You are on page 1of 141

KAJIAN HUKUM PENGENAAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS

TANAH DAN BANGUNAN DAN PAJAK PENGHASILAN FINAL


PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DALAM
TRANSAKSI BOT (BUILT OPERATE AND TRANSFER)

Tesis

Oleh

DINA ARFINA
127011112/MKn.

MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2014

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK
Built, Operate and Transfer (BOT) adalah salah satu bentuk pembiayaan
proyek pembangunan yang mana investor harus menyediakan sendiri pendanaan
untuk proyek tersebut, juga menanggung pengadaan material, peralatan, jasa lain
yang dibutuhkan untuk kelengkapan proyek. Sebagai gantinya investor diberikan hak
untuk mengoperasikan dan mengambil manfaat ekonominya selama waktu tertentu.
Perjanjian kerjasama dengan sistem Built, Operate and Transfer (BOT) tersebut
terjadi bukan hanya antara pemerintah dengan swasta, akan tetapi bisa juga antara
non pemerintah dengan swasta. Perjanjian BOT antara pemerintah dengan swasta
tidak ada kendala dalam pengenaan BPHTB dan PPh Final Pengalihan Tanah dan
Bangunan, namun dalam perjanjian BOT antara non pemerintah dengan swasta
menemui kendala dalam pengenaan BPHTB dan PPh Final PHTB. Karena itu perlu
dikaji mengenai pengenaan BPHTB dan PPh Final pengalihan hak atas tanah dan
bangunan, kepastian saat terhutang mengenai BPHTB dan PPh Final pengalihan hak
atas tanah dan bangunan, serta kendala yuridis dalam pengenaan BPHTB dan PPh
Final pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT.
Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif yang
bersifat deskriptif analisis, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data
sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder dan tertier sebagai data utama. Data-
data yang diperoleh kemudian diolah, dianalisis dan ditafsirkan secara logis,
sistematis dengan menggunakan metode berpikir deduktif.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa pengenaan PPh Final pengalihan hak atas
tanah dan bangunan dalam transaksi BOT adalah penyerahan bangunan dari investor
kepada pemilik tanah, pemilik tanah dikenakan PPh PHTB sebesar 5% dari nilai
tertinggi antara NJOP bangunan/nilai Pasar bangunan. Sedangkan pengenaan BPHTB
pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT tidak diatur oleh UU
PDRD. Saat terhutang PPh Final pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam
transaksi BOT adalah pada saat sebagian bangunan yang diserahkan investor ke
pemilik tanah, pemilik tanah dikenakan PPh PHTB sebesar 5% dari nilai tertinggi
antara NJOP bangunan/nilai pasar bangunan yang diserahkan. Setelah jangka waktu
BOT berakhir, atas seluruh bangunan yang diserahkan dari investor ke pemilik tanah
dikenakan PPh PHTB sebesar 5% dari nilai tertinggi antara NJOP Bangunan/nilai
pasar bangunan yang diserahkan tersebut. Sedang saat terutang BPHTB pengalihan
hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT tidak ada kejelasan saat
terutangnya. Kendala yuridis dalam pengenaan BPHTB dan PPh Final pengalihan hak
atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT adalah dalam ketentuan Pasal 85 ayat
(1) dan ayat (2) UU PDRD tidak ada pengaturan tentang BOT sebagai objek pajak,
sedangkan PPh Final pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT
dikenakan pajak/terutang pajak, sebagaimana diatur dalam ketentuan Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 635/KMK.04/1994 sebagaimana diubah terakhir dengan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2008.
Kata Kunci : Bangun Guna Serah, BOT, Pajak, PPh, BPHTB.

Universitas Sumatera Utara


ABSTRACT

Built, Operate and Transfer (BOT) is the financing for a construction project
in which the investor should himself prepare the project financing. He should also be
responsible for preparing the materials, equipment, and other facilities which are
needed for the project equipment. The compensation is that he will be given the right
to operate and to benefit its economy in a certain time. Cooperative agreement by
using BOT system is not only between the government and private sector but also
between non-government and private sector. There is no obstacle in BOT agreement
between the government and private sector in levying BPHTB and Final PPh (income
tax) on land and building rights transfer, while obstacle in the same case is found in
BOT agreement between non-government and private sector; the obstacle is also
found in levying BPHTB and Final PPh on the land and building rights transfer in
BOT transaction.
The research used judicial normative and descriptive analytic approaches.
The data were gathered by using primary, secondary, and tertiary legal materials.
The gathered data were processed, analyzed, and interpreted logically,
systematically, and deductively.
The result of the research showed that levying Final PPh on land and building
rights transfer in BOT transaction is transferring buildings from an investor to the
land owner by levying PPh BPHTB 5% of the highest value between building
NJOP/market value. Meanwhile, levying BPHTB on land and building rights transfer
in BOT transaction is not regulated in PDRB law. Payable time of Final PPh on land
and building rights transfer in BOT transaction is when a part of the building is
transferred by the investor to the land owner by levying 5% of the highest value
between building NJOP/market value. When BOT ends, the whole building will be
transferred to the land owner although there is no certainty about the payable time
when BPHTB payable on the land and building rights transfer occurs. The judicial
obstacle is that there is no specific regulation on BOT transaction in Article 85,
paragraph 1 and paragraph 2 of PDRB law as taxable item in levying BPHTB and
Final PPh on land and building rights transfer, while Final PPh on land and building
rights transfer is levied tax payable as it is stipulated in the provision of the Decree of
the Minister of Finance No. 635/KMK.04/1994 as it is finally amended to the
Regulation of the Minister of Finance No. 243/PMK.03/2008.

Keywords: Transfer Use Building, BOT, Tax, PPh, BPHTB

Universitas Sumatera Utara


JUDICIAL ANALYSIS ON LEVYING LAND AND BUILDING RIGHTS
ACQUISITION TAX AND FINAL INCOME TAX ON LAND AND
BUILDING RIGHT TRANSFER IN BOT (BUILT OPERATE
AND TRANSFER)

THESIS

BY

DINA ARFINA
127011112/M.Kn

MAGISTER OF NOTARIAL AFFAIRS STUDY PROGRAM


FACULTY OF LAW
UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA
MEDAN
2014

Universitas Sumatera Utara


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas

karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini sebagai salah satu

persyaratan untuk memperolah gelar Magister Kenotariatan di Universitas Sumatera

Utara Medan. Dalam memenuhi tugas inilah maka penulis menyusun dan memilih

judul : Kajian Hukum Pengenaan BPHTB dan PPh Final Pengalihan Hak Atas

Tanah Dan Bangunan Dalam Transaksi BOT (Built Operate And Transfer).

Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan didalam penulisan

tesis ini, untuk itu dengan hati terbuka menerima saran dan kritik dari semua pihak,

agar dapat menjadi pedoman di masa yang akan datang.

Dalam penulisan dan penyusunan tesis ini, penulis mendapat bimbingan dan

pengarahan serta saran-saran dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan

ini penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang tidak ternilai harganya

secara khusus kepada Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum., selaku

Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS,

CN., serta Bapak Dr. Bastari, SE., MM., masing-masing selaku anggota komisi

pembimbing yang banyak memberi masukkan dan bimbingan kepada penulis selama

dalam penulisan tesis ini dan kepada Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN,

MHum., dan Bapak Dr. Dedi Harianto, SH, MHum., selaku dosen penguji yang

telah banyak memberikan kritikan, saran serta masukan dalam penulisan tesis ini.

Selanjutnya ucapan terimakasih yang tak terhingga saya sampaikan kepada :

Universitas Sumatera Utara


1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K).

selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, Mhum., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH., MS., CN., Selaku Ketua Program

Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH., CN., MHum., Selaku Sekretaris

Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara.

5. Bapak-Bapak dan Ibu-ibu Guru Besar dan Staf Pengajar dan juga para karyawan

Biro Administrasi pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

Secara khusus penulis menghaturkan terimakasih yang tak terhingga kepada

ayahanda Letkol (Purn) Dr. H. Wasfi Zainul dan Ibunda Hj. Harmiaty, yang telah

melahirkan, membesarkan dan mendidik ananda dengan penuh kasih sayang, serta

Suamiku H. Amar Subchan Indra, Amd, SS., atas segala pengorbanan dan

pengertiannya, serta anak-anakku tersayang Malikah Mazaya Indra dan Mahfuzah

Syafura Indra atas segala dorongan serta semangat yang telah diberikan kepada

penulis selama ini. Tak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada kakak penulis, dr.

Dewi Aryanti, dipl. CIDESCO, dan adik penulis, drg. Della Arfiza, yang banyak

memberikan dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan tesis ini.

Universitas Sumatera Utara


Ucapan terima kasih juga saya ucapkan kepada rekan-rekan seperjuangan,

Khususnya rekan-rekan Magister Kenotariatan Kelas Reguler Angkatan 2012,

Hujjatul Marwiyah, Ivo Fara Zara, SH, MKn., Suci Mulani, SH, MKn., Syafwatun

Nida, SH, MKn., Dini Novrina, Afriyani Pohan, Zaisika Khairunnisak, dan kawan-

kawan satu angkatan lain yang namanya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu

yang terus memberikan motivasi, semangat dan kerjasama dan diskusi, membantu

dan memberikan pemikiran kritik dan saran dari awal masuk di Program Studi

Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sampai saat

penulis selesai menyusun tesis ini.

Saya berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan

kepada penulis, mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa, agar

selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rejeki yang melimpah.

Akhirnya, semoga tesis ini dapat berguna bagi diri penulis dan juga bagi semua pihak

khususnya yang berkaitan dengan bidang kenotariatan.

Medan, Nopember 2014

(Dina Arfina)

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

Nama : Dina Arfina


Tempat/ Tanggal Lahir : Medan, 29 Januari 1978
Alamat : Jl. Karya Kasih Nomor 81, Gedung
Johor, Kota Medan
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 36 Tahun
Kewarganegaraan : Indonesia
Agama : Islam
Nama Bapak : Letkol (Purn) Dr. H. Wasfi Zainul
Nama Ibu : Hj. Harmiaty
Nama Suami : H. Amar Subchan Indra, Amd, SS.
Anak Kandung : Malikah Mazaya Indra
Mahfuzah Syafura Indra

II. PENDIDIKAN

Sekolah Dasar : SD Taman Harapan Medan (1984-


1990)

Sekolah Menengah Pertama : SLTPN 10 Medan (1990-1993)

Sekolah Menengah Atas : SMA Tunas Kartika I (1993-1996)

Universitas : 1. Sekolah Tinggi Bahasa Asing


Harapan Medan (1996-2001)

2. S1 Fakultas Hukum Universitas


Islam

Sumatera Utara (UISU) Medan

Universitas Sumatera Utara


(1996-2002)

Universitas : S2 Magister Kenotariatan Fakultas


Hukum Universitas Sumatera Utara

(2012-2014)

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISI

ABSTRAK --------------------------------------------------------------------------------------- i

DAFTAR ISI ------------------------------------------------------------------------------------ ii

BAB I PENDAHULUAN --------------------------------------------------------------------- 1

A. Latar Belakang ----------------------------------------------------------------------- 1

B. Permasalahan ---------------------------------------------------------------------- 10

C. Tujuan Penelitian ------------------------------------------------------------------ 11

D. Manfaat Penelitian ---------------------------------------------------------------- 11

E. Keaslian Penelitian ---------------------------------------------------------------- 12

F. Kerangka Teori dan Konsepsi --------------------------------------------------- 14

1. Kerangka Teori --------------------------------------------------------------- 14

2. Konsepsi ----------------------------------------------------------------------- 16

G. Metode Penelitian ----------------------------------------------------------------- 19

1. Sifat dan Jenis Penelitian ---------------------------------------------------- 19

2. Sumber Data/ Bahan Hukum ----------------------------------------------- 20

3. Teknik Pengumpulan Data -------------------------------------------------- 22

4. Analisis Data ----------------------------------------------------------------- 23

BAB II BPHTB DAN PPH FINAL PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN
BANGUNAN DALAM TRANSAKSI BOT (BUILT OPERATE AND
TRANSFER) ------------------------------------------------------------------------- 24

A. Pengertian BOT (Built Operate And Transfer) ----------------------------- 24

B. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) ---------------- 32

Universitas Sumatera Utara


1. Dasar Hukum BPHTB ---------------------------------------------------- 32

2. Definisi BPHTB ----------------------------------------------------------- 33

3. Subjek BPHTB ------------------------------------------------------------- 34

4. Objek BPHTB -------------------------------------------------------------- 35

5. Objek Pajak Yang Tidak Dikenakan BPHTB -------------------------- 38

6. Perhitungan BPHTB ------------------------------------------------------- 39

C. PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan -------------------- 48

1. Dasar Hukum PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan 48

2. Prinsip Pemajakan Menurut UU PPh ----------------------------------- 48

3. Penggolongan PPh Final -------------------------------------------------- 51

4. Subjek Pajak ---------------------------------------------------------------- 52

5. Objek Pajak ----------------------------------------------------------------- 56

6. Penghitungan PPh Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan ----- 66

D. Pengenaan BPHTB dan PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah dan
Bangunan Dalam Transaksi BOT -------------------------------------------- 67
1. Perlakuan Perpajakan Atas Transaksi BOT ---------------------------- 67

2. PPh Final PHTB Dalam Transaksi BOT -------------------------------- 70

3. BPHTB Dalam Transaksi BOT ------------------------------------------ 76

BAB III KEPASTIAN SAAT TERHUTANG BPHTB DAN PPH FINAL


PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DALAM
TRANSAKSI BOT (BUILT OPERATE AND TRANSFER) -------------- 77

A. Saat Terutang Pajak Dalam Perpajakan ------------------------------------- 77

Universitas Sumatera Utara


B. Saat Terhutang BPHTB Dalam Transaksi BOT (Built Operate And
Transfer) ------------------------------------------------------------------------- 82

C. Saat Terhutang PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah Dan Bangunan
Dalam Transaksi BOT (Built Operate And Transfer) --------------------- 84

BAB IV KENDALA YURIDIS DALAM PENGENAAN BPHTB DAN PPH


FINAL PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN
DALAM TRANSAKSI BOT (BUILT OPERATE AND TRANSFER) -- 94

A. Kepastian Hukum -------------------------------------------------------------- 94

B. Asas Kepastian Hukum Dalam Perpajakan --------------------------------- 97

C. Ketentuan Tentang PPh PHTB dan BPHTB Dalam BOT --------------- 107

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN -------------------------------------------------- 112

A. Kesimpulan -------------------------------------------------------------------- 112

B. Saran ---------------------------------------------------------------------------- 113

DAFTAR PUSTAKA ----------------------------------------------------------------------- 115

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR ISTILAH

Advalorum : tarif dengan % tertentu yang dikenakan pada


harga atau nilai suatu barang

Ambiguous : penafsiran yang berbeda

Amortisasi : pengurangan pajak

Arrest Hooggerechtshof : yurisprudensi Mahkamah Agung

BOT Agreement : perjanjian bangun guna serah

Built : pembangunan

Certainty : kepastian

Comprehensive income taxation : skedul tarif diterapkan atas kategori


penghasilan tertentu

Consolidation : peleburan usaha

Contract break : wanprestasi

Deemed profit : wajib pajak yang menggunakan norma


penghitungan khusus

Degresif : tarif menurun

Efficiency : efisiensi

Expantion : pemekaran usaha

Fee : imbalan atas jasa tertentu

Field research : penelitian lapangan

Fiskus : pemungut pajak

Formele leer : ajaran formal

Universitas Sumatera Utara


Global taxation : prinsip pemajakan atas penghasilan
digabungkan tanpa membedakan asal, sumber,
dan jenis

Hierarki : tata urutan

Independent agent : perantara yang mempunyai kedudukan bebas

Inbreng : penyetoran modal saham dalam bentuk tanah


dan atau bangunan

Investor : penyandang dana

Juncto : dihubungkan/dikaitkan

Legal order : tata hukum

Library research : penelitian kepustakaan

Likuidasi : pembubaran badan hukum

Materiele leer : ajaran materil

Merger : penggabungan usaha

Official Assesment : perhitungan pajak oleh instansi pemerintah

Operate : pengoperasian

Order : tata aturan

Owner : pemilik tanah

Place of business : tempat usaha

Preferent : hak mendahului

Progresif : tarif meningkat

Proporsional : sebanding

Restitusi : pengembalian pajak

Universitas Sumatera Utara


Rule : aturan tunggal

Rules : seperangkat aturan

Schedular tax system : pengenaan PPh atas jenis dan sumber


penghasilan tertentu, perlakuan pajak berbeda-
beda berdasarkan asal, sumber, dan jenis
penghasilan

Self Assesment : perhitungan pajak oleh wajib pajak sendiri

Spirit : semangat

Staatblad : Lembaran Negara, peraturan dan ketentuan


pada masa kolonial Belanda

Take over : pengambilalihan usaha

Tax Law : Undang-undang perpajakan

Tax reform : reformasi perpajakan

Tax reliefs : pengurangan pajak

Transfer : penyerahan kembali

Transparency : transparansi

Unitary tax system : skedul tarif diterapkan atas seluruh tanggungan


penghasilan

Wording : kata dan kalimat

Worldwide income : penghasilan yang diterima atau diperolehnya


baik dari Indonesia maupun dari Luar Negeri

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR SINGKATAN

APBD : Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah


APBN : Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional
BOT : Built Operate and Transfer
BM : Bea Meterai
BPHTB : Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
BUMD : Badan Usaha Milik Daerah
BUMN : Badan Usaha Milik Negara
BUT : Bentuk Usaha Tetap
BW : Burgerlijk Wetboek
Dirjen : Direktur Jenderal
DJP : Direktorat Jenderal Pajak
Dispenda : Dinas Pendapatan Daerah
DPP : Dasar Pengenaan Pajak
HIR : Herziene Inlandsch Reglement
Hlm. : Halaman
JBNPHTB : Jumlah Bruto Nilai Pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan
KMK : Keputusan Menteri Keuangan
HGB : Hak Guna Bangunan
HGU : Hak Guna Usaha
HMSRS : Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
HPL : Hak Pengelolaan
HT : Harga Transaksi
KTP : Kartu Tanda Penduduk
KUHD : Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
KUHPerdata : Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
No. : Nomor
NJOP : Nilai Jual Objek Pajak

Universitas Sumatera Utara


NJOP TB : Nilai Jual Objek Pajak Tanah dan Bangunan
NP : Nilai Pasar
NPOP : Nilai Perolehan Objek Pajak
NPOPKP : Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak
NPOPTKP : Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak
NPWP : Nomor Pokok Wajib Pajak
OP : Objek Pajak
PBB : Pajak Bumi dan Bangunan
PMK : Peraturan Menteri Keuangan
PN : Pengadilan Negeri
PNBP : Penerimaan Negara Bukan Pajak
PP : Peraturan Pemerintah
PPh : Pajak Penghasilan
PPh PHTB : Pajak Penghasilan Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan
Ps. : Pasal
PT : Perseroan Terbatas
Rbg. : Reglement Buitengewesten
RS : Rumah Sederhana
RSS : Rumah Susun Sederhana
RI : Republik Indonesia
Rp. : Rupiah
RV : Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering
SE : Surat Edaran
SK : Surat Keputusan
SKP : Surat Ketetapan Pajak
SKPD : Surat Ketetapan Pajak Daerah
SKPDKB : Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar
SKPDKBT : Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan
SKPKB : Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar

Universitas Sumatera Utara


SKPKBT : Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
SPPT : Surat Pemberitahuan Pajak Terutang
SPTPD : Surat Pemberitahuan Pajak Daerah
STP : Surat Tagihan Pajak
Stb. : Staatsblad
UU : Undang-Undang
UUPA : Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria
UU PDRD : Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah
UUPPh : Undang-Undang Pajak Penghasilan
WP : Wajib Pajak

Universitas Sumatera Utara


ABSTRAK
Built, Operate and Transfer (BOT) adalah salah satu bentuk pembiayaan
proyek pembangunan yang mana investor harus menyediakan sendiri pendanaan
untuk proyek tersebut, juga menanggung pengadaan material, peralatan, jasa lain
yang dibutuhkan untuk kelengkapan proyek. Sebagai gantinya investor diberikan hak
untuk mengoperasikan dan mengambil manfaat ekonominya selama waktu tertentu.
Perjanjian kerjasama dengan sistem Built, Operate and Transfer (BOT) tersebut
terjadi bukan hanya antara pemerintah dengan swasta, akan tetapi bisa juga antara
non pemerintah dengan swasta. Perjanjian BOT antara pemerintah dengan swasta
tidak ada kendala dalam pengenaan BPHTB dan PPh Final Pengalihan Tanah dan
Bangunan, namun dalam perjanjian BOT antara non pemerintah dengan swasta
menemui kendala dalam pengenaan BPHTB dan PPh Final PHTB. Karena itu perlu
dikaji mengenai pengenaan BPHTB dan PPh Final pengalihan hak atas tanah dan
bangunan, kepastian saat terhutang mengenai BPHTB dan PPh Final pengalihan hak
atas tanah dan bangunan, serta kendala yuridis dalam pengenaan BPHTB dan PPh
Final pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT.
Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif yang
bersifat deskriptif analisis, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data
sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder dan tertier sebagai data utama. Data-
data yang diperoleh kemudian diolah, dianalisis dan ditafsirkan secara logis,
sistematis dengan menggunakan metode berpikir deduktif.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa pengenaan PPh Final pengalihan hak atas
tanah dan bangunan dalam transaksi BOT adalah penyerahan bangunan dari investor
kepada pemilik tanah, pemilik tanah dikenakan PPh PHTB sebesar 5% dari nilai
tertinggi antara NJOP bangunan/nilai Pasar bangunan. Sedangkan pengenaan BPHTB
pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT tidak diatur oleh UU
PDRD. Saat terhutang PPh Final pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam
transaksi BOT adalah pada saat sebagian bangunan yang diserahkan investor ke
pemilik tanah, pemilik tanah dikenakan PPh PHTB sebesar 5% dari nilai tertinggi
antara NJOP bangunan/nilai pasar bangunan yang diserahkan. Setelah jangka waktu
BOT berakhir, atas seluruh bangunan yang diserahkan dari investor ke pemilik tanah
dikenakan PPh PHTB sebesar 5% dari nilai tertinggi antara NJOP Bangunan/nilai
pasar bangunan yang diserahkan tersebut. Sedang saat terutang BPHTB pengalihan
hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT tidak ada kejelasan saat
terutangnya. Kendala yuridis dalam pengenaan BPHTB dan PPh Final pengalihan hak
atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT adalah dalam ketentuan Pasal 85 ayat
(1) dan ayat (2) UU PDRD tidak ada pengaturan tentang BOT sebagai objek pajak,
sedangkan PPh Final pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT
dikenakan pajak/terutang pajak, sebagaimana diatur dalam ketentuan Keputusan
Menteri Keuangan Nomor 635/KMK.04/1994 sebagaimana diubah terakhir dengan
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2008.
Kata Kunci : Bangun Guna Serah, BOT, Pajak, PPh, BPHTB.

Universitas Sumatera Utara


ABSTRACT

Built, Operate and Transfer (BOT) is the financing for a construction project
in which the investor should himself prepare the project financing. He should also be
responsible for preparing the materials, equipment, and other facilities which are
needed for the project equipment. The compensation is that he will be given the right
to operate and to benefit its economy in a certain time. Cooperative agreement by
using BOT system is not only between the government and private sector but also
between non-government and private sector. There is no obstacle in BOT agreement
between the government and private sector in levying BPHTB and Final PPh (income
tax) on land and building rights transfer, while obstacle in the same case is found in
BOT agreement between non-government and private sector; the obstacle is also
found in levying BPHTB and Final PPh on the land and building rights transfer in
BOT transaction.
The research used judicial normative and descriptive analytic approaches.
The data were gathered by using primary, secondary, and tertiary legal materials.
The gathered data were processed, analyzed, and interpreted logically,
systematically, and deductively.
The result of the research showed that levying Final PPh on land and building
rights transfer in BOT transaction is transferring buildings from an investor to the
land owner by levying PPh BPHTB 5% of the highest value between building
NJOP/market value. Meanwhile, levying BPHTB on land and building rights transfer
in BOT transaction is not regulated in PDRB law. Payable time of Final PPh on land
and building rights transfer in BOT transaction is when a part of the building is
transferred by the investor to the land owner by levying 5% of the highest value
between building NJOP/market value. When BOT ends, the whole building will be
transferred to the land owner although there is no certainty about the payable time
when BPHTB payable on the land and building rights transfer occurs. The judicial
obstacle is that there is no specific regulation on BOT transaction in Article 85,
paragraph 1 and paragraph 2 of PDRB law as taxable item in levying BPHTB and
Final PPh on land and building rights transfer, while Final PPh on land and building
rights transfer is levied tax payable as it is stipulated in the provision of the Decree of
the Minister of Finance No. 635/KMK.04/1994 as it is finally amended to the
Regulation of the Minister of Finance No. 243/PMK.03/2008.

