lebih umum adalah yang
disertai dengan fistula dimana salah satu segmen kerongkongan atau lambung tersambung ke
paru-paru.
Sebagian besar bayi dengan fistula trakeoesofagus (TEF) saat lahir memperlihatkan
gejala batuk, muntah dan salivasi berlebihan yang jelas. Sering disertai pneumonia aspirasi.
Pada sekitar 90% kasus, esofagus bagian atas berakhir pada kantung buntu sedangkan
segmen esofagus bagian bawah. Pada sekitar 10% kasus, terdapat atresia esofagus bagian atas
tanpa disertai trakeoesofagus distal. Polihidramnion maternal sering dijumpai pada pasien-
pasien ini. Pada sekitar 5% kasus terdapat fistula tipe H antara esofagus yang utuh dan trakea.
Bayi-bayi ini biasanya baru menunjukkan gejala dikemudian hari setelah terjadi pneumonia
aspirasi berulang atau tersedak waktu diberi makan. Tiga puluh persen bayi TEF mempunyai
anomali lain, biasanya jantung atau gastrointestinal anus imperforate umum dijumpai.
Esofagogram diperlukan untuk menegakkan diagnosis. Fistula tipe H, biasanya terletak pada
esofagus servikal bagian bawah, sering kecil dan mungkin tidak terlihat esofagogram barium
standar. Mungkin diperlukan endoskopi atau bronkoskopi. Diagnosis dini, berat badan lahir
normal, tidak adanya penyakit paru dan jarak yang pendek antara segmen esofagus proksimal
dan distal mempunyai prognosis yang lebih baik. Pengobatannya secara bedah. Striktura dan
pembentukan fistula pada tempat reparasi esofagus dapat terjadi, terutama pada atresia tinggi.
Refluks gastroesofagus terjadi pada 75% pasien pascaoperatif. Fungsi peristaltik esofagus
selalu abnormal.
B. Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah Asuhan Keperawatan Atresia Esofagus ini
adalah agar kita sebagai calon perawat professional dapat mengetahui tentang konsep medis
serta konsep keperawatan dari penyakit atresia esofagus.

