You are on page 1of 36

Diabetes Mellitus Tipe 1 pada Anak-anak

(Stuart A. Weinzimer, Sheela Magge; Pediatric Endocrinology: The requisites in


pediatrics; section 1; 3-18)

PENDAHULUAN
Meskipun dokter-dokter Mesir jaman dulu pertama kali mengemukakan
oliguri, Aretaeus-lah, seorang dokter Yunani dan murid dari Hippocrates yang
hidup pada abad kedua, yang pertama kali menyatakan istilah diabetes, dari kata
bahasa Yunani untuk siphon. Ia menggambarkan istilah tadi sebagai
penguraian daging dan ekstremitas menjadi urin sebagai deskripsi akurat dari
penyakit yang digunakan saat ini. Saat ini, diabetes dapat didefinisikan sebagai
hiperglikemia kronik akibat defisiensi insulin absolut atau relatif. Kriteria untuk
diagnosis diabetes yang ditetapkan oleh Kelompok Data Diabetes Nasional dan
WHO adalah (1) kadar glukosa darah plasma sewaktu (pada waktu kapanpun
dalam satu hari, tanpa mempedulikan waktu masuknya makanan) yang lebih dari
200 mg/dL disertai gejala-gejala diabetes, (2) kadar glukosa plasma puasa (> 8
jam) lebih dari 126 mg/dL, atau (3) kadar glukosa plasma 2 jam setelah muatan
glukosa 75 gram lebih dari 200 mg/dL melalui tes toleransi glukosa oral. Tes
toleransi glukosa oral jarang bermanfaat pada anak-anak. Bila tidak ada tanda-
tanda khas diabetes (lihat bagian Diagnosis) atau obat-obat yang diketahui
meningkatkan glukosa darah (seperti glukokortikoid), kadar glukosa darah
sewaktu atau 2 jam postprandial yang lebih dari 200 mg/dL pada dua kali
pemeriksaan sudah mencukupi untuk menegakkan diagnosisnya.
Diabetes mencakup beberapa penyakit dengan aspek-aspek genetik,
patofisiologik dan terapetik yang khas. Bentuk utama diabetes pada anak-anak
adalah diabetes mellitus tipe 1 (dahulu disebut insulin-dependen atau juvenil)
(T1DM), suatu status defisiensi insulin absolut yang disebabkan oleh pengrusakan
pulau-pulau Langerhan yang berbasis imunologik. Diabetes tipe 2 (non-insulin
dependen atau awitan pada usia dewasa), suatu status defisiensi insulin relatif
yang biasanya disertai oleh resistensi insulin, menjadi makin sering di populasi
anak dan, bersama dengan obesitas, merupakan masalah kesehatan masyarakat

0
yang sedang berkembang. Varian-varian diabetes yang lebih jarang meliputi
fenomena MODY (maturity onset diabetes of youth), satu keluarga dari kelainan
satu gen yang sebagian besar diwariskan pada regulasi sekresi insulin, diabetes
yang berhubungan dengan fibrosis kistik dan varian-varian lainnya yang
berhubungan dengan agenesis atau kerusakan pankreas, kelainan mitokondria, dan
bentuk diabetes yang diinduksi oleh obat. Bagian ini terpusat pada genetika,
epidemiologi, patofisiologi, presentasi klinis, dan aspek-aspek terapi T1DM saja.
Diabetes mellitus tipe 2 dibahas di bab yang berbeda.

EPIDEMIOLOGI
Diabetes adalah penyakit kronik tersering kedua pada anak-anak, setelah
asma, dan terjadi pada 1 dari tiap 1500 anak yang berusia 5 tahun dan 1 dari tiap
350 anak yang berusia 18 tahun. Ada dua puncak usia presentasi: yang pertama
terjadi pada usia 5 hingga 7 tahun dan yang kedua terjadi pada awal pubertas.
Sepertiga orang yang menderita T1DM tidak muncul gejala klinisnya hingga usia
dewasa, meskipun T1DM jarang muncul setelah usia 45 tahun. Diabetes
menyerang anak-anak laki-laki dan perempuan secara seimbang.
T1DM pada dasarnya adalah penyakit pada orang-orang kulit putih di
Eropa utara, khususnya dari turunan Skandinavia. Angka insidensi T1DM yang
tertinggi di seluruh dunia adalah di Finlandia, Swedia dan Denmark, sekitar 30
kasus baru per tahun per 100.000 penduduk. Sebagai perbandingan, angka
insidensi tahunan di Amerika Serikat adalah sekitar 12 hingga 15 per 100.000
penduduk, sedangkan di Afrika adalah sekitar 5 per 100.000 penduduk per tahun,
dan di Asia timur angkanya kurang dari 2 per 100.000 penduduk per tahun. Ada
perbedaan geografik yang mencolok terkait dengan insidensi diabetes: negara-
negara yang terletak lebih jauh dari katulistiwa dan dengan rerata suhu tahunan
yang lebih rendah memiliki angka insidensi diabetes yang lebih tinggi, meskipun
apakah temuan ini terkait dengan perbedaan genetik pada populasi atau akibat
pajanan terhadap agen-agen infeksi tertentu masih belum jelas. Penelitian-
penelitian migran menunjukkan peningkatan angka diabetes pada populasi-
populasi yang berpindah dari daerah dengan insidensi diabetes yang lebih rendah

1
ke daerah-daerah dengan insidensi diabetes yang lebih tinggi. Namun, karena
kecenderungan umum migrasi adalah dari negara-negara miskin, tropik, dan
sedang berkembang ke negara-negara yang lebih maju dan kaya di dunia Barat,
pengaruh-pengaruh perancu seperti diit dan gaya hidup membuat implikasi
daerah-daerah geografik tertentu menjadi bermasalah.

GENETIK
Telah lama diketahui bahwa diabetes terjadi lebih sering pada keluarga-
keluarga dengan anggota keluarga yang sebelumnya sudah terkena. Kerabat
tingkat pertama dari probandus yang terkena memiliki resiko sekitar 3% hingga
5% untuk menderita diabetes, dan peningkatan 10 kali lipat di atas populasi
umum, dan angka diabetes pada kembar identik adalah sekitar 30% hingga 50%.
Sudah jelas bahwa diabetes, maupun kelainan-kelainan autoimun lainnya seperti
penyakit Addison dan tiroiditis, berhubungan dengan peningkatan frekuensi
antigen leukosit manusia tertentu (HLA) dari kompleks histokompatibilitas mayor
(MHC). Sistem ini, terletak pada kromosom 6, mengatur respon imun dan
pengenalan self (diri sendiri) dari nonself (benda asing) melalui ekspresi antigen-
antigen tertentu pada permukaan sel. Pewarisan antigen HLA DR3 atau DR4
meningkatkan resiko timbulnya diabetes sekitar 3 kali lipat, sedangkan pewarisan
DR3 maupun DR4 menyebabkan peningkatan resiko sekitar 10 hingga 15 kali
lipat. Lebih dari 90% dari semua orang kulit putih yang menderita diabetes
membawa antigen HLA DR3 atau DR4, meskipun allel-allel ini dijumpai pada
lebih dari 50% populasi umum orang kulit putih. T1DM pada orang Afrika-
Amerika berhubungan dengan gen-gen HLA yang sama seperti pada orang kulit
putih.
Ketiadaan homozigos satu residu asam aspartat pada posisi 57 (Asp57)
dalam rantai DQ berhubungan dengan peningkatan resiko kerentanan diabetes
sekitar 100 kali lipat, sedangkan individu-individu yang heterozigos untuk Asp57
juga memiliki peningkatan resiko relatif terhadap homozigot Asp57/Asp57.
Frekuensi non-Asp57 berhubungan langsung dengan insidensi T1DM dalam
populasi tertentu. Sama halnya, tidak adanya arginin pada posisi 52 dari rantai

2
DQ juga berhubungan dengan peningkatan kerentanan terhadap T1DM.
Diperkirakan bahwa perubahan-perubahan pada posisi 52 dan 57 mengubah
struktur tersier molekul HLA, sehingga lekukan yang normalnya tertutup
menjadi terbuka, memungkinkan akses yang lebih besar dari antigen HLA pada
reseptor-reseptor sel T dan memicu respon imun.

PATOGENESIS
Model terkini untuk timbulnya diabetes adalah bahwa kerentanan terhadap
penyakit inilah, bukan penyakit itu sendiri, yang diwariskan melalui deret genetik
yang spesifik dengan MHC. Hal ini diikuti oleh peristiwa pencetus, atau pukulan
kedua, yang memicu proses peradangan yang salah arah terhadap pulau-pulau
pankreas. Pengenalan sel akan menstimulasi aktivasi limfosit T, menyebabkan
penglepasan sitokin-sitokin peradangan, produksi radikal-radikal bebas yang
toksik, dan pembunuhan sel , yang pada gilirannya menghasilkan penglepasan
lebih banyak antigen sel dan eskalasi proses imun. Infiltrasi sel T pada pulau-
pulau Langerhan dijumpai pada spesimen pankreas dari penderita diabetes, sesuai
dengan infiltrat-infiltrat yang dijumpai pada kelainan-kelainan autoimun lainnya
seperti tiroiditis Hashimoto. Juga ada bukti bahwa pada awitan penyakit, terjadi
perubahan pada rasio antara sel T killer dan T helper.
Proses peradangan terhadap pulau-pulau pankreas disertai oleh timbulnya
antibodi serum yang berperan pada proses peradangan. Antibodi-antibodi sel
pulau-pulau pankreas (ICA islet cell antibodies) ini dijumpai pada serum lebih
dari 80% penderita diabetes pada saat diagnosis. Autoantibodi yang dominan
adalah GAD65, diarahkan terhadap enzim dekarboksilase asam glutamat, yang
mengkatalis perubahan glutamat menjadi asam gamma-amino butirat (GABA),
namun antibodi-antibodi terhadap insulin dan antigen-antigen sel lainnya
(ICA512 atau IA-2) juga dijumpai. Autoantibodi-autoantibodi ini dapat dideteksi
dalam darah bertahun-tahun sebelum timbulnya diabetes klinis, menunjukkan
pengrusakan peradangan massa sel yang tersamar, indolen dan perlahan-lahan
yang bermanifestasi secara klinis dengan intoleransi karbohidrat bila 90% dari
massa sel telah rusak.

3
Peristiwa pencetus yang menyebabkan proses autoimun destruktif
diperkirakan adalah infeksi virus, baik melalui mimikri molekuler dari suatu virus
tertentu terhadap antigen sel atau melalui viremia nonspesifik. Virus-virus
tertentu, seperti rubella, campak, coxsackievirus, dan sitomegalovirus, dapat
langsung toksik pada sel-sel pankreas, sedangkan infeksi-infeksi viral lainnya
dapat mencetuskan penyakit dengan menghasilkan respon imun generalisata yang
tersebar luas. Pengamatan bahwa bayi-bayi yang disusui memiliki insidensi
diabetes yang lebih rendah dan bahwa banyak orang-orang diabetik awitan baru
memiliki antibodi terhadap albumin serum sapi telah memunculkan pemikiran
bahwa pengenalan susu formula berbasis susu sapi secara dini dapat mencetuskan
diabetes, khususnya pada orang-orang yang rentan. Penelitian-penelitian
prospektif skala besar telah dilakukan untuk menjawab pertanyaan ini. Sama
halnya, apakah toksin-toksin lingkungan, seperti senyawa nitrosamin yang
dihasilkan dari pengasapan daging, berhubungan dengan peningkatan resiko
diabetes, masih tetap menjadi pertanyaan yang belum terjawab, meskipun didapati
bahwa populasi-populasi dengan diit yang khas untuk dunia Barat, yang relatif
kekurangan antioksidan, berhubungan dengan insidensi diabetes yang lebih tinggi
dibanding populasi-populasi yang memakan diit yang lebih kaya antioksidan dari
negara-negara sedang berkembang. Namun, terapi antioksidan untuk pencegahan
diabetes masih tetap bersifat spekulatif.

