You are on page 1of 6

UL FIKR

https://www.hidayatullah.com/artikel/ghazwul-fikr/read/2013/02/08/65708/antara-
harun-nasution-attaturk-dan-sekularisme.html

Antara Harun Nasution, Attaturk dan


Sekularisme
Jum'at, 8 Februari 2013 - 08:37 WIB
Ide-ide pembaruan hari ini asalnya adalah Barat, karena isinya adalah: sekularisme. Dan sekularisme
tidak lahir dari Islam, jelas tidak akan pernah diakui apalagi ditiru dan digugu
Mustafa Kemal Attaturk

Terkait

Erdogan Menangkan Referundum, Turki Tinggalkan Sistem Parlemen


Turki Bekukan Hubungan dengan Belanda
Erdogan dan Politik Persenjataan [2]
Erdogan dan Politik Persenjataan [1]
Oleh: Qosim Nursheha Dzulhadi
EKSPOINEN neo-Mutazilah, Harun Nasution (1919-1998) menyatakan bahwa
Mustafa Kemal Attaturk merupakan orang penting dalam pembaruan dalam
tubuh Turki Utsmani. Dalam bahasa Harun, Dalam suasana inilah muncul
Mustafa Kemal, seorang pemimpin Turki baru, yang menyelematkan Kerajaan
Usmani dari kehancuran total dan bangsa Turki dari penjajahan Eropa. Ialah
pencipta Turki modern dan atas jasanya, ia mendapat gelar Attaturk (Bapak
Turki). (Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah dan
Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), hlm. 142).
Jadi, menurut Harun, Attaturk adalah pemimpin Turki baru, yang
menyelamatkan Kerajaan Usmani sehingga Turki berubah menjadi modern.
Dengan prestasi pembaruan itu lah Mustafa Kemal menjadi Bapa Turki
Modern (Attaturk). Padahal, dalam pembaruannya seperti juga diakui oleh
Harun Attaturk dipengaruhi oleh ide golongan nasionalis dan ide golongan
Barat. Harun juga menambahkan dengan jujur, Setelah perjuangan
kemerdekaan selesai, demikian Mustafa Kemal, perjuangan baru dimulai,
yaitu: perjuangan untuk memperoleh dan mewujudkan peradaban Barat di
Turki. Peradaban Barat akan diambil bukan hanya sebahagian-sebahagian,
tetapi dalam keseluruhannya. (Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam,
hlm. 147).
Ini mirip dengan pemikir sekular asal Mesir, Thaha Husein, yang menyatakan,
Kita harus mengadopsi peradaban Barat manis dan getirnya. (h
usayn, Mustaqbal al-Tsaqfah f Mir)
Sejatinya pembaruan yang diajukan oleh Attaturk, sebagaimana dicatat juga
oleh Harun ketika mengutip pandangan Ahmed Agouglu dalam The
Development of Secularism, adalah sekularisasi.
Dalam satu pidatonya, Attaturk menyampaikan bahwa di zaman yang
dalamnya ilmu-pengetahuan membawa perubahan terus-menerus bangsa
yang berpegang teguh pada pemikiran dan tradisi tua lagi usang, tidak akan
dapat mempertahankan wujudnya.
Masyarakat Turki harus dirobah menjadi masyarakat yang mempunyai
peradaban Barat, dan segala kegiatan reaksioner harus dihancurkan. (Harun
Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hlm. 148). Menyimpulkan ide
pembaruan Attatur, Harun mencatat, Westernisme, sekularisasi, dan
nasionalisme itulah yang menjadi dasar pemikiran pembaharuan Mustafa
Kemal. (Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hlm. 149).
Statemen Attaturk yang gandrung kepada Barat dan peradabannya dapat
dilihat dalam pernyataanya berikut:
There are a variety of countries, but there is only one civilization. In order for a
nation to advance, it is necessary that it join this civilization. If our bodies are in
the East, our mentality is oriented toward the West. We want to modernize our
country. All our efforts are directed toward the building of a modern, therefore
Western, state in Turkey. What nation is there that desires to become a part of
civilization, but does not tend toward the West? (Lihat, Alev inar,
