Professional Documents
Culture Documents
Tindakan Kebersihan
1. Kebersihan pakaian
Kebersihan pakaian disini meliputi mengganti pakaian 2x sehari, bertukar pakaian sesama teman,
mencuci pakaian menggunakan detergen, menyetrika baju, dan merendam pakaian yang disatukan
dengan pakaian teman yang lain. Pakaian merupakan salah satu faktor resiko terjadinya skabies.
Pakaian merupakan media tidak langsung perpindahan tungau sarcoptes scabei. Bertukar pakaian
sesama teman dan merendam pakaian yang disatukan dengan pakaian teman yang lain akan akan
memudahkan tungau untuk berpindah dari penderita skabies ke orang lain. Sehingga menimbulkan
infeksi pada orang lain. Mencuci pakaian menggunakan detergen dan menyetrika baju akan
membuat tungau sarcoptes scabei menjadi mati. Detergen mengandung basa yang cukup kuat yang
bersifat toksik untuk tungau. Menyetrika baju akan menimbulkan suhu yang sangat panas yang akan
membuat tungau menjadi mati. Mengganti pakaian 2x sehari akan menurunkan faktor resiko karena
pakaian yang sering diganti akan menurunkan perpindahan dari tungau sarcoptes scabei (Handoko,
2008). Beberapa faktor diatas yang yang cukup tinggi adalah mengganti pakaian kurang dari 2x
sehari, bertukar pakaian sesama teman dan tidak menyetrika baju. Adapun gambaran dari masing-
masing faktor teersebut adalah.
d. Menyetrika baju
2. Kebersihan Kulit
Kebersihan pakaian disini meliputi mandi 2x sehari, mandi menggunakan sabun, bertukar sabun
sesama teman. Kebersihan kulit yang kurang merupakan salah satu faktor resiko terjadinya skabies.
Kulit menjadi tempat tungau sarcoptes scabei melakukan infestasi. Terutama pada kulit yang tipis
yang menjadi tempat predileksinya. Mandi minimal 2x sehari akan membersihkan tubuh sehingga
akan meningkatkan tungau yang dibersihkan dari tubuh. Mandi menggunakan sabun akan membuat
tungau yang berada di luar tubuh lebih mudah mati karena sabun bersifat toksik yang memudahkan
tungau menjadi mati. Bertukar sabun akan memudahkan tungau yang masih hidup dan belum mati
untuk berpindah dari penderita ke orang lain (Harahap & Marwali, 2008). Beberapa faktor diatas
tidak ditemukan pada semua penderita sehingga kebersihan kulit termasuk bersih.
4. Kebersihan handuk
Kebersihan handuk disini meliputi mandi menggunakan handuk sendiri, menjemur handuk setelah
digunakan mandi, mencuci handuk dijadikan satu rendaman dengan teman lain, dan menggunakan
handuk bergantian dengan temain lain. Handuk merupakan media penularan tungau saroptes scabei.
Handuk yang yang dipakai bergantian dengan teman dan mencuci handuk bersama teman dalam
satu rendaman akan meningkatkan perpindahan dari tungau sarcoptes scabei. Handuk yang tidak
dijemur akan menyebabkan tungau tetap hidup dan tidak mati (Handoko, 2008). Berdasarkan
kuesioner kebersihan handuk baik semua. Adapun riniannya sebagai berikut.
Kebersihan tempat tidur dan sprei meliputi sprei yang digunakan tidur bersama orang lain, tidur di
tempat tidur sendiri, orang lain yang tidur di tempat sendiri, menjemur tempat tidur sekali seminggu,
dan mengganti sprei sekali seminggu. Tempat tidur dan sprei merupakan media penularan tungau
saroptes scabei. Tempat tidur dan sprei yang yang digunakan bersama dengan teman akan
meningkatkan perpindahan dari tungau sarcoptes scabei dari penderita ke orang lain. Ditambah
sarcoptes scabei sering keluar dari kanalikuli kulit pada malam hari. Tempat tidur dan sprei yang
jarang dijemur akan menyebabkan tungau sarcoptes scabei tetap hidup dan tidak mati. Panas
jemuran berfungsi untuk membuat tungau menjadi mati. Mengganti sprei seminggu sekali akan
menurunkan angka penularan skabies (Handoko, 2008). Kebanyakan faktor diatas adalah sprei yang
digunakan tidur bersama orang lain dan orang lain bisa tidur di tempat tidu sendiri. Adapun
rinciannya seagai berikut.
Pada penyakit skabies cara mendiagnosis adalah dengan menemukan 2 dari 4 tanda kardinal yaitu
gatal pada malam hari (pruritus nokturna), menyerang kelompok atau komunitas, adanya
terowongan (kanalikulus), dan ditemukan tungau (Handoko, 2008). Pada praktikum ini dilakukan
kerokan kulit pada daerah lesi dan diletakan pada objek glass, ditetesi KOH dan ditutup dengan cover
glass. Kemudian dilihat dengan menggunakan mikroskop cahaya untuk mencari gambaran tungau
sarcoptes scabei. Namun dari 18 sampel semuanya tidak terlihat gambaran sarcoptes scabei baik
tubuhnya yang utuh maupun potongan tubuhnya. Hal ini bisa terjadi karena kesalahan saat
pengambilan sampel saat kerokan kulit ( Hilma & Ghazali, 2014)
1. Kerokan kulit masih terlalu superfisial belum sampai ke dalam stratum korneum
2. Teknik kerokan kulit masih keliru
3. Kerokan kulit tidak tepat di daerah lesi
4. Kerokan kulit tidak tepat jatuh ke object glass tapi jatuh ke tempat lain
5. Kerokan kulit yang sudah berada diatas object glass jatuh ke tempat lain atau terbawa angin
6. Tetesan KOH tidak tepat berada di atas object glass yang terdapat kerokan kulit
7. Tetesan KOH yang sudah ditutup dengan cover glass terlalu banyak udara
8. Kesalahan saat melihat di mikroskop
Adapun faktor lain yang menyebabkan tidak ditemukannya tungau sarcoptes scabei di
mikroskop adalah (Hilma & Ghazali, 2014)
1. Lesi tersebut bukan lesi skabies e.c sarcoptes scabei tapi lesi yang mirip dengan
diferensial diagnosis misal jamur tinea palmaris, tinea pedis, alergi, gigitan serangga/
nyamuk
2. Tungau sarcoptes scabei memiliki kecenderungan untuk keluar pada malam hari, pada
siang hari mereka cenderung untuk berdiam diri dan pasif di dalam terowongan, padahal
pengambilan sampel dilakukan pada siang hari.
3. Tungau sarcoptes scabei yang di permukaan kulit telah berpindah ke tempat predileksi
lain misal daerah kemaluan maupun lipatan tubuh yang lain
4. Tungau sarcoptes scabei yang dipermukaaan kulit telah berpindah ke tempat lain misal
berkontak dengan kulit orang lain, ke pakaian, sprei, kasur, handuk maupun yang lain.
Handoko, R.P. 2008. Skabies: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi V, Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Hilma, U.D., & Ghazali, L. 2014. Faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian skabies di pondok
pesantren mlangi nogotirto gamping sleman yogyakarta. JKKI, vol.6, no.3, hlm. 150.