PATOFISIOLOGI
Insulin adalah sebuah hormon anabolik yang mengatur keseimbangan
penyimpanan tubuh versus mobilisasi cadangan-cadangan tubuh. Ia distimulasi
oleh peningkatan kadar glukosa di aliran darah tepi dan, melalui suatu mekanisme
yang diperantarai oleh reseptor, memungkinkan pengambilan glukosa (melalui
pengangkut-pengangkut glukosa yang spesifik) ke dalam sel jaringan perifer. Di
hepar, insulin menstimulasi sintesis glikogen dan menghambat glukoneogenesis
dan glikogenolisis. Insulin juga meningkatkan sintesis lipid hepatik dari
trigliserida dan gliserol. Di jaringan lemak, insulin berperan untuk meningkatkan
penyimpanan lemak (lipogenesis). Di otot lurik, insulin menstimulasi peningkatan

4
pengikatan asam amino, serta sintesis protein dan glikogen. Aksi insulin dihambat
oleh katekolamin, seperti epinefrin, dan oleh hormon-hormon kontraregulatorik
yang lain, seperti hormon pertumbuhan dan kortisol.
Bila tidak ada insulin, tubuh beraksi seperti bila berada dalam kondisi
berpuasa, meskipun telah diberi makan. Glukosa serum yang ada tak dapat
digunakan oleh jaringan-jaringan perifer, karena ketergantungan pengangkut-
pengangkut glukosa jaringan perifer terhadap insulin. Glikogenolisis dan
glukoneogenesis hepar distimulasi, menghasilkan hiperglikemi lebih lanjut.
Ketika kadar glukosa serum melebihi ambang ginjal (180 mg/dL), terjadi diuresis
osmotik, menyebabkan kehilangan cairan dan elektrolit seperti kalium, natrium,
kalsium, fosfor dan magnesium lewat urin yang bermakna. Produksi glukosa yang
berkelanjutan bersama dengan penurunan pengikatan glukosa perifer,
digabungkan dengan kehilangan cairan lewat urin, menyebabkan dehidrasi dan
hiperosmolaritas yang progresif lambat.
Gangguan metabolisme protein dan lemak juga berkontribusi pada
destabilisasi metabolik. Defisiensi insulin memicu lipolisis di jaringan lemak,
oksidasi asam lemak di hepar, dan proteolisis di otot, mengakibatkan akumulasi
keton-keton -hidroksibutirat dan asetoasetat serta diikuti oleh asidosis metabolik.
Dehidrasi dan asidosis progresif menstimulasi produksi hormon-hormon
kontraregulatorik yaitu epinefrin, hormon pertumbuhan dan kortisol. Hormon-
hormon ini lebih lanjut melawan aksi insulin sehingga mengeksaserbasi
hiperglikemi, katabolisme, dan asidosis metabolik melalui stimulasi
glikogenolisis, glukoneogenesis, lipolisis dan produksi keton, melanggengkan
lingkaran setan ini.

DIAGNOSIS DAN DIFERENSIASI DIABETES MELLITUS TIPE I


Secara klasik, anak-anak dengan T1DM memiliki trias poliuri, polidipsi
dan polifagi. Namun, ada variasi yang besar dalam spektrum dan keparahan
presentasi, dan diagnosis banding yang luas dapat dijumpai. Lebih lanjut, fakta
bahwa presentasi awal T1DM seringkali dipicu oleh penyakit penyerta juga dapat
membingungkan diagnosisnya. Pada anak-anak dengan T1DM, poliuri dan

5
polidipsi kompensata terjadi setelah ambang glukosa pada ginjal terlampaui (pada
konsentrasi glukosa serum sekitar 180 mg/dL), dan glukosuri terjadi.
Hiperglikemi dan status hiperosmolar menyebabkan diuresis osmotik,
mengakibatkan poliuri, polidipsi dan seringkali enuresis. Pada saat pasien datang,
gejala-gejala ini seringkali sudah berlangsung selama beberapa minggu. Hal ini
seluruhnya lebih sering dijumpai pada bayi dan remaja aktif, di mana sulit bagi
orang tua untuk mengetahui gejala-gejala kencing yang berlebihan. Defisiensi
insulin progresif mengakibatkan penurunan berat badan, kelelahan, dan malaise
umm, karena cadangan protein dan lemak hilang. Seiring dengan meningkatnya
hormon-hormon kontraregulatorik dan ketosis memburuk, gejala-gejala penyakit
akut mulai muncul, termasuk mual, anoreksia, nyeri abdomen dan muntah-
muntah. Pada titik ini, perburukan dehidrasi dan asidosis secara akut dapat
menghasilkan gejala-gejala letargi, kebingungan, stupor, bahkan koma, dan
kompensasi respiratorik untuk asidosis metabolik menghasilkan hiperpneu, nafas
dalam yang disebut pernapasan Kusmaul. Kotak 1-1 merangkum gejala-gejala
yang biasanya muncul saat diagnosis. Titik-titik anamnesis lainnya yang penting
yang harus ditelusuri pada saat pasien pertama kali datang meliputi riwayat
diabetes atau kelainan autoimun lainnya (tiroiditis, penyakit Addison) pada
keluarga dan penggunaan obat-obat akhir-akhir ini yang diketahui meningkatkan
gula darah.
Pemeriksaan fisik harus terfokus pada status hidrasi dan meliputi evaluasi
frekuensi jantung dan tekanan darah dengan seksama serta deskripsi membran
mukosa, pengisian kapiler, nadi, dan kehangatan ekstremitas. Perkiraan kasar
status dehidrasi (5%, 10% atau 20%) harus dibuat untuk menghitung defisit
cairan dan memfasilitasi terapi rehidrasi. Pemeriksaan seksama dan pencatatan
tertulis status neurologik juga penting, untuk berperan sebagai titik awal bila
terjadi perburukan status neurologik pada akhir terapi. Pemeriksaan fisik umum
harus meliputi pemeriksaan sistem pernapasan danperut, maupun pencarian
penyakit-penyakit penyerta yang dapat bertindak sebagai pencetus. Evaluasi
tiroid untuk penyakit gondok dan kulit untuk hiperpigmentasi memungkinkan
diagnosis komorbiditas-komorbiditas yang potensial seperti tiroiditis atau

6
Box 1. Gejala Diabetes Melitus Tipe I
Poliuri
Polidipsi
Polifagi
Penurunan berat badan
Enuresis berulang
Vaginitis kandida
Letargi
Penglihatan kabur
Nyeri abdomen
Muntah
Kesuliyan bernapas
Apatis

penyakit Addison. Anak-anak perempuan harus diperiksa untuk


mendeteksi adanya kandidosis vulvovaginalis, dan anak laki-laki maupun anak
perempuan harus diperiksa tinggi badan, berat badan, dan tingkat kematangan
seksualnya. Penemuan bauseperti buah pada napas adalah ciri khas ketoasidosis
diabetik (DKA), namun ketosis yang bermakna pun dapat terjadi meskipun tidak
ada temuan ini. Kotak 1-2 merangkum temuan-temuan umum pada saat diagnosis
T1DM.
Pemeriksaan-pemeriksaan laboratorium yang sesuai dimulai dengan
pengukuran kadar glukosa darah serum. Seperti dijelaskan sebelumnya, kadar
glukosa darah sewaktu diindikasikan pada anak-anak dengan gejala-gejala yang
mengarah ke diabetes. Pada anak yang simptomatik, glukosa darah harus
diperiksa secara rutin; anak-anak tak boleh diberitahu bahwa mereka akan
diperiksa kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Pada anak yang jelas-jelas
tampak sehat, hanya diperlukan pemeriksaan laboratorium minimal: elektrolit,
ureum, dan kreatinin, bersama dengan urinalisis untuk glukosa dan keton, sudah
mencukupi. Pada anak-anak dengan bukti klinis dehidrasi yang lebih berat
dan/atau tanda-tanda sistem organ lainnya, pemeriksaan harus diperluas untuk
melibatkan pemeriksaan metabolik lengkap, hitung darah dengan hitung jenis, gas
darah arteri atau vena, dan, pada kasus dengan demam atau syok, ditambahkan
biakan darah. Pemeriksaan-pemeriksaan lainnya bergantung pada skenario klinis
dan harus disesuaikan dengan kondisi masing-masing pasien.

7
Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan laboratorium yang teliti
semestinya memungkinkan diagnosis diabetes mellitus disimpulkan dengan cepat
dan efisien. Adanya poliuri, polidipsi dan kehilangan berat badan pada anak harus
dianggap sebagai T1DM hingga terbukti sebaliknya. Diagnosis banding utama
untuk T1DM pada anak-anak adalah infeksi saluran kemih, karena gejala-gejala
kencing yang berlebihan atau terlalu sering. Jika gejala-gejala polidipsi dan poliuri
mendominasi, diabetes insipidus harus dipikirkan. Namun, urinalisis standar dapat
dengan mudah membedakan kedua kelainan ini, karena urin dari diabetes mellitus
mengandung glukosa, keton dan elektrolit-elektrolit yang osmotik aktif,
sedangkan urin diabetes insipidus bersih dan encer. Jika tampilan klinisnya
melibatkan dehidrasi dan muntah-muntah, gastroenteritis harus dipikirkan, sama
halnya dengan faringitis streptokokkal dan pneumonia. Pneumonia atau
eksaserbasi asma juga dapat dimasukkan pada kondisi asidosis metabolik dan
pernapasan Kussmaul. Pada anak-anak yang datang dengan demam, muntah, dan
nyeri abdomen, appendisitis atau gangguan-gangguan abdomen akut lainnya dapat
juga dipikirkan, satu kondisi yang makin diperumit oleh fakta bahwa anak-anak
yang menderita ketoasidosis diabetik (DKA) seringkali mengalami leukositosis.
Kondisi-kondisi lainnya dalam diagnosis banding T1DM meliputi penelanan
racun, penyakit radang panggul pada remaja seksual aktif, dan pada usia apapun,
sepsis. Pasien-pasien dengan hiperglikemi persisten mungkin juga datang dengan
berbagai macam bentuk infeksi jamur. Bayi-bayi dan balita mungkin mengalami
kandidosis oral (thrush) dan/atau kandidiasis popok, dan remaja-remaja mungkin
datang dengan infeksi kandida pada kelamin. Pasien dan orang tua seringkali tak
menyadari bahwa gejala-gejala ini terkait dengan diabetes. Maka, pemeriksaan
genitourinaria yang teliti dibutuhkan pada saat pasien datang. Pada anak
prapubertas, adanya kandidiasis harus selalu memicu pemeriksaan glukosa darah
oleh dokter yang merawatnya. Juga harus ditekankan bahwa diagnosis diabetes
membutuhkan pengukuran glukosa darah; temuan glukosuri saja tidak mencukupi.
Glukosuri renal, satu kondisi jinak di mana ambang ekskresi urin untuk glukosa
terjadi sekalipun pada konsentrasi glukosa darah yang normal, kadang-kadang
dapat menyerupai diabetes pada anak di mana urinalisis rutin dilakukan tanpa

