Professional Documents
Culture Documents
Tesis
Oleh
DINA ARFINA
127011112/MKn.
MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2014
Built, Operate and Transfer (BOT) is the financing for a construction project
in which the investor should himself prepare the project financing. He should also be
responsible for preparing the materials, equipment, and other facilities which are
needed for the project equipment. The compensation is that he will be given the right
to operate and to benefit its economy in a certain time. Cooperative agreement by
using BOT system is not only between the government and private sector but also
between non-government and private sector. There is no obstacle in BOT agreement
between the government and private sector in levying BPHTB and Final PPh (income
tax) on land and building rights transfer, while obstacle in the same case is found in
BOT agreement between non-government and private sector; the obstacle is also
found in levying BPHTB and Final PPh on the land and building rights transfer in
BOT transaction.
The research used judicial normative and descriptive analytic approaches.
The data were gathered by using primary, secondary, and tertiary legal materials.
The gathered data were processed, analyzed, and interpreted logically,
systematically, and deductively.
The result of the research showed that levying Final PPh on land and building
rights transfer in BOT transaction is transferring buildings from an investor to the
land owner by levying PPh BPHTB 5% of the highest value between building
NJOP/market value. Meanwhile, levying BPHTB on land and building rights transfer
in BOT transaction is not regulated in PDRB law. Payable time of Final PPh on land
and building rights transfer in BOT transaction is when a part of the building is
transferred by the investor to the land owner by levying 5% of the highest value
between building NJOP/market value. When BOT ends, the whole building will be
transferred to the land owner although there is no certainty about the payable time
when BPHTB payable on the land and building rights transfer occurs. The judicial
obstacle is that there is no specific regulation on BOT transaction in Article 85,
paragraph 1 and paragraph 2 of PDRB law as taxable item in levying BPHTB and
Final PPh on land and building rights transfer, while Final PPh on land and building
rights transfer is levied tax payable as it is stipulated in the provision of the Decree of
the Minister of Finance No. 635/KMK.04/1994 as it is finally amended to the
Regulation of the Minister of Finance No. 243/PMK.03/2008.
THESIS
BY
DINA ARFINA
127011112/M.Kn
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu
Utara Medan. Dalam memenuhi tugas inilah maka penulis menyusun dan memilih
judul : Kajian Hukum Pengenaan BPHTB dan PPh Final Pengalihan Hak Atas
Tanah Dan Bangunan Dalam Transaksi BOT (Built Operate And Transfer).
tesis ini, untuk itu dengan hati terbuka menerima saran dan kritik dari semua pihak,
Dalam penulisan dan penyusunan tesis ini, penulis mendapat bimbingan dan
pengarahan serta saran-saran dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan
ini penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang tidak ternilai harganya
secara khusus kepada Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum., selaku
Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS,
CN., serta Bapak Dr. Bastari, SE., MM., masing-masing selaku anggota komisi
pembimbing yang banyak memberi masukkan dan bimbingan kepada penulis selama
dalam penulisan tesis ini dan kepada Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN,
MHum., dan Bapak Dr. Dedi Harianto, SH, MHum., selaku dosen penguji yang
telah banyak memberikan kritikan, saran serta masukan dalam penulisan tesis ini.
2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, Mhum., selaku Dekan Fakultas Hukum
3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH., MS., CN., Selaku Ketua Program
4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH., CN., MHum., Selaku Sekretaris
Utara.
5. Bapak-Bapak dan Ibu-ibu Guru Besar dan Staf Pengajar dan juga para karyawan
ayahanda Letkol (Purn) Dr. H. Wasfi Zainul dan Ibunda Hj. Harmiaty, yang telah
melahirkan, membesarkan dan mendidik ananda dengan penuh kasih sayang, serta
Suamiku H. Amar Subchan Indra, Amd, SS., atas segala pengorbanan dan
Syafura Indra atas segala dorongan serta semangat yang telah diberikan kepada
penulis selama ini. Tak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada kakak penulis, dr.
Dewi Aryanti, dipl. CIDESCO, dan adik penulis, drg. Della Arfiza, yang banyak
Hujjatul Marwiyah, Ivo Fara Zara, SH, MKn., Suci Mulani, SH, MKn., Syafwatun
Nida, SH, MKn., Dini Novrina, Afriyani Pohan, Zaisika Khairunnisak, dan kawan-
kawan satu angkatan lain yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu
yang terus memberikan motivasi, semangat dan kerjasama dan diskusi, membantu
dan memberikan pemikiran kritik dan saran dari awal masuk di Program Studi
Saya berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan
kepada penulis, mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa, agar
Akhirnya, semoga tesis ini dapat berguna bagi diri penulis dan juga bagi semua pihak
(Dina Arfina)
I. IDENTITAS PRIBADI
II. PENDIDIKAN
(2012-2014)
ABSTRAK --------------------------------------------------------------------------------------- i
B. Permasalahan ---------------------------------------------------------------------- 10
2. Konsepsi ----------------------------------------------------------------------- 16
BAB II BPHTB DAN PPH FINAL PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN
BANGUNAN DALAM TRANSAKSI BOT (BUILT OPERATE AND
TRANSFER) ------------------------------------------------------------------------- 24
1. Dasar Hukum PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan 48
D. Pengenaan BPHTB dan PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah dan
Bangunan Dalam Transaksi BOT -------------------------------------------- 67
1. Perlakuan Perpajakan Atas Transaksi BOT ---------------------------- 67
C. Saat Terhutang PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah Dan Bangunan
Dalam Transaksi BOT (Built Operate And Transfer) --------------------- 84
C. Ketentuan Tentang PPh PHTB dan BPHTB Dalam BOT --------------- 107
Built : pembangunan
Certainty : kepastian
Efficiency : efisiensi
Juncto : dihubungkan/dikaitkan
Operate : pengoperasian
Proporsional : sebanding
Spirit : semangat
Transparency : transparansi
Built, Operate and Transfer (BOT) is the financing for a construction project
in which the investor should himself prepare the project financing. He should also be
responsible for preparing the materials, equipment, and other facilities which are
needed for the project equipment. The compensation is that he will be given the right
to operate and to benefit its economy in a certain time. Cooperative agreement by
using BOT system is not only between the government and private sector but also
between non-government and private sector. There is no obstacle in BOT agreement
between the government and private sector in levying BPHTB and Final PPh (income
tax) on land and building rights transfer, while obstacle in the same case is found in
BOT agreement between non-government and private sector; the obstacle is also
found in levying BPHTB and Final PPh on the land and building rights transfer in
BOT transaction.
The research used judicial normative and descriptive analytic approaches.
The data were gathered by using primary, secondary, and tertiary legal materials.
The gathered data were processed, analyzed, and interpreted logically,
systematically, and deductively.
The result of the research showed that levying Final PPh on land and building
rights transfer in BOT transaction is transferring buildings from an investor to the
land owner by levying PPh BPHTB 5% of the highest value between building
NJOP/market value. Meanwhile, levying BPHTB on land and building rights transfer
in BOT transaction is not regulated in PDRB law. Payable time of Final PPh on land
and building rights transfer in BOT transaction is when a part of the building is
transferred by the investor to the land owner by levying 5% of the highest value
between building NJOP/market value. When BOT ends, the whole building will be
transferred to the land owner although there is no certainty about the payable time
when BPHTB payable on the land and building rights transfer occurs. The judicial
obstacle is that there is no specific regulation on BOT transaction in Article 85,
paragraph 1 and paragraph 2 of PDRB law as taxable item in levying BPHTB and
Final PPh on land and building rights transfer, while Final PPh on land and building
rights transfer is levied tax payable as it is stipulated in the provision of the Decree of
the Minister of Finance No. 635/KMK.04/1994 as it is finally amended to the
Regulation of the Minister of Finance No. 243/PMK.03/2008.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
yang harus digali terutama dari dalam negeri berupa pajak. Hal ini menempatkan
lainnya yang sering kali digunakan oleh masyarakat. Pada dasarnya pajak digunakan
sumbangan positif dalam keuangan negara. 3 Di sisi lain pajak bukan hanya berfungsi
1
Rimsky K. Judisseno, Pajak dan Strategi Bisnis: Suatu Tinjauan tentang Kepastian Hukum
dan Penerapan Akuntansi di Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997),
hlm.7.
2
Safri Nurmantu, Pengantar Perpajakan, Edisi 3, (Jakarta: Granit, 2005), hlm.21.
3
Budi Rahardjo dan Djaka Saranta S. Edhy, Dasar-dasar Perpajakan Bagi Bendaharawan
sebagai Pedoman Pelaksanaan Pemungutan/Pemotongan dan Penyetoran/Pelaporan, (Jakarta: CV.
Eko Jaya, 2003), hlm.1.
Pajak merupakan bagian penting dan tidak dapat dipisahkan dengan hukum. Dengan
administrasi negara, hukum pajak merupakan sarana yang penting dalam kerangka
wewenang yang lebih banyak kepada pemerintah daerah untuk mengatur daerahnya
secara otonom, dengan cara mendelegasikan tanggung jawab yang besar kepada
pejabat tingkat lokal untuk merancang proyek pembangunan agar sesuai dengan
4
Syofrin Syofyan dan Asyhar Hidayat, Hukum Pajak dan Permasalahannya, (Bandung:
Refika Aditama, 2004), hlm.21.
5
Marihot Pahala Siahaan (a), Hukum Pajak Elementer, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010),
hlm.8.
6
Joko Widodo, Good Governanve: Telaah dari Dimensi: Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi
Pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah, (Surabaya: Penerbit Insan Cendekia, 2001), hlm.43.
7
Tjip Ismail, Pengaturan Pajak Daerah Indonesia, (Jakarta: Yellow Printing, 2007), hlm.12.
8
Dedy Supriady Bratakusumah, dan Dadang Solihin, Otonomi Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm.206.
Pajak Pusat dan Pajak Daerah. 9 Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh
pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara, yang terdiri
dari Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah, dan Bea Materai. Sedangkan Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh
pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak
daerah terdiri atas Pajak Propinsi dan Pajak Kabupaten/Kota. Pajak Propinsi, seperti
Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Bea Balik
Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Air Permukaan, dan Pajak Rokok. Sedangkan
Pajak Kabupaten/Kota, seperti Pajak Hotel, Pajak restoran, Pajak Hiburan, Pajak
Penerangan Jalan, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Bumi dan
Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, 10 sedangkan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
dinamakan Pajak Daerah, sebagaimana diatur dalam Pasal 85 sampai dengan pasal 93
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Daerah lebih cepat dibandingkan pelimpahan PBB Perdesaan dan Perkotaan, dimana
9
Tony Marsyahrul, Pengantar Perpajakan, (Jakarta: PT. Grasindo, 2006), hlm.5.
10
Supramono, dan Theresia Woro Damayanti, Perpajakan Indonesia-Mekanisme dan
Perhitungan, (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2010), hlm.6.
sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Desember 2010 merupakan batas akhir persiapan pengalihan BPHTB sebagai pajak
daerah. Maka sejak tanggal 1 Januari 2011 pemungutan BPHTB sudah dilakukan
Dalam pengalihan tanah dan bangunan ada beberapa pajak yang dikenakan
antara lain BPHTB dan PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan (PPh F
PHTB). BPHTB merupakan pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan
perolehan hak (kecuali biaya resmi yang berkaitan dengan pembuatan akta dan
pendaftaran hak atas tanah dan bangunan yang telah ditetapkan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku) tidak boleh dilakukan oleh pihak manapun di luar ketentuan
Pemerintah terhadap orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan
Secara umum, penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau
badan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut maka wajib dibayar
11
Eddy Wahyudi, http://eddiwahyudi.com/2010/12/31/mulai-1-januari-2011-bphtb-telah-
resmi-menjadi-pajak-daerah/, terakhir diakses tanggal 04 Mei 2014
12
Muhammad Rusjdi, PBB, BPHTB dan Bea Materai, (Jakarta: PT indeks Kelompok
Gramedia, 2005), hlm.127.
13
Marihot Pahala Siahaan (b), Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, Teori
danPraktek, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003), hlm.7.
objek pajak dilakukan dengan dua cara. Pertama, dikenakan PPh secara umum
dengan menggunakan tarif umum (tarif Pasal 17 UU PPh) dan pengenaannya melalui
mekanisme SPT Tahunan. Kedua, dikenakan PPh secara final, seperti Pajak
Objek PPh adalah penghasilan yang diperoleh dari pengalihan harta berupa
hak atas tanah dan bangunan, ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf d Undang-Undang
(1) Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang
berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk
konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan,
dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk:
d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
1. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan,
dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
2. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham,
sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan
badan lainnya;
3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama
dan dalam bentuk apa pun;
4. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau
sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam
garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan
pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang
pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang
tidak
5. ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan
14
Erly Suandy, Perencanaan Pajak, Edisi 4, (Jakarta: Salemba Empat, 2008), hlm.117.
