You are on page 1of 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Endometriosis adalah ditemukannya jaringan menyerupai endometrium di
luar uterus yang dapat memicu reaksi peradangan kronis. Kondisi seperti ini
terutama ditemukan pada para wanita yang berada di usia reproduktif dari
berbagai etnik dan golongan sosial. Gejala-gejalanya dapat mempengaruhi fisik,
mental, dan kehidupan sosial. Oleh karena itu, sangat penting untuk
memperhatikan keluhan dan memberikan waktu kepada mereka yang dicurigai
menderita endometriosis untuk mengungkapkan keluh-kesah mereka. Akan tetapi,
kadang-kadang wanita penderita endometriosis mungkin tidak menunjukkan
gejala sama sekali. Oleh sebab itu, penemuan adanya endometriosis pada
beberapa kasus didapat secara kebetulan.1
Keseluruhan prevalensi endometriosis masih belum diketahui secara pasti,
terutama karena operasi merupakan satu-satunya metode yang paling dapat
diandalkan untuk diagnosis pasti endometriosis. Selain itu, operasi umumnya
tidak dilakukan tanpa gejala atau ciri-ciri fisik yang mengacu pada dugaan
endometriosis.1 Prevalensi endometriosis pada populasi secara umum berkisar
10%. Prevalensi ini meningkat hingga 82% pada perempuan dengan nyeri pelvik
dan 21% pada perempuan infertil. 4 Prevalensi umum berkisar antara 3%-10%,
terutama pada wanita dalam usia reproduktif.1
Penanganan endometriosis yang baik memerlukan diagnosis yang tepat.
Pengobatan secara hormonal masih merupakan pilihan utama dan beberapa
peneliti menyatakan bahwa gabungan pengobatan hormonal dengan tindakan
pembedahan memberikan hasil yang lebih baik.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1
2.1 Definisi
Endometriosis merupakan suatu keadaan dimana jaringan endometrium
yang masih berfungsi terdapat baik diluar endometrium kavum uteri maupun di
miometrium (otot rahim). Bila jaringan endometrium tersebut berimplantasi di
dalam miometrium disebut endometriosis interna atau adenomiosis, sedangkan
jaringan endometrium yang berimplantasi di luar kavum uteri disebut
endometriosis eksterna atau endometriosis sejati. Endometriosis paling sering
ditemukan pada perempuan yang melahirkan diatas usia 30 tahun.2

Gambar 1. Lokasi anatomis implantasi endometriosis

2.2 Etiologi dan Patogenesis


Walaupun penyebab pasti dari endometriosis masih belum diketahui,
terdapat beberapa teori yang telah dikemukakan. 2

1. Teori Menstruasi Retrograd


Teori yang paling awal dan paling banyak diterima secara meluas
berhubungan dengan menstruasi retrograd melalui tuba fallopi dengan
penyebaran jaringan endometrial di dalam kavum peritoneal. Teori menstruasi

2
retrograd atau juga dikenal sebagai teori transplantasi yang pertama kali
dikemukakan oleh Sampson pada tahun 1927. Menurut teori ini,
endometriosis terjadi karena darah haid mengalir kembali (regurgitasi) melalui
tuba ke dalam rongga pelvis. Sudah dibuktikan bahwa dalam darah haid
didapati sel-sel endometrium yang masih hidup. Sel-sel endometrium yang
masih hidup ini kemudian dapat mengadakan implantasi di pelvis.5
2. Teori Penyebaran Limfatik atau Hematogen
Bukti juga mendukung konsep endometriosis yang berasal dari penyebaran
limfatik atau vaskular dari jaringan endometrium. Temuan endometriosis di
lokasi yang tidak biasa, seperti perineum atau pangkal paha, memperkuat teori
ini. Daerah retroperitoneal memiliki sirkulasi limfatik yang banyak. Dengan
demikian, pada kasus-kasus di mana tidak ada ditemukan implantasi
peritoneal, tetapi semata-mata merupakan lesi retroperitoneal yang terisolasi,
diduga menyebar secara limfatik. Selain itu, kecenderungan adenokarsinoma
endometrium untuk menyebar melalui jalur limfatik menunjukkan
endometrium dapat diangkut melalui jalur ini. Meskipun teori ini tetap
menarik, namun sedikit studi yang melakukan eksperimen untuk
mengevaluasi bentuk transmisi endometriosis ini. 2
3. Teori Metaplasia Selomik
Teori ini menyatakan bahwa peritoneum parietalis adalah jaringan
pluripotensial yang bisa mengalami perubahan metaplasia sehingga secara
histology jaringan tersebut sulit dibedakan dengan endometrium yang normal.
(2)

