You are on page 1of 13

Trauma Akustik

Paparan suara yang berlebihan apalagi dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan
kerusakan organ korti. Salah satu efek bising pada pendengaran adalah trauma akustik yaitu
Kerusakan organ pendengaran yang bersifat segera setelah terjadi paparan energy yang
berlebihan, seperti bising suara mesin, suara jet, konser rock, gergaji mesin dan letusan senjata
(Setyobudi D. Ketajaman pendengaran peserta latihan tembak pada anggota Polri dengan
berbagai perbedaan lama pajanan. Kumpulan naskah ilmiah PIT Palembang. 2001)
Patofisiologi
Terdapat 2 jenis kelainan yang berhubung dengan pemaparan bising yaitu trauma akustik dan
gangguan pendengaran akibat bising (noise induced hearingloss/NIHL). Keduanya
mengakibatkan kerusakan pendengaran dengan menyebabkan beberapa kerusakan pada telinga,
terutama telinga dalam. Kerusakan telinga dalam sangat bervariasi dari kerusakan ringan pada
sel rambut sampai kerusakan total organ korti. Segera setelah terjadi pemaparan bising yang
mendadak dan merusak, sel-sel dan jaringan telinga dalam mengalami trauma, degenerasi atau
perbaikan. Paparan bising pada fase akut dengan intensitas paparan 140 dB atau lebih,
menyebabkan trauma akustik segera dan seketika terjadi kurang pendengaran. (Dobie RA. Noise
Induced Hearing Loss. Bailey BJ, Johnson JT et al editors. Otolaryngology Head and Neck
Surgery, 4th Ed Vol 1. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2006. 2190-201.)
Pajanan tunggal terhadap suatu bunyi dengan intensitas yang sangat tinggi dapat
menyebabkan hilang pendengaran permanen yang tidak didahului oleh TTS {Temporary
Treshold Shifts). Temporary Treshold Shifts ialah kenaikan ambang pendengaran akibat bising
selama beberapa waktu dan bersifat reversibel, misalnya setelah mendengarkan musik dari
headphone selama beberapa jam dengan suara keras. Intensitas bising yang menyebabkan juga
tidak sebesar pada trauma akustik, misalnya sekitar 70 - 80 dB. Diduga akibat proses metabolik,
diantaranya kelelahan auditorik. (Anil K. Lalwani. Current Diagnosis & Treatment:
Otolaryngology - Head and Neck Surgery, 2nd ed. USA: McGraw - Hill Companies. 2007)
Suara yang keras menyebabkan getaran berlebihan pada membranetimpani yang
kemudian dilanjutkan melalui tulang-tulang pendengaran ke perilimfe dan endolimfe,
selanjutnya menggetarkan sentuhan sel-sel rambut luar dan sel-sel rambut dalam pada membrane
tektoria yang berlebihan sehingga dapat menimbulkan atrofi sel-sel rambut tersebut. Telah
dipercaya secara luas bahwa bunyi yang demikian merusak organ Corti secara mekanik, merobek
membran-membran telinga dalam, menghancurkan sel rambut dan mengakibatkan bercampurnya
perilimfe dan endolimfe. Hal ini berlawanan dengan kerusakan bertahap stereosilia dan sel
rambut pada NIHL {Noice Induced Hearing Loss) yang didahului oleh TTS, yang biasanya
berkaitan dengan proses metabolik. Trauma akustik dapat menyebabkan gangguan pendengaran
yang lebih berat dibanding NIHL, khususnya pada frekuensi rendah. Pada tingkat yang ekstrim,
seperti pada trauma ledakan, membran timpani dan cedera osikular sekalipun dapat terjadi,
menyebabkan tuh konduktif atau campuran.( Byron J. Bailey, Jonash T. Jhonson. Head and Neck
Surgery - Otolaryngology, 4* ed. USA: Lippincot William & Wilkins. 2006) (Novi Arifiani.
Pengaruh Kebisingan Terhadap Kesehatan Tenaga Kerja. Cermin Dunia Kedokteran No. 144,
2004. h.24-28)
Manifestasi klinik
Pada anamnesis penderita biasanya tidak kesulitan untuk menentukan saat terjadinya
trauma yang menyebabkan kehilangan pendengaran.16 Ketulian yang terjadi biasanya parsial dan
melibatkan bunyi bernada tinggi. Sifat dari ketuliannya dapat progresif secara perlahan.
Penderita tuli akibat trauma akustik awalnya akan kesulitan mendengarkan suara bernada tinggi
seperti bunyi bel, suara wanita atau anak-anak. Bila paparan bising terjadi berulang kali dapat
terjadi gangguan pendengaran suara bernada rendah seperti kemampuan mendengarkan orang
bicara. (Byron J. Bailey, Jonash T. Jhonson. Head and Neck Surgery - Otolaryngology, 4* ed.
USA: Lippincot William & Wilkins. 2006) (Anil K. Lalwani. Current Diagnosis & Treatment:
Otolaryngology - Head and Neck Surgery, 2 nd ed. USA: McGraw - Hill Companies. 2007)
(Charles W. Cummings, et al. Otolaryngology - Head & Neck Surgery. 3 rd ed. USA: Mosby-Year
Book, Inc. 1998)
Pasien dapat mengeluhkan telinganya berbunyi (tinitus), misalnya berdering. Bila paparan
tunggal, maka lambat laun tinitus akan berkurang. Namun jika paparan berulang dan intensitas
besar makan tinitus dapat menetap. Tinitus akan lebih terasa terutama dalam suasana sunyi atau
saat akan tidur.( Hari Purnama. Cara Atasi Gangguan Pendengaran. Sumber:
http://www.indofamilyhealth.com/. 2008)
Suatu trauma akustik juga dapat diikuti oleh keluhan vertigo, terutama bila terpapar bising
dengan intensitas lebih dari 130 dB.( Webmaster. Pengaruh Kebisingan Terhadap Manusia.
Sumber: http://beta.tnial. mil.id/cakrad.php3 ?id=121. 2003) (M.S. Wiyadi. Pemeliharaan
Pendengaran di Industri. Cermin Dunia Kedokteran No. 47, 1987. h.28-31)
Pada otoskopi biasanya tidak didapati kelainan, kecuali pada kasus ekstrim dimana intensitas
bising sangat besar dapat ditemukan perforasi membran timpani dan biasanya bersifat sentral dan steril. (