Modernity, Islam, and Secularism in Turkey: Bodies, Places, and
Time (Minneapolis-London: University of Minnesota Press, 2005), hlm. 5).
Namun ternyata, ide pembaruan ala Barat yang dipaksakan oleh Attaturk
itulah sejatinya awal-mula bencana yang menimpa Turki Usmani. Sampai
akhirnya Attaturk punya andil dalam menghapuskan Kekhalifan Turki Utsmani
tahun 1924. Dalam Ghirah dan Tantangan terhadap Umat Islam, Hamka
menulis bahwa lafadz azan pun diubah oleh Attatur, dari Allahu Akbar menjadi
Allah Buyuk. Karena, Harun juga mencatat, Mustafa Kemal melihat bahwa
jabatan khalifah juga harus dihapuskan dan soal ini dibicarakan oleh Majlis
Nasional Agung di bulan Februari 1924. Perdebatan berjalan sengit, tetapi
akhirnya pada tanggal 3 Maret 1924, suara di Majlis memutuskan
penghapusan jabatan Khalifah. Khalifah Abdul Majid diperintahkan
meninggalkan Turki, dan ia bersama keluarganya pergi ke Swiss. (Harun
Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hlm. 151).
Dan jangan lupa, Majlis Nasional ini adalah bentukan Mustafa Kemal bersama
teman-temannya tahun 1920. Melalui gerakannya ini sekutu akhirnya
mengakui bahwa Attatur dan kawan-kawan dianggap sebagai penguasa de
facto dan de jure di Turki. Dan pada tanggal 23 Juli 1923 ditanda-tangani
Perjanjian Lausanue, dan pemerintahan Mustafa Kemal mendapat pengakuan
internasional. (Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hlm. 147).
Dalam posisi ini sejatinya Harun Nasution keliru besar jika menganggap
westernisasi dan sekularisasi rakyat Turki yang dilakukan oleh Attaturk
sebagai pembaruan. Jelas ini adalah pembaratan (westernisasi). Karena
Harun sendiri mencatat, Betul syariat telah dihapus pemakaiannya dan
pendidikan agama dikeluarkan dari kurikulum sekolah. (Harun Nasution,
Pembaharuan dalam Islam, hlm. 152).
Begitu pun, menurut Harun, Turki belum sekular kffah. Anehnya, Harun
malah mencatat demikian, Mustafa Kemal sebagai rasionalis dan pengagum
Barat tidak menentang Islam. Baginya Islam adalah agama yang rasional dan
perlu bagi umat manusia. Tetapi agama yang rasional ini telah dirusak oleh
tangan manusia. Oleh sebab itu itu ia melihat perlunya diadakan
pembaharuan dalam soal agama untuk disesuaikan dengan bumi Turki.
(Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hlm. 153).
Bentuknya pembaruan yang diusulkan oleh Attatur adalah: Al-Quran
diterjemahkan ke dalam bahasa Turki, khutbah Jumat dilakukan dalam
bahasa Turki, bahkan tahun 1931 azan dalam bahasa Turki resmi
diberlakukan. (Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, hlm. 153).
Benar-benar tragis. Begitu pun ia harus tetap dianggap sebagai pembaruan.
Bagaimana mungkin Harun menyimpulkan Attatur tidak menentang Islam.
Justru Attaturk adalah antek-Barat yang takut terhadap syariat Islam, makanya
dihapuskan dari bumi Turki.
Buktinya, gelombang sekularisme dan sekularisasi yang ditentang oleh
golongan Islam dipatahkan oleh Attaturk. (Harun Nasution, Pembaharuan
dalam Islam, hlm. 153). Ini bukti jelas bahwa Attaturk membenci Islam dan
syariatnya. Tapi lucunya, dengan lugunya Harun Nasution tetap membela
Attaturk sembari menulis dengan entengnya, Sekularisme Mustafa Kemal
tidak menghilangkan agama Islam dari masyarakat Turki, dan Mustafa Kemal
memang tidak bermaksud demikian. Yang ia maksud adalah menghilangkan
kekuasaan agama dari bidang politik dan pemerintahan. (Harun Nasution,
Pembaharuan dalam Islam, hlm. 154).
Di sini tampak jelas bahwa bukan hanya Attaturk yang setuju dengan
sekularisme dan sekularisasi tetapi juga Harun Nasution. Ide ini memang