Perubahan metaplasia ini dirangsang sebelumnya oleh beberapa faktor


seperti infeksi, hormonal dan rangsangan induksi lainnya. Teori ini menarik
pada kasus endometriosis tanpa adanya menstruasi, seperti pada wanita
premenarke dan menopause, dan pada laki-laki dengan karsinoma prostat
diterapi dengan estrogen dan orchiektomi. Namun, tidak adanya endometriosis
pada jaringan lain yang berasal dari epitel selom menentang teori ini. 2
Teori lain mengenai histogenesis endometriosis dilontarkan oleh Robert
Meyer. Pada teori ini dikemukakan bahwa endometriosis terjadi karena
rangsangan pada sel-sel epitel berasal dari selom yang dapat mempertahankan
hidupnya di daerah pelvis. Rangsangan ini akan menyebabkan metaplasi dari

3
sel-sel epitel itu, sehingga terbentuk jaringan endometrium. Teori dari Robert
Meyer akhir-akhir ini semakin banyak penantangnya. Di samping itu masih
terbuka kemungkinan timbulnya endometriosis dengan jalan penyebaran
melalui jalan darah atau limfe, dan dengan implantasi langsung dari
endometrium pada saat operasi. (1)
4. Teori induksi
Teori induksi menjelaskan bahwa beberapa hormon dan faktor biologis
dapat menginduksi diferensiasi sel-sel dalam jaringan endometrium.
Substansia-substansia ini dapat bersifat eksogen atau dapat dikeluarkan
langsung dari endometrium. Suatu studi in vitro yang dilakukan oleh
Matsuura, 1999 menemukan bahwa epitel permukaan ovarium berpotensial
mengalami transformasi menjadi lesi endometriotik sebagai respon dari
rangsangan estrogen. 2,7
a. Hormonal Dependence
Salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan endometriosis
adalah faktor hormon estrogen. Walaupun sebagian besar estrogen
diproduksi oleh ovarium namun beberapa jaringan perifier juga
diketahui membentuk estrogen melalui aromatisasi androgen
ovarium dan adrenal. Implantasi endometriosis menghasilkan
aromatase dan 17-hidroksisteroid dehidrogenase tipe 1 yang
merupakan suatu enzim yang berperan dalam konversi
androstenedion menjadi estron dan estron menjadi estradiol. Implant
tersebut bersifat defisit 17-hidroksisteroid dehidrogenase tipe 2
yang merupakan estrogen inaktif. Kombinasi enzim-enzim ini
menyebabkan implant berada pada lingkungan estrogenik
(fenomena intrakrin). 2
Sebailknya, endometrium normal tidak menghasilkan
aromatase dan memiliki kadar 17-hidroksisteroid dehidrogenase
tipe 2 yang lebih tinggi sebagai respon terhadap progesteron.
Progesteron bekerja secara antagonis dengan melemahkan efek
estrogen di endometrium normal selama fase luteal pada siklus
menstruasi. Endometriosis adalah keadaan dimana terjadi