Keywords: Transfer Use Building, BOT, Tax, PPh, BPHTB

Universitas Sumatera Utara


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan Nasional adalah kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat

bersama-sama dengan pemerintah, yang berlangsung terus menerus dan

berkesinambungan, yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat baik

material maupun spiritual. Untuk merealisasikannya diperlukan biaya yang besar

yang harus digali terutama dari dalam negeri berupa pajak. Hal ini menempatkan

perpajakan sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan dalam kegotong-

royongan nasional sebagai peran serta masyarakat dalam membiayai pembangunan. 1

Beberapa fungsi penting pajak, antara lain adalah untuk membiayai

pengeluaran-pengeluaran negara, pembiayaan kepentingan umum, seperti

pembangunan gedung-gedung sekolah, jembatan, jalan umum dan berbagai fasilitas

lainnya yang sering kali digunakan oleh masyarakat. Pada dasarnya pajak digunakan

untuk membiayai pengeluaran umum pemerintah dalam menjalankan pemerintahan. 2

Peningkatan pendapatan negara terutama dalam sektor pajak, memberikan

sumbangan positif dalam keuangan negara. 3 Di sisi lain pajak bukan hanya berfungsi

1
Rimsky K. Judisseno, Pajak dan Strategi Bisnis: Suatu Tinjauan tentang Kepastian Hukum
dan Penerapan Akuntansi di Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997),
hlm.7.
2
Safri Nurmantu, Pengantar Perpajakan, Edisi 3, (Jakarta: Granit, 2005), hlm.21.
3
Budi Rahardjo dan Djaka Saranta S. Edhy, Dasar-dasar Perpajakan Bagi Bendaharawan
sebagai Pedoman Pelaksanaan Pemungutan/Pemotongan dan Penyetoran/Pelaporan, (Jakarta: CV.
Eko Jaya, 2003), hlm.1.

Universitas Sumatera Utara


untuk memasukkan uang ke kas negara, tetapi juga merupakan wujud partisipasi

masyarakat dalam pembangunan dengan memenuhi kewajiban kenegaraan dalam

upaya peningkatan kemandirian bangsa dalam pelaksanaan pembangunan nasional. 4

Pajak merupakan bagian penting dan tidak dapat dipisahkan dengan hukum. Dengan

demikian dalam pembangunan nasional khususnya pembangunan hukum di bidang

administrasi negara, hukum pajak merupakan sarana yang penting dalam kerangka

menunjang pemasukan pajak ke kas negara dan menunjang peningkatan pertumbuhan

pembangunan ekonomi dan sosial. 5

Sejalan dengan otonomi daerah, kebijakan desentralisasi telah memberikan

wewenang yang lebih banyak kepada pemerintah daerah untuk mengatur daerahnya

secara otonom, dengan cara mendelegasikan tanggung jawab yang besar kepada

pejabat tingkat lokal untuk merancang proyek pembangunan agar sesuai dengan

kebutuhan masyarakat setempat. 6 Salah satu komponen utama pelaksanaan

desentralisasi dalam otonomi daerah adalah desentralisasi fiskal (pembiayaan

otonomi daerah). 7 Untuk itu semangat desentralisasi, demokratisasi, transparansi dan

akuntabilitas menjadi sangat dominan dalam mewarnai proses penyelenggaraan

pemerintahan pada umumnya dan proses pengelolaan keuangan daerah khususnya. 8

4
Syofrin Syofyan dan Asyhar Hidayat, Hukum Pajak dan Permasalahannya, (Bandung:
Refika Aditama, 2004), hlm.21.
5
Marihot Pahala Siahaan (a), Hukum Pajak Elementer, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010),
hlm.8.
6
Joko Widodo, Good Governanve: Telaah dari Dimensi: Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi
Pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah, (Surabaya: Penerbit Insan Cendekia, 2001), hlm.43.
7
Tjip Ismail, Pengaturan Pajak Daerah Indonesia, (Jakarta: Yellow Printing, 2007), hlm.12.
8
Dedy Supriady Bratakusumah, dan Dadang Solihin, Otonomi Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm.206.

Universitas Sumatera Utara


Menurut lembaga pemungutnya, pajak dikelompokkan menjadi dua yaitu

Pajak Pusat dan Pajak Daerah. 9 Pajak Pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh

pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara, yang terdiri

dari Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang

Mewah, dan Bea Materai. Sedangkan Pajak Daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh

pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Pajak

daerah terdiri atas Pajak Propinsi dan Pajak Kabupaten/Kota. Pajak Propinsi, seperti

Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, Bea Balik

Nama Kendaraan Bermotor, Pajak Air Permukaan, dan Pajak Rokok. Sedangkan

Pajak Kabupaten/Kota, seperti Pajak Hotel, Pajak restoran, Pajak Hiburan, Pajak

Penerangan Jalan, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Bumi dan

Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, 10 sedangkan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan

Bangunan (BPHTB) belakangan masuk menjadi pajak daerah.

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dilimpahkan

pemungutannya dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah sehingga

dinamakan Pajak Daerah, sebagaimana diatur dalam Pasal 85 sampai dengan pasal 93

Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

(Undang-Undang Pajak Daerah). Pelaksanaan pelimpahan BPHTB menjadi Pajak

Daerah lebih cepat dibandingkan pelimpahan PBB Perdesaan dan Perkotaan, dimana

peraturan tentang tahapan persiapan pengalihan dilakukan oleh Menteri Keuangan

9
Tony Marsyahrul, Pengantar Perpajakan, (Jakarta: PT. Grasindo, 2006), hlm.5.
10
Supramono, dan Theresia Woro Damayanti, Perpajakan Indonesia-Mekanisme dan
Perhitungan, (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2010), hlm.6.

Universitas Sumatera Utara


bersama-sama dengan Menteri Dalam Negeri dalam waktu paling lama 1(satu) tahun

sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah tertanggal 1 Januari 2010, sehingga paling lambat tanggal 31

Desember 2010 merupakan batas akhir persiapan pengalihan BPHTB sebagai pajak

daerah. Maka sejak tanggal 1 Januari 2011 pemungutan BPHTB sudah dilakukan

oleh Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota. 11

Dalam pengalihan tanah dan bangunan ada beberapa pajak yang dikenakan

antara lain BPHTB dan PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan (PPh F

PHTB). BPHTB merupakan pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan

bangunan di Indonesia sehingga segala pungutan yang ada kaitannya dengan

perolehan hak (kecuali biaya resmi yang berkaitan dengan pembuatan akta dan

pendaftaran hak atas tanah dan bangunan yang telah ditetapkan sesuai dengan

ketentuan yang berlaku) tidak boleh dilakukan oleh pihak manapun di luar ketentuan

Undang-undang BPHTB. 12 BPHTB merupakan pajak yang dikenakan/dipungut oleh

Pemerintah terhadap orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan

bangunan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. 13

Secara umum, penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau

badan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut maka wajib dibayar

11
Eddy Wahyudi, http://eddiwahyudi.com/2010/12/31/mulai-1-januari-2011-bphtb-telah-
resmi-menjadi-pajak-daerah/, terakhir diakses tanggal 04 Mei 2014
12
Muhammad Rusjdi, PBB, BPHTB dan Bea Materai, (Jakarta: PT indeks Kelompok
Gramedia, 2005), hlm.127.
13
Marihot Pahala Siahaan (b), Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, Teori
danPraktek, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003), hlm.7.

Universitas Sumatera Utara


pajak penghasilan (PPh). 14 Cara pengenaan Pajak Penghasilan atas penghasilan yang

objek pajak dilakukan dengan dua cara. Pertama, dikenakan PPh secara umum

dengan menggunakan tarif umum (tarif Pasal 17 UU PPh) dan pengenaannya melalui

mekanisme SPT Tahunan. Kedua, dikenakan PPh secara final, seperti Pajak

Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah/Bangunan (PPh PHTB).

Objek PPh adalah penghasilan yang diperoleh dari pengalihan harta berupa

hak atas tanah dan bangunan, ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf d Undang-Undang

Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan (UU PPh), berbunyi:

(1) Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang
berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk
konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan,
dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk:
d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
1. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan,
dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
2. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham,
sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan
badan lainnya;
3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,
pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama
dan dalam bentuk apa pun;
4. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau
sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam
garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan
pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang
pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya
diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang
tidak
5. ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan
14
Erly Suandy, Perencanaan Pajak, Edisi 4, (Jakarta: Salemba Empat, 2008), hlm.117.

Universitas Sumatera Utara


6. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh
hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau
permodalan dalam perusahaan pertambangan;

Sedangkan objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan

(Pasal 85 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah). Peralihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah suatu

perbuatan hukum yang dikuatkan dengan akta otentik yang mengakibatkan beralihnya

pemegang hak atas tanah kepada pihak lain. 15

Seluruh transaksi pengalihan hak atas tanah pada dasarnya dikenakan PPh F

PHTB kecuali bila memenuhi persyaratan yang dapat dibebaskan PPh seperti yang

diatur dalam Peraturan Dirjen Nomor 30 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemberian

Pengecualian Pembayaran Kewajiban atau Pemungutan PPh atas Penghasilan dari

Pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan.

BOT hanya sebuah skema atau konsep yang umum sifatnya, maka konsep

BOT tidak hanya dapat digunakan untuk proyek pemerintah saja, tetapi juga dapat

digunakan untuk proyek swasta, artinya pihak yang terlibat antara individu dengan

individu atau swasta dengan swasta. Misalnya penduduk asli memiliki tanah, tetapi

tidak memiliki cukup dana untuk mendirikan bangunan komersial, maka dapat

melakukan pola kerja sama pendirian bangunan hotel/penginapan di atas tanah

penduduk melalui perjanjian Bangun Guna Serah (Built Operate and Transfer/BOT),

yaitu bentuk kerjasama yang dilakukan antara pemegang hak atas tanah dengan

15
Mhd. Yamin Lubis, dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, Edisi Revisi,
(Bandung: CV. Mandar Maju, 2010), hlm.276.

Universitas Sumatera Utara


investor, di mana pihak investor diberikan hak untuk mendirikan bangunan selama

masa perjanjian Bangun Guna Serah (Built Operate and Transfer/BOT), dan

mengalihkan kepemilikan bangunan tersebut kepada pemegang hak atas tanah setelah

masa Bangun Guna Serah berakhir. 16

Merujuk pada definisi perjanjian Bangun Guna Serah (Built Operate and

Transfer/BOT), maka BOT memiliki unsur-unsur sebagai berikut: 17

1. Adanya para pihak, yaitu pihak investor yang menyediakan dana untuk
membangun fisik proyek tersebut, dan pihak pemilik tanah/lahan yaitu
masyarakat/swasta yang memiliki lahan strategis. Demikian juga pemerintah
sebagai pemilik hak eksklusif atau pemegang hak pengelolaan atau juga hak
ulayat;
2. Adanya objek yang diperjanjikan dalam perjanjian BOT, yaitu lahan atau
beserta bangunannya;
3. Investor dalam jangka waktu tertentu diberi hak kelola atas bangunan yang
dibangun untuk mengambil manfaat ekonominya dengan pola bagi hasil,
royalty, atau kompensasi dengan harapan modal yang telah diinvestasikan
dapat kembali atau bahkan menguntungkan;
4. Setelah waktu kelola tersebut berakhir, investor mengembalikan bangunan
beserta fasilitas-fasilitas yang melekat pada bangunan tersebut kepada
pemilik lahan atau pemerintah sebagai pemilik hak eksklusif atau pemegang
hak pengelolaan.

Dalam transaksi BOT, pihak yang satu menyerahkan penggunaan tanah

miliknya untuk di atasnya didirikan suatu bangunan komersial oleh pihak kedua

(investor), dan pihak kedua tersebut berhak mengoperasikan atau mengelola

bangunan komersial untuk jangka waktu tertentu dengan memberikan fee (atau tanpa

fee) kepada pemilik tanah (owner), dan pihak kedua wajib mengembalikan tanah

16
Anita Kamilah, Bangun Guna Serah (Build Operate And Transfer/BOT) Membangun
Tanpa Harus Memiliki Tanah (Perspektif Hukum Agraria, Hukum Perjanjian Dan Hukum Publik),
(Bandung: Keni Media, 2012), hlm.6.
17
Ibid., hlm.7.

Universitas Sumatera Utara


beserta bangunan komersial di atasnya dalam keadaan dapat dan siap

dioperasionalkan kepada pemilik tanah (owner) setelah jangka waktu operasional

tersebut berakhir. 18

Metode pembiayaan suatu proyek dalam transaksi BOT termasuk segala

sesuatu yang berhubungan dengan pembangunan proyek tersebut yaitu studi

kelayakan, pengadaan barang dan peralatan, pembiayaan, pembangunan, pemasaran,

pengoperasian dan pemeliharaan proyek yang diserahkan kepada pihak kontraktor

untuk melakukannya. Pihak investor akan mendapatkan pengembalian investasi yang

ditanamkannya melalui pengoperasian proyek tersebut untuk jangka waktu tertentu.

Aset proyek tersebut setelah jangka waktu pengoperasian berakhir akan dialihkan

kepada pihak owner sebagai pemegang hak atas aset tersebut. 19

Keuntungan terbesar dari BOT bagi owner adalah memindahkan risiko kepada

investor, dalam pembangunan fasilitas infrastruktur tersebut. Pada akhir masa

konsesi, owner akan mewarisi hasil dari proyek yang telah terbukti dapat

dioperasionalkan dengan baik.

Di Kota Medan ada beberapa pembangunan proyek dengan menggunakan

kerjasama BOT ini, misalnya pembangunan Plaza Medan Fair di Jalan Gatot Subroto,

Ramayana Teladan di Jalan Sisingamangaraja Eks Terminal Taksi Teladan, The City

18
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Naskah Akademis Peraturan perundang-undangan
tentang Perjanjian BOT, (Jakarta: BHPN, 1997), hlm.9.
19
Siti Ummu Adillah, Kontruksi Hukum Perjanjian Build Operate Tranfers (BOT) Sebagai
Alternate Pembiayaan Proyek, Jurnal Hukum, Vol. XIV No. I, April 2004, hlm.125.

Universitas Sumatera Utara


Hall di Jalan Balaikota, gedung Trade Centre Medan di Jalan Gatot Subroto, dan

Pasar Petisah. 20

Dalam transaksi BOT, antara owner/pemilik tanah (swasta) dengan investor

(swasta) atas pengalihan bangunan dari investor kepada owner, owner dikenakan PPh

Final Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (PPh F PHTB).

Menurut Keputusan Menteri Keuangan Nomor 248/KMK.04/1995 tanggal 2

Juni 1995 jo. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-38/PJ.4/1995 tanggal

14 Juli 1995, bahwa:

Pembayaran pajak penghasilan (PPh) sebesar 5% yang dilakukan oleh


pemegang hak atas tanah atas penyerahan bangunan yang dilakukan oleh
investor bagi orang pribadi bersifat final dan bagi wajib pajak badan adalah
merupakan pembayaran pajak penghasilan Pasal 25 yang dapat diperhitungkan
dengan pajak penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan.
Hanya saja dikecualikan dari pengenaan pajak penghasilan sebesar 5% tersebut
diatas apabila pemegang hak atas tanah adalah badan pemerintah.

Berdasarkan ketentuan Keputusan Menteri Keuangan Nomor

248/KMK.04/1995 Perlakuan Pajak Penghasilan Terhadap Pihak-Pihak Yang

Melakukan Kerjasama Dalam Bentuk Perjanjian Bangun Guna Serah (Built Operate

And Transfer) jo. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-38/PJ.4/1995

tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Sehubungan Dengan

Perjanjian Bangun Guna Serah (Seri PPh Umum Nomor 17) tersebut maka kewajiban

pajak penghasilan bagi investor berlaku ketika proyek BOT tersebut telah selesai

dilaksanakan dan beroperasi serta pendapatan yang diperoleh investor apabila masa

20
Pemko Medan Bakal Tinjau Kembali Royalti BOT, http://www.pemkomedan.go.id/news_
detail.php?id=11674, terakhir diakses tanggal 28 April 2014

Universitas Sumatera Utara


perjanjian BOT diperpendek dari masa yang telah ditentukan, sedangkan kewajiban

pajak penghasilan bagi pemilik tanah (owner) berlaku ketika masa perjanjian BOT

berakhir dan bangunan diserahkan pihak investor kepada pemegang hak atas tanah

(owner).

Mengenai kewajiban pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan

Bangunan (BPHTB) dalam perjanjian kerjasama BOT tidak diatur secara jelas dan

tegas sebagai objek pajak dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009

tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD). Tidak jelasnya pengaturan

objek BPHTB ini menimbulkan perbedaan persepsi antara wajib pajak maupun

instansi pemerintah misalnya Dispenda mengenai pengenaan BPHTB terkait

perubahan status tanah akibat adanya transaksi BOT.

Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, perlu suatu penelitian lebih lanjut

mengenai pengenaan BPHTB dan PPh dalam kegiatan BOT yang akan dituangkan ke

dalam judul tesis Kajian Hukum Pengenaan BPHTB dan PPh Final Pengalihan Hak

Atas Tanah Dan Bangunan Dalam Transaksi BOT (Built Operate And Transfer).

B. Permasalahan

Adapun permasalahan yang akan diteliti lebih lanjut dalam tesis ini adalah:

1. Bagaimana pengenaan BPHTB dan PPh Final pengalihan hak atas tanah dan

bangunan dalam transaksi BOT (Built Operate And Transfer)?

2. Bagaimana kepastian saat terhutang mengenai BPHTB dan PPh Final pengalihan

hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT?

Universitas Sumatera Utara


3. Apa kendala yuridis dalam pengenaan BPHTB dan PPh Final pengalihan hak atas

tanah dan bangunan dalam transaksi BOT?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukan di atas maka tujuan yang

hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengenaan BPHTB dan PPh Final

pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT (Built Operate And

Transfer).

2. Untuk mengetahui dan menganalisis kepastian saat terhutang mengenai BPHTB

dan PPh Final pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis kendala yuridis dalam pengenaan BPHTB

dan PPh Final pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT.

D. Manfaat Penelitian

Tujuan Penelitian dan manfaat penelitian merupakan satu rangkaian yang

hendak dicapai bersama, dengan demikian dari penelitian ini diharapkan dapat

memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Secara teoritis, diharapkan penelitian ini dapat menambah bahan pustaka/ literatur

mengenai masalah pengenaan BPHTB dan PPh Final pengalihan hak atas tanah

dan bangunan dalam transaksi BOT, selain itu penelitian ini diharapkan juga

dapat menjadi dasar bagi penelitian pada bidang yang sama.

Universitas Sumatera Utara


2. Secara praktis, dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

pemikiran bagi pihak-pihak yang terkait dengan masalah pengenaan BPHTB dan

PPh Final pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi yang ada dan sepanjang penelusuran kepustakaan yang

ada dilingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Magister

Kenotariatan dan Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Medan, belum

ada penelitian sebelumnya yang berjudul Kajian Hukum Pengenaan BPHTB dan

PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Dalam Transaksi BOT (Built

Operate And Transfer). Akan tetapi ada beberapa penelitian yang menyangkut

masalah kegiatan BOT (Built Operate And Transfer), antara lain penelitian yang

dilakukan oleh :

1. Soleh (NIM. B4B008237), Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro

Semarang, 2010, dengan judul penelitian Pelaksanaan Pembangunan Fasilitas

Umum Dengan Kontrak Bangun Serah Guna/ Build Operate Transfer (BOT) di

Pemerintah Daerah Kabupaten Pekalongan, dengan permasalahan yang diteliti

adalah:

a. Bagaimana pelaksanaan perjanjian Bangun Serah Guna/ Build Operate and

Transfer (BOT) di Pemerintah Daerah Kabupaten Pekalongan sebelum dan

sesudah keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang

Universitas Sumatera Utara


Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor

50 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Daerah?

b. Hambatan apa yang timbul dalam pelaksanaan pembangunan fasilitas umum

dengan Kotrak Bangun Serah Guna/ Build Operate and Transfer (BOT) di

Pemerintah Daerah Kabupaten Pekalongan?

2. Saudara Amir Faisal Shabuddin Lubis, (NIM. 037011005), Magister Kenotariatan

Universitas Sumatera Utara, 2006, dengan judul penelitian Penerapan Build

Operate Transfer (BOT) Dalam Investasi Oleh Pemerintah Kota Medan, dengan

permasalahan yang diteliti adalah:

a. Bagaimana pengaturan BOT di Indonesia?

b. Apakah pada setiap jenis hak atas tanah dapat didirikan bangunan dan

investasi pranata BOT?

c. Bagaimana penerapan kontrak BOT oleh pemerintah kota Medan dalam

rangka investasi?

Permasalahan-permasalahan yang dibahas dalam penelitian-penelitian tersebut

berbeda dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Dengan

demikian penelitian ini adalah asli baik dari segi substansi maupun dari

permasalahan, sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademik

keasliannya.

Universitas Sumatera Utara


F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis,

teori adalah untuk menerangkan dan menjelaskan gejala spesifik untuk proses tertentu

terjadi. 21 Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya

mendudukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan didalam kerangka teoritis

yang relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut.

Teori yang digunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian ini adalah teori

kepastian hukum oleh Roscoe Pound, yang mengatakan bahwa dengan adanya

kepastian hukum memungkinkan adanya Predictability. 22 Sedangkan Van Kant

mengatakan bahwa hukum bertujuan menjaga kepentingan tiap-tiap manusia agar

kepentingan-kepentingan itu tidak diganggu. Bahwa hukum mempunyai tugas untuk

menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat. 23 Dengan demikian kepastian

hukum mengandung 2 (dua) pengertian, yang pertama adanya aturan yang bersifat

umum membuat individu mengetahui apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, dan

kedua berupa keamanan bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan

adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh

dibebankan atau dilakukan oleh Negara terhadap individu.

21
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press,
1986), hal. 122
22
Pieter Mahmud Marzuki (a), Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2009), hal.158
23
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
2002), hal. 44

Universitas Sumatera Utara


Kepastian hukum hak atas tanah pada dasarnya dipengaruhi oleh berbagai

faktor yang tercakup dalam pengenaan pajak atas adanya peralihan hak atas tanah

objek BOT :

a. Substansi hukum, yang terdiri dari tujuan, sistem dan tata laksana pendaftaran

tanah;

b. Struktur hukum, yang terdiri dari aparat pertanahan dan lembaga penguji

kepastian hukum, juga lembaga pemerintahan terkait;

c. Kultur hukum, yang terdiri dari kesadaran hukum masyarakat dan realitas

sosial. 24

Sistem bangun guna serah atau biasa disebut BOT Agreement adalah

perjanjian antara 2 (dua) pihak, dimana pihak yang satu menyerahkan penggunaan

tanah miliknya untuk di atasnya didirikan suatu bangunan komersial oleh pihak kedua

(investor), dan pihak kedua tersebut berhak mengoperasikan atau mengelola

bangunan komersial untuk jangka waktu tertentu dengan memberikan fee (atau tanpa

fee) kepada pemilik tanah, dan pihak kedua wajib mengembalikan tanah beserta

bangunan komersial di atasnya dalam keadaan dapat dan siap dioperasionalkan

kepada pemilik tanah setelah jangka waktu operasional tersebut berakhir.

Berdasarkan pengertian tersebut di atas, unsur-unsur perjanjian sistem bangun

guna serah (built, operate, and transfer/BOT) atau BOT Agreement, adalah :

a. Owner dan Investor (penyandang dana)

24
Muchtar Wahid, Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah : Suatu Analisis
dengan Pendekatan Terpadu Secara Normatif dan Sosiologis, Cet. 1, (Jakarta: Republika, 2008),
hlm.115.

