Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1
2.1 Definisi
Endometriosis merupakan suatu keadaan dimana jaringan endometrium
yang masih berfungsi terdapat baik diluar endometrium kavum uteri maupun di
miometrium (otot rahim). Bila jaringan endometrium tersebut berimplantasi di
dalam miometrium disebut endometriosis interna atau adenomiosis, sedangkan
jaringan endometrium yang berimplantasi di luar kavum uteri disebut
endometriosis eksterna atau endometriosis sejati. Endometriosis paling sering
ditemukan pada perempuan yang melahirkan diatas usia 30 tahun.2
2
retrograd atau juga dikenal sebagai teori transplantasi yang pertama kali
dikemukakan oleh Sampson pada tahun 1927. Menurut teori ini,
endometriosis terjadi karena darah haid mengalir kembali (regurgitasi) melalui
tuba ke dalam rongga pelvis. Sudah dibuktikan bahwa dalam darah haid
didapati sel-sel endometrium yang masih hidup. Sel-sel endometrium yang
masih hidup ini kemudian dapat mengadakan implantasi di pelvis.5
2. Teori Penyebaran Limfatik atau Hematogen
Bukti juga mendukung konsep endometriosis yang berasal dari penyebaran
limfatik atau vaskular dari jaringan endometrium. Temuan endometriosis di
lokasi yang tidak biasa, seperti perineum atau pangkal paha, memperkuat teori
ini. Daerah retroperitoneal memiliki sirkulasi limfatik yang banyak. Dengan
demikian, pada kasus-kasus di mana tidak ada ditemukan implantasi
peritoneal, tetapi semata-mata merupakan lesi retroperitoneal yang terisolasi,
diduga menyebar secara limfatik. Selain itu, kecenderungan adenokarsinoma
endometrium untuk menyebar melalui jalur limfatik menunjukkan
endometrium dapat diangkut melalui jalur ini. Meskipun teori ini tetap
menarik, namun sedikit studi yang melakukan eksperimen untuk
mengevaluasi bentuk transmisi endometriosis ini. 2
3. Teori Metaplasia Selomik
Teori ini menyatakan bahwa peritoneum parietalis adalah jaringan
pluripotensial yang bisa mengalami perubahan metaplasia sehingga secara
histology jaringan tersebut sulit dibedakan dengan endometrium yang normal.
(2)
3
sel-sel epitel itu, sehingga terbentuk jaringan endometrium. Teori dari Robert
Meyer akhir-akhir ini semakin banyak penantangnya. Di samping itu masih
terbuka kemungkinan timbulnya endometriosis dengan jalan penyebaran
melalui jalan darah atau limfe, dan dengan implantasi langsung dari
endometrium pada saat operasi. (1)
4. Teori induksi
Teori induksi menjelaskan bahwa beberapa hormon dan faktor biologis
dapat menginduksi diferensiasi sel-sel dalam jaringan endometrium.
Substansia-substansia ini dapat bersifat eksogen atau dapat dikeluarkan
langsung dari endometrium. Suatu studi in vitro yang dilakukan oleh
Matsuura, 1999 menemukan bahwa epitel permukaan ovarium berpotensial
mengalami transformasi menjadi lesi endometriotik sebagai respon dari
rangsangan estrogen. 2,7
a. Hormonal Dependence
Salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan endometriosis
adalah faktor hormon estrogen. Walaupun sebagian besar estrogen
diproduksi oleh ovarium namun beberapa jaringan perifier juga
diketahui membentuk estrogen melalui aromatisasi androgen
ovarium dan adrenal. Implantasi endometriosis menghasilkan
aromatase dan 17-hidroksisteroid dehidrogenase tipe 1 yang
merupakan suatu enzim yang berperan dalam konversi
androstenedion menjadi estron dan estron menjadi estradiol. Implant
tersebut bersifat defisit 17-hidroksisteroid dehidrogenase tipe 2
yang merupakan estrogen inaktif. Kombinasi enzim-enzim ini
menyebabkan implant berada pada lingkungan estrogenik
(fenomena intrakrin). 2
Sebailknya, endometrium normal tidak menghasilkan
aromatase dan memiliki kadar 17-hidroksisteroid dehidrogenase
tipe 2 yang lebih tinggi sebagai respon terhadap progesteron.
