You are on page 1of 51

FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA

(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)


JL. Arjuna Utara No. 6 Kebun Jeruk Jakarta Barat

KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
SMF ILMU PENYAKIT SARAF
RUMAH SAKIT UMUM BHAKTI YUDHA DEPOK

Nama : Louis Ryandi Tanda Tangan


NIM : 11.2017.064
................................
Tanda Tangan
Dr. Pembimbing / Penguji : dr. Dini Adriani, Sp. S
..

I. IDENTITAS PASIEN
Nama lengkap: Tn. HM Jenis kelamin: Laki-laki
Tgl. Lahir/Umur: 15 Mei 1958 / 59 tahun Agama: Islam
Status perkawinan: Menikah Pendidikan: SMA
Pekerjaan: Wiraswasta No. RM: 36.90.95
Alamat: Atsiri Permai Jl. Gandaria Raya No. 73 Tanggal masuk RS: 21 November 2017

Pasien datang ke RS:


Pasien datang ke RS BY dengan keluarga, kemudian dirawat tanggal 21 November 2017.

II. ANAMNESIS
Diambil dari: Alloanamnesis Ny. WP, tanggal: 21 November 2017 pukul 10.00 WIB

Keluhan Utama:
Pasien datang dengan keluhan penurunan kesadaran sejak 6 jam SMRS.

1
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien dibawa oleh keluarganya ke IGD RS BY dengan penurunan kesadaran sejak 6
jam SMRS. Awalnya pasien ditemukan oleh istrinya ketika mengalami penurunan kesadaran.
Istri pasien mengira pasien sedang tidur, tetapi ketika dibangunkan, pasien tidak memberikan
respons sama sekali. Istri pasien mengatakan bahwa ketika pasien mengalami penurunan
kesadaran kepalanya tidak terbentur karena pasien berada ditengah ranjang, bukan di tepi
ranjang. Oleh karena itu istri pasien segera menghubungi keluarganya yang lain dan membawa
pasien ke IGD RS BY untuk diperiksa.

Menurut pengakuan istri pasien saat perjalanan menuju ke IGD RS BY, pasien
mengalami kejang. Kejang dialami oleh pasien sebanyak 2 kali, jarak antara kejang adalah
sekitar 15 menit dengan durasi kejang selama 5 detik. Kejang dimulai dari sisi tubuh sebelah
kanan kemudian ke seluruh tubuh, mata melotot dan mendelik ke atas. Sebelum kejang pasien
muntah sebanyak 2 kali, muntah sedikit dan menyembur. Muntah berisi cairan berwarna
kuning. Pasien sebelumnya belum pernah mengalami penurunan kesadaran dan kejang.

Satu hari SMRS, istri pasien mengatakan bahwa pasien tampak seperti bingung tetapi
masih bisa diajak berkomunikasi. Makan dan minum masih bisa dilakukan oleh pasien sendiri
tetapi pasien terlihat lemas pada saat itu sehingga ketika berjalan dituntun oleh anaknya. Istri
pasien juga mengatakan pada saat itu, ketika pasien memanggil anaknya, pasien salah
mengenali anaknya. Pasien sempat dirawat di RS dan pulang 3 hari SMRS, alasan dirawat
karena tekanan darah tiba-tiba tinggi, padahal sebelum-sebelumnya tekanan darah pasien selalu
cenderung rendah. Pasien juga sempat mengeluh pusing rasa geliyengan dan pandangan
matanya kabur dan 1 hari SMRS pandangan semakin kabur. Keluhan mata kabur dirasakan
pertama kali sejak 1 minggu SMRS dan sudah diperiksakan ke poliklinik mata di RS BY.

Riwayat diabetes melitus (+), hipertensi (-), stroke (-), penyakit jantung (-), trauma (-),
kejang (-), alergi (-), keganasan (-), vertigo (-), penyakit paru (-), operasi (-).

Riwayat Penyakit Dahulu

( + ) Diabetes Melitus ( - ) Vertigo ( - ) Alergi


( - ) Hipertensi ( - ) Penyakit Jantung ( - ) Riwayat Trauma
( - ) Stroke ( - ) Penyakit Paru ( - ) Riwayat Operasi

2
Riwayat Penyakit Keluarga

Penyakit Ya Tidak Hubungan


Diabetes Melitus
Hipertensi
Penyakit Jantung
Penyakit Paru
Keganasan

Riwayat Sosial, Ekonomi, Pribadi

Kesan keadaan sosial ekonomi pasien : menengah

III. OBJEKTIF

Tanggal : 21 November 2017

1. Status Generaslis
a. Keadaan umum : Tampak sakit berat
b. Kesadaran : Coma, GCS 3 (E1M1V1)
c. Tekanan Darah : 170/90 mmHg
d. Nadi : 102x/menit
e. Pernapasan : 24x/menit
f. Suhu : 38.0 OC
g. Kepala : normosefali, tidak ada kelainan
h. Mata : OS: pupil bulat, 3mm, RCL (+), RCTL (+)
OD: pupil bulat, 3mm, RCL (+), RCTL (+)
i. THT : Tidak dilakukan pemeriksaan
j. Mulut : Tidak dapat dinilai
k. Leher : Pembesaran KGB (-), tiroid tidak teraba membesar
l. Paru : SN vesikuler, wheezing -/-, rhonki -/-
m. Jantung : BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
n. Abdomen : datar, supel, timpani, BU (+) normal, hepar & lien tidak teraba
o. Kelamin : tidak dilakukan pemeriksaan

3
2. Status psikis
a. Cara berpikir : tidak dapat dinilai
b. Perasaan hati : tidak dapat dinilai
c. Tingkah laku : tidak dapat dinilai
d. Ingatan : tidak dapat dinilai
e. Kecerdasan : tidak dapat dinilai

3. Status neurologik
a. Pemeriksaan neurologik

Kepala
1. Bentuk : Normocephali
2. Nyeri tekan : tidak ada
3. Simetris : kanan sama dengan kiri
4. Pulsasi : Tidak teraba
Leher
1. Sikap : Simetris
2. Pergerakan : normal
3. Kaku kuduk : (-)
4. Brudzinski : (-)
5. Laseque : >70o / >70o
6. Kernig : >135o/ >135o

Urat Syaraf Kepala


N I. (Olfaktorius) Kanan Kiri
Subjektif Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Dengan bahan Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N II. (Optikus)
Tajam penglihatan Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Lapangan penglihatan Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Melihat warna Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Fundus okuli Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N III. (Okulomotorius)

4
Celah mata Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Pergerakan bola mata Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Strabismus Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Nistagmus Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Eksoftalmus Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Pupil
Besar pupil 3 mm 3 mm
Bentuk pupil Isokor Isokor
Reflex terhadap sinar (+) (+)
Reflex konversi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Reflex konsensual (+) (+)
Dolls eye maneuver (+) (+)
N IV. (Troklearis)
Pergerakan mata Tidak dilakukan Tidak dilakukan
( kebawah-dalam )
Strabismus Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Diplopia Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N V. (Trigeminus)
Membuka mulut Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Mengunyah Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Menggigit Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Reflex kornea (+) (+)
Sensibilitas Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N VI. (Abduscens)
Pergerakan mata ke lateral Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Sikap bulbus Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Diplopia Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N VII. (Fascialis)
Mengerutkan dahi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Mengangkat alis Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Menutup mata Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Memperlihatkan gigi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

5
Menggembungkan pipi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Perasaan lidah bagian 2/3 Tidak dilakukan Tidak dilakukan
depan
Reaksi nyeri (+) (+)
NVIII.
(Vestibulokoklear)
Suara berisik Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Weber Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Rinne Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Tes kalorimeter Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N IX. (Glossofaringeus)
Perasaan bagian lidah Tidak dilakukan Tidak dilakukan
belakang
Sensibilitas Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Pharynx Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N X. (Vagus)
Arcus pharynx Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Bicara Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Menelan Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Nadi Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Reflex menelan (+) (+)
N XI. (Asesorius)
Mengangkat bahu Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Memalingkan kepala Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N XII. (Hypoglossus)
Pergerakan lidah Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Tremor lidah Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Artikulasi Tidak dilakukan Tidak dilakukan

b. Badan dan anggota gerak


Motorik : saat kaki kanan dan kiri dirapatkan dan dijatuhkan, kaki kanan lebih cepat
terjatuh
Kesan : Lateralisasi ke kanan (Hemiparesis dextra)

6
c. Tanda rangsang meningeal
Kaku kuduk : positif
Laseque : tidak dilakukan
Kernig : tidak dilakukan
Brudzinski I : positif
Brudzinski II : tidak dilakukan
d. Refleks fisiologis
Biceps : +/+
Triceps : +/+
KPR : +/+
APR : +/+
e. Refleks patologis
Babinski : -/-
Chaddock :-/-
Schaeffer : -/-
Gordon : -/-
Oppenheim : -/-

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium

Tanggal 21 November 2017

1. Darah Rutin
Hemoglobin : 8.4 g/dL (N= 12-18)
Leukosit : 16.680/mm3 (N= 5.000-10.000)
Trombosit : 354.000/ mm3 (N= 150.000-450.000)
Hematokrit : 25% (N= 38-47)
2. Kimia Darah
GDS : 96 mg/dL (N= <180)
Creatinin : 3.4 mg/Dl (N= 0.5-1.5)

7
Tanggal 22 November 2017

1. Kimia Darah
GDS jam 08.00 : 91 mg/dL (N= <180)
GDS jam 10.00 : 129 mg/Dl (N= <180)
GDS jam 13.00 : 110 mg/Dl (N= <180)

Tanggal 23 November 2017

1. Kimia Darah (Elektrolit)


Natrium : 150 mEq/L (N= 135-146)
Kalium : 4.18 mEq/L (N= 3.5-5)
Chloride : 107 mEq/L (N= 98-107)

Tanggal 24 November 2017

1. Darah Rutin
Hemoglobin : 9 g/Dl (N= 12-18)
Leukosit : 11.300/mm3 (N= 5.000-10.000)
Trombosit : 272.000/ mm3 (N= 150.000-450.000)
Hematokrit : 27% (N= 38-47)
2. Kimia Darah
GDS : 227 mg/dL (N= <180)
Creatinin : 3.79 mg/dL (N= 0.5-1.5)
3. Analisis Cairan Otak (LCS)
Glukosa : 116 mg/dL (N= 50-80)
Protein : 41 mg/dL (N= <50)
None : negatif (N= negatif)
Pandi : negatif (N= negatif)
Jumlah sel : 3/L (N= 0-5 3/L)
MN : 99%
PMN : 1%
Warna : Tidak berwarna
Kejernihan : Jernih

8
Tanggal 23 November 2017

CT Scan Kepala tanpa pemberian media kontras IV, brain window, potongan axial

Kesan :

Infark akut di thalamus kiri, perifalk cerebri anterior kiri dan periventrikel lateralis cornus
posterior kiri.
Sinusitis maksilaris dan ethomidalis bilateral.
Brain atrofi senilis (terutama di lobus frontal bilateral).