4
manifestasi resistensi relatif terhadap progesteron sehingga
stimulasi estrogen pada jaringannya tidak dihambat. 2
Prostaglandin E2 (PGE2) adalah penginduksi aktivitas
aromatase paling poten di sel stroma endometrium. Estradiol
diproduksi sebagai respon peningkatan aktivitas aromatase melalui
stimulasi jalur siklooksigenase tipe 2 (COX-2) di sel endometrium
uterus. Keadaan ini memicu umpan balik positif terhadap efek
estrogen di endometrium. 5
b. Peranan sistem imun
Endometriosis dihubungkan dengan meningkatnya aktivitas
inflamasi. Peningkatan petanda inflamasi pada serum dan cairan
peritoneum telah diamati pada berbagai penelitian. Nyeri pelvis
merupakan salah satu gejala endometriosis yang dapat diredakan
melalui pemberian obat anti-inflamasi sehingga hal ini mendukung
adanya kontribusi inflamasi kronik terhadap patogenesis
endometriosis. 7
Walaupun sebagian besar perempuan pernah mengalami
menstruasi retrograde namun hanya pada beberapa perempuan yang
berkembang menjadi endometriosis. Jaringan menstruasi dan
endometrium yang mengalami refluks ke dalam cavum peritoneum
umumnya akan dibersihkan oleh sel-sel imunitas seperti makrofag,
natural killer (NK) cells, dan limfosit. Adanya disfungsi sistem
imun dapat memicu terjadinya endometriosis. Kegagalan imunitas
humoral, seluler, growth factor, dan cytokine signaling dapat
ditemukan pada jaringan endometriosis. Fasciani dkk menunjukkan
secara in vitro bahwa sel endometrium yang mengalami eksplantasi
akan berproliferasi dan menginvasi secara 3 dimensi matriks fibrin
sehingga mencetus formasi kelenjar, stroma, dan vaskuler baru
sebagai permulaan endometriosis. 7
Makrofag yang berperan sebagai sel fagosit akan meningkat
jumlahnya pada cavum peritoneum penderita endometriosis.
Walaupun secara teori makrofag berperan untuk menghambat
proliferasi jaringan endometium namun pada keadaan ini, makrofag

5
sebaliknya memberi efek stimulasi pada jaringan endometrium. Hal
ini dihubungkan dengan gangguan fungsi makrofag (bukan
penurunan jumlah). 7
Natural killer (NK) cells adalah sel imun yang memiliki sifat
sitotoksik terhadap benda asing. Pada penderita endometriosis,
jumlah natural killer (NK) cells di cairan peritoneum tidak berubah
namun aktivitasnya yang terhambat. Imunitas selular juga
mempengaruhi perkembangan endometriosis. Normalnya, jumlah
kadar limfosit pada cairan peritoneum sama dengan kadar pada
pembuluh darah perifer namun pada penderita endometriosis terjadi
peningkatan kadar limfosit pada ciran peritoneum disertai gangguan
fungsi limfosit. 7
Imunitas humoral juga dapat berperan pada perkembangan
endometriosis. Antibodi endometriosis IgG meningkat pada
penderita endometriosis. Suatu penelitian mengidentifikasi
autoantibodi IgA dan IgG pada endometrium, jaringan ovarium,
serviks, dan sekresi vagina penderita endometriosis. Hal ini dapat
mengarahkan endometriosis sebagai bagian dari penyakit imunitas.

