Professional Documents
Culture Documents
GANGGUAN HEPAR
Disusun oleh:
Aldila Desma Ayuda (1061611005)
Alfin Ilaikha Windiati (1061711006)
Azmim Rizki (1061711021)
Dian Wahyu Harmiyani (1061711031)
Dimas Alprima Winatra (1061711032)
1. Latar Belakang
Hati merupakan organ terbesar didalam tubuh manusia, terletak dirongga perut
sebelah kanan dan mempunyai fungsi penting dalam proses metabolisme tubuh, yaitu
dalam pengaturan homeostasis tubuh meliputi metabolisme, biotransformasi, sintesis,
penyimpanan dan imunologi. Selain itu hati merupakan tempat untuk metabolisme
karbohidrat, protein, lemak, dan bilirubin. Sel-sel hati (hepatosit) mempunyai
kemampuan regenerasi yang cepat. Pada batas tertentu, hati dapat mempertahankan
fungsinya bila terjadi gangguan ringan.
Gangguan fungsi hati seringkali dihubungkan dengan beberapa penyakit hati
tertentu. Beberapa pendapat membedakan penyakit hati menjadi penyakit hati akut atau
kronis.Dikatakan akut apabila kelainan-kelainan yang terjadi berlangsung sampai
dengan 6 bulan, sedangkan penyakit hati kronis berarti gangguan yang terjadi sudah
berlangsung lebih dari 6 bulan. Apabila pasien menderita gangguan fungsi hati mudah
sekali untuk dikenali, yaitu dengan melihat perubahan warna daerah sekitar bola mata
dan kulit. Kedua daerah tersebut biasanya berwana kekuningan atau yang sering disebut
dengan jaundice.
Sirosis hepatis adalah penyakit hati kronis yang dicirikan dengan distorsi
arsitektur hati yang normal oleh lembar-lembar jaringan ikat dan nodulnodul regenerasi
sel hati, yang tidak berkaitan dengan vaskulatur normal (Price & Wilson, 2005).Sirosis
dapat mengganggu sirkulasi darah intrahepatik dan pada kasus lebih lanjut
menyebabkan kegagalan fungsi hati secara bertahap. Di negara barat penyebab sirosis
hepatis yang tersering adalah akibat dari konsumsi alkohol, sedangkan di Indonesia
terutama akibat infeksi virus hepatitis B maupun C. Hasil penelitian di Indonesia
menyebutkan virus hepatitis B menyebabkan sirosis sebesar 40- 50% dan virus hepatitis
C 30-40%, sedangkan 10-20% penyebabnya tidak diketahui dan termasuk kelompok
virus bukan B dan C (Sudoyo, 2007).
Manifestasi utama dan lanjut dari sirosis hepatis adalah ikterus, edema perifer,
kecenderungan perdarahan, eritema palmaris, angioma spidernevi, ensefalopati hepatik,
splenomegali, varises esofagus dan lambung, serta manifestasi sirkulasi kolateral
lainnya (Price & Wilson, 2005).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Gejala sirosis hati berupa perdangan difus dan selama bertahun-tahun pada hati
sertadiikuti dengan fibrosis, degenerasi dan regenerasi sel-sel hati sehingga
menimbulkan kekacauan dalam susunan parenkim hati. Sirosis hati dapat terjadi karena
virus Hepatitis B dan C yang berkelanjutan, alkohol, perlemakan hati atau penyakit lain
yang menyebabkan sembatan saluran empedu. Sirosis tidak dapat disembuhkan.
Pengobatan dilakukan untuk mengobati komplikasi yang terjadi seperti muntah dan
keluar darah pada feses, mata kuning serta koma hepatikum. Pemeriksaan yang
dilakukan untuk mendeteksi adanya sirosis hati adalah pemeriksaan enzim SGOT-
SGPT, waktu protrombin dan protein (Albumin-Globulin) Elektroforesis (Rasio
Albumin-Globulin terbalik) (Depkes RI, 2007).
Terdapat 3 pola khas yang biasanya ditemukan pada sirosis hati yaitu:
a. Mikronodular
Sirosis mikronodular ditandai dengan terbentuk septa tebal teratur yang
terdapat dalam parenkim hati, mengandung nodul halus dan kecil tersebar diseluruh
lobul. Sirosis mikronodular berukuran 3 mm (Lawrence, 2003).
b. Makronodular
Sirosis makronodular ditandai dengan terbentuknya septa tebal, besarnya
bervariasi dan terdapat nodul besar di dalamnya sehingga terjadi regenerasi
parenkim (Lawrence, 2003).
c. Campuran
Terdapat mikro dan makronodular yang tampak (Lawrence, 2003).
Secara fungsional, sirosis hati juga terbagi menjadi beberapa macam:
1. Sirosis Hati Kompensta atau Sirosis Hati Laten
Sirosis ini tidak memiliki gejala spesifik. Skrining adalah cara untukmengetahui
penyakit hati ini.
2. Sirosis Hati Dekompensata atau Active Liver Cirrhosis
Gejala dan tanda sirosis hati dekompensata seperti asites, edema dan icterus.
Alkoholisme, virus hepatik, kegagalan jantung, malnutrisi, penyakit Wilson,
hemokromotosis dan zat toksik lainnya merupakan beberapa penyakit lain yang
diduga dapat menyebabkan sirosis hati (Nurjanah, 2007).
Pola khas yang ditemukan pada kebayakan kasus sirosis hati :
a. Sirosis Laennec
Sirosis laennec disebut juga sirosis alkoholik, sirosis portal atau sirosisgizi.