Universitas Sumatera Utara


b. Tanah

c. Bangunan komersial

d. Jangka waktu operasional

e. Penyerahan (transfer)

Dengan demikian BOT merupakan suatu konsep pembangunan gedung atau

bangunan dengan biaya sepenuhnya dari perusahaan swasta, beberapa perusahaan

swasta atau kerjasama dengan BUMN yang setelah selesai dibangun akan

dioperasikan oleh investor sampai jangka waktu tertentu dan setelah tahapan

pengoperasian selesai sebagaimana ditentukan dalam perjanjian BOT, kemudian

dilakukan pengalihan proyek tersebut pada pemerintah selaku pemilik proyek. 25

Pada dasarnya BOT adalah salah satu bentuk pembiayaan proyek

pembangunan yang mana investor harus menyediakan sendiri pendanaan untuk

proyek tersebut juga kontraktor harus menanggung pengadaan material, peralatan,

jasa lain yang dibutuhkan untuk kelengkapan proyek. Sebagai gantinya investor

diberikan hak untuk mengoperasikan dan mengambil manfaat ekonominya sebagai

ganti atas semua biaya yang telah dikeluarkan untuk selama waktu tertentu. 26

2. Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsepsi

dalam penelitian ini untuk menggabungkan teori dengan observasi, antara abstrak dan

kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang

25
Budi Santoso, Op.Cit., hlm.7.
26
Ibid., hlm.8-9.

Universitas Sumatera Utara


digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional. 27

Menurut Burhan Ashshofa, suatu konsep merupakan abstraksi mengenai suatu

fenomena yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari jumlah karakteristik kejadian,

keadaan, kelompok atau individu tertentu. 28

Adapun uraian dari pada konsep yang dipakai dalam penelitian ini adalah:

a. Kajian hukum adalah mempelajari dan menganalisis dari sudut pandang hukum.

b. Pengenaan pajak adalah pembebanan kewajiban pembayaran pajak kepada wajib

pajak.

c. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas

perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. 29

d. Bangunan adalah adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara

tetap pada tanah dan/atau perairan. 30

e. Tanah adalah permukaan bumi. 31

f. Kegiatan Built Operate and Transfer adalah bentuk perjanjian kerja sama yang

dilakukan antara pemegang hak atas tanah dengan investor yang menyatakan

bahwa pemegang hak atas tanah memberikan hak kepada investor untuk

mendirikan bangunan selama masa perjanjian bangun guna serah, dan

27
Samadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hlm.31.
28
Burhan Ashshofa, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta 1996), hlm.19.
29
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, Pasal 1
angka 1.
30
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 sebagaimana diubah dengan
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, Pasal 1 angka 2.
31
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria (UUPA), Pasal 1 ayat (3) jo. Pasal 4 ayat (1)

Universitas Sumatera Utara


mengalihkan kepemilikan bangunan tersebut kepada pemegang hak atas tanah

setelah masa bangun guna serah berakhir. 32

g. Owner adalah pemilik tanah dalam transaksi BOT.

h. Investor adalah pemilik modal dalam transaksi BOT.

i. Built Operate and Transfer (BOT) Agreement adalah perjanjian antara dua pihak,

dimana pihak owner menyerahkan penggunaan tanahnya untuk didirikan suatu

bangunan di atasnya oleh pihak investor, dan pihak investor berhak

mengoperasikan atau mengelola bangunan tersebut dalam jangka waktu tertentu,

dengan memberikan fee atau tanpa fee kepada pihak owner, dan pihak investor

wajib mengembalikan tanah beserta bangunan di atasnya dalam keadaan dapat

dan siap dioperasikan kepada pihak owner setelah jangka waktu operasional

berakhir.

j. BOT Term adalah jangka waktu perjanjian/ agreement yang dibuat secara

Notariil.

k. Masa Konsesi adalah jangka waktu masa operasional.

l. NJOP Tanah adalah nilai jual objek pajak atas tanah yang digunakan dalam

transaksi BOT.

m. Harga Pasar adalah harga yang disepakati oleh penjual dan pembeli pada saat

terjadinya transaksi.

n. NJOP Bangunan adalah nilai jual objek pajak atas bangunan yang dioperasikan

dan dikelola oleh pelaksana pembangunan dalam transaksi BOT. Nilai NJOP
32
Budi Santoso, Op.Cit., hlm.7.

Universitas Sumatera Utara


Bangunan ini setelah masa konsesi berakhir akan mengalami penyusutan nilai

aset.

o. PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan adalah pengenaan

pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari

pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan wajib dibayar Pajak Penghasilan

(PPh). 33

G. Metode Penelitian

1. Sifat dan Jenis Penelitian

Sifat dari penelitian ini adalah bersifat preskriptif, sesuai dengan sifat ilmu

hukum yang preskriptif yaitu mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan,

validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum, maka

penelitian ini dimaksudkan untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum

maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. 34

Dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum dengan pendekatan

yuridis normatif, yang disebabkan karena penelitian ini merupakan penelitian hukum

doktriner yang disebut juga penelitian kepustakaan atau studi dokumen yang

dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan

hukum yang lain. 35 Meliputi penelitian terhadap sinkronisasi peraturan perundang-

undangan yang bersifat teoritis ilmiah serta dapat menganalisis permasalahan yang

33
Pengertian PPh PHTB, http://www.pajak.go.id/content/seri-pph-pajak-penghasilan-atas-
pengalihan-hak-atas-tanah-danatau-bangunan, terakhir diakses tanggal 29 April 2014.
34
Peter Mahmud Marzuki (b), Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm.35.
35
Bambang Waluyo, Metode Penelitian Hukum, (Semarang: PT. Ghalia Indonesia, 1996),
hlm.13

Universitas Sumatera Utara


dibahas, 36 serta menjawab pertanyaan sesuai permasalahan-permasalahan dalam

penulisan tesis ini, yaitu permasalahan pengenaan BPHTB dan PPh Final pengalihan

hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT.

2. Sumber Data/ Bahan Hukum

Sumber data dalam penelitian ini adalah data sekunder. Sumber data yang

dipergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a). Bahan hukum primer. 37

Yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai landasan utama

yang dipakai dalam rangka penelitian ini di antaranya adalah Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA)

beserta peraturan pelaksanaannya, Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang

Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997

sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea

Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, Undang-Undang Nomor 12 Tahun

1985 sebagaimana diubah oleh Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang

Pajak Bumi dan Bangunan, Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang

Perubahan Keempat Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak

Penghasilan, Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran

PPh PHTB sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah

36
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hlm.13.
37
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Juritmetri, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1990), hlm.53.

Universitas Sumatera Utara


Nomor 71 Tahun 2008 jo. Keputusan Menteri Keuangan Nomor

635/KMK.04/1994 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri

Keuangan Nomor 243/PMK.03/2008 tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan

Menteri Keuangan Nomor 635/Kmk.04/1994 tentang Pelaksanaan Pembayaran

Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau

Bangunan.

b). Bahan hukum sekunder. 38

Yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan

dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer, seperti hasil-

hasil penelitian, hasil seminar, hasil karya dari para ahli hukum, serta dokumen-

dokumen lain yang berkaitan dengan masalah pengenaan BPHTB dan PPh dalam

kegiatan BOT.

c). Bahan hukum tertier. 39

Yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan

bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, surat kabar, makalah yang

berkaitan dengan objek penelitian.

Selain data sekunder sebagai sumber data utama, dalam penelitian ini juga

digunakan data pendukung yang diperoleh dari wawancara dengan pihak-pihak yang

telah ditentukan sebagai informan yaitu Pejabat Dinas Pendapatan (Dispenda) Kota

Medan.

38
Ibid.
39
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


3. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang diperlukan, pengumpulan data dilakukan

melalui tahap-tahap penelitian antara lain sebagai berikut :

a. Studi Kepustakaan (Library Research).

Studi Kepustakaan ini dilakukan untuk mendapatkan atau mencari konsepsi-

konsepsi, teori-teori, asas-asas dan hasil-hasil pemikiran lainnya yang berkaitan

dengan permasalahan penelitian ini. Sumber data utama dalam penelitian ini

adalah data sekunder. Untuk menghimpun data sekunder tersebut, maka

dibutuhkan bahan kepustakaan yang merupakan data dasar yang digolongkan

sebagai data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder dan bahan hukum tertier.

b. Wawancara.

Hasil wawancara yang diperoleh akan digunakan sebagai data pendukung dalam

penelitian ini. Data tersebut diperoleh dari pihak-pihak yang telah ditentukan

sebagai informan yaitu Pejabat Dinas Pendapatan (Dispenda) Kota Medan yang

dianggap mengetahui permasalahan mengenai BPHTB dan PPh Final pengalihan

hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT.

Alat yang digunakan dalam wawancara yaitu menggunakan pedoman wawancara

dengan pertanyaan yang telah disusun terlebih dahulu sehingga diperoleh data

yang diperlukan sebagai data pendukung dalam penelitian tesis ini.

Universitas Sumatera Utara


4. Analisis Data

Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna

untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data dalam

penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian dengan menggunakan

metode kualitatif bertolak dari asumsi tentang realitas atau fenomena sosial yang

bersifat unik dan kompleks. Padanya terdapat regularitas atau pola tertentu, namun

penuh dengan variasi (keragaman). 40

Selanjutnya, data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan

(library research) dan data primer yang diperoleh dari penelitian lapangan (field

research) kemudian disusun secara berurutan dan sistematis dan selanjutnya

dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif sehingga diperoleh gambaran

secara menyeluruh tentang gejala dan fakta yang terdapat dalam masalah pengenaan

BPHTB dan PPh Final pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT.

Selanjutnya ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode berpikir deduktif, yaitu

cara berpikir yang dimulai dari hal-hal yang umum untuk selanjutnya menarik hal-hal

yang khusus, dengan menggunakan ketentuan berdasarkan pengetahuan umum seperti

teori-teori, dalil-dalil, atau prinsip-prinsip dalam bentuk proposisi-proposisi untuk

menarik kesimpulan terhadap fakta-fakta yang bersifat khusus, 41 guna menjawab

permasalahan-permasalahan yang telah dirumuskan dalam penelitian ini.

40
Burhan Bungin, Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis
Kearah Penguasaan Modal Aplikasi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm.53.
41
Mukti Fajar, dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm.109.

Universitas Sumatera Utara


BAB II
BPHTB DAN PPH FINAL PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN
BANGUNAN DALAM TRANSAKSI BOT (BUILT OPERATE AND
TRANSFER)

A. Pengertian BOT (Built Operate And Transfer)

Perjanjian Built, Operate and Transfer (BOT) merupakan istilah yang relatif

baru dalam kegiatan ekonomi Indonesia, walaupun secara sejarah konsep Built,

Operate and Transfer (BOT) ini sebenarnya telah lama dipraktekan pelaksanaannya

di Kota Eretria Yunani (Athena) pada sekitar 300 tahun Sebelum Masehi. 42

Perjanjian kerjasama dengan sistem bangun guna serah atau biasa disebut

dengan sistem Built, Operate and Transfer Agreement (BOT Agreement) adalah

perjanjian antara 2 (dua) pihak, dimana pihak yang satu menyerahkan penggunaan

tanah miliknya untuk di atasnya didirikan suatu bangunan komersial oleh pihak kedua

(investor), dan pihak kedua tersebut berhak mengoperasikan atau mengelola

bangunan komersial untuk jangka waktu tertentu dengan memberikan fee (atau tanpa

fee) kepada pemilik tanah, dan pihak kedua wajib mengembalikan tanah beserta

bangunan komersial di atasnya dalam keadaan dapat dan siap dioperasionalkan

kepada pemilik tanah setelah jangka waktu operasional tersebut berakhir. 43

Sementara menurut pendapat Clifford W. Garstang konsep Built, Operate and

Transfer (BOT) adalah:

42
Munir Fuady, Sejarah Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 1982), hlm.172
43
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Naskah Akademis Peraturan perundang-undangan
tentang Perjanjian BOT, (Jakarta: BHPN, 1997), hlm.9.

Universitas Sumatera Utara


is a variety of type of project financing known as contractor provided
financing. In the standard contractor provided financing a project entity may
request proposal for the contruction of a project pursuant to which the
contractor will not only provided the materials and services needed to complete
the project but will also provide or at least arrange the necessary financing.
The contractor will also need to operate the project and use its cash flows to
repay the debt it has incurred. 44

Dengan demikian, pada dasarnya Built, Operate and Transfer (BOT) adalah

salah satu bentuk pembiayaan proyek pembangunan yang mana kontraktor harus

menyediakan sendiri pendanaan untuk proyek tersebut juga kontraktor harus

menanggung pengadaan material, peralatan, jasa lain yang dibutuhkan untuk

kelengkapan proyek. Kontraktor/investor diberikan hak untuk mengoperasikan dan

mengambil manfaat ekonominya sebagai penggantian atas semua biaya yang telah

dikeluarkannya selam waktu tertentu yang telah diperjanjikan.

Berdasarkan pengertian tersebut BOT Agreement di atas, unsur-unsur

perjanjian sistem bangun guna serah (built, operate, and transfer/BOT) atau BOT

Agreement, adalah :

1. Owner (pemilik tanah);

2. investor (penyandang dana);

3. Tanah;

4. Bangunan komersial;

5. Jangka waktu operasional;

6. Penyerahan (transfer).

44
Anita Kamilah, Bangun Guna Serah (Build Operate And Transfer/BOT) Membangun
Tanpa Harus Memiliki Tanah (Perspektif Hukum Agraria, Hukum Perjanjian dan Hukum Publik),
(Bandung: Keni Media, 2012), hlm.115.

Universitas Sumatera Utara


Objek dalam perjanjian sistem bangun guna serah (built, operate, and

transfer/BOT) atau BOT Agreement kurang lebih :

1. Bidang usaha yang memerlukan suatu bangunan (dengan atau tanpa teknologi

tertentu) yang merupakan komponen utama dalam usaha tersebut disebut sebagai

bangunan komersial.

2. Bangunan komersial tersebut dapat dioperasikan dalam jangka waktu relatif lama,

untuk tujuan :

a. Pembangunan prasarana umum, seperti jalan tol, pembangkit listrik, sistem

telekomunikasi, pelabuhan peti kemas dan sebagainya

b. Pembangunan properti, seperti pusat perbelanjaan, hotel, apartemen dan

sebagainya.

c. Pembangunan prasarana produksi, seperti pembangunan pabrik untuk

menghasilkan produk tertentu.

Built, Operate and Transfer (BOT) merupakan suatu konsep yang mana

proyek dibangun atas biaya sepenuhnya perusahaan swasta, beberapa perusahaan

swasta atau kerjasama dengan BUMN dan setelah dibangun dioperasikan oleh

investor dan setelah tahapan pengoperasian selesai sebagaimana ditentukan dalam

perjanjian Built, Operate and Transfer (BOT), kemudian dilakukan pengalihan

proyek tersebut pada pemilik proyek. 45 Pada dasarnya Built, Operate and Transfer

(BOT) adalah salah satu bentuk pembiayaan proyek pembangunan yang mana

45
A.P. Parlindungan, Hak Pengelolaan Menurut Sistem UUPA, (Bandung: Mandar Maju,
1994), hlm.7.

Universitas Sumatera Utara


investor harus menyediakan sendiri pendanaan untuk proyek tersebut juga investor

harus menanggung pengadaan material, peralatan, jasa lain yang dibutuhkan untuk

kelengkapan proyek. Sebagai gantinya investor diberikan hak untuk mengoperasikan

dan mengambil manfaat ekonominya sebagai ganti atas semua biaya yang telah

dikeluarkan untuk selama waktu tertentu. 46

Perjanjian kerjasama dengan sistem Built, Operate and Transfer (BOT)

tersebut dapat terjadi bukan hanya antara pemerintah dengan investor, akan tetapi ada

juga antara non pemerintah dengan investor. Built, Operate and Transfer (BOT)

antara pemerintah dengan swasta terjadi apabila pemilik tanah adalah pemerintah dan

pihak investor merupakan badan hukum swasta, sedangkan Built, Operate and

Transfer (BOT) yang terjadi antara non pemerintah dengan investor terjadi apabila

kedua pihak, baik pemilik tanah maupun investor kedua-duanya merupakan badan

hukum swasta yang bekerja sama dalam transaksi Built, Operate and Transfer

(BOT). 47

Built, Operate and Transfer (BOT) dapat digunakan untuk proyek swasta,

artinya pihak yang terlibat yaitu individu dengan individu, individu dengan swasta,

atau swasta dengan swasta. Contoh pelaksanaan Built, Operate and Transfer (BOT)

untuk proyek swasta dapat terlihat dalam perjanjian Built, Operate and Transfer

(BOT) di Denpasar Bali, di mana penduduk asli memiliki tanah di tempat yang cukup

strategis, tetapi tidak memiliki cukup dana untuk mendirikan bangunan komersial,

46
Ibid., hlm.8-9.
47
Anita Kamilah, Op.Cit., hlm.116

Universitas Sumatera Utara


selanjutnya pihak investor meminta izin untuk mendirikan bangunan hotel atau

penginapan di atas tanah penduduk asli tersebut dengan biaya seluruhnya ditanggung

pihak investor dan diperjanjikan untuk jangka waktu 30 tahun atau sesuai dengan

perjanjian untuk dilakukan pengoperasian hasil pembangunan proyek tersebut, di

mana setelah jangka waktu perjanjian berakhir maka bangunan dan sarana prasarana

pendukungnya dikembalikan kepada pemilik hak atas tanah tersebut tanpa syarat.

Selanjutnya di antara para pihak, jika dikehendaki, dapat dilakukan sewa menyewa

setelah masa konsesi tersebut berakhir. 48

Berdasarkan uraian tersebut, paling tidak terdapat tiga ciri transaksi Built,

Operate and Transfer (BOT), yaitu:

1. Pembangunan (Built);

Pemilik proyek sebagai pemberi hak pengelolaan memberikan kuasanya kepada

investor untuk membangun sebuah proyek dengan dananya sendiri (dalam

beberapa hal dimungkinkan didanai bersama/participating interest). Desain dan

spesifikasi bangunan umumnya merupakan usulan pemegang hak pengelolaan

yang harus mendapat persetujuan dari pemilik proyek.

2. Pengoperasian (Operate);

Merupakan masa atau tenggang waktu yang diberikan pemilik proyek pada

pemegang hak untuk selama jangka waktu tertentu mengoperasikan dan

mengelola proyek tersebut untuk diambil menfaat ekonominya. Bersamaan

dengan itu pemegang hak berkewajiban melakukan pemeliharaan terhadap proyek


48
Ibid., hlm.117.

Universitas Sumatera Utara


tersebut. Pada masa itu pemilik proyek dapat juga menikmati sebagai hasil sesuai

dengan perjanjian jika ada.

3. Penyerahan Kembali (Transfer);

Pemegang hak pengelolaan menyerahkan hak pengelolaan dan fisik proyek pada

pemilik proyek setelah masa konsesi selesai tanpa syarat (bisaanya). Pembebanan

biaya penyerahan umumnya telah ditentukan dalam perjanjian mengenai siapa

yang menanggungnya.

Pembuatan Perjanjian yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan Perjanjian

Pembangunan, Pemilikan, Pengelolaan dan Penyerahan Kembali Tanah, Gedung dan

Fasilitas Penunjang, disebut juga sebagai Perjanjian Built, Operate and Transfer

(BOT) atau Bangun Guna Serah. 49

Dalam hukum perjanjian, Perjanjian Built, Operate and Transfer (BOT)

merupakan perjanjian khusus atau disebut juga perjanjian tidak bernama, karena tidak

dijumpai dalam KUHPerdata. Perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang belum

ada hukum tambahannya sehingga para pihak dapat memberikan nama pada

perjanjian tersebut, 50 misalnya perjanjian Bangun Guna Serah (Built, Operate and

Transfer/BOT). Perjanjian ini dapat diterima dalam hukum karena dalam

KUHPerdata ditemui adanya suatu asas kebebasan berkontrak. Ketentuan mengenai

asas kebebasan berkontrak dapat dijumpai dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata

49
A.P. Parlindungan, Op.Cit., hlm.208-209.
50
Much. Nurachmad, Buku Pintar Memahami dan Membuat Surat Perjanjian, (Jakarta:
Visimedia, 2010), hlm.14.

Universitas Sumatera Utara


yang menyatakan bahwa, Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Perjanjian Built, Operate and Transfer (BOT) dapat didefinisikan sebagai

Perjanjian antara dua pihak, dimana pihak pertama menyerahkan penggunaan

tanahnya untuk didirikan suatu bangunan di atasnya oleh pihak kedua, dan pihak

kedua berhak mengoperasikan atau mengelola bangunan tersebut dalam jangka waktu

tertentu, dengan memberikan fee atau tanpa fee kepada pihak pertama, dan pihak

kedua wajib mengembalikan tanah beserta bangunan di atasnya dalam keadaan dapat

dan siap dioperasikan kepada pihak pertama setelah jangka waktu operasional

berakhir. 51

Merujuk pada perjanjian Built, Operate and Transfer (BOT) ada kewajiban-

kewajiban yang harus diperhatikan oleh kedua belah pihak (pihak pemilik tanah dan

investor), yakni: 52

1. Kewajiban Pemilik Hak Atas Tanah


a. Memberikan jaminan bahwa Pihak Kesatu sebagai pemilik hak atas
tanah adalah satu-satunya pihak yang berhak menyerahkan tanah yang
dijadikan objek BOT, sehingga tanah objek BOT tersebut tidak
mendapat gangguan dari pihak kesatu ataupun pihak yang mendapat hak
dari pihak kesatu ataupun pihak ketiga.
b. Memberikan jaminan bahwa tanah dan turutannya tersebut bebas dari
sitaan, tidak sedang dijaminkan guna pelunasan suatu utang, tidak dalam
keadaan sengketa dan bebas dari segala tagihan berupa apapun dari yang
berwajib.
c. Pihak kesatu sebagai pemilik hak atas tanah berkewajiban memberikan
hak atas tanah dalam bentuk Hak Guna Bangunan atau hak-hak lain
yang diperlukan sepanjang dimungkinkan berdasarkan aturan

51
Maria S. Sumardjono, Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, (Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, 2009), hlm.208.
52
Anita Kamilah, Op.Cit., hlm.161-163.

Universitas Sumatera Utara


perundangan yang berlaku di atas tanah dan turutannya tersebut, untuk
itu pihak kesatu bersedia turut dan atau membantu menghadap kepada
pejabat-pejabat yang berwenang guna menandatangani akta-akta atau
surat-surat yang diperlukan.
2. Kewajiban Pihak Investor
a. Untuk atas biaya dan risiko sendiri pihak investor sebagai pihak kedua
mendirikan bangunan-bangunan di atas tanah objek BOT tersebut
menurut rencana yang dikehendaki.
b. Memelihara dan menjaga dengan baik sebagaimana lazimnya apa yang
dijadikan objek BOT menurut ketentuan, peraturan dan kebiasaan yang
berlaku, atas biaya yang harus dipikul oleh pihak kedua.
c. Memperbaiki kerusakan-kerusakan yang terjadi atas objek BOT menurut
ketentuan, peraturan dan kebiasaan yang berlaku, atas ongkos/biaya
yang harus dipikul oleh pihak kedua.
d. Mentaati semua peraturan dan ketentuan yang berlaku, baik yang
sekarang telah ada maupun yang akan ada kemudian.
e. Jika seandainya untuk tanah yang menjadi objek BOT dengan akta ini
dan bangunan-bangunan yang terdapat di antaranya kemudian dikenakan
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), maka PBB tersebut ditanggung dan
harus dibayar tepat waktu oleh pihak kedua.
f. Dilarang untuk menjadikan tanggungan/jaminan untuk pelunasan
sesuatu utang dalam bentuk dan menurut cara apapun yang dibuat oleh
pihak kedua dengan siapapun juga.
g. Pada saat perjanjian Bangun Guna Serah (Build Operate and
Transfer/BOT) berakhir, maka bangunan dan bagian-bagian serta
turutan dan perlengkapannya termasuk segala perubahan dan tambahan
pada bangunan tersebut harus diserahkan kepada pemilik hak atas tanah,
tanpa pemilik hak atas tanah mengeluarkan suatu biaya apapun.
h. Pada hari berikutnya, sejak perjanjian BOT berakhir, pihak kedua harus
menyerahkan kembali tanah dan turutannya kepada pihak kesatu dengan
segala sesuatu yang telah menjadi haknya dalam keadaan kosong, tanpa
penghuni dan barang, serta dalam keadaan tetap terpelihara baik.