Novi Arifiani. Pengaruh Kebisingan Terhadap Kesehatan Tenaga Kerja. Cermin Dunia
Kedokteran No. 144, 2004. h.24-28)
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada kasus trauma akustik ialah pemeriksaan
pendengaran (audiologi). Pemeriksaan audiologi digolongkan menjadi 2 yaitu audiologi dasar
dan audiologi khusus.(Efiaty Arsyad Soepardi, Nurbaiti Iskandar. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke 6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2008)
(Michael Hawke, Brian Brigham et al. Diagnostic Handbook of Otorhinolaryngology. London:
Martin Dunitz ltd. 1997). Hasil dari pemeriksaan audiologi biasanya menunjukkan adanya
ketulian yang bersifat sensorineural. Hal ini sesuai dengan sifat dari sel rambut luar organ Corti
yang sangat sensitif terhadap tuli akibat bising. Namun pada kasus trauma akustik dapat
ditemukan gangguan konduktif atau campuran karena dapat timbul kerusakan di telinga tengah
(perforasi membran timpani, kerusakan rangkaian osikuler).( Novi Arifiani. Pengaruh
Kebisingan Terhadap Kesehatan Tenaga Kerja. Cermin Dunia Kedokteran No. 144, 2004. h.24-
28)
Audiologi dasar yang sering dilakukan ialah tes penala dan audiometri nada murni.
1. Tes Penala
Pemeriksaan ini merupakan tes kualitatif dan memiliki banyak macam. Untuk
mempermudah interpretasi secara klinik, dipakai tes Rinne, tes Weber dan tes
Schwabach secara bersamaan. Pada umumnya digunakan 3 macam penala, namun
jika akan memakai 1 penala saja, digunakan 512 Hz. (Soetirto I, Hendarmin H,
Bashiruddin J. Gangguan Pendengaran (Tuli). In: In: Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD, editors. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung,
Tenggorok, Kepala & Leher, Edisi Ketujuh. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia; 2012)
Tes Rinne
Tes ini digunakan untuk membandingkan hantaran melalui udara dengan
hantaran melalui tulang. Cara melakukannya adalah dengan menggetarkan
penala, lalu meletakkan tangkainya di prosesus mastoid. Setelah suara tidak
terdengar lagi oleh pasien, pegang penala di depan telinga dalam jarak kira-
kira 2,5 cm. Bila suara masih terdengar, maka tes Rinne disebut positif (+)
sedangkan bila tidak terdengar disebut rinne negatif (-).