Sedangkan objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan
(Pasal 85 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah). Peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah suatu
perbuatan hukum yang dikuatkan dengan akta otentik yang mengakibatkan beralihnya
Seluruh transaksi pengalihan hak atas tanah pada dasarnya dikenakan PPh F
PHTB kecuali bila memenuhi persyaratan yang dapat dibebaskan PPh seperti yang
diatur dalam Peraturan Dirjen Nomor 30 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemberian
BOT hanya sebuah skema atau konsep yang umum sifatnya, maka konsep
BOT tidak hanya dapat digunakan untuk proyek pemerintah saja, tetapi juga dapat
digunakan untuk proyek swasta, artinya pihak yang terlibat antara individu dengan
individu atau swasta dengan swasta. Misalnya penduduk asli memiliki tanah, tetapi
tidak memiliki cukup dana untuk mendirikan bangunan komersial, maka dapat
penduduk melalui perjanjian Bangun Guna Serah (Built Operate and Transfer/BOT),
yaitu bentuk kerjasama yang dilakukan antara pemegang hak atas tanah dengan
15
Mhd. Yamin Lubis, dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Edisi Revisi,
(Bandung: CV. Mandar Maju, 2010), hlm.276.
masa perjanjian Bangun Guna Serah (Built Operate and Transfer/BOT), dan
mengalihkan kepemilikan bangunan tersebut kepada pemegang hak atas tanah setelah
Merujuk pada definisi perjanjian Bangun Guna Serah (Built Operate and
1. Adanya para pihak, yaitu pihak investor yang menyediakan dana untuk
membangun fisik proyek tersebut, dan pihak pemilik tanah/lahan yaitu
masyarakat/swasta yang memiliki lahan strategis. Demikian juga pemerintah
sebagai pemilik hak eksklusif atau pemegang hak pengelolaan atau juga hak
ulayat;
2. Adanya objek yang diperjanjikan dalam perjanjian BOT, yaitu lahan atau
beserta bangunannya;
3. Investor dalam jangka waktu tertentu diberi hak kelola atas bangunan yang
dibangun untuk mengambil manfaat ekonominya dengan pola bagi hasil,
royalty, atau kompensasi dengan harapan modal yang telah diinvestasikan
dapat kembali atau bahkan menguntungkan;
4. Setelah waktu kelola tersebut berakhir, investor mengembalikan bangunan
beserta fasilitas-fasilitas yang melekat pada bangunan tersebut kepada
pemilik lahan atau pemerintah sebagai pemilik hak eksklusif atau pemegang
hak pengelolaan.
miliknya untuk di atasnya didirikan suatu bangunan komersial oleh pihak kedua
bangunan komersial untuk jangka waktu tertentu dengan memberikan fee (atau tanpa
fee) kepada pemilik tanah (owner), dan pihak kedua wajib mengembalikan tanah
16
Anita Kamilah, Bangun Guna Serah (Build Operate And Transfer/BOT) Membangun
Tanpa Harus Memiliki Tanah (Perspektif Hukum Agraria, Hukum Perjanjian Dan Hukum Publik),
(Bandung: Keni Media, 2012), hlm.6.
17
Ibid., hlm.7.
tersebut berakhir. 18
Aset proyek tersebut setelah jangka waktu pengoperasian berakhir akan dialihkan
Keuntungan terbesar dari BOT bagi owner adalah memindahkan risiko kepada
konsesi, owner akan mewarisi hasil dari proyek yang telah terbukti dapat
kerjasama BOT ini, misalnya pembangunan Plaza Medan Fair di Jalan Gatot Subroto,
Ramayana Teladan di Jalan Sisingamangaraja Eks Terminal Taksi Teladan, The City
18
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Naskah Akademis Peraturan perundang-undangan
tentang Perjanjian BOT, (Jakarta: BHPN, 1997), hlm.9.
19
Siti Ummu Adillah, Kontruksi Hukum Perjanjian Build Operate Tranfers (BOT) Sebagai
Alternate Pembiayaan Proyek, Jurnal Hukum, Vol. XIV No. I, April 2004, hlm.125.
Pasar Petisah. 20
(swasta) atas pengalihan bangunan dari investor kepada owner, owner dikenakan PPh
Juni 1995 jo. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-38/PJ.4/1995 tanggal
Melakukan Kerjasama Dalam Bentuk Perjanjian Bangun Guna Serah (Built Operate
And Transfer) jo. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-38/PJ.4/1995
Perjanjian Bangun Guna Serah (Seri PPh Umum Nomor 17) tersebut maka kewajiban
pajak penghasilan bagi investor berlaku ketika proyek BOT tersebut telah selesai
dilaksanakan dan beroperasi serta pendapatan yang diperoleh investor apabila masa
20
Pemko Medan Bakal Tinjau Kembali Royalti BOT, http://www.pemkomedan.go.id/news_
detail.php?id=11674, terakhir diakses tanggal 28 April 2014
pajak penghasilan bagi pemilik tanah (owner) berlaku ketika masa perjanjian BOT
berakhir dan bangunan diserahkan pihak investor kepada pemegang hak atas tanah
(owner).
Bangunan (BPHTB) dalam perjanjian kerjasama BOT tidak diatur secara jelas dan
tegas sebagai objek pajak dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD). Tidak jelasnya pengaturan
objek BPHTB ini menimbulkan perbedaan persepsi antara wajib pajak maupun
mengenai pengenaan BPHTB dan PPh dalam kegiatan BOT yang akan dituangkan ke
dalam judul tesis Kajian Hukum Pengenaan BPHTB dan PPh Final Pengalihan Hak
Atas Tanah Dan Bangunan Dalam Transaksi BOT (Built Operate And Transfer).
B. Permasalahan
Adapun permasalahan yang akan diteliti lebih lanjut dalam tesis ini adalah:
1. Bagaimana pengenaan BPHTB dan PPh Final pengalihan hak atas tanah dan
2. Bagaimana kepastian saat terhutang mengenai BPHTB dan PPh Final pengalihan
C. Tujuan Penelitian
pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT (Built Operate And
Transfer).
dan PPh Final pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT.
dan PPh Final pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT.
D. Manfaat Penelitian
hendak dicapai bersama, dengan demikian dari penelitian ini diharapkan dapat
1. Secara teoritis, diharapkan penelitian ini dapat menambah bahan pustaka/ literatur
mengenai masalah pengenaan BPHTB dan PPh Final pengalihan hak atas tanah
dan bangunan dalam transaksi BOT, selain itu penelitian ini diharapkan juga
pemikiran bagi pihak-pihak yang terkait dengan masalah pengenaan BPHTB dan
PPh Final pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT.
E. Keaslian Penelitian
Kenotariatan dan Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, belum
ada penelitian sebelumnya yang berjudul Kajian Hukum Pengenaan BPHTB dan
PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Dalam Transaksi BOT (Built
Operate And Transfer). Akan tetapi ada beberapa penelitian yang menyangkut
masalah kegiatan BOT (Built Operate And Transfer), antara lain penelitian yang
dilakukan oleh :
Umum Dengan Kontrak Bangun Serah Guna/ Build Operate Transfer (BOT) di
adalah:
dengan Kotrak Bangun Serah Guna/ Build Operate and Transfer (BOT) di
Operate Transfer (BOT) Dalam Investasi Oleh Pemerintah Kota Medan, dengan
b. Apakah pada setiap jenis hak atas tanah dapat didirikan bangunan dan
rangka investasi?
berbeda dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Dengan
demikian penelitian ini adalah asli baik dari segi substansi maupun dari
keasliannya.
1. Kerangka Teori
teori adalah untuk menerangkan dan menjelaskan gejala spesifik untuk proses tertentu
terjadi. 21 Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya
Teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah teori
kepastian hukum oleh Roscoe Pound, yang mengatakan bahwa dengan adanya
hukum mengandung 2 (dua) pengertian, yang pertama adanya aturan yang bersifat
umum membuat individu mengetahui apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, dan
kedua berupa keamanan bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan
adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh
21
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press,
1986), hal. 122
22
Pieter Mahmud Marzuki (a), Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2009), hal.158
23
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
2002), hal. 44
faktor yang tercakup dalam pengenaan pajak atas adanya peralihan hak atas tanah
objek BOT :
a. Substansi hukum, yang terdiri dari tujuan, sistem dan tata laksana pendaftaran
tanah;
b. Struktur hukum, yang terdiri dari aparat pertanahan dan lembaga penguji
c. Kultur hukum, yang terdiri dari kesadaran hukum masyarakat dan realitas
sosial. 24
Sistem bangun guna serah atau biasa disebut BOT Agreement adalah
perjanjian antara 2 (dua) pihak, dimana pihak yang satu menyerahkan penggunaan
tanah miliknya untuk di atasnya didirikan suatu bangunan komersial oleh pihak kedua
bangunan komersial untuk jangka waktu tertentu dengan memberikan fee (atau tanpa
fee) kepada pemilik tanah, dan pihak kedua wajib mengembalikan tanah beserta
guna serah (built, operate, and transfer/BOT) atau BOT Agreement, adalah :
24
Muchtar Wahid, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah : Suatu Analisis
dengan Pendekatan Terpadu Secara Normatif dan Sosiologis, Cet. 1, (Jakarta: Republika, 2008),
hlm.115.
c. Bangunan komersial
e. Penyerahan (transfer)
swasta atau kerjasama dengan BUMN yang setelah selesai dibangun akan
dioperasikan oleh investor sampai jangka waktu tertentu dan setelah tahapan
jasa lain yang dibutuhkan untuk kelengkapan proyek. Sebagai gantinya investor
ganti atas semua biaya yang telah dikeluarkan untuk selama waktu tertentu. 26
2. Konsepsi
Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsepsi
dalam penelitian ini untuk menggabungkan teori dengan observasi, antara abstrak dan
25
Budi Santoso, Op.Cit., hlm.7.
26
Ibid., hlm.8-9.
fenomena yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari jumlah karakteristik kejadian,
Adapun uraian dari pada konsep yang dipakai dalam penelitian ini adalah:
a. Kajian hukum adalah mempelajari dan menganalisis dari sudut pandang hukum.
pajak.
c. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas
d. Bangunan adalah adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara
f. Kegiatan Built Operate and Transfer adalah bentuk perjanjian kerja sama yang
dilakukan antara pemegang hak atas tanah dengan investor yang menyatakan
bahwa pemegang hak atas tanah memberikan hak kepada investor untuk
27
Samadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hlm.31.
28
Burhan Ashshofa, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta 1996), hlm.19.
29
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, Pasal 1
angka 1.
30
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, Pasal 1 angka 2.
31
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria (UUPA), Pasal 1 ayat (3) jo. Pasal 4 ayat (1)
i. Built Operate and Transfer (BOT) Agreement adalah perjanjian antara dua pihak,
dengan memberikan fee atau tanpa fee kepada pihak owner, dan pihak investor
dan siap dioperasikan kepada pihak owner setelah jangka waktu operasional
berakhir.
j. BOT Term adalah jangka waktu perjanjian/ agreement yang dibuat secara
Notariil.
l. NJOP Tanah adalah nilai jual objek pajak atas tanah yang digunakan dalam
transaksi BOT.
m. Harga Pasar adalah harga yang disepakati oleh penjual dan pembeli pada saat
terjadinya transaksi.
n. NJOP Bangunan adalah nilai jual objek pajak atas bangunan yang dioperasikan
dan dikelola oleh pelaksana pembangunan dalam transaksi BOT. Nilai NJOP
32
Budi Santoso, Op.Cit., hlm.7.
aset.
o. PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan adalah pengenaan
pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari
pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan wajib dibayar Pajak Penghasilan
(PPh). 33
G. Metode Penelitian
Sifat dari penelitian ini adalah bersifat preskriptif, sesuai dengan sifat ilmu
yuridis normatif, yang disebabkan karena penelitian ini merupakan penelitian hukum
doktriner yang disebut juga penelitian kepustakaan atau studi dokumen yang
dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan
undangan yang bersifat teoritis ilmiah serta dapat menganalisis permasalahan yang
33
Pengertian PPh PHTB, http://www.pajak.go.id/content/seri-pph-pajak-penghasilan-atas-
pengalihan-hak-atas-tanah-danatau-bangunan, terakhir diakses tanggal 29 April 2014.