Kasus ini merupakan suatu pola khusus yang terkait penyalahgunaan alkohol.
Perubahan pertama pada hati yang ditimbulkan alkohol adalah peningkatan lemak
secara bertahap di dalam sel-sel hati. Peningkatan jumlah lemak
mencerminkanadanya gangguan metabolik yang mencangkup pembentukan
trigliserid secaraberlebihan, menurunnya jumlah keluaran trigliserid dari hati dan
menurunnyaoksidasi dalam lemak (Nurjanah, 2007).
b. Sirosis Pasca Nekrotik
Sirosis ini terjadi setelah nekrosis berbecak atau tampak pada jaringan hati.
Hepatosit yang ada dikelilingi dan terpisah oleh jaringan parut. Sekitar 25%-70%
memiliki hasil HBsAg yang positif sehingga menunjukkan hepatis kronis. Ciri dari
sirosis ini adalah terlihat faktor predisposisi timbulnya neoplasma hati primer
(Nurjanah, 2007).
c. Sirosis Biliaris
Kerusakan yang diawali dengan kerusakan duktus biliaris yang dapat
menimbulkan pola sirosis. Penyebab sirosis biliaris adalah obstruksi biliaris
pascahepatik yang ditandai dengan statis empedu yang menimbulkan penumpukan
empedu di dalam massa hati dan kerusakan sel-sel hati (Nurjanah, 2007).
Keparahan serta prognosis sirosis hepatis dapat ditentukan menurut sistem skor
Child-Turcott Pugh. Sistem ini mengelompokkan derajat keparahan berdasarkan
pemeriksaan objektif dan subjektif terhadap adanya asites, ensefalopati hepatik,
kadar bilirubin, kadar albumin, dan masa protrombin dengan total skor sirosis
hepatis ringan <8 dan berat >8. Klasifikasi CTP ini terbagi atas tiga kelas yaitu A,
B, dan C untuk skor A bernilai 5-6, B 7-9, dan C 10-15 (Lawrence, dkk. 2003).
Menurut penelitian, progresivitas penyakit pada skor CTP 8 atau lebih menandai
adanya dekompensasi dini, pasien perlu dipertimbangkan untuk dirujuk ke pusat
transplantasi hati.
Tabel 2. Kriteria Child Pugh untuk klasifikasi sirosis hepatis
No Parameter A B C
1 Asites Nihil Sedikit Sedang
2 Bilirubin (mg/dl) <2,0 2-3 >3,0
3 Albumin (gr/dl) >3,5 2,8-3,5 <2,8
4 Prothrombin time (detik) 1-3 4-6 >6
5 Hepatic Enchephalophaty Nihil Ringan - sedang Sedang - berat
Sumber : Christensen (2004)
3. Kanker Hati
Kanker hati disebut juga hepatoma atau karsinoma hepatoseluler atau karsinoma
hepato primer. Hepatoma merupakan pertumbuhan sel hati yang tidak normal yang
ditandai dengan bertambahnya jumlah sel dalam hati yang memiliki kemampuan
membelah / mitosis disertai dengan perubahan sel hati yang menjadi ganas. Kanker hati
sering disebut "penyakit terselubung". Pasien seringkali tidak mengalami gejala sampai
kanker pada tahap akhir, sehingga jarang ditemukan dini. Pada pertumbuhan kanker
hati, beberapa pasien mungkin mengalami gejala seperti sakit di perut sebelah kanan
atas meluas ke bagian belakang dan bahu, bloating, berat badan, kehilangan nafsu
makan, kelelahan, mual, muntah, demam, dan ikterus (Hussodo, 2006).
Kanker Hati atau Karsinoma Hepato Seluler (KHS) merupakan tumor ganas hati
primer yang sering di jumpai di Indonesia. KHS merupakan tumor ganas dengan
prognosis yang amat buruk, dimana pada umumnya penderita meninggal dalam waktu
2-3 bulan sesudah diagnosisnya di tegakkan (Misnadiarly, 2007). Karsinoma Hepato
Seluler (KHS) merupakan komplikasi dari hepatitis kronis yang serius terutama karena
virus hepatitis B, C dan hemochromatosis (Depkes RI,2007).
Di Indonesia (khususnya di Jakarta) HCC ditemukan tersering pada median usia
antara 50-60 tahun dengan predominasi pada laki-laki. Rasio antara kasus laki-laki dan
perempuan berkisar antara 2-6 : 1. Manifestasi klinisnya sangat bervariasi dari
asimtomatik hingga dengan gejala dan tandanya yang sangat jelas disertai gagal hati.
Gejala yang paling sering dikeluhkan adalah nyeri atau perasaan tak nyaman di kuadran
kanan-atas abdomen (Hussodo, 2009).
Temuan fisis tersering pada HCC adalah hepatomegali dengan atau tanpa bruit
hepatik, splenomegali, asites, ikterus, demam dan atrofi otot. Sebagian dari pasien yang
di rujuk ke rumah sakit karena perdarahan varises esofagus atau peritonitis bakterial
spontan (SBP) ternyata sudah menderita HCC. Pada suatu laporan serial nekropsi
didapatkan bahwa 50% dari pasien HCC telah menderita asites hemoragik yang jarang
ditemukan pada pasien sirosis hati saja. Pada 10% hingga 40% pasien dapat ditemukan
hiperkolesterolemia akibat dari berkurangnya produksi enzim -hidroksimetilglutaril
koenzim- reduktase, karena tiadanya kontrol umpan balik yang normal pada sel
hepatoma (Hussodo, 2009).