V. RESUME

Subjektif:

Riwayat Penyakit Sekarang:


Pasien dibawa oleh keluarganya ke IGD RS BY dengan penurunan kesadaran sejak 6
jam SMRS. Awalnya pasien ditemukan oleh istrinya ketika mengalami penurunan kesadaran.
Istri pasien mengira pasien sedang tidur, tetapi ketika dibangunkan, pasien tidak memberikan
respons sama sekali. Istri pasien mengatakan bahwa ketika pasien mengalami penurunan
kesadaran kepalanya tidak terbentur karena pasien berada ditengah ranjang, bukan di tepi
ranjang. Oleh karena itu istri pasien segera menghubungi keluarganya yang lain dan membawa
pasien ke IGD RS BY untuk diperiksa.

Menurut pengakuan istri pasien saat perjalanan menuju ke IGD RS BY, pasien
mengalami kejang. Kejang dialami oleh pasien sebanyak 2 kali, jarak antara kejang adalah
sekitar 15 menit dengan durasi kejang selama 5 detik. Kejang dimulai dari sisi tubuh sebelah
kanan kemudian ke seluruh tubuh, mata melotot dan mendelik ke atas. Sebelum kejang pasien
muntah sebanyak 2 kali, muntah sedikit dan menyembur. Muntah berisi cairan berwarna
kuning. Pasien sebelumnya belum pernah mengalami penurunan kesadaran dan kejang.

Satu hari SMRS, istri pasien mengatakan bahwa pasien tampak seperti bingung tetapi
masih bisa diajak berkomunikasi. Makan dan minum masih bisa dilakukan oleh pasien sendiri
tetapi pasien terlihat lemas pada saat itu sehingga ketika berjalan dituntun oleh anaknya. Istri
pasien juga mengatakan pada saat itu, ketika pasien memanggil anaknya, pasien salah
mengenali anaknya. Pasien sempat dirawat di RS dan pulang 3 hari SMRS, alasan dirawat
karena tekanan darah tiba-tiba tinggi, padahal sebelum-sebelumnya tekanan darah pasien selalu
cenderung rendah. Pasien juga sempat mengeluh pusing rasa geliyengan dan pandangan

9
matanya kabur dan 1 hari SMRS pandangan semakin kabur. Keluhan mata kabur dirasakan
pertama kali sejak 1 minggu SMRS dan sudah diperiksakan ke poliklinik mata di RS BY.

Riwayat diabetes melitus (+), hipertensi (-), stroke (-), penyakit jantung (-), trauma (-),
kejang (-), alergi (-), keganasan (-), vertigo (-), penyakit paru (-), operasi (-).

Objektif :

1. Tanda-tanda vital :
a. Keadaan umum : Tampak sakit berat
b. Kesadaran : Coma, GCS 3 (E1M1V1)
c. Tekanan Darah : 170/90 mmHg
d. Nadi : 102x/menit
e. Pernapasan : 24x/menit
f. Suhu : 38.0 OC

2. Pemeriksaan neurologi, saraf kranial :


N. II
Pupil bulat isokor, 3mm/3mm, RCL +/+, RCTL +/+
N. III, N. IV, dan N. VI
Dolls eye maneuver +/+
N. V
Refleks kornea -/+
N. VII
Refleks nyeri tekan pada os. Zygomaticum negatif
N. IX dan N.X
Refleks muntah positif

3. Pemeriksaan Motorik :
Motorik : saat kaki kanan dan kiri dirapatkan dan dijatuhkan, kaki kanan lebih cepat
terjatuh
Kesan : Lateralisasi ke kanan (Hemiparesis dextra)

10
4. Tanda rangsang meningeal :
Kaku kuduk : positif
Brudzinski I : positif

5. Refleks Fisiologis
Biceps : +/+
Triceps : +/+
KPR : +/+
APR : +/+

6. Refleks patologis : negatif

7. Pemeriksaan penunjang
Hemoglobin : 8.4 g/dL (21/11/2017), 9 g/dL (24/11/2017)
Leukosit : 16.680 /mm3 (21/11/2017), 11.300 /mm3 (24/11/2017)
Hematokrit : 25% (21/11/2017), 27% (24/11/2017)
GDS : 227 mg/dl (24/11/2017)
Natrium : 150 mEq/L (23/11/2017)
Creatinin : 3.4 mg/dL (21/11/2017), 3.79 mg/dL (24/11/2017)

Analisis Cairan Otak (LCS) 23/11/2017

Glukosa : 116 mg/ dL


Protein : 41 mg/ dL
None : negatif
Pandi : negative
Jumlah sel : 3/L
MN : 99%
PMN : 1%
Warna : Tidak berwarna
Kejernihan : Jernih

Tanggal 23/11/2017

CT Scan Kepala tanpa pemberian media kontras IV, brain window, potongan axial

11
Kesan :

Infark akut di thalamus kiri, perifalk cerebri anterior kiri dan periventrikel lateralis cornus
posterior kiri.
Sinusitis maksilaris dan ethomidalis bilateral.
Brain atrofi senilis (terutama di lobus frontal bilateral).

VI. DIAGNOSIS KERJA


1. Klinis : penurunan kesadaran, kaku kuduk, kejang, hemiparesis dextra
2. Topis : Selaput meningen dan korteks serebri
3. Etiologi : Infeksi
4. Patologis : Inflamasi Meningen

VII. TATALAKSANA

Nonmedikamentosa

Oksigen nasal 3L/menit


Pasang DC dan ukur volume urin/jam
Pasang nasogastric tube
Pasang guedelorofaring
Elevasi kepala 200-300
CT-Scan kepala tanpa kontras
Rontgen Thorax
Rawat Inap di ruangan VIP dengan pemasangan ventilator

Medikamentosa

IVFD RL + 1 ampul Fenitoin /8 jam (continuous)


Injeksi Citicolin 2x 250 IV
Cortidex 3x1 amp
Cefixime 2x2gram
Amlodipine 1x5mg
Injeksi Ranitidin 2x1 IV

12
Injeksi Omeprazole 2x1 IV
Sukralfat 3x1
VIII. PROGNOSIS

Ad vitam : bonam

Ad functionam : dubia ad malam

Ad sanationam : dubia

IX. TINDAK LANJUT

23/11/2017

S : IGD hari ke 3 pasien masih belum sadar, tadi malam pasien kejang 4x, durasi kejang 1
menit, diantara waktu kejang sekitar 2 jam. Kejang hanya di daerah kepala dan leher. Demam
(-) NGT masih terpasang dengan residu berwarna kecoklatan.

O : GCS E2M2V1 jam 05.30

GCS E4M4V2 jam 08.00

BP 170/100 mmHg

HR 100 x/menit

RR 21 x/menit

T 36.7C

N.cranialis :

N.II : pupil isokor 3mm RCL +/+, RCTL +/+


N.III,IV,VI: dolls eye maneuver +/+
N.V reflex kornea +/+
N.VII ada nyeri tekan os .zygomatic
N.IX,N.X: refleks muntah +

Kaku kuduk (+), brudzinski I (+)

Motorik Laterlisasi ke kanan

13
RF biceps +/+, tricep +/+, KPR +/+. APR+/+

RP babinski -/-, chaddock -/-,Oppenheim -/-

A : observasi penurunan kesadaran ec susp. Meningoensefalitis + kejang berulang

P : RL + 1amp phenytoin/8jam

Inj ranitidin 2x1

Inj ondansentron 2x4mg

Sukralfat 3x1

Inj Cortidex 3x1 amp

Amlodipine 1x5mg

24/11/2017

S : Pasien sudah dipindahkan ke ruangan, pasien sudah mulai sadar dapat merespon. Ketika
dipanggil namanya, pasien melihat ke arah pemeriksa. Pasien sempat demam tetapi tidak
tinggi. Menurut keluarga pasien, pasien sempat kejang lagi tadi malam sebanyak 4x dengan
durasi 10 detik. Diantara waktu kejang 1-2 jam.