8
adanya gejala-gejala diabetes yang sejati. Tabel 1-1 merangkum diagnosis banding
pada T1DM.
Box 2. Pemeriksaan Fisik DM tipe 1
Dehidrasi (mukosa kering, turgor kulit berkurang, penurunan
Capilary refiil, takikardi, hipotensi)
Vulvovaginitis
Pernapasan bau keton
Pernapasan kusmaul
Ileus
Penurunan kesadaran

PENGELOLAAN DAN PILIHAN-PILIHAN TERAPI UNTUK DIABETES


MELLITUS TIPE 1 AWITAN BARU
Sasaran pengelolaan anak dengan T1DM awitan baru adalah stabilisasi
metabolik anak dan edukasi pada keluarga untuk merawat anak setelah stabilisasi
terselesaikan. Terapi anak yang baru terdiagnosis dengan T1DM bergantung pada
akuitas penyakit saat anak datang: anak yang tampak sehat dan dapat berjalan
sendiri tanpa dehidrasi berat dapat ditangani secara berbeda dari pasien yang sakit
akut dan mengalami dehidrasi dengan muntah-muntah. Masih tetap diterima
secara umum bahwa anak diabetik yang baru terdiagnosis membutuhkan
perawatan akut di rumah sakit, karena pengawasan rutin yang dibutuhkan masih
belum dapat dilakukan bila pasien tak dirawat di rumah sakit oleh keluarga yang
tak terlatih dan sedang dalam pemulihan dari syok karena diagnosis anaknya.
Namun, proyek-proyek percontohan yang kecil oleh Chase dkk telah
menunjukkan bahwa pengelolaan rawat jalan pasien diabetik awitan baru dapat
dicapai pada beberapa situasi. Timbulnya diabetes pada saudara kandung dari
pasien dapat dengan mudah dikelola di luar rumah sakit bila anak tidak sakit
secara akut dan keluarganya telah terlatih dalam pengelolaan diabetes.
Pada pasien yang baru terdiagnosis tanpa muntah atau ketoasidosis,
pemberian insulin subkutan melalui injeksi dapat dibenarkan. Pada kasus seorang
anak dengan hiperglikemi saja, dosis insulin sekitar 0,3 hingga 0,5 unit/kg/hari
Tabel 1-1. Diagnosis banding DM tipe 1 dan pemeriksaan

Klinis Diagnosis Banding Pemeriksaan

9
Poliuri, nokturi, enuresis Infeksi saluran kemih, Urinalisis, ketonuria,
benigna nocturnal enuresis piouria

Polidipsi Polidipsi psikogenik, Urinalisis, ketonuria,


Diabetes insipidus

Penurunan berat badan Anoreksia nervosa,penyakit Riwayat perilaku,


gastrointestinal , penyakit glukosa plasma
kronik

Muntah Gastroenteritis, ingesti Glukosa, elektrolit


toksik, penyakit metabolik

Nyeri abdomen Gastroenteritis, apendisitis Anamnesis dan


pemeriksaan fisik
yang cermat,
glukosa dan
urinalisis

Takipnu Pneumonia, asma, cemas Asidosis metabolik


(napas kusmaul),
penyuakit paru
primer, glukosa dan
elektrolit

Hiperglikemia Hiperglikemia, obat-obatan kemungkinan keliru


diagnosis DM

Glikosuri Benigna renal glycosuria Mungkin bukan DM,


periksa glukosa
darah, gukosuria

mungkin sudah mencukupi, sedangkan bila juga ada ketosis, dosis 0,7
unit/kg/hari atau lebih mungkin diperlukan. Seorang anak yang datang dengan
DKA dan dalam masa transisi ke insulin subkutan seringkali memerlukan 1
unit/kg/hari atau lebih. Pengelolaan anak yang mengalami DKA dibicarakan di
bagian terpisah.
Dosis harian total dibagi menjadi insulin aksi cepat, aksi menengah, atau
aksi lambat, biasanya Humalog (Lispro, Eli Lilly and Company, Indianapolis, IN)
atau Novolog (Aspart, Novo Nordisk, Bagsvaerd, Denmark) bersama dengan
NPH, diberikan dalam rejimen tiga suntikan per hari. Setelah menghitung dosis

10
harian total, sekitar 50%-nya diberikan sebagai NPH dan 15% diberikan sebagai
insulin aksi cepat sebelum sarapan pagi, sekitar 10% diberikan sebagai NPH dan
15% diberikan sebagai insulin aksi cepat sebelum makan malam, dan sekitar 10%
diberikan sebagai NPH ketika anak hendak tidur. Pada balita, di mana asupan
makannya tak dapat diramalkan, insulin dapat diberikan setelah makan, dengan
memberikan jumlah insulin aksi panjang tertentu dan pengaturan dosis insulin
aksi cepat menurut asupan karbohidrat sebelumnya (lihat di bagian perhitungan
karbohidrat nantinya). Pada bayi, biasanya hanya insulin aksi panjang yang
diberikan dalam rejimen dua atau tiga suntikan per hari. Gula darah diperiksa
sebelum makan, saat hendak tidur, dan pada jam 2 atau 3 pagi (atau sebelum
menyusui pada bayi), dan semua keluaran urin diperiksa untuk mendeteksi
glukosa dan keton menggunakan dipstick.
Bagi anak yang dimasukkan ke rumah sakit dengan hiperglikemi saja
tanpa ketosis, touch-ups insulin aksi cepat dapat diberikan sebelum makan
sebagai tambahan terhadap dosis yang terjadwal. Bayi dan balita mungkin hanya
membutuhkan 0,5 unit insulin aksi cepat untuk menurunkan kadar gula darah
serum sebanyak 100 mg/dL. Pada anak-anak kecil usia sekolah, 1 unit dapat
menurunkan gula darah sebanyak 100 mg/dL, dan pada anak-anak usia sekolah
yang lebih tua, 1 unit dapat menurunkan gula darah sebanyak 75 mg/dL. Pada
remaja, di mana resistensi insulin biasa dijumpaim 1 unit mungkin hanya dapat
menurunkan gula darah sekitar 30 hingga 50 mg/dL. Touch-ups insulin ini
sebaiknya diberikan setelah pemeriksaan gula darah sebelum makan atau sebelum
kudapan (untuk menghindari hipoglikemi) dan harus dilakukan dengan tujuan
untuk mengkoreksi gula darah hingga sekitar 120 mg/dL. Selain itu, harus diingat
bahwa panduan-panduan kasar ini harus disesuaikan berdasarkan respon masing-
masing pasien.
Jika seorang anak juga datang dengan ketosis, rejimen terapi lainnya,
dikenal sebagai sick day rules, dapat diterapkan. Kadar glukosa darah dan keton
urin diperiksa setiap 2 jam. Tambahan 10% dari dosis harian total insulin
diberikan sebagai insulin aksi cepat setiap 2 jam hingga keton urin menghilang.
Hal ini diteruskan sekalipun gula darah tidak meningkat, karena adanya keton

11
mengindikasikan perlunya insulin tambahan. Cairan tambahan harus diberikan
untuk mengembalikan volume cairan dan mempercepat ekskresi keton. Pada anak
yang dapat menoleransi rehidrasi oral, dosis cairan sebanyak 1 ons per tahun
umur per jam berperan sebagai patokan kasar di mana kandungan gulanya
bergantung pada glukosa serum. Untuk kadar gula darah lebih dari 200 mg/dL,
cairan bebas gula harus diberikan; untuk kadar gula antara 120 dan 200 mg/dL,
campuran cairan bebas gula dan cairan yang mengandung gula dapat diberikan;
dan untuk kadar gula kurang dari 120 mg/dL, semua cairan mengandung gula
dapat diberikan. Sick day rules bermanfaat tak hanya di rumah sakit namun juga
untuk keluarga-keluarga di rumah yang mencoba mengelola seroang anak diabetik
dengan penyakit penyerta. Jika emesis menghalangi asupan oral yang normal,
insulin aksi menengah atau aksi panjang harus dihentikan, dan hanya boleh
diberikan dosis insulin aksi pendek atau aksi cepat yang kecil dan frekuen. Setelah
keton dibersihkan dan anak dapat menoleransi diit oral, keluarga dapat
melanjutkan kembali rutinitas perawatan normalnya.
Pasien-pasien yang baru terdiagnosis dan keluarganya harus diajarkan
untuk menghitung karbohidrat. Hal ini memungkinkan fleksibilitas diit, karena
anak dapat menyesuaikan dosis insulin aksi cepatnya menurut asupan karbohidrat
pada waktu makan atau waktu kudapan. Rasio permulaan yang biasa digunakan
adalah 0,5 unit insulin untuk 15 hingga 30 gram karbohidrat pada bayi atau balita,
1 unit per 15 gram pada anak-anak kecil usia sekolah, dan 1 unit per 10 gram pada
anak remaja. Rasio-rasio ini harus dititrasi secara individual berdasarkan
pengukuran glukosa darah 2 jam setelah makan.
Sebelum dipulangkan, pemeriksaan tingkat kemampuan adapatasi dan
fungsi keluarga secara keseluruhan harus dilakukan. Situasi-situasi khusus, seperti
keluarga campuran atau pengasuh tambahan/selang-seling di rumah, harus diatasi
sebelum pasien pulang dari rumah sakit. Keluarga biasanya mengalami syok dan
rasa sedih terhadap diagnosis anaknya, namun harus dipertimbangkan rujukan
untuk konseling psikososial bila rasa sedih, cemas, atau depresi tampaknya
berlebihan atau mengganggu edukasi diabetes.

12
Pada saat pulang dari rumah sakit, dosis insulin harian total biasanya
diturunkan sebanyak 20% hingga 30%, karena anak biasanya jauh lebih aktif di
rumah sehingga membutuhkan lebih sedikit insulin. Keluarga diintruksikan untuk
memeriksa keton urin bila gula darah lebih dari 240 mg/dL atau bila anak sakit.
Kontak erat dengan pasien yang baru saja dipulangkan sangat penting untuk
memonitor keamanan dan efikasi rejimen insulin yang diresepkan serta
kemampuan adaptasi keluarganya.