4. Perlemakan Hati
Perlemakan hati terjadi bila penimbunan lemak melebihi 5% dari berat hati atau
mengenai lebih dari separuh jaringan sel hati. Perlemakan hati ini sering berpotensi
menjadi penyebab kerusakan hati dan sirosis hati. Kelainan ini dapat timbul karena
mengkonsumsi alkohol berlebih, disebut ASH (Alcoholic Steatohepatitis), maupun
bukan karena alkohol, disebut NASH ( Non Alcoholic Steatohepatitis) (Depkes RI,
2007).
Penyakit perlemakan hati non-alkoholik atau non-alcoholic fatty liver disease
(NAFLD) merupakan spektrum kondisi yang ditandai secara histologis dengan
steatosis (perlemakan) hati makrovesikular dan terjadi pada mereka yang tidak
mengkonsumsi alkohol yang berat. Ada dua pola histologis NAFLD, yaitu lemak hati
saja (non alcoholic fatty liver = NAFL) dan perlemakan hati pada tingkat yang lebih
berat (non-alcoholic steatohepatitis = NASH). Dikatakan sebagai perlemakan hati
apabila kandungan lemak di hati (sebagian besar terdiri atas trigliserida) melebihi 5%
dari seluruh berat hati. Terdapat peningkatan insidensi NAFLD pada sindroma
metabolik yang meliputi obesitas, hiperinsulinemia, resistensi insulin perifer, diabetes
mellitus, hipertrigliseridemia, dan hipertensi.
Prevalensi NAFLD tertinggi adalah pada usia 40-49 tahun (Sudoyo, 2007). Gejala
klinik dari NAFLD seringkali tidak khas, dapat tanpa gejala (asimtomatik) atau dengan
gejala, diantaranya keluhan pada perut dan gangguan toleransi fisik (Sulaiman, dkk.,
2007). Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan obesitas sentral, hepatomegali, dan
hipertensi. Diagnosis NAFLD dalam klinik biasanya ditegakkan dengan berbagai
pemeriksaan penunjang, antara lain: pencitraan hati (USG, CT scan, MRI, fibroscan),
pemeriksaan laboratorium (AST, ALT, dll) dan histopatologi hati dari biopsi hati. Pada
pasien NAFLD, dapat dijumpai adanya kenaikan kadar AST, ALT. Gambaran khas USG
hati pada pasien NAFLD adalah : hiperekogenik hati yang difus (bright liver) dibanding
ginjal (Sudoyo, dkk., 2006).
5. Kolestasis dan Jaundice
Kolestasis merupakan keadaan akibat kegagalan produksi dan/atau pengeluaran
empedu. Lamanya menderita kolestasis dapat menyebabkan gagalnya penyerapan
lemak dan vitamin A, D, E, K oleh usus, juga adanya penumpukan asam empedu,
bilirubin dan kolesterol di hati. Adanya kelebihan bilirubin dalam sirkulasi darah dan
penumpukan pigmen empedu pada kulit, membran mukosa dan bola mata (pada lapisan
sklera) disebut jaundice. Pada keadaan ini kulit penderita terlihat kuning, warna urin
menjadi lebih gelap, sedangkan feses lebih terang. Biasanya gejala tersebut timbul bila
kadar bilirubin total dalam darah melebihi 3 mg/dl. Pemeriksaan yang dilakukan untuk
kolestatis dan jaundice yaitu terhadap alkali fosfatase, GGT, bilirubin total, dan
bilirubin direk (Depkes RI, 2007).
6. Hemocromatosis
Hemocromatosis merupakan kelainan metabolisme besi yang ditandai dengan
adanya pengendapan besi secara berlebihan di dalam jaringan. Penyakit ini bersifat
genetik atau keturunan. Pemeriksaan laboratorium untuk mendeteksi terjadinya
hemochromatosis adalah pemeriksaan terhadap Transferin dan Ferritin (Depkes RI,
2007).
7. Abses hati
Abses hati dapat disebabkan oleh infeksi bakteri atau amuba. Kondisi ini
disebabkan karena bakteri berkembang biak dengan cepat, menimbulkan gejala demam
dan menggigil. Abses yang diakibatkan karena amubiasis prosesnya berkembang lebih
lambat. Abses hati, khususnya yang disebabkan karena bakteri seringkali berakibat fatal
(Depkes RI, 2007).
Portal
Portal
Hypertension
Hypertension
Hyperdinamic
circulation Increased
Increased portal
portal
Adrenergic
Adrenergic system
system
Damaged
Damaged (increased blood
blood flow
flow
(increased cardiac
cardiac
(vascular)
(vascular) Vasoconstrictor/
Vasoconstrictor/ index)
index)
Increased
Increased
architecture
architecture dilator
dilator imbalance
imbalance Renin-Angiotensin
Renin-Angiotensin resistance
resistance
System
System (renal
(renal Na
+
Na+and
and to
to portal
portal flow
flow
water
water retention)
retention)
CIRRHOSIS
Counterregulatoryme
Counterregulatoryme
chanism
chanism
Gambar 3. Patofisiologi Varises Esofagus
(de Francis, 2010)
Pasien sirosis hati dengan tekanan portal yang normal, maka belum terbentuk
varises esofagus. Ketika tekanan portal meningkat maka secara progresif akan terbentuk
varises yang kecil. Dengan berjalannya waktu, dimana terjadi peningkatan sirkulasi
hiperdinamik maka aliran darah di dalam varises akan meningkat dan meningkatkan
tekanan dinding. Perdarahan varises akibat ruptur yang terjadi karena tekanan dinding
yang maksimal. Jika tidak dilakukan penanganan terhadap tinggi tekanan tersebut,
maka merupakan faktor resiko untuk terjadinya perdarahan ulang.