Hak-hak atas tanah yang dapat dimanfaatkan sebagai objek perjanjian Built,

Operate and Transfer (BOT) adalah hak-hak atas tanah sebagaimana diatur dalam

Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-

Pokok Agraria (UUPA) antara lain Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna

Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Tanah, Hak Memungut Hasil

Universitas Sumatera Utara


Hutan, dan hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak atas tanah sebelumnya

yang akan ditetapkan dengan undang-undang dan sifatnya sementara sebagaimana

disebutkan dalam Pasal 53 UUPA, yaitu: Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak

Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian. 53

B. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

1. Dasar Hukum BPHTB

Dasar Hukum BPHTB adalah ketentuan Pasal 85 sampai dengan Pasal 93

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

(UU PDRD). Dasar pemungutan BPHTB adalah peraturan daerah yang memuat

ketentuan mengenai objek pajak, subjek pajak, wajib pajak, tarif pajak, dasar

pengenaan pajak, dan lain-lain. Kebijakan pokok mengenai BPHTB yang diatur

dalam UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU

PDRD) adalah sebagai berikut: 54

a. Objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan (seperti hak

milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, dan hak pengelolaan), baik

pemindahan hak (seperti jual-beli, tukar-menukar, hibah, hadiah, dan waris)

maupun pemberian hak baru.

b. Sejumlah objek pajak tidak dikenakan BPHTB, seperti objek pajak yang

diperoleh perwakilan diplomatik dan konsulat, negara, badan atau perwakilan

lembaga internasional, konversi hak yang tidak merubah nama, wakaf, dan
53
Anita Kamilah, Op.Cit., hlm.30.
54
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, Pasal 85 sampai dengan Pasal 93

Universitas Sumatera Utara


kepentingan ibadah. Khusus mengenai badan atau perwakilan lembaga

internasional yang dikecualikan dari pengenaan BPHTB diatur dalam Keputusan

Menteri Keuangan tanggal Nomor 147/PMK.07/2010 tentang Badan Atau

Perwakilan Lembaga Internasional Yang Tidak Dikenakan Bea Perolehan Hak

Atas Tanah Dan Bangunan.

c. Subjek pajak adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah

dan/atau bangunan.

d. Wajib pajak adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah

dan/atau bangunan. Termasuk wajib pajak BPHTB adalah Pejabat Pembuat Akta

Tanah/Notaris, Kepala Kantor Lelang negara, dan Kepala Kantor Pertanahan,

yang berdasarkan undang-undang diberikan kewajiban tertentu dalam proses

pemungutan BPHTB.

e. Tarif BPHTB paling tinggi 5%. Setiap daerah dapat menetapkan tarif BPHTB

sesuai dengan kebijakan daerahnya sepanjang tidak melampaui 5%.

f. Dasar pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) dan saat

terutang BPHTB adalah tanggal peralihan hak.

2. Definisi BPHTB

Definisi dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang

dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut

pajak. 55 Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa

55
Marihot Pahala Siahaan (b), Op.Cit., hlm.42.

Universitas Sumatera Utara


hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh

orang pribadi atau badan.

Sedang menurut ketentuan Pasal 1 angka 41 Undang-Undang Nomor 28

Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD), Bea Perolehan

Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau

bangunan. Sedang Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah perbuatan

atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan/atau

bangunan oleh orang pribadi atau Badan (Pasal 1 angka 42 Undang-Undang Nomor

28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD ).

3. Subjek BPHTB

Subjek BPHTB pada dasarnya adalah orang pribadi atau badan yang

memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan 56 akibat suatu perbuatan atau peristiwa

hukum yang yang menyebabkan beralihnya hak atas tanah dan atau bangunan.

Sedangkan subjek pajak yang tidak dikenakan Bea Perolehan Hak Atas Tanah

dan Bangunan (BPHTB) adalah : 57

a. Perwakilan Diplomatik, Konsulat dengan asas timbal balik.

b. Negara untuk penyelengaraan Pemerintahan dan/atau pelaksanaan pembangunan

guna kepentingan umum.

56
Gatot S.M. Faisal, How To Be A Smarter Taxpayer, Bagaimana Menjadi Wajib Pajak Yang
Lebih Cerdas, (Jakarta: PT. Grasindo, 2009), hlm.31.
57
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, Pasal 85 ayat (4).

Universitas Sumatera Utara


c. Badan/Perwakilan Organisasi Internasional yang ditetapkan dengan Keputusan

Menteri Keuangan dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan

kegiatan diluar fungsi dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut.

d. Orang Pribadi atau Badan yang memperoleh objek pajak karena konversi hak atau

peraturan hukum lain tanpa perubahan nama.

e. Orang Pribadi atau Badan yang memperoleh objek pajak karena wakaf.

f. Orang Pribadi atau Badan yang memperoleh objek pajak untuk kepentingan

ibadah.

4. Objek BPHTB

Objek Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah

perolehan hak atas tanah atau bangunan, bukan tanah dan bangunannya (yang

dikenakan PBB). Dengan demikian BPHTB dikenakan terhadap peristiwa hukum

perolehan hak atas tanah-bangunan. 58

Sesuai dengan Pasal 85 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009

tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) yang menjadi objek BPHTB

adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang meliputi: 59

a. Pemindahan hak karena:

1) jual beli;

2) tukar-menukar;

3) hibah;

58
Gatot S.M. Faisal, Op.Cit., hlm.30
59
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, Pasal 85 ayat (2)

Universitas Sumatera Utara


4) hibah wasiat;

5) waris;

6) pemasukan dalam perseroan atau badan hukum;

7) pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;

8) penunjukan pembeli dalam lelang;

9) pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;

10) penggabungan usaha;

11) peleburan usaha;

12) pemekaran usaha;

13) hadiah.

b. Pemberian hak baru karena:

1) kelanjutan pelepasan hak;

2) di luar pelepasan hak.

Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa

hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh

orang pribadi atau badan.

Menurut ketentuan Pasal 85 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009

tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD), hak atas tanah tersebut

meliputi: 60

60
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, Pasal 85 ayat (3)

Universitas Sumatera Utara


a. Hak Milik, yaitu hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai

orang pribadi atau badan-badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah;

b. Hak Guna Usaha (HGU), yaitu hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai

langsung oleh Negara dalam jangka waktu sebagaimana yang ditentukan oleh

perundang-undangan yang berlaku;

c. Hak Guna Bangunan (HGB), yaitu hak untuk mendirikan dan mempunyai

bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu

yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan

Dasar Pokok-pokok Agraria.

d. Hak Pakai, yaitu hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah

yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi

wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh

pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik

tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan

tanah, segala sesuatu sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

e. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yaitu hak milik atas satuan yang bersifat

perseorangan dan terpisah. Hak milik atas satuan rumah susun meliputi juga hak

atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang semuanya

merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan satuan yang

bersangkutan.

Universitas Sumatera Utara


f. Hak Pengelolaan, yaitu hak menguasai dari Negara yang kewenangan

pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain,

berupa perencanaan peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk

keperluan pelaksanaan tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah tersebut

kepada pihak ketiga dan atau bekerja sama dengan pihak ketiga.

5. Objek Pajak Yang Tidak Dikenakan BPHTB

Objek pajak yang tidak dikenakan BPHTB adalah : 61

a. Objek pajak yang diperoleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas

perlakuan timbal balik;

b. Objek pajak yang diperoleh Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan

atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;

c. Objek pajak yang diperoleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang

ditetapkan dengan Keputusan Menteri dengan syarat tidak menjalankan usaha

atau melakukan kegiatan lain di luar fungsi dan tugas badan atau perwakilan

organisasi tersebut;

d. Objek pajak yang diperoleh orang pribadi atau badan karena konversi hak atau

karena perbuatan hukum lain dengan tidak adanya perubahan nama;

e. Objek pajak yang diperoleh orang pribadi atau badan karena wakaf;

f. Objek pajak yang diperoleh orang pribadi atau badan yang digunakan untuk

kepentingan ibadah.

61
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, Pasal 85 ayat (4)

Universitas Sumatera Utara


Dalam hal ini yang dimaksud dengan tanah dan atau bangunan yang

digunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan

pembangunan guna kepentingan umum adalah tanah dan atau bangunan yang

digunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan baik Pemerintah Pusat maupun oleh

Pemerintah Daerah dan kegiatan yang semata-mata tidak ditujukan untuk mencari

keuntungan, misalnya, tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk instansi

pemerintah, rumah sakit pemerintah, jalan umum.

Sedangkan yang dimaksud dengan konversi hak adalah perubahan hak dari

hak lama menjadi hak baru menurut Undang-undang Pokok Agraria, 62 termasuk

pengakuan hak oleh Pemerintah. Kemudian yang dimaksud wakaf adalah perbuatan

hukum orang pribadi atau badan yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya

yang berupa hak milik tanah dan atau bangunan dan melembagakannya untuk selama-

lamanya untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan umum lainnya tanpa

imbalan apapun.

6. Perhitungan BPHTB

Formula menghitung BPHTB adalah:

BPHTB = Tarif x NPOP NPOPTKP

= Tarif x NPOPKP

62
A.P. Parlindungan, Konversi Hak-Hak Atas Tanah, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm.1.

Universitas Sumatera Utara


NPOP adalah Nilai Perolehan Objek Pajak, yang menjadi dasar pengenaan

BPHTB. 63 Pada dasarnya ada 3 jenis nilai (harga) yang menjadi NPOP, yaitu nilai

pasar, harga transaksi, dan harga transaksi risalah lelang. Bila nilai pasar atau harga

transaksi yang menjadi NPOP tidak diketahui atau lebih rendah dari pada Nilai Jual

Objek Pajak (NJOP) PBB, dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah NJOP PBB.

NPOPTKP adalah Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang

merupakan jumlah tertentu dari NPOP yang tidak dikenakan pajak. Ketentuan

NPOPTKP diatur dalam ketentuan Pasal 87 ayat (4) dan ayat (5) Undang-Undang

Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD), yang

berbunyi:

(4) Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan paling
rendah sebesar Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap
Wajib Pajak.
(5) Dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima
orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan
pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak
Tidak Kena Pajak ditetapkan paling rendah sebesar Rp.300.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah). 64

Tarif adalah aturan pungutan, dalam pungutan BPHTB tarif yang digunakan

adalah tarif proporsional. Ketentuan Pasal 88 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28

Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) menentukan

tarif BPHTB maksimal sebesar 5 % (lima persen), menurut ketentuan Pasal 88 ayat

63
Irwansyah Lubis, Menggali Potensi Pajak Perusahaan Dan Bisnis Dengan Pelaksanaan
Hukum, (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2010), hlm.119.
64
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, Pasal 87 ayat (4) dan ayat (5)

Universitas Sumatera Utara


(2) terhadap tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan ditetapkan dengan

Peraturan Daerah. Tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)

adalah 5% (lima persen) secara flat artinya berapapun nilai perolehan hak atas tanah

dan bangunan tetap dikenakan maksimal 5% (lima persen).

Tarif pajak dibagi dalam enam jenis yaitu :

a. Tarif Tetap. 65

Tarif yang berupa jumlah atau besarnya tetap untuk berapapun besarnya DPP.

Contoh: BM = Rp.3.000,- untuk pembayaran dengan cek atau giro bilyet dalam

jumlah berapapun.

b. Tarif Proporsional (Sebanding). 66

Tarif berupa % tertentu yang sifatnya tetap terhadap berapapun besarnya DPP.

Contoh: PPn = 10% x DPP.

c. Tarif Progresif (Meningkat). 67

Tarif berupa % tertentu yang semakin meningkat dengan meningkatnya DPP.

Contoh: PPh OP = 5% x sampai dengan Rp.50 juta, 15% x Rp.50 juta sampai

dengan Rp.250 juta, 25% x di atas Rp.250 juta sampai dengan Rp.500 juta, 30%

di atas Rp.500 juta.

d. Tarif Degresif (Menurun).

Tarif berupa % tertentu yang semakin menurun dengan menurunnya DPP,

kebalikan tarif PPh OP.

65
Supramono, dan Theresia Woro Damayanti, Op.Cit., hlm.7
66
Ibid.
67
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


e. Tarif Advalorum.

Tarif dengan % tertentu yang dikenakan pada harga atau nilai suatu barang.

Contoh: Barang impor 1.000 unit @ Rp.100, Bea Masuk = 10% x 1.000 x

Rp.100.

f. Tarif Spesifik.

Tarif dengan jumlah tertentu atas suatu jenis barang tertentu. Contoh: impor 1.000

unit, Tarif Rp. 100 per unit, Bea Masuk = 1.000 x Rp. 100

Secara umum, Dasar Pengenaan Pajak (DPP) BPHTB adalah Nilai Perolehan

Objek Pajak (NPOP) (Pasal 87 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak

Daerah dan Retribusi Daerah). terdapat 3 jenis NPOP yang dijadikan Dasar

Pengenaan Pajak : 68

a. Nilai Pasar, pada transaksi perolehan berupa:

1) Tukar-menukar,

2) Hibah,

3) Hibah Wasiat,

4) Waris,

5) Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya,

6) Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan,

7) Peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan

hukum tetap,

68
Warta Ekonomi: Majalah Ekonomi & Bisnis, Volume I, Issues 9-17, (Jakarta: Obor Sarana
Utama, 1998), hlm.69-71

Universitas Sumatera Utara


8) Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak,

9) Pemberian hak baru atas tanah diluar pelepasan hak,

10) Penggabungan usaha,

11) Peleburan usaha,

12) Pemekaran usaha,

13) Hadiah.

b. Harga Transaksi, pada transaksi perolehan berupa Jual Beli

c. Harga Transaksi Risalah Lelang, pada transaksi perolehan berupa penunjukan

pembeli dalam lelang.

Apabila Nilai Pasar (NP) atau Harga Transaksi (HT) yang menjadi NPOP

tidak diketahui atau lebih rendah dari pada NJOP PBB, maka Dasar Pengenaan Pajak

yang dipakai adalah NJOP PBB (Pasal 87 ayat (3) Undang-Undang Nomor 28 Tahun

2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah).

Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) ditetapkan

regional dengan ketentuan : 69

a. Paling rendah sebesar Rp.60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap

Wajib Pajak (Pasal 87 ayat (4) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang

Pajak Daerah dan Retribusi Daerah).

b. Dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang

pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus

69
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, Pasal 87.

Universitas Sumatera Utara


satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat,

termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan

paling rendah sebesar Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) (Pasal 87 ayat

(5) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah).

Berdasarkan ketentuan Pasal 87 ayat (6) Undang-Undang Nomor 28 Tahun

2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, besarnya Nilai Perolehan Objek

Pajak Tidak Kena Pajak diatur lebih lanjut Peraturan Daerah. 70 Sebagai

ilustrasi/gambaran, Pemerintah Daerah Kota Medan menerbitkan Peraturan Daerah

Nomor 1 Tahun 2011 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Dalam

ketentuan Pasal 4 ayat (7) dan ayat (8) Perda Nomor 1 Tahun 2011 ditetapkan

besarnya NPOPTKP adalah sebesar Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah)

untuk setiap Wajib Pajak, dan besarnya NPOPTKP untuk perolehan hak karena waris

atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga

sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah

dengan pemberi wasiat, termasuk suami/istri, ditetapkan sebesar Rp.300.000.000,00

(tiga ratus juta rupiah).

Tata cara pemungutan pajak berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun

2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menganut sistem Self Assesment dan

Official Assesment, sebagaimana ternyata dalam Pasal 96 ayat (2) yang mengatur

70
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, Pasal 87 ayat (6).

Universitas Sumatera Utara


bahwa setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang berdasarkan surat

ketetapan pajak atau dibayar sendiri oleh wajib pajak berdasarkan peraturan

perundang-undangan perpajakan. Lebih lanjut sistem Official Assesment pemungutan

pajak ini tampak dalam ketentuan Pasal 96 ayat (3) jo. ayat (4) yang mengatur bahwa

Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan berdasarkan penetapan Kepala

Daerah dibayar dengan menggunakan Surat Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) atau

dokumen lain yang dipersamakan berupa karcis dan nota perhitungan. Sedangkan

sistem Self Assesment tampak dalam ketentuan Pasal 96 ayat (5) yang mengatur

bahwa Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan sendiri dibayar dengan

menggunakan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD), Surat Ketetapan Pajak

Daerah Kurang Bayar (SKPDKB), dan/atau Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang

Bayar Tambahan (SKPDKBT). 71

Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis Pajak yang dapat dipungut berdasarkan

penetapan Kepala Daerah atau dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dan ketentuan

lainnya berkaitan dengan pemungutan Pajak diatur dengan Peraturan Pemerintah

(Pasal 98 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah). Kemudian sebagai peraturan pelaksana diterbitkanlah Peraturan Pemerintah

Nomor 91 Tahun 2010 tentang Jenis Pajak Daerah Yang Dipungut Berdasarkan

Penetapan Kepala Daerah Atau Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak, di mana dalam

ketentuan Pasal 4 ayat (2) diatur bahwa pemungutan pajak terutang berdasarkan Surat

71
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, Pasal 96.

Universitas Sumatera Utara


Ketetapan Pajak merupakan pembayaran pajak terutang oleh Wajib Pajak

berdasarkan penetapan Kepala Daerah dengan menggunakan: 72

a. Surat Ketetapan Pajak Daerah atau dokumen lain yang dipersamakan; atau

b. Surat Pemberitahuan Pajak Terutang.

Sedangkan dalam ketentuan Pasal 4 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 91

Tahun 2010 tentang Jenis Pajak Daerah Yang Dipungut Berdasarkan Penetapan

Kepala Daerah Atau Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak, pemungutan pajak terutang

dengan cara dibayar sendiri oleh Wajib Pajak merupakan pembayaran pajak terutang

oleh Wajib Pajak dengan menggunakan: 73

a. Surat Pemberitahuan Pajak Daerah;

b. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar; dan/atau

c. Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan.

Sistem pemungutan BPHTB menganut Self Assesment di mana Wajib Pajak

diberi kepercayaan untuk menghitung dan membayar sendiri pajak yang terutang,

sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 tentang Jenis

Pajak Daerah Yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah Atau Dibayar

Sendiri Oleh Wajib Pajak yang menentukan dalam Pasal 4 bahwa Bea Perolehan Hak

atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) merupakan jenis pajak yang dibayar sendiri oleh

Wajib Pajak.
72
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 tentang Jenis Pajak
Daerah Yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah Atau Dibayar Sendiri Oleh Wajib
Pajak, Pasal 4 ayat (2)
73
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2010 tentang Jenis Pajak
Daerah Yang Dipungut Berdasarkan Penetapan Kepala Daerah Atau Dibayar Sendiri Oleh Wajib
Pajak, Pasal 4 ayat (3)

Universitas Sumatera Utara


Besaran pokok Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan yang terutang

dihitung dengan cara mengalikan tarif BPHTB sebesar 5% dengan Nilai Perolehan

Objek Pajak (NPOP) setelah dikurangi dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak

Kena Pajak (NPOPTKP). Secara ringkas dapat digambarkan sebagai berikut:

BPHTB = Tarif x NPOP - NPOPTKP

Tarif = maksimal 5%

NPOP = Nilai tertinggi antara Harga Transaksi atau Nilai Pasar dengan NJOP

PBB

Contoh:

Rumah dengan luas tanah 600 m2 dan bangunan 400 m2 dijual P kepada Q, harga

transaksi Rp.500.000.000,- NJOP Tanah Rp.335.000,-/m2, Bangunan Rp.365.000,-

/m2, dan NPOPTKP di Kota R tahun 2009 Rp.30.000.000,-. Akta transaksi jual beli

18 Januari 2009, maka perhitungan BPHTB adalah:

NJOP T 600 x Rp.335.000,- = Rp.201.000.000,-

NJOP B 400 x Rp.365.000,- = Rp.146.000.000,-

NJOP TB = Rp.347.000.000,-

Harga Transaksi/jual = Rp.500.000.000,-

NPOP = Rp.500.000.000,-

NPOPTKP = Rp. 30.000.000,-

NPOPKP = Rp.470.000.000,-

BPHTB terutang 5% x Rp.470.000.000,- = Rp. 23.500.000,-

Universitas Sumatera Utara


C. PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan

1. Dasar Hukum PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan

Dasar Hukum Pajak Penghasilan Final Pengalihan Hak Atas Tanah/Bangunan

(PPh PHTB) adalah:

a. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;

b. Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008.

c. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak

Penghasilan Perolehan Tanah/Bangunan (PPh PHTB);

d. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996 tentang Perubahan Pertama PP

Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran PPh PHTB;

e. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 1999 tentang Perubahan Kedua PP

Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran PPh PHTB;

f. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga PP

Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran PPh PHTB;

g. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 635/KMK.04/1994 sebagaimana telah

diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2008.

2. Prinsip Pemajakan Menurut UU PPh

Undang-Undang PPh menganut prinsip pemajakan atas penghasilan dalam

pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas setiap tambahan kemampuan

Universitas Sumatera Utara


ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dari manapun asalnya yang dapat

dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak tersebut. 74

Pada dasarnya PPh itu menerapkan prinsip global taxation, dikenakan atas

seluruh penghasilan, dari manapun asalnya baik dari Indonesia maupun dari luar

Indonesia (world-wide income concept). 75 Namun UU PPh tidak sepenuhnya

menganut unitary tax system (suatu skedul tarif diterapkan atas seluruh tanggungan

penghasilan) dan comprehensive income taxation. Atas kategori penghasilan tertentu

UU PPh masih membolehkan penerapan schedular tax system yaitu pengenaan PPh

atas jenis dan sumber penghasilan tertentu dengan perlakuan pengenaan baik sifat,

tarif, besar, dan tata cara secara tersendiri dan berbeda.

Pengenaan PPh yang bersifat final, berdasarkan teori disebut schedular

taxation. Dasar pertimbangannya kesederhanaan pemungutan, keadilan/pemerataan

pengenaan, dan memperhatikan perkembangan ekonomi. Pasal 17 ayat (7) UU PPh

memberikan wewenang kepada Peraturan Pemerintah/ Keputusan Menteri Keuangan

untuk menerapkan tarif tersendiri atas PPh Pasal 4 ayat (2). System schedular dengan

tarif tersendiri diterapkan terhadap penghasilan tertentu yang dikenakan PPh

berdasarkan ketentuan UU PPh.

74
Gustian Djuanda dan Irwansyah Lubis, Pelaporan Pajak Penghasilan, Edisi Revisi,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm.321.
75
Mohammad Zain, Manajemen Perpajakan, Edisi 3, (Jakarta: Salemba Empat, 2008),
hlm.23.

Universitas Sumatera Utara


Perbedaan antara Global Taxation dan Schedular Taxation adalah: 76

a. Pada Global Taxation penghasilan digabungkan tanpa membedakan asal, sumber,

dan jenis (equal treatment for the equals), sedangkan pada Schedular Taxation

perlakuan pajak berbeda-beda berdasarkan asal, sumber, dan jenis penghasilan.

b. Pada Global Taxation diberlakukan satu struktur tarif pajak atas total penghasilan

(Pasal 17 UU PPh), sedangkan pada Schedular Taxation tarif pajak berbeda-beda

tergantung sumber, jenis penghasilan.

c. Pada Global Taxation penghasilan kena pajak adalah net income (global gross

income dikurangkan dulu dengan tax reliefs), sedangkan pada Schedular Taxation

penghasilan kena pajak adalah gross income atau deemed profit atau deemed

taxable income (tanpa tax reliefs).

d. Pada Global Taxation pajak penghasilan dipotong tax credit (tidak final),

sedangkan pada Schedular Taxation pajak penghasilan dipotong bukan tax credit

(final).

Karakteristik PPh Final adalah penghasilan yang dikenakan PPh Final tidak

perlu digabungkan dengan penghasilan lain yang non final dalam penghitungan PPh

pada SPT Tahunan PPh, jumlah PPh Final yang telah dibayar sendiri atau dipotong

pihak lain tidak dapat dikreditkan, biaya-biaya yang dipergunakan untuk memperoleh

penghasilan yang dikenakan PPh Final tidak dapat dikurangkan.

76
Haula Rosdiana, Perpajakan, Teori dan Kebijakan, (Jakarta: Divisi Fiskal Fisip UI, 2004),
hlm.112.

Universitas Sumatera Utara


3. Penggolongan PPh Final

Schedular taxation dapat dilihat pada ketentuan Pasal 4 ayat (2), Pasal 15,

Pasal 17 ayat (2) d, Pasal 19, Pasal 21, dan Pasal 22 UU PPh dan aturan

pelaksanaannya.