Progesteron bekerja secara antagonis dengan melemahkan efek
estrogen di endometrium normal selama fase luteal pada siklus
menstruasi. Endometriosis adalah keadaan dimana terjadi
4
manifestasi resistensi relatif terhadap progesteron sehingga
stimulasi estrogen pada jaringannya tidak dihambat. 2
Prostaglandin E2 (PGE2) adalah penginduksi aktivitas
aromatase paling poten di sel stroma endometrium. Estradiol
diproduksi sebagai respon peningkatan aktivitas aromatase melalui
stimulasi jalur siklooksigenase tipe 2 (COX-2) di sel endometrium
uterus. Keadaan ini memicu umpan balik positif terhadap efek
estrogen di endometrium. 5
b. Peranan sistem imun
Endometriosis dihubungkan dengan meningkatnya aktivitas
inflamasi. Peningkatan petanda inflamasi pada serum dan cairan
peritoneum telah diamati pada berbagai penelitian. Nyeri pelvis
merupakan salah satu gejala endometriosis yang dapat diredakan
melalui pemberian obat anti-inflamasi sehingga hal ini mendukung
adanya kontribusi inflamasi kronik terhadap patogenesis
endometriosis. 7
Walaupun sebagian besar perempuan pernah mengalami
menstruasi retrograde namun hanya pada beberapa perempuan yang
berkembang menjadi endometriosis. Jaringan menstruasi dan
endometrium yang mengalami refluks ke dalam cavum peritoneum
umumnya akan dibersihkan oleh sel-sel imunitas seperti makrofag,
natural killer (NK) cells, dan limfosit. Adanya disfungsi sistem
imun dapat memicu terjadinya endometriosis. Kegagalan imunitas
humoral, seluler, growth factor, dan cytokine signaling dapat
ditemukan pada jaringan endometriosis. Fasciani dkk menunjukkan
secara in vitro bahwa sel endometrium yang mengalami eksplantasi
akan berproliferasi dan menginvasi secara 3 dimensi matriks fibrin
sehingga mencetus formasi kelenjar, stroma, dan vaskuler baru
sebagai permulaan endometriosis. 7
Makrofag yang berperan sebagai sel fagosit akan meningkat
jumlahnya pada cavum peritoneum penderita endometriosis.
Walaupun secara teori makrofag berperan untuk menghambat
proliferasi jaringan endometium namun pada keadaan ini, makrofag
5
sebaliknya memberi efek stimulasi pada jaringan endometrium. Hal
ini dihubungkan dengan gangguan fungsi makrofag (bukan
penurunan jumlah). 7
Natural killer (NK) cells adalah sel imun yang memiliki sifat
sitotoksik terhadap benda asing. Pada penderita endometriosis,
jumlah natural killer (NK) cells di cairan peritoneum tidak berubah
namun aktivitasnya yang terhambat. Imunitas selular juga
mempengaruhi perkembangan endometriosis. Normalnya, jumlah
kadar limfosit pada cairan peritoneum sama dengan kadar pada
pembuluh darah perifer namun pada penderita endometriosis terjadi
peningkatan kadar limfosit pada ciran peritoneum disertai gangguan
fungsi limfosit. 7
Imunitas humoral juga dapat berperan pada perkembangan
endometriosis. Antibodi endometriosis IgG meningkat pada
penderita endometriosis. Suatu penelitian mengidentifikasi
autoantibodi IgA dan IgG pada endometrium, jaringan ovarium,
serviks, dan sekresi vagina penderita endometriosis. Hal ini dapat
mengarahkan endometriosis sebagai bagian dari penyakit imunitas.