2.3 Faktor Resiko


Dari beberapa teori penyebab endometriosis yang dikemukakan beberapa
pustaka juga memaparkan faktor-faktor resiko yang terdapat pada endometriosis.
Faktor risiko untuk endometriosis adalah sebagai berikut:5
1) Riwayat keluarga endometriosis
2) Usia dini menarche
3) Siklus haid pendek (<27 d)
4) Durasi haid yang lama (> 7 d)
5) Pendarahan berat saat menstruasi
6) Hubungan terbalik dengan paritas
7) Tertunda melahirkan anak

6
8) Cacat di rahim atau saluran tuba
9) Hipoksia dan defisiensi besi dapat menyebabkan onset awal endometriosis

2.4 Manifestasi Klinik dan Diagnosis


Aktivitas jaringan endometriosis sama halnya dengan endometrium yakni
sangat bergantung pada hormon. Aktivitas jaringan endometriosis akan terus
meningkat selama hormon masih ada dalam tubuh, setelah menopause gejala
endometriosis akan menghilang.1 Gejala-gejala yang dapat ditemukan pada
penyakit endomeriosis berupa :
1) Dismenorea adalah nyeri haid siklik merupakan gejala yang sering dijumpai.
Terjadi 1-3 hari sebelum haid dan dengan makin banyaknya darah haid yang
keluar keluhan dismenorea pun akan mereda.2 penyebab dari dismenorea ini
belum diketahui, tetapi diduga berhubungan dengan adanya vaskularisasi dan
perdarahan dalam sarang endometriosis pada waktu sebelum dan semasa
haid.2
2) Dispareunia merupakan gejala tersering dijumpai setelah dismenorea, keluhan
ini disebabkan adanya endometriosis di dalam kavum Douglasi.2
3) Diskezia atau nyeri waktu defekasi terutama pada waktu haid, disebabkan
adanya endometriosis pada dinding rektosigmoid.2
4) Gangguan miksi dan hematuria bila terdapat endometriosis di kandung
kencing, tetapi gejala ini jarang terjadi.2
5) Gangguan haid dan siklusnya dapat terjadi pada endometriosis apabila
kelainan pada ovarium demikian luasnya sehingga fungsi ovarium terganggu.2
6) Infertilitas juga merupakan suatu gejala endometriosis yang masih sulit
dimengerti. Tetapi faktor penting yang menyebabkan infertilitas pada
endometriosis ialah mobilitas tuba terganggu karena fibrosis dan perlekatan
jaringan disekitarnya.2
Pemeriksaan fisik pada endometriosis dimulai dengan melakukan inspeksi
pada vagina menggunakan spekulum, yang dilanjutkan dengan pemeriksaan
bimanual dan palpasi rektovagina. Pemeriksaan bimanual dapat menilai ukuran,
posisi dan mobilitas dari uterus. Pemeriksaan rektovagina diperlukan untuk
mempalpasi ligamentum sakrouterina dan septum rektovagina untuk mencari ada

7
atau tidaknya nodul endometriosis. Pemeriksaan saat haid dapat meningkatkan
peluang mendeteksi nodul endometriosis dan juga menilai nyeri.3

Gambar 2. Endometriosis5

Gambar 3. Gambaran endometriosis minimal pada ligamen uterosakral 6

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain:2


1) Pencitraan
Ultrasonografi transvagina mungkin sangat membantu identifikasi para
wanita yang menderita endometriosis tahap lanjut. Ultrasonografi transvagina
biasanya digunakan untuk mendeteksi endometrioma ovarium, tetapi tidak
dapat digunakan untuk pencitraan adhesi pelvik atau superficial peritoneal
foci dari penyakit. Endometrioma dapat menghasilkan berbagai citra
ultrasonografis, tetapi biasanya tampak sebagai struktur kista dengan echoes
internal berdifusi rendah yang dikelilingi oleh kapsul ekogenik kering (crisp
echogenic capsule). Beberapa mungkin mempunyai persekatan internal atau