34
Peter Mahmud Marzuki (b), Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm.35.
35
Bambang Waluyo, Metode Penelitian Hukum, (Semarang: PT. Ghalia Indonesia, 1996),
hlm.13
penulisan tesis ini, yaitu permasalahan pengenaan BPHTB dan PPh Final pengalihan
Sumber data dalam penelitian ini adalah data sekunder. Sumber data yang
Yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai landasan utama
36
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hlm.13.
37
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Juritmetri, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1990), hlm.53.
Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau
Bangunan.
Yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan
dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer, seperti hasil-
hasil penelitian, hasil seminar, hasil karya dari para ahli hukum, serta dokumen-
dokumen lain yang berkaitan dengan masalah pengenaan BPHTB dan PPh dalam
kegiatan BOT.
Yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, surat kabar, makalah yang
Selain data sekunder sebagai sumber data utama, dalam penelitian ini juga
digunakan data pendukung yang diperoleh dari wawancara dengan pihak-pihak yang
telah ditentukan sebagai informan yaitu Pejabat Dinas Pendapatan (Dispenda) Kota
Medan.
38
Ibid.
39
Ibid.
dengan permasalahan penelitian ini. Sumber data utama dalam penelitian ini
sebagai data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum
b. Wawancara.
Hasil wawancara yang diperoleh akan digunakan sebagai data pendukung dalam
penelitian ini. Data tersebut diperoleh dari pihak-pihak yang telah ditentukan
sebagai informan yaitu Pejabat Dinas Pendapatan (Dispenda) Kota Medan yang
dengan pertanyaan yang telah disusun terlebih dahulu sehingga diperoleh data
Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna
untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data dalam
metode kualitatif bertolak dari asumsi tentang realitas atau fenomena sosial yang
bersifat unik dan kompleks. Padanya terdapat regularitas atau pola tertentu, namun
(library research) dan data primer yang diperoleh dari penelitian lapangan (field
secara menyeluruh tentang gejala dan fakta yang terdapat dalam masalah pengenaan
BPHTB dan PPh Final pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT.
cara berpikir yang dimulai dari hal-hal yang umum untuk selanjutnya menarik hal-hal
40
Burhan Bungin, Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis
Kearah Penguasaan Modal Aplikasi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm.53.
41
Mukti Fajar, dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm.109.
Perjanjian Built, Operate and Transfer (BOT) merupakan istilah yang relatif
baru dalam kegiatan ekonomi Indonesia, walaupun secara sejarah konsep Built,
Operate and Transfer (BOT) ini sebenarnya telah lama dipraktekan pelaksanaannya
di Kota Eretria Yunani (Athena) pada sekitar 300 tahun Sebelum Masehi. 42
Perjanjian kerjasama dengan sistem bangun guna serah atau biasa disebut
dengan sistem Built, Operate and Transfer Agreement (BOT Agreement) adalah
perjanjian antara 2 (dua) pihak, dimana pihak yang satu menyerahkan penggunaan
tanah miliknya untuk di atasnya didirikan suatu bangunan komersial oleh pihak kedua
bangunan komersial untuk jangka waktu tertentu dengan memberikan fee (atau tanpa
fee) kepada pemilik tanah, dan pihak kedua wajib mengembalikan tanah beserta
42
Munir Fuady, Sejarah Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 1982), hlm.172
43
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Naskah Akademis Peraturan perundang-undangan
tentang Perjanjian BOT, (Jakarta: BHPN, 1997), hlm.9.
Dengan demikian, pada dasarnya Built, Operate and Transfer (BOT) adalah
salah satu bentuk pembiayaan proyek pembangunan yang mana kontraktor harus
mengambil manfaat ekonominya sebagai penggantian atas semua biaya yang telah
perjanjian sistem bangun guna serah (built, operate, and transfer/BOT) atau BOT
Agreement, adalah :
3. Tanah;
4. Bangunan komersial;
6. Penyerahan (transfer).
44
Anita Kamilah, Bangun Guna Serah (Build Operate And Transfer/BOT) Membangun
Tanpa Harus Memiliki Tanah (Perspektif Hukum Agraria, Hukum Perjanjian dan Hukum Publik),
(Bandung: Keni Media, 2012), hlm.115.
1. Bidang usaha yang memerlukan suatu bangunan (dengan atau tanpa teknologi
tertentu) yang merupakan komponen utama dalam usaha tersebut disebut sebagai
bangunan komersial.
2. Bangunan komersial tersebut dapat dioperasikan dalam jangka waktu relatif lama,
untuk tujuan :
sebagainya.
Built, Operate and Transfer (BOT) merupakan suatu konsep yang mana
swasta atau kerjasama dengan BUMN dan setelah dibangun dioperasikan oleh
proyek tersebut pada pemilik proyek. 45 Pada dasarnya Built, Operate and Transfer
(BOT) adalah salah satu bentuk pembiayaan proyek pembangunan yang mana
45
A.P. Parlindungan, Hak Pengelolaan Menurut Sistem UUPA, (Bandung: Mandar Maju,
1994), hlm.7.
harus menanggung pengadaan material, peralatan, jasa lain yang dibutuhkan untuk
dan mengambil manfaat ekonominya sebagai ganti atas semua biaya yang telah
tersebut dapat terjadi bukan hanya antara pemerintah dengan investor, akan tetapi ada
juga antara non pemerintah dengan investor. Built, Operate and Transfer (BOT)
antara pemerintah dengan swasta terjadi apabila pemilik tanah adalah pemerintah dan
pihak investor merupakan badan hukum swasta, sedangkan Built, Operate and
Transfer (BOT) yang terjadi antara non pemerintah dengan investor terjadi apabila
kedua pihak, baik pemilik tanah maupun investor kedua-duanya merupakan badan
hukum swasta yang bekerja sama dalam transaksi Built, Operate and Transfer
(BOT). 47
Built, Operate and Transfer (BOT) dapat digunakan untuk proyek swasta,
artinya pihak yang terlibat yaitu individu dengan individu, individu dengan swasta,
atau swasta dengan swasta. Contoh pelaksanaan Built, Operate and Transfer (BOT)
untuk proyek swasta dapat terlihat dalam perjanjian Built, Operate and Transfer
(BOT) di Denpasar Bali, di mana penduduk asli memiliki tanah di tempat yang cukup
strategis, tetapi tidak memiliki cukup dana untuk mendirikan bangunan komersial,
46
Ibid., hlm.8-9.
47
Anita Kamilah, Op.Cit., hlm.116
penginapan di atas tanah penduduk asli tersebut dengan biaya seluruhnya ditanggung
pihak investor dan diperjanjikan untuk jangka waktu 30 tahun atau sesuai dengan
mana setelah jangka waktu perjanjian berakhir maka bangunan dan sarana prasarana
pendukungnya dikembalikan kepada pemilik hak atas tanah tersebut tanpa syarat.
Selanjutnya di antara para pihak, jika dikehendaki, dapat dilakukan sewa menyewa
Berdasarkan uraian tersebut, paling tidak terdapat tiga ciri transaksi Built,
1. Pembangunan (Built);
2. Pengoperasian (Operate);
Merupakan masa atau tenggang waktu yang diberikan pemilik proyek pada
Pemegang hak pengelolaan menyerahkan hak pengelolaan dan fisik proyek pada
pemilik proyek setelah masa konsesi selesai tanpa syarat (bisaanya). Pembebanan
yang menanggungnya.
Fasilitas Penunjang, disebut juga sebagai Perjanjian Built, Operate and Transfer
merupakan perjanjian khusus atau disebut juga perjanjian tidak bernama, karena tidak
dijumpai dalam KUHPerdata. Perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang belum
ada hukum tambahannya sehingga para pihak dapat memberikan nama pada
perjanjian tersebut, 50 misalnya perjanjian Bangun Guna Serah (Built, Operate and
asas kebebasan berkontrak dapat dijumpai dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata
49
A.P. Parlindungan, Op.Cit., hlm.208-209.
50
Much. Nurachmad, Buku Pintar Memahami dan Membuat Surat Perjanjian, (Jakarta:
Visimedia, 2010), hlm.14.
tanahnya untuk didirikan suatu bangunan di atasnya oleh pihak kedua, dan pihak
kedua berhak mengoperasikan atau mengelola bangunan tersebut dalam jangka waktu
tertentu, dengan memberikan fee atau tanpa fee kepada pihak pertama, dan pihak
kedua wajib mengembalikan tanah beserta bangunan di atasnya dalam keadaan dapat
dan siap dioperasikan kepada pihak pertama setelah jangka waktu operasional
berakhir. 51
Merujuk pada perjanjian Built, Operate and Transfer (BOT) ada kewajiban-
kewajiban yang harus diperhatikan oleh kedua belah pihak (pihak pemilik tanah dan
investor), yakni: 52
51
Maria S. Sumardjono, Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, (Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, 2009), hlm.208.
52
Anita Kamilah, Op.Cit., hlm.161-163.
Hak-hak atas tanah yang dapat dimanfaatkan sebagai objek perjanjian Built,
Operate and Transfer (BOT) adalah hak-hak atas tanah sebagaimana diatur dalam
Pokok Agraria (UUPA) antara lain Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Tanah, Hak Memungut Hasil
disebutkan dalam Pasal 53 UUPA, yaitu: Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
(UU PDRD). Dasar pemungutan BPHTB adalah peraturan daerah yang memuat
ketentuan mengenai objek pajak, subjek pajak, wajib pajak, tarif pajak, dasar
pengenaan pajak, dan lain-lain. Kebijakan pokok mengenai BPHTB yang diatur
dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU
a. Objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan (seperti hak
milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, dan hak pengelolaan), baik
b. Sejumlah objek pajak tidak dikenakan BPHTB, seperti objek pajak yang
lembaga internasional, konversi hak yang tidak merubah nama, wakaf, dan
53
Anita Kamilah, Op.Cit., hlm.30.
54
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, Pasal 85 sampai dengan Pasal 93
c. Subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah
dan/atau bangunan.
d. Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah
dan/atau bangunan. Termasuk wajib pajak BPHTB adalah Pejabat Pembuat Akta
pemungutan BPHTB.
e. Tarif BPHTB paling tinggi 5%. Setiap daerah dapat menetapkan tarif BPHTB
f. Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dan saat
2. Definisi BPHTB
Definisi dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang
dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut
pajak. 55 Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa
55
Marihot Pahala Siahaan (b), Op.Cit., hlm.42.
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD), Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau
bangunan. Sedang Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan
atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau
bangunan oleh orang pribadi atau Badan (Pasal 1 angka 42 Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD ).
3. Subjek BPHTB
Subjek BPHTB pada dasarnya adalah orang pribadi atau badan yang
memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan 56 akibat suatu perbuatan atau peristiwa
hukum yang yang menyebabkan beralihnya hak atas tanah dan atau bangunan.
Sedangkan subjek pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak Atas Tanah
56
Gatot S.M. Faisal, How To Be A Smarter Taxpayer, Bagaimana Menjadi Wajib Pajak Yang
Lebih Cerdas, (Jakarta: PT. Grasindo, 2009), hlm.31.
57
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, Pasal 85 ayat (4).
kegiatan diluar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut.
d. Orang Pribadi atau Badan yang memperoleh objek pajak karena konversi hak atau
e. Orang Pribadi atau Badan yang memperoleh objek pajak karena wakaf.
f. Orang Pribadi atau Badan yang memperoleh objek pajak untuk kepentingan
ibadah.
4. Objek BPHTB
Objek Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah
perolehan hak atas tanah atau bangunan, bukan tanah dan bangunannya (yang
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) yang menjadi objek BPHTB
adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang meliputi: 59
1) jual beli;
2) tukar-menukar;
3) hibah;
58
Gatot S.M. Faisal, Op.Cit., hlm.30
59
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, Pasal 85 ayat (2)
5) waris;
13) hadiah.
Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa
hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD), hak atas tanah tersebut
meliputi: 60
60
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, Pasal 85 ayat (3)
orang pribadi atau badan-badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah;
b. Hak Guna Usaha (HGU), yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai
langsung oleh Negara dalam jangka waktu sebagaimana yang ditentukan oleh
c. Hak Guna Bangunan (HGB), yaitu hak untuk mendirikan dan mempunyai
bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu
d. Hak Pakai, yaitu hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah
yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi
tanah, segala sesuatu sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan peraturan
e. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yaitu hak milik atas satuan yang bersifat
perseorangan dan terpisah. Hak milik atas satuan rumah susun meliputi juga hak
atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang semuanya
bersangkutan.
kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga.
c. Objek pajak yang diperoleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang
atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan
organisasi tersebut;
d. Objek pajak yang diperoleh orang pribadi atau badan karena konversi hak atau
e. Objek pajak yang diperoleh orang pribadi atau badan karena wakaf;
f. Objek pajak yang diperoleh orang pribadi atau badan yang digunakan untuk
kepentingan ibadah.