C. Hepatic Encephalophaty
Ensefalopati hepatik (EH) merupakan sindrom neuropsikiatri yang dapat terjadi
pada penyakit hati akut dan kronik berat dengan beragam manifestasi, mulai dari ringan
hingga berat, mencakup perubahan perilaku, gangguan intelektual, serta penurunan
kesadaran tanpa adanya kelainan pada otak yang mendasarinya. Di Indonesia,
prevalensi EH minimal (grade 0) tidak diketahui dengan pasti karena sulitnya
penegakan diagnosis, namun diperkirakan terjadi pada 30%-84% pasien sirosis hepatis
(Hasan dan Abirianty, 2014).
EH terbagi menjadi tiga tipe terkait dengan kelainan hati yang mendasarinya,
yaitu :
- Tipe A berhubungan dengan gagal hati akut dan ditemukan pada hepatitis fulminan
- Tipe B berhubungan dengan jalur pintas portal dan sistemik tanpa adanya kelainan
intrinsik jaringan hati
- Tipe C yang berhubungan dengan sirosis dan hipertensi portal, sekaligus paling
sering ditemukan pada pasien dengan gangguan fungsi hati.
Klasifikasi EH berdasarkan gejalanya dibagi menjadi 2, yaitu :
EH minimal (EHM)
EH minimal merupakan istilah yang digunakan bila ditemukan adanya defisit
kognitif seperti perubahan kecepatan psikomotor dan fungsi eksekutif melalui
pemeriksaan psikometrik atau elektrofisiologi.
EH overt
EH overt terbagi lagi menjadi EH episodik (terjadi dalam waktu singkat
dengan tingkat keparahan yang befluktuasi) dan EH persisten (terjadi secara progresif
dengan gejala neurologis yang kian memberat) (Hasan dan Abirianty, 2014).
a. Patofisiologi Ensefalopati Hepatik (EH)
Beberapa kondisi berpengaruh terhadap timbulnya EH pada pasien gangguan
hati akut maupun kronik, seperti keseimbangan nitrogen positif dalam tubuh (asupan
protein yang tinggi, gangguan ginjal, perdarahan varises esofagus dan konstipasi),
gangguan elektrolit dan asam basa (hiponatremia, hipokalemia, asidosis dan alkalosis),
penggunaan obat-obatan (sedasi dan narkotika), infeksi (pneumonia, infeksi saluran
kemih atau infeksi lain) dan lain-lain, seperti pembedahan dan alkohol. Faktor tersering
yang mencetuskan EH pada sirosis hati adalah infeksi, dehidrasi dan perdarahan
gastrointestinal berupa pecahnya varises esofagus (Hasan dan Abirianty, 2014).
b. Peran Amonia dalam Ensefalopati Hepatik (EH)
Terjadinya EH didasari pada akumulasi berbagai toksin dalam peredaran darah
yang melewati sawar darah otak. Amonia merupakan molekul toksik terhadap sel yang
diyakini berperan penting dalam terjadinya EH karena kadarnya meningkat pada pasien
sirosis hati.
Amonia merupakan hasil produksi koloni bakteri usus dengan aktivitas enzim
urease, terutama bakteri gram negatif anaerob, Enterobacteriaceae, Proteus dan
Clostridium. Enzim urease bakteri akan memecah urea menjadi amonia dan
karbondioksida. Amonia juga dihasilkan oleh usus halus dan usus besar melalui
glutaminase usus yang memetabolisme glutamin (sumber energi usus) menjadi glutamat
dan amonia. Pada individu sehat, amonia juga diproduksi oleh otot dan ginjal. Secara
fisiologis, amonia akan dimetabolisme menjadi urea dan glutamin di hati. Otot dan
ginjal juga akan mendetoksifikasi amonia jika terjadi gagal hati dimana otot rangka
memegang peranan utama dalam metabolisme amonia melalui pemecahan amonia
menjadi glutamin via glutamin sintetase. Ginjal berperan dalam produksi dan eksresi
amonia, terutama dipengaruhi oleh keseimbangan asam-basa tubuh. Ginjal
memproduksi amonia melalui enzim glutaminase yang merubah glutamin menjadi
glutamat, bikarbonat dan amonia. Amonia yang berasal dari ginjal dikeluarkan melalui
urin dalam bentuk ion amonium (NH4+) dan urea ataupun diserap kembali ke dalam
tubuh yang dipengaruhi oleh pH tubuh. Dalam kondisi asidosis, ginjal akan
mengeluarkan ion amonium dan urea melalui urin, sedangkan dalam kondisi alkalosis,
penurunan laju filtrasi glomerulus dan penurunan perfusi perifer ginjal akan menahan
ion amonium dalam tubuh sehingga menyebabkan hiperamonia (Hasan dan Abirianty,
2014).
Meningkatnya permebialitas sawar darah otak untuk amonia pada pasien
sirosis menyebabkan toksisitas amonia terhadap astrosit otak yang berfungsi melakukan
metabolisme amonia melalui kerja enzim sintetase glutamin. Disfungsi neurologis yang
ditimbulkan pada EH terjadi akibat edema serebri, dimana glutamin merupakan
molekul osmotik sehingga menyebabkan pembengkakan astrosit. Amonia secara
langsung juga merangsang stres oksidatif dan nitrosatif pada astrosit melalui
peningkatan kalsium intraselular yang menyebabkan disfungsi mitokondria dan
kegagalan produksi energi selular melalui pembukaan pori-pori transisi mitokondria.