8
dinding nodular yang menebal. Ketika keberadaan karakteristik gejala
ditemukan, ultrasound transvagina diketahui mempunyai sensitivitas 90%
bahkan lebih dan hampir mempunyai spesifisitas 100% untuk mendeteksi
endometrioma. Pencitraan dengan aliran Color Doppler umumnya
menambahkan sedikit diferensiasi endometrioma dari kista hemorrhagic,
teratoma sistik jinak, dan neoplasma sistik lainnya yang mungkin
berpenampilan sama. Jika tidak dilakukan lebih awal bagi indikasi lain
(selama evaluasi infertilitas), ultrasonografi transvagina harus dilakukan
sebelum pengobatan empiris terkait dugaan infertilitas, khususnya jika
laparoskopi diagnostik tidak direncanakan sebelumnya. Sebaliknya, penyakit
tahap lanjut yang dapat menghalangi keberhasilan diagnosis mungkin menjadi
sulit untuk dikenali saat pencitraan. Untuk itu, ultrasonografi transrektal juga
mungkin akan berguna untuk evaluasi para wanita yang diduga menderita
endometriosis yang berinfiltrasi dalam di sekat rektovagina atau yang
melibatkan ligamen uterosakral.1
Seperti ultrasonografi transvagina, magnetic resonance imaging (MRI)
mungkin berguna bagi deteksi dan diferensiasi endometrioma ovarium dari
massa ovarium sistik lain, tetapi tidak dapat diterapkan bagi pencitraan lesi
kecil peritoneum. Untuk deteksi implan peritoneum, MRI bersifat superior
terhadap ultrasonografi transvagina, tetapi hanya dapat mengidentifikasi 30%
- 40% lesi yang teramati pada saat operasi. Untuk deteksi penyakit yang
terdokumentasi oleh histopatologi, MRI mempunyai sensitivitas mendekati
70% dan spesifisitas mendekati 75%. Kelebihan utama dari MRI terhadap
ultrasonografi adalah kemampuannya untuk membedakan hemorrhage akut
dan produk-produk darah terdegenerasi. Ketika endometrioma biasanya
menunjukkan intensitas sinyal tinggi yang relatif homogen pada citra T1-
weighted dan sebuah sinyal dengan hipointensitas pada citra T2-weighted
(shading), hemorrhage akut umumnya mempunyai intensitas sinyal rendah
pada citra T1- maupun T2-weighted. Akan tetapi, sebuah interval pendek dari
observasi yang dilakukan selama kista hemorrhagic mengalami kemunduran
perkembangan, akan memberikan hasil akhir yang sama. Di sisi lain, kontras

9
gadolinium tidak menawarkan nilai diagnostik tambahan. MRI juga dapat
digunakan untuk membantu diagnosis penyakit rektovagina.1

2) Pemeriksaan Serum CA
Ca-125 merupakan antigen permukaan sel yang diekspresikan oleh sel
turunan epitel coelomik (termasuk endometrium) yang ditetapkan sebagai
penanda untuk memantau kondisi para wanita penderita kanker ovarium.
Kadar CA-125 seringkali meningkat pada para wanita penderita endometriosis
tingkat lanjut. Akan tetapi kenaikan kadar juga dapat diamati di tahap awal
kehamilan selama menstruasi normal, dan pada para wanita dengan penyakit
radang pelvik akut atau leiomyoma. Kadar CA-125 serum bervariasi hingga
terkadang melewati siklus menstruasi. Secara umum, CA-125 serum mencapai
kadar paling tinggi selama fase menstruasi dan paling rendah pada fase
midfolikuler dan periovulatori. Akan tetapi, penelitian seputar sensitivitas dan
kemampuan pengulangan uji menghasilkan hasil yang berlawanan sehingga
tidak diketahui waktu terbaik untuk melakukan uji. CA-125 serum telah
dianjurkan sebagai uji selektif bagi diagnosis endometriosis. Akan tetapi meta-
analisis yang meliputi 23 penelitian terpisah menggunakan penyakit
terdiagnosis dengan operasi sebagai standar emas, mengarahkan pada
kesimpulan bahwa penanda yang digunakan terlalu sedikit. Cut off value yang
memberikan 90% spesifisitas mempunyai sensitivitas kurang dari 30%, dan
jika disesuaikan dapat mencapai sensitivitas 50% dengan spesifisitas 70%.
Sebagai uji selektif bagi tahap endometriosis lanjutan, nilai-nilai yang
berkaitan dengan spesifisitas 90% mempunyai sensitivitas kurang dari 50%.
Secara umum, sensitivitas uji CA-125 terlalu rendah sebagai uji seleksi yang
efektif bagi diagnosis endometriosis.1
Kadar CA-125 serum dapat mempunyai beberapa nilai dalam evaluasi
praoperatif para wanita yang diketahui atau dicurigai menderita penyakit
endometriosis tahap lanjut. Sebuah penelitian telah mengacu pada dugaan
bahwa preparasi usus praoperatif mungkin harus dilakukan dengan hati-hati
pada para wanita dengan kadar CA-125 serum di atas 65 IU/mL (di atas batas