BAB II
KONSEP MEDIS

A. Defenisi
Atresia Esophagus adalah kealinan kontinuitas lumen esophagus dimana bagian distal
esophagus sampai kardia tidak mau membuka sehingga mengganggu aliran makanan
(Sudaryat, 2005).
Atresia Esophagus adalah kegagalan esophagus untuk membentuk saluran kontinu dari faring
kelambung selama perkembangan embrionik (Sandra M. Nettina, 2001).
Atresia Esophagus adalah kelainan kongenital yang mendesak (Bobak, dkk. 2004).
Atresia Esophagus adalah malformasi yang disebabkan oleh kegagalan esophagus untuk
mengadakan proses yang kontinu; esophagus mungkin saja atau mengkin juga tidak
membentuk sambungan dengan trakhea (Fistula trakesofagus) (Wong, 2003).
B. Tipe-tipe Atresia Esofagus
Tipe A (5 % samapai 8 %). Kantong buntu disetiap ujung esophagus, terpisah jauh dan tanpa
hubungan ke trachea.
Tipe B (jarang). Kantong buntu disetiap ujung esophagus dengan fistula dari trakhea ke
segmen esophagus bagian atas.
Tipe C (80 % sampai 95 %). Segmen esophagus proksimal berakhir pada kantong buntu dan
segmen distal dihubungkan ke trachea atau bronkus primer dengan fistula pendek pada anak
dekat bifurkasi.
Tipe D (jarang) kedua segmen esophagus atas dan bawah dihubungkan ke trakhea.
Tipe E (jarang dibandingkan A atau C). sebaliknya trakhea dan esophagus normal
dihubungkan dengan fistula umum.
C. Etiologi
Atresia esophagus merupakan suatu kelainan bawaan pada saluran pencernaan.
Kelainan ini biasanya disertai fistula antara trakhea ke esofagus. Insidennya bervariasi,
dimana tahun 1957, Haight di Michigan mendapatkan 1 : 4425 bayi lahir hidup, sedangkan
pada tahun 1988, Kyronen dan Hemmiki mendapatkan insiden sebesar 1 : 2440 kelahiran
hidup. Insiden pada pria sebanding dengan wanita: yang disebabkan oleh sosial ekonomi
rendah, umur ibu yang mudah dan tua, dan adanya penggunaan jangka panjang pil
kontrasepsi. Terjadinya atresia esofagus terjadi karena esofagus dan trakhea gagal untuk
berdiferensiasi dengan tepat selama gesitasi pada minggu keempat dan kelima.
D. Patofisiologi
Atresia ini terjadi akibat adanya gangguan rekanalisasi yang mengikuti proses
penyumbatan lumen yang terjadi selama fase proliferasi epitel. Sedangkan hipotesis lama
mengatakan bahwa atresia ini terjadi akibat anomali vaskuler lokal sehingga mengakibatkan
gangguan vaskularisasi usus yang akhirnya, terjadilah perforasi dan reabasorbsi dinding intra
uterin, sehingga terbentuk diskontinuitas dari lumen usus.
E. Manifestasi Klinis
Atresia esophagus dicurigai terjadi bila :
1. Terdapat riwayat polihidramnion pada ibu
2. Bayi lahir prematur
3. Kateter yang dipakai pada saat lahir untuk resusitasi tidak dapat dimasukan kedalam
lambung
4. Bayi mempunyai sekresi oral/air liur yang berlebihan atau pernafasan berbuih
5. Jika diberikan minum dan terjadi aspirasi maka bayi akan bersin, batuk, tersedak dan sianosis
6. Distensi abdomen (bila ada fistula) atau abdomen skafoid bila tanpa fistula
7. Gawat nafas progresif karena sekresi yang tidak tertelan, terumpah ke dalam trakhea.
F. Diagnosis
Diagnosis antenatal dapat dibuat dengan pemeriksaan USG, dimana pada usia
kehamilan 14 15 minggu tidak tampak adanya lambung janin, dengan cairan amnion yang
normal atau meningkat. Diagnosis postnatal dibuat dengan gejala klinis di atas yang
dipastikan dengan kateterisasi esofagus dengan kateter nomor 8 12 F yang agak kaku. Bila
kateter terhenti tiba-tiba pada jarak 10 11 cm dari lubang hidung, maka diagnosis secara
klinis dapat ditegakkan. Untuk diagnosis pasti dibuat dengan foto toraks dimana kateter
terlihat terhenti/tergulung pada kantong esofagus yang buntu. Bayangan lebih jelas bila
dimasukkan kontras gastrografin atau metrizamide melalui kateter tersebut. Adanya udara
dalam abdomen menunjukkan adanya fistula trakeoesofageal.
G. Penatalaksanaan
Operasi atresia esofagus bukanlah emergensi. Segera setelah diagnosis ditegakkan,
dipasang sonde ke esofagus untuk mengisap air liur sehingga tidak terjadi akumulasi dan
resiko aspirasi dapat dikurangi. Lebih baik bila dipasang sonde dengan 2 lumen, dimana dari
lumen pertama dialirkan NaCl untuk mencairkan air liur sedangkan lumen yang lain untuk
mengisap.
Bila atresia esofagus disertai fistula trakeoesofageal, bayi diletakkan dengan kepala
lebih tinggi 30 untuk mencegah refluks/aspirasi asam lambung. Hendaknya mulai diterapi
dengan antibiotika dan konsul ke bagian bedah. Untuk fistula yang diameternya besar,
memerlukan gastrostomi yang emergensi untuk mencegah distensi gaster akut yang
mengancam hidup karena terjadinya respiratory embarrassment. Untuk beyi aterm yang
sehat, tanpa ada anomaly lainnya, dengan pneumonitis ringan, penutupan fistula dilakukan
pada bayi yang berumur 24 72 jam, dan bila mungkin sekaligus dilakukan penyambungan
esofagus. Pada keadaan ini, gastrostomi bisa tidak dilakukan, tetapi jika bayi dengan
pneumonia berat, atau berhubungan dengan masalah medis yang meningkatkan resiko bedah,
maka hanya dilakukan gastrostomi dekompresi.
Perawatan setelah operasi perlu dilakukan secara intensif. Perlu dilakukan pengisapan
secret di saluran napas atas secra teratur untuk mencegah aspirasi. Nutrisi perlu diberikan
secara parenteral; tetapi setelah 3 5 hari, nutrisi bisa diberikan lewat sonde gastrostomi.
Makanan per-oral biasanya sudah bisa diberikan 7 10 hari setelah operasi.
Pada atresia esofagus tanpa fistula, jika jarak antara kedua ujung esofagus > 4 cm,
biasanya perlu dilakukan pergantian esofagus, yang diawali dengan gastrostomi untuk tempat
pemberian makanan dan esofagostomi servikal untuk diversi secret. Setelah usia 1 tahun
kedua segmen esofagus bisa bisa dihubungkan dengan sonde gaster atau segmen usus halus.
H. Prognosis
Waterston dkk membuat prognosis berdasarkan factor resiko yang dijumpai pada bayi
tersebut antara lain : berat badan lahir, ada tidaknya kelainan bawaan lain dan pneumonia,
yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Klasifikasi fungsional fistula trakeo-esofagus dan
atresia esofagus oleh Waterston
Klasifikasi % frekuensi Deskripsi % hidup
1962 1987
A 34 BBL > 2.500 gram dan sehat 95 100
BBL 1.800-2.500 gram dan sehat
B 38 BBL > 2.500 gram dengan kelainan 68 86
konginetal sedang
C 28 BBL < 1.800 gram dengan pneumonia 6 73
BBL < 1.800 gram dengan kelainan berat
atau pneumonia berat

Klasifikasi A prognosis baik dengan harapan hidup 95%, B prognosis sedang dengan
harapan hidup 68% dan C prognosis buruk dengan harapan hidup 6%.

BAB III
KONSEP KEPERAWATAN
(ASUHAN KEPERAWATAN ATRESIA ESOFAGUS)

A. Pengkajian
1. Lakukan pengkajian pada bayi baru lahir
o Saliva berlebihan dan mengiler
o Tersedak
o Sianosis
o Apnea
o Peningkatan distres pernapasan setelah makan
o Distensi abdomen
2. Observasi, Manifestasi atresia esofagus
3. Bantu dengan prosedur diagnostik misalnya : Radiografi dada dan abdomen, kateter dengan
perlahan dimasukkan kedalam esofagus yang membentuk tahanan bila lumen tersebut
tersumbat.
4. Pantau dengan sering tanda-tanda distres pernapasan
5. Laringospasme yang disebabkan oleh aspirasi saliva yang terakumulasi dalam kantung buntu
B. Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan lubang abnormal antara esofagus dan
trakea atau obstruksi untuk menelan sekresi
2. Kerusakan (kesulitan) menelan berhubungan dengan obstruksi mekanis
3. Risiko tinggi cedera berhubungan dengan prosedur pembedahan dan pascaoperatif
4. Nyeri berhubungan dengan prosedur, diagnosis dan tindakan
5. Ansietas berhubungan dengan kesulitan menelan, ketidaknyamanan karena pembedahan
6. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan anak dengan defek fisik

http://alam414m.blogspot.com/2011/07/askep-atresia-esofagus.html

You might also like