Amonia juga menginduksi oksidasi RNA dan aktivasi protein kinase untuk mitogenesis
yang bertanggung jawab pada peningkatan aktivitas sitokin dan repson inflamasi
sehingga mengganggu aktivitas pensignalan intraselular.
Pemeriksaan kadar amonia tidak dapat dipakai sebagai alat diagnosis pasti EH.
Peningkatan kadar amonia dalam darah (> 100 mg/100 ml darah) dapat menjadi
parameter keparahan pasien dengan EH. Pemeriksaan kadar amonia darah belum
menjadi pemeriksaan standar di Indonesia mengingat pemeriksaan ini belum dapat
dilakukan pada setiap rumah sakit di Indonesia (Hasan dan Abirianty, 2014).
c. Gejala Ensefalopati Hepatik (EH)
Ensefalopati hepatik menghasilkan suatu spektrum luas manifestasi neurologis
dan psikiatrik nonspesifik. Kriteria West Haven membagi EH berdasarkan derajat
gejalanya. Stadium EH dibagi menjadi grade 0 hingga 4, dengan derajat 0 dan 1 masuk
dalam EH covert serta derajat 2-4 masuk dalam EH overt, seperti pada tabel 4.
Tabel 4. Stadium ensefalopati hepatik sesuai kriteria West Haven
Derajat Fungsi Neuromuskuler
Kognitif dan Perilaku
0
(Subklinis Asimtomatik Tidak ada
minimal)
Gangguan tidur, penurunan Suara monoton, tremor,
1 konsentrasi, depresi, ansietas, penurunan kemampuan menulis,
dan iritabilitas apraksia
Letargi, disorientasi, penurunan
2 Ataksia, disartria, asteriksis
daya ingat
Somnolen, kebingungan, Nistagmus, kekakuan otot,
3
amnesia, gangguan emosi hiper atau hiporeflek
Pupil dilatasi, refleks patologis
4 Koma
dijumpai.
Sumber : Hasan dan Abirianty (2014).
d. Faktor yang mempengaruhi timbulnya HE
Faktor endogen, yaitu memburuknya fungsi hati misalnya pada hepatitis
fulminan akut.
Faktor eksogen, antara lain :
- Protein berlebih dalam usus
- Perdarahan massif/ syok hipovolemik
- Sindrom alkalosis hipovolemik akibat diuretik atau parasentesis yang cepat
- Pengaruh obat-obatan (penenang, anestetik/narkotika)
- Infeksi yang berat
- Konstipasi
D. Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP)
Cairan dalam rongga perut merupakan tempat ideal untuk pertumbuhan bakteri.
Dalam keadaan normal, rongga perut hanya mengandung sedikit cairan, sehingga
mampu menghambat infeksi dan memusnahkan bakteri yang masuk ke dalam rongga
perut (biasanya dari usus), atau mengarahkan bakteri ke vena porta atau hati, di mana
mereka akan dibunuh semua. Infeksi cairan dapat terjadi secara spontan, atau setelah
tindakan parasintese. Tipe yang spontan terjadi 80% pada penderita sirosis hati dengan
asites, sekitar 20% kasus. Keadaan ini lebih sering terjadi pada sirosis hati stadium
kompesata yang berat. Pada kebanyakan kasus penyakit ini timbul selama masa
rawatan. Infeksi umumnya terjadi secara Blood Borne dan 90% Monomicroba. Pada
sirosis hati terjadi permiabilitas usus menurun dan mikroba ini beraasal dari usus.
Adanya kecurigaan akan SBP bila dijumpai keadaan sebagai berikut :
1. Sirosis kelas B dan C dengan asites.
2. Gambaran klinis mungkin tidak ada dan nilai WBC normal.
3. Protein asites dengan nilai <1 g / dl.
4. Biasanya infeksi monomicrobial dan Gram-Negatif.
5. Pengobatan dimulai dengan antibiotik jika asites > polimorfes 250 mm
6. 50% kasus meninggal.
7. 69% kasus kambuh dalam 1 tahun (Sutadi, 2003).
SBP merupakan komplikasi yang mengancam jiwa pasien. Beberapa pasien SBP
ada yang tidak mempunyai keluhan sama sekali, namun sebagian lagi mengeluh
demam, menggigil, nyeri abdomen, rasa tidak enak di perut, diare dan asites yang
memburuk (Hernomo, 2007).
Spontaneous bacterial peritonitis (SBP) dibagi menjadi tiga sub kelompok,
yaitu:
1) Peritonitis bakteri spontan didefinisikan jika positif ditemukan bakteri dalam asites,
bersama dengan leukosit polimorfonuklear yang meningkat dalam ascites (> 250
sel/mm3). Mikroorganisme yang menyebabkan SBP terdapat dalam 60% -70%
kasus.
2) Kultur negatif asites neutrocytic (Culture-negative neutrocytic ascites, CNNA),
penimbunan cairan (asites) steril, infeksi bakteri tidak dapat dibuktikan dengan
kultur, hanya peningkatan jumlah leukosit polimorfonuklear diatas batas 250
sel/mm3 yang terlihat. Jika sampel asites mengandung darah, SBP diagnosis dibuat
dengan menemukan lebih dari satu granulosit neutrophilic per 250 eritrosit.
3) Monomicrobial non-neutrocytic bacterascites (hanya bacterascites) jarang
dijelaskan. Pada gangguan ini, positif kultur bakteri tidak disertai dengan
peningkatan leukosit. Hal ini biasanya terungkap dalam Child-Pugh pasien kelas A.