Berdasarkan jenis penghasilan objek pajak tertentu yang dikenakan PPh

pengelompokan PPh final dengan sistem pemajakan skedular, PPh Final dapat

digolongkan ke dalam 6 kelompok:

a. PPh Pasal 15 terdapat 5 kategori;

b. PPh Pasal 17 ayat (2) terdapat 1 kategori;

c. PPh Pasal 19 terdapat 1 kategori;

d. PPh Pasal 21 terdapat 4 kategori;

e. PPh Pasal 22 terdapat 1 kategori;

f. PPh Pasal 4 ayat (2) terdapat 11 kategori.

Kategori PPh Pasal 4 ayat (2) adalah:

a. PPh Bunga Deposito dan Tabungan lainnya;

b. PPh Bunga Obligasi dan Surat Utang Negara;

c. PPh Bunga Simpanan Anggota (OP) Koperasi;

d. PPh Hadiah Undian;

e. PPh Transaksi Saham, Sekuritas Lainnya, dan Derivatif yang Diperdagangkan di

Bursa;

f. PPh Perusahaan Modal Ventura dari Transaksi Penjualan Saham atau Pengalihan

Penyertaan Modal pada Perusahaan Pasangannya;

Universitas Sumatera Utara


g. PPh Transaksi Pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan;

h. PPh Usaha Jasa Konstruksi;

i. PPh Usaha Real Estate;

j. PPh Persewaan Tanah/Bangunan;

k. PPh Usaha Mikro Kecil dan Menengah;

l. PPh atas Penghasilan Tertentu Lainnya.

4. Subjek Pajak

Pajak Penghasilan (PPh) dikenakan terhadap orang pribadi dan badan,

berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh selama satu tahun

pajak. 77 Subjek PPh meliputi :

a. Orang pribadi;

Adalah orang pribadi yang bertempat tinggal/berada di Indonesia atau luar negeri.

b. Warisan Belum Terbagi (WBT);

Sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak, merupakan subjek pajak

pengganti, menggantikan yang berhak (ahli waris).

c. Badan;

Adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang

melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan

terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik Negara atau

daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma kongsi, koperasi, dana

pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial


77
Gustian Djuanda, Op.Cit., hlm.4.

Universitas Sumatera Utara


politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk

kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap; dan

d. Bentuk Usaha Tetap (BUT).

Disebut juga Permanent Establishment mempunyai pengertian adanya suatu

tempat usaha (place of business) yaitu fasilitas berupa tanah, bangunan, mesin,

dan peralatan. Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan dipakai untuk

menjalankan usaha atau melakukan kegiatan oleh orang pribadi atau badan luar

negeri. Pengertian BUT mencakup juga orang pribadi atau badan selaku

independent agent yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan

luar negeri. Orang pribadi atau badan luar negeri tidak dapat dianggap

mempunyai BUT bila menggunakan agen, broker, atau perantara yang

mempunyai kedudukan bebas (independent agent).

Subjek Pajak/Wajib Pajak Dalam Negeri:

a. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau yang berada di Indonesia

lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas)

bulan, atau yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai

niat untuk bertempat tinggal di Indonesia. 78

b. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, meliputi Perseroan

Terbatas, Perseroan Komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara

atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana

pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial


78
Ibid., hlm.5

Universitas Sumatera Utara


politik atau organisasi yang sejenis, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk

reksadana. 79 Kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:

1) pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan

2) pembiayaannya bersumber dari APBN atau APBD

3) penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau

Pemerintah Daerah

4) pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara.

c. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.

Subjek pajak Dalam Negeri dikenakan PPh atas penghasilan yang diterima

atau diperolehnya baik dari Indonesia maupun dari Luar Negeri (worldwide income/

berdasarkan asas domisili).

Subjek Pajak/ Wajib Pajak Luar Negeri:

a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia

tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua

belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di

Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di

Indonesia.

b. Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia

tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak

didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau

79
Ibid., hlm.5-6.

Universitas Sumatera Utara


memperoleh panghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau

melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia.

Subjek pajak Luar Negeri dikenakan PPh hanya atas penghasilan yang

diterima atau diperolehnya dari Indonesia baik melalui BUT maupun tanpa BUT di

Indonesia. 80

Tidak termasuk Subjek Pajak/Wajib Pajak Penghasilan, adalah:

a. Kantor perwakilan negara asing;

b. Pejabat perwakilan diplomatik, dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara

asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan

bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat:

1) bukan warga Negara Indonesia; dan

2) di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan

atau pekerjaannya tersebut; serta

3) negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;

c. Organisasi-organisasi Internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri

Keuangan dengan syarat :

1) Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;

2) tidak menjalankan usaha; atau

3) kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberian

pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota;

80
Mohammad Zain, Op.Cit., hlm.299.

Universitas Sumatera Utara


d. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan

Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat :

1) bukan warga negara Indonesia; dan

2) tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh

penghasilan dari Indonesia.

Dalam pengenaan PPh Final Pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan

Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 tentang Perubahan Ketiga Atas

Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan

Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan menegaskan

bahwa yang menjadi subjek pajak adalah orang pribadi dan badan.

5. Objek Pajak

Pengertian penghasilan dalam Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang

Perubahan Keempat atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan

(Undang-Undang PPh), yang mulai berlaku sejak 1 Januari 2009, tidak

memperhatikan adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya

tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima

atau diperoleh Wajib Pajak merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib

Pajak tersebut untuk ikut bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah

untuk kegiatan rutin dan pembangunan. 81

Dilihat dari adanya tambahan kemampuan ekonomis kepada Wajib Pajak,

penghasilan dapat dikelompokkan menjadi:


81
Gustian Djuanda, Op.Cit., hlm.20.

Universitas Sumatera Utara


a. penghasilan dari pekerjaan dalam hubungan kerja dan pekerjaan bebas seperti

gaji, honorarium, penghasilan dari praktek dokter, Notaris, akuntan, pengacara,

dan sebagainya;

b. penghasilan dari usaha dan kegiatan;

c. penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak, seperti

bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta atau hak yang tidak

dipergunakan untuk usaha; dan

d. penghasilan lain-lain, seperti pembebasan utang dan hadiah.

Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi dan

dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak. 82 Karena Undang-

Undang ini menganut pengertian penghasilan yang luas maka semua jenis

penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk

mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila dalam satu tahun

pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, kerugian tersebut

dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (kompensasi horisontal), kecuali

kerugian yang diderita di luar negeri. Namun demikian, apabila suatu jenis

penghasilan dikenai pajak dengan tarif yang bersifat final atau dikecualikan dari

objek pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan

lain yang dikenai tarif umum.

Penghasilan-penghasilan yang termasuk didalam kategori ini bersifat tidak

final. Atas PPh yang telah dibayarkannya dapat dijadikan sebagai kredit pajak atau
82
Mohammad Zain, Op.Cit., hlm.137.

Universitas Sumatera Utara


pengurang pajak pada saat dilakukan perhitungan kembali di akhir tahun pajak (SPT

Tahunan Badan/SPT Tahunan OP).

Ketentuan Pasal 4 Undang-Undang PPh mengatur mengenai penghasilan-

penghasilan yang termasuk dalam Objek Pajak. Selain mengatur mengenai

penghasilan yang termasuk sebagai Objek Pajak, Pasal 4 Undang-Undang PPh juga

mengatur mengenai penghasilan yang dikenakan PPh Final dan tidak termasuk Objek

Pajak.

Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang PPh mengatur mengenai objek pajak

penghasilan (PPh). menurut ketentuan ini yang menjadi objek pajak penghasilan yaitu

setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak

(WP), baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat

dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang

bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun termasuk: 83

a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima

atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus,

gratifikasi, uang pensiun atau imbalan dalam bentuk lainnya kecuali ditentukan

lain dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan;

b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan;

c. Laba usaha;

d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:

83
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat
atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, Pasal 4.

Universitas Sumatera Utara


1) keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan

badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;

2) keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya karena

pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu atau anggota ;

3) keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran,

pemecahan atau pengambilalihan usaha;

4) keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan,

kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus

satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial

atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri

Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan,

kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;

5) keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak

penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam

perusahaan pertambangan.

e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya;

f. Bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan karena jaminan pengembalian

utang;

g. Dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari

perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha

koperasi;

h. Royalty atau imbalan atas penggunaan hak;

Universitas Sumatera Utara


i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;

j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;

k. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu

yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;

l. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing;

m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;

n. Premi asuransi;

o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari

WP yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;

p. Tambahan kekayaan netto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan

pajak;

q. Penghasilan dari usaha berbasis syariah;

r. Imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur

mengenai Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;

s. Surplus Bank Indonesia.

Tidak Termasuk Objek Pajak Penghasilan, adalah : 84

a. Bantuan atau sumbangan termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat

atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para

penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi

pemeluk agama yang diakui di Indonesia;

84
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat
atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, Pasal 4 ayat (3).

Universitas Sumatera Utara


b. Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus

satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial

atau pengusaha kecil termasuk koperasi atau orang pribadi yang menjalankan

usaha mikro dan kecil yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan

Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha,

pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;

c. Warisan;

d. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham

atau sebagai pengganti penyertaan modal;

e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima

atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau

Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, wajib Pajak yang

dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma

penghitungan khusus (deemed profit) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15

Undang-Undang PPh;

f. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan

asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna dan

asuransi beasiswa;

g. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai

WP Dalam Negeri, koperasi, BUMN atau BUMD dari penyertaan modal pada

badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:

1) dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan

Universitas Sumatera Utara


2) bagi perseroan terbatas, BUMN dan BUMD yang menerima dividen,

kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25%

(dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor;

h. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah

disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun

pegawai;

i. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun dalam bidang-bidang

tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;

j. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang

modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan

kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;

k. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa

bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha

atau kegiatan di Indonesia dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:

1) Merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah atau yang menjalankan

kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan dengan Keputusan

Menteri Keuangan;

2) Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.

l. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih

lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, yaitu:

Universitas Sumatera Utara


1) Diterima atau diperoleh Warga Negara Indonesia dari Wajib Pajak pemberi

beasiswa dalam rangka mengikuti pendidikan formal/nonformal yang

terstruktur baik di dalam negeri maupun luar negeri;

2) Tidak mempunyai hubungan istimewa dengan pemilik, komisaris, direksi atau

pengurus dari wajib pajak pemberi beasiswa;

3) Komponen beasiswa terdiri dari biaya pendidikan yang dibayarkan ke

sekolah, biaya ujian, biaya penelitian yang berkaitan dengan bidang studi

yang diambil, biaya untuk pembelian buku, dan/atau biaya hidup yang wajar

sesuai dengan daerah lokasi tempat belajar;

m. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak

dalam bidang pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, yang telah

terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam

bentuk sarana dan prasarana kegiatan bidang pendidikan dan/atau penelitian dan

pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak

diperolehnya sisa lebih tersebut;

n. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara jaminan

Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan

atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Klasifikasi pengalihan hak atas tanah dan bangunan dibagi menjadi

pengalihan hak atas tanah dan bangunan yang dilakukan antara orang-perorangan

atau badan hukum swasta dengan orang-perorangan atau badan hukum swasta (non

pemerintah dengan non pemerintah), atau antara antara orang-perorangan atau badan

Universitas Sumatera Utara


hukum swasta dengan pemerintah (non pemerintah dengan pemerintah). Pengalihan

hak atas tanah dan bangunan yang dilakukan antara non pemerintah dengan

pemerintah dibagi menjadi pengalihan hak atas tanah yang tidak memerlukan

persyaratan khusus dan pengalihan hak atas tanah yang memerlukan persyaratan

khusus.

Pengalihan hak atas tanah dan bangunan yang dilakukan antara non

pemerintah dengan non pemerintah maka atas penghasilan yang diterima atau

diperoleh orang pribadi atau badan tersebut wajib dibayar pajak penghasilan finalnya

(PPh PHTB), demikian juga antara non pemerintah dengan pemerintah yang tidak

memerlukan persyaratan khusus juga wajib dibayar PPh PHTB. Pengecualian

terhadap pengalihan hak atas tanah yang dilakukan antara non pemerintah dengan

pemerintah yang memerlukan persyaratan khusus, maka penghasilan yang diterima

atau diperoleh non pemerintah dikenakan PPh PHTB, sedangkan terhadap pemerintah

tidak dikenakan PPh PHTB. 85

Pengalihan hak atas tanah yang dilakukan antara non pemerintah dengan

pemerintah yang memerlukan persyaratan khusus berlaku bagi pembangunan untuk

kepentingan umum yang pembebasannya oleh pemerintah lokasinya tidak dapat

dipindahkan ke tempat lain karena untuk: 86

a. Jalan umum;
85
Direktorat Jenderal Pajak, Seri PPh - Pajak Penghasilan Atas Pengalihan Hak Atas Tanah
dan/atau Bangunan, http://www.pajak.go.id/content/seri-pph-pajak-penghasilan-atas-pengalihan-hak-
atas-tanah-danatau-bangunan, terakhir diakses tanggal 10 Nopember 2014.
86
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2008 tentang Perubahan
Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan
Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan, Penjelasan Pasal 5 Huruf b.

Universitas Sumatera Utara


b. Saluran pembuangan air, saluran irigasi;

c. Waduk, bendungan, bangunan pengairan lain;

d. Pelabuhan, bandar udara;

e. Fasilitas keselamatan umum seperti tanggul banjir, lahar, dan bencana alam

lainnya serta tempat pembuangan sampah;

f. Fasilitas tentara/polisi.

Mengenai pengalihan hak atas tanah dan bangunan dapat dilakukan dengan

cara: 87

a. Penjualan,

b. Tukar menukar termasuk ruislag,

c. Perjanjian pemindahan hak,

d. Pelepasan hak,

e. Penyerahan hak,

f. Lelang,

g. Hibah,

h. Cara lain yang disepakati kedua pihak non pemerintah,

i. Cara lain yang disepakati dengan pemerintah guna pelaksanaan pembangunan

termasuk untuk kepentingan umum yang tidak memerlukan persyaratan khusus,

j. Cara lain yang disepakati dengan pemerintah guna pelaksanaan pembangunan

termasuk untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus.

87
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 Tentang Pembayaran
Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan, Pasal 1
ayat (2)

Universitas Sumatera Utara


Terhadap pengalihan hak atas tanah dan bangunan dengan cara lain yang

disepakati, antara lain:

a. Warisan,

b. Sewa Guna Usaha dengan hak opsi (finance lease),

c. Sale and lease back,

d. Penyetoran modal saham dalam bentuk tanah dan atau bangunan (inbreng, in-kind

participation),

e. Pengalihan hak sehubungan dengan Built Operate Transfer (BOT) atau Bangun

Guna Serah,

f. Penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha

(merger, consolidation, expantion, take over),

g. Pembubaran badan hukum (likuidasi),

h. Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

6. Penghitungan PPh Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan

Penghitungan Pajak Penghasilan Pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan

(PPh PHTB) yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif PPh PHTB sebesar

5% dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) PPh PHTB. Besarnya PPh PHTB adalah

sebesar 5% (lima persen) dari Jumlah Bruto Nilai Pengalihan Hak atas Tanah dan

Bangunan (JBNPHTB), kecuali atas pengalihan hak atas Rumah Sederhana (RS) dan

Rumah Susun Sederhana (RSS) yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha

Universitas Sumatera Utara


pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan bangunan dikenai PPh sebesar

1% (satu persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan. 88

Secara ringkas penghitungan PPh PHTB dapat digambarkan sebagai berikut:

PPh PHTB = tarif x DPP PPh PHTB

DPP PPh PHTB = JBNPHTB/ Nilai Risalah Lelang/ Nilai Keputusan Pejabat

JBNPHTB = Nilai tertinggi antara Nilai Transaksi dan NJOP PBB

PPh PHTB = 5 % x DPP PPh PHTB

Kecuali untuk RS dan RSS penghitungan PPh PHTB:

PPh PHTB = 1 % x DPP PPh PHTB.

Contoh:

NJOP TB = Rp.347.000.000,00

Harga Transaksi/Jual = Rp.500.000.000,00

PPh PHTB terutang 5% x Rp.500.000.000,00 = Rp. 25.000.000,00.

D. Pengenaan BPHTB dan PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah dan
Bangunan Dalam Transaksi BOT

1. Perlakuan Perpajakan Atas Transaksi BOT

Sesuai dengan KMK 248/KMK.04/1995 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan

Terhadap Pihak-Pihak Yang Melakukan Kerjasama Dalam Bentuk Perjanjian Bangun

Guna Serah (Built Operate And Transfer), kerjasama antara pemilik tanah dengan

investor, dimana investor mendirikan bangunan di atas tanahnya pemilik tanah untuk

88
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


dioperasikan dalam periode tertentu, kemudian bangunan tersebut dialihkan kepada

pemilik tanah di akhir masa BOT.

Bangun Guna Serah (Built Operate and Transfer) adalah bentuk perjanjian

kerjasama yang dilakukan antara pemegang hak atas tanah dengan investor, yang

menyatakan bahwa pemegang hak atas tanah memberikan hak kepada investor untuk

mendirikan bangunan selama masa perjanjian bangun guna serah (BOT), dan

mengalihkan kepemilikan bangunan tersebut kepada pemegang hak atas tanah selama

masa bangun guna serah berakhir. 89

Biaya mendirikan bangunan di atas tanah yang dikeluarkan oleh investor

merupakan nilai perolehan investor untuk mendapatkan hak menggunakan atau hak

mengusahakan bangunan tersebut, dan jumlah biaya yang dikeluarkan tersebut oleh

investor diamortisasi dalam jumlah yang sama besar setiap tahun selama masa

Perjanjian bangun guna serah. Amortisasi tersebut dimulai pada tahun bangunan

tersebut mulai digunakan atau diusahakan oleh investor.

Apabila masa perjanjian bangun guna serah menjadi lebih pendek dari masa

yang telah ditentukan dalam perjanjian maka sisa biaya pembangunan yang belum

diamortisasi, diamortisasi sekaligus oleh investor pada tahun berakhirnya masa

bangun guna serah yang lebih pendek tersebut. Apabila dalam pelaksanaan bangun

guna serah tersebut diberikan penggantian atau imbalan kepada investor, maka

89
Republik Indonesia, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 248/KMK.04/1995 tentang
Perlakuan Pajak Penghasilan Terhadap Pihak-Pihak Yang Melakukan Kerjasama Dalam Bentuk
Perjanjian Bangun Guna Serah (Built Operate And Transfer), Pasal 1.

Universitas Sumatera Utara


penggantian atau imbalan tersebut adalah penghasilan bagi investor dalam tahun

diterimanya hak penggantian atau imbalan tersebut.

Apabila masa perjanjian bangun guna serah menjadi lebih panjang dari masa

yang telah ditentukan dalam perjanjian karena adanya penambahan bangunan, maka

biaya penambahan bangunan tersebut ditambahkan terhadap sisa biaya yang belum

diamortisasi dan diamortisasi oleh investor hingga berakhirnya masa bangun guna

serah yang lebih panjang tersebut.

Bangunan yang diserahkan oleh investor kepada pemilik tanah setelah masa

perjanjian bangun guna serah berakhir adalah merupakan penghasilan bagi pemilik

tanah (owner) dan terutang Pajak Penghasilan sebesar 5% (lima persen) dari jumlah

bruto nilai yang tertinggi antara nilai pasar dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)

bangunan yang bersangkutan, harus dilunasi selambat-lambatnya tanggal 15 bulan

berikutnya setelah masa guna serah berakhir. 90

Bagi Investor, biaya pembangunan bangunan merupakan biaya yang

dikeluarkan untuk memperoleh hak penggunaan, sehingga seluruh biaya tersebut

diamortisasi selama periode BOT. Investor akan mencatat pendirian bangunan

tersebut sebagai aktiva tak berwujud yang diamortisasi.

Bagi pemilik tanah, bangunan yang diterimanya pada akhir periode

merupakan penghasilan yang diakui pada akhir periode, dan akan terutang PPh Final

sebesar 5% dari harga pasar atau NJOP mana yang paling tinggi. Pemilik tanah akan

90
Republik Indonesia, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-38/PJ.4/1995
tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Sehubungan Dengan Perjanjian Bangun Guna
Serah, Bagian III angka 1.3.

Universitas Sumatera Utara


mencatat Bangunan dan penghasilan sebesar Harga Pasar atau NJOP mana yang

paling tinggi, namun PPh nya sudah dikenakan PPh Final.

Sedangkan mengenai pengenaan BPHTB atas transaksi BOT tidak diatur

secara jelas dalam Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 1 Tahun 2011 tentang Bea

Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, hanya dalam ketentuan Pasal 2 ayat (3)

huruf b bahwa perolehan hak atas tanah dan bangunan yang menjadi objek pajak

BPHTB meliputi juga pemberian hak baru karena kelanjutan pelepasan hak atau

diluar pelepasan hak.

2. PPh Final PHTB Dalam Transaksi BOT

Menurut Keputusan Menteri Keuangan Nomor 248/KMK.04/1995 tentang

Perlakuan Pajak Penghasilan Terhadap Pihak-Pihak Yang Melakukan Kerjasama

Dalam Bentuk Perjanjian Bangun Guna Serah (Built Operate And Transfer) jo.

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-38/PJ.4/1995 tentang Perlakuan

Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Sehubungan Dengan Perjanjian Bangun Guna

Serah, pembayaran pajak penghasilan (PPh) sebesar 5% yang dilakukan oleh

pemegang hak atas tanah atas penyerahan bangunan yang dilakukan oleh investor

bagi orang pribadi bersifat final dan bagi wajib pajak badan adalah merupakan

pembayaran pajak penghasilan Pasal 25 yang dapat diperhitungkan dengan pajak

penghasilan yang terutang untuk tahun pajak yang bersangkutan. Hanya saja

Universitas Sumatera Utara


dikecualikan dari pengenaan pajak penghasilan sebesar 5% tersebut diatas apabila

pemegang hak atas tanah adalah badan pemerintah. 91

Berdasarkan ketentuan Keputusan Menteri Keuangan Nomor

248/KMK.04/1995 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Terhadap Pihak-Pihak Yang

Melakukan Kerjasama Dalam Bentuk Perjanjian Bangun Guna Serah (Built Operate

And Transfer) jo. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-38/PJ.4/1995

tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Sehubungan Dengan

Perjanjian Bangun Guna Serah tersebut, maka kewajiban pajak penghasilan bagi

investor berlaku ketika proyek BOT tersebut telah selesai dilaksanakan dan

beroperasi serta pendapatan yang diperoleh investor apabila masa perjanjian BOT

diperpendek dari masa yang telah ditentukan, sedangkan kewajiban pajak penghasilan

bagi pemilik tanah berlaku ketika masa perjanjian BOT berakhir dan bangunan

diserahkan pihak investor kepada pemegang hak atas tanah, namun apabila pemegang

hak atas tanah adalah badan pemerintah maka ketentuan pajak penghasilan ini tidak

diberlakukan.

Mengenai besarnya PPh Final terutang pemegang hak atas tanah dan

bangunan dapat diuraikan sebagai berikut: 92

1. Penghasilan pemegang hak atas tanah karena menerima sebagian dari bangunan

yang didirikan.

91
Republik Indonesia, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-38/PJ.4/1995
tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Sehubungan Dengan Perjanjian Bangun Guna
Serah, Bagian IV Point 2.
92
Atep Adya Barata, Panduan Lengkap Pajak Penghasilan, (Jakarta: Visimedia, 2011),
hal.303.

Universitas Sumatera Utara


Dalam hal bangunan yang didirikan investor tidak seluruhnya menjadi hak

investor tetapi sebagian diserahkan kepeda pemegang hak atas tanah, maka bagian

bangunan yang diserahkan merupakan penghasilan bagi pemegang hak atas tanah

dalam tahun pajak yang bersangkutan. Atas penyerahan tersebut terutang PPh

sebesar 5 % (lima persen) dari jumlah bruto nilai tertinggi antara nilai pasar

(market value) dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) bagian bangunan yang

diserahkan dan harus dilunasi pemegang hak atas tanah paling lambat tanggal 15

bulan berikutnya setelah penyerahan.