O : GCS E4M4V2

BP 170/100 mmHg

HR 100 x/menit

RR 25 x/menit

T 37.8C

N.cranialis :

N.II : pupil isokor 3mm RCL +/+, RCTL +/+


N.III,IV,VI: tidak dilakukan
N.V: tidak dilakukan
N.VII: tidak dilakukan
N.IX,N.X: refleks muntah +/+

14
Kaku kuduk (+)

Motorik Lateralisasi ke kanan

RF biceps +/+, tricep +/+, KPR +/+. APR+/+

RP babinski -/-, chaddock -/-,Oppenheim -/-

A : observasi penurunan kesadaran ec susp. Meningoensefalitis + kejang berulang

P : Terapi dilanjutkan

25/11/2017

S : Pasien memberikan respon dengan baik apabila dipanggil namanya, membuka mata dan
melihat ke arah pemeriksa. Pasien juga berusaha beberapa kali coba untuk duduk, dan
melepaskan infus. Pasien mengerang dan batuk sedikit. Pasien sempat demam juga tapi tidak
terlalu tinggi tadi malam. Menurut keluarga pasien kejang 4x dengan durasi selama 10 detik

O : GCS E4M4V2

BP 160/100 mmHg

HR 100 x/menit

RR 25 x/menit

T 37.8C

N.cranialis :

N.II : pupil isokor 3mm RCL +/+, RCTL +/+


N.III,IV,VI: tidak dilakukan
N.V: refleks kornea +/+
N.VII: tidak dilakukan
N.IX,N.X: refleks muntah +

Kaku kuduk (+)

Motorik: tidak ada lateralisasi

RF biceps +/+, tricep +/+, KPR +/+. APR+/+

15
RP babinski -/-, chaddock -/-,Oppenheim -/-

A : Meningoensefalitis viral

P : Terapi dilanjutkan, ditambah isoprinosine 3x 500mg

26/11/2017

S : Guedel orofaring sudah dilepaskan dan pasien sudah mulai tenang, kemarin sore pasien
berusaha untuk bangun sendiri untuk duduk. Kejang sebanyak 2-3x dimulai dari tangan kanan.
Pasien sudah mulai bisa bersuara tapi tidak ada arti, hanya seperti mengerang. Pasien sudah
bisa bergerak menuruti perintah seperti besalaman. Pasien membuka mata dan melihat ke arah
pemeiksa.

O : GCS E4M6V2

BP 160/100 mmHg

HR 96 x/menit

RR 16 x/menit

T 36.5C

N.cranialis :

N.II : pupil isokor 3mm RCL +/+


N.III,IV,VI: tidak dilakukan
N.V tidak dilakukan
N.VII tidak dilakukan

Kaku kuduk (+)

Motorik: tidak ada lateralisasi

RF biceps +/+, tricep +/+, KPR dan APR tidak dilakukan karena pasien tidak kooperatif

RP babinski -/-, chaddock -/-

A : Meningoensefalitis viral

P : Terapi dilanjutkan.

16
TINJAUAN PUSTAKA

Pendahuluan
Infeksi susunan saraf pusat (SSP) merupakan sebuah tantangan yang cukup menantang
bagi petugas medis seperti dokter. Hal ini dikarenakan selain infeksi SSP mempunyai potensi
yang dapat menyebabkan kecacatan dan kematian, pemberian terapi pada infeksi SSP juga
memiliki keberagaman kesulitan. Infeksi SSP seperti meningitis, ensefalitis, dan abses otak
cenderung menyebabkan angka morbiditas dan mortalitas lebih tinggi daripada infeksi yang
melibatkan sistem organ lain. Oleh karena potensi yang dapat menyebabkan hal tersebut, maka
sangat penting bagi dokter untuk berpengalaman dalam menangani kasus dan memberikan
perawatan terhadap pasien yang terkena infeksi SSP sehingga angka morbiditas dan mortalitas
yang ditimbulkan oleh infeksi SSP dapat menurun.1

Anatomi dan Fisiologi2

Meninges2

Otak dan medulla spinalis diselubungi oleh 3 lapisan (meninges) yang berasal dari
mesodermal: duramater yang kuat dan terletak paling luar, diikuti oleh arachnoid dan piamater.
Piamater terletak tepat pada permukaan otak dan medulla spinalis. Di antara duramater dan
arachnoid terdapat ruang subdural; antara arachnoid dan piamater terdapat ruang subarachnoid.
Ruang subarachnoid mengandung LCS.
Cairan LCS dibentuk di pleksus khoroideus keempat ventrikel serebri (ventrikel lateral
kanan dan kiri, ventrikel ketiga dan ventrikel ke empat). Cairan ini mengalir melalui sistem
ventrikel (ruang LCS internal) dan kemudian masuk ke ruang subarachnoid yang mengelilingi
otak dan medulla spinalis (ruang LCS eksternal). Cairan ini diresorbsi di granulasiones
arakhnoideae sinus sagitalis superior dan di selubung perineural medulla spinalis. Peningkatan
volume cairan LCS (baik di penurunan resorbsi atau karena peningkatan produksi)
bermanifestasi pada peningkatan tekanan LCS dan pembesaran ventrikel (hidrosefalus).

17
Gambar 1. Meninges otak (gambaran skematik, tampak koronal) 2

Gambar 2. Meninges medulla spinalis (gambaran skematik, penampang transversal) 2

Dura Mater2
Dura mater disebut juga sebagai pachymeninx yang berarti membran yang kuat. Dura
mater terdiri dari 2 lapisan penyambung fibrosa yang kuat. Lapisan luar duramater kranial
adalah periosteum di dalam tengkorak. Lapisan dalam adalah lapisan meningeal yang
sesungguhnya, membentuk batas luar ruang subdural yang sangat sempit. Kedua lapisan dural
ini terpisah satu sama lain di sinus-sinus dural. Di antara sinus sagitalis superior dan sinus
sagitalis inferior, lipatan ganda lapisan dura yang dalam membentuk falx cerebri yang terletak
di bidang midsagital di antara kedua hemisfer cerebri; falx cerebri bergabung dengan tentorium

18
yang memisahkan serebelum dari serebrum. Struktur lain yang dibentuk oleh lapisan ganda
dura mater bagian dalam adalah falx cerebelli yang memisahkan kedua hemisfer cerebelli,
diaphragma sellae dan dinding rongga Meckel yang mengandung ganglion gasserian
(trigeminal).

Arakhnoid2
Arakhnoid otak dan medulla spinalis merupakan membrane avaskuler yang tipis dan
rapuh yang berhubungan erat dengan permukaan dalam duramater. Ruang antara arachnoid dan
piamater (ruang subarachnoid) mengandung LCS. Arakhnoid dan piamater dihubungkan satu
sama lain melewati rongga ini oleh benang-benang tipis jaringan ikat. Piamater melekat dengan
permukaan otak beserta lipatan-lipatannya, sehingga ruang subarachnoid lebih sempit pada
beberapa tempat dan lebih luas pada area lainya. Pembesaran ruang arachnoid disebut sisterna.
Ruang subarachnoid kranial dan spinal berhubungan satu sama lain melalui foramen magnum.
Sebagian besar cabang arteri yang memperdarahi otak dan sebagian besar saraf kranial,
berjalan di ruang subarachnoid.

Piamater2
Piamater terdiri dari lapisan tipis sel-sel mesodermal yang menyerupai endothelium.
Tidak seperti arachnoid, struktur ini tidak hanya meliputo seluruh permukaan eksternal otak
dan medulla spinalis yang terlihat tetapi juga permukaan yang tidak terlihat di sulkus yang
dalam. Piamater melekat pada SSP di bawahnya melalui membran ectodermal yang terdiri dari
astrosit marginal. Pembuluh darah yang memasuko atau meninggalkan otak dan medulla
spinalis melalui ruang subaraknoid dikelilingi oleh selubung seperti terowongan-terowongan
piamater. Ruang antara pembuluh darah dan piamater di sekitarnya disebut ruang Virchow-
Robin.
Saraf sensorik pia mater, tidak seperti pada dura mater, tidak berespons terhadap
stimulus mekanis atau termal, tetapi saraf ini diduga berespons terhadap regangan vaskular dan
perubahan pada tonus dinding pembuluh darah.

19
Struktur Sistem Ventrikular2
Sistem ventrikel terdiri dari dua ventrikel lateral (masing-masing memiliki kornu
frontale, bagian tengah yaitu cella media, kornu posterius, dan kornu inferius), ventrikel III
yang sempit terletak di antara kedua bagian diensefalon dan ventrikel IV yang membentang
dari pons ke level medularis. Ventrikel IV merupakan suatu rongga berbentuk kompleks,
terletak di sebelah ventral serebrum dan dorsal dari pons dan medula oblongata. Ventrikel
lateral terdapat di bagian dalam serebrum, masing-masing ventrikel terdiri dari 5 bagian yaitu
kornu anterior, kornu posterior, kornu inferior, badan dan atrium. Ventrikel lateral
berhubungan dengan ventrikel III melalui foramina interventrikularia (Monro), ventrikel III
berhubungan dengan ventrikel IV melalui akueduktus serebri. Ventrikel keempat berhubungan
dengan ruang subaraknoid melalui 3 jalur yaitu sebuah apertura median (foramen Magendie)
dan sepasang apertura lateral (foramen Luschka).

Gambar 3. Sirkulasi LCS2

20
Cairan Serebro Spinal (CSS)/LCS2
Cairan serebrospinal yang normal berwarna jernih, mengandung hanya beberapa sel
(hingga 4/ul) dan relatif mengandung sedikit protein. Komposisinya juga berbeda dari darah
pada aspek lainya. Cairan LCS bukan merupakan ultrafiltrat darah, melainkan secara aktif
disekresi pleksus khoroideus, terutama di dalam ventrikel lateral. Darah di dalam pleksus
khoroideus dipisahkan dari ruang subarakhnoid melalui sawar-darah-LCS yang mengandung
endotelium vaskular, membrana basalis dan epitelium pleksus. Sawar ini permeabel terhadapt
air, oksigen dan karbondioksida tetapi relatif tidak permeabel terhadapa elektrolit dan benar-
benar tidak permeabel terhadap sel.
Volume LCS yang bersirkulasi umumnya antara 130-150ml. Setiap 24 jam dihasilkan
400-500ml LCS sehingga seluruh volume LCS diganti 3 atau 4 kali sehari Tekanan LCS pada
posisi supinasi normalnya antara 70-120mmH2O.
Proses infeksi atau neoplastic yang mengenai LCS mengubah komposisi LCS secara
khas (lihat pada tabel 1).

21
Tabel 1. Temuan LCS pada penyakit Susunan Saraf Pusat2

22
Sirkulasi Cerebrospinal Fluid2

Cairan serebrospinal diproduksi oleh pleksus khoroideus ventrikel lateral, ventrikel III,
ventrikel IV. Cairan ini mengalir melalui foramina Luschka dan foramen Magendie ke dalam
ruang subarachnoid, bersirkulasi di otak, dan mengalir ke bawah ke ruang subarakhnoid spinal
melingkupi medula spinalis. Sebagian LCS diresorpsi setinggi level spinal. Komposisi LCS
dimanapun adalah sama, tidak lebih encer ataupun lebih konsentrat pada masing-masing ujung
jalurnya.