6
8) Cacat di rahim atau saluran tuba
9) Hipoksia dan defisiensi besi dapat menyebabkan onset awal endometriosis
7
atau tidaknya nodul endometriosis. Pemeriksaan saat haid dapat meningkatkan
peluang mendeteksi nodul endometriosis dan juga menilai nyeri.3
Gambar 2. Endometriosis5
8
dinding nodular yang menebal. Ketika keberadaan karakteristik gejala
ditemukan, ultrasound transvagina diketahui mempunyai sensitivitas 90%
bahkan lebih dan hampir mempunyai spesifisitas 100% untuk mendeteksi
endometrioma. Pencitraan dengan aliran Color Doppler umumnya
menambahkan sedikit diferensiasi endometrioma dari kista hemorrhagic,
teratoma sistik jinak, dan neoplasma sistik lainnya yang mungkin
berpenampilan sama. Jika tidak dilakukan lebih awal bagi indikasi lain
(selama evaluasi infertilitas), ultrasonografi transvagina harus dilakukan
sebelum pengobatan empiris terkait dugaan infertilitas, khususnya jika
laparoskopi diagnostik tidak direncanakan sebelumnya. Sebaliknya, penyakit
tahap lanjut yang dapat menghalangi keberhasilan diagnosis mungkin menjadi
sulit untuk dikenali saat pencitraan. Untuk itu, ultrasonografi transrektal juga
mungkin akan berguna untuk evaluasi para wanita yang diduga menderita
endometriosis yang berinfiltrasi dalam di sekat rektovagina atau yang
melibatkan ligamen uterosakral.1
Seperti ultrasonografi transvagina, magnetic resonance imaging (MRI)
mungkin berguna bagi deteksi dan diferensiasi endometrioma ovarium dari
massa ovarium sistik lain, tetapi tidak dapat diterapkan bagi pencitraan lesi
kecil peritoneum. Untuk deteksi implan peritoneum, MRI bersifat superior
terhadap ultrasonografi transvagina, tetapi hanya dapat mengidentifikasi 30%
- 40% lesi yang teramati pada saat operasi. Untuk deteksi penyakit yang
terdokumentasi oleh histopatologi, MRI mempunyai sensitivitas mendekati
70% dan spesifisitas mendekati 75%. Kelebihan utama dari MRI terhadap
ultrasonografi adalah kemampuannya untuk membedakan hemorrhage akut
dan produk-produk darah terdegenerasi. Ketika endometrioma biasanya
menunjukkan intensitas sinyal tinggi yang relatif homogen pada citra T1-
weighted dan sebuah sinyal dengan hipointensitas pada citra T2-weighted
(shading), hemorrhage akut umumnya mempunyai intensitas sinyal rendah
pada citra T1- maupun T2-weighted. Akan tetapi, sebuah interval pendek dari
observasi yang dilakukan selama kista hemorrhagic mengalami kemunduran
perkembangan, akan memberikan hasil akhir yang sama. Di sisi lain, kontras
9
gadolinium tidak menawarkan nilai diagnostik tambahan. MRI juga dapat
digunakan untuk membantu diagnosis penyakit rektovagina.1
2) Pemeriksaan Serum CA
Ca-125 merupakan antigen permukaan sel yang diekspresikan oleh sel
turunan epitel coelomik (termasuk endometrium) yang ditetapkan sebagai
penanda untuk memantau kondisi para wanita penderita kanker ovarium.