Nilai pasar atau NJOP digunakan sebagai dasar pengenaan pajak, ditentukan bilai

mana yang lebih tinggi antara keduanya. Nilai tertinggi itulah yang dipakai

sebagai dasar perhitungan. Pelunasan PPh disetor sendiri oleh pemegang hak atas

tanah. 93

Contoh:

a. Bagian bangunan yang diserahkan oleh investor kepada pemegang hak atas

tanah menurut property appraisal mempunyai nilai pasar

Rp.6.000.000.000,00 sementara berdasarkan SPPT PBB NJOP-nya

Rp.5.000.000.000,00 maka yang dipakai sebagai dasar perhitungan adalah

nilai pasar.

PPh yang terutang oleh pemegang hak adalah:

5% x Rp.6.000.000.000,00 = Rp.3.000.000.000,00

93
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


b. Bagian bangunan yang diserahkan oleh investor kepada pemegang hak atas

tanah menurut property appraisal mempunyai nilai pasar

Rp.6.000.000.000,00 sementara berdasarkan SPPT PBB NJOP-nya

Rp.7.000.000.000,00 maka yang dipakai sebagai dasar perhitungan adalah

NJOP PBB.

PPh yang terutang oleh pemegang hak adalah:

5% x Rp.7.000.000.000,00 = Rp.350.000.000.000,00

2. Penghasilan pemegang hak atas tanah karena penyerahan bangunan dari investor

setelah masa BOT selesai. 94

Bangunan yang diserahkan oleh investor kepada pemegang hak atas tanah setelah

masa perjanjian bangun guna serah berakhir, terutang PPh sebesar 5% (lima

persen) dari jumlah bruto nilai tertinggi antara Nilai Pasar dengan Nilai Jual

Objek Pajak (NJOP) bangunan yang diserahkan, dan harus dilunasi pemegang hak

atas tanah paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa bangun guna

serah berakhir.

Contoh:

a. Bangunan yang diserahkan oleh investor kepada pemegang hak atas tanah

pada masa akhir BOT menurut property appraisal mempunyai nilai pasar

Rp.7.000.000.000,00 sementara berdasarkan SPPT PBB NJOP-nya

Rp.6.000.000.000,00 maka yang dijadikan dasar perhitungan adalah nilai

pasar.
94
Ibid., hlm.304.

Universitas Sumatera Utara


PPh yang terutang oleh pemegang hak adalah:

5% x Rp.7.000.000.000,00 = Rp.350.000.000,00

b. Bangunan yang diserahkan oleh investor kepada pemegang hak atas tanah

pada masa akhir BOT menurut property appraisal mempunyai nilai pasar

Rp.7.000.000.000,00 sementara berdasarkan SPPT PBB NJOP-nya

Rp.7.500.000.000,00 maka yang dijadikan dasar perhitungan adalah nilai

pasar.

PPh yang terutang oleh pemegang hak adalah:

5% x Rp.7.500.000.000,00 = Rp.375.000.000,00

Pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud di atas:

a. Bagi orang pribadi bersifat final, dan

b. Bagi wajib pajak badan adalah merupakan pembayaran pajak penghasilan Pasal

25 yang dapat diperhitungkan dengan pajak penghasilan yang terutang untuk

tahun pajak yang bersangkutan.

Pengenaan PPh Final sebesar 5% diberlakukan terhadap wajib pajak non

pemerintah, sedangkan terhadap pemerintah tidak dikenakan pajak. Berdasarkan

ketentuan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 248/KMK.04/1995 tentang

Perlakuan Pajak Penghasilan Terhadap Pihak-Pihak Yang Melakukan Kerjasama

Universitas Sumatera Utara


Dalam Bentuk Perjanjian Bangun Guna Serah (Built Operate And Transfer), pihak

pemerintah tidak dikenakan pajak. 95

Dalam melaksanakan tugasnya, pemerintah kadang kala membutuhkan tanah

dan bangunan guna menunjang pelaksanaan tugas yang diembannya. Tanah dan/atau

bangunan yang digunakan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan untuk

pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum merupakan tanah dan atau

bangunan yang digunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan baik pemerintah

pusat atau pemerintah daerah dan kegiatan yang semata-mata tidak ditujukan untuk

mencari keuntungan, misalnya tanah atau bangunan yang digunakan untuk instansi

pemerintah, rumah sakit pemerintah, jalan umum dan sebagainya. 96

Apabila pemerintah membutuhkan tanah dan bangunan dalam pelaksanaan

tugasnya, maka pemerintah dapat melakukan perbuatan hukum guna mendapatkan

suatu tanah dan bangunan, misalnya dengan cara pembebasan tanah dan bangunan

dengan memberikan ganti rugi kepada pemilik tanah dan bangunan. Perbuatan hukum

ini mengakibatkan perolehan hak atas tanah dan bangunan oleh instansi pemerintah

yang seharusnya dikenakan pajak. Tetapi karena tujuan perolehan hak ini untuk

menjalankan fungsinya maka perolehan hak oleh negara untuk penyelenggaraan

95
Republik Indonesia, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-38/PJ.4/1995
tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Sehubungan Dengan Perjanjian Bangun Guna
Serah, Bagian IV Point 2
96
Marihot Pahala Siahaan (b), Op.Cit., hlm.69.

Universitas Sumatera Utara


pemerintahan dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum

ditetapkan bukan menjadi objek pajak. 97

3. BPHTB Dalam Transaksi BOT

Sebagaimana ditentukan dalam UU BPHTB bahwa Bea Perolehan Hak atas

Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan

atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau

peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan

oleh orang pribadi atau badan. Pelunasan BPHTB menjadi salah satu prasyarat yang

harus dipenuhi penerima hak untuk melakukan pendaftaran hak atas tanah, guna

perolehan sertipikat tanda bukti hak atas tanah. Dalam transaksi BOT perubahan

status hak atas tanah dari Hak Pengelolaan menjadi Hak Guna Bangunan diatas Hak

Pengelolaan merupakan objek BPHTB bagi investor yang menerima hak atas tanah,

dan harus dibayar sejak penerbitan sertifikat HGB di atas Hak Pengelolaan tersebut.

Dalam ketentuan Pasal 85 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang

Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) tidak memasukkan BOT sebagai

objek pajak pengalihan tanah dan bangunan, sehingga dengan demikian terhadap

BPHTB dalam transaksi BOT tidak ada dasar hukum pemungutannya.

97
Ibid., hlm.70.

Universitas Sumatera Utara


BAB III
KEPASTIAN SAAT TERHUTANG BPHTB DAN PPH FINAL PENGALIHAN
HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DALAM TRANSAKSI BOT (BUILT
OPERATE AND TRANSFER)

A. Saat Terutang Pajak Dalam Perpajakan

Pada setiap ketentuan pengenaan atau pemungutan pajak, satu hal yang sangat

menentukan untuk dapat dilakukan pemungutan pajak atas suatu objek pajak adalah

saat pajak terutang. Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu

saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai

dengan ketentuan dalam Undang-Undang Perpajakan. Setiap undang-undang pajak

harus menentukan kapan saat pajak terutang dengan jelas agar tidak menimbulkan

sengketa antara wajib pajak dengan fiskus. 98 Untuk menentukan saat wajib pajak

melaksanakan kewajiban membayar pajak, penentuan saat pajak terutang menjadi

sangat relevan. Tanpa diketahui saat pajak terutang, tidak mungkin ditentukan kapan

waktunya wajib pajak wajib memenuhi kewajiban melunasi utang pajaknya. Untuk

menentukan saat pajak terutang sangat erat kaitannya dengan penentuan saat

timbulnya utang pajak.

Mengenai saat timbulnya utang pajak, terdapat dua ajaran yaitu ajaran materil

(materiele leer) dan ajaran formal (formele leer). Menurut ajaran materil (materiele

leer) menyatakan bahwa timbulnya utang pajak pada saat diundangkannya undang-

undang pajak dan terpenuhinya syarat subjektif dan syarat objektif secara bersamaan,

98
Marihot Pahala Siahaan (b), Op.Cit., hlm.207.

Universitas Sumatera Utara


tanpa harus diikuti Surat Ketetapan Pajak (SKP) oleh pejabat pajak. Syarat subjektif

adalah syarat yang melekat pada subjeknya seperti seseorang lahir di Indonesia,

bertempat tinggal di Indonesia. Syarat objektif adalah syarat yang melekat pada

objeknya seperti memiliki penghasilan kena pajak, melakukan penyerahan barang

kena pajak, memiliki tanah dan bangunan. Pada saat seluruh syarat timbulnya utang

pajak terpenuhi, saat itu juga sudah menjadi kewajiban. 99

Sedangkan menurut ajaran formal, sebaliknya, menyatakan bahwa di samping

undang-undang, utang pajak baru timbul jika ada perbuatan manusia yang

menimbulkannya. Adanya syarat-syarat objektif dan subjektif timbulnya utang pajak

sajaa belum cukup, masih harus dilengkapi dengan adanya perbuatan manusia berupa

Surat Ketetapan Pajak yang dikeluarkan oleh pejabat pajak. Dengan demikian,

menurut ajaran formal, saat timbulnya utang pajak adalah pada saat diterbitkannya

Surat Ketetapan Pajak (SKP) oleh pejabat pajak. Menurut ajaran ini meskipun

undang-undang pajak telah diundangkan, seseorang telah memenuhi syarat subjektif

dan syarat objektif secara bersamaan, apabila Surat Ketetapan Pajak belum

diterbitkan oleh pejabat pajak maka utang pajak belum timbul. Menurut ajaran

formal, adanya Surat Ketetapan Pajak merupakan syarat mutlak timbulnya utang

pajak. 100

99
Panca Kurniawan dan Bagus Pamungkas, Penagihan Pajak di Indonesia, (Malang: Bayu
Media Publishing, 2006), hlm.2.
100
Soemarso S.R., Perpajakan: Pendekatan Komprehensif, (Jakarta: Salemba Empat, 2007),
hlm.11.

Universitas Sumatera Utara


Utang menurut hukum perdata adalah perikatan, yang mengandung kewajiban

bagi salah satu pihak (subjek hukum) untuk melakukan sesuatu (prestasi) atau tidak

melakukan sesuatu yang menjadi hak pihak lain. Artinya, apabila pihak yang wajib

melakukan suatu prestasi tidak melakukan hal itu atau jika pihak yang wajib tidak

melakukan sesuatu ternyata melakukan hal itu, maka akan terjadi suatu contract

break sehingga pihak yang dirugikan dapat menuntut kepada pihak yang melanggar

isi perikatan. 101

Pengertian utang pajak dalam hukum pajak tergolong sebagai utang dalam arti

sempit. Wajib pajak (debitor) diwajibkan membayar sejumlah uang dalam jumlah

tertentu ke kas negara (kreditor) sesuai dengan ketentuan perundang-undangan

perpajakan. Utang pajak timbul secara khusus karena negara (kreditor) terikat dan

tidak dapat memilih secara bebas, siapa yang akan dijadikan debitornya, seperti

halnya dalam hukum perdata. Hal ini terjadi karena uutang pajak timbul karena

undang-undang. 102

Utang pajak mempunyai sifat memaksa, yaitu pelunasan utang pajak dapat

dipaksakan secara langsung oleh negara kepada wajib pajak. Paksaan ini dijamin oleh

hukum. Negara melalui Direktorat Jenderal Pajak dapat melakukan penyitaan atas

barang milik wajib pajak yang tidak melunasi hutang pajaknya untuk kemudian dapat

dijual secara lelang maupun non lelang guna pelunasan utang pajak. Kewajiban pajak

harus dipenuhi oleh wajib pajak. Kewajiban pajak yang harus dipenuhi tersebut, yang

101
Rochmat Soemitro, Asas-asas dan Dasar Perpajakan 2, (Bandung: Aresco, 1990), hlm.1.
102
Ibid., hlm.2.

Universitas Sumatera Utara


menimbulkan utang pajak harus dipenuhi wajib pajak, agar kewajibannya

sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang pajak dapat terpenuhi. Utang

pajak inilah yang menjadi pokok pangkal semua kegiatan pemungutan pajak.

Penentuan saat terutangnya pajak merupakan bagian penting dalam ketentuan

perpajakan. Saat ini dapat digunakan untuk: 103

1. Pembayaran/penagihan pajak;

2. Pemasukan Surat Keberatan;

3. Penentuan daluarsa;

4. Penerbitan Surat Penetapan Pajak.

Saat terutangnya pajak merupakan dasar untuk melakukan pembayaran pajak.

Pada umumnya, ada tenggang waktu tertentu antara saat terutangnya pajak dengan

saat pembayaran (pelunasan pajak). Jika utang pajak telah jatuh tempo (saat bayar)

dan ternyata belum dibayar, maka dilakukan penagihan pajak oleh kantor pajak. Batas

waktu pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atau suatu

masa pajak ditetapkan tidak melewati 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya

pajak atau berakhirnya masa pajak. Keterlambatan pembayaran dan penyetoran

tersebut berakibat dikenakannya sanksi administrasi. 104

Demikian juga halnya dengan pengajuan surat keberatan. Surat keberatan

pajak dapat diajukan dalam jangka waktu tertentu (3 bulan) setelah diterimanya surat

ketetapan pajak (saat terutangnya pajak menurut ajaran formal). Daluarsa dihitung

103
Ibid.
104
Djoko Muljono, Panduan Brevet Pajak: Akuntansi Pajak dan Ketentuan Umum
Perpajakan, (Yogyakarta: Penerbit Andi, 2010), hlm.113.

Universitas Sumatera Utara


sepuluh tahun sejak terutangnya pajak. Demikian halnya dengan surat ketetapan

pajak, yang pengeluarannya ditentukan oleh saat terutangnya pajak.

Surat Ketetapan Pajak menurut ajaran materiil hanya memiliki dua fungsi

yaitu sebagai instrumen penagihan pajak, sebagai instrumen untuk menentukan

jumlah utang pajak. Sedangkan menurut ajaran fomal memiliki tiga fungsi yaitu

sebagai instrumen yang menimbulkan utang pajak, sebagai instrumen penagihan

pajak, dan sebagai instrumen untuk menentukan jumlah utang pajak.

Surat ketetapan pajak dalam undang-undang perpajakan nasional, tidak selalu

diterbitkan oleh pejabat pajak kepada wajib pajak. Surat ketetapan pajak diterbitkan

antara lain apabila wajib pajak tidak melaksanakan kewajiban perpajakan dengan

baik misalnya, wajib pajak tidak melaporkan pajaknya sesuai dengan yang

seharusnya. Dalam hal demikian akan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang

Bayar (SKPKB) ataupun Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT).

Pajak yang kurang dibayar menurut penelitian aspek formal dan sanksi administrasi

perpajakan yang dikenakan terhadapnya ditagih oleh fiskus dengan Surat Tagihan

Pajak (STP). STP adalah surat dari Kepala KPP untuk melakukan tagihan pajak yang

kurang bayar/tidak bayar dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau

denda. 105

105
Muda Markus, Perpajakan Indonesia, Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2005), hlm.386.

Universitas Sumatera Utara


B. Saat Terhutang BPHTB Dalam Transaksi BOT (Built Operate And Transfer)

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah (UU PDRD) mengatur dengan jelas penentuan saat terutang pajak yang harus

diikuti pada setiap jenis perolehan hak atas tanah dan bangunan. Pada Bea Perolehan

Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) penentuan saat terutang pajak berguna

untuk menentukan beberapa hal antara lain:

1. Apakah suatu perolehan hak atas tanah dan bangunan terutang pajak atau
tidak;
2. Ketentuan pengenaan pajak dan fasilitas pajak yang mana yang akan
diberlakukan. Adanya perubahan peraturan di bidang BPHTB, baik di
tingkat undang-undang, peraturan pemerintah, maupun keputusan menteri
keuangan pada suatu waktu tertentu (misalnya perubahan ketentuan
pemberian pengurangan BPHTB dan besarnya presentase pengurangan)
akan berpengaruh pada perlakuan terhadap obyek pajak yang pada akhirnya
akan berpengaruh pada besarnya BPHTB terutang yang akan dibayar. Hal
ini sangat terkait dengan saat terutangnya pajak yang menjadi dasar
kewajiban pembayaran pajak terutang oleh wajib pajak.
3. Penentuan besarnya denda administrasi bila sekiranya berdasarkan
pemeriksaan fiskus harus diterbitkan STB, SKKB, dan SKBKBT.
4. Penentuan batas akhir hak wajib pajak untuk mengajukan keberatan dan
pengurangan pajak. 106

Ketentuan Pasal 90 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak

Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) memuat tentang saat terutang pajak atas

perolehan hak atas tanah dan atau bangunan sebagai berikut : 107

1. Jual Beli : Sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya Akta;

2. Tukar Menukar : Sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya Akta;

3. Hibah : Sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya Akta;

106
Marihot Pahala Siahaan (b), Op.Cit., hlm.207-208.
107
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, Pasal 90

Universitas Sumatera Utara


4. Waris : Sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan haknya ke

Kantor Pertanahan;

5. Pemasukan dalam Perseroan : Sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya Akta;

6. Pemisahan Hak : Sejak tanggal dibuat & ditandatanganinya Akta;

7. Lelang : Sejak tanggal penunjukan pemenang Lelang;

8. Putusan Hakim : Sejak tanggal putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan

hukum tetap;

9. Hibah Wasiat : Sejak tanggal yang bersangkutan mendaftarkan peralihan Haknya

ke Kantor Pertanahan;

10. Pemberian Hak Baru : Sejak tanggal ditandatangani dan diterbitkannya Surat

Keputusan Pemberian Hak;

11. Penggabungan Usaha : Sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya Akta;

12. Peleburan Usaha : Sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya Akta;

13. Pemekaran Usaha : Sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya Akta;

14. Hadiah : Sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya Akta.

Pajak terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak, dengan kata

lain saat terutang BPHTB adalah merupakan saat untuk wajib membayar pajak.

Tempat pajak terutang adalah di wilayah Kabupaten, Kota, atau Propinsi yang

meliputi letak tanah dan atau bangunan. 108

108
Tony Marsyahrul, Pengantar Perpajakan, (Jakarta: PT. Grasindo, 2006), hlm.183.

Universitas Sumatera Utara


Dengan demikian kewajiban bayar BPHTB muncul pada saat: 109

1. Dibuat dan ditandatanganinya Akta untuk Jual Beli, Hibah, Hibah Wasiat, Tukar

Menukar, Pemasukan Dalam Perseroan atau badan hukum lainnya, penggabungan

usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, hadiah, dan pemisahan hak yang

mengakibatkan peralihan;

2. Pendaftaran Peralihan Hak untuk Waris;

3. Ditunjuknya pemenang Lelang untuk Lelang;

4. Ditandatanganinya SK Pemberian Hak dalam hal pemberian hak baru;

5. Putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap untuk Putusan

Hakim.

C. Saat Terhutang PPh Final Pengalihan Hak Atas Tanah Dan Bangunan
Dalam Transaksi BOT (Built Operate And Transfer)

Pengenaan PPh Final sebesar 5% diberlakukan terhadap wajib pajak non

pemerintah, sedangkan terhadap pemerintah tidak dikenakan pajak. Dengan demikian

apabila pemegang hak atas tanah adalah pemerintah, ketika perjanjian Built, Operate,

and Transfer (BOT) berakhir dan bangunan diserahkan kembali kepada pemegang

hak atas tanah maka penyerahan bangunan tersebut bukan merupakan objek PPh

Final Peralihan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Sebaliknya, apabila pemegang hak

atas tanah adalah non pemerintah maka ketika perjanjian Built, Operate, and Transfer

(BOT) berakhir dan bangunan dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah, atas

109
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, Pasal 90 ayat (1).

Universitas Sumatera Utara


penyerahan bangunan tersebut merupakan objek PPh Final Peralihan Hak Atas Tanah

dan Bangunan, serta dikenakan PPh Final sebesar 5%.

Mengenai perlakuan PPh terhadap pihak-pihak yang melakukan kerjasama

dalam bentuk perjanjian Bangun Guna Serah (Built, Operate, and Transfer) diatur

dengan Keputusan Menteri Keuangan tanggal 2 Juni 1995 Nomor 248/KMK.04/1995

tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Terhadap Pihak-Pihak Yang Melakukan

Kerjasama Dalam Bentuk Perjanjian Bangun Guna Serah (Built Operate And

Transfer) jo. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak tanggal 14 Juli 1995 Nomor : SE-

38/PJ.4/1995 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Sehubungan

Dengan Perjanjian Bangun Guna Serah, sebagai berikut:

1. Bangun-Guna-Serah (Built, Operate, and Transfer) adalah: 110

a. Bentuk perjanjian kerja sama yang dilakukan antara pemegang hak atas tanah

dengan investor;

b. Yang menyatakan bahwa pemegang hak atas tanah memberikan hak kepada

investor untuk mendirikan bangunan selama masa perjanjian bangun guna

serah (Built, Operate, and Transfer/BOT);

c. Mengalihkan kepemilikan bangunan tersebut kepada pemegang hak atas tanah

setelah masa Built, Operate, and Transfer (BOT) berakhir.

d. Bangunan yang didirikan investor dapat berupa: gedung perkantoran,

apartemen, pusat perbelanjaan, rumah toko, hotel, atau bangunan lainnya.

110
Republik Indonesia, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-38/PJ.4/1995
tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Sehubungan Dengan Perjanjian Bangun Guna
Serah, Bagian I Point 1.

Universitas Sumatera Utara


2. Pihak-pihak yang melakukan perjanjian Built, Operate, and Transfer (BOT)

adalah: 111

a. Investor yang diberikan hak untuk mendirikan bangunan dan mengunakan

atau mengusahakan bangunan tersebut selama masa Built, Operate, and

Transfer (BOT);

b. Pemegang hak atas tanah yang memberikan hak kepada investor.

3. Penghasilan Bagi Investor 112

Penghasilan investor sehubungan dengan perjanjian Built, Operate, and Transfer

(BOT) adalah penghasilan yang diterima atau diperoleh investor dari pengusahaan

bangunan yang didirikan antara lain :

a. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;

b. Penghasilan sehubungan dengan hak pengusahaan bangunan seperti

penghasilan dari pengusahaan hotel, pusat fasilitas olah raga, dan lain-lain;

c. Penggantian atau imbalan yang diterima atau diperoleh dari pemegang hak

atas tanah apabila masa perjanjian Built, Operate, and Transfer (BOT)

diperpendek dari masa yang telah ditentukan.

111
Republik Indonesia, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-38/PJ.4/1995
tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Sehubungan Dengan Perjanjian Bangun Guna
Serah, Bagian I Point 3.
112
Republik Indonesia, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-38/PJ.4/1995
tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Sehubungan Dengan Perjanjian Bangun Guna
Serah, Bagian II Point 1.

Universitas Sumatera Utara


4. Biaya Bagi Investor:

a. Biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto bagi investor adalah

biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) UU PPh dengan

memperhatikan Pasal 9 ayat (1) UU PPh, berkenaan dengan pengusahaan

bangunan yang didirikan berdasarkan perjanjian Built, Operate, and Transfer

(BOT) tersebut; 113

b. Biaya-biaya yang dikeluarkan oleh investor untuk mendirikan bangunan

merupakan nilai perolehan investor untuk mendapatkan hak menggunakan/

mengusahakan bangunan tersebut, dan nilai perolehan tersebut oleh investor

diamortisasi dalam jumlah yang sama besar setiap tahun (metode garis lurus)

selama masa perjanjian Built, Operate, and Transfer (BOT). 114

Contoh 1 :

Investor PT BRILIAN mendirikan bangunan Ruko di atas tanah milik PT

ABYAN berdasarkan perjanjian Built, Operate, and Transfer (BOT) dengan

biaya Rp 30.000.000.000,00 untuk masa selama 15 tahun.

Amortisasi yang dilakukan oleh PT BRILIAN setiap tahun adalah sebesar :

Rp 30.000.000.000,00 : 15 = Rp 2.000.000.000,00

c. Apabila masa perjanjian Built, Operate, and Transfer (BOT) menjadi lebih

pendek dari masa yang telah ditentukan dalam perjanjian, maka sisa biaya

pembangunan yang belum diamortisasi, diamortisasi sekaligus oleh investor

113
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat
atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, Pasal 6 ayat (1), dan Pasal 9 ayat (1).
114
Atep Adya Barata, Op.Cit., hlm.300.