Resorpsi2
LCS diresorpsi (yaitu dikeluarkan dari ruang subarachnoid) di intrakranial dan di
sepanjang medula spinalis. Sebagian LCS meninggalkan ruang subarakhnoid dan memasuki
aliran darah melalui banyak vili granulasio araknoidal yang terletak di sinus sagitalis superior
dan pada vena diploika kranium. Sisanya diresorpsi di selubung perineural saraf kranial dan
saraf spinal, ketika saraf tersebut masing-masing keluar dari batang otak dan medula spinalis,
dan melewati ependima dan kapiler leptomeninges.
Dengan demikian, LCS secara konstan dihasilkan di pleksus koroideus ventrikel dan
diresorpsi lagi dari ruang subaraknoid di berbagai lokasi.2

Pengambilan Cairan serebrospinal

Lumbal Punksi3

Pengambilan cairan serebrospinal dapat dilakukan dengan cara Lumbal Punksi,


Sisternal Punksi atau Lateral Cervical Punksi. Lumbal Punksi merupakan prosedure neuro
diagnostik yang paling sering dilakukan, sedangkan sisternal punksi dan lateral hanya
dilakukan oleh orang yang benar-benar ahli.

Indikasi Lumbal Punksi:3

1. Untuk mengetahui tekanan dan mengambil sampel untuk pemeriksan sel, kimia dan
bakteriologi
2. Untuk membantu pengobatan melalui spinal, pemberian antibiotika, antitumor dan
spinal anastesi
3. Untuk membantu diagnosa dengan penyuntikan udara pada pneumoencephalografi, dan
zat kontras pada myelografi

23
Kontra Indikasi Lumbal Punksi:4,3

Peningkatan tekanan intrakranial dengan tanda-tanda nyeri kepala, muntah dan papil
edema
Penyakit kardio pulmonal yang berat
Ada infeksi lokal pada tempat Lumbal Punksi
Trombosit < 50.000 pada pemeriksaan darah tepi
Adanya syok akibat berbagai sebab
Koagulopati; riwayat penggunaan antikoagulan atau adanya tanda DIC

Teknik Lumbal Punksi: 3

1. Pasien diletakkan pada pinggir tempat tidur, dalam posisi lateral decubitus dengan
leher, punggung, pinggul dan tumit lemas. Boleh diberikan bantal tipis dibawah kepala
atau lutut.
2. Tempat melakukan pungsi adalah pada kolumna vetebralis setinggi L 3-4, yaitu setinggi
crista iliaca. Bila tidak berhasil dapat dicoba lagi intervertebrale ke atas atau ke bawah.
Pada bayi dan anak setinggi intervertebrale L4-5
3. Bersihkan dengan yodium dan alcohol daerah yang akan dipungsi
4. Dapat diberikan anasthesi lokal lidocain HCL
5. Gunakan sarung tangan steril dan lakukan punksi, masukkan jarum tegak lurus dengan
ujung jarum yang mirip menghadap ke atas. Bila telah dirasakan menembus jaringan
meningen penusukan dihentikan, kemudian jarum diputar dengan bagian pinggir yang
miring menghadap ke kepala.
6. Dilakukan pemeriksaan tekanan dengan manometer dan test Queckenstedt bila
diperlukan. Kemudian ambil sampel untuk pemeriksaan jumlah danjenis sel, kadar
gula, protein, kultur baktri dan sebagainya.

24
Gambar 4. Lumbal Punksi4

Pada umumnya tindakan LP aman untuk dilakukan. Risiko kematian akibat herniasi
otak setelah dilakukan tindakan LP dapat diminimalisir dengan melakukan pemeriksaan CT-
Scan terlebih dahulu pada keadaan-keadaan sebagai berikut:4
1. papil edema yang nyata
2. penurunan kesadaran yang dalam atau memburuk dengan cepat
3. didapatkannya defisit neurologis fokal, termasuk adanya kejang parsial
4. kecurigaan lesi desak ruang intrakranial

Infeksi Susunan Saraf Pusat


Tugas pertama bila mendapatkan kasus infeksi pada susunan saraf pusat adalah
mengidentifikasi apakah infeksinya melibatkan ruang subaraknoid atau terdapat bukti adanya
keterlibatan jaringan otak secara umum maupun fokal pada hemisfer serebral, serebellum, atau
batang otak. Ketika jaringan otak secara langsung terinfeksi oleh virus, penyakit ini disebut
sebagai ensefalitis, sedangkan infeksi fokal yang melibatkan jaringan otak diklasifikasikan
sebagai abses atau radang serebrum, tergantung pada ada tidaknya kapsul.5
Kaku kuduk merupakan sebuah pathognomonic dari terjadinya suatu infeksi di
meninges. Kernig dan brudzinski juga merupakan salah satu tanda terjadinya infeksi pada
meninges. Oleh karena itu terdapat beberapa manajemen yang digunakan untuk mendiagnosis
penyakit infeksi pada susunan saraf pusat (lihat gambar 5 dan 6).5

25
Gambar 5. Manajemen pasien dengan suspek infeksi CNS5

26
Gambar 6. Manajemen pasien dengan suspek infeksi CNS (lanjutan)5

27
Meningitis
Meningitis adalah suatu inflamasi yang terjadi pada selaput yang membungkus otak
(meninges) dan sumsung tulang. Biasanya infeksi terjadi di ruang subaraknoid. 6 Meningitis
sendiri dapat dibagi menjadi beberapa jenis tergantung etiologinya (lihat tabel 2).

Tabel 2. Jenis Meningitis dan Perbedaannya7

Meningitis Normal Bakterialis TB Virus Jamur Toxoplasma


Warna Jernih Purulen Jernih, Jernih Jernih Jernih
opak
Hitung sel < 0-5 >100 sel/L 50-500 10-1000 10-500
sel/L sel/L sel/L sel/L
Tekanan 10-20 / (>25 /N N/elevated Variasi
cmCSF cmCSF)
Glukosa >60% / / /N /N /N
(mg/dL) serum (<40%
glucose serum)
Protein < 45 / / /N (>50 /N /
(>50mg/dL) mg/dL)
Sel dominan L, PMN MN MN MN MN
<2PMN
Pandy - +++ +++ +
Pemeriksaan Kultur, Mantoux Serologi, Tinta Serologi,
lekosit, CT test, CT CT scan India, CT scan
scan scan, ro CT scan
thoraks

Meningitis Bakterialis4

Meningitis bakterialis akut adalah infeksi meningenitis yang terjadi dalam waktu
kurang dari 3 hari dan umumnya disebabkan oleh bakteri. Penyakit ini sering juga disebut
meningitis bakterialis atau meningitis purulenta. Penyebab paling sering adalah 3 jenis bakteri
yaitu Neisseria meningitides, Streptococcus pneumoniae, dan Haemophyllus influenza.
Meningitis bakterialis akut adalah kedaruratan neurologis yang perlu penanganan
komprehensif dan dapat mengancam nyawa. Gejala klinis yang paling sering dikeluhkan

28
adalah demam, nyeri kepala dan fotofobia. Ada keadaan lebih lanjut dapat dijumpai penurunan
kesadaran, kejang hemiparesis dan lain-lain. Pada pemeriksaan fisik, tanda yang khas untuk
meningitis adalah kaku kuduk yang sangat nyata. Pada stadium lebih lanjut dapat dijumpai
gejala atau tanda hidrosefalus seperti mual muntah, kejang dan papilledema.

Patofisiologi4
Bakteri dapat mencapai struktur intracranial melalui beberapa cara, antara lain secara
aami karena penyebaran hematogen dan infeksi di nasofaring atau perluasan infeksi dari
struktur intracranial misalnya sinusitis atau OMA. Infeksi bakteri pada SSP juga dapat terjadi
karena trauma kepala yang merobek duramater atau karena tindakan bedah saraf.
Meningitis bakterialis bermula dengan kolonialisasi bakteri di nasofaring. Bakteri
menghasilkan immunoglobulin A proteus yang bisa merusak barrier mukosa dan
memungkinkan bakteri menempel pada epitel nasofaring. Setelah berhasil menempel pada
epitel bakteri akan menyelinap melalui celah antar sel dan masuk ke aliran darah.
Bakteri yang biasa menyebabkan meningitis mempunyai kapsul polisakarida yang
berisfat antifagosit dan anti komplemen sehiingga bisa lepas dari mekanisme pertahanan seluler
yang umumnya menghadang struktur asing masuk ke dalam aliran darah. Bakteri kemudian
akan mencapai kapiler SSP dan masuk ke ruang subarachnoid. Kurangnya pertahanan seluler
membuat bakteri akan mudah bermultiplikasi.
Kerusakan di dalam jaringan otak terjadi akibat peningkatan reaksi inflamasi yang
disebabkan komponen dinding sel bakteri. Endotoksin dan asam techoic akan menyebabkan
sel-sel endothelial dan sel glia lainya melepaskan sitokin pro inflamasi terutama TNF dan
interleukin alfa dan beta (IL-1)
Selanjutnya akan terjadi proses yang lebih kompleks dari sitokin yang akan merusak
sawar darah otak. Sawar darah otak yang rusak akan memudahkan masuknya leukosit dan
komplemen ke dalam ruang subarachnoid disertai masuknya albumin. Hal ini akan
menyebabkan edema vasogenik di otak. Leukosit dan mediator pertahanan tubuh lainya akan
menyebabkan perubahan patologis lebih lanjut sehingga terjadi iskemia otak yang akan
memicu edema sitotoksik.
Proses inflamasi lebih lanjut akan menyebabkan gangguan reabsorpsi LCS di granula
arachnoid yang akan berakibat peningkatan TIK sehingga menimbulkan edema intersisial di
otak. Keadaan edema otak ini akan diperberat dengan dihasilkanya asam arakidonat dan

29
metabolitnya yang dikeluarkan sel otak yang rusak dan adanya asam lemak yang dilepaskan
dari leukosit polimorfonuklear.