Pemulihan dari bacterascites dapat terjadi secara spontan (pada 60% -80%), atau
dapat berkembang menjadi SBP khas. Bacterascites cukup sering tanpa gejala, dan
antibiotik digunakan hanya jika gejala muncul dan temuan kultur persisten (Lata
dkk., 2009).
E. Asites
Asites adalah terjadinya akumulasi cairan yang berlebihan dalam rongga
peritonium. Akumulasi cairan mengandung protein tersebut terjadi karena adanya
gangguan pada struktur hepar dan aliran darah yang disebabkan oleh inflamasi, nekrosis
fibrosis atau obstruksi menyebabkan perubahan hemodinamis yang menyebabkan
peningkatan tekanan limfatik dalam sinusoid hepar, mengakibatkan transudasi yang
berlebihan cairan yang kaya protein ke dalam rongga peritonium. Peningkatan tekanan
dalam sinusoid menyebabkan peningkatan volume aliran ke pembuluh limpatik dan
akhirnya melebihi kapasitas drainage sehingga tejadi overflow cairan limpatik kedalam
rongga peritonium (McPhee, 1995). Cairan asites merupakan cairan plasma yang
mengandung protein sehingga baik untuk media pertumbuhan bakteri patogen,
diantaranya enterobacteriaceae (E. Coli), bakteri gram negatif, kelompok enterococcus
(Sease et al, 2008).
b. Evaluasi radiographic
1) Ultrasonography (USG)
USG paling baik digunakan sebagai alat penapis untuk memperlihatkan dilatasi
percabangan-percabangan saluran empedu dan memperlihatkan batu empedu.Alat ini
juga dapat digunakan untuk mendeteksi penyakit parenkim.
2) Computed Tomography Scanning (CT-Scan)
CT-Scan dengan kontras intravena paling baik digunakan untuk evaluasi
penyakit parenkim hati namun dapat pula digunakan untuk memeriksa dilatasi
percabangan saluran empedu. Dalam pemeriksaan terhadap lesi desak ruang (Space-
occupying lesion/SOL) seperti misalnya abses dan tumor, CT-Scan mempunyai
keunggulan berupa kontras yang lebih baik.
3) Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI mempunyai kegunaan yang serupa dengan CT-Scan. Keunggulannya
terletak pada kemampuannya memperlihatkan pembuluh darah tanpa perlu
menggunakan bahan kontras.Pada pemeriksaan MRI diperlukan sikap kooperatif dari
penderita.
4) Scintigraphy hati-limpa
Merupakan teknik lama yang terutama digunakan untuk mendeteksi kelainan
penangkapan koloid yang terjadi pada disfungsi sel-sel hati.
5) Percutaneous Transhepatic Cholangiography (PTC) dan Endoscopic Retrogade
Cholangio-pancreatography (ERCP)
Teknik-teknik ini dilakukan dengan cara memasukkan bahan kontras ke dalam
percabangan saluran empedu dan paling bermanfaat jika dilakukan setelah penapisan
awal dengan USG, CT-scan atau MRI yang hasilnya memperlihatkan kelainan pada
percabangan saluran empedu.
BAB III
TERAPI
a. Interferon -2a
SC/IM, 4,5 X 106 unit 3 x seminggu. Jika
terjadi tolerasi dan tidak menimbulkan respon
setelah 1 bulan, secara bertahap naikkan dosis
sampai dosis maksimum terapi selama 4-6
bulan kecuali dalam keadaan intoleran.
b. Interferon -2b
SC, 3x106 unit, 3 x seminggu. Tingkatkan
dosis 5-10 x 106 unit, 3 x seminggu setelah 1
bulan jika terjadi toleransi pada dosis lebih
rendah dan tidak berefek. Pertahankan dosis
minimum terapi selama 4-6 bulan kecuali
Hepatitis B kronik, dalam keadaan intoleran.
Interferon
Hepatitis C kronik
Hepatitis C kronik
Gunakan bersama Ribavirin (kecuali
kontraindikasi). Kombinasi interferon
dengan Ribavirin lebih efektif.
a. Interferon -2a dan Interferon -2b
SC, 3x106 unit, 3 x seminggu selama 12
minggu. Lakukan tes Hepatitis C RNA dan
jika pasien memberikan respon, lanjutkan
selama 6-12 bulan.
b. Penginterferon -2a : SC, 180 g 1 x
seminggu
c. Penginterferon -2b : SC, 0,5 g/kgBB (1
g/kgBB digunakan untuk infeksi
genotip 1) 1 x seminggu.
Ribavirin Hepatitis C kronik Ribavirin dengan interferon -2b
pada pasien penyakit interferon -2b: 3 x 106 unit SC 3 x
dengan
hati > 18 tahun yang seminggu dan Ribavirin per hari
interferon berdasarkan berat badan :
mengalami
kegagalan dengan - < 75 kg, Ribavirin 400 mg pagi dan
monoterapi 600 mg sore hari
- > 75 kg, Ribavirin 600 mg pagi dan
sore hari
Ribavirin dengan interferon -2a
Penginterferon -2a : 180 g SC 1 x
seminggu dengan ribavirin per hari
berdasarkan berat badan dan genotip
HCV
Genotip 1, < 75 kg, 400 mg pagi dan 600
mg malam hari
>75 kg, 600 mg pagi dan
malam hari
Genotip 2 dan 3, 400 mg pagi dan malam
hari.