10
normal, yaitu 35 IU/mL), sebab kondisi tersebut dapat disertai adhesi omental,
peluruhan endometrioma, atau hilangnya cul-de-sac. Kadar CA-125 serum
juga berguna untuk membedakan endometrioma ovarium dari kista jinak
lainnya, khususnya ketika dikombinasikan dengan ultrasonografi (USG)
transvagina. Ketika respon terhadap pengobatan diperhatikan, kenaikan CA-
125 serum postoperatif yang tetap, mengacu pada prediksi prognosis yang
rendah, tetapi kadar tersebut umumnya bukan suatu prediktor terpercaya
terhadap efektivitas terapi medis.1

3) Bedah Laparoskopi2
Laparoskopi merupakan alat diagnostic baku emas untuk mendiagnosis
endometriosis. Lesi aktif yang baru berwarna merah terang, sedangkan lesi
aktif yang lama berwarna merah kehitaman. Lesi non aktif terlihat berwarna
putih dengan jaringan parut. Pada endometriosis yang tumbuh di ovarium
dapat terbentuk kista yang disebut endometrioma. Biasanya isina berwarna
coklat kehitaman sehingga juga diberi nama kista coklat. Sering endometriosis
ditemukan pada laparoskopi diagnositik, tetapi pasien tidak mengeluh.

2.5 Klasifikasi
Klasifikasi tingkat endometriosis didasarkan pada Revised American
Fertility Society (AFS) yang diperbaharui. Pembagian ini berdasarkan permukaan,
ukuran dan kedalaman implantasi ovarium dan peritoneum. Namun, kelemahan
pembagian ini adalah derajat beratnya klasifikasi endometriosis tidak selalu
merujuk beratnya derajat nyeri yang ditimbulkan ataupun efek infertilitasnya.2

11
Gambar 4. Klasifikasi tingkat endometriosis2

Dalam sistem ini dibagi menjadi empat derajat keparahan, yakni :


Stadium I (minimal) : 1-5
Stadium II (ringan) : 6-15
Stadium III (sedang) : 16-40
Stadium IV (berat) : >40

12
Gambar 5. Stage Endometriosis3

Selain itu terdapat klasifikasi menurut Enzian score yang digunakan


sebagai instrumen untuk mengklasifikasikan endometriosis dengan infiltrasi
dalam, yang terutama difokuskan pada endometriosis bagian retroperitoneal yang
berat

2.6 Penatalaksanaan
Endometriosis dianggap sebagai penyakit yang bergantung pada estrogen,
sehingga salah satu pilihan pengobatan adalah dengan menekan hormon
menggunakan obat-obatan untuk mengobatinya. Saat ini, pil kontrasepsi,
progestin, GnRH agonis dan aromatase inhibitor adalah jenis obat-obatan yang
sering dipakai dalam tatalaksana medikamentosa endometriosis. Dalam penelitian
pengobatan endometriosis dengan hormon terutama estrogen mulai ditinggalkan