Gambar 7. Patogenesis meningitis bakterial5

30
Etiologi8

Umur Pasien Bakteri penyebab


Neonatus Streptokokus grup B, Listeria monocytogenes, Escherichia coli
2 bulan-18 tahun Neisseria meningitidis, Streptococcus pneumonia, Haemophilus
influenza
18-50 tahun S. pneumonia, N. meningitidis, H influenza
>50 tahun S. pneumoniae, L. monocytogenes, bakteri gram negatif

Manifestasi Klinis4
Gejala klinis yang paling sering dikeluhkan adalah panas badan, nyeri kepala, dan
fotofobia. Pada keadaan lanjut dapat dijumpai keluhan penurunan kesadaran, kejang,
hemiparesis. Selain itu terdapat sakit kepala, kekakuan pada leher, nausea, vomiting, dan tanda-
tanda disfungsi serebral (mis, lethargy, confusion, coma). Terdapat triad meningitis yaitu
demam, kekakuan pada leher, dan penurunan kesadaran. Pada stadium yang lebih lanjut,
dijumpai tanda hidrosefalus seperti nyeri kepala yang berat, muntah-muntah, kejang, dan
papiledema.4

Pemeriksaan Penunjang4
Pungsi lumbal merupakan tindakan medis yang sering dikerjakan untuk menegakkan
diagnosis infeksi SSP. Adanya demam, nyeri kepala, dan penurunan kesadaran merupakan
indikasi melakukan LP. Temuan pada pemeriksaan LCS yang khas adalah:
1. Jumlah sel meningkat, kadang bisa mencapai puluhan ribu
2. Pada hitung jenis biasanya didapatkan predominansi neutrofil, sebagai tanda infeksi
akut.
3. Kadar glukosa LCS rendah, umumnya kurang dari 30% kadar gula darah sewaktu
lumbal pungsi dikerjakan.
4. Pemeriksaan gram dan kultur umumnya dapat menemukan kuman penyebab

31
Kriteria Diagnosis4
Gejala dan tanda klinis meningitis
plus
Parameter LCS abnormal: predominansi PMN, rasio glukosa LCS: darah < 0,4
plus
Didapatkan bakteri penyebab di dalam LCS secara mikroskopis dan/hasil kultur
positif
plus
Gejala dan tanda khas meningitis
plus
Parameter LCS abnormal: predominansi PMN, rasio glukosa LCS: darah < 0,4
plus
Kultur LCS negatif
plus
Satu dari hal berikut: kultur darah positif / test antigen atau PCR dari LCS
menunjukkan hasil positif
Dengan atau tanpa:
Riwayat infeksi saluran napas atas yang baru
Riwayat faktor predisposisi seperti pneumonia, sinusitis, otitis media, gangguan
imunologi tubuh, alkoholisme, dan DM

Penatalaksanaan4
Usia Pasien Terapi Antimikroba
Neonatus Ampisilin + Sefotaksim
2 bulan 18 tahun Seftriakson atau sefotaksim dapat ditambah vankomisin
18-50 tahun Seftriakson dapat ditambah vankomisin
>50 tahun Vankomisin ditambah ampisilin ditambah seftriakson

Tabel 3. Terapi empiris pada meningitis bakterialis6

Dexametason diberikan sebelum atau bersamaan dengan dosis pertama antibiotika.


Dosis yang dianjurkan adalah 0,15mg/KgBB per pemberian orang dewasa setiap 6 jam selama
2-4 hari.

32
Komplikasi4
Komplikasi yang dapat terjadi:
- Komplikasi segera: edema otak, hidrosefalus, trombosis sinus otak, abses/efusi
subdural, gangguan pendengaran
- Komplikasi jangka panjang: gangguan pertumbuhan dan perkembangan pada
pasien anak, epilepsy

Meningitis Virus

Meningitis virus adalah inflamasi dari leptomeningen karena manifestasi dari infeksi
SSP yang disebabkan oleh virus. Disebut juga aspetik meningitis. Penyakit ini biasanya self-
limiting dalam 7-10 hari, namun pada kasus patogen yang menyebabkan meningoensefalitis,
lama sakit bisa bertambah. Saat ini, lebih dari 85% kasus meningitis viral disebabkan oleh
enterovirus non polio. Mayoritas disebabkan serotipe coxsackievirus dan echovirus.
Coxsackievirus B merupakan penyebab 60% kasus meningitis pada anak-anak <3 bulan.
Enterovirus biasa masuk melalui fecal-oral namun bisa juga melalui traktus respiratorius.9
Virus kemungkinan bisa masuk ke SSP melalui 2 cara, hematogen dan neural. Cara
hematogen merupakan cara paling sering, sementara cara neural biasa terjadi pada herpes virus
dan beberapa jenis enterovirus. Virus bereplikasi pada organ-organ di tubuh (mukosa
respiratorius dan mukosa gastrointestinal) dan masuk ke aliran darah (viremia) yang akan
masuk ke organ retikuloendotelial (hati, limpa dan kelenjar limfe). Apabila replikasi berlanjut
meski ada mekanisme pertahanan oleh tubuh, viremia sekunder terjadi yang akan
memungkinkan virus masuk ke SSP. Respons inflamasi akan tampak dalam bentuk PMN pada
24-48 jam pertama, diikuti meningkatnya monosit dan limfosit. Untuk beberapa kasus, virus
bisa masuk melalui akar-akar saraf seperti pada virus HSV-1 yang melewati akar saraf
trigeminal dan olfaktorius.9
Orang dewasa dengan meningitis virus biasanya mengeluh demam, sakit kepala, dan
tanda rangsang meningeal dengan hasil Cairan Cerebro Spinal yang mengalami inflamasi.
Nyeri kepala hampir selalu ada dan sering berkarakteristik sebagai nyeri pada frontal atau
retroorbital dan sering dikaitkan dengan fotofobia dan nyeri saat menggerakkan mata. Kaku
kuduk ada dalam banyak kasus namun dapat menjadi malaise, myalgia, tidak nafsu makan,
mual dan muntah, nyeri abdomen, dan atau diare. Pasien sering terlihat letargi, walaupun
begitu, penurunan kesadaran sepertu stupor, koma, atau somnolen tidak sering terjadi pada
viral meningitis dan mengarahkan kepada penyakit lain seperti ensefalitis. Demikian pula

33
dengan kejang, defisit neurologis fokal, kelainan pada hasil neuroimaging menandakan
keterlibatan parenkim otak dan tidak menandakan viral meningitis.5

Meningtis Tuberkulosis4
Meningitis tuberculosis adalah radang selaput otak akibat komplikasi TB primer.
Secara histologis meningitis tuberculosis merupakan meningoensefalitis dengan invasi ke
selaput dan jaringan SSP.

Patofisiologi4
Meningitis tuberkulosa selalu terjadi sekunder dari proses tuberculosis. Fokus
primernya berada di luar otak, biasanya paru-paru tapi bisa juga pada KGB, tualng, sinus
nasalis, GIT, ginjal dan sebagainya.
Terjadinya meningitis bukan karena peradangan langsung pada selaput otak secara
hematogen tetapi melalui pembentukan tuberkel-tuberkel kecil berwarna putih pada
permukaan otak dan sumsum tulang belakang. Tuberkel selanjutnya melunak, pecah, dan
masuk ke dalam ruang subarachnoid dan ventrikel sehingga terjadi peradangan difus.
Penyebaran dapat pula terjadi secara perikontinuitatum dari peradangan organ atau
jaringan di daerah selaput otak seperti primer di nasofaring, pneumonia, endocarditis, OMA,
mastoiditis, thrombus sinus kavernosus atau spondylitis.
Penyebaran kuman ke ruang subarachnoid menyebabkan reaksi radang pada piamater
dan arachnoid, LCS, ruang subarachnoid dan ventrikel.
Akibat reaksi radang ini maka akan terbentuk eksudat kental serofibrinosa dan gelatin
oleh kuman-kumanserta toksin yang mengandung sel-sel mononuclear, limfosit, sel plasma,
makrofag, sel raksasa dan fibroblast. Eksudat ini tidak terbatas pada subarachnoid saja tetapi
terutama berkumpul di dasar tengkorak. Eksudat juga menyebar melalui pembuluh-pembuluh
darah piamater dan menyerang jaringan otak di bawahnya sehingga proses sebenarnya adalah
meningoensefalitis. Eksudat juga dapat menyumbat aquaduktus, fissure sylvii, foramen
magendi, foramen luschka dan menyebabkan hidrosefalus dan edema papil akibat peningkatan
TIK.

Diagnosis4
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
neurologi, dan pemeriksaan penunjang. Gambaran klinis meningitis tuberkulosis
memperlihatkan gejala yang bervariasi dan tidak spesifik. Selama 2-8 minggu dapat ditemukan
34
anoreksia, demam, nyeri kepala yang semakin memburuk, perubahan mental, penurunan
kesadaran, kejang, kelumpuhan saraf kranial (II, III, IV, VI, VII, VIII), hemiparese.
Pemeriksaan funduskopi kadang-kadang memperlihatkan tuberkel pada khoroid, dan
edema pupil menandakan adanya peninggian tekanan intrakranial. Perjalanan penyakit
meningitis tuberkulosis memperlihatkan 3 stadium:
1. Stadium 1 (Stadium awal)
Gejala prodromal non spesifik seperti apatis, iritabiitas, nyeri kepala ringan,
malaise, demam, anoreksia, muntah, nyeri abdomen.
2. Stadium 2 ( Stadium intermediate)
Gejala menjadi jelas, ditemukan perubahan mental, tanda iritasi meningen,
kelumpuhan saraf III, IV, VI.
3. Stadium 3 ( Stadium Lanjut)
Mengalami penurunan kesadaran menjadi stupor atau koma, kejang, dan dapat
ditemukan hemiparese.