KETOASIDOSIS DIABETIK (DKA)


DKA adalah komplikasi yang mengancam nyawa dan dapat dicegah dari
diabetes mellitus yang ditandai oleh aksi insulin yang tidak adekuat, hiperglikemi,
dehidrasi, kehilangan elektrolit, asidosis metabolik, dan ketosis. DKA
berhubungan dengan angka mortalitas yang bermakna dan merupakan penyebab
kematian tersering pada anak-anak dengan T1DM. Anak-anak yang diabetesnya
belum terdiagnosis dapat datang dengan DKA, sehingga diagnosis ini harus
dipikirkan pada setiap anak dengan keadaan bingung atau koma yang etiologinya
tak terjelaskan. Pada anak-anak yang diabetesnya telah terdiagnosis, DKA
biasanya dapat dicegah melalui edukasi pasien dan keluarga, pengawasan glukosa
darah dengan frekuen dan keton urin pada saat penyakit muncul, hidrasi oral yang
adekuat, dan insulin suplemental (sick day rules).
Ketoasidosis diabetik didefinisikan sebagai kadar gula darah lebih dari 240
mg/dL, ketonemi/ketonuri, dan pH kurang dari 7,3. Kelainan utamanya adalah
defisiensi insulin, yang mengakibatkan hiperglikemi karena penurunan pemakaian
glukosa maupun peningkatan glukoneogenesis. Ketika kadar glukosa darah
melebihi ambang renal sebesar 180 mg/dL, terjadi diuresis osmotik, menghasilkan
hilangnya cairan ekstrasel dan elektrolit serta perburukan hiperglikemianya.
Defisiensi insulin juga mengakibatkan percepatan lipolisis, dengan diikuti
pengubahan asam-asam lemak bebas menjadi asam asetoasetat dan asam -
hidroksibutirat. Hal ini menghasilkan asidosis metabolik. (Aseton juga dibentuk
dan menghasilkan bau seperti buah pada napas pasien, namun ita tak berkontribusi
pada asidosisnya). Kalium, sebagian besar sebagai ion intrasel, diangkut keluar

13
dari sel ke dalam plasma sebagai penukar masuknya hidrogen dan dikeluarkan
lewat urin. Maka, hampir semua pasien dengan DKA menderita defisiensi kalium
seluruh tubuh, tanpa memandang kadar kalium serumnya. Fosfat, satu lagi ion
yang sebagian besar terletak intrasel, juga mengalami hal yang sama. Defisiensi
2,3-difosfogliserat, suatu produk antara glikolitik yang mengandung fosfat dalam
sel-sel darah merah yang memfasilitasi penglepasan oksigen dari hemoglobin,
dapat berkontribusi pada timbulnya asidosis laktat yang mempersulit
ketoasidosisnya. Meskipun defisiensi insulin adalah kelainan utamanya,
peningkatan hormon-hormon kontraregulatorik (glukagon, kortisol, katekolamin,
dan hormon pertumbuhan) berperan pada percepatan glukoneogenesis maupun
lipolisis.
DKA tidak sulit untuk dikenali pada seorang anak yang telah diketahui
menderita diabetes yang mengalami dehidrasi, hiperventilasi, dan penurunan
kesadaran. Namun, pada anak yang diabetesnya belum terdiagnosis, DKA dapat
dibingungkan dengan sindroma Reye, penelanan racun (khususnya salisilat atau
alkohol), dan infeksi atau trauma sistem saraf pusat. Muntah persisten dapat
mengarah ke gastroenteritis atau, dengan nyeri abdomen, mengarah ke
appendisitis akut atau proses intra-abdomen lainnya. Diagnosis diabetes (bila
belum ditegakkan) ditunjukkan oleh riwayat poliuri, polidipsi, nokturi, atau
enuresis pada anak yang sebelumnya telah terlatih untuk buang air kecil dengan
benar. Kelemahan dan penurunan berat badan yang tak diketahui penyebabnya
juga dapat menjadi gambaran yang muncul. Bila diagnosis DKA dicurigai, harus
dilakukan upaya untuk mengidentifikasi sebab-sebab yang mempresipitasinya
(misalnya infeksi, stress, atau ketidakpatuhan). Pada seorang anak yang telah
diketahui menderita diabetes, sangat penting untuk meninjauh secara singkat
riwayat gula darah terbaru dan memeriksa tak hanya dosis insulin biasanya namun
juga kuantitas dan waktu injeksi yang terakhir.
Pemeriksaan fisik pada awalnya harus terfokus pada kecukupan jalan
napas, pernapasan, dan penilaian status sirkulasi (nadi, tekanan darah, perfusi
perifer), derajat dehidrasi (termasuk berat badan bila memungkinkan), dan status
kesadaran. Pernapasan yang dalam dan cepat (pernapasan Kussmaul) dan bau

14
seperti buah pada napas adalah tanda-tanda klasik namun tak selalu dijumpai pada
setiap pasien. Penelusuran yang seksama harus dilakukan untuk mencari sumber
infeksi yang mungkin telah mempresipitasi episode DKA. Penentuan glukosa
darah di tempat tidur dengan alat pengawas glukosa dan evaluasi urin untuk
mencari glukosa dan keton harus dilakukan sesegera mungkin, dan terapi harus
dimulai tanpa menunggu tersedianya hasil pemeriksaan laboratorium.
Pemeriksaan laboratorium bagi pasien-pasien yang dicurigai menderita
DKA meliputi penentuan glukosa darah, keton urin atau plasma, konsentrasi
elektrolit serum, ureum, kreatinin, osmolaritas, dan kadar kalsium dan fosfor
awal. Pengukuran gas darah awal juga harus dilakukan untuk menentukan pH dan
pCO2. Meskipun pengukuran gas darah vena mungkin sudah mencukupi pada
episode-episode DKA yang lebih ringan, pengukuran gas darah arteri harus
didapatkan pada pasien-pasien yang dicurigai mengalami kompensasi pernapasan
yang tak sempurna dan/atau pasien-pasien yang diperkirakan akan membutuhkan
terapi bikarbonat. Jika dijumpai hiperlipidemia, konsentrasi natrium serum
mungkin menjadi lebih rendah. Sama halnya, kadar natrium serum berkurang
sekitar 1,6 mEq/L untuk setiap peningkatan glukosa 100 mg/dL karena
reekuilibrasi kompartemen intrasel dan ekstrasel pada osmolaritas yang lebih
tinggi. Bila ada keton (dan laktat), didapati asidosis jenjang anion yang besar.
Derajat peningkatan ureum dan kreatinin, maupun hematokrit, dapat
mengindikasikan tingkat dehidrasi (dan kemungkinan terjadinya kerusakan
ginjal). Kadar kalium serum awal dapat rendah, normal, atau tinggi, bergantung
pada derajat asidosisnya dan kehilangannya secara kuantitatif melalui urin.
Pengelolaan DKA akut diarahkan pada koreksi dehidrasi, kehilangan
elektrolit, hiperglikemi dan asidosis. Terapi cairan awal ditujukan untuk sabilisasi
cepat pada sirkulasi guna mengkoreksi ancaman syok, namun, seperti pada
bentuk-bentuk dehidrasi hipertonik lainnya, pemberian cairan yang terlalu cepat
harus dihindari. Terapi sulih cairan dengan dosis 4 L/m2/24 jam telah dihubungkan
dengan timbulnya edema otak yang berpotensi fatal pada DKA. Karena alasan ini,
bolus cairan awal biasanya dianjurkan untuk mengembangkan kompartemen
vaskuler dan meningkatkan sirkulasi perifer, namun setelah pasien distabilisasi,

15
rehidrasi berikutnya dilakukan dengan berhati-hati. Biasanya kita bertujuan
mengkoreksi defek cairan secara bertahap, selama 36 hingga 48 jam. Koreksi
bertahap sangat penting pada anak-anak yang sangat beresiko mengalami oedem
otak. Anak-anak ini termasuk anak-anak dengan perubahan status kesadaran,
riwayat gejala-gejala selama lebih dari 48 jam, pH kurang dari 7,0, glukosa lebih
dari 1000 mg/dL, natrium terkoreksi lebih dari 155 mEq/L, hiperosmolaritas
ekstrim (> 375 mOsm/L), atau usia kurang dari 3 tahun. Kadar natrium terkoreksi
yang tak berhasil meningkat seiring dengan terapi dapat menunjukkan akumulasi
cairan bebas yang berlebihan dan peningkatan resiko oedem otak. Karenanya,
cairan rehidrasi harus mengandung sekurang-kurangnya 115 hingga 135 mEq
natrium klorida/L untuk memastikan penurunan osmolalitas serum secara bertahap
dan meminimalkan resiko oedem otak. Terapi sulih kalium secara dini juga sangat
penting, untuk mengkoreksi kekurangan kalium yang terjadi karena kehilangan
intrasel awal yang berat dan pergeseran kalium selanjutnya dari kompartemen
ekstrasel ke intrasel (hal ini terjadi ketika terapi dengan insulin dimulai dan
asidosis dikoreksi). Kalium diberikan hanya setelah keluaran urin dipastikan
untuk mencegah hiperkalemi pada gangguan ginjal yang belum diketahui. Kalium
biasanya diberikan pada dosis 20 hingga 60 mEq/L airan, separuhnya sebagai
garam klorida dan separuhnya sebagai garam fosfat, untuk menggantikan
kehilangan fosfat secara bersamaan. Pengawasan elektrokardiografik
memfasilitasi deteksi dini hiperkalemi (gelombang T memuncak) atau hipokalemi
(gelombang T mendatar atau terinversi) dan timbulnya aritmia jantung yang
berpotensi berbahaya. Kadar kalsium serum harus diawasi bila fosfat diberikan,
karena pemberian fosfat dapat mempresipitasi hipokalsemia.
Terapi insulin biasanya dimulai setelah pasien distabilkan dengan bolus
cairan awal. Sama seperti terapi sulih cairan, tujuan terapinya adalah koreksi
bertahap: penurunan glukosa darah sebanyak 50 hingga 100 mg/dL/jam. Biasanya
kadar glukosa turun secara bermakna dengan rehidrasi awal saja. Infusi insulin
dosis rendah secara kontinyu adalah jalur yang lebih dipilih pada sebagian besar
pasien karena preditibilitas kecepatan penurunan glukosa darahnya, kemampuan
untuk mentitrasi dosis insulin hingga benar-benar mendekati kebutuhan

16
metabolik, dan terhindarnya absorpsi yang membahayakan dari lokasi-lokasi
subkutan selama dehidrasi. Dosis umumnya adalah 0,5 hingga 1,0 U/kg/jam, yang
dapat dititrasi ke atas atau ke bawah menurut respon klinisnya. Desktrose
ditambahkan pada cairan intravena bila kadar glukosa darah turun di bawah 300
mg/dL dan dititrasi untuk memberikan penurunan bertahap secara kontinyu pada
glukosa darah hingga mencapai kadar target. Hal ini dengan mudah dicapai
dengan penggunaan dua cairan intravena secara bersamaan, yang berbeda hanya
pada konsentrasi dekstrosenya. Biasanya penurunan konsentrasi glukosa darah
mendahului penurunan keton. Maka, pada kasus-kasus asidosis yang
berkelanjutan dengan kadar glukosa kurang dari 300 mg/dL, sangat penting untuk
tidak meningkatkan dosis insulinnya namun lebih baik menambahkan glukosa.
Pemeriksaan keton serum, meskipun membantu menegakkan diagnosis, bukanlah
patokan yang akurat untuk perbaikan klinis, karena hanya asetoasetat yang diukur
melalui metode standar dan bukan -hidroksibutirat, yang mendominasi di awal
(namun tidak di akhir) perjalanan DKA yang tak diterapi.
Terapi spesifik untuk asidosis DKA tetap kontroversial. Seringkali,
perbaikan klinis yang dramatis dihasilkan cukup hanya dengan ekspansi awal
volume cairan ekstrasel, pengembalian perfusi perifer yang adekuat, dan
pemberian insulin. Peningkatan pH darah setelah pemberian bikarbonat dapat
diikuti oleh perburukan asidosis di sistem saraf puast, karena karbon dioksida
(namun tidak bikarbonat) berdifusi melewati sawar darah otak. Lebih lanjut,
asam-asam organik pada DKA, berbeda dengan asidosis metabolik karena sebab-
sebab yang lain, dimetabolisme menjadi bikarbonat. Maka, pemberian bikarbonat
tambahan dapat menghasilkan alkalosis lambat. Bikarbonat dapat berperan pada
terapi DKA, namun hanya pada derajat asidosis yang lebih berat (pH < 7,0; yang
dapat menyebabkan depresi miokardial) dan pada kasus kompensasi pernapasan
yang tak adekuat. Menurut Glaser dkk, penggunaan bikarbonat pada DKA tanpa
penyulit telah terbukti memperlama terapi dan pada kenyataannya dapat
berhubungan dengan peningkatan resiko oedem otak. Jika bikarbonat diberikan,
dosisnya dihitung untuk membawa pH menjadi sekitar 7,2 saja, sambil berhati-