Ribavirin dengan penginterferon -2b
Penginterferon -2b : 1,5 g/kgBB SC 1x
menggunakan
seminggu dan Ribavirin berdasarkan
interferon -2a atau
berat badan :
-2b. < 65 kg, SC penginterferon -2b 100 g
1 x seminggu, oral Ribavirin 400 mg pagi
dan malam hari.
65-80 kg, penginterferon -2b 120 g 1 x
seminggu, oral Ribavirin 400 mg pagi
dan 600 mg malam hari.
>80-85 kg, penginterferon -2b 150 g 1
x seminggu, oral Ribavirin 400 mg pagi
dan 600 mg malam hari.
> 85 kg, SC penginterferon -2b 150 g
1 x seminggu, oral Ribavirin 600 mg pagi
dan 600 mg malam hari.
1. Asites
2. Ensefalopati Hepatik
Obat Dosis
Obat Dosis
Dewasa :
Oral, 250-500 mg setiap 6 jam. Maksimum 4 gram sehari.
IM/IV, 500 mg-1 gram setiap 4-6 jam.
Ampicillin Anak-anak:
Oral : 7,5-25 mg/kbBB setiap 6 jam sampai 4 gram sehari
IM/IV : 10-25 mg/kgBB setiap 6 jam, maksimum 50 mg/kgBB
setiap 4 jam.
Dewasa :
IV: 1-2 gram setiap 8-12 jam, maksimum 12 gram sehari
Cefotaxime
Anak-anak:
IV: 25-50 mg/kgBB setiap 8 jam
Dewasa:
IM/IV : 1-2 gram 1xsehari (atau dalam 2 dosis terbagi), maksimum
Ceftriaxone 4 gram sehari.
Anak-anak:
IM/IV 50 mg/kgBB 1x sehari
Sumber : Depkes RI (2007)
4. Perdarahan Esofagus
Obat Dosis
Dewasa : IM 100 mg/hari
Dibekacin
Anak : 1-2 mg/kgBB/hari dalam 1-2 dosis terbagi
Dewasa : 4-5 g/kgBB/hari terbagi dalam 8-12 jam
Netilmicin Anak : 6-7,5 mg/kgBB/hari terbagi dalam 8 jam diberikan
selama 7-14 hari
Kanamycin Dewasa : 15 mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi,
maksimum1,5 g/hari
Anak : 15 mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi
Bayi baru lahir : 7,5 mg/kg/hari dalam dosis terbagi
Dewasa : IM/IV 4-7 mg/kg 1 x sehari
Anak :
1 bulan 10 tahun : IM/IV 7,5 mg/kg 1 x sehari atau 2,5
Gentamycin mg/kg setiap 8 jam
Anak > 5 tahun : 1,5-2,5 mg/kg/hari setiap 8 jam
> 10 tahun : IM/IV 6 mg/kg 1 x sehari atau 1-2 mg/kg
setiap 8 jam
Dewasa : IM/IV 16-24 mg/kg 1 x sehari atau dalam 2-3
dosis terbagi
Anak > 10 tahun : IM/IV 18 mg/kg 1 x sehari atau 15
Amikacin
mg/kg/hari dalam 2-3 dosis terbagi
Infant, anak < 10 tahun : IM/IV 22,5 mg/kg 1xsehari atau
7,5 mg/kg 3 x sehari
Dewasa : 500-750 mg 3 x sehari selama 5-10 hari
Metronidazole Anak : 35-50 mg/kg/hari dalam dosis terbagi selama 10
hari
Dewasa : 2 gram sebagai dosis tunggal selama 3 hari atau
Tinidazole 600 mg 2 x sehari selama 5 hari.
Anak : dosis tunggal 50-60 mg/kg selama 3 hari
Dewasa : 1,5 gram/hari dalam dosis tunggal atau terbagi
Secnidazole untuk 5 hari
Anak : 2-30 mg/kg/hari dosis tunggal
Dewasa : hari ke-1 dan ke-2 : 600 mg; hari ke-3 : 300 mg
Kloroquin Anak : hari ke-1 dan hari ke-2 : 10 mg/kg; hari ke-3 : 5
mg/kg
Sumber : Depkes RI (2007).
Tn. A (59 tahun, 62 kg) masuk rumah sakit pada tanggal 5 Agustus 2017 dan
pulang dari rumah sakit pada tanggal 08 Agustus 2017. Selama 3 hari sebelum ke
rumah sakit, Tn.A mengeluh nyeri perut, badan terasa lemas, nafsu makan berkurang,
perut semakin membesar, terasa begah, mual muntah, tidak BAB sejak 2 hari dan mual.
Dokter mendiagnosa Tn.A mengalami sirosis hati dan hepatitis B.
ANALISA SOAP
Subjek
Nama : Tuan A
Usia : 59 tahun
Berat badan : 62 kg
Anamnase : perut semakin membesar, terasa begah, lemas, nyeri perut, mual,
muntah, tidak BAB selama 2 hari.
Diagnosa : sirosis dan hepatitis B.