Kadar CA-125 seringkali meningkat pada para wanita penderita endometriosis
tingkat lanjut. Akan tetapi kenaikan kadar juga dapat diamati di tahap awal
kehamilan selama menstruasi normal, dan pada para wanita dengan penyakit
radang pelvik akut atau leiomyoma. Kadar CA-125 serum bervariasi hingga
terkadang melewati siklus menstruasi. Secara umum, CA-125 serum mencapai
kadar paling tinggi selama fase menstruasi dan paling rendah pada fase
midfolikuler dan periovulatori. Akan tetapi, penelitian seputar sensitivitas dan
kemampuan pengulangan uji menghasilkan hasil yang berlawanan sehingga
tidak diketahui waktu terbaik untuk melakukan uji. CA-125 serum telah
dianjurkan sebagai uji selektif bagi diagnosis endometriosis. Akan tetapi meta-
analisis yang meliputi 23 penelitian terpisah menggunakan penyakit
terdiagnosis dengan operasi sebagai standar emas, mengarahkan pada
kesimpulan bahwa penanda yang digunakan terlalu sedikit. Cut off value yang
memberikan 90% spesifisitas mempunyai sensitivitas kurang dari 30%, dan
jika disesuaikan dapat mencapai sensitivitas 50% dengan spesifisitas 70%.
Sebagai uji selektif bagi tahap endometriosis lanjutan, nilai-nilai yang
berkaitan dengan spesifisitas 90% mempunyai sensitivitas kurang dari 50%.
Secara umum, sensitivitas uji CA-125 terlalu rendah sebagai uji seleksi yang
efektif bagi diagnosis endometriosis.1
Kadar CA-125 serum dapat mempunyai beberapa nilai dalam evaluasi
praoperatif para wanita yang diketahui atau dicurigai menderita penyakit
endometriosis tahap lanjut. Sebuah penelitian telah mengacu pada dugaan
bahwa preparasi usus praoperatif mungkin harus dilakukan dengan hati-hati
pada para wanita dengan kadar CA-125 serum di atas 65 IU/mL (di atas batas
10
normal, yaitu 35 IU/mL), sebab kondisi tersebut dapat disertai adhesi omental,
peluruhan endometrioma, atau hilangnya cul-de-sac. Kadar CA-125 serum
juga berguna untuk membedakan endometrioma ovarium dari kista jinak
lainnya, khususnya ketika dikombinasikan dengan ultrasonografi (USG)
transvagina. Ketika respon terhadap pengobatan diperhatikan, kenaikan CA-
125 serum postoperatif yang tetap, mengacu pada prediksi prognosis yang
rendah, tetapi kadar tersebut umumnya bukan suatu prediktor terpercaya
terhadap efektivitas terapi medis.1
3) Bedah Laparoskopi2
Laparoskopi merupakan alat diagnostic baku emas untuk mendiagnosis
endometriosis. Lesi aktif yang baru berwarna merah terang, sedangkan lesi
aktif yang lama berwarna merah kehitaman. Lesi non aktif terlihat berwarna
putih dengan jaringan parut. Pada endometriosis yang tumbuh di ovarium
dapat terbentuk kista yang disebut endometrioma. Biasanya isina berwarna
coklat kehitaman sehingga juga diberi nama kista coklat. Sering endometriosis
ditemukan pada laparoskopi diagnositik, tetapi pasien tidak mengeluh.
2.5 Klasifikasi
Klasifikasi tingkat endometriosis didasarkan pada Revised American
Fertility Society (AFS) yang diperbaharui. Pembagian ini berdasarkan permukaan,
ukuran dan kedalaman implantasi ovarium dan peritoneum. Namun, kelemahan
pembagian ini adalah derajat beratnya klasifikasi endometriosis tidak selalu
merujuk beratnya derajat nyeri yang ditimbulkan ataupun efek infertilitasnya.2
11
Gambar 4. Klasifikasi tingkat endometriosis2
12
Gambar 5. Stage Endometriosis3
2.6 Penatalaksanaan
Endometriosis dianggap sebagai penyakit yang bergantung pada estrogen,
sehingga salah satu pilihan pengobatan adalah dengan menekan hormon
menggunakan obat-obatan untuk mengobatinya. Saat ini, pil kontrasepsi,
progestin, GnRH agonis dan aromatase inhibitor adalah jenis obat-obatan yang
sering dipakai dalam tatalaksana medikamentosa endometriosis. Dalam penelitian
pengobatan endometriosis dengan hormon terutama estrogen mulai ditinggalkan
13
karena dapat mengakibatkan hiperplasia endometrium yang dapat berkembang
menjadi kanker endometrium
a) Penanganan medis2
Pengobatan simtomatik
Dengan pemberian analgesik seperti parasetamol 500 mg 3 kali sehari
atau ibuprofen 400 mg 3 kali sehari atau asam mefenamat 500 mg 3 kali
sehari. tramadol, parasetamol dengan codein, GABA inhibitor seperti
gabapentin.