yang dikagumi dan dihayati oleh kaum liberal-sekular, fal al-dn an al-
dawlah (memisahkan agama dari negara). Satu ide Barat-Kristen yang
sekular: yang memisahkan hak raja dan kaisar. Padahal, seperti kata
Mohamad Natsir, Islam itu adalah ideologi.
Dengan tegas Natsir menyatakan, Menegakkan Islam tidak dapat dengan
membiarkan pembinaan masyarakat dan bernegara dengan cara paham lain.
Oleh sebab itu, dalam masa Revolusi, umat Islam di Indonesia bukan saja
dijiwai oleh aspirasi nasional melainkan juga aspirasi Islam. Pandangan
Natsir itu dapat disimak dalam tulisannya Islam sebagai Ideologie (Jakarta:
Penyiaran Ilmu, 1951), hlm. 62).
Di mana menurutnya Islam sebagai risalah yang diajarkan oleh Nabi
Muhammad saw. telah memberikan pedoman untuk menyelenggarakan
pemerintahan agar negara kuat dan masyarakatnya sejahtera. Namun, Natsir
menolak sistem kependetaan, sebagaimana pernah diterapkan oleh negara-
negara Barat di Abad Pertengahan (di zaman Montesquieu).
Dalam Sumbangan Islam bagi Perkembangan Dunia Natsir menyebutkan:
Orang Islam tidak memerlukan kependetaan. Dalam Islam ada ahli-ahli
agama yang disebut ulama. Mereka itu adalah guru dari pelbagai cabang ilmu
agamaFukaha dan guru-guru hukum IslamTetapi mereka bukanlah
pendetaMereka tidak lebih hanyalah Imam, pemimpin shalatImam itu
hanya suatu jabatan berdasar keperluan-keperluan praktis untuk
penyelenggaraan shalat, tidak suatu jabatan resmi. (Lihat, H. Masoed
Abidin, Gagasan dan Gerak Dakwah Natsir (Yogyakarta: Gre Publishing,
2012), hlm. 98-99).
Maka wajar jika Attaturk begitu benci kepada Islam berikut syariatnya. Karena
ide pembaruannya adalah westernisasi dan sekularisasi. Ini jelas ide Barat.
Dan Barat dipastikan anti-Islam. Salah satunya dianut dimana-mana oleh
negara jajahan Barat, yakni nasionalisme. Namun harus disyukuri bahwa
spirit Islam kembali kepada tubuh Turki yang mati-suri itu. Bediuzzaman Said
Nursi disinyalir memiliki pengaruh yang tidak kecil terhadap keberagamaan
negara Turki yang menggeliat cepat hari ini. Ia bahkan diposisikan vis--
vis sekularisme Kemalism. (Lihat, Umuat Azak, Islam and Secularism in
Turkey: Kemalism, Religion and the Nation State (London-New York: I.B.
Tauris, 2010).
Selain Nursi tentunya masih ada pemikir lain yang coba mengembalikan Islam
ke Turki, termasuk dari sisi pemerintahan yang akhir-akhir ini banyak
menyentak dunia Barat. Istilahnya: azan dan jilbab kembali ke Turki. Memang
begitulah. Pembaruan tak akan harmonis dengan sekularisme. Dan
pembaruan tidak serta-merta dimaknai sebagai tajdd. Konon lagi dikaitkan
dengan westerniasi, sekularisasi, dan liberalisasi. Karena konsep tajdd dalam
Islam bukan merusak Islam, apalagi membenci dan memberangusnya. Tajdd
adalah kebutuhan umat, karena di dalamnya ada proses pengembalian umat
kepada Islam, agar meraka kembali menghayati Islam. Dan tajdd tidak
membenci al-Quran, karena pelakunya adalah manusia-manusia yang dekat
dengan wayu. Makanya tajdd diakui Nabi.
Di sini tampak bahwa ide-ide pembaruan hari ini asalnya adalah Barat, karena
isinya adalah: sekularisme. Dan sekularisme tidak lahir dari Islam, jelas tidak
akan pernah diakui apalagi ditiru dan digugu. Seperti kata Olivier
Roy, Secularism Confronts Islam (New York: Columbia University Press,
1893). Wallhu al-hd il sabl al-rasyd!
Penulis adalah guru ngaji di Pondok Pesantren Ar-Raudlatul Hasanah, Medan,
Sumatera Utara dan pengurus Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia
(MIUMI) Sumatera Utara
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar

You might also like