Objektif
Hasil Pemeriksaan Fisik Dan Keluhan
Vital Sign Nilai Normal Tanggal
05.08.17 06.08.17 07.08.17 08.08.17
120/80
TD (mmHg) 110/80 120/80 120/80 120/80
mmHg
80-100
Nadi (x/menit) 70 60 84 88
x/menit
RR (x/menit) 20-30 x/menit 20 22 20 20
Suhu 36,5-37,5oC 36,9 36,7 36,9 36,7
Kesadaran CM CM CM CM CM
Nyeri X V V V -
Perut membesar
X V V V -
dan mbesesek
Lemas X V V - -
Hasil Pemeriksaan Laboratorium
NILAI Tanggal
DATA LAB 4/8 5/8 7/8 8/8
NORMAL
Hb 13,2-17,3 11,0 12,3 12,1 12,8
g/dl
HEMATOKRIT 40,0-50,0% 29 29,3 30,6
MCV 80,8-96,0 Fl 89,5 89,3 90,8
MCH 28,0-33,0 30,0 29,8 30,0
pg
LEUKOSIT 4,5-11 x 12,3 11,3 19,3
0,103/l
TROMBOSIT 170-380 x 101 110
103/mm3
MONOSIT 0,3-0,8 x 8,0 8,7 7,4
103/l
SGOT 0-35 u/l 89 89
SGPT 0-37 u/l 50 50
HbsAg <0,05 IU/ml 138,1 73,02
HbeAg S/CO <1,0 22,71 13,15
VHB DNA < 20.000 1.71 x 105 1.10 x 105
IU/ml
ALBUMIN 3,5-5,0 g% 2,74 2,76 2,43 2,38
GDS 80-140 94 94
mg/dl
NA 135-145 136 140
mmol/L
K 3,6-4,8 4,4 3,90
mmol/L
CL 98-106 106 105
mmol/L
Furosemide
1-1-0 v V v v
40mg (po)
Heplav
1x1 V V v v
100mg (po)
Lansoprazole
1x1 v V v v
30mg (po)
Albumin 20g
1x1 v V v v
(iv)
Vit K
3 x 1 amp - - - v
2mg (i.v)
Nama Obat Indikasi Dosis Tepat Rute Interaksi Obat ESO Outcame
dosis Pemberian Terapi
PARENTERAL
Edema,
D 5% Nutrisi parenteral 20 tpm i.v hiperosmolaritas, Tidak lemas
takipnea
Hipertensi,
hipotensi,
hipervolemia,
Under takikardia, sakit Meningkatkan
Albumin Hipoalbuminemia 20g i.v
dose kepala, mual, nilai albumin
muntah, respiratori,
bronkospasme,
pulmonary edema
INJEKSI
cyanosis, hipotensi,
rasa tidak enak pada
perut, reaksi pada
tempat penyuntikan Mengatasi
Vit K Perdarahan 3x1 ampul i.v (pada pemberian perdarahan atau
IV), dyspnea, reaksi faktor koagulasi
anafilaksis,
diaforesis dan reaksi
hipersensitivitas.
Nama Obat Indikasi Dosis Tepat Rute Interaksi Obat ESO Outcame Terapi
dosis Pemberian
Literature
20-80 mg tiap
Diuretic untuk 6-8 jam Hoperuricemia,
Furosemide kondisi p.o Mengurangi edema
(maintenance hipokalemia
edema/asites
2x sehari)
Hepatitis
Heplav Menstabilkan atau
kolestasis, Diare, mual, muntah,
100mg / hari p.o memperbaiki fungsi
(Lamivudin) hepatitis active batuk
hati.
kronik
KIE
Terapi sederhana yang dapat dilakukan sebagai terapi supportif dalam menangani
penyakit sirosis hati dan hepatitis b adalah sebagai berikut :
1. Istirahat yang cukup.
2. Melakukan diet rendah garam. Diet yang dilakukan oleh penderita sirosis hati
perlu mendapat pengawasan oleh dokter atau ahli gizi.
3. Mengatur pola makan yang seimbang, seperti cukup kalori, protein dan vitamin.
4. Menghindari hal pemicu kerusakan hati seperti merokok, minuman beralkohol.
5. Monitoring dengan cek lab minimal 3 bulan pertama (saat pengobatan).
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
1. Obat yang diberikan adalah Furosemide tab, Heplav, Lansoprazole, Injeksi
Albumin, injeksi vit K, Curcuma tab, Infus d5%.
2. Pasien didiagnosa menderita sirosis hati dan hepatitis B kronis, dengan periode
pengobatan seumur hidup.
3. Tujuan terapi bagi penderita sirosis hati dan hepatitis B kronis adalah
memperpanjang harapan hidup, memperbaiki kualitas hidup dengan cara
mengidentifikasi dan mengatasi pecetus serta pemberian terapi.
4.2 SARAN
a. Dianjurkan hidup sehat dengan menghindari makanan yang tidak dianjurkan.
b. Dianjurkan minum obat sesuai dengan resep dokter
DAFTAR PUSTAKA
Akil, M, 2007, Ascites, dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati Edisi I. FK Universitas
Indonesia, Jakarta.
Atluri, D. K., Ravi, P., Kevin, D. M. 2011. Pathogenesis, Diagnosis, and Treatment of
Hepatic Encephalopathy. Journal of Clinical and Experimental Hepatology. 1.
(2) : 77-86.
Hussodo, B. U. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta : FKUI.
Kemenkes RI. 2014. Pusat Data Informasi Situasi dan Analisis Hepatitis. Jakarta
Loho, I. M., Irsan, H. 2014. Drug Induced Liver Injury- Tantangan dalam Diagnosis.
CDK. 41. (3) : 167-170
Sudoyo, A. W. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1 Edisi V. Jakarta : Interna
Publishing Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Sutadi, Sri M. 2003. Sirosis Hepatis. Fakultas Kedokteran Bagian Penyakit Dalam
Universitas Sumatera Utara. Available from :
http://library.usu.ac.id/download/fk/penydalam -srimaryani5.pdf [Accesed : 07
Oktober 2017]
WHO. 2015. Guidelines for the prevention, care and treatment of persons with chronic
hepatitis b infection.