61
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, Pasal 85 ayat (4)
pembangunan guna kepentingan umum adalah tanah dan atau bangunan yang
Pemerintah Daerah dan kegiatan yang semata-mata tidak ditujukan untuk mencari
keuntungan, misalnya, tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk instansi
Sedangkan yang dimaksud dengan konversi hak adalah perubahan hak dari
hak lama menjadi hak baru menurut Undang-undang Pokok Agraria, 62 termasuk
pengakuan hak oleh Pemerintah. Kemudian yang dimaksud wakaf adalah perbuatan
hukum orang pribadi atau badan yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya
yang berupa hak milik tanah dan atau bangunan dan melembagakannya untuk selama-
imbalan apapun.
6. Perhitungan BPHTB
= Tarif x NPOPKP
62
A.P. Parlindungan, Konversi Hak-Hak Atas Tanah, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm.1.
BPHTB. 63 Pada dasarnya ada 3 jenis nilai (harga) yang menjadi NPOP, yaitu nilai
pasar, harga transaksi, dan harga transaksi risalah lelang. Bila nilai pasar atau harga
transaksi yang menjadi NPOP tidak diketahui atau lebih rendah dari pada Nilai Jual
Objek Pajak (NJOP) PBB, dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah NJOP PBB.
NPOPTKP adalah Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang
merupakan jumlah tertentu dari NPOP yang tidak dikenakan pajak. Ketentuan
NPOPTKP diatur dalam ketentuan Pasal 87 ayat (4) dan ayat (5) Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD), yang
berbunyi:
(4) Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling
rendah sebesar Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap
Wajib Pajak.
(5) Dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima
orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan
pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak
Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp.300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah). 64
Tarif adalah aturan pungutan, dalam pungutan BPHTB tarif yang digunakan
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) menentukan
tarif BPHTB maksimal sebesar 5 % (lima persen), menurut ketentuan Pasal 88 ayat
63
Irwansyah Lubis, Menggali Potensi Pajak Perusahaan Dan Bisnis Dengan Pelaksanaan
Hukum, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2010), hlm.119.
64
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, Pasal 87 ayat (4) dan ayat (5)
Peraturan Daerah. Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
adalah 5% (lima persen) secara flat artinya berapapun nilai perolehan hak atas tanah
a. Tarif Tetap. 65
Tarif yang berupa jumlah atau besarnya tetap untuk berapapun besarnya DPP.
Contoh: BM = Rp.3.000,- untuk pembayaran dengan cek atau giro bilyet dalam
jumlah berapapun.
Tarif berupa % tertentu yang sifatnya tetap terhadap berapapun besarnya DPP.
Contoh: PPh OP = 5% x sampai dengan Rp.50 juta, 15% x Rp.50 juta sampai
dengan Rp.250 juta, 25% x di atas Rp.250 juta sampai dengan Rp.500 juta, 30%
65
Supramono, dan Theresia Woro Damayanti, Op.Cit., hlm.7
66
Ibid.
67
Ibid.
Tarif dengan % tertentu yang dikenakan pada harga atau nilai suatu barang.
Contoh: Barang impor 1.000 unit @ Rp.100, Bea Masuk = 10% x 1.000 x
Rp.100.
f. Tarif Spesifik.
Tarif dengan jumlah tertentu atas suatu jenis barang tertentu. Contoh: impor 1.000
unit, Tarif Rp. 100 per unit, Bea Masuk = 1.000 x Rp. 100
Secara umum, Dasar Pengenaan Pajak (DPP) BPHTB adalah Nilai Perolehan
Objek Pajak (NPOP) (Pasal 87 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah). terdapat 3 jenis NPOP yang dijadikan Dasar
Pengenaan Pajak : 68
1) Tukar-menukar,
2) Hibah,
3) Hibah Wasiat,
4) Waris,
hukum tetap,
68
Warta Ekonomi: Majalah Ekonomi & Bisnis, Volume I, Issues 9-17, (Jakarta: Obor Sarana
Utama, 1998), hlm.69-71
13) Hadiah.
Apabila Nilai Pasar (NP) atau Harga Transaksi (HT) yang menjadi NPOP
tidak diketahui atau lebih rendah dari pada NJOP PBB, maka Dasar Pengenaan Pajak
yang dipakai adalah NJOP PBB (Pasal 87 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun
a. Paling rendah sebesar Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap
Wajib Pajak (Pasal 87 ayat (4) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
b. Dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang
pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus
69
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, Pasal 87.
termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan
paling rendah sebesar Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) (Pasal 87 ayat
(5) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah).
2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, besarnya Nilai Perolehan Objek
Pajak Tidak Kena Pajak diatur lebih lanjut Peraturan Daerah. 70 Sebagai
Nomor 1 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Dalam
ketentuan Pasal 4 ayat (7) dan ayat (8) Perda Nomor 1 Tahun 2011 ditetapkan
besarnya NPOPTKP adalah sebesar Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)
untuk setiap Wajib Pajak, dan besarnya NPOPTKP untuk perolehan hak karena waris
atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga
sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah
2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menganut sistem Self Assesment dan
Official Assesment, sebagaimana ternyata dalam Pasal 96 ayat (2) yang mengatur
70
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, Pasal 87 ayat (6).
ketetapan pajak atau dibayar sendiri oleh wajib pajak berdasarkan peraturan
pajak ini tampak dalam ketentuan Pasal 96 ayat (3) jo. ayat (4) yang mengatur bahwa
Daerah dibayar dengan menggunakan Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) atau
dokumen lain yang dipersamakan berupa karcis dan nota perhitungan. Sedangkan
sistem Self Assesment tampak dalam ketentuan Pasal 96 ayat (5) yang mengatur
bahwa Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan sendiri dibayar dengan
Daerah Kurang Bayar (SKPDKB), dan/atau Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis Pajak yang dapat dipungut berdasarkan
penetapan Kepala Daerah atau dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dan ketentuan
(Pasal 98 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Nomor 91 Tahun 2010 tentang Jenis Pajak Daerah Yang Dipungut Berdasarkan
Penetapan Kepala Daerah Atau Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak, di mana dalam
ketentuan Pasal 4 ayat (2) diatur bahwa pemungutan pajak terutang berdasarkan Surat
71
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, Pasal 96.
a. Surat Ketetapan Pajak Daerah atau dokumen lain yang dipersamakan; atau
Tahun 2010 tentang Jenis Pajak Daerah Yang Dipungut Berdasarkan Penetapan
Kepala Daerah Atau Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak, pemungutan pajak terutang
dengan cara dibayar sendiri oleh Wajib Pajak merupakan pembayaran pajak terutang
diberi kepercayaan untuk menghitung dan membayar sendiri pajak yang terutang,
sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 tentang Jenis
Pajak Daerah Yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah Atau Dibayar
Sendiri Oleh Wajib Pajak yang menentukan dalam Pasal 4 bahwa Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) merupakan jenis pajak yang dibayar sendiri oleh
Wajib Pajak.
72
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 tentang Jenis Pajak
Daerah Yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah Atau Dibayar Sendiri Oleh Wajib
Pajak, Pasal 4 ayat (2)
73
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 tentang Jenis Pajak
Daerah Yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah Atau Dibayar Sendiri Oleh Wajib
Pajak, Pasal 4 ayat (3)
dihitung dengan cara mengalikan tarif BPHTB sebesar 5% dengan Nilai Perolehan
Objek Pajak (NPOP) setelah dikurangi dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak
Tarif = maksimal 5%
NPOP = Nilai tertinggi antara Harga Transaksi atau Nilai Pasar dengan NJOP
PBB
Contoh:
Rumah dengan luas tanah 600 m2 dan bangunan 400 m2 dijual P kepada Q, harga
/m2, dan NPOPTKP di Kota R tahun 2009 Rp.30.000.000,-. Akta transaksi jual beli
NJOP TB = Rp.347.000.000,-
NPOP = Rp.500.000.000,-
NPOPKP = Rp.470.000.000,-
1. Dasar Hukum PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan
b. Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan
pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan
Pada dasarnya PPh itu menerapkan prinsip global taxation, dikenakan atas
seluruh penghasilan, dari manapun asalnya baik dari Indonesia maupun dari luar
menganut unitary tax system (suatu skedul tarif diterapkan atas seluruh tanggungan
UU PPh masih membolehkan penerapan schedular tax system yaitu pengenaan PPh
atas jenis dan sumber penghasilan tertentu dengan perlakuan pengenaan baik sifat,
untuk menerapkan tarif tersendiri atas PPh Pasal 4 ayat (2). System schedular dengan
74
Gustian Djuanda dan Irwansyah Lubis, Pelaporan Pajak Penghasilan, Edisi Revisi,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm.321.
75
Mohammad Zain, Manajemen Perpajakan, Edisi 3, (Jakarta: Salemba Empat, 2008),
hlm.23.
dan jenis (equal treatment for the equals), sedangkan pada Schedular Taxation
b. Pada Global Taxation diberlakukan satu struktur tarif pajak atas total penghasilan
c. Pada Global Taxation penghasilan kena pajak adalah net income (global gross
income dikurangkan dulu dengan tax reliefs), sedangkan pada Schedular Taxation
penghasilan kena pajak adalah gross income atau deemed profit atau deemed
d. Pada Global Taxation pajak penghasilan dipotong tax credit (tidak final),
sedangkan pada Schedular Taxation pajak penghasilan dipotong bukan tax credit
(final).
Karakteristik PPh Final adalah penghasilan yang dikenakan PPh Final tidak
perlu digabungkan dengan penghasilan lain yang non final dalam penghitungan PPh
pada SPT Tahunan PPh, jumlah PPh Final yang telah dibayar sendiri atau dipotong
pihak lain tidak dapat dikreditkan, biaya-biaya yang dipergunakan untuk memperoleh
76
Haula Rosdiana, Perpajakan, Teori dan Kebijakan, (Jakarta: Divisi Fiskal Fisip UI, 2004),
hlm.112.
Schedular taxation dapat dilihat pada ketentuan Pasal 4 ayat (2), Pasal 15,
Pasal 17 ayat (2) d, Pasal 19, Pasal 21, dan Pasal 22 UU PPh dan aturan
pelaksanaannya.
pengelompokan PPh final dengan sistem pemajakan skedular, PPh Final dapat
Bursa;
f. PPh Perusahaan Modal Ventura dari Transaksi Penjualan Saham atau Pengalihan
4. Subjek Pajak
berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh selama satu tahun
a. Orang pribadi;
Adalah orang pribadi yang bertempat tinggal/berada di Indonesia atau luar negeri.
c. Badan;
Adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang
melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan
terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik Negara atau
daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma kongsi, koperasi, dana
tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas berupa tanah, bangunan, mesin,
dan peralatan. Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan dipakai untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan oleh orang pribadi atau badan luar
negeri. Pengertian BUT mencakup juga orang pribadi atau badan selaku
independent agent yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan
luar negeri. Orang pribadi atau badan luar negeri tidak dapat dianggap
a. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau yang berada di Indonesia
lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas)
bulan, atau yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai
atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana
reksadana. 79 Kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
Pemerintah Daerah
c. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.
Subjek pajak Dalam Negeri dikenakan PPh atas penghasilan yang diterima
atau diperolehnya baik dari Indonesia maupun dari Luar Negeri (worldwide income/
a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia
tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua
belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia.
b. Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia
tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau
79
Ibid., hlm.5-6.
Subjek pajak Luar Negeri dikenakan PPh hanya atas penghasilan yang
diterima atau diperolehnya dari Indonesia baik melalui BUT maupun tanpa BUT di
Indonesia. 80
b. Pejabat perwakilan diplomatik, dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara
asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan
pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota;
80
Mohammad Zain, Op.Cit., hlm.299.
2) tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh
Dalam pengenaan PPh Final Pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan
Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan menegaskan
bahwa yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi dan badan.