17
hati pada natrium yang diberikan secara bersamaan; infus lambat lebih dianjurkan
daripada injeksi bolus.
Oedem otak akut adalah komplikasi DKA yang jarang terjadi namun
berpotensi fatal yang terjadi tanpa peringatan dalam 24 jam pertama terapi. Hal ini
harus dibedakan dari pembengkakan otak asimptomatik yang dapat dideteksi
melalui CT scan yang mungkin terjadi pada sebagian anak yang menderita DKA.
Meskipun sejumlah kasus oedem otak akut telah dikemukakan dari penelitian-
penelitian retrospektif yang tak terkontrol, etiologinya belum diketahui.
Peningkatan resiko oedem otak telah dihubungkan pada banyak kasus dengan
kecepatan pemberian cairan yang lebih dari 4 L/m2/24 jam dan kadar natrium
terkoreksi serta osmolalitas plasma efektif yang turun selama perjalanan terapi.
Karenanya, pengawasan seksama pada status neurologik, log input/output (I dan
O), dan natrium terkoreksi serta osmolalitas efektif sangat penting untuk deteksi
dini oedem otak. Terapi oedem otak diarahkan untuk menurunkan tekanan
intrakranial: mannitol intravena (diuretik osmotik), intubasi/hiperventilasi, dan,
bila dibutuhkan, ventrikulostomi.
Jelas bahwa terapi membutuhkan modifikasi yang sering berdasarkan
respon masing-masing pasien. Hal ini hanya dapat dilakukan dengan lembar
pengawasan yang benar-benar dipelihara, yang meliputi item-item seperti tanda
vital, status neurologik (skor GCS), volume asupan dan keluaran (I dan O), berat
badan, dosis insulin yang diberikan, dan pengukuran glukosa darah, keton urin,
elektrolit serum (dengan perhitungan natrium serum terkoreksi dan osmolalitas
serum efektif), kalsium, fosfor, ureum dan kreatinin (ditambah gas darah bila
dibutuhkan). Pengukuran dilakukan tiap jam pada awalnya dan menjadi lebih
jarang setelah kondisi pasien lebih stabil.
Berbeda dengan pasien-pasien DKA, pasien-pasien dengan diabetes
awitan baru yang tidak mengalami dehidrasi bermakna dan yang elektrolit
serumnya normal biasanya dapat diterapi dengan insulin subkutan dan cairan oral.
Pada pasien-pasien ini, bolus cairan intravena mungkin tidak diindikasikan, dan
pada kenyataannya justru dapat merugikan.

18
Jarang sekali, seorang pasien datang dengan kadar glukosa darah yang
sangat tinggi dan kadar keton urin yang sangat sedikit atau bahkan tidak ada.
Sindroma ini, dikenal sebagai koma nonketotik, hiperglikemik, hiperosmolar,
biasanya terjadi pada usia-usia yang ekstrim dan disebabkan oleh kombinasi
dehidrasi berat (karena akses cairan yang tidak adekuat) dan defisiensi insulin.
Sindrom ini berhubungan dengan angka mortalitas yang sangat tinggi dan harus
diterapi dengan hati-hati.

KOMPLIKASI
Komplikasi diabetes dapat dibagi menjadi dini, yang sering dijumpai pada
anak-anak, dan lanjut, yang jarang dijumpai pada kelompok pasien pediatrik.
Komplikasi-komplikasi dini diabetes yang paling umum adalah yang langsung
berhubungand engan defisiensi atau kelebihan insulin. DKA, yang dapat terjadi
sebagai presentasi awal diabetes atau pada kasus penyakit yang sedang
berlangsung atau kontrol glikemik yang buruk, telah dibahas di atas.
Komplikasi dini diabetes yang paling umum, terkait dengan terapi insulin,
adalah hipoglikemi. Reaksi-reaksi hipoglikemik ringan, terdiri atas nyeri kepala,
tremor, nyeri abdomen, atau perubahan mood, dianggap sebagai bagian dari
kontrol yang ketat. Namun, hipoglikemi yang lebih berat dapat menyebabkan
perubahan-perubahan yang berat pada kesadaran, koma, kejang, dan bahkan
kematian. Khususnya pada anak-anak, efek kronik dari episode hipoglikemi
berulang pada perkembangan kognitif sangat mengkhawatirkan, sehingga
membatasi sasaran di mana terapi intensif dapat diterapkan pada anak-anak.
Kelainan-kelainan elektroensefalografik dapat dijumpai pada sebagian besar anak-
anak diabetik dengan riwayat hipoglikemi berat, dan juga pada sebagian besar
anak-anak diabetik dengan hanya hipoglikemi ringan saja. Prestasi sekolah dan tes
fungsi neuropsikologik lebih rendah pada anak-anak diabetik bila dibandingkan
dengan kontrol, khususnya pada anak-anak dengan awitan diabetes sebelum usia 5
tahun. Selain itu, episode-episode hipoglikemi dapat menjadi predisposisi
terhadap hipoglikemia yang lebih berat, dengan menumpulkan hormon-hormon
kontraregulatorik yaitu glukagon dan epinefrin. Sindroma ketidaksadaran

19
hipoglikemi ini sangat umum pada orang-orang dewasa dengan diabetes namun
juga dapat dijumpai pada anak-anak yang lebih tua dan remaja dengan durasi
diabetes yang lebih lama. Anak-anak yang lebih kecil dapat dianggap menderita
ketidaksadaran hipoglikemi fungsional karena keterbatasan kemampuannya
untuk mengenali dan/atau mengungkapkan gejala-gejalanya.
Satu lagi komplikasi dini dari diabetes adalah lipohipertrofi, yang
disebabkan karena injeksi insulin subkutan berulang pada daerah yang sama,
karena tidak merotasi lokasi injeksinya. Lipohipertrofi tampak sebagai massa
yang padat dan kenyal pada ruang subkutan, namun masalahnya lebih dari sekedar
keluhan kosmetik saja: penyerapan insulin dari daerah-daerah lipohipertrofi
sangat buruk dan menyimpang, menghasilkan penurunan efektivitas dosis insulin
dan hipoglikemi yang tak dapat diperkirakan.
Komplikasi-komplikasi dini dari diabetes yang spesifik untuk masa kanak-
kanak adalah keterlambatan pertumbuhan dan pubertas, akibat defisiensi insulin
kronik dan kontrol metabolik yang buruk. Sindroma Mauriac, atau dwarfisme
diabetik, terdiri atas perawakan pendek, keterlambatan pertumbuhan dan
perkembangan pubertas, kepucatan, hepatomegali dan kulit yang menebal, jarang
dijumpai pada anak-anak masa kini dan dapat diterapi dengan memperbaiki
kontrol diabetes.
Komplikasi-komplikasi lanjut dari diabetes, terutama terkait dengan
penyakit mikrovaskuler dan makrovaskuler kronik, adalah sebab-sebab utama
mortalitas dan morbiditas akibat diabetes. Etiologi dan patogenesis penyakit
mikrovaskuler masih dalam penyelidikan namun pastinya melibatkan kombinasi
faktor-faktor, termasuk penebalan dan penglemahan membran basalis kapiler oleh
glikosilasi protein nonenzimatik, akumulasi sorbitol dan alkohol-alkohol gula
lainnya di jaringan, dan perubahan-perubahan pada ekspresi parakrin/autokrin dan
aksi-aksi faktor-faktor pertumbuhan seperti insulin-like growth factor 1 dan
transforming growth factor- di jaringan-jaringan target. Namun, resiko
komplikasi mikrovaskuler tak sepenuhnya terkait dengan kontrol metabolik;
resiko timbulnya penyakit mikrovaskuler hampir pasti juga terkait dengan
kerentanan genetik yang berbeda-beda terhadap efek-efek metabolik dari diabetes,

20
meskipun gen-gen kerentanan yang spesifik masih belum teridentifikasi.
Hiperkolesterolemi, hipertrigliseridemi, perubahan pada lipoprotein, dan
hipertensi semua berkontribusi pada terjadinya penyakit makrovaskuler.
Retinopati adalah komplikasi mikrovaskuler dari diabetes yang tersering,
dan retinopati diabetik adalah penyebab utama kebutaan di Amerika Serikat. Lesi
paling awal adalah retinopati nonproliferatif, yang tersusun atas mikroaneurisme.
Bentuk yang lebih berat dari retinopati latar ini meliputi timbulnya eksudat dan
pelebaran vena. Retinopati latar pada akhirnya terjadi pada semua pasien diabetik
namun tak mengancam penglihatan. Retinopati proliferatif, ditandai oleh
proliferasi fibrosa, pembentukan pembuluh darah baru, dan edema makuler,
berhubungan dengan kehilangan penglihatan yang progresif. Retinopati
proliferatif terjadi pada sekitar 50% dari seluruh pasien diabetik setelah durasi
penyakit selama 20 tahun, namun hampir tak pernah dijumpai pada anak-anak
sebelum umur 15 tahun. Timbulnya retinopati pada anak tampaknya terkait tak
hanya dengan durasi diabetes namun juga dengan tahap pubertasnya; lebih sedikit
retinopati yang dijumpai pada anak-anak prapubertas dibandingkan pada anak-
anak pubertas dengan durasi penyakit yang sama.
Gagal ginjal adalah salah satu penyebab kematian yang tersering pada
pasien-pasien dengan diabetes, dan nefropati diabetik adalah penyebab gagal
ginjal yang tersering di Amerika Serikat. Nefropati diabetik dapat dibagi menjadi
lima stadium. Hiperfiltrasi glomerolus dan pembesaran ginjal adalah perubahan-
perubahan yang paling awal, disertai dengan peningkatan laju filtrasi glomerols.
Hiperfiltrasi berkorelasi dengan hiperglikemi namun dijumpai pada pasien-pasien
dengan kontrol metabolik yang baik sekalipun. Pada stadium kedua, yang terjadi
18 hingga 24 bulan setelah awitan T1DM, penebalan membran basalis glomerolus
dan perluasan matriks mesangial terjadi. Mikroalbuminuri (kecepatan ekskresi
albumin urin 30-300 mg/24 jam atau 20-200 g/menit) dapat dijumpai namun
tidak persisten. Mikroalbuminuri persisten adalah ciri khas stadium ketiga, yang
muncul pada sekitar 25% pasien dalam 10 tahun sejak diagnosis. Progresi ke
proteinuri masif, stadium empat, (ekskresi albumin urin > 300 mg/24 jam atau 200
g/menit), sindroma nefrotik, dan penyakit ginjal terminal (stadium 5) terjadi

21
pada sekitar 30% hingga 40% dari pasien-pasien dengan diabetes selama 30
tahun. Nefropati yang nyata jarang terjadi pada anak-anak, namun stadium-
stadium yang lebih awal dari penyakit ini dapat dijumpai pada populasi diabetes
pediatrik. Prevalensi mikroalbuminuri pada anak-anak dan remaja adalah sekitar
20% hingga 30% dan, seperti pada retinopati, tampaknya tak hanya bergantung
pada durasi diabetes namun juga jumlah tahun pasca pubertas.
Neuropati diabetik terjadi pada sekitar 50% dari seluruh pasien diabetik
dalam 10 tahun semenjak diagnosis penyakit, meskipun neuropati diabetik yang
terbukti secara klinis sangat jarang pada anak-anak. Namun, penurunan sensasi
sentuhan ringan dan getaran maupun penurunan kecepatan konduksi saraf,
mengarah ke neuropati perifer, dapat dideteksi pada anak-anak menggunakan
teknik-teknik pemeriksaan yang sensitif. Neuropati autonom juga sangat jarang
pada anak-anak dengan diabetes, meskipun hasil pengujian otonomi jantung yan
abnormal dapat dijumpai. Disfungsi otonom pada pasien diabetes telah
diimplikasikan pada peningkatan resiko ketidaksadaran hipoglikemi dan kematian
mendadak (sindroma mati di atas ranjang).
Penyakit makrovaskuler dan aterosklerosis adalah penyebab utama
kematian pada orang-orang dewasa dengan T1DM. Hiperkolesterolemi dan
hiperlipidemi seringkali dijumpai pada pasien-pasien anak dengan T1DM
sekalipun, tingkat beratnya penyakit berhubungan terbalik dengan derajat kontrol
metaboliknya.

