Professional Documents
Culture Documents
Dengan nafas yang terengah-engah setelah mengendarai sepeda. Aku terhenti saat ku
melihat dia, aku tak tahu siapa dia. Wajahnya cukup cantik dan manis, aku singgah membeli
segelas air untuk melepaskan dahaga yang melanda tenggorokanku.
Setelah beristirahat aku langsung mengayuh pedal sepeda untuk pulang ke rumah.
Sesampai di rumah, kedua orang tuaku sedang pergi ke sebuah tempat yang aku tidak tahu.
Aku segera pergi mandi karena badanku sudah bermandi keringat. Setelah mandi aku
memakai pakaian dan menuju taman yang tak jauh dari kompleks rumahku. Aku kaget si dia
juga sedang berada di taman. Tanpa pikir panjang aku langsung menghampirinya.
Hai.., kataku
Dia langsung berdiri lalu meletakkan bukunya di atas kursi dan memberi tahu namanya.
Namaku Tamara, katanya dengan senyum.
Kamu tinggal dimana?, kataku.
Aku tinggal di sebelah kiri toko buku dekat gerbang kompleks. Aku baru pindah kemarin.
Oooo. Kamu anak baru yah?.
Memang kenapa?.
Tidak kenapa-kenapa kok.
Ayo aku temani jalan-jalan di taman ini. Lagi pula gak enak juga kalau suasananya begini-
begini saja, pintaku.
Ok.. baiklah, katanya dengan lembut.
Langkah demi langkah mengawali perkenalanku dengan si dia yaitu Tamara. Kami
berjalan mengelilingi taman, dari pada hanya terdiam lebih baik aku memulai pembicaran.
Aku menanyakan banyak hal kepadanya. Dan kami selalu menyelingi pembicaraan kami
dengan candaan yang cukup untuk mengocok perut hingga sakit.
Sekarang sang mentari akan kembali ke peraduannya. Kami berjalan pulang bersama karena
arah rumah kami searah. Tamara berada di depan kompleks sedangkan rumahku ada di
lorong kedua sebelah kanan di kompleks tempat tinggalku. Sesampai di depan rumah
Tamara, kami berhenti dan menyempatkan diri untuk bercanda sebentar.
Keesokan paginya aku bertemu dengan Tamara, ternyata aku sama sekolah dengan
dia, kemarin aku lupa nanya sih. Aku langsung berlari menghampirinya.
Tamara Tamara. tunggu aku!, kataku sambil berlari.
Sesampai di sekolah aku langsung ke kelas dan ternyata Tamara juga sekelas dengan
aku. Dia duduk di sampingku, karena Dino teman aku baru pindah sekolah dua hari yang lalu.
Tamara naik dan memperkenalkan dirinya ke teman-teman kelasku.
Hai perkenalkan namaku Tamara Adelia, panggil aja aku Tamara. Aku baru pindah dari
Makassar kemarin, semoga kita semua bisa menjadi teman yang akrab.
Ok., Teriak semua temanku.
Kini kami semakin dekat. Kami selalu bersama, kami duduk di depan kelas sembari
bercerita tentang tugas sekolah.
Sesampai di depan rumah Tamara, Ibunya yang sedang membaca koran kaget saat
melihat kedatanganku yang menggendong Tamara.
Tamara, kamu gak apa-apakan nak?.
Gak apa-apa kok Bu, kata Tamara.
Kakinya terkilir tadi waktu jalan pulang tante, kataku.
Terima kasih yah nak .
Zhaky, tante!, ucapku dengan maksud memperkenalkan diri.
Iya terima kasih yah nak Zhaky, katanya sambil tersenyum.
Tamara, tante, Zhaky pulang dulu yah?, kataku.
Iyaa nak Zhaky, kapan-kapan main ke rumah yah?, kata ibu Tamara.
Baik tante, kataku sambil tersenyum.
Sehabis menggendong Tamara punggungku rasanya ingin copot, benar juga kata Tamara
badannya berat. Tapi, tidak apalah dari pada sahabat aku Tamara gak pulang ke rumah.
Sesampai di rumah aku langsung melepas pakaian dan makan siang. Sesudah itu aku
langsung tidur karena aku lelah banget udah gendong Tamara.
***
Keesokan paginya aku menunggu Tamara di depan rumahnya. Saat melihat dia keluar
rumah, dia sudah bisa berjalan dengan baik. Aku kaget dan bengong melihatnya.
Woii kamu kenapa bengong kayak gitu?, tanyanya sambil mencubit pipiku.
Akh gak apa kok!, eh kok cepat amat sembuhnya?.
Iyaa nih, semalam aku dibawa ke tukang urut, rasanya sakit amat waktu di urut.
Baguslah, daripada berjalan dengan pincang, kataku sambil tersenyum.
Sampai di sekolah teman-teman ku berkumpul membicarakan sesuatu, aku dan Tamara
bergegas ke sana dan mendengar apa yang di ceritakan teman-temanku itu.
Teman-teman, besokkan kita libur bagaimana kalau kita liburan?, kata Naila.
Kita mau ke mana ?, tanyaku memotong pembicaraan.
Kita akan pergi liburan, baiknya kita ke mana?, kata Denny.
Bagaimana kalau kita pergi ke tempat rekreasi terkenal di kota ini!, kata Tamara.
Baiklah kita akan ke Pantai Bira!, kataku.