Universitas Sumatera Utara


pada tahun berakhirnya masa Built, Operate, and Transfer (BOT) yang lebih

pendek tersebut. 115

Contoh 2:

Berdasarkan contoh 1 di atas, PT BRILIAN pada akhir tahun ke-12

menyerahkan bangunan kepada PT ABYAN. Dengan diperpendeknya masa

perjanjian tersebut, lepada PT BRILIAN diberikan imbalan oleh PT ABYAN

sebesar Rp 5.000.000.000,00. Pada akhir tahun ke-12 (tahun berakhirnya

masa perjanjian BOT), PT BRILIAN memperoleh tambahan penghasilan

sebesar Rp 5.000.000.000,00 dan berhak atas tambahan amortisasi sebesar:

Rp 30.000.000.000,00 - (12 x Rp 2.000.000.000,00) = Rp 6.000.000.000,00

d. Apabila masa perjanjian Built, Operate, and Transfer (BOT) menjadi lebih

panjang dari masa yang telah ditentukan dalam perjanjian karena adanya

penambahan bangunan, maka biaya penambahan tersebut ditambahkan

dengan sisa biaya pembangunan yang belum diamortisasi, dan oleh investor

jumlah tersebut diamortisasi hingga berakirnya masa Built, Operate, and

Transfer (BOT) yang lebih panjang tersebut. 116

Contoh 3:

Berdasarkan contoh 1 di atas, PT BRILIAN pada akhir tahun ke-11

menambah bangunan dengan biaya Rp 20.000.000.000,00 dan masa Built,

Operate, and Transfer (BOT) diperpanjang 5 tahun sehingga menjadi 20

115
Ibid., hlm.300-301.
116
Ibid., hlm.302.

Universitas Sumatera Utara


tahun. Penghitungan amortisasi PT BRILIAN mulai tahun ke-11 adalah

sebagai berikut:

Sisa yang belum diamortisasi pada awal tahun ke-11 Rp 10.000.000.000,00

Nilai perolehan penambahan bangunan Rp 20.000.000.000,00

Dasar amortisasi yang baru Rp 30.000.000.000,00

Masa amortisasi adalah 10 tahun (20 tahun-10 tahun)

Amortisasi setiap tahun mulai tahun ke-11 adalah:

Rp 30.000.000.000,00 : 10 = Rp 3.000.000.000,00

e. Amortisasi biaya mendirikan bangunan dimulai pada bulan bangunan tersebut

digunakan/diusahakan. Apabila pembangunan tersebut meliputi masa lebih

dari 1 tahun sebelum dapat digunakan/diusahakan, maka biaya yang telah

dikeluarkan harus dikapitalisasi. 117

5. Penghasilan Bagi Pemegang Hak Atas Tanah.

a. Penghasilan yang diterima/diperoleh pemegang hak atas tanah selama masa

Built, Operate, and Transfer (BOT) merupakan Obyek PPh sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh.

b. Penghasilan yang diterima/diperoleh pemegang hak atas tanah sehubungan

dengan perjanjian Built, Operate, and Transfer (BOT) dapat berupa:

117
Republik Indonesia, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-38/PJ.4/1995
tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Sehubungan Dengan Perjanjian Bangun Guna
Serah, Bagian III angka 2.5.

Universitas Sumatera Utara


1) Pembayaran berkala yang dilakukan oleh investor kepada pemegang hak

atas tanah dalam atau selama masa Built, Operate, and Transfer (BOT)

berlangsung;

2) Bagian dari uang sewa bangunan;

3) Bagian keuntungan dari pengusahaan bangunan dengan nama dan dalam

bentuk apapun yang diberikan oleh investor;

4) Penghasilan lainnya sehubungan dengan perjanjian bangun guna serah

yang diterima atau diperoleh pemegang hak atas tanah.

5) Dalam hal bangunan yang didirikan oleh investor tidak seluruhnya

menjadi hak investor tetapi sebagian diserahkan kepada pemegang hak

atas tanah, maka bagian bangunan yang diserahkan oleh investor

merupakan penghasilan bagi pemegang hak atas tanah dalam tahun pajak

yang bersangkutan. Atas penyerahan tersebut terutang PPh sebesar 5%

dari jumlah bruto nilai yang tertinggi antara nilai pasar dengan Nilai Jual

Obyek Pajak (NJOP) bagian bangunan yang diserahkan sebagaimana

dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak

Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 1994, yang sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 28

Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD)

menjadi pajak daerah, dan harus dilunasi oleh pemegang hak atas tanah

Universitas Sumatera Utara


selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya setelah setelah

penyerahan. 118

6) Bangunan yang diserahkan oleh investor kepada pemegang hak atas tanah

setelah masa perjanjian Built, Operate, and Transfer (BOT) berakhir

adalah merupakan Obyek PPh berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU

PPh. Nilai perolehan atas bangunan yang diterima dari investor adalah

sebesar nilai pasar atau NJOP yang merupakan dasr pengenaan PPh. Atas

penyerahan tersebut terutang PPh sebesar 5% dari jumlah bruto nilai yang

tertinggi antara nilai pasar dengan nilai jual obyek pajak (NJOP) bagian

bangunan yang diserahkan sebagaimana dimaksud dan Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana

telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang

Pajak Bumi dan Bangunan, yang sejak terbitnya Undang-Undang Nomor

28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD)

menjadi pajak daerah, harus dilunasi oleh pemegang hak atas tanah

selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya setelah setelah

penyerahan. 119

7) Pembayaran PPh sebesar 5% yang dilakukan oleh pemegang hak atas

tanah atas penyerahan bangunan yang dilakukan oleh investor bagi Wajib

Pajak orang pribadi bersifat final dan bagi Wajib Pajak Badan merupakan

118
Atep Adya Barata, Op.Cit., hlm.303.
119
Ibid., hlm.304.

Universitas Sumatera Utara


pembayaran PPh Pasal 25 yang dapat diperhitungkan dengan PPh terutang

untuk tahun pajak yang bersangkutan.

8) Dikecualikan dari pengenaan PPh sebesar 5% apabila pemegang hak atas

tanah adalah badan pemerintah.

9) Nilai bangunan yang diterima oleh pemegang hak atas tanah merupakan

nilai perolehan bangunan apabila bangunan tersebut dialihkan kepada

pihak lain.

6. Biaya Bagi Pemegang Hak Atas Tanah.

Biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto bagi pemegang hak atas

tanah adalah biaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 7

Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, dengan memperhatikan Pasal 9 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas UU

Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. 120

Dengan demikian saat terutang PPh Final dalam transaksi Built, Operate, and

Transfer (BOT) adalah:

1. Pada saat penyerahan sebagian dari bangunan yang didirikan, dalam hal bangunan

yang didirikan investor tidak seluruhnya menjadi hak investor tetapi sebagian

diserahkan kepada pemegang hak atas tanah, dan harus dilunasi pemegang hak

atas tanah paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah penyerahan.

120
Republik Indonesia, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-38/PJ.4/1995
tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Sehubungan Dengan Perjanjian Bangun Guna
Serah, Bagian III Point 2

Universitas Sumatera Utara


2. Pada saat penyerahan bangunan dari investor setelah masa Built, Operate, and

Transfer (BOT) berakhir kepada pemegang hak atas tanah, harus dilunasi

pemegang hak atas tanah paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah masa

bangun guna serah berakhir.

Universitas Sumatera Utara


BAB IV
KENDALA YURIDIS DALAM PENGENAAN BPHTB DAN PPH FINAL
PENGALIHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DALAM
TRANSAKSI BOT (BUILT OPERATE AND TRANSFER)

A. Kepastian Hukum

Hukum adalah tata aturan (order) sebagai suatu sistem aturan-aturan (rules)

tentang perilaku manusia. Dengan demikian hukum tidak menunjuk pada satu aturan

tunggal (rule), tetapi seperangkat aturan (rules) yang memiliki suatu kesatuan

sehingga dapat dipahami sebagai suatu sistem. Konsekuensinya, adalah tidak

mungkin memahami hukum jika hanya memperhatikan satu aturan saja. Pernyataan

bahwa hukum adalah suatu tata aturan tentang perilaku manusia tidak berarti bahwa

tata hukum (legal order) hanya terkait dengan perilaku manusia, tetapi juga dengan

kondisi tertentu yang terkait dengan perilaku manusia. 121 Objek dari ilmu hukum

adalah norma hukum yang di dalamnya mengatur perbuatan manusia, baik sebagai

kondisi atau sebagai konsekuensi dari kondisi tersebut. Hubungan antar manusia

hanya menjadi objek dari ilmu hukum sepanjang hubungan tersebut diatur dalam

norma hukum.

Keberlakuan norma hukum dalam kehidupan masyarakat erat kaitannya

dengan asas kepastian hukum. Asas kepastian hukum mempunyai dua aspek, yang

satu lebih bersifat hukum material, yang lain bersifat formal. Aspek hukum material

121
Jimly Asshiddiqie, dan M. Ali Safaat, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, (Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm.14.

Universitas Sumatera Utara


terkait erat dengan asas kepercayaan. Dalam banyak keadaan asas kepastian hukum

menghalangi badan pemerintahan untuk menarik kembali suatu keputusan atau

mengubahnya untuk kerugian yang berkepentingan. Dengan kata lain, asas ini

menghendaki dihormatinya hak yang telah diperoleh seseorang berdasarkan suatu

keputusan pemerintah, meskipun keputusan itu salah. Jadi demi kepastian hukum,

setiap keputusan yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak untuk dicabut kembali.

Adapun aspek yang bersifat formal dari asas kepastian hukum membawa serta

bahwa ketetapan yang memberatkan dan ketentuan yang terkait pada ketetapan-

ketetapan yang menguntungkan, harus disusun dengan kata-kata yang jelas. Asas

kepastian hukum memberi hak kepada yang berkepentingan untuk mengetahui

dengan tepat apa yang dikehendaki dari padanya. Unsur ini memegang peran

misalnya pada pemberian kuasa surat-surat perintah secara tepat dan tidak mungkin

adanya berbagai tafsiran yang dituju harus dapat terlihat, kewajiban-kewajiban apa

yang dibebankan kepadanya.

Pada dasarnya prinsip kepastian hukum menekankan pada penegakan hukum

yang berdasarkan pembuktian secara formil, artinya suatu perbuatan baru dapat

dikategorikan sebagai pelanggaran hanya jika melanggar aturan tertulis tertentu.

Sebaliknya menurut prinsip keadilan, perbuatan yang tidak wajar, tercela, melanggar

kepatutan dan sebagainya dapat dianggap sebagai pelanggaran demi tegaknya

keadilan meskipun secara formal tidak ada undang-undang yang melarangnya.

Dilema antara penegakan hukum yang mengedepankan pada prinsip kepastian hukum

Universitas Sumatera Utara


ataukah rasa keadilan merupakan persoalan yang sudah ada sejak lama. Keduanya

sama-sama ada di dalam konsepsi Negara hukum. 122

Kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum tidak akan terlepas dari

fungsi hukum itu sendiri. Fungsi hukum yang terpenting adalah tercapainya

keteraturan dalam kehidupan manusia dalam masyarakat. Keteraturan ini yang

menyebabkan orang dapat hidup dengan berkepastian, artinya orang dapat

mengadakan kegiatan-kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan bermasyarakat

karena ia dapat mengadakan perhitungan atau prediksi tentang apa yang akan terjadi

atau apa yang bisa diharapkan. 123

Ukuran kepastian hukum terbatas pada ada atau tidaknya peraturan yang

mengatur perbuatan tersebut. Selama perbuatan tersebut tidak dilarang dalam hukum

materiil, maka perbuatan tersebut dianggap boleh. Kepastian hukum merupakan

produk dari hukum atau lebih khusus dari perundang-undangan. Begitu datang hukum

maka datanglah kepastian. 124

Dengan demikian, asas kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum

yang mengutamakan landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan

keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara. 125 Maksudnya asas ini

122
Fajar Laksono, Ed., Hukum Tak Kunjung Tegak: Tebaran Gagasan Otentik Prof. Dr.
Mahfud MD, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007), hlm.91.
123
Budiman Ginting, Kepastian Hukum Dan Implikasinya Terhadap Pertumbuhan Investasi
Di Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Investasi pada
Fakultas Hukum FH USU, Medan, 2008, hlm.2.
124
Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir: Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia
dan Hukum, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007), hlm.85.
125
Owen Podger, Beberapa Gagasan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah Di
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), hlm.2.

Universitas Sumatera Utara


menghendaki dihormatinya hak yang telah diperoleh seseorang berdasarkan suatu

keputusan badan atau pejabat administrasi negara.

B. Asas Kepastian Hukum Dalam Perpajakan

Salah satu aspek penting dalam hukum perpajakan adalah adanya kepastian

hukum. Kepastian hukum adalah suatu kondisi di mana tidak terdapat keragu-raguan

dalam memenuhi kewajiban perpajakan dan menjalankan hak perpajakan baik bagi

Wajib Pajak maupun fiskus. Kepastian hukum perpajakan terdapat dalam undang-

undang perpajakan sebagai rujukan utama dan peraturan pelaksanaannya sebagai

rujukan berikutnya. 126

Kepastian hukum akan tercapai apabila kata dan kalimat (wording) undang-

undang tersusun sedemikian jelasnya sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang

berbeda. Baik wording maupun semangat (spirit) undang-undang tidak boleh

menimbulkan penafsiran yang berbeda (ambiguous), jika kepastian hukum hendak

dicapai. Asas hierarki yang menyatakan bahwa peraturan pelaksanaan pada tingkat

yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, ikut

mendukung tercapainya kepastian hukum. 127

Contoh kepastian hukum dalam sistem perpajakan Indonesia dewasa ini yang

berhubungan dengan hak Wajib Pajak untuk mendapatkan jawaban atas permohonan

pembayaran kembali kelebihan bayar pajak.

126
Safri Nurmanto, Pengantar Perpajakan, Edisi 3, (Jakarta: Granit, 2005), hlm.130.
127
Ibid., hlm.131.

Universitas Sumatera Utara


Seorang wajib pajak yang dalam SPT Tahunan PPh menyatakan lebih bayar

jumlah pajak yang telah dibayarnya, dan sekaligus memohon agar jumlah lebih bayar

tersebut secara tunai dikembalikan kepadanya (restitusi). Direktur Jenderal Pajak

(Dirjen Pajak) berkewajiban memberi keputusan terhadap permohonan wajib pajak

tersebut. Jika dalam jangka waktu 12 bulan sejak diterimanya permohonan tersebut

Dirjen Pajak tidak memberi suatu keputusan, maka permohonan kelebihan

pembayaran pajak tersebut berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 2008 jo. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008

Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang

Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (Ketentuan Umum Perpajakan), demi

kepastian hukum, dianggap dikabulkan.

Asas certainty (kepastian) menyatakan bahwa harus ada kepastian, baik bagi

petugas pajak maupun semua wajib pajak dan seluruh masyarakat, sebagaimana

pendapat berikut ini: Tax laws and regulations must be comprehensible to the

taxpayer, they must be unambiguous and certain, both to the taxpayer and to the tax

administrator. 128

Asas kepastian hukum antara lain mencakup kepastian mengenai siapa-siapa

yang harus dikenakan pajak, apa-apa saja yang dijadikan sebagai objek pajak, serta

besarnya jumlah pajak yang harus dibayar dan bagaimana jumlah pajak yang terutang

128
Haula Rosdiana dan Edi Slamet Irianto, Pengantar Ilmu Pajak, Kebijakan dan
Implementasi Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm.167-168.

Universitas Sumatera Utara


itu harus dibayar. Artinya, kepastian bukan hanya menyangkut kepastian mengenai

subjek pajak (dan pengecualiannya), objek pajak (dan pengecualiannya), dasar

pengenaan pajak serta besarnya tarif pajak, tetapi juga mengenai prosedur

pembayaran dan pelaporan-serta pelaksanaan hak-hak perpajakannya.

Tanpa adanya prosedur yang jelas, maka Wajib Pajak akan sulit untuk

menjalankan kewajiban serta haknya, dan bagi fiskus akan kesulitan untuk mengawasi

pelaksanaan kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak juga dalam

melayani hak-hak Wajib Pajak. 129

Agar negara dapat mengenakan pajak kepada warganya atau kepada orang

pribadi atau badan lain yang bukan warganya, tetapi mempunyai keterkaitan dengan

negara tersebut, tentu saja harus ada ketentuan-ketentuan yang mengaturnya. Sebagai

contoh di Indonesia, secara tegas dinyatakan dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang

Dasar 1945 bahwa segala pajak untuk keuangan negara ditetapkan berdasarkan

undang-undang. Untuk dapat menyusun suatu undang-undang perpajakan, diperlukan

asas-asas atau dasar-dasar yang akan dijadikan landasan oleh negara untuk

mengenakan pajak.

Hukum pajak harus dapat memberikan jaminan hukum yang perlu untuk

menyatakan keadilan bagi negara dan warganya. Oleh karena itu, pemungutan pajak

di negara hukum haruslah berdasarkan undang-undang agar tercapai kepastian

hukum. Asas kepastian hukum mempunyai dua aspek, yang satu lebih bersifat hukum

material, yang lain bersifat formal. Aspek hukum material terkait erat dengan asas
129
Ibid.

Universitas Sumatera Utara


kepercayaan. Dalam banyak keadaan asas kepastian hukum menghalangi badan

pemerintahan untuk menarik kembali suatu keputusan atau mengubahnya untuk

kerugian yang berkepentingan. Dengan kata lain, asas ini menghendaki dihormatinya

hak yang telah diperoleh seseorang berdasarkan suatu keputusan pemerintah,

meskipun keputusan itu salah. Jadi demi kepastian hukum, setiap keputusan yang

dikeluarkan oleh pemerintah tidak untuk dicabut kembali.

Adapun aspek yang bersifat formal dari asas kepastian hukum membawa serta

bahwa ketetapan yang memberatkan dan ketentuan yang terkait pada ketetapan-

ketetapan yang menguntungkan, harus disusun dengan kata-kata yang jelas. Asas

kepastian hukum memberi hak kepada yang berkepentingan untuk mengetahui

dengan tepat apa yang dikehendaki dari padanya. Unsur ini memegang peran

misalnya pada pemberian kuasa surat-surat perintah secara tepat dan tidak mungkin

adanya berbagai tafsiran yang dituju harus dapat terlihat, kewajiban-kewajiban apa

yang dibebankan kepadanya.

Salah satu bentuk ketidakpastian hukum dalam perpajakan adanya berbagai

peraturan pelaksanaan undang-undang yang sering kali tidak konsisten dengan

undang-undangnya. Undang-Undang Perpajakan (Tax Law) adalah seperangkat

peraturan perpajakan yang terdiri dari undang-undang beserta peraturan

pelaksanaannya. Konsistensi dan kejelasan antara undang-undang perpajakan dan

peraturan di bawahnya haruslah dijaga dengan baik, agar tidak menimbulkan ambigu

yang pada akhirnya akan membingungkan wajib pajak. Ketidak jelasan peraturan

Universitas Sumatera Utara


akan menjadi salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya tingkat kepatuhan wajib

pajak. 130

Melaksanakan tax reform lebih rumit dan memakan waktu dibandingkan

dengan ketika merancang tax reform dalam undang-undang, apabila peraturan

pelaksanaan yang dijadikan dasar dalam melaksanakan aturan hukum pajak tidak

konsisten dengan undang-undang, tentu akan mengakibatkan kendala yang fatal

dalam pemungutan pajak.

Pengenaan PPh atas penghasilan dari pengalihan tanah dan/atau bangunan

berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana

Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991, mengenai Pajak

Penghasilan diatur pada Pasal 4 ayat (2) bahwa atas penghasilan berupa bunga

deposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan

sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah

dan/atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur

dengan Peraturan Pemerintah. 131

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tersebut merupakan Undang-Undang

yang mengubah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan,

sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008

130
Haula Rosdiana, dan Edi Slamet Irianto, Panduan Lengkap Tata Cara Perpajakan di
Indonesia, (Jakarta: Visimedia, 2011), hlm.53
131
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Diubah Dengan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991, Pasal 4 ayat (2).

Universitas Sumatera Utara


tentang Perubahan Keempat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak

Penghasilan. Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak

Penghasilan, Pasal 4 ayat (2) hanya mencakup pengenaan PPh atas bunga deposito

berjangka dan tabungan lainnya. Kemudian dalam perubahan undang-undang yang

dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana

Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991, cakupan Pasal 4 ayat

(2) diperluas sehingga mencakup juga penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas

lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan/atau

bangunan serta penghasilan tertentu lainnya. Walaupun tidak ditegaskan penghasilan-

penghasilan yang dicakup oleh Pasal 4 ayat (2) diperlakukan sebagai final, pada

kenyataannya hampir semua penghasilan dimaksud dikenakan PPh final. Pengenaan

pajak atas penghasilan-penghasilan yang dicakup di Pasal 4 ayat (2) tersebut diatur

dengan peraturan pemerintah.

Perlakuan pajak atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau

bangunan telah mengalami perubahan sejak diterbitkannya Peraturan Pemerintah

Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari

Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan sampai yang terakhir yaitu

Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 1999 tentang Perubahan Kedua Atas

Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan

Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan, khususnya

yang menyangkut orang pribadi. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun

Universitas Sumatera Utara


1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak

Atas Tanah Dan/Atau Bangunan, orang pribadi yang melakukan pengalihan hak atas

tanah dan/atau bangunan dikenai PPh final sebesar 5% dari jumlah bruto. 132

Perlakuan PPh tersebut diterapkan kepada semua orang pribadi, tanpa membedakan

apakah orang yang bersangkutan mempunyai kegiatan usaha pengalihan hak atas

tanah dan/atau bangunan.

Perlakuan PPh ini kemudian diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 27

Tahun 1996 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994

Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas

Tanah Dan/Atau Bangunan, yang membedakan antara orang pribadi yang usaha

pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, dengan orang

pribadi selain yang mempunyai usaha tersebut.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996 tentang Perubahan

Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 Tentang Pembayaran Pajak

Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan,

pengenaan PPh final diterapkan terhadap: 133

1. Orang pribadi yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah

dan/atau bangunan, dan,

132
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran
Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan, Pasal 4
ayat (1).
133
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996 tentang Perubahan Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas
Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan, Pasal 8.

Universitas Sumatera Utara


2. Orang pribadi yang mempunyai penghasilan diatas PTKP, yang melakukan

pengalihan hak dengan nilai kurang dari Rp.60 juta.

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996 tentang Perubahan Atas

Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan

Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan, tidak secara

jelas mengatur perlakuan PPh atas pengalihan hak tersebut apabila dilakukan oleh

orang pribadi yang mempunyai penghasilan di atas PTKP dan nilai pengalihannya

melebihi Rp.60 juta. Apabila disimak bunyi Pasal 8 dari Peraturan Pemerintah Nomor

27 Tahun 1996 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994

Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas

Tanah Dan/Atau Bangunan, maka perlakuan PPh final hanya terbatas kepada dua

kelompok wajib pajak sebagaimana disebutkan di atas.

Dengan demikian, apabila seorang wajib pajak orang pribadi yang usaha

pokoknya bukan menjual hak atas tanah dan/atau bangunan, maka keuntungan dari

pengalihan tersebut akan dikenakan PPh dengan tarif umum. Perlakuan ini sama

dengan ketentuan dari Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 1999 tentang

Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 Tentang

Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah

Dan/Atau Bangunan. Perlakuan PPh terhadap orang pribadi yang usaha pokoknya

bukan jual beli hak atas tanah dan/atau bangunan memperoleh perlakuan yang kurang

adil bila dibandingkan dengan orang pribadi yang mempunyai usaha pengalihan hak

atas tanah dan/atau bangunan. Pengenaan PPh yang tidak final berarti bahwa PPh

Universitas Sumatera Utara


yang disetor sebesar 5% dari nilai pengalihan merupakan pembayaran pendahuluan

dari seluruh PPh yang terutang dalam tahun yang bersangkutan.

Kesulitan akan timbul dalam menghitung keuntungan dari pengalihan

tersebut, terutama untuk harta yang telah dimiliki dalam jangka waktu yang cukup

lama. Hal ini akan menyebabkan ketidakadilan dari segi beban pajak yang ditanggung

terutama untuk harta yang sudah dimiliki dalam kurun waktu yang lama. Harga

perolehan yang relatif jauh lebih rendah dari harga peralihannya akan menyebabkan

beban pajak yang lebih tinggi. Faktor penyebabnya adalah bahwa Undang-Undang

Pajak Penghasilan tidak menerapkan indeksasi untuk harta tetap untuk menentukan

harga perolehan dari harta tetap untuk keperluan perpajakan.