Tes Weber
Pada tes Weber, penala digetarkan lalu diletakkan pada garis tengah kepala,
misalnya di tengah dahi. Pasien lalu diminta menyebutkan apakah bunyi
terdengar lebih keras di telinga tertentu. Pada orang normal, bunyi sama-sama
terdengar atau bisa juga terdapat lateralisasi. Apabila terdapat lateralisasi,
pelaporannya adalah Weber lateralisasi ke telinga tersebut. Bila bunyi
terdengar sama kerasnya di kedua telinga, pelaporannya adalah Weber tidak
ada lateralisasi.

Tes Schwabach Setelah digetarkan, penala diletakkan di prosesus mastoideus.
Ketika bunyi menghilang, penala dipindahkan ke prosesus mastoideus
pemeriksa. Apabila bunyi masih terdengar, berarti pendengaran pasien telah
mengalami pemendekan. Namun apabila bunyi sudah tidak terdengar lagi,
maka kemungkinannya adalah pendengaran pasien normal atau memanjang.
Untuk memastikannya. Dilakukan tes yang sama tapi dengan perubahan
urutan; penala digetarkan mulamula pada prosesus mastoid pemeriksa, lalu
setelah bunyinya hilang dipindahkan ke prosesus mastoid pasien. Apabila
pasien masih dapat mendengar bunyi, berarti pendengarannya memanjang
(Schwabach memanjang), sedangkan bila ia tidak dapat mendengar lagi maka
pendengarannya normal (Schwabach sama dengan pemeriksa)
Hasil pemeriksaan bagi tes penala dapat terlihat dalam table berikut ini

Tes Rinne Tes Weber Tes Schwabach Diagnosis


Positif Lateralisasi (-) Sama dengan Normal
pemeriksaan
Negatif Lateralisasi ke Memanjang Tuli Konduktif
telinga sakit
Positif Lateralisasi ke Memendek Tuli Sensorineural
telinga sehat

2. Audiometri Nada Murni


Pemeriksaan ini menggunakan audiometer nada murni, suatu alat elektronik yang
menghasilkan bunyi yang relative bebas bising ataupun energi suara pada kelebihan nada.
(George L. Adams, Lawrence R. Boies, Peter H. Higler. BOIES: Buku Ajar Penyakit
THT. Edisi ke 6. Jakarta: EGC. 1997)
Takik pada 4000 Hz yang khas pada kelainan sensorineural diduga muncul akibat
(1) frekuensi resonansi liang telinga, (2) refleks akustik yang melindungi telinga dari
frekuensi yang lebih rendah, dan (3) sel rambut luar paling rentan di basal koklea.
Frekuensi yang lebih tinggi dan lebih rendah akan terkena setelah paparan bising
bertahun-tahun dan penurunan dalam skor pengenalan kata tidak akan mulai hingga
frekuensi kurang dari 3000 Hz terkena.(Anil K. Lalwani. Current Diagnosis &
Treatment: Otolaryngology - Head and Neck Surgery, 2nd ed. USA: McGraw - Hill
Companies. 2007) (Neeraj N. Mathur. Inner Ear, Noice-Induced Hearing Loss.
Sumber: htttp://www. emedicine.com/ent/TOPIC723 HTM. 2007)
Interpretasi audiogram harus mencakup (1) sisi telinga yang sakit, (2) jenis
ketulian dan (3) derajat ketulian. (Efiaty Arsyad Soepardi, Nurbaiti Iskandar. Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke 6. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI. 2008)
Derajat ketulian menurut ISO:1
0 25 dB : normal
26 40 dB : tuli ringan
41 60 dB : tuli sedang
61 90 dB : tuli berat
> 90 dB : tuli sangat berat
Gambar . Audiogram normal
AC dan BC 25 dB
AC dan BC berhimpit / gap (-)