Tak sabar menunggu saat itu, aku menceritakan sedikit tentang Pantai Bira kepada
Tamara. Kami tidak memerhatikan penjelasan guru, akibat cerita kami yang semakin
mengasyikkan. Tak lama kemudian bel istirahat pun berbunyi. Rasanya aku tidak ingin
berpisah dengan Tamara walau sekejap saja. Tapi, mungkin itu cuman perasaanku saja. Kami
berkeliling sekolah mencari hal-hal yang baru dan melupakan apa yang aku banyangkan tadi.
Tidak lama kemudian, bel kembali berbunyi kami berlari ke kelas. Kami berlari
sambil tertawa dengan senangnya. Rasanya hal ini adalah hal yang terindah bagiku. Sesampai
di kelas kami duduk dan menunggu guru. Tak lama kemudian, guru yang mengajar pun
datang.
Aku merasa agak tidak enak badan. Tamara iseng mencubit pipiku dan Tamara kaget.
Zhaky kamu gak apa-apa, kan? tanyanya dengan khawatir.
Aku gak apa-apa kok, kataku dengan nada yang pelan.
Kamu sakit dan aku harus antar kamu pulang!, katanya sambil berjalan menuju guruku.
Pak, Zhaky sakit, katanya.
Baiklah bawa dia pulang, kamu mau mengantarnya? tanya pak guru.
Iya pak aku bisa kok, katanya.
Tamara meminta izin mengantar aku pulang. Sambil memegang jemari-jemariku dan
sesekali memegang keningku. Tamara selalu bertanya tentang keadaanku. Tapi, aku hanya
bisa menjawabnya dengan kalimat, Aku baik-baik saja kok, gak usah khawatir.
Sesampai di rumah aku langsung di bawa Tamara ke kamarku sembari ibu mengomel-
ngomeliku.
Ini sebabnya kalau makan gak teratur, katanya.
Sudah tante, Zhaky kan lagi sakit, pinta Tamara ke Ibuku.
Biarlah nak, biar dia tahu rasa, kata Ibuku.
Kalau begitu aku pulang dulu tante.
Nak nama kamu siapa?.
Nama aku Tamara, tante.
Terima kasih yah nak Tamara, udah bawa pulang anak tante ini.
Iya, sama-sama tante, katanya.
Aku melihat senyuman indah dari Tamara saat akan keluar dari kamarku.
***
Keesokan paginya, rasanya badanku udah sehat. Aku bergegas menyiapkan barang
yang akan ku bawa. Aku mandi dan sesudah itu berpakaian rapi dan langsung menuju rumah
Tamara. Tapi, Tamara sudah berangkat duluan. Aku langsung ke sekolah. Sampai di sekolah
aku melihat Tamara dan langsung menghampirinya.
Zhaky, kamu udah sembuh?, katanya.
Iya.. aku udah sembuh kok.
Betul aku udah sembuh, kataku sambil meraih tangannya dan meletakkannya di keningku.
Tak berapa lama kemudian, bus yang akan mengantar kami ke Pantai Bira pun
datang. Aku duduk di belakang bersama anak lelaki lainnya. Tamara berada di depan
bersama teman wanitanya. Di perjalanan rasa gelisahku semakin tak menentu. Aku memiliki
firasat buruk dan naas tak berselang beberapa lama mobil yang aku tumpangi kecelakaan.
Aku merasa kepalaku sakit, saat ku pegang kepalaku mengeluarkan darah yang
banyak. Tapi, yang ada di pikiranku sekarang adalah Tamara. Aku langsung berteriak dengan
nada yang lemah. Tamara.. kamu gak apa-apa, kan?. Aku tak mendengar suaranya. Aku
melihat teman-temanku terluka dan mengeluarkan banyak darah. Saat aku ke tempat duduk
Tamara, aku melihat kepala Tamara mengeluarkan banyak darah. Rasa sakit yang aku rasa
membuat aku pingsan.
Zhaky, Zhaky, bangun nak, ibu di sini, kata ibuku sambil menangis.
Mendengar suara itu, aku terbangun. Aku sekarang berada di rumah sakit, aku kaget dan
berteriak.
Dimana Tamara Bu? Tamara baik-baik sajakan Bu?.
Aku terduduk di ranjang dan dipeluk ibu sambil menangis dengan keras dan berkata
Kenapa dia terlalu cepat meninggalkan aku Bu?. Aku terdiam dan mengingat saat aku sakit,
dia memberiku senyuman yang kuanggap indah itu dan menjadi senyuman terakhir darinya.
ANALISIS
UNSUR INTRINSIK
Penokohan : 1.Zhaky:Protagonis
2.Tamara:Protagonis
3.Bu guru :Tokoh Pembantu
Alur : Maju
Amanat :
UNSUR EKSTRINSIK
Penulis cerpen ini adalah seorang remaja pria sekaligus pelajar. Baru mulai belajar menjalin
persahabatan dengan seorang wanita. Di mana ending dari kisahnya adalah sedih. Tapi dapat
membuktikan, bahwa persahabatan sejati yang dijalin hingga akhir hayat itu masih ada.
Nilai :
1. Sosial :
Sehabis menggendong Tamara punggungku rasanya ingin copot, benar juga kata Tamara
badannya berat. Tapi, tidak apalah dari pada sahabat aku Tamara gak pulang ke rumah.
Tamara meminta izin mengantar aku pulang. Sambil memegang jemari-jemariku dan sesekali
memegang keningku. Tamara selalu bertanya tentang keadaanku. Tapi, aku hanya bisa
menjawabnya dengan kalimat, Aku baik-baik saja kok, gak usah khawatir.