Pil kontrasepsi kombinasi
Pemberian pil kontrasepsi dosis rendah yang mengandung 30-35 g
etinilestradiol yang berfungsi untuk menginduksi amenorea, dengan
pemberian selama 6-12 bulan. Obat ini bekerja dengan cara menekan LH
dan FSH dan juga akan mengurangi aliran menstruasi, desidualisasi
implant endometriosis, dan meningkatkan apoptosis pada endometrium
eutopik.
Progestin
Menyebabkan desisualisasi pada jaringan endometrium diikuti dengan
adanya atrofi, menghambat enzim aromatase dan ekspresi COX-2 dan
produksi PGE2 selain itu dapat mengurangi rasa nyeri.
Medroxyprogesterone Acetate (MPA) dimulai dengan dosis 30 mg per hari
dan kemudian ditingkatkan sesuai dengan repson klinis dan pola
perdarahan.
Pilihan lain dengan menggunakan AKDR yang mengandung progesterone
untuk pengobatan endometrosis. Atau dapat juga menggunakan
didrogestron (20-30 mg per hari) atau lynesterol 10 mg per hari.
Danazol
Keberhasilan pengobatan danazol disebabkan efek hormonal dan
imunologi. Berfungsi untuk meningkatkan level androgen dalam jumlah
tinggi dan estrogen dalam jumlah yang rendah sehingga menekan
perkembangan endometriosis dengan menginduksi amenore. Dimulai
dengan dosis 400-800 mg per hari, dimulai dengan memberikan 200 mg
dua kali sehari selama 6 bulan.
Gestrinon
14
Bekerja untuk meningkatkan kadar testosteron dan mengurangi kadar Sex
Hormone Binding Globuline (SHBG), menurunkan nilai serum estradiol
ke tingkat folikular awal, mengurangi kadar LH dan menghambat lonjakan
LH. Diberikan dengan dosis 2,5-10 mg dua sampai tiga kali seminggu
selama 6 bulan.
Gonadotropin Releasing Hormon Agonist (GnRHa)
Menyebabkan sekresi terus menerus FSH dan LH sehingga hipofisis
mengalami disensitiasi dengan menurunnya sekresi FSH dan LH mencapai
keadaan hipogonadotropik hipogonadisme, dimana ovarium tidak aktif
sehingga tidak terjadi siklus haid.
Aromatase inhibitor
Berfungsi untuk menghambat perubahan C19 androgen menjadi C18
estrogen.
Anti prostaglandin
Beberapa penelitian menunjukkan peningkatan kadar prostaglandin di
cairan peritoneum dan lesi endometriosis pada wanita dengan
endometriosis. Sehingga obat anti inflamasi non steroid banyak digunakan
dalam penatalaksanaan nyeri terkait endometriosis.
15
Tabel 1. Pengobatan terkini untuk nyeri terkait endometriosis (diadaptasi dari Stratton dan
Berkley)3
b) Pembedahan2
Berfungsi untuk menghilangkan gejala, meningkatkan kesuburan,
menghilangkan bintik-bintik dan kista endometriosis serta menahan laju
kekambuhan.
Pembedahan konservatif
Bertujuan untuk mengangkat semua sarang endometriosis dan melepaskan
perlengketan dan memperbaiki kembali struktur anatomi reproduksi.