Kriteria diagnostik dari meningitis TB menurut Thwaites dkk:10


1. Definitif :
Klinis meningitis / meningoensefalitis
Analisa CSS tidak normal
Pewarnaan BTA positif pada CSS (secara mikroskopis) dan atau kultur positif
untuk M. Tuberkulosis dan atau PCR TB positif.
2. Probable
Klinis meningitis atau meningoensefalitis
Analisa CSF tidak normal
Salah satu dari
- BTA ditemukan pada jaringan lain
- Foto torak sesuai dengan TB paru aktif
3. Possible
Klinis meningitis atau meningoensefalitis
Analisa CSF tidak normal
4 dari 7 :
Riwayat TB
Sakit > 5 hari

35
Gangguan kesadaraan
Tanda neurologis fokal
Dominasi mononuklear pada CSS
Rasio glukosa serum dengan LCS <0,5, CSS berwarna kekuningan
(xantokrom)

Skoring Meningtis TB menurut Thwaites adalah:10


Variable Score
Age (years)
36 +2
<36 0
Blood white cell count (103/mL)
15.000 +4
<15.000 0
Duration of Illness (days)
6 -5
<6 0
CSF total white cell count (103/mL)
900 +3
<900 0
CSF % neutrophils
75 +4
<75 0
Total score 4 suggests tuberculosis meningitis
Total score >4 is against tuberculosis meningitis
Tabel 4. Skoring Meningitis TB.9

36
Pemeriksaan Penunjang11
1. Laboratorium rutin : tidak khas, dapat ditemukan leukosit yang meningkat, normal,
ataupun menurun
2. Analisa CSS:
Leukosit 100-500/mikrolit predominan limfosit
Protein 100-500 mg/dl
Glukosa < 45 mg/dl
Xantokrom atau jernih
Peningkatan tekanan LP, 40-75% pada anak dan 50% pada dewasa
3. Mikrobiologi ditemukan m. tuberculosis pada kultur CSS yang merupakan gold
standart
4. CSF PCR Spesifik tetapi tidak sensitive
5. Pada foto ronsen ditemukan tbc aktif pada paru
6. PPD test negative pada 10-15% anak dan 50% dewasa
7. CT Scan Kepala dapat ditemukan hidrosefalus, tuberkuloma,abses tuberculous,
dan infark
8. Funduskopi terlihat tuberkel pada khoroid dan edema papil yang menandakan
adanya peninggian tekanan intracranial.

Penatalaksanaan10
Sediaan OAT:
Rifampicin : 10mg/KgBB/hari po
Isoniazid : 5mg/KgBB/hari po
Pirazinamid : 25 mg/KgBB/hari po maks 2g/hari
Ethambutol : 20 mg/KgBB/hari po maks 1,2g/hari
Sterptomisin : 20 mg/KgBB/hari im
Lama pemberian adalah 2 R-H-Z-E/S + 7-10 R-H-Z (2 bulan pertama diberikan
Rifampisin, INH, Prazinamid, Etambutol / Streptomisin, 7-10 bulan berikutnya diberikan
rifampisin, INH, Pirazinamid).

37
Pemberian deksametason pada meningitis tuberculosis hanya direkomendasikan untuk
pasien HIV negatif.4
Meningitis TB grade I
Minggu I : 0,3 mg/kgBB/ hari iv
Minggu II : 0,2 mg/kgBB/hari iv
Minggu III-IV : mulai 4mg/ hari po & diturunkan 1mg/hari tiap minggu
Meningitis TB grade II/III
Minggu I : 0,4mg/kgBB/hari iv
Minggu II : 0,3mg/kgBB/hari iv
Minggu III : 0,2mg/kgBB/hari iv
Minggu IV : 0.1mg/kgBB/hari iv
Minggu V-VIII : mulai 4mg/hari po & diturunkan 1mg/hari tiap minggu.

Infeksi Toksoplasmosis pada SSP4


Ensefalitis toksoplasma merupakan suatu infeksi yang disebabkan Toksoplasma gondii
dan mengenai jaringan otak. Toksoplasma gondii merupakan parasite intraseluler yang obligat.
Hostpes defnitif adalah kucing dengan metode penyebaran melalui kontak tinja atau kista yang
tertelan bersama makanan yang tidak dimasak dengan baik. Pada umumnya menyerang
penderita HIV AIDS.

Gejala Klinis4
Gejala klinis infeksi Toxoplasma bergantung pada sistem imun penderita. Banyak
kasus primer tanpa gejala (asimtomatis). Inkubasi periode berlangsung sekitar 1-2 minggu,
yang selanjutnya baik yang timbul gejala ataupun tanpa gejala akan berlanjut menjadi fase
kronis.
Gejala paling sering adalah limfadenopati servikal, disertai demam, nyeri otot, nyeri
telan, sakit kepala, urtika, kemerahan pada kulit dan hepatosplenomegali. Biasanya gejala akan
menghilang dalam beberapa bulan. Reaktivasi infeksi terjadi apabila terdapat penurunan
kekebalan penderita.
Gejala klinis ensefalitis toksoplasmosis dapat berupa gangguan status mental, demam
terus menerus atau hilang timbul, sakit kepala, defisit neurologis fokal, gelisah, sampai ke
penurunan kesadaran. Kadang terdapat kejang, penurunan penglihatan. Terjadinya defisit
neurologis fokal adalah akibat dari masa intracranial, seperti hemiparese, afasia, parese nervus

38
kranialis, defisit sensoris kadang ada gerakan involunter seperti dystonia, khorea, athenosis dan
hemibalismus. Pada beberapa penderita timbul pneumonia dan miokarditis.

Pemeriksaan Penunjang4
Diagnosis pasti adalah ditemukannya Toxoplasma gondii dlaam darah, jaringan, atau
cairan tubuh. Pemeriksaan antibody terhadap keberadaan protozoa ini adalah pemeriksaan
IgM. IgM untuk mendeteksi infeksi akut minggu pertama, dan titer IgM toxoplasma ini akan
menurun setelah minggu pertama.
Pemeriksaan pungsi lumbal pada fase akut dengan dugaan menigoensefalitis atau
ensefalitis toxoplasma akan didapatkan adanya gambaran peningkatan TIK, pleiositosis
mononuclear (10-50 sel /mL), sedikit adanya peningkatan kadar protein, kadar glukosa
biasanya normal dan PCR Toxoplasma gondii yang positif.
Pada neuroimaging dapat dijumpai lesi hipodens pada CT scan atau hipointense pada
MRI. Lesi ini bersifat menyangat kontras berbentuk cincin, padat dan bentukan nodul yang
jelas (menangkap kontras)

Terapi10
Sebelum memulai terapi empiric TO sebaiknya dipenuhi tiga syarat berikut:
Pasien HIV positif
Ada gejala klinis neurologi yang progresif
Neuroimaging menunjukkan ada lesi fokal di otak
Tidak disarankan memberikan terapi bila:
CD4>200 sel/mm3
IgG antitoksoplasma (-)
Telah menerima terapi profilaksis adekuat dengan kotrimoxasole.
Pengobatan TO terbagi atas pengobatan fase akut dan pengobatan rumatan. Pengobatan
fase akut dapat diberikan selama 3-6 minggu sesuai dengan perbaikan klinis yang terjadi.
Pengobatan toksoplasmosis oleh fase akut:
Pirimetamin BB < 50 kg : 2 x 25 mg/hari PO
BB > 50 kg : 3 x 25 mg/hari PO
Klindamisin 4 x 600 mg / hari PO1

39
Fase Rumatan
Pirimetamin dan klindamisin dengan dosis dari dosis fase akut atau
menggunakan kotrimoksazol 2x1.
Fase rumatan diteruskan hingga pasien mencapai nilai CD4 > 200

Meningitis Kriptokokus (Infeksi Jamur)12


Kriptokokus adalah jamur paling sering pada infeksi fungal di SSP dan dapat tampak
seperti SOL, meningitis atau meningoensefalitis. Kriptokokus juga merupakan infeksi jamur
paling sering pada penderita HIV dengan angka 60-70%.
Cryptococcus neoformans menyebar secara hematogen ke SSP melalui paru-paru.
Meski demikian, pada 85% kasus tidak tampak pneumonitis pada pasien dengan meningitis
kriptokokus. Meningen merupakan tempat predileksi dari jamur ini, tidak jelas kenapa tapi ada
beberapa teori yang mengatakan bahwa antigen kapusl kriptokokus punya kemampuan yang
terbatas untuk menyebabkan respons inflamasi di LCS. Selain itu, LCS juga merupakan
medium pertumbuhan yang baik karena adanya dopamine dan neurotransmitter lain serta tidak
adanya protein yang membunuh kriptokokus.

Pengobatan10
Fase akut:
Minggu 1-2:
- Ampoterisin-B 0,7-1 mg/kg per hari. Dalam infus dekstrosa 5% dan diberikan selama
4-6 jam dan jangan dilarutkan dengan NaCl
- Flukonazol 800 mg per hari po
Minggu 3-10:
- Flukonazol 800 mg per hari po
Bila tidak ada ampoterisin-B dapat digunakan flukonazol saja dengan dosis 800-2000
mg per hari selama 12 minggu.
Fase rumatan: flukonazol 200 mg/hari hingga CD4 > 200

Ensefalitis4
Ensefalitis adalah suatu proses inflamasi akut pada jaringan otak. Proses peradangan
ini jarang terbatas pada otak saja, tetapi hampir selalu mengenai selaput otak sehingga beberapa
ahli sering menggunakan istilah meningoensefalitis.1

40
Klasifikasi ensefalitis berdasar jenis virus ialah:4
Herpes Simpleks Virus (HSV) merupakan penyebab utama ensefalitis di negara maju
dan berperan pada 10-20% kasus ensefalitis virus usia dewasa. Terdapat 2 tipe HSV,
yaitu HSV-1 dan HSV-2. Ensefalitis herpes simpleks adalah satu-satunya ensefalitis
yang dapat disembukan secara efektif, terapi asiklovir sudah masuk dalam beberapa
hari pertama setelah onset pertama.
Arbovirus termasuk West Nile Virus ditransmisikan melalui serangga seperti nyamuk
dan kutu.
Enterovirus masuk melalui GIT. Virus ini menjadi penyebab 10-20% kasus ensefalitis.
Meski demikian enterovirus tidak menyebabkan keseriusan. Dapat pula ditularkan
melalui makanan atau air yang terkontaminasi kotoran dan belalui bersin serta batuk.