Di samping itu, wajib pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha

cenderung untuk tidak melakukan pencatatan sehingga kemungkinan besar sulit untuk

mentrasir kembali harga perolehan dari harta dimaksud termasuk dokumen

pendukungnya. Sebaliknya wajib pajak orang pribadi yang menjalankan usaha jual

beli tanah dan bangunan diterapkan pengenaan pajak yang bersifat final, padahal

wajib pajak kelompok ini seharusnya mempunyai catatan atau pembukuan, sehingga

harga perolehannya seharusnya dapat diketahui.

Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996 tentang Perubahan Atas

Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan

Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan kemudian

diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 1999 tentang Perubahan

Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 Tentang Pembayaran Pajak

Universitas Sumatera Utara


Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan,

yang sepanjang menyangkut orang pribadi, memberi penegasan bahwa wajib pajak

orang pribadi yang usaha pokoknya bukan dari jual beli hak atas tanah dan/atau

bangunan, keuntungan dari pengalihan dimaksud dikenai pajak tetapi tidak final.

Ketidakseragaman pengaturan dalam Peraturan perundang-undangan dan

ketidaksepahaman atau adanya multitafsir dari aparatur Pemerintah Daerah juga

sering menjadikan faktor kesulitan dalam pelaksanaan pembangunan fasilitas umum

dengan kontrak BOT dan akibatnya akan berpengaruh terhadap pemungutan Bea

Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Dalam ketentuan Pasal 85 ayat

(1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah (UU PDRD) tidak ada pengaturan tentang Built, Operate, and

Transfer (BOT) sebagai objek pajak, berdasarkan bunyi pasal ini maka BOT tidak

terutang pajak BPHTB. Sedangkan PPh Final pengalihan hak atas tanah dan

bangunan dalam transaksi Built, Operate, and Transfer (BOT) dikenakan

pajak/terutang pajak, sebagaimana diatur dalam ketentuan Keputusan Menteri

Keuangan Nomor 635/KMK.04/1994 tentang Pelaksanaan Pembayaran Dan

Pemungutan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas

TanahDan/Atau Bangunan sebagaimana diubah terakhir dengan Peraturan Menteri

Keuangan Nomor 243/PMK.03/2008 tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan

Menteri Keuangan Nomor 635/Kmk.04/1994 Tentang Pelaksanaan Pembayaran

Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau

Bangunan.

Universitas Sumatera Utara


C. Ketentuan Tentang PPh PHTB dan BPHTB Dalam BOT

Peraturan mengenai Pajak Penghasilan Final yang berkaitan dengan

pengalihan hak atas tanah dan bangunan dimulai secara khusus diatur pada tahun

1994 dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1994 namun

kemudian dicabut dan diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994

tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Hak Atas Tanah Dan Atau

Bangunan. Pada tahun 1996 terbit Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996

tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994. Selanjutnya

pada tahun 1999 dilakukan perubahan kedua yaitu dengan diterbitkannya Peraturan

Pemerintah Nomor 79 Tahun 1999 tentang perubahan kedua atas Peraturan

Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang pembayaran pajak penghasilan atas

penghasilan hak atas tanah dan atau bangunan. Terakhir dilakukan perubahan ketiga

pada tahun 2008 dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2008

tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas

Tanah Dan/Atau Bangunan.

Peraturan lain yang mengatur mengenai pajak penghasilan yang berkaitan

dengan pengalihan hak atas tanah dan bangunan adalah Keputusan Menteri Keuangan

Nomor 248/KMK.04/1995 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Terhadap Pihak-

Pihak Yang Melakukan Kerjasama Dalam Bentuk Perjanjian Bangun Guna Serah

(Built Operate And Transfer) jo. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-

38/PJ.4/1995 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Sehubungan

Dengan Perjanjian Bangun Guna Serah. Dalam ketentuan tersebut diatur mengenai

Universitas Sumatera Utara


penghasilan investor sehubungan dengan perjanjian Built, Operate, and Transfer

(BOT), biaya bagi investor, biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto

bagi investor, penghasilan bagi pemegang hak atas tanah, dan biaya bagi pemegang

hak atas tanah.

Pengaturan pajak penghasilan yang berkaitan dengan pengalihan hak atas

tanah dan bangunan menurut Keputusan Menteri Keuangan Nomor

248/KMK.04/1995 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Terhadap Pihak-Pihak Yang

Melakukan Kerjasama Dalam Bentuk Perjanjian Bangun Guna Serah (Built Operate

And Transfer) jo. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-38/PJ.4/1995

tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Sehubungan Dengan

Perjanjian Bangun Guna Serah, adalah pada saat penyerahan sebagian dari bangunan

yang didirikan, dalam hal bangunan yang didirikan investor tidak seluruhnya menjadi

hak investor tetapi sebagian diserahkan kepada pemegang hak atas tanah, harus

dilunasi pemegang hak atas tanah paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah

penyerahan. Pada saat penyerahan bangunan dari investor setelah masa Built,

Operate, and Transfer (BOT) berakhir kepada pemegang hak atas tanah, harus

dilunasi pemegang hak atas tanah paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah

masa bangun guna serah berakhir.

Ketika perjanjian Built, Operate, and Transfer (BOT) berakhir dan bangunan

diserahkan kembali kepada pemegang hak atas tanah, apabila pemegang hak atas

tanah adalah pemerintah, maka penyerahan bangunan tersebut bukan merupakan

objek PPh Final Peralihan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Sebaliknya, apabila

Universitas Sumatera Utara


pemegang hak atas tanah adalah non pemerintah maka ketika perjanjian Built,

Operate, and Transfer (BOT) berakhir dan bangunan dikembalikan kepada pemegang

hak atas tanah, atas penyerahan bangunan tersebut merupakan objek PPh Final

Peralihan Hak Atas Tanah dan Bangunan.

Selanjutnya ketentuan lainnya adalah Peraturan Direktur Jenderal Pajak

Nomor Per-26/PJ./2010 tentang Tatacara Penelitian Surat Setoran Pajak Atas

Penghasilan Atas Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan. Dalam Pasal 1

ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-26/PJ./2010 tentang Tatacara

Penelitian Surat Setoran Pajak Atas Penghasilan Atas Pengalihan Hak Atas Tanah

dan/atau Bangunan, diatur bahwa Pejabat yang berwenang hanya menandatangani

akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas

tanah dan/atau bangunan apabila kepadanya dibuktikan bahwa Pajak Penghasilan

yang wajib dibayar atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan bangunan

telah dibayar ke Kas Negara oleh Wajib Pajak yang melakukan pengalihan hak atas

tanah dan bangunan. Pembuktian pembayaran Pajak Penghasilan ke Kas Negara

kepada pejabat yang berwenang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan menyerahkan

fotokopi Surat Setoran Pajak atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan

bangunan yang telah diteliti oleh Kantor Pelayanan Pajak dengan menunjukkan asli

Surat Setoran Pajak yang bersangkutan.

Pasal 2 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-26/PJ./2010 tentang

Tatacara Penelitian Surat Setoran Pajak Atas Penghasilan Atas Pengalihan Hak Atas

Tanah dan/atau Bangunan, mengatur bahwa untuk keperluan penelitian Surat Setoran

Universitas Sumatera Utara


Pajak atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan bangunan, Wajib Pajak

yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan bangunan atau kuasanya harus

mengajukan formulir penelitian Surat Setoran Pajak ke Kantor Pelayanan Pajak yang

wilayah kerjanya meliputi letak tanah dan bangunan yang dialihkan haknya dengan

menggunakan formulir sebagaimana tercantum dalam Lampiran I Peraturan Direktur

Jenderal Pajak ini.

Pasal 3 dan Pasal 4 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-26/PJ./2010

tentang Tatacara Penelitian Surat Setoran Pajak Atas Penghasilan Atas Pengalihan

Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan, mengatur hal teknis pengajuan surat Penelitian.

Hal lain yang diatur dalam Pasal 5 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-

26/PJ./2010 tentang Tatacara Penelitian Surat Setoran Pajak Atas Penghasilan Atas

Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan berkaitan bila ternyata terdapat

perbedaan data.

Menurut ketentuan Pasal 5 ayat (1) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor

Per-26/PJ./2010 tentang Tatacara Penelitian Surat Setoran Pajak Atas Penghasilan

Atas Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan, dijelaskan bahwa dalam hal

berdasarkan penelitian ternyata Pajak Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan

bangunan belum dibayar ke kas negara atau Pajak Penghasilan yang telah dibayar

oleh Wajib Pajak masih kurang dari yang seharusnya dibayar, maka kepala Kantor

Pelayanan Pajak harus menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Wajib

Pajak dengan menggunakan formulir sebagaimana tercantum dalam Lampiran

Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-26/PJ./2010 tentang Tatacara Penelitian

Universitas Sumatera Utara


Surat Setoran Pajak Atas Penghasilan Atas Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau

Bangunan. Sehingga ketentuan ini mensyaratkan bahwa sebelum akte dibuat, Surat

setoran PPh Final harus diteliti terlebih dahulu oleh Kantor Pelayanan Pajak tempat

wajib pajak terdaftar. Sedangkan ketentuan mengenai Bea Perolehan Hak atas Tanah

dan Bangunan (BPHTB) diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009

tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

Hanya saja dalam transaksi Built, Operate, and Transfer (BOT) masih juga

ditemui ketidakpastian pengenaan pajak, terutama terkait pengenaan BPHTB pada

transaksi Built, Operate, and Transfer (BOT). Dalam ketentuan Undang-Undang

Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) tidak

diatur secara rinci dan jelas ketentuan mengenai pengenaan dan saat terutang BPHTB

dalam transaksi Built, Operate, and Transfer (BOT).

Menurut ketentuan Pasal 85 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009

tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) diatur bahwa: Objek Pajak

Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Perolehan Hak atas Tanah

dan/atau Bangunan. Dengan demikian, pada saat penyerahan sebagian bangunan

yang didirikan dalam hal sebagian bangunan tidak seluruhnya menjadi hak investor

atau pada saat transaksi Built, Operate, and Transfer (BOT) tersebut telah berakhir,

secara fisik nyata-nyata telah terjadi penyerahan bangunan dari investor kepada

pemilik tanah. Akan tetapi oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang

Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) penyerahan bangunan dari investor

kepada pemilik tanah tersebut tidak diatur secara tegas sebagai objek pajak.

Universitas Sumatera Utara


Seharusnya ketentuan mengenai pengenaan pajak BPHTB dan PPh Final

dalam transaksi Built, Operate, and Transfer (BOT) harus diatur secara rinci dan

jelas, sehingga tidak menimbulkan salah tafsir dalam pelaksanaan pengenaan BPHTB

dan PPh Final dalam transaksi Built, Operate, and Transfer (BOT).

Universitas Sumatera Utara


BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Pengenaan PPh Final pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi

BOT adalah berpedoman pada ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang PPh,

Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran PPh PHTB

sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun

2008 jo. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 635/KMK.04/1994 sebagaimana

telah diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor

243/PMK.03/2008, penyerahan bangunan dari investor kepada pemilik tanah,

pemilik tanah dikenakan PPh PHTB sebesar 5% dari nilai tertinggi antara NJOP

bangunan/nilai Pasar bangunan. Sedangkan pengenaan BPHTB pengalihan hak

atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT tidak diatur secara tegas oleh

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah.

2. Saat terhutang PPh Final pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi

BOT adalah pada saat sebagian bangunan yang diserahkan investor ke pemilik

tanah, pemilik tanah dikenakan PPh PHTB sebesar 5% dari nilai tertinggi antara

NJOP bangunan/nilai pasar bangunan yang diserahkan. Setelah jangka waktu

BOT berakhir, atas seluruh bangunan yang diserahkan dari investor ke pemilik

tanah dikenakan PPh PHTB sebesar 5% dari nilai tertinggi antara NJOP

Universitas Sumatera Utara


Bangunan/nilai pasar bangunan yang diserahkan tersebut. Sedang saat terutang

BPHTB pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT tidak ada

kejelasan saat terutangnya.

3. Kendala yuridis dalam pengenaan BPHTB dan PPh Final pengalihan hak atas

tanah dan bangunan dalam transaksi BOT adalah dalam ketentuan Pasal 85 ayat

(1 dan 2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan

Retribusi Daerah (UUPDRD) tidak ada pengaturan tentang BOT sebagai objek

pajak, berdasarkan bunyi pasal ini menyatakan bahwa BOT tidak terutang pajak

BPHTB. Sedangkan PPh Final pengalihan hak atas tanah dan bangunan dalam

transaksi BOT dikenakan pajak/terutang pajak, sebagaimana diatur dalam

ketentuan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 635/KMK.04/1994 sebagaimana

diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2008.

B. Saran

1. Sehubungan dalam peralihan hak atas tanah dan bangunan dalam transaksi BOT

pada hakekatnya owner memperoleh hak atas tanah dan bangunan, maka Undang-

Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

hendaknya direvisi dengan mencantumkan BOT sebagai objek BPHTB, karena

dalam ketentuan Pasal 85 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak

Daerah dan Retribusi Daerah tidak diatur secara tegas, walaupun dalam

pelaksanaannya terjadi pengalihan hak atas bangunan secara nyata pada saat BOT

berakhir yang potensi penerimaan dari Bea Perolehan Hak atas Tanah dan

Bangunan.

Universitas Sumatera Utara


2. Bila dilakukan revisi atas Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak

Daerah dan Retribusi Daerah hendaknya dicantumkan secara tegas mengenai

pengenaan saat terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB),

dimaksudkan agar sejalan dengan Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh)

yang berkaitan dengan kerjasama/transaksi BOT. Dengan demikian dapat dicapai

kepastian hukum saat terutang BPHTB dalam transaksi BOT, yang pada

gilirannya akan meningkatkan potensi penerimaan daerah dari Bea Perolehan Hak

atas Tanah dan Bangunan.

3. Untuk menutupi kekosongan hukum pengenaan Bea Perolehan Hak atas Tanah

dan Bangunan (BPHTB) atas transaksi BOT, hendaknya setiap Peraturan Daerah

Kabupaten/Kota/Provinsi yang mengatur mengenai BPHTB memuat ketentuan

pengalihan hak atas tanah dan bangunan dari investor ke owner tersebut, kecuali

pemerintah (owner), merupakan objek pengenaan BPHTB.

Universitas Sumatera Utara


DAFTAR PUSTAKA

BUKU-BUKU

Ashshofa, Burhan. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta. 1996.

Barata, Atep Adya. Panduan Lengkap Pajak Penghasilan. Jakarta: Visimedia. 2011.

Bratakusumah, Dedy Supriady dan Dadang Solihin. Otonomi Penyelenggaraan


Pemerintahan Daerah. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 2003.

Bungin, Burhan. Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan


Metodologis Kearah Penguasaan Modal Aplikasi. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada. 2003.

Djuanda, Gustian. dan Irwansyah Lubis. Pelaporan Pajak Penghasilan. Edisi Revisi.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2002.

Faisal, Gatot S.M. How To Be A Smarter Taxpayer, Bagaimana Menjadi Wajib Pajak
Yang Lebih Cerdas. Jakarta: PT. Grasindo. 2009.

Fajar, Mukti, dan Yulianto Achmad. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2010.

Fuady, Munir. Sejarah Hukum. Bogor: Ghalia Indonesia. 1982.

Ismail, Tjip. Pengaturan Pajak Daerah Indonesia. Jakarta: Yellow Printing. 2007.

Ismawan, Indra. Menegakkan Pilar Good Governance Di Daerah Sebagai Realisasi


Otonomi Daerah. Jakarta: Business News. 2002.

Judisseno, Rimsky K. Pajak dan Strategi Bisnis: Suatu Tinjauan tentang Kepastian
Hukum dan Penerapan Akuntansi di Indonesia, Edisi Revisi. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 1997.

Kamilah, Anita. Bangun Guna Serah (Build Operate And Transfer/BOT) Membangun
Tanpa Harus Memiliki Tanah (Perspektif Hukum Agraria, Hukum Perjanjian
Dan Hukum Publik). Bandung: Keni Media. 2012.

Kansil, C.S.T. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka. 2002.

Universitas Sumatera Utara


Kurniawan, Panca. dan Bagus Pamungkas. Penagihan Pajak di Indonesia. Malang:
Bayu Media Publishing. 2006.

Laksono, Fajar. Ed. Hukum Tak Kunjung Tegak: Tebaran Gagasan Otentik Prof. Dr.
Mahfud MD. Bandung: Citra Aditya Bakti. 2007.

Lubis, Irwansyah. Menggali Potensi Pajak Perusahaan Dan Bisnis Dengan


Pelaksanaan Hukum. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. 2010.

Lubis, Mhd. Yamin dan Abd. Rahim Lubis. Hukum Pendaftaran Tanah, Edisi Revisi.
Bandung: CV. Mandar Maju. 2010.

Mardiasmo. Perpajakan. Yogyakarta: Penerbit Andi. 2001.

Markus, Muda. Perpajakan Indonesia, Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Gramedia


Pustaka Utama. 2005.

Marsyahrul, Tony. Pengantar Perpajakan. Jakarta: PT. Grasindo. 2006.

Marzuki, Pieter Mahmud. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group. 2009.

____________________. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana. 2010.

Muljono, Djoko. Panduan Brevet Pajak: Akuntansi Pajak dan Ketentuan Umum
Perpajakan. Yogyakarta: Penerbit Andi. 2010.

Nurachmad, Much. Buku Pintar Memahami dan Membuat Surat Perjanjian. Jakarta:
Visimedia. 2010.

Nurmantu, Safri. Pengantar Perpajakan. Edisi 3. Jakarta: Granit. 2005.

Parlindungan, A.P. Hak Pengelolaan Menurut Sistem UUPA. Bandung: Mandar


Maju. 1994.

_______________. Konversi Hak-Hak Atas Tanah. Bandung: Mandar Maju. 1994.

Podger, Owen. Beberapa Gagasan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah Di


Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 2002.

Universitas Sumatera Utara


Rahardjo, Budi dan Djaka Saranta S. Edhy. Dasar-dasar Perpajakan Bagi
Bendaharawan sebagai Pedoman Pelaksanaan Pemungutan/Pemotongan dan
Penyetoran/Pelaporan. Jakarta: CV. Eko Jaya. 2003.

Resmi, Siti. Perpajakan Teori dan Kasus. Jakarta: Salemba Empat. 2004.

Rosdiana, Haula. dan Edi Slamet Irianto. Panduan Lengkap Tata Cara Perpajakan di
Indonesia. Jakarta: Visimedia. 2011.

Rusjdi, Muhammad. PBB, BPHTB dan Bea Materai. Jakarta: PT indeks Kelompok
Gramedia. 2005.

S.R., Soemarso. Perpajakan: Pendekatan Komprehensif. Jakarta: Salemba Empat.


2007.

Santoso, Budi. Aspek Hukum Pembiayaan Proyek Infrastruktur Model BOT (Build
Operate Transfer). Solo: Genta Press. 2008.

Siahaan, Marihot Pahala. Hukum Pajak Elementer. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2010.

___________________. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, Teori dan
Praktek. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 2003.

Soemitro, Ronny Hanitijo. Metodologi Penelitian Hukum dan Juritmetri. Jakarta:


Ghalia Indonesia. 1990.

Soemitro, Rochmat. Pengantar Singkat Hukum Pajak. Bandung: PT. Eresco. 1992.

_______________. Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan. Jakarta:


Eresco. 1977.

_______________. Asas-asas dan Dasar Perpajakan 2. Bandung: Aresco. 1990.

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas Indonesia


Press, 1986.

________________ dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan


Singkat. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 1995.

Syofyan, Syofrin dan Asyhar Hidayat. Hukum Pajak dan Permasalahannya.


Bandung: Refika Aditama. 2004.

Universitas Sumatera Utara


Suandy, Erly. Perencanaan Pajak. Edisi 4. Jakarta: Salemba Empat. 2008.

Sumardjono, Maria S. Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
Jakarta: Penerbit Buku Kompas. 2009.

Suryabrata, Samadi. Metodologi Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 1998.

Supramono, dan Theresia Woro Damayanti. Perpajakan Indonesia-Mekanisme dan


Perhitungan. Yogyakarta: Penerbit Andi. 2010.

Yani, Ahmad. Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah di


Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2002.

Wahid, Muchtar. Memaknai Kepastian Hukum Hak Milik Atas Tanah : Suatu Analisis
dengan Pendekatan Terpadu Secara Normatif dan Sosiologis. Cet. 1. Jakarta:
Republika. 2008.

Waluyo, Bambang. Metode Penelitian Hukum. Semarang: PT. Ghalia Indonesia.


1996.

Widodo, Joko. Good Governanve: Telaah dari Dimensi: Akuntabilitas dan Kontrol
Birokrasi Pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Surabaya: Penerbit
Insan Cendekia. 2001.

Zain, Mohammad. Manajemen Perpajakan. Edisi 3. Jakarta: Salemba Empat. 2008.

MAKALAH DAN JURNAL

Adillah, Siti Ummu. Kontruksi Hukum Perjanjian Build Operate Tranfers (BOT)
Sebagai Alternate Pembiayaan Proyek, Jurnal Hukum, Vol. XIV No. I, April
2004.

Badan Pembinaan Hukum Nasional. Naskah Akademis Peraturan perundang-


undangan tentang Perjanjian BOT. Makalah. Jakarta: BHPN. 1997.

Ginting, Budiman. Kepastian Hukum Dan Implikasinya Terhadap Pertumbuhan


Investasi Di Indonesia. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam
Bidang Ilmu Hukum Investasi pada Fakultas Hukum FH USU. Medan. 2008.

Universitas Sumatera Utara


Ismail, Tjip. Optimalisasi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Dalam Rangka
Pelaksanaan Otonomi Daerah, Makalah, Bandung: Fisip UK Prahyangan,
2002.

Rosdiana, Haula. Perpajakan, Teori dan Kebijakan. Jakarta: Divisi Fiskal Fisip UI.
2004.

Warta Ekonomi, Majalah Ekonomi & Bisnis. Volume I. Issues 9-17. Jakarta: Obor
Sarana Utama. 1998.

INTERNET

Bina Jasa Konsultan Pajak, Pajak Penghasilan|Pengertian dan Tarif PPh Final,
http://binajasakonsultanpajak.blogspot.com/2012/11/pajak-penghasilan-
pengertian-dan-tarif.html, terakhir diakses 04 Mei 2014.

Direktorat Jenderal Pajak, Seri PPh - Pajak Penghasilan Atas Pengalihan Hak Atas
Tanah dan/atau Bangunan, http://www.pajak.go.id/content/seri-pph-pajak-
penghasilan-atas-pengalihan-hak-atas-tanah-danatau-bangunan, terakhir
diakses tanggal 10 Nopember 2014.

Pemko Medan Bakal Tinjau Kembali Royalti BOT,


http://www.pemkomedan.go.id/news_ detail.php?id=11674, terakhir diakses
tanggal 28 April 2014.

Pengertian PPh PHTB, http://www.pajak.go.id/content/seri-pph-pajak-penghasilan-


atas-pengalihan-hak-atas-tanah-danatau-bangunan, terakhir diakses tanggal 29
April 2014.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar


Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 sebagaimana diubah


dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 sebagaimana diubah


dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan.

Universitas Sumatera Utara


Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pajak
Daerah Dan Retribusi Daerah.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Perubahan


Keempat atas UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah


dan Retribusi Daerah.

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1996 jo. Peraturan


Pemerintah Nomor 71 tahun 2008 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan
Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan.

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan


Barang Milik Negara/Daerah.

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang


Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah.

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 243/PMK.03/2008 tentang


Perubahan Kedua Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor
635/Kmk.04/1994 Tentang Pelaksanaan Pembayaran Pajak Penghasilan Atas
Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/ Atau Bangunan.

Republik Indonesia, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 248/KMK.04/1995 tentang


Perlakuan Pajak Penghasilan Terhadap Pihak-Pihak Yang Melakukan
Kerjasama Dalam Bentuk Perjanjian Bangun Guna Serah (Built Operate And
Transfer)

Republik Indonesia, Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor : SE-38/PJ.4/1995


tanggal 14 Juli 1995 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan
Sehubungan Dengan Perjanjian Bangun Guna Serah.

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5


Tahun 2008 jo. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008
Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan.

Universitas Sumatera Utara

You might also like