Sarang endometriosis dibersihkan dengan eksisi, ablasi kauter, ataupun
laser. Sementara itu kista endometriosis < 3 cm di drainase dan di kauter
dinding kist, kista > 3 cm dilakukan kistektomi dengan meninggalkan
16
jaringan ovarium yang sehat. Dapat dilakukan dengan cara laparotomi atau
laparoskopi.
Pembedahan radikal
Dilakukan dengan cara histerektomi dan bilateral salfingo-oovorektomi.8
Dan selanjutnya diberikan terapi hormonal setelah oovorektomi dengan
memberikan estrogen.
Pembedahan simtomatik
Dilakukan dengan cara pre-sacral neurectomy atau LUNA (Laser
Uterosacral Nerve Ablation). Dengan pembedahan ini diharapkan
terputusnya saraf sensoris sehingga nyeri akan berkurang. Sementara PSN
akan melibatkan pemutusan jalur persarafan yang lebih banyak dibandingkan
LUNA
Peritoneal endometriosis
Lesi dapat dibuang selama laparoskopi dengan eksisi dengan gunting,
bipolar coagulation, dan metode laser (CO2 laser,potassium-titany-
phosphate laser dan argon laser).
Ovarian endometriosis
Endometrioma ovarium dengan ukuran < 3 cm dapat di aspirasi, irigasi
dan di inspeksi dengan ovarian cystoscopy pada lesi intrakistik. Jika > 3
cm harus di aspirasi, diikuti oleh insisi dan membuang dinding kista dari
korteks ovarium.
Deep rectovaginal dan Rectosigmoidal Endometriosis
Jika pemeriksaan dan persiapan pre-operative terpenuhi, maka eksisi
lengkap pada rectovaginal endometriosis dapat dilakukan. Reseksi
segmental rectosigmoid dapat dilakukan dengan laparotomi, laparoskopi
dengan intracorporeal suturing dan laparoskopi dengan teknik vaginal.
17
Gambar 7. Alur Tatalaksana Nyeri pada Endometriosis3
2.7 Prognosis
Endometriosis ditemukan dapat menghilang secara spontan pada 1/3
wanita yang tidak ditatalaksana secara aktif. 1 manajemen medis (supresi ovulasi)
efektif untuk mengurangi nyeri pelvis tapi tidak efektif untuk pengobatan
endometriosis yang berkaitan dengan infertilitas. Namun, tetap ada potensi untuk
konsepsi. Kombinasi estrogen progestin meredakan nyeri hingga 80-85% dari
pasien dengan endometriosis yang berkaitan dengan nyeri pelvis. Setelah 6 bulan
18
terapi danazol, sebesar 90% pasien dengan endoimetriosis sedang mengalami
penurunan nyeri pelvis. Total abdominal hysterectomy and bilateral salpingo-
oophorectomy dilaporkan efektif hingga 90% dalam meredakan nyeri. Kehamilan
masih mungkin bergantung pada keparahan penyakit. Tanda dan gejala secara
umum menurun dengan adanya onset menopause dan selama kehamilan.5
BAB III
KESIMPULAN
19
2. Penyebab pasti dari endometriosis masih belum diketahui, terdapat beberapa
teori yang telah dikemukakan antara lain teori menstruasi retrogard, Teori
Penyebaran Limfatik atau Hematogen. Teori metaplasia selomik, dan teori
induksi.
3. Gejala-gejala yang dapat ditemukan pada penyakit endomeriosis berupa
Dismenorea, Dispareunia, Diskezia, Gangguan miksi dan hematuria,
Gangguan haid dan siklusnya, Infertilitas.
4. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain USG, MRI,
Pemeriksaan serum CA-125 dan laparoskopi. Laparoskopi merupakan alat
diagnostic baku emas untuk mendiagnosis endometriosis
5. Tatalaksana yang dapat deberikan yaitu penangan medis dan pembedahan.
20