Patofisiologi4
Virus menginfeksi sel hospes dengan mempenetrasi membrane sel lalu memasukan
material genetiknya ke dalam sel (DNA / RNA virus)
DNA / RNA mengambil alih kontrol berbagai proses penting dalam sel, memerintahkan
sel untuk memproduksi lebih banyak virus
Sel rupture dan terlepas partikel-partikel virus baru yang akan menginfeksi sel lain.
Virus menginvasi tubuh secara perlahan, tidak ada gejala khas yang timbul. Virus
dibawa aliran darah menuju sel saraf otak selanjutnya akan berkumpul dan
menggandakan diri. Virus yang memasuki otak dalam hal ini biasanya menyebar secara
luas ke dalam otak disebut juga ensefalitis difusa
Virus menginfeksi jaringan lain dahulu lalu infeksi ke otak dan menyebabkan infeksi
fokal. Infeksi fokal terserbut akan mengakibatkan kerusakan berat hanya pada area
kecil di otak.

Manifestasi Klinis4
Tanda yang utamanya muncul pada akut viral ensefalitis adalah demam, nyeri kepala,
dan perubahan tingkat kesadaran. Tanda lainnya yaitu fotofobia, bingung, dan kadang disertai
kejang. Ensefalitis kadang dapat disertai dengan meningitis disebut juga meningoensefalitis
yang ditandai dengan adanya kaku kuduk, namun dalam hal ini kaku kuduk merupakan gejala
tambahan.

41
Pada beberapa kasus, ensefalitis hanya menunjukan gejala seperti demam, mengantuk
dan gejala mirip flu, malaise, myalgia dan kadang nyeri kepala disertai mual muntah.

Diagnosis4
Gambaran klinis: demam, perubahan kesadaran, kejang dan ada tanda rangsang
meningeal
LCS terdapat pleositosis, protein meningkat dan glukosa normal
EEG, MRI dan CT menunjukan lesi asimetris di fronto temporal
Analisa ELISA LCS positif atau PCR positif
Abses otak, TBC, meningitis jamur disingkirkan
Suplemen:
ELISA, CF dsb meningkat 4x lipat
Rasio serum / CSF antibody <20
PCR positif
Tidak ada perubahan antibodi virus
PLEDs dan MRI ada gambaran abnormal di daerah lobus temporal dan sistem limbik

Abses Serebri4
Abses serebri merupakan infeksi intraserebral fokal yang dimulai sebagai serebritis
yang lokalisatorik dan berkembang menjadi kumpulan pus yang dikelilingi oleh kapsul.1

Epidemiologi4
Di Indonesia belum ada data pasti, namun di Amerika Serikat dilaporkan sekitar 1500-
2500 kasus abses serebri per tahun. Jumlah penderita pria lebih banyak daripada wanita yaitu
dengan perbandingan 2-3:1.

Etiologi4
Infeksi opportunistik meningkatkan penyebab abses serebri pada pasien dengan
transplantasi organ, HIV, imunodefisiensi.
Faktor resiko predisposisi lain, seperti: penggunaan jalur intravena, kelainan
jantung, diabetes, steroid kronis.
Bila sumber infeksi tidak jelas, dapat diisolasi flora dan kuman anaerob saluran
napas atas

42
Patofisiologi4
Mekanisme kuman masuk ke otak melalui beberapa cara:
Perluasan langsung dari kontak fokus infeksi (25-50%) berasal dari sinus, gigi, telinga
tengah atau mastoid. Akses menuju vena drainase otak melalui vena emissary berkatup
yang menjadi drain regio ini.
Hematogen (30%) berasal dari fokus infeksi jauh seperti endocarditis bacterial, infeksi
primer paru dan pleura. Sering menghasilkan multiple abses serebri
Setelah trauma kepala maupun tindakan bedah saraf yang mengenai dura dan
leptomeningen
Kriptogenik (hingga 30%) tidak ditemukan jelas sumber infeksinya.

Setelah kuman masuk ke otak maka selanjutnya akan terjadi proses evolusi pembentukan abses
melalui 4 tahap yaitu:
Serebritis awal (Hari 1-3): terjadi infeksi serebri, dan terisi sel-sel radang, dan edema
substansia alba dengan batas yang belum jelas
Serebritis lanjut (Hari 4-9): Jaringan pusat nekrosis, terbentuk fibroblast dan ada
neovaskuler pada tepi daerah nekrosis
Pembentukan kapsul awal (Hari 10-13): Resolusi daerah serebritis, peningkatan
makrofag dan fibroblast, mulai ada pembentukan kapsul dan edema
Pembentukan kapsul akhir (>14 hari): Kapsul matang mengelilingi daerah inflamasi
berisi debris dan sel PMN
Edema serebri semakin luas

Gejala Klinis4
Manifestasi klinis abses serebri dapat dibagi menjadi beberapa kelompok:
1. Sistemik: demam subfebris, kurang dari 50% kasus
2. Serebral umum: sering dikaitkan dengan peningkatan TIK, yaitu nyeri kepala progresif
(>50%), mual muntah, penurunan kesadaran dan papil edema
3. Serebral fokal: kejang, sering secara generalisata (40%), perubahan status mental
(>50%) dan defisit neurologis fokal motoric, sensorik dan nervus kranialis (50%)

43
Pemeriksaan Penunjang4
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain akan menunjukan leukosit
dominan PMN, peningkatan LED. Kultur darah hanya positif pada 30% kasus, dapat pula
dilakukan kultur pada jaringan lain yang diduga sebagai fokus infeksi. Kultur dari hasil operasi
abses menunjukan 40% negatif dikarenakan pemberian antibiotic sebelum operasi. Pungsi
lumbal tidak dianjurkan karena tidak spesifik dan ada resiko herniasi.
Penggunaan pencitraan CT scan dengan atau tanpa kontras pada fase serebritis dapat
dijumpai lesi densitas rendah batas ireguler, setelah pembentukan kapsul tebal akan tampak
ring enhancement. MRI lebih sensitif terutama pada fase awal infeksi dan lesi berada di daerah
posterior. Pencitraan otak merupakan gold standard untuk menegakan diagnosis abses serebri.
Hasil pemeriksaan EEG dapat menunjukan abnormalitas EEG di lokasi lesi berupa
gelombang lambat kontinu.

Gambar 8. Gambaran CT-Scan Abses Serebri

44
Penatalaksanaan4
Penanganan abses serebri harus dilakukan segera, meliputi penggunaan antibiotika
yang sesuai, tindakan bedah (drainase / eksisi) atau edema serebri dan pengobatan infeksi
primer lokal.

Drug Dose
Cefotaxime 3-4 x 2 gr Sefalosporin gen III, aktif
gram (-), kurang aktif
gram (+)
Ceftriaxone 1-2 x 2 gr, IV (max 4 gr) Idem cefotaxime
Metronidazole 4 x 500mg Anaerob & protozoa
Penicilin G 4 x 6 juta U Anaerob & streptococcus
Vancomycin 2 x 1 gr MRSA, gram (+),
septikemi
Tabel 5. Jenis dan dosis antibiotik yang lazim diberikan pada abses serebri

Tindakan bedah drainase atau eksisi pada abses serebri diindikasikan untuk:
Lesi dengan diameter >2,5cm
Terdapat efek massa yang signifikan
Lesi dekat dengan ventrikel
Kondisi neurologis yang memburuk
Setelah terapi 2 minggu abses membesar atau setelah 4 minggu ukuran abses tidak
mengecil

Terapi medikamentosa saja tanpa tindakan operatif dipertimbangkan pada kasus:


Abses tunggal, ukuran <2cm
Abses multiple atau yang lokasinya sulit dijangkau
Keadaan kritis, pasien pada stadium akhir

Pengobatan abses serebri biasanya merupakan kombinasi antara pembedahan dan


medikamentosa untuk eradikasi organisme invasif. Lama pemberian antibiotika bervariasi,
namun biasanya diberikan secara IV selama 6-8 minggu dilanjutkan per oral 4-8 minggu untuk
mencegah relaps. CT scan ulang diperlukan untuk melihat respon terapi.

45
Penggunaan kortikosteroid masih kontroversial. Efek anti inflamasinya dapat
menurunkan edema serebri dan TIK namun steroid juga menurunkan penetrasi antibiotika dan
pembentukan kapsul. Mereka yang menggunakan steroid terutama untuk indikasi edema
serebri masif yang mengancam terjadinya herniasi.

Kesimpulan
Infeksi pada sistem saraf pusat (SSP) dapat dibagi menjadi beberapa penyakit, antara
lain meningitis bakterialis, meningitis viral, meningitis TB, meningitis toxoplasmosis,
meningitis kriptokokus, ensefalitis, abses serebri, tetanus, spondylitis tuberkulosis, dan spinal
epidural abses. Dengan diagnosis dan penatalaksanaan yang adekuat pada fase penyakit yang
masih dini maka prognosis pasien akan semakin baik. Sebaliknya, apabila terlambat diagnosis
dan tatalaksana, maka akan berakibat ke kecacatan dan bahkan kematian.
Tatalaksana utama pada infeksi SSP adalah antibiotika disamping terapi suportif dan
simptomatik.
Pemeriksaan penunjang berupa punksi lumbal dan neuroimaging juga penting untuk
membantu menegakan diagnosis dan sebagai alat bantu melihat kemajuan terapi pada pasien.