13
karena dapat mengakibatkan hiperplasia endometrium yang dapat berkembang
menjadi kanker endometrium
a) Penanganan medis2
Pengobatan simtomatik
Dengan pemberian analgesik seperti parasetamol 500 mg 3 kali sehari
atau ibuprofen 400 mg 3 kali sehari atau asam mefenamat 500 mg 3 kali
sehari. tramadol, parasetamol dengan codein, GABA inhibitor seperti
gabapentin.
Pil kontrasepsi kombinasi
Pemberian pil kontrasepsi dosis rendah yang mengandung 30-35 g
etinilestradiol yang berfungsi untuk menginduksi amenorea, dengan
pemberian selama 6-12 bulan. Obat ini bekerja dengan cara menekan LH
dan FSH dan juga akan mengurangi aliran menstruasi, desidualisasi
implant endometriosis, dan meningkatkan apoptosis pada endometrium
eutopik.
Progestin
Menyebabkan desisualisasi pada jaringan endometrium diikuti dengan
adanya atrofi, menghambat enzim aromatase dan ekspresi COX-2 dan
produksi PGE2 selain itu dapat mengurangi rasa nyeri.
Medroxyprogesterone Acetate (MPA) dimulai dengan dosis 30 mg per hari
dan kemudian ditingkatkan sesuai dengan repson klinis dan pola
perdarahan.
Pilihan lain dengan menggunakan AKDR yang mengandung progesterone
untuk pengobatan endometrosis. Atau dapat juga menggunakan
didrogestron (20-30 mg per hari) atau lynesterol 10 mg per hari.
Danazol
Keberhasilan pengobatan danazol disebabkan efek hormonal dan
imunologi. Berfungsi untuk meningkatkan level androgen dalam jumlah
tinggi dan estrogen dalam jumlah yang rendah sehingga menekan
perkembangan endometriosis dengan menginduksi amenore. Dimulai
dengan dosis 400-800 mg per hari, dimulai dengan memberikan 200 mg
dua kali sehari selama 6 bulan.
Gestrinon

14
Bekerja untuk meningkatkan kadar testosteron dan mengurangi kadar Sex
Hormone Binding Globuline (SHBG), menurunkan nilai serum estradiol
ke tingkat folikular awal, mengurangi kadar LH dan menghambat lonjakan
LH. Diberikan dengan dosis 2,5-10 mg dua sampai tiga kali seminggu
selama 6 bulan.
Gonadotropin Releasing Hormon Agonist (GnRHa)
Menyebabkan sekresi terus menerus FSH dan LH sehingga hipofisis
mengalami disensitiasi dengan menurunnya sekresi FSH dan LH mencapai
keadaan hipogonadotropik hipogonadisme, dimana ovarium tidak aktif
sehingga tidak terjadi siklus haid.
Aromatase inhibitor
Berfungsi untuk menghambat perubahan C19 androgen menjadi C18
estrogen.
Anti prostaglandin
Beberapa penelitian menunjukkan peningkatan kadar prostaglandin di
cairan peritoneum dan lesi endometriosis pada wanita dengan
endometriosis. Sehingga obat anti inflamasi non steroid banyak digunakan
dalam penatalaksanaan nyeri terkait endometriosis.

Gambar 6. terapi obat pada endometriosis4

15
Tabel 1. Pengobatan terkini untuk nyeri terkait endometriosis (diadaptasi dari Stratton dan

Berkley)3

b) Pembedahan2
Berfungsi untuk menghilangkan gejala, meningkatkan kesuburan,
menghilangkan bintik-bintik dan kista endometriosis serta menahan laju
kekambuhan.
Pembedahan konservatif
Bertujuan untuk mengangkat semua sarang endometriosis dan melepaskan
perlengketan dan memperbaiki kembali struktur anatomi reproduksi.
Sarang endometriosis dibersihkan dengan eksisi, ablasi kauter, ataupun
laser. Sementara itu kista endometriosis < 3 cm di drainase dan di kauter
dinding kist, kista > 3 cm dilakukan kistektomi dengan meninggalkan