Gambar . Tuli Konduktif


BC 25 dB
AC > 25 dB
Air bone gap (+)

Gambar . Tuli Sensorineural


AC dan BC 25 dB
AC dan BC berhimpit / gap (-)
Gambar . Tuli Campur
BC > 25 dB
AC > BC
Air bone gap (+)

Walaupun dari audiogram nada murni dapat ditarik kesimpulan mengenai kemampuan
mendengar dan memahami pembicaraan namun penilaian itu dapat salah karena pemeriksaan
tersebut bukan pengukur langsung dari kecakapan tersebut. Untuk itu dapat dilakukan
pemeriksaan audiologi khusus yaitu audiometri tutur (speech audiometri). Dalam kaitannya
dengan trauma akustik, pemeriksaan ini turut berguna dalam penilaian untuk penggunaan Alat
Bantu Dengar (ABD).( Efiaty Arsyad Soepardi, Nurbaiti Iskandar. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi ke 6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2008.)

Bising
Bising adalah suara atau bunyi yang mengganggu atau tidak dikehendaki.1,6 Dari definisi
ini menunjukkan bahwa sebenarnya bising itu sangat subyektif, tergantung dari masing-masing
individu, waktu dan tempat terjadinya bising.6 Sedangkan secara audiologi, bising adalah
campuran bunyi nada murni dengan berbagai frekwensi. (Soetirto I. Tuli akibat bising ( Noise
induced hearing loss ). Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku ajar ilmu penyakit THT.
Edisi ke-3. Jakarta : Balai Penerbit FK UI, 1990. h. 37-9)
Cacat pendengaran akibat kerja ( occupational deafness / noise induced hearing loss )
adalah hilangnya sebahagian atau seluruh pendengaran seseorang yang bersifat permanen,
mengenai satu atau kedua telinga yang disebabkan oleh bising terus menerus dilingkungan
tempat kerja. Dalam lingkungan industri, semakin tinggi intensitas kebisingan dan semakin lama
waktu pemaparan kebisingan yang dialami oleh para pekerja, semakin berat gangguan
pendengaran yang ditimbulkan pada para pekerja tersebut.(Mahdi, Sedjawidada R. Prosedur
penetuan persentase ketulian akibat bising industri. Disampaikan pada PIT Perhati, Bukit
Tinggi, 28-30 Oktober,1993)
Etiologi
Faktor-faktor yang mempengaruhi pemaparan kebisingan : ( Soetirto I. Tuli akibat bising
( Noise induced hearing loss ). Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku ajar ilmu
penyakit THT. Edisi ke-3. Jakarta : Balai Penerbit FK UI, 1990. h. 37-9.)