TERAPI MEDIS ANAK DENGAN DIABETES MELLITUS TIPE 1

Prinsip-prinsip Umum
Pengelolaan optimal anak dengan diabetes membutuhkan pendekatan
terintegrasi, mempertimbangkan tingkat fungsi secara keseluruhan dari anak dan
keluarganya, pola gaya hidup dan nutrisi yang spesifik bagi anak tersebut, dan
perhatian kepada tahap-tahap perkembangan umum dari masa kanak-kanak dan
remaja. Ada lebih dari satu rejimen insulin atau perencanaan makan yang sesuai.
Prinsip-prinsip yang mendasarinya adalah bahwa rencana perawatan diabetes

22
harus menyesuaikan sedapat mungkin dengan lingkungan sekolah dan rumah di
sekelilingnya dan bahwa tugas-tugas utama masa kanak-kanak berupa pendidikan,
sosialisasi, pertumbuhan dan pematangan harus berlanjut tanpa dihalangi oleh
tanggungjawab ekstra yang dibebankan oleh perawatan diabetes. Tugas yang
berpotensi menghambat ini membutuhkan suatu tim multidisiplin, terdiri atas
dokter, perawat, ahli gizi, dan spesialis kesehatan jiwa yang semuanya terlatih dan
berpengalaman pada aspek-aspek perawatan diabetes. Anak-anak dengan diabetes
harus diperiksa oleh tim pada interval yang sering untuk pemeriksaan kontrol
glikemik, pertumbuhan dan perkembangan; evaluasi untuk penyakit-penyakit dan
komplikasi-komplikasi yang terkait; edukasi, penyelesaian masalah dan
gangguan; dan penapisan untuk masalah-masalah adaptasi yang mungkin
mempengaruhi diabetes dan/atau kesehatan anak secara keseluruhan.
Logika bagi pendekatan intensif terhadap perawatan diabetes ini berasal
dari Percobaan Kontrol Diabetes dan Komplikasi (DCCT), sebuah penelitian
multisenter nasional yang dirancang untuk menguji hipotesis bahwa pengelolaan
diabetes intensif akan menyebabkan komplikasi-komplikasi jangka panjang dari
diabetes yang lebih sedikit dibanding terapi standar. Pada saat pelaksanaan
DCCT, terapi diabetes standar terdiri atas dua injeksi insulin per hari, pemeriksaan
kadar glukosa darah di rumah yang tidak rutin, dan konseling olahraga dan nutrisi
dasar. Pengelolaan intensif mengharuskan sekurang-kurangnya tiga hingga empat
injeksi insulin per hari atau penggunaan infus insulin subkutan kontinyu (CSII)
melalui pompa-pompa portabel yang dapat diprogram (terapi pompa),
pengukuran kadar glukosa darah mandiri yang rutin menggunakan alat pengukur
glukosa di rumah, dan kontak yang sering dengan tim perawatan diabetes untuk
menyesuaikan dosis insulin dan program-program olahraga serta nutrisi. Pada
penelitian DCCT, terapi intensif pada orang dewasa berhubungan dengan
perbaikan kontrol glikemik (hemoglobin A1c [HbA1c] 7,1% versus 9,0% pada
kelompok standar) dan penurunan insidensi serta progresi penyulit-penyulit
mikrovaskuler secara dramatis. Kemunculan dan progresi retinopati berkurang
sebanyak 70%, sedangkan nefropati berkurang sebanyak 35% dan neuropati
berkurang sebanyak 30% hingga 70%. Secara bermakna, ada hubungan yang

23
hampir linier antara HbA1c dan rsiko komplikasi. Tidak ada efek ambang yang
nyata: resikonya berkurang dengan tiap perbaikan HbA1c namun tetap meninggi
bagi setiap nilai HbA1c yang lebih tinggi dari normal. Namun, kontrol intensif
juga menyebabkan peningkatan hipoglikemia berat sebanyak 3 kali lipat dan
peningkatan obesitas sebanyak 2 kali lipat.
DCCT juga menunjukkan bahwa kontrol intensif dapat dicapai pada
remaja. Remaja-remaja yang diterapi secara intensif mencapai rerata HbA1c 8,1%
(versus 9,8% pada kelompok standar). Kontrol intensif pada remaja berhubungan
dengan penurunan resiko retinopati sebanyak 60% dan penurunan resiko nefropati
sebanyak 35%. Sama seperti pada orang dewasa, remaja-remaja yang menjalani
intensifikasi terapi mengalami peningkatan resiko hipoglikemia berat sebanyak 3
kali lipat dan peningkatan resiko obesitas sebanyak 2 kali lipat. Namun, perlu
diperhatikan bahwa manfaat dari kontrol intensif tetap bertahan sekalipun setelah
selesainya percobaan ini. Pada penelitian follow up 4 tahun terhadap remaja-
remaja yang berpartisipasi pada DCCT, meskipun dengan kadar HbA1c yang
setara, subyek-subyek yang telah dikontrol intensif selama periode DCCT tetap
memiliki penurunan sebanyak 74% hingga 78% pada resiko perburukan retinopati
dan penurunan 48% hingga 85% pada resiko nefropati.

Rejimen-rejimen Insulin
Tujuan terapi insulin adalah untuk sedapat mungkin mendekati kebutuhan
tubuh untuk metabolisme basal dan maka dengan menggunakan injeksi subkutan
eksogen. Pada dasarnya, loop tertutup yang normal pada sel , yang merasakan
kebutuhan insulin tubuh menit per menit dan menyesuaikannya dengan produksi
dan sekresi insulin, digantikan oleh sistem loop terbuka dari alat pengukur
glukosa di rumah dan spuit insulin.
Insulin telah terus menerus berkembang dari ekstrak pankreas tak murni
yang berasal dari binatang dengan farmakokinetik yang tak dapat diramalkan serta
tendensi pirogenik hingga protein manusia rekombinan yang murni dengan profil
aktivitas yang dapat diandalkan dan antigenisitas yang rendah. Banyak tipe
sediaan insulin telah tersedia di pasaran, dengan awitan, puncak, dan durasi efek

24
yang berbeda-beda, untuk menyesuaikan rancangan rejimen insulin guna
memenuhi kebutuhan klinis atau kebutuhan anak tertentu. Baru-baru ini, analog-
analog insulin yang beraksi sangat cepat (Lispro, Eli Lilly and Company,
Indianapolis, IN; dan Aspart, Novo Nordisk, Bagsvaerd, Denmark) dan satu
analog insulin tanpa puncak yang beraksi sangat panjang (Glargine, Aventis
Pharmaceuticals, Bridgewater, NJ) telah diciptakan. Daftar sediaan insulin yang
tersedia disajikan pada Tabel 1-2.
Sebelum DCCT, sebagian besar anak dengan diabetes diterapi dengan dua
injeksi insulin per hari: satu kombinasi insulin aksi pendek dan aksi menengah
yang diberikan sekitar 30 menit sebelum sarapan dan makan malam. Logika bagi
pendekatan ini adalah bahwa insulin aksi pendek (Regular) akan menutupi
peningkatan glikemik dari sarapan pagi dan makan malam dan insulin aksi
menengah (NPH, Lente) akan menutupi kebutuhan waktu makan siang dan
kebutuhan basal sepanjang malam. Biasanya dosis insulin akan dipisah sehingga
dua pertiga dari dosis harian diberikan pada pagi hari (sepertiga sebagai Reguler
dan dua pertiga sebagai NPH atau Lente) dan sepertiga dari dosis harian diberikan
sebelum makan malam (separuh sebagai Regular dan separuh sebagai NPH atau
Lente). Sebagian besar anak akan membutuhkan 0,7 hingga 1,0 unit/kg/hari; lebih
rendah pada anak-anak yang lebih muda atau pada anak-anak dengan awitan baru-
baru saja, dan seringkali lebih tinggi pada remaja. Hipoglikemia pada pagi
menjelang siang dan sore menjelang malam hari adalah komplikasi yang sering
dari rejimen ini, karena puncak-puncak NPH atau Lente sangat bervariasi.
Kudapan tambahan di pagi hari dan pada malam hari dapat menghilangkan
hipoglikemia namun dapat beresiko menambah berat badan.
Keinginan akan terapi insulin intensif, pembenarannya telah diberikan
oleh hasil-hasil dari DCCT, telah didukung oleh dikembangkannya analog-analog
insulin aksi cepat. Analog-analog aksi cepat lebih mendekati peningkatan
glikemik setelah makan dan berhubungan dengan hipoglikemi setelah makan yang
lebih jarang. Satu lagi manfaat tambahan dari analog-analog aksi cepat adalah
bahwa makanan dapat dimakan segera setelah injeksi. Sebagian besar anak kini
diterapi dengan dosis campuran dari insulin aksi cepat dan aksi menengah pada

25
saat makan pagi dan satu injeksi tambahan berisi insulin aksi menengah atau aksi
panjang pada waktu tidur. Namun, banyak kombinasi lain yang dapat diberikan,
termasuk satu atau dua injeksi insulin aksi sangat panjang (Ultralente, Eli Lilly
and Company, Indianapolis, IN; atau Glargine, Aventis Pharmaceuticals,
Bridgewater, NJ) harian ditambah analog aksi cepat pada setiap kali makan atau
kudapan. Jelas, rejimen yang paling tepat bergantung pada jadwal dan keinginan
anak dan keluarganya.
CSII, atau terapi pompa insulin, telah makin bertambah popularitasnya.
Meskipun pompa insulin yang dapat diprogram telah tersedia selama lebih dari 20
tahun, kemajuan-kemajuan teknologi telah membuat penggunaan praktisnya
menjadi makin mudah. Terapi pompa lebih mendekati status fisiologik yang
sebenarnya, karena insulin aksi cepat terus menerus diinfuskan pada kadar basal
yang sangat rendah, dengan penambahan bolus untuk kebutuhan-kebutuhan waktu
makan. Tingkat basal maupun jumlah bolusnya dapat diprogram. Kecepatan basal
multipel dapat diprogram, sehingga peningkatan normal kadar glukosa pada awal
pagi hari dapat disesuaikan dengan peningkatan dosis insulin secara bertahap.
Berbagai penelitian pada orang dewasa maupun remaja telah menunjukkan bahwa
CSII berhubungan dengan perbaikan kontrol glikemik, penambahan berat badan
yang lebih sedikit, dan hipoglikemi yang lebih jarang, dan model-model pompa
yang lebih baru membantu perhitungan dosis untuk waktu makan atau koreksi
hipoglikemi.