16
jaringan ovarium yang sehat. Dapat dilakukan dengan cara laparotomi atau
laparoskopi.
Pembedahan radikal
Dilakukan dengan cara histerektomi dan bilateral salfingo-oovorektomi.8
Dan selanjutnya diberikan terapi hormonal setelah oovorektomi dengan
memberikan estrogen.
Pembedahan simtomatik
Dilakukan dengan cara pre-sacral neurectomy atau LUNA (Laser
Uterosacral Nerve Ablation). Dengan pembedahan ini diharapkan
terputusnya saraf sensoris sehingga nyeri akan berkurang. Sementara PSN
akan melibatkan pemutusan jalur persarafan yang lebih banyak dibandingkan
LUNA
Peritoneal endometriosis
Lesi dapat dibuang selama laparoskopi dengan eksisi dengan gunting,
bipolar coagulation, dan metode laser (CO2 laser,potassium-titany-
phosphate laser dan argon laser).
Ovarian endometriosis
Endometrioma ovarium dengan ukuran < 3 cm dapat di aspirasi, irigasi
dan di inspeksi dengan ovarian cystoscopy pada lesi intrakistik. Jika > 3
cm harus di aspirasi, diikuti oleh insisi dan membuang dinding kista dari
korteks ovarium.
Deep rectovaginal dan Rectosigmoidal Endometriosis
Jika pemeriksaan dan persiapan pre-operative terpenuhi, maka eksisi
lengkap pada rectovaginal endometriosis dapat dilakukan. Reseksi
segmental rectosigmoid dapat dilakukan dengan laparotomi, laparoskopi
dengan intracorporeal suturing dan laparoskopi dengan teknik vaginal.

17
Gambar 7. Alur Tatalaksana Nyeri pada Endometriosis3

2.7 Prognosis
Endometriosis ditemukan dapat menghilang secara spontan pada 1/3
wanita yang tidak ditatalaksana secara aktif. 1 manajemen medis (supresi ovulasi)
efektif untuk mengurangi nyeri pelvis tapi tidak efektif untuk pengobatan
endometriosis yang berkaitan dengan infertilitas. Namun, tetap ada potensi untuk
konsepsi. Kombinasi estrogen progestin meredakan nyeri hingga 80-85% dari
pasien dengan endometriosis yang berkaitan dengan nyeri pelvis. Setelah 6 bulan

18
terapi danazol, sebesar 90% pasien dengan endoimetriosis sedang mengalami
penurunan nyeri pelvis. Total abdominal hysterectomy and bilateral salpingo-
oophorectomy dilaporkan efektif hingga 90% dalam meredakan nyeri. Kehamilan
masih mungkin bergantung pada keparahan penyakit. Tanda dan gejala secara
umum menurun dengan adanya onset menopause dan selama kehamilan.5

BAB III
KESIMPULAN

1. Endometriosis merupakan suatu keadaan dimana jaringan endometrium yang


masih berfungsi terdapat baik diluar endometrium kavum uteri maupun di
miometrium (otot rahim).

19
2. Penyebab pasti dari endometriosis masih belum diketahui, terdapat beberapa
teori yang telah dikemukakan antara lain teori menstruasi retrogard, Teori
Penyebaran Limfatik atau Hematogen. Teori metaplasia selomik, dan teori
induksi.
3. Gejala-gejala yang dapat ditemukan pada penyakit endomeriosis berupa
Dismenorea, Dispareunia, Diskezia, Gangguan miksi dan hematuria,
Gangguan haid dan siklusnya, Infertilitas.
4. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain USG, MRI,
Pemeriksaan serum CA-125 dan laparoskopi. Laparoskopi merupakan alat
diagnostic baku emas untuk mendiagnosis endometriosis
5. Tatalaksana yang dapat deberikan yaitu penangan medis dan pembedahan.

20

You might also like