1. Intensitas kebisingan
2. Frekwensi kebisingan
3. Lamanya waktu pemaparan bising
4. Kerentanan individu
5. Jenis kelamin
6. Usia
7. Kelainan di telinga tengah

Intensitas dan waktu paparan bising yang diperkenankan


Intensitas bising Waktu paparan per hari
(dB) dalam jam
85 8
87,5 6
90 4
92,5 3
95 2
100 1
105
110
Tabel . Intensitas bunyi dan waktu paparan yang diperkenankan sesuai dengan departemen
tenaga kerja 1994 1995 (Soetirto I, Bashiruddin J. Gangguan pendengaran akibat bising.
Disampaikan pada Simposium Penyakit THT Akibat Hubungan Kerja & Cacat Akibat
Kecelakaan Kerja, Jakarta, 2 Juni, 2001)
Pembagian bising
Secara umum efek kebisingan terhadap pendengaran dapat dibagi atas 2 kategori yaitu : (Melnick
W. Industrial hearing conservation. Dalam : Katz J, Ed. Handbook of clinical audiology. 4 th

ed. Baltimore : Williams & Wilkins, 1994.h.534-51)


1. Noise Induced Temporary Threshold Shift ( TTS )
Seseorang yang pertama sekali terpapar suara bising akan mengalami berbagai
perubahan, yang mula-mula tampak adalah ambang pendengaran bertambah tinggi pada
frekwensi tinggi. Pada gambaran audiometri tampak sebagai notch yang curam pada
frekwensi 4000 Hz, yang disebut juga acoustic notch.15Pada tingkat awal terjadi
pergeseran ambang pendengaran yang bersifat sementara, yang disebut juga NITTS.
Apabila beristirahat diluar lingkungan bising biasanya pendengaran dapat kembali
normal. (Melnick W. Industrial hearing conservation. Dalam : Katz J, Ed. Handbook of
clinical audiology. 4 ed. Baltimore : Williams & Wilkins, 1994.h.534-51)
th

2. Noise Induced Permanent Threshold Shift ( NIPTS )


Didalam praktek sehari-hari sering ditemukan kasus kehilangan pendengaran
akibat suara bising, dan hal ini disebut dengan occupational hearing loss atau
kehilangan pendengaran karena pekerjaan atau nama lainnya ketulian akibat bising
industri.
Dikatakan bahwa untuk merubah NITTS menjadi NIPTS diperlukan waktu
bekerja dilingkungan bising selama 10 15 tahun, tetapi hal ini bergantung juga kepada :
1. tingkat suara bising
2. kepekaan seseorang terhadap suara bising
NIPTS biasanya terjadi disekitar frekwensi 4000 Hz dan perlahan-lahan meningkat dan
menyebar ke frekwensi sekitarnya. NIPTS mula-mula tanpa keluhan, tetapi apabila sudah
menyebar sampai ke frekwensi yang lebih rendah ( 2000 dan 3000 Hz ) keluhan akan
timbul. Pada mulanya seseorang akan mengalami kesulitan untuk mengadakan
pembicaraan di tempat yang ramai, tetapi bila sudah menyebar ke frekwensi yang lebih
rendah maka akan timbul kesulitan untuk mendengar suara yang sangat lemah. Notch
bermula pada frekwensi 3000 6000 Hz, dan setelah beberapa waktu gambaran
audiogram menjadi datar pada frekwensi yang lebih tinggi. Kehilangan pendengaran pada
frekwensi 4000 Hz akan terus bertambah dan menetap setelah 10 tahun dan kemudian
perkembangannya menjadi lebih lambat. (Melnick W. Industrial hearing conservation.
Dalam : Katz J, Ed. Handbook of clinical audiology. 4 ed. Baltimore : Williams &
th