Pengawasan mandiri dan pemecahan masalah


Semestinya sudah jelas terlihat dari pembahasan tentang terapi insulin
intensif bahwa keamanan dan keberhasilan rejimen insulin apapun bergantung
pada pengawasan kadar glukosa darah secara rutin. Kontrol diabetes intensif akan
mustahil tanpa diciptakannya alat pengukur glukosa di rumah yang murah, akurat,
dan mudah digunakan. Ada banyak merek alat pengukur glukosa yang tersedia di
pasaran, sebagian besar memiliki reliabilitas dan akurasi yang setara dalam sekitar
10% dari laboratorium. Model-model yang lebih tua menggunakan strip reagen
yang sudah direndam dalam glukosa-oksidase yang, ketika ditetesi darah akan

26
mengalami perubahan warna yang dapat diperiksa secara spektrofotometri
menggunakan pengukur dan dikonversi ke nilai numerik berdasarkan standar-
standar kalibrasi yang diketahui. Sebaliknya, model-model yang lebih baru justru
bergantung pada suatu sistem peroksidase yang menciptakan arus listrik lemah,
yang kemudian diubah menjadi nilai numerik berdasarkan standar kalibrasi. Alat-
alat pengukur yang lebih baru ternyata lebih cepat (hasil dalam 5 detik versus 45
detik dari model lama) dan membutuhkan lebih sedikit darah (0,1 versus 1,0 L).
Kebutuhan volume darah yang lebih kecil ini telah memungkinkan lokasi
penusukkan yang berselang-seling (lengan atas, paha, lutut), yang dapat
meminimalkan rasa tak nyaman dan meningkatkan kepatuhan terhadap rejimen-
rejimen pengawasan mandiri.
Anak-anak dengan diabetes harus diperiksa glukosa darahnya secara rutin
4 kali sehari (sebelum waktu-waktu makan dan sebelum tidur) dan mencatat
hasilnya dalam sebuah daftar untuk pemeriksaan lebih lanjut oleh keluarga dan
tim perawatan diabetes. Kisaran target ditetapkan, biasanya 80 hingga 120 mg/dL
pada saat sarapan pagi dan 80 hingga 150 mg/dL pada waktu-waktu lainnya
namun mungkin dapat berubah berdasarkan usia anak dan kemampuan keluarga.
Idealnya, 80% dari nilai glukosa darah harus turun dalam kisaran target. Informasi
yang didapatkan dari pemeriksaan rutin digunakan untuk mentitrasi dosis insulin
menurut kebutuhan. Sebagai contoh, pola hiperglikemi rutin sebelum sarapan
harus merangsang keluarga untuk meningkatkan dosis insulin aksi panjang
sebelum tidur malam secara bertahap selama beberapa hari hingga sebagian besar
hasil pemeriksaan sebelum sarapan turun dalam kisaran target, sedangkan
hipoglikemi yang sering pada saat bersekolah dapat mengarahkan untuk
menurunkan dosis insulin aksi cepat atau menengah pada pagi hari. Selain itu,
dosis insulin tambahan dapat diberikan bila nilai glukosa darah di luar kisaran
target ditemui, menurut formula yang telah ditentukan sebelumnya. Sebagai
contoh, anak usia muda dengan glukosa darah sebelum makan malam 240 mg/dL
dapat diberikan 1 unit tambahan analog insulin aksi cepat untuk menurunkan
glukosa darah sebanyak 100 mg/dL selain dosis insulin tambahan pada waktu
makan. Pemeriksaan glukosa darah tambahan harus dilakukan sebelum olahraga,

27
saat menderita penyakit yang muncul bersamaan, atau setelah dosis koreksi
diberikan.
Selain mengawasi konsentrasi glukosa darah, pemeriksaan urin untuk
mencari benda keton harus dilakukan pada hiperglikemi kronik atau bila pasien
menderita penyakit lain secara bersamaan. Keluarga diinstruksikan bahwa
keberadaan keton urin mengindikasikan defisiensi insulin, dan dosis tambahan
insulin aksi lambat atau cepat harus diberikan secara rutin, bersama dengan cairan,
hingga keton-keton tadi telah dibersihkan. Dengan cara ini, perkembangan ke
arah ketoasidosis yang lebih berat dapat dicegah pada sebagian besar kasus.

Pengelolaan nutrisi
Pengelolaan nutrisi yang tepat sangat penting bagi kesehatan jangka
pendek dan jangka panjang dari anak-anak yang menderita diabetes. Secara
umum, istilah-istilah seperti diit harus dihindari dan diganti dengan
perencanaan makan, baik karena konotasi negatif yang terkait dengan istilah diit
tadi dan untuk fakta sederhana bahwa kebutuhan nutrisi untuk pertumbuhan dan
perkembangan yang normal sebenarnya sama pada anak-anak diabetik dan non-
diabetik. Namun, kepatuhan terhadap pengaturan makan dan pemeriksaan asupan
karbohidrat yang akurat sangat penting untuk kontrol glikemik yang optimal.
Asosiasi Diabetes Amerika telah menerapkan rekomendasi-rekomendasi
resmi tentang prinsip-prinsip nutrisi umum pada diabetes, memasukkan tujuan-
tujuan jangka pendek dari stabilisasi glukosa darah dan tujuan-tujuan jangka
panjang untuk pencegahan/penghilangan komplikasi-komplikasi makrovaskuler
dan mikrovaskuler dari diabetes. Model terapi nutrisi yang saat ini banyak dianut
adalah penghitungan karbohidrat, berdasarkan model konseptual dari
mencocokkan dosis karbohidrat terhadap dosis insulin. Karena kandungan
karbohidrat dari makanan memiliki dampak paling besar pada glukosa darah,
jumlah karbohidrat yang ditelan setiap kali makan atau kudapan harus dinilai
dengan akurat. Asupan protein dan lemak, meskipun penting dalam konteks
perencanaan makan yang sehat yang lebih luas, tidak dihitung untuk

28
menyederhanakan prosedurnya. Perubahan-perubahan terkini pada persyaratan
pelabelan makanan makin mempermudah proses ini, karena sebagian besar
makanan diberi label yang jelas tentang jumlah gram karbohidrat per penyajian
dan ukuran penyajiannya. Makanan yang lebih susah dikuantifikasi dapat
ditimbang atau dikira-kira.
Dua pendekatan yang populer untuk mengatur asupan karbohidrat adalah
(1) sajian karbohidrat yang konsisten per makan/kudapan dan (2) rasio insulin
terhadap karbohidrat. Pada pendekatan yang pertama, jumlah karbohidrat yang
standar dimakan setiap kali makan atau kudapan (misalnya 45 gram untuk
sarapan, makan siang dan makan malam, dan 30 gram untuk kudapan pada petang
hari dan waktu tidur). Dengan cara ini, dosis insulin dapat dijaga tetap konstan.
Pada pendekatan kedua, yang lebih fleksibel, tidak ada jumlah asupan yang
ditetapkan. Melainkan, anak atau orang tua memutuskan kandungan makanannya
sendiri, karbohidratnya dihitung, dan dosis insulin langsung dihitung sesudahnya
pada saat itu juga, berdasarkan rasio dari jumlah unit insulin per gram karbohidrat.
Pada anak-anak yang lebih uda, rasio insulin terhadap karbohidrat umumnya
adalah 1 unit: 15 gram, sedangkan anak yang lebih tua mungkin membutuhkan
1:10 dan anak remaja yang resisten terhadap insulin mungkin membutuhkan 1:5-
7. Rasio insulin terhadap karbohidrat yang sejati bervariasi dari anak ke anak dan
bahkan dapat bervariasi pada anak yang sama dari waktu makan ke waktu makan
atau selama periode-periode olahraga.
Sasaran jangka panjang dari pengelolaan nutrisi diabetes meliputi
pemeliharaan keseimbangan asupan zat gizi kira-kira 50% karbohidrat, 20%
protein, dan 30% lemak (di man atak lebih dari 10%-nya sebaiknya lemak jenuh).
Yang terpenting, pertumbuhan dan penambahan berat badan harus dimonitor, dan
follow-up teratur dengan ahli diit yang terlatih dalam pengelolaan diabetes harus
dianjurkan untuk menyesuaikan rencana makan sesuai masing-masing anak
berdasarkan kebutuhannya dan kesukaan makanannya.

Olahraga dan Kebugaran Fisik

29
Pemberlakuan dan pemeliharaan gaya hidup aktif harus menjadi sasaran
bagi semua anak, namun hal ini secara khusus penting bagi anak-anak yang
menderita diabetes. Olahraga dan meningkatnya kebugaran fisik berhubungan
dengan perbaikan sensitivitas insulin dan pemakaian glukosa, di mana korelasi
klinisnya adalah kebutuhan insulin yang lebih rendah secara umum dan,
seringkali, peningkatan glukosa darah yang lebih rendah setelah makan.
Peningkatan kebugaran fisik juga seringkali berhubungan dengan rasa percaya diri
yang lebih tinggi serta motivasi yang lebih besar untuk berpartisipasi dalam
pengelolaan diabetes.
Efek olahraga harus benar-benar dipertimbangkan dalam konteks
keseluruhan rencana pengelolaan diabetes, karena olahraga episodik dapat
membuat anak rentan terhadap hipoglikemi akut bila insulin tidak dikurangi atau
karbohidrat tambahan ditambahkan secara proaktif. Lebih lanjut, aktivitas fisik
yang padat pada kondisi defisiensi insulin (kontrol diabetes yang buruk dalam
jangka panjang atau baru-baru saja menghentikan insulin) dapat memicu
dekompensasi metabolik dan DKA. Anak-anak yang berpartisipasi dalam olahraga
di sekolah atau program-program lainnya harus diberi penyuluhan untuk
memonitor glukosa darah sebelum, selama dan sesudah berolahraga, karena efek
hipoglikemik dari olahraga dapat timbul lambat dan/atau berkepanjangan hingga
12-18 jam. Kami seringkali menganjurkan penurunan NPH makan
malam/sebelum tidur dan, bagi para pengguna pompa, penurunan kecepatan basal
untuk memperhitungkan efek-efek olahraga ini.

Aspek-aspek Psikologik
Ada sedikit kelainan pada masa kanak-kanak yang mempengaruhi begitu
banyak aspek kehidupan seperti yang terjadi pada diabetes. Seorang anak yang
sebelumnya sehat harus bergantung pada beberapa injeksi insulin per hari maupun
menusuk kulit ujung jari, mengambil darah, dan memeriksa kadar glukosa
sebanyak 6 hingga 8 kali sehari. Fleksibilitas dan spontanitas waktu makan dan
kandungan makanan seringkali harus dikorbankan. Aktivitas rekreasional dan
bersekolah diganggu oleh perlunya melakukan pemeriksaan atau menyuntik.