5. Objek Pajak
atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib
Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah
dan sebagainya;
c. penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak, seperti
bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak
dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak. 82 Karena Undang-
Undang ini menganut pengertian penghasilan yang luas maka semua jenis
penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk
mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila dalam satu tahun
kerugian yang diderita di luar negeri. Namun demikian, apabila suatu jenis
penghasilan dikenai pajak dengan tarif yang bersifat final atau dikecualikan dari
objek pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan
final. Atas PPh yang telah dibayarkannya dapat dijadikan sebagai kredit pajak atau
82
Mohammad Zain, Op.Cit., hlm.137.
penghasilan yang termasuk sebagai Objek Pajak, Pasal 4 Undang-Undang PPh juga
mengatur mengenai penghasilan yang dikenakan PPh Final dan tidak termasuk Objek
Pajak.
penghasilan (PPh). menurut ketentuan ini yang menjadi objek pajak penghasilan yaitu
setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
(WP), baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat
dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang
a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
gratifikasi, uang pensiun atau imbalan dalam bentuk lainnya kecuali ditentukan
c. Laba usaha;
83
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat
atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, Pasal 4.
kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus
satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial
perusahaan pertambangan.
utang;
g. Dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha
koperasi;
n. Premi asuransi;
o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari
p. Tambahan kekayaan netto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan
pajak;
a. Bantuan atau sumbangan termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat
atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para
penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi
84
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat
atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, Pasal 4 ayat (3).
satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial
atau pengusaha kecil termasuk koperasi atau orang pribadi yang menjalankan
usaha mikro dan kecil yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
c. Warisan;
d. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham
e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau
Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, wajib Pajak yang
dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma
Undang-Undang PPh;
asuransi beasiswa;
g. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai
WP Dalam Negeri, koperasi, BUMN atau BUMD dari penyertaan modal pada
badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25%
h. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun
pegawai;
i. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun dalam bidang-bidang
j. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha
Menteri Keuangan;
sekolah, biaya ujian, biaya penelitian yang berkaitan dengan bidang studi
yang diambil, biaya untuk pembelian buku, dan/atau biaya hidup yang wajar
m. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak
bentuk sarana dan prasarana kegiatan bidang pendidikan dan/atau penelitian dan
Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan
pengalihan hak atas tanah dan bangunan yang dilakukan antara orang-perorangan
atau badan hukum swasta dengan orang-perorangan atau badan hukum swasta (non
pemerintah dengan non pemerintah), atau antara antara orang-perorangan atau badan
hak atas tanah dan bangunan yang dilakukan antara non pemerintah dengan
pemerintah dibagi menjadi pengalihan hak atas tanah yang tidak memerlukan
persyaratan khusus dan pengalihan hak atas tanah yang memerlukan persyaratan
khusus.
Pengalihan hak atas tanah dan bangunan yang dilakukan antara non
pemerintah dengan non pemerintah maka atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh orang pribadi atau badan tersebut wajib dibayar pajak penghasilan finalnya
(PPh PHTB), demikian juga antara non pemerintah dengan pemerintah yang tidak
terhadap pengalihan hak atas tanah yang dilakukan antara non pemerintah dengan
atau diperoleh non pemerintah dikenakan PPh PHTB, sedangkan terhadap pemerintah
Pengalihan hak atas tanah yang dilakukan antara non pemerintah dengan
a. Jalan umum;
85
Direktorat Jenderal Pajak, Seri PPh - Pajak Penghasilan Atas Pengalihan Hak Atas Tanah
dan/atau Bangunan, http://www.pajak.go.id/content/seri-pph-pajak-penghasilan-atas-pengalihan-hak-
atas-tanah-danatau-bangunan, terakhir diakses tanggal 10 Nopember 2014.
86
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 tentang Perubahan
Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan
Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan, Penjelasan Pasal 5 Huruf b.
e. Fasilitas keselamatan umum seperti tanggul banjir, lahar, dan bencana alam
f. Fasilitas tentara/polisi.
Mengenai pengalihan hak atas tanah dan bangunan dapat dilakukan dengan
cara: 87
a. Penjualan,
d. Pelepasan hak,
e. Penyerahan hak,
f. Lelang,
g. Hibah,
87
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 Tentang Pembayaran
Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan, Pasal 1
ayat (2)
a. Warisan,
d. Penyetoran modal saham dalam bentuk tanah dan atau bangunan (inbreng, in-kind
participation),
e. Pengalihan hak sehubungan dengan Built Operate Transfer (BOT) atau Bangun
Guna Serah,
(PPh PHTB) yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif PPh PHTB sebesar
5% dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPh PHTB. Besarnya PPh PHTB adalah
sebesar 5% (lima persen) dari Jumlah Bruto Nilai Pengalihan Hak atas Tanah dan
Bangunan (JBNPHTB), kecuali atas pengalihan hak atas Rumah Sederhana (RS) dan
Rumah Susun Sederhana (RSS) yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha
DPP PPh PHTB = JBNPHTB/ Nilai Risalah Lelang/ Nilai Keputusan Pejabat
Contoh:
NJOP TB = Rp.347.000.000,00
D. Pengenaan BPHTB dan PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah dan
Bangunan Dalam Transaksi BOT
Guna Serah (Built Operate And Transfer), kerjasama antara pemilik tanah dengan
investor, dimana investor mendirikan bangunan di atas tanahnya pemilik tanah untuk
88
Ibid.
Bangun Guna Serah (Built Operate and Transfer) adalah bentuk perjanjian
kerjasama yang dilakukan antara pemegang hak atas tanah dengan investor, yang
menyatakan bahwa pemegang hak atas tanah memberikan hak kepada investor untuk
mendirikan bangunan selama masa perjanjian bangun guna serah (BOT), dan
mengalihkan kepemilikan bangunan tersebut kepada pemegang hak atas tanah selama
merupakan nilai perolehan investor untuk mendapatkan hak menggunakan atau hak
mengusahakan bangunan tersebut, dan jumlah biaya yang dikeluarkan tersebut oleh
investor diamortisasi dalam jumlah yang sama besar setiap tahun selama masa
Perjanjian bangun guna serah. Amortisasi tersebut dimulai pada tahun bangunan
Apabila masa perjanjian bangun guna serah menjadi lebih pendek dari masa
yang telah ditentukan dalam perjanjian maka sisa biaya pembangunan yang belum
bangun guna serah yang lebih pendek tersebut. Apabila dalam pelaksanaan bangun
guna serah tersebut diberikan penggantian atau imbalan kepada investor, maka
89
Republik Indonesia, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 248/KMK.04/1995 tentang
Perlakuan Pajak Penghasilan Terhadap Pihak-Pihak Yang Melakukan Kerjasama Dalam Bentuk
Perjanjian Bangun Guna Serah (Built Operate And Transfer), Pasal 1.
Apabila masa perjanjian bangun guna serah menjadi lebih panjang dari masa
yang telah ditentukan dalam perjanjian karena adanya penambahan bangunan, maka
biaya penambahan bangunan tersebut ditambahkan terhadap sisa biaya yang belum
diamortisasi dan diamortisasi oleh investor hingga berakhirnya masa bangun guna
Bangunan yang diserahkan oleh investor kepada pemilik tanah setelah masa
perjanjian bangun guna serah berakhir adalah merupakan penghasilan bagi pemilik
tanah (owner) dan terutang Pajak Penghasilan sebesar 5% (lima persen) dari jumlah
bruto nilai yang tertinggi antara nilai pasar dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)
merupakan penghasilan yang diakui pada akhir periode, dan akan terutang PPh Final
sebesar 5% dari harga pasar atau NJOP mana yang paling tinggi. Pemilik tanah akan
90
Republik Indonesia, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-38/PJ.4/1995
tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Sehubungan Dengan Perjanjian Bangun Guna
Serah, Bagian III angka 1.3.
secara jelas dalam Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 1 Tahun 2011 tentang Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, hanya dalam ketentuan Pasal 2 ayat (3)
huruf b bahwa perolehan hak atas tanah dan bangunan yang menjadi objek pajak
BPHTB meliputi juga pemberian hak baru karena kelanjutan pelepasan hak atau
Dalam Bentuk Perjanjian Bangun Guna Serah (Built Operate And Transfer) jo.
pemegang hak atas tanah atas penyerahan bangunan yang dilakukan oleh investor
bagi orang pribadi bersifat final dan bagi wajib pajak badan adalah merupakan
penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan. Hanya saja
Melakukan Kerjasama Dalam Bentuk Perjanjian Bangun Guna Serah (Built Operate
And Transfer) jo. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-38/PJ.4/1995
Perjanjian Bangun Guna Serah tersebut, maka kewajiban pajak penghasilan bagi
investor berlaku ketika proyek BOT tersebut telah selesai dilaksanakan dan
beroperasi serta pendapatan yang diperoleh investor apabila masa perjanjian BOT
diperpendek dari masa yang telah ditentukan, sedangkan kewajiban pajak penghasilan
bagi pemilik tanah berlaku ketika masa perjanjian BOT berakhir dan bangunan
diserahkan pihak investor kepada pemegang hak atas tanah, namun apabila pemegang
hak atas tanah adalah badan pemerintah maka ketentuan pajak penghasilan ini tidak
diberlakukan.
Mengenai besarnya PPh Final terutang pemegang hak atas tanah dan
1. Penghasilan pemegang hak atas tanah karena menerima sebagian dari bangunan
yang didirikan.
91
Republik Indonesia, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-38/PJ.4/1995
tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Sehubungan Dengan Perjanjian Bangun Guna
Serah, Bagian IV Point 2.
92
Atep Adya Barata, Panduan Lengkap Pajak Penghasilan, (Jakarta: Visimedia, 2011),
hal.303.
investor tetapi sebagian diserahkan kepeda pemegang hak atas tanah, maka bagian
bangunan yang diserahkan merupakan penghasilan bagi pemegang hak atas tanah
dalam tahun pajak yang bersangkutan. Atas penyerahan tersebut terutang PPh
sebesar 5 % (lima persen) dari jumlah bruto nilai tertinggi antara nilai pasar
(market value) dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) bagian bangunan yang
diserahkan dan harus dilunasi pemegang hak atas tanah paling lambat tanggal 15
Nilai pasar atau NJOP digunakan sebagai dasar pengenaan pajak, ditentukan bilai
mana yang lebih tinggi antara keduanya. Nilai tertinggi itulah yang dipakai
sebagai dasar perhitungan. Pelunasan PPh disetor sendiri oleh pemegang hak atas
tanah. 93
Contoh:
a. Bagian bangunan yang diserahkan oleh investor kepada pemegang hak atas
nilai pasar.
5% x Rp.6.000.000.000,00 = Rp.3.000.000.000,00
93
Ibid.
NJOP PBB.
5% x Rp.7.000.000.000,00 = Rp.350.000.000.000,00
2. Penghasilan pemegang hak atas tanah karena penyerahan bangunan dari investor
Bangunan yang diserahkan oleh investor kepada pemegang hak atas tanah setelah
masa perjanjian bangun guna serah berakhir, terutang PPh sebesar 5% (lima
persen) dari jumlah bruto nilai tertinggi antara Nilai Pasar dengan Nilai Jual
Objek Pajak (NJOP) bangunan yang diserahkan, dan harus dilunasi pemegang hak
atas tanah paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa bangun guna
serah berakhir.
Contoh:
a. Bangunan yang diserahkan oleh investor kepada pemegang hak atas tanah
pada masa akhir BOT menurut property appraisal mempunyai nilai pasar
pasar.
94
Ibid., hlm.304.
5% x Rp.7.000.000.000,00 = Rp.350.000.000,00
b. Bangunan yang diserahkan oleh investor kepada pemegang hak atas tanah
pada masa akhir BOT menurut property appraisal mempunyai nilai pasar
pasar.
5% x Rp.7.500.000.000,00 = Rp.375.000.000,00
b. Bagi wajib pajak badan adalah merupakan pembayaran pajak penghasilan Pasal
dan bangunan guna menunjang pelaksanaan tugas yang diembannya. Tanah dan/atau
pusat atau pemerintah daerah dan kegiatan yang semata-mata tidak ditujukan untuk
mencari keuntungan, misalnya tanah atau bangunan yang digunakan untuk instansi
suatu tanah dan bangunan, misalnya dengan cara pembebasan tanah dan bangunan
dengan memberikan ganti rugi kepada pemilik tanah dan bangunan. Perbuatan hukum
ini mengakibatkan perolehan hak atas tanah dan bangunan oleh instansi pemerintah
yang seharusnya dikenakan pajak. Tetapi karena tujuan perolehan hak ini untuk
95
Republik Indonesia, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-38/PJ.4/1995
tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Sehubungan Dengan Perjanjian Bangun Guna
Serah, Bagian IV Point 2
96
Marihot Pahala Siahaan (b), Op.Cit., hlm.69.
Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan
atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau
peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan
oleh orang pribadi atau badan. Pelunasan BPHTB menjadi salah satu prasyarat yang
harus dipenuhi penerima hak untuk melakukan pendaftaran hak atas tanah, guna
perolehan sertipikat tanda bukti hak atas tanah. Dalam transaksi BOT perubahan
status hak atas tanah dari Hak Pengelolaan menjadi Hak Guna Bangunan diatas Hak
Pengelolaan merupakan objek BPHTB bagi investor yang menerima hak atas tanah,
dan harus dibayar sejak penerbitan sertifikat HGB di atas Hak Pengelolaan tersebut.
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) tidak memasukkan BOT sebagai
objek pajak pengalihan tanah dan bangunan, sehingga dengan demikian terhadap
97
Ibid., hlm.70.
Pada setiap ketentuan pengenaan atau pemungutan pajak, satu hal yang sangat
menentukan untuk dapat dilakukan pemungutan pajak atas suatu objek pajak adalah
saat pajak terutang. Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu
saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai
harus menentukan kapan saat pajak terutang dengan jelas agar tidak menimbulkan
sengketa antara wajib pajak dengan fiskus. 98 Untuk menentukan saat wajib pajak
sangat relevan. Tanpa diketahui saat pajak terutang, tidak mungkin ditentukan kapan
waktunya wajib pajak wajib memenuhi kewajiban melunasi utang pajaknya. Untuk
menentukan saat pajak terutang sangat erat kaitannya dengan penentuan saat
Mengenai saat timbulnya utang pajak, terdapat dua ajaran yaitu ajaran materil
(materiele leer) dan ajaran formal (formele leer). Menurut ajaran materil (materiele
leer) menyatakan bahwa timbulnya utang pajak pada saat diundangkannya undang-
undang pajak dan terpenuhinya syarat subjektif dan syarat objektif secara bersamaan,
98
Marihot Pahala Siahaan (b), Op.Cit., hlm.207.
adalah syarat yang melekat pada subjeknya seperti seseorang lahir di Indonesia,
bertempat tinggal di Indonesia. Syarat objektif adalah syarat yang melekat pada
kena pajak, memiliki tanah dan bangunan. Pada saat seluruh syarat timbulnya utang
undang-undang, utang pajak baru timbul jika ada perbuatan manusia yang
sajaa belum cukup, masih harus dilengkapi dengan adanya perbuatan manusia berupa
Surat Ketetapan Pajak yang dikeluarkan oleh pejabat pajak. Dengan demikian,
menurut ajaran formal, saat timbulnya utang pajak adalah pada saat diterbitkannya
Surat Ketetapan Pajak (SKP) oleh pejabat pajak. Menurut ajaran ini meskipun
dan syarat objektif secara bersamaan, apabila Surat Ketetapan Pajak belum
diterbitkan oleh pejabat pajak maka utang pajak belum timbul. Menurut ajaran
formal, adanya Surat Ketetapan Pajak merupakan syarat mutlak timbulnya utang
pajak. 100
99
Panca Kurniawan dan Bagus Pamungkas, Penagihan Pajak di Indonesia, (Malang: Bayu
Media Publishing, 2006), hlm.2.
100
Soemarso S.R., Perpajakan: Pendekatan Komprehensif, (Jakarta: Salemba Empat, 2007),
hlm.11.
bagi salah satu pihak (subjek hukum) untuk melakukan sesuatu (prestasi) atau tidak
melakukan sesuatu yang menjadi hak pihak lain. Artinya, apabila pihak yang wajib
melakukan suatu prestasi tidak melakukan hal itu atau jika pihak yang wajib tidak
melakukan sesuatu ternyata melakukan hal itu, maka akan terjadi suatu contract
break sehingga pihak yang dirugikan dapat menuntut kepada pihak yang melanggar
Pengertian utang pajak dalam hukum pajak tergolong sebagai utang dalam arti
sempit. Wajib pajak (debitor) diwajibkan membayar sejumlah uang dalam jumlah
perpajakan. Utang pajak timbul secara khusus karena negara (kreditor) terikat dan
tidak dapat memilih secara bebas, siapa yang akan dijadikan debitornya, seperti
halnya dalam hukum perdata. Hal ini terjadi karena uutang pajak timbul karena
undang-undang. 102
Utang pajak mempunyai sifat memaksa, yaitu pelunasan utang pajak dapat
dipaksakan secara langsung oleh negara kepada wajib pajak. Paksaan ini dijamin oleh
hukum. Negara melalui Direktorat Jenderal Pajak dapat melakukan penyitaan atas
barang milik wajib pajak yang tidak melunasi hutang pajaknya untuk kemudian dapat
dijual secara lelang maupun non lelang guna pelunasan utang pajak. Kewajiban pajak
harus dipenuhi oleh wajib pajak. Kewajiban pajak yang harus dipenuhi tersebut, yang
101
Rochmat Soemitro, Asas-asas dan Dasar Perpajakan 2, (Bandung: Aresco, 1990), hlm.1.
102
Ibid., hlm.2.
pajak inilah yang menjadi pokok pangkal semua kegiatan pemungutan pajak.
1. Pembayaran/penagihan pajak;
3. Penentuan daluarsa;
Pada umumnya, ada tenggang waktu tertentu antara saat terutangnya pajak dengan
saat pembayaran (pelunasan pajak). Jika utang pajak telah jatuh tempo (saat bayar)
dan ternyata belum dibayar, maka dilakukan penagihan pajak oleh kantor pajak. Batas
waktu pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atau suatu
masa pajak ditetapkan tidak melewati 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya
pajak dapat diajukan dalam jangka waktu tertentu (3 bulan) setelah diterimanya surat
ketetapan pajak (saat terutangnya pajak menurut ajaran formal). Daluarsa dihitung
103
Ibid.
104
Djoko Muljono, Panduan Brevet Pajak: Akuntansi Pajak dan Ketentuan Umum
Perpajakan, (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2010), hlm.113.
Surat Ketetapan Pajak menurut ajaran materiil hanya memiliki dua fungsi
jumlah utang pajak. Sedangkan menurut ajaran fomal memiliki tiga fungsi yaitu
diterbitkan oleh pejabat pajak kepada wajib pajak. Surat ketetapan pajak diterbitkan
antara lain apabila wajib pajak tidak melaksanakan kewajiban perpajakan dengan
baik misalnya, wajib pajak tidak melaporkan pajaknya sesuai dengan yang
seharusnya. Dalam hal demikian akan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang
Bayar (SKPKB) ataupun Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT).
Pajak yang kurang dibayar menurut penelitian aspek formal dan sanksi administrasi
perpajakan yang dikenakan terhadapnya ditagih oleh fiskus dengan Surat Tagihan
Pajak (STP). STP adalah surat dari Kepala KPP untuk melakukan tagihan pajak yang
denda. 105
105
Muda Markus, Perpajakan Indonesia, Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2005), hlm.386.
Daerah (UU PDRD) mengatur dengan jelas penentuan saat terutang pajak yang harus
diikuti pada setiap jenis perolehan hak atas tanah dan bangunan. Pada Bea Perolehan
Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) penentuan saat terutang pajak berguna
1. Apakah suatu perolehan hak atas tanah dan bangunan terutang pajak atau
tidak;
2. Ketentuan pengenaan pajak dan fasilitas pajak yang mana yang akan
diberlakukan. Adanya perubahan peraturan di bidang BPHTB, baik di
tingkat undang-undang, peraturan pemerintah, maupun keputusan menteri
keuangan pada suatu waktu tertentu (misalnya perubahan ketentuan
pemberian pengurangan BPHTB dan besarnya presentase pengurangan)
akan berpengaruh pada perlakuan terhadap obyek pajak yang pada akhirnya
akan berpengaruh pada besarnya BPHTB terutang yang akan dibayar. Hal
ini sangat terkait dengan saat terutangnya pajak yang menjadi dasar
kewajiban pembayaran pajak terutang oleh wajib pajak.
3. Penentuan besarnya denda administrasi bila sekiranya berdasarkan
pemeriksaan fiskus harus diterbitkan STB, SKKB, dan SKBKBT.
4. Penentuan batas akhir hak wajib pajak untuk mengajukan keberatan dan
pengurangan pajak. 106
Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) memuat tentang saat terutang pajak atas
perolehan hak atas tanah dan atau bangunan sebagai berikut : 107
106
Marihot Pahala Siahaan (b), Op.Cit., hlm.207-208.
107
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, Pasal 90
Kantor Pertanahan;
hukum tetap;
ke Kantor Pertanahan;
10. Pemberian Hak Baru : Sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya Surat
Pajak terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak, dengan kata
lain saat terutang BPHTB adalah merupakan saat untuk wajib membayar pajak.
Tempat pajak terutang adalah di wilayah Kabupaten, Kota, atau Propinsi yang
108
Tony Marsyahrul, Pengantar Perpajakan, (Jakarta: PT. Grasindo, 2006), hlm.183.
1. Dibuat dan ditandatanganinya Akta untuk Jual Beli, Hibah, Hibah Wasiat, Tukar
usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, hadiah, dan pemisahan hak yang
mengakibatkan peralihan;
Hakim.
C. Saat Terhutang PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah Dan Bangunan
Dalam Transaksi BOT (Built Operate And Transfer)
apabila pemegang hak atas tanah adalah pemerintah, ketika perjanjian Built, Operate,
and Transfer (BOT) berakhir dan bangunan diserahkan kembali kepada pemegang
hak atas tanah maka penyerahan bangunan tersebut bukan merupakan objek PPh
Final Peralihan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Sebaliknya, apabila pemegang hak
atas tanah adalah non pemerintah maka ketika perjanjian Built, Operate, and Transfer
(BOT) berakhir dan bangunan dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah, atas
109
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, Pasal 90 ayat (1).
dalam bentuk perjanjian Bangun Guna Serah (Built, Operate, and Transfer) diatur
Kerjasama Dalam Bentuk Perjanjian Bangun Guna Serah (Built Operate And
Transfer) jo. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak tanggal 14 Juli 1995 Nomor : SE-
a. Bentuk perjanjian kerja sama yang dilakukan antara pemegang hak atas tanah
dengan investor;
b. Yang menyatakan bahwa pemegang hak atas tanah memberikan hak kepada
110
Republik Indonesia, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-38/PJ.4/1995
tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Sehubungan Dengan Perjanjian Bangun Guna
Serah, Bagian I Point 1.
adalah: 111
Transfer (BOT);
(BOT) adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh investor dari pengusahaan
penghasilan dari pengusahaan hotel, pusat fasilitas olah raga, dan lain-lain;
c. Penggantian atau imbalan yang diterima atau diperoleh dari pemegang hak
atas tanah apabila masa perjanjian Built, Operate, and Transfer (BOT)
111
Republik Indonesia, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-38/PJ.4/1995
tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Sehubungan Dengan Perjanjian Bangun Guna
Serah, Bagian I Point 3.
112
Republik Indonesia, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-38/PJ.4/1995
tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Sehubungan Dengan Perjanjian Bangun Guna
Serah, Bagian II Point 1.
a. Biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto bagi investor adalah
diamortisasi dalam jumlah yang sama besar setiap tahun (metode garis lurus)
Contoh 1 :
Rp 30.000.000.000,00 : 15 = Rp 2.000.000.000,00
c. Apabila masa perjanjian Built, Operate, and Transfer (BOT) menjadi lebih
pendek dari masa yang telah ditentukan dalam perjanjian, maka sisa biaya
113
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat
atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, Pasal 6 ayat (1), dan Pasal 9 ayat (1).
114
Atep Adya Barata, Op.Cit., hlm.300.
Contoh 2:
d. Apabila masa perjanjian Built, Operate, and Transfer (BOT) menjadi lebih
panjang dari masa yang telah ditentukan dalam perjanjian karena adanya
dengan sisa biaya pembangunan yang belum diamortisasi, dan oleh investor
Contoh 3:
115
Ibid., hlm.300-301.
116
Ibid., hlm.302.
sebagai berikut:
Rp 30.000.000.000,00 : 10 = Rp 3.000.000.000,00
117
Republik Indonesia, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-38/PJ.4/1995
tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Sehubungan Dengan Perjanjian Bangun Guna
Serah, Bagian III angka 2.5.
atas tanah dalam atau selama masa Built, Operate, and Transfer (BOT)
berlangsung;
merupakan penghasilan bagi pemegang hak atas tanah dalam tahun pajak
dari jumlah bruto nilai yang tertinggi antara nilai pasar dengan Nilai Jual
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD)
menjadi pajak daerah, dan harus dilunasi oleh pemegang hak atas tanah
penyerahan. 118
6) Bangunan yang diserahkan oleh investor kepada pemegang hak atas tanah
PPh. Nilai perolehan atas bangunan yang diterima dari investor adalah
sebesar nilai pasar atau NJOP yang merupakan dasr pengenaan PPh. Atas
penyerahan tersebut terutang PPh sebesar 5% dari jumlah bruto nilai yang
tertinggi antara nilai pasar dengan nilai jual obyek pajak (NJOP) bagian
28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD)
menjadi pajak daerah, harus dilunasi oleh pemegang hak atas tanah
penyerahan. 119
tanah atas penyerahan bangunan yang dilakukan oleh investor bagi Wajib
Pajak orang pribadi bersifat final dan bagi Wajib Pajak Badan merupakan
118
Atep Adya Barata, Op.Cit., hlm.303.