Wilkins, 1994.h.534-51)
Patogenesis
Tuli akibat bising mempengaruhi organ Corti di koklea terutama sel-sel rambut. Daerah yang
pertama terkena adalah sel-sel rambut luar yang menunjukkan adanya degenerasi yang
meningkat sesuai dengan intensitas dan lama paparan. Stereosilia pada sel-sel rambut luar
menjadi kurang kaku sehingga mengurangi respon terhadap stimulasi. Dengan bertambahnya
intensitas dan durasi paparan akan dijumpai lebih banyak kerusakan seperti hilangnya stereosilia.
Daerah yang pertama kali terkena adalah daerah basal. Dengan hilangnya stereosilia, sel-sel
rambut mati dan digantikan oleh jaringan parut. Semakin tinggi intensitas paparan bunyi, sel-sel
rambut dalam dan sel-sel penunjang juga rusak. Dengan semakin luasnya kerusakan pada sel-sel
rambut, dapat timbul degenerasi pada saraf yang juga dapat dijumpai di nukleus pendengaran
pada batang otak. (Dobie RA. Noise induced hearing loss. Dalam : Bailey BJ, Ed. Head and
neck surgery-otolaryngology. Vol.2. Philadelphia : JB Lippincott Company, 1993.h.1782-91)
Gambaran Klinis
Tuli akibat bising dapat mempengaruhi diskriminasi dalam berbicara ( speech discrimination )
dan fungsi sosial. Gangguan pada frekwensi tinggi dapat menyebabkan kesulitan dalam
menerima dan membedakan bunyi konsonan. Bunyi dengan nada tinggi, seperti suara bayi
menangis atau deringan telepon dapat tidak didengar sama sekali. Ketulian biasanya bilateral.
Selain itu tinnitus merupakan gejala yang sering dikeluhkan dan akhirnya dapat mengganggu
ketajaman pendengaran dan konsentrasi.4
Secara umum gambaran ketulian pada tuli akibat bising ( noise induced hearing loss ) adalah : 14
1. Bersifat sensorineural
2. Hampir selalu bilateral
3. Jarang menyebabkan tuli derajat sangat berat ( profound hearing loss ) Derajat ketulian
berkisar antara 40 s/d 75 dB.
4. Apabila paparan bising dihentikan, tidak dijumpai lagi penurunan pendengaran yang
signifikan.
5. Kerusakan telinga dalam mula-mula terjadi pada frekwensi 3000, 4000 dan 6000 Hz,
dimana kerusakan yang paling berat terjadi pada frekwensi 4000 Hz.
6. Dengan paparan bising yang konstan, ketulian pada frekwensi 3000, 4000 dan 6000 Hz
akan mencapai tingkat yang maksimal dalam 10 15 tahun.
Selain pengaruh terhadap pendengaran ( auditory ), bising yang berlebihan juga mempunyai
pengaruh non auditory seperti pengaruh terhadap komunikasi wicara, gangguan konsentrasi,
gangguan tidur sampai memicu stress akibat gangguan pendengaran yang terjadi.

(Soetirto I. Tuli akibat bising ( Noise induced hearing loss ). Dalam : Soepardi EA, Iskandar N,
Ed. Buku ajar ilmu penyakit THT. Edisi ke-3. Jakarta : Balai Penerbit FK UI, 1990. h. 37-9.)

(Soetirto I, Bashiruddin J. Gangguan pendengaran akibat bising. Disampaikan pada Simposium


Penyakit THT Akibat Hubungan Kerja & Cacat Akibat Kecelakaan Kerja, Jakarta, 2 Juni,
2001.)

(Stach BA. Clinical audiology an introduction. San Diego : Singular Publishing Group Inc,
1998. h.137-41.)

(Hadjar E. Gangguan keseimbangan dan kelumpuhan nervus fasial.Dalam : Soepardi EA,


Iskandar N, Ed. Buku ajar ilmu penyakit THT. Edisi ke-3. Jakarta : Balai Penerbit FK UI, 1990.
h. 75-7.)

(Oedono RMT. Penatalaksanaan penyakit akibat lingkungan kerja dibidang

THT. Disampaikan pada PIT Perhati, Batu-Malang, 27-29 Oktober, 1996.)