30
Masalah praktis berupa membawa botol insulin, spuit, lancet, dan catatan glukosa
ke sekolah, saat berkencan, dan saat berlibur adalah pengingat konstan dari
penyakit ini dan bahwa anak dengan diabetes berbeda pada hampir setiap aspek.
Sewaktu-waktu, reaksi-reaksi hipoglikemik yang berbahaya atau memalukan
dapat terjadi, dan ada pengetahuan yang menghantui setiap saat tentang
komplikasi-komplikasi kronik dan morbiditas yang dapat terjadi sekalipun sudah
dicapai kontrol metabolik yang baik.
Karenanya sangat penting bahwa fungsi psikososial dari anak dan
keluarganya dievaluasi pada saat diagnosis dan secara periodik sesudahnya oleh
tim perawatan kesehatan, idealnya oleh seorang spesialis kesehatan jiwa. Anak
diabetik dapat mengalami depresi, rasa marah, atau penolakan keparahan
penyakit. Orang tua mungkin merasa sedih atau bersalah, khususnya bila salah
satu dari orang tua tersebut juga menderita diabetes. Saudara sekandung yang lain
dapat merasa takut akan terkena diabetes atau cemburuh terhadap perhatian
tambahan yang harus diberikan pada anak yang terkena. Stress tambahan dari
diagnosis dapat membuat sistem keluarga yang telah melemah mencapai titik
perceraian, kekerasan, atau penelantaran. Tanda-tanda bahaya yang membutuhkan
evaluasi psikososial lebih lanjut dan intervensi meliputi penurunan prestasi
sekolah, isolasi dari keluarga dan aktivitas, gangguan-gangguan perilaku yang
baru, dan episode DKA berulang. Depresi yang nyata dan anoreksia nervosa
membutuhkan rujukan ke layanan kesehatan jiwa yang sesuai.

Follow-up medis
Pentingnya follow-up yang rutin oleh tim pengelolaan diabetes tak dapat
diremehkan. Pada setiap kunjungan, buku catatan glukosa darah harus ditinjau dan
perubahan dosis atau jadwal yang diperlukan harus dilakukan bilamana perlu.
Anamnesis interim yang terperinci harus meliputi pertanyaan-pertanyaan tentang
keadaan umum, energi, kelelahan, poliuri atau nokturi, penyakit-penyakit yang
menyertai, episode-episode hipoglikemik, dan adanya gejala-gejala abdomen
seperti nyeri, kembung, atau diare. Sangat penting untuk mengingat komorbiditas
dari penyakit-penyakit autoimun lainnya yang terjadi lebih banyak pada anak-

31
anak dengan T1DM: tiroiditis, insufisiensi adrenal, dan penyakit celiac. Anak
harus ditimbang dan diukur pada setiap kunjungan, dan denyut nadi serta tekanan
darah juga dicatat. Pemeriksaan fisik pada anak harus terfokus tak hanya pada
sistem organ umum namun juga pada pemeriksaan kulit dan lokasi pemasangan
pompa/injeksi insulin (untuk tanda-tanda lipohipertrofi atau perubahan-perubahan
pigmentasi), palpasi tiroid, dan penentuan tahap perkembangan seksual. Pada
anak-anak yang lebih tua atau pada anak-anak dengan durasi diabetes yang lebih
lama, pemeriksaan harus mencakup kaki juga. Deselerasi pertumbuhan,
keterlambatan perkembangan seksual, atau temuan goiter dapat menandai
hipotiroidisme, yang terjadi pada sekitar 5% dari anak-anak dengan T1DM.
Dokter yang pandai juga harus memikirkan bahwa hipoglikemi yang sering dan
tak diketahui sebabnya atau penurunan kebutuhan insulin tanpa adanya olahraga
atau aktivitas mungkin merupakan indikator awal hipotiroidisme atau insufisiensi
adrenal. Sama halnya, meskipun riwayat diare berlemak yang berbau busuk dan
frekuen adalah indikator penyakit celiac yang lebih nyata, yang terjadi pada
sekitar 2% dari seluruh anak dengan T1DM, adanya nyeri abdomen, penambahan
berat badan yang buruk, dan hipoglikemi yang tak terjelaskan dapat menjadi tanda
pertama dan satu-satunya.
Pengukuran HbA1c harus dilakukan pada setiap kunjungan klinik. HbA1c
adalah indikator tak langsung dari kontrol glikemik secara keseluruhan
berdasarkan fenomena bahwa glukosa terikat secara nonenzimatik dan irreversibel
pada protein-protein serum dengan angka yang sebanding dengan rerata
konsentrasi glukosa serum. Maka, tingkat glikosilasi protein tertentu bergantung
pada pajanannya pada glukosa dan tingkat pemecahannya sendiri. Sebagai contoh,
karena lama hidup sel darah merah manusia adalah sekitar 90 hingga 120 hari,
pengukuran hemoglobin terglikosilasi memberikan parameter rerata konsentrasi
glukosa selama 3 bulan sebelumnya. Parameter hemoglobin terglikosilasi yang
paling umum adalah HbA1c, dan konversi HbA1c menjadi rerata kadar glukosa
darah dapat diperkirakan melalui rumus:
Rerata glukosa (mg/dL) = [HbA1c (%) x 30] 60

32
Namun, pada anak-anak dengan penurunan lama hidup sel darah merah,
seperti yang terjadi pada penyakit sel sickle atau sferositosis, HbA1c mungkin
dapat tampak rendah, karena waktu yang tersedia untuk glikosilasi menjadi lebih
singkat. Pada anak-anak ini, pengukuran HbA1c tidak berguna, dan pengukuran
protein-protein terglikosilasi lainnya, seperti albumin, harus dipertimbangkan
untuk analisis jangka panjang.
Ketersediaan peralatan laboratorium portabel yang kecil yang mengukur
HbA1c dengan sedikit sampel darah kapiler pada kondisi klinik dan mampu
memberikan hasilnya dalam beberapa menit telah sangat menguntungkan para
dokter spesialis diabetes. Dengan cara ini, HbA1c dapat dilihat dengan keluarga
pada saat kunjungan ke klinik dan dibandingkan dengan catatan-catatan
sebelumnya. Ketidaksesuaian antara catatan dan HbA1c mungkin menunjukkan
teknik pemeriksaan yang salah atau, yang lebih serius, pemalsuan data. Pada
kasus pemalsuan, anamnesis yang lebih mendalam ke arah dinamika keluarga dan
fungsi psikososial anak harus dilakukan.
Pengawasan anak diabetik untuk mendeteksi komplikasi adalah satu fungsi
yang penting dari kunjungan klinik, karena banyak komplikasi dini yang tidak
berespon terhadap intervensi yang tepat. Ekskresi albumin urin dapat diukur
menggunakan sampel sewaktu melalui perbandingan dengan kreatinin urin; rasio
albumin/kreatinin harus kurang dari 30 mg albumin/1g kreatinin. Peningkatan
sampel sewaktu harus dikonfirmasi melalui pemeriksaan urin pagi pertama kali
atau urin tampung semalam untuk menghilangkan variabel perancu dari proteinuri
ortostatik benigna. Jika urin pagi yang pertama atau urin tampung semalam
menunjukkan mikroalbuminuri (> 30 mg albumin/1 g kreatininm atau > 30 mg
ekskresi albumin/24 jam), terapi dengan ACE-inhibitor atau rujukan ke spesialis
ginjal anak mungkin diperlukan. Semua anak diabetik dengan hipertensi, tanpa
memandang status ekskresi albuminnya, harus dirujuk ke spesialis ginjal anak
untuk pertimbangan terapi dengan ACE-inhibitor.
Pemeriksaan-pemeriksaan penapisan lainnya untuk komplikasi-komplikasi
diabetes meliputi pengukuran konsentrasi lipid serum dan rujukan untuk
pemeriksaan retina terperinci, keduanya harus dilakukan setiap tahun pada semua

33
anak pubertas dengan diabetes atau bahkan pada anak-anak prapubertas dengan
durasi diabetes sekurang-kurangnya 5 tahun. Panduan-panduan terkini
menganjurkan mempertahankan konsentrasi lipoprotein densitas rendah (LDL) di
bawah 100 mg/dL dan kadar trigliserida serum di bawah 150 mg/dL pada semua
orang dewasa dengan diabetes, namun belum ada rekomendasi-rekomendasi yang
spesifik untuk anak-anak yang telah dipublikaskan. Terapi untuk
hiperkolesterolemi dan hiperlipidemi harus melibatkan intensifikasi kontrol
diabetes dan intervensi diit. Hanya ada sedikit data tentang efikasi dan keamanan
obat-obat penurun lipid yang spesifik pada populasi pediatrik.

KESIMPULAN
Terapi T1DM telah berkembang pesat sejak Leonard Thompson diberikan
injeksi insulin pertama kali pada tahun 1921. Selama lebih dari 80 tahun, T1DM
telah berubah dari kelainan yang umumnya fatal menjadi kondisi kronik yang
dapat diterapi, meskipun tetap merupakan penyakit yang membutuhkan upaya
keras dan biaya yang tinggi untuk diterapi dengan efektif. Sering dikatakan bahwa
insulin bukanlah obat penyembuh untuk diabetes; resiko komplikasi jangka
panjang masih tetap menghantui dalam pikiran pasien-pasien diabetik dan orang-
orang tercintanya.
Usaha-usaha untuk mencegah atau membalikkan T1DM sejak dulu masih
mengecewakan. Uji-uji klinis dengan glukokortikoid, siklosporin, nikotinamid,
insulin, dan obat-obat imunomodulator lainnya belum terbukti menurunkan resiko
diabetes secara bermakna pada subyek-subyek resiko tinggi. Transplantasi
pankreas dipersulit oleh tindakan-tindakan operasi, dan kecilnya jumlah spesimen
donor yang viabel dan diperlukannya terapi imunosupresif jangka panjang telah
membatasi penggunaannya secara umum.
Perkembangan-perkembangan terbaru telah membawa harapan-harapan
baru pada bidang pencegahan diabetes dan penggantian pulau-pulau Langerhans.
Penelitian-penelitian pendahuluan yang melibatkan obat-obat immunomodulator
yang lebih baru telah menunjukkan perbaikan ketahanan hidup sel-sel pulau-pulau
yang ditransplantasikan dan pemulihan diabetes klinis pada hewan coba. Protokol

34
Edmonton yang telah banyak dipublikasikan menunjukkan bahwa transplantasi
non bedah dari sel-sel pulau-pulau donor ke hepar yang diikuti oleh rejimen
imunosupresif glukokortikoid memungkinkan tujuh orang dengan T1DM untuk
tetap bebas insulin dan berada pada kontrol metabolik yang baik selama lebih dari
1 tahun. Penelitian-penelitian ini kini sedang direplikasi di berbagai pusat
kesehatan di Amerika Serikat.
Perkembangan secara bersamaan pada terapi diabetes adalah penggunaan
sistem-sistem penghantaran insulin terbaru dan teknologi-teknologi pemeriksaan
glukosa. Uji-uji klinis telah menunjukkan bahwa insulin inhalasi adalah alternatif
yang berpotensi viabel terhadap injeksi insulin aksi cepat, dan sistem
penghantaran insulin intraportal dapat memberikan harapan-harapan baru di atas
pompa insulin subkutan kontinyu yang digunakan saat ini. Pengawasan glukosa
darah yang invasif minimal, menggunakan sensor subkutan atau transkutan, pada
saat ini berfungsi sebagai penunjang terhadap pemeriksaan glukosa darah rutin
dengan menusuk ujung jari dan sistem-sistem prototip di mana sensor-sensor ini
berkomunikasi dengan pompa insulin dalam sistem loop tertutup sedang dalam
penelitian. Apakah revolusi berikutnya pada pengelolaan diabetes akan berupa
sistem sel tiruan atau penggantian sel pulau-pulau Langerhans yang
sebenarnya, tujuan dari semua spesialis diabetes pada saat ini haruslah untuk
mengoptimalkan kontrol metabolik pada pasien-pasiennya untuk mempertahankan
kesehatannya dan harapan mereka hingga terapi-terapi terbaru tadi menjadi terapi
rutin.

35

You might also like