46
Pembahasan Kasus

Dari hasil anamnesis didapatkan bahwa pasien datang dengan keluhan penurunan
kesadaran sejak 6 jam smrs. 1 hari smrs, pasien tampak seperti bingung tetapi masih bisa diajak
berkomunikasi. Ketika perjalanan IGD, pasien juga mengalami kejang sebanyak 2x dengan
jarak antara kejang 15 menit dengan durasi kejang selama 5 detik. Keluhan yang muncul pada
pasien, merupakan salah satu manifestasi klinis untuk menegakkan diagnosis
meningoensefalitis. Meningoensefalitis sendiri terdiri dari 2 penyakit yaitu meningitis dan
ensefalitis. Pada meningitis ditemukan adanya triad meningitis (demam, kekakukan pada leher,
dan perubahan mental status seperti bingung, delirium, penurunan kesadaran, dll.), sedangkan
pada penyakit ensefalitis adalah terdapatnyan kejang.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan juga tanda rangsang meningeal seperti kaku kuduk
dan pada pemeriksaan suhu didapatkan suhu meningkat. Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan
fisik telah memenuhi triad meningitis yaitu terdapat kaku kuduk pada pasien, demam, dan
perubahan mental status yaitu 1 hari smrs pasien tampak bingung, kemudian terjadi penurunan
kesadaran sejak 6 jam smrs. Ditambah dengan adanya kejang, maka dapat dicurigai sebagai
penyakit meningoensefalitis. Namun untuk memastikan apakah pasien menderita
meningoensefalitis, harus dilakukan pemeriksaan lumbal punksi. Lumbal punksi sendiri
merupakan pemeriksaan baku emas untuk menentukan apakah pasien menderita meningitis
serta dari hasil lumbal punksi dapat juga ditentukan jenis meningitis seperti meningitis yang
disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, dan kuman TB.
Kemudian dari hasil pemeriksaan refleks fisiologis didapatkan bahwa refleks biceps,
triceps, KPR dan APR menurun. Hal ini dikarenakan pada pasien mempunyai riwayat diabetes
melitus. Pada pasien diabetes melitus, akan menyebabkan terjadinya polineuropati DM
sehingga reflex pada pasien menurun.
Pada pemeriksaan CT scan tanpa pemberian media kontras, kesan yang diberikan
adalah adanya Infark akut di thalamus kiri, perifalk cerebri anterior kiri dan periventrikel
lateralis cornus posterior kiri, sinusitis maksilaris dan ethomidalis bilateral, dan brain atrofi
senilis (terutama di lobus frontal bilateral). Infark akut di thalamus kiri, perifalk cerebri anterior
kiri dan periventrikel lateralis cornus posterior kiri menunjukkan pasien pernah mengalami
stroke. Sinusitis maksilaris dan ethomidalis bilateral mungkin menunjukkan sumber infeksi
terjadinya meningoencephalitis virus. Dari literatur yang saya baca, salah satu penyebab

47
terjadinya infeksi pada sinus diakibatkan oleh virus. Virus yang paling sering menyebabkan
sinusitis adalah rhinovirus, namun coronavirus, influenza A dan B, parainfluenza virus, RSV,
adenovirus dan enterovirus juga dapat menyebabkan terjadinya sinusitis.13 Pada kasus
meningoensephalitis virus, salah satu penyebabnya adalah enterovirus. Beberapa jenis
enterovirus dapat langsung menyerang SSP melalui penyebaran secara neural (lewat saraf).
Adanya brain atrofi senilis di lobus frontalis dapat menyebabkan terjadinya gangguan
gangguan kepribadian, gangguan emosi, gangguan prilaku dan gangguan berbicara.
Dari hasil pemeriksan punksi lumbal didapatkan bahwa glukosa pada LCS 116 mg/dL
(sedikit menutun, normal = 151 mg/dL), protein 41mg/dL (normal), jumlah sel 3/L (normal),
MN 99%, PMN 1%, tidak berwarna dan jernih. Untuk membedakan meningitis yang
disebabkan oleh virus atau kuman Tb dapat menggunakan Thwaites score.

Variabel Skor Tn AR
Umur (tahun)
36 +2 +2
<36 0
Leukosit darah (103/mL)
15.000 +4 +4
<15.000 0
Lama sakit (hari)
6 -5 0
<6 0
Leukosit LCS (103/mL)
900 +3 0
<900 0
Neutrofil LCS
75 +4 0
<75 0
Total skor thwaites pada
Tn. HM 6 termasuk
meningitis TB apabila skor
4

48
Dari hasil perhitungan Thwaites score didapatkan bahwa meningitis yang terjadi bukan
meningitis TB, dan dari karakteristik hasil pemeriksaan LP, meningitis yang terjadi disebabkan
oleh virus karena dari warna jernih, kemudian sel yg dominan adalah MN yaitu 99%, glukosa
sedikit menurun (2/3 jumlah GDS = 2/3 x 227 = 151 mg/dL, sedangkan hasil temuan glukosa
LCS yaitu 116 mg/dL) dan kadar protein dalam LCS 41 mg/dL (normal). Jadi berdasarkan hal
diatas dapat disimpulkan bahwa pasien menderita meningoencephalitis virus.
Pada pasien ini terdapat penurunan kesadaran sampai koma, sehingga tindakan yang
dilakukan adalah dengan pemeriksaan jalan nafas, jaga jala nafas agar terbebas dari sumbatan,
membantu pernafasan dan memperbaiki sirkulasi dengan prinsip ABC. Prinsip tersebut guna
untuk menstabilkan status hemodinamik pasien. Jangan lupa untuk memasang DC dan NGT
pada pasien dengan penurunan kesadaran. Jika pasien sudah stabil, terapi dapat diberikan
sesuai target yang dicurigai sebagai penyebab penurunan kesadaran. Pada pasien ini dicurigai
adanya infeksi pada selaput meningen pembungkus otak yang menyebabkan peningkatan
tekanan intracranial akibat edema sitotoxic. Terapi pada meningitis yang disebabkan oleh virus
biasanya terapi suportif dan simptomatis yang bisa diberikan cefixime untuk mencegah infeksi
sekunder, cortidex karena adanya curiga inflamasi dan edema sitotoxic, infus RL dicampur
dengan fenitoin untuk atasi kejang, amlodipine untuk menurunkan tekanan darah, dan citicoline
untuk mengurangi kerusakan sel-sel otak.
Prognosis dari pasien untuk ad vitam adalah bonam dikarenakan meningoencephalitis
yang terjadi diakibatkan oleh virus (self-limiting disease), sehingga dengan monitor yang ketat
dan pemberian terapi supportif untuk simptomsnya, presentase terjadinya kematian sangat
kecil. Sedangkan prognosis untuk ad functionam adalah dubia ad malam dikarenakan pada
pada pemeriksaan CT scan didapatkan adanya infark akut di thalamus kiri, perifalk cerebri
anterior kiri dan periventrikel lateralis cornus posterior kiri serta brain atrofi senilis terutama
di lobus frontal bilateral. Adanya infark menunjukkan pasien pernah mengalami stroke. Pada
kasus stroke ada kemungkinan terdapat gejala sisa, sehingga jika terdapat gejala sisa maka
fungsi tubuh akan terganggu. Adanya brain atrofi senilis terutama di lobus frontal bilateral
dapat menyebabkan gangguan kepribadian, gangguan emosi, gangguan prilaku dan gangguan
berbicara. Prognosis untuk ad sanationam adalah dubia dikarenakan pada pasien ini sudah
berumur, sehingga daya tubuh berkurang. Dari pasien ini juga terdapat riwayat DM sehingga
penyembuhan infeksi akan menjadi lebih lama. Dari hasil pemeriksaan laboratorium
didapatkan adanya peningkatan natrium dan kreatinin. Hal ini menunjukkan terdapat gangguan
pada ginjal sehingga dalam pemberian terapi harus lebih hati-hati dikarenakan fungsi ginjal

49
tidak baik. Namun dengan monitoring yang ketat dan pemberian terapi yang adekuat pasien
dapat sembuh.

Daftar Pustaka

1. King NL, Burneo JG. Infections of the nervous system. Neurol An Evidence-Based
Approach. 2012;2(2):293320.
2. Baehr M, Frotscher M. Diagnosis topik neurologi duus. Anatomi, fisiologi, tanda,
gejala. Edisi ke-5. Jakarta:EGC;2016.h.324-31.

50
3. Japardi I. Cairan Serebrospinal. FK USU. USU Repository. 2002. Di unduh dari:
http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi5.pdf). Diakses pada
25 November 2017.
4. Sudewi AAR, Sugianto P, Ritarwan K. Infeksi pada sistem saraf. Surabaya : Pusat
penerbitan dan percetakan Universitas Airlangga, 2011.
5. Roos KL, Tyler KL. Meningitis, encephalitis, brain abscess and empyema. In:
Harrisons neurology in clinical medicine. 3rd ed. United States: McGraw Hill
Education;2013.p.493-526.
6. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana D. Panduan praktis diagnosis dan
tatalaksana penyakit saraf. Jakarta:EGC;2009.h.37-54.
7. Lumbar puncture csf interpretation. Oxford Medical Education. Cited at:
http://www.oxfordmedicaleducation.com/clinical-skills/procedures/csf-interpretation/
pada tanggal 25 November 2017.
8. Koppel BS, Hayano T. Bacterial, fungal, and parasitic infections of the nervous system.
In: Current diagnosis and treatment neurology. 2nd ed. United Stated:McGraw Hill
Companies;2012.p.401-48.
9. Wan C. Viral meningitis. Cited at: https://emedicine.medscape.com/article/1168529-
overview. Pada tanggal 25 November 2017.
10. Workshop Neuro-Infeksi 1 Hand out workshop Neuro-infeksi. Perhimpunan dokter
spesialis saraf. Jakarta: 2011.
11. Munir B. Neurologi dasar. Jakarta: Sagung Seto;2015.
12. Rani P. CNS cryptococcosis in HIV. Cited at:
https://emedicine.medscape.com/article/1167389-overview. Pada tanggal 25
November 2017.
13. Brook I. Acute sinusitis. Cited at: https://emedicine.medscape.com/article/232670-
overview#a5. Diunduh pada tanggal: 1 Desember 2017.

51

You might also like