Penatalaksanaan

Sesuai dengan penyebab ketulian, penderita sebaiknya dipindahkan kerjanya dari


lingkungan bising. Bila tidak mungkin dipindahkan dapat dipergunakan alat pelindung telinga
yaitu berupa sumbat telinga ( ear plugs ), tutup telinga ( ear muffs ) dan pelindung kepala (
helmet ). (Soetirto I. Tuli akibat bising ( Noise induced hearing loss ). Dalam : Soepardi EA,
Iskandar N, Ed. Buku ajar ilmu penyakit THT. Edisi ke-3. Jakarta : Balai Penerbit FK UI,
1990. h. 37-9.)
Oleh karena tuli akibat bising adalah tuli saraf koklea yang bersifat menetap ( irreversible
), bila gangguan pendengaran sudah mengakibatkan kesulitan berkomunikasi dengan volume
percakapan biasa, dapat dicoba pemasangan alat bantu dengar ( ABD ). Apabila pendengarannya
telah sedemikian buruk, sehingga dengan memakai ABD pun tidak dapat berkomunikasi dengan
adekuat, perlu dilakukan psikoterapi supaya pasien dapat menerima keadaannya. Latihan
pendengaran ( auditory training ) juga dapat dilakukan agar pasien dapat menggunakan sisa
pendengaran dengan ABD secara efisien dibantu dengan membaca ucapan bibir ( lip reading ),
mimik dan gerakan anggota badan serta bahasa isyarat untuk dapat berkomunikasi. (Soetirto I.
Tuli akibat bising ( Noise induced hearing loss ). Dalam : Soepardi EA, Iskandar N, Ed. Buku
ajar ilmu penyakit THT. Edisi ke-3. Jakarta : Balai Penerbit FK UI, 1990. h. 37-9.) ( Heggins
II ,J. The effects of industrial noise on hearing. http://hubel. sfasu.edu/courseinfo/SL98/
hearing.html)
Pencegahan
Tujuan utama perlindungan terhadap pendengaran adalah untuk mencegah terjadinya NIHL yang
disebabkan oleh kebisingan di lingkungan kerja. Program ini terdiri dari 3 bagian yaitu :
(Oedono RMT. Penatalaksanaan penyakit akibat lingkungan kerja dibidang THT. Disampaikan
pada PIT Perhati, Batu-Malang, 27-29 Oktober, 1996)
1. Pengukuran pendengaran
Test pendengaran yang harus dilakukan ada 2 macam, yaitu :
a. Pengukuran pendengaran sebelum diterima bekerja.
b. Pengukuran pendengaran secara periodik.
2. Pengendalian suara bising
Dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu :
a. Melindungi telinga para pekerja secara langsung dengan memakai ear muff ( tutup
telinga ), ear plugs ( sumbat telinga ) dan helmet (pelindung kepala )
b. Mengendalikan suara bising dari sumbernya, dapat dilakukan dengan cara :
- memasang peredam suara
- menempatkan suara bising ( mesin ) didalam suatu ruangan yang terpisah dari
pekerja
3. Analisa bising
Analisa bising ini dikerjakan dengan jalan menilai intensitas bising, frekwensi bising,
lama dan distribusi pemaparan serta waktu total pemaparan bising. Alat utama dalam
pengukuran kebisingan adalah sound level meter, yaitu suatu alat yang digunakan untuk
mengukur tingkat kebisingan,yang terdiri dari mikrofon, amplifier, sirkuit attenuator
dan beberapa alat lainnya. Alat ini mengukur kebisingan antara 30 130 dB dan dari
frekwensi 20 20.000 Hz. SLM dibuat berdasarkan standar ANSI ( American National
Standard Institute ) tahun 1977 dan dilengkapi dengan alat pengukur 3 macam frekwensi
yaitu A, B dan C yang menentukan secara kasar frekwensi bising tersebut. Jaringan
frekwensi A mendekati frekwensi karakteristik respon telinga untuk suara rendah yang
kira-kira dibawah 55 dB . Jaringan frekwensi B dimaksudkan mendekati reaksi telinga
untuk batas antara 55 85 dB. Sedangkan jaringan frekwensi C berhubungan dengan
reaksi telinga untuk batas diatas 85 dB. (Melnick W. Industrial hearing conservation.
Dalam : Katz J, Ed. Handbook of clinical audiology. 4th ed. Baltimore : Williams &
Wilkins, 1994.h.534-51)

You might also like