119
Ibid., hlm.304.
9) Nilai bangunan yang diterima oleh pemegang hak atas tanah merupakan
pihak lain.
Biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto bagi pemegang hak atas
tanah adalah biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-
Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, dengan memperhatikan Pasal 9 ayat (1)
Dengan demikian saat terutang PPh Final dalam transaksi Built, Operate, and
1. Pada saat penyerahan sebagian dari bangunan yang didirikan, dalam hal bangunan
yang didirikan investor tidak seluruhnya menjadi hak investor tetapi sebagian
diserahkan kepada pemegang hak atas tanah, dan harus dilunasi pemegang hak
120
Republik Indonesia, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-38/PJ.4/1995
tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Sehubungan Dengan Perjanjian Bangun Guna
Serah, Bagian III Point 2
Transfer (BOT) berakhir kepada pemegang hak atas tanah, harus dilunasi
pemegang hak atas tanah paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa
A. Kepastian Hukum
Hukum adalah tata aturan (order) sebagai suatu sistem aturan-aturan (rules)
tentang perilaku manusia. Dengan demikian hukum tidak menunjuk pada satu aturan
tunggal (rule), tetapi seperangkat aturan (rules) yang memiliki suatu kesatuan
mungkin memahami hukum jika hanya memperhatikan satu aturan saja. Pernyataan
bahwa hukum adalah suatu tata aturan tentang perilaku manusia tidak berarti bahwa
tata hukum (legal order) hanya terkait dengan perilaku manusia, tetapi juga dengan
kondisi tertentu yang terkait dengan perilaku manusia. 121 Objek dari ilmu hukum
adalah norma hukum yang di dalamnya mengatur perbuatan manusia, baik sebagai
kondisi atau sebagai konsekuensi dari kondisi tersebut. Hubungan antar manusia
hanya menjadi objek dari ilmu hukum sepanjang hubungan tersebut diatur dalam
norma hukum.
dengan asas kepastian hukum. Asas kepastian hukum mempunyai dua aspek, yang
satu lebih bersifat hukum material, yang lain bersifat formal. Aspek hukum material
121
Jimly Asshiddiqie, dan M. Ali Safaat, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm.14.
mengubahnya untuk kerugian yang berkepentingan. Dengan kata lain, asas ini
keputusan pemerintah, meskipun keputusan itu salah. Jadi demi kepastian hukum,
setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak untuk dicabut kembali.
Adapun aspek yang bersifat formal dari asas kepastian hukum membawa serta
bahwa ketetapan yang memberatkan dan ketentuan yang terkait pada ketetapan-
ketetapan yang menguntungkan, harus disusun dengan kata-kata yang jelas. Asas
dengan tepat apa yang dikehendaki dari padanya. Unsur ini memegang peran
misalnya pada pemberian kuasa surat-surat perintah secara tepat dan tidak mungkin
adanya berbagai tafsiran yang dituju harus dapat terlihat, kewajiban-kewajiban apa
yang berdasarkan pembuktian secara formil, artinya suatu perbuatan baru dapat
Sebaliknya menurut prinsip keadilan, perbuatan yang tidak wajar, tercela, melanggar
Dilema antara penegakan hukum yang mengedepankan pada prinsip kepastian hukum
Kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum tidak akan terlepas dari
fungsi hukum itu sendiri. Fungsi hukum yang terpenting adalah tercapainya
karena ia dapat mengadakan perhitungan atau prediksi tentang apa yang akan terjadi
Ukuran kepastian hukum terbatas pada ada atau tidaknya peraturan yang
mengatur perbuatan tersebut. Selama perbuatan tersebut tidak dilarang dalam hukum
produk dari hukum atau lebih khusus dari perundang-undangan. Begitu datang hukum
Dengan demikian, asas kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum
keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara. 125 Maksudnya asas ini
122
Fajar Laksono, Ed., Hukum Tak Kunjung Tegak: Tebaran Gagasan Otentik Prof. Dr.
Mahfud MD, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), hlm.91.
123
Budiman Ginting, Kepastian Hukum Dan Implikasinya Terhadap Pertumbuhan Investasi
Di Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Investasi pada
Fakultas Hukum FH USU, Medan, 2008, hlm.2.
124
Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia
dan Hukum, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007), hlm.85.
125
Owen Podger, Beberapa Gagasan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah Di
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hlm.2.
Salah satu aspek penting dalam hukum perpajakan adalah adanya kepastian
hukum. Kepastian hukum adalah suatu kondisi di mana tidak terdapat keragu-raguan
dalam memenuhi kewajiban perpajakan dan menjalankan hak perpajakan baik bagi
Wajib Pajak maupun fiskus. Kepastian hukum perpajakan terdapat dalam undang-
Kepastian hukum akan tercapai apabila kata dan kalimat (wording) undang-
dicapai. Asas hierarki yang menyatakan bahwa peraturan pelaksanaan pada tingkat
yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, ikut
Contoh kepastian hukum dalam sistem perpajakan Indonesia dewasa ini yang
berhubungan dengan hak Wajib Pajak untuk mendapatkan jawaban atas permohonan
126
Safri Nurmanto, Pengantar Perpajakan, Edisi 3, (Jakarta: Granit, 2005), hlm.130.
127
Ibid., hlm.131.
jumlah pajak yang telah dibayarnya, dan sekaligus memohon agar jumlah lebih bayar
tersebut. Jika dalam jangka waktu 12 bulan sejak diterimanya permohonan tersebut
Undang Nomor 5 Tahun 2008 jo. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang
Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (Ketentuan Umum Perpajakan), demi
Asas certainty (kepastian) menyatakan bahwa harus ada kepastian, baik bagi
petugas pajak maupun semua wajib pajak dan seluruh masyarakat, sebagaimana
pendapat berikut ini: Tax laws and regulations must be comprehensible to the
taxpayer, they must be unambiguous and certain, both to the taxpayer and to the tax
administrator. 128
yang harus dikenakan pajak, apa-apa saja yang dijadikan sebagai objek pajak, serta
besarnya jumlah pajak yang harus dibayar dan bagaimana jumlah pajak yang terutang
128
Haula Rosdiana dan Edi Slamet Irianto, Pengantar Ilmu Pajak, Kebijakan dan
Implementasi Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm.167-168.
pengenaan pajak serta besarnya tarif pajak, tetapi juga mengenai prosedur
Tanpa adanya prosedur yang jelas, maka Wajib Pajak akan sulit untuk
menjalankan kewajiban serta haknya, dan bagi fiskus akan kesulitan untuk mengawasi
pelaksanaan kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak juga dalam
Agar negara dapat mengenakan pajak kepada warganya atau kepada orang
pribadi atau badan lain yang bukan warganya, tetapi mempunyai keterkaitan dengan
negara tersebut, tentu saja harus ada ketentuan-ketentuan yang mengaturnya. Sebagai
contoh di Indonesia, secara tegas dinyatakan dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang
Dasar 1945 bahwa segala pajak untuk keuangan negara ditetapkan berdasarkan
asas-asas atau dasar-dasar yang akan dijadikan landasan oleh negara untuk
mengenakan pajak.
Hukum pajak harus dapat memberikan jaminan hukum yang perlu untuk
menyatakan keadilan bagi negara dan warganya. Oleh karena itu, pemungutan pajak
hukum. Asas kepastian hukum mempunyai dua aspek, yang satu lebih bersifat hukum
material, yang lain bersifat formal. Aspek hukum material terkait erat dengan asas
129
Ibid.
kerugian yang berkepentingan. Dengan kata lain, asas ini menghendaki dihormatinya
meskipun keputusan itu salah. Jadi demi kepastian hukum, setiap keputusan yang
Adapun aspek yang bersifat formal dari asas kepastian hukum membawa serta
bahwa ketetapan yang memberatkan dan ketentuan yang terkait pada ketetapan-
ketetapan yang menguntungkan, harus disusun dengan kata-kata yang jelas. Asas
dengan tepat apa yang dikehendaki dari padanya. Unsur ini memegang peran
misalnya pada pemberian kuasa surat-surat perintah secara tepat dan tidak mungkin
adanya berbagai tafsiran yang dituju harus dapat terlihat, kewajiban-kewajiban apa
peraturan di bawahnya haruslah dijaga dengan baik, agar tidak menimbulkan ambigu
yang pada akhirnya akan membingungkan wajib pajak. Ketidak jelasan peraturan
pajak. 130
pelaksanaan yang dijadikan dasar dalam melaksanakan aturan hukum pajak tidak
Penghasilan diatur pada Pasal 4 ayat (2) bahwa atas penghasilan berupa bunga
sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah
130
Haula Rosdiana, dan Edi Slamet Irianto, Panduan Lengkap Tata Cara Perpajakan di
Indonesia, (Jakarta: Visimedia, 2011), hlm.53
131
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Diubah Dengan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991, Pasal 4 ayat (2).
Penghasilan, Pasal 4 ayat (2) hanya mencakup pengenaan PPh atas bunga deposito
Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991, cakupan Pasal 4 ayat
(2) diperluas sehingga mencakup juga penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas
lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan/atau
penghasilan yang dicakup oleh Pasal 4 ayat (2) diperlakukan sebagai final, pada
pajak atas penghasilan-penghasilan yang dicakup di Pasal 4 ayat (2) tersebut diatur
Perlakuan pajak atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau
Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari
Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan sampai yang terakhir yaitu
Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan, khususnya
Atas Tanah Dan/Atau Bangunan, orang pribadi yang melakukan pengalihan hak atas
tanah dan/atau bangunan dikenai PPh final sebesar 5% dari jumlah bruto. 132
Perlakuan PPh tersebut diterapkan kepada semua orang pribadi, tanpa membedakan
apakah orang yang bersangkutan mempunyai kegiatan usaha pengalihan hak atas
Tahun 1996 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994
Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas
Tanah Dan/Atau Bangunan, yang membedakan antara orang pribadi yang usaha
pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, dengan orang
Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan,
1. Orang pribadi yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah
132
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran
Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan, Pasal 4
ayat (1).
133
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996 tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas
Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan, Pasal 8.
Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan, tidak secara
jelas mengatur perlakuan PPh atas pengalihan hak tersebut apabila dilakukan oleh
orang pribadi yang mempunyai penghasilan di atas PTKP dan nilai pengalihannya
melebihi Rp.60 juta. Apabila disimak bunyi Pasal 8 dari Peraturan Pemerintah Nomor
27 Tahun 1996 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994
Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas
Tanah Dan/Atau Bangunan, maka perlakuan PPh final hanya terbatas kepada dua
Dengan demikian, apabila seorang wajib pajak orang pribadi yang usaha
pokoknya bukan menjual hak atas tanah dan/atau bangunan, maka keuntungan dari
pengalihan tersebut akan dikenakan PPh dengan tarif umum. Perlakuan ini sama
Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah
Dan/Atau Bangunan. Perlakuan PPh terhadap orang pribadi yang usaha pokoknya
bukan jual beli hak atas tanah dan/atau bangunan memperoleh perlakuan yang kurang
adil bila dibandingkan dengan orang pribadi yang mempunyai usaha pengalihan hak
atas tanah dan/atau bangunan. Pengenaan PPh yang tidak final berarti bahwa PPh
tersebut, terutama untuk harta yang telah dimiliki dalam jangka waktu yang cukup
lama. Hal ini akan menyebabkan ketidakadilan dari segi beban pajak yang ditanggung
terutama untuk harta yang sudah dimiliki dalam kurun waktu yang lama. Harga
perolehan yang relatif jauh lebih rendah dari harga peralihannya akan menyebabkan
beban pajak yang lebih tinggi. Faktor penyebabnya adalah bahwa Undang-Undang
Pajak Penghasilan tidak menerapkan indeksasi untuk harta tetap untuk menentukan
Di samping itu, wajib pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha
cenderung untuk tidak melakukan pencatatan sehingga kemungkinan besar sulit untuk
pendukungnya. Sebaliknya wajib pajak orang pribadi yang menjalankan usaha jual
beli tanah dan bangunan diterapkan pengenaan pajak yang bersifat final, padahal
wajib pajak kelompok ini seharusnya mempunyai catatan atau pembukuan, sehingga
Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan kemudian
Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 Tentang Pembayaran Pajak
yang sepanjang menyangkut orang pribadi, memberi penegasan bahwa wajib pajak
orang pribadi yang usaha pokoknya bukan dari jual beli hak atas tanah dan/atau
bangunan, keuntungan dari pengalihan dimaksud dikenai pajak tetapi tidak final.
dengan kontrak BOT dan akibatnya akan berpengaruh terhadap pemungutan Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Dalam ketentuan Pasal 85 ayat
(1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah (UU PDRD) tidak ada pengaturan tentang Built, Operate, and
Transfer (BOT) sebagai objek pajak, berdasarkan bunyi pasal ini maka BOT tidak
terutang pajak BPHTB. Sedangkan PPh Final pengalihan hak atas tanah dan
Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau
Bangunan.
pengalihan hak atas tanah dan bangunan dimulai secara khusus diatur pada tahun
kemudian dicabut dan diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994
tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Hak Atas Tanah Dan Atau
Bangunan. Pada tahun 1996 terbit Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996
pada tahun 1999 dilakukan perubahan kedua yaitu dengan diterbitkannya Peraturan
penghasilan hak atas tanah dan atau bangunan. Terakhir dilakukan perubahan ketiga
pada tahun 2008 dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2008
tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas
dengan pengalihan hak atas tanah dan bangunan adalah Keputusan Menteri Keuangan
Pihak Yang Melakukan Kerjasama Dalam Bentuk Perjanjian Bangun Guna Serah
(Built Operate And Transfer) jo. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-
Dengan Perjanjian Bangun Guna Serah. Dalam ketentuan tersebut diatur mengenai
(BOT), biaya bagi investor, biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto
bagi investor, penghasilan bagi pemegang hak atas tanah, dan biaya bagi pemegang
Melakukan Kerjasama Dalam Bentuk Perjanjian Bangun Guna Serah (Built Operate
And Transfer) jo. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-38/PJ.4/1995
Perjanjian Bangun Guna Serah, adalah pada saat penyerahan sebagian dari bangunan
yang didirikan, dalam hal bangunan yang didirikan investor tidak seluruhnya menjadi
hak investor tetapi sebagian diserahkan kepada pemegang hak atas tanah, harus
dilunasi pemegang hak atas tanah paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah
penyerahan. Pada saat penyerahan bangunan dari investor setelah masa Built,
Operate, and Transfer (BOT) berakhir kepada pemegang hak atas tanah, harus
dilunasi pemegang hak atas tanah paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah
Ketika perjanjian Built, Operate, and Transfer (BOT) berakhir dan bangunan
diserahkan kembali kepada pemegang hak atas tanah, apabila pemegang hak atas
objek PPh Final Peralihan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Sebaliknya, apabila
Operate, and Transfer (BOT) berakhir dan bangunan dikembalikan kepada pemegang
hak atas tanah, atas penyerahan bangunan tersebut merupakan objek PPh Final
Penghasilan Atas Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan. Dalam Pasal 1
ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-26/PJ./2010 tentang Tatacara
Penelitian Surat Setoran Pajak Atas Penghasilan Atas Pengalihan Hak Atas Tanah
akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas
yang wajib dibayar atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan bangunan
telah dibayar ke Kas Negara oleh Wajib Pajak yang melakukan pengalihan hak atas
kepada pejabat yang berwenang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan menyerahkan
fotokopi Surat Setoran Pajak atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan
bangunan yang telah diteliti oleh Kantor Pelayanan Pajak dengan menunjukkan asli
Tatacara Penelitian Surat Setoran Pajak Atas Penghasilan Atas Pengalihan Hak Atas
Tanah dan/atau Bangunan, mengatur bahwa untuk keperluan penelitian Surat Setoran
yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan bangunan atau kuasanya harus
mengajukan formulir penelitian Surat Setoran Pajak ke Kantor Pelayanan Pajak yang
wilayah kerjanya meliputi letak tanah dan bangunan yang dialihkan haknya dengan
tentang Tatacara Penelitian Surat Setoran Pajak Atas Penghasilan Atas Pengalihan
Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan, mengatur hal teknis pengajuan surat Penelitian.
Hal lain yang diatur dalam Pasal 5 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-
26/PJ./2010 tentang Tatacara Penelitian Surat Setoran Pajak Atas Penghasilan Atas
Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan berkaitan bila ternyata terdapat
perbedaan data.
Menurut ketentuan Pasal 5 ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor
Atas Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan, dijelaskan bahwa dalam hal
berdasarkan penelitian ternyata Pajak Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan
bangunan belum dibayar ke kas negara atau Pajak Penghasilan yang telah dibayar
oleh Wajib Pajak masih kurang dari yang seharusnya dibayar, maka kepala Kantor
Bangunan. Sehingga ketentuan ini mensyaratkan bahwa sebelum akte dibuat, Surat
setoran PPh Final harus diteliti terlebih dahulu oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat
wajib pajak terdaftar. Sedangkan ketentuan mengenai Bea Perolehan Hak atas Tanah
Hanya saja dalam transaksi Built, Operate, and Transfer (BOT) masih juga
Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) tidak
diatur secara rinci dan jelas ketentuan mengenai pengenaan dan saat terutang BPHTB
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) diatur bahwa: Objek Pajak
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Perolehan Hak atas Tanah
yang didirikan dalam hal sebagian bangunan tidak seluruhnya menjadi hak investor
atau pada saat transaksi Built, Operate, and Transfer (BOT) tersebut telah berakhir,
secara fisik nyata-nyata telah terjadi penyerahan bangunan dari investor kepada
pemilik tanah. Akan tetapi oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) penyerahan bangunan dari investor
kepada pemilik tanah tersebut tidak diatur secara tegas sebagai objek pajak.
dalam transaksi Built, Operate, and Transfer (BOT) harus diatur secara rinci dan
jelas, sehingga tidak menimbulkan salah tafsir dalam pelaksanaan pengenaan BPHTB
dan PPh Final dalam transaksi Built, Operate, and Transfer (BOT).
A. Kesimpulan
1. Pengenaan PPh Final pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi
BOT adalah berpedoman pada ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang PPh,
pemilik tanah dikenakan PPh PHTB sebesar 5% dari nilai tertinggi antara NJOP
atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT tidak diatur secara tegas oleh
Daerah.
2. Saat terhutang PPh Final pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi
BOT adalah pada saat sebagian bangunan yang diserahkan investor ke pemilik
tanah, pemilik tanah dikenakan PPh PHTB sebesar 5% dari nilai tertinggi antara
BOT berakhir, atas seluruh bangunan yang diserahkan dari investor ke pemilik
tanah dikenakan PPh PHTB sebesar 5% dari nilai tertinggi antara NJOP
BPHTB pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT tidak ada
3. Kendala yuridis dalam pengenaan BPHTB dan PPh Final pengalihan hak atas
tanah dan bangunan dalam transaksi BOT adalah dalam ketentuan Pasal 85 ayat
Retribusi Daerah (UUPDRD) tidak ada pengaturan tentang BOT sebagai objek
pajak, berdasarkan bunyi pasal ini menyatakan bahwa BOT tidak terutang pajak
BPHTB. Sedangkan PPh Final pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam
B. Saran
1. Sehubungan dalam peralihan hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT
pada hakekatnya owner memperoleh hak atas tanah dan bangunan, maka Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Daerah dan Retribusi Daerah tidak diatur secara tegas, walaupun dalam
pelaksanaannya terjadi pengalihan hak atas bangunan secara nyata pada saat BOT
berakhir yang potensi penerimaan dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan.
pengenaan saat terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB),
kepastian hukum saat terutang BPHTB dalam transaksi BOT, yang pada
gilirannya akan meningkatkan potensi penerimaan daerah dari Bea Perolehan Hak
3. Untuk menutupi kekosongan hukum pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan (BPHTB) atas transaksi BOT, hendaknya setiap Peraturan Daerah
pengalihan hak atas tanah dan bangunan dari investor ke owner tersebut, kecuali
BUKU-BUKU
Barata, Atep Adya. Panduan Lengkap Pajak Penghasilan. Jakarta: Visimedia. 2011.
Djuanda, Gustian. dan Irwansyah Lubis. Pelaporan Pajak Penghasilan. Edisi Revisi.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2002.
Faisal, Gatot S.M. How To Be A Smarter Taxpayer, Bagaimana Menjadi Wajib Pajak
Yang Lebih Cerdas. Jakarta: PT. Grasindo. 2009.
Fajar, Mukti, dan Yulianto Achmad. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2010.
Ismail, Tjip. Pengaturan Pajak Daerah Indonesia. Jakarta: Yellow Printing. 2007.
Judisseno, Rimsky K. Pajak dan Strategi Bisnis: Suatu Tinjauan tentang Kepastian
Hukum dan Penerapan Akuntansi di Indonesia, Edisi Revisi. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 1997.
Kamilah, Anita. Bangun Guna Serah (Build Operate And Transfer/BOT) Membangun
Tanpa Harus Memiliki Tanah (Perspektif Hukum Agraria, Hukum Perjanjian
Dan Hukum Publik). Bandung: Keni Media. 2012.
Kansil, C.S.T. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka. 2002.
Laksono, Fajar. Ed. Hukum Tak Kunjung Tegak: Tebaran Gagasan Otentik Prof. Dr.
Mahfud MD. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2007.
Lubis, Mhd. Yamin dan Abd. Rahim Lubis. Hukum Pendaftaran Tanah, Edisi Revisi.
Bandung: CV. Mandar Maju. 2010.
Marzuki, Pieter Mahmud. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group. 2009.
Muljono, Djoko. Panduan Brevet Pajak: Akuntansi Pajak dan Ketentuan Umum
Perpajakan. Yogyakarta: Penerbit Andi. 2010.
Nurachmad, Much. Buku Pintar Memahami dan Membuat Surat Perjanjian. Jakarta:
Visimedia. 2010.
Resmi, Siti. Perpajakan Teori dan Kasus. Jakarta: Salemba Empat. 2004.
Rosdiana, Haula. dan Edi Slamet Irianto. Panduan Lengkap Tata Cara Perpajakan di
Indonesia. Jakarta: Visimedia. 2011.
Rusjdi, Muhammad. PBB, BPHTB dan Bea Materai. Jakarta: PT indeks Kelompok
Gramedia. 2005.
Santoso, Budi. Aspek Hukum Pembiayaan Proyek Infrastruktur Model BOT (Build
Operate Transfer). Solo: Genta Press. 2008.
Siahaan, Marihot Pahala. Hukum Pajak Elementer. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2010.
___________________. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, Teori dan
Praktek. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 2003.
Soemitro, Rochmat. Pengantar Singkat Hukum Pajak. Bandung: PT. Eresco. 1992.
Sumardjono, Maria S. Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Jakarta: Penerbit Buku Kompas. 2009.
Wahid, Muchtar. Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah : Suatu Analisis
dengan Pendekatan Terpadu Secara Normatif dan Sosiologis. Cet. 1. Jakarta:
Republika. 2008.
Widodo, Joko. Good Governanve: Telaah dari Dimensi: Akuntabilitas dan Kontrol
Birokrasi Pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Surabaya: Penerbit
Insan Cendekia. 2001.
Adillah, Siti Ummu. Kontruksi Hukum Perjanjian Build Operate Tranfers (BOT)
Sebagai Alternate Pembiayaan Proyek, Jurnal Hukum, Vol. XIV No. I, April
2004.
Rosdiana, Haula. Perpajakan, Teori dan Kebijakan. Jakarta: Divisi Fiskal Fisip UI.
2004.
Warta Ekonomi, Majalah Ekonomi & Bisnis. Volume I. Issues 9-17. Jakarta: Obor
Sarana Utama. 1998.
INTERNET
Bina Jasa Konsultan Pajak, Pajak Penghasilan|Pengertian dan Tarif PPh Final,
http://binajasakonsultanpajak.blogspot.com/2012/11/pajak-penghasilan-
pengertian-dan-tarif.html, terakhir diakses 04 Mei 2014.
Direktorat Jenderal Pajak, Seri PPh - Pajak Penghasilan Atas Pengalihan Hak Atas
Tanah dan/atau Bangunan, http://www.pajak.go.id/content/seri-pph-pajak-
penghasilan-atas-pengalihan-hak-atas-tanah-danatau-bangunan, terakhir
diakses tanggal 10 Nopember 2014.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN