You are on page 1of 26

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi persalinan preterm

Persalinan preterm didefinisikan sebagai persalinan yang terjadi sebelum

usia kehamilan 37 minggu atau kurang dari 259 hari sejak hari pertama haid

terakhir (C.Hubinont, 2011). Partus prematurus atau persalinan prematur juga

diartikan sebagai dimulainya kontraksi uterus yang teratur disertai pendataran dan

atau dilatasi serviks serta turunnya bayi pada wanita hamil yang lama

kehamilannya kurang dari 37 minggu (kurang dari 259 hari) dari hari pertama

haid terakhir (Oxorn, 2010). Himpunan Kedokteran Fetomaternal (POGI) di

Semarang menetapkan bahwa persalinan preterm adalah persalinan yang terjadi

pada usia kehamilan 22 37 minggu (Rima, 2010).

Pada tahun 2005, ditetapkan bahwa bayi yang lahir antara usia 34 minggu

dan 36 minggu menunjukkan morbiditas dan mortalitas sebagai bayi premature,

sehingga kelahiran preterm telah dibagi menjadi subdevisi. Jika kelahiran sebelum

usia 33 minggu disebut early preterm, dan kelahiran yang terjadi pada usia

diantara 34 dan 36 minggu disebut late preterm.

2.2 Epidemiologi

Persalinan preterm juga dapat dibagi menurut usia kehamilan, sekitar 5%

persalinan preterm terjadi pada usia kurang dari 28 minggu (extreme prematurity),

sekitar 15% terjadi pada usia kehamilan 28-31 minggu (severe prematurity),

sekitar 20% pada usia 32-33 minggu (moderate prematurity), dan 60-70% pada

usia 34-36 minggu (near term) (Rima, 2010.)

3
4

Diperkirakan terdapat 12.870 persalinan preterm per 1000 kelahiran di

seluruh dunia (9,6%), di USA kejadian persalinan preterm adalah 12 -13%. di

Afrika terdapat 4.047 persalinan preterm per 100 kelahiran (11,9%) di Eropa

sebesar 466 per 1000 kelahiran (6,2%), di Asia 6.097 per 1000 kelahiran atau

9,1%, dan di Asia Tenggara 6.097 per 1000 kelahiran(11,1%) (Stacy et al,

2010).Angka kejadian persalinan prematur di Indonesia pada taun 1983 adalah

18,5% dan pada tahun 1995 menurun menjadi 14,2%. Menurut data terakhir pada

tahun 2005 jumlah persalinan prematur di Indonesia adalah 10% (Oxorn, 2010).

Prematuritas dewasa ini menjadi merupakan faktor tersering terkait

morbiditas dan mortalitas bayi. Anoksia 12 kali lebih sering terjadi pada bayi

bayi prematur, gangguan respirasi menyebabkan kematian sebesar 44% pada bayi

usia kurang dari 1 bulan. Jika berat bayi kurang dari 1000 gram maka angka

kematian naik menjadi 74%. Karena lunaknya tulang tengkorak serta immaturitas,

bayi prematur lebih rentan terhadap kompresi kepala. Perdarahan intrakranial

lebih sering terjadi pada bayi prematur dibandikan dengan bayi aterm (Oxorn,

2010).Setiap tahun sekitar 4 juta bayi meninggal dalam 4 minggu pertama

kehidupan (periode neonatal). Secara global diperkirakan penyebab langsung

kematian neonatal adalah prematuritas (28%), infeksi berat 26%, dan asfiksia

28%.

Konstribusi penyebab persalinan preterm berbeda berdasarkan kelompok

etnis. Persalinan preterm pada wanita kulit putih lebih umum merupakan

persalinan preterm spontan dengan selaput amnion utuh, sedangkan pada wanita

kulit hitam lebih umum didahului ketuban pecah dini sebelumnya. Persalinan
5

preterm juga bisa dibagi menurut usia kehamilan: sekitar 5% persalinan preterm

terjadi pada usia kehamilan kurang dari 28 minggu (extreme prematurity), sekitar

15% terjadi pada usia kehamilan 28-31 minggu (severe prematurity), sekitar 20%

pada usia kehamilan 32-33 minggu (moderate prematurity), dan 60-70% pada

usia kehamilan 34-36 minggu (near term). Dari tahun ke tahun, terjadi

peningkatan angka kejadian persalinan preterm, yang sebagian besar disebabkan

oleh meningkatnya jumlah kelahiran preterm atas indikasi.

Gambar 2.1 Gambaran angka kejadian persalinan preterm di USA, 1989-2000


6

2.3 Klasifikasi

Menurut usia kehamilannya maka prematur dibedakan menjadi beberapa,


yaitu:
a. Usia kehamilan 32 36 minggu disebut persalinan prematur (preterm)

b. Usia kehamilan 28 32 minggu disebut persalinan sangat prematur (very


preterm)

c. Usia kehamilan 20 27 minggu disebut persalinan ekstrim prematur


(extremely preterm)

2.4 Etiologi dan Patofisiologi

Penyebab persalinan preterm untuk semua kasus adalah berbedabeda.

Persalinan preterm, merupakan kelainan proses yang multifaktorial. Kombinasi

keadaan obstetrik, sosiodemografi, dan faktor medik memiliki pengaruh terhadap

terjadinya persalinan preterm. Kadang hanya resiko tunggal dijumpai seperti

distensi berlebih uterus, ketuban pecah dini atau trauma (Sarwono, 2010).

Beberapa faktor resiko terjadinya persalinan preterm adalah abortus yang

mengancam, faktor gaya hidup seperti merokok, pertambahan berat badan ibu

yang tidak adekuat, penggunaan narkoba. Faktor maternal lain yang terlibat

adalah usia ibu terlalu muda atau terlalu tua, tubuh pendek, kesenjangan ras dan

etnik, hiperaktivitas selama kehamilan, faktor genetik, penyakit periodontal, cata

lahir, interval antara kehamilan sebelumnya dan saat ini, serta riwayat persalinan

preterm pada kehamilan sebelumnya (Cunningham, 2012).


7

Tabel 2.2. Faktor resiko persalinan preterm

Terdapat empat penyebab utama untuk kelahiran kurang bulan di Amerika

Serikat. yaitu :

1. Persalinan atas indikasi ibu atau janin sehingga persalinan diinduksi atau bayi

dilahirkan dengan persalinan sesar.

2. Persalinan kurang bulan spontan tak terjelaskan dengan selaput ketuban utuh.

3. Ketuban pecah dini preterm (PPROM) idiopatik

4. Kelahiran kembar dan multijanin yang lebih banyak

Pada persalinan preterm, 30 35% teridentifikasi, sebanyak 40 45%

dikarenakan persalinan kurang bulan spontan dan 30-35% karena PPROM

(Cunningham, 2012).

1. Indikasi Medis dan Obstetris

Preeklampsia, distress janin dan solusio plasenta merupakan indikasi

paling umum atas intervensi medis yang mengakibatkan persalinan preterm.

Penyebab lain yang kurang umum adalah hipertensi kronik, plasenta previa,
8

perdarahan tanpa sebab yang jelas, diabetes, penyakit ginjal, isoimunisasi RH, dan

malformasi kongenital (Cuningham, 2012).

2. Ketuban Pecah Dini Preterm

Didefinisikan sebagai pecahnya ketuban sebelum persalinan dan sebelum

usia kehamilan 37 minggu, ketuban pecah dini prematur dapat disebabkan oleh

beragam mekanisme patologis termasuk infeksi intraamnion. Faktor lain yang

terlibat adalah indeks massa tubuh yang rendah krang dari 19,8, kurang gizi, dan

merokok. Wanita dengan riwayat ketuban pecah dini preterm sebelumnya

memiliki resiko yang tinggi terjadinya rekurensi pada kehamilan berikutnya.

Namun kebanyakan kasus ketuban pecah preterm terjadi tanpa faktor resiko

(Cuningham, 2012).

Pada penelitian Adjie S et al (2017) yang dilakukan di unit emergensi RS

Dr. Cipto Mangunkusumo dilaporkan bahwa persalina preterm dengan ketuban

pecah dini premature terjadi 46,8%, dan persalinan prematur tanpa ketuban pecah

dini premature sekitar 53,2% dari persalinan prematur. Dilaporkan bahwa

kejadian ketuban pecah dini premature berbeda disetiap Negara, tetapi meningkat

sesuai dengan sesuai dengan status ekonomi, lingkungan dan persentase antenatal

care.

3. Persalinan Kurang Bulan Spontan

Persalinan kurang bulan spontan dikaitkan dengan beberapa hal, yaitu

withdrawal progesteron, inisiasi oksitosin, dan aktivitas desidua.Teori withdrawal

progesteron menjelaskan bahwa semakin mendekati proses persalinan sumbu

adrenal janin menjadi lebih sensitif terhadap adrenokortikotropik sehingga


9

meningkatkan sekeresi kortisol. Kortisol janin merangsang aktivitas 17-

hidroksidase plasenta sehingga mengurangi sekresi progesteron dan meningkatkan

produksi estrogen. Kondisi ini menyebabkan peningkatan pembentukan

prostaglandin yang memicu persalinan preterm (Goldenberg et al, 2008).

Sebuah jalur penting menyebabkan inisiasi persalinan melibatkan aktivasi

inflamasi desidua. Pada kasus persalinan preterm, aktivasi desidua tampaknya

muncul pada kauss perdarahan intrauterin atau infeksi intrauteri (Louis J, 2010).

4. Infeksi Intra Uterin

Infeksi intra uterin merupakan salah satu penyebab terjadinya persalinan

preterm. Infeksi bakterial dalam uterus dapat terjadi antara jaringan maternal dan

fetal membran (dalam koriodesidual space), dalam fetal membran (amnion dan

korion), dalam placenta, dalam cairan amnion, dalam tali pusat. Infeksi pada fetal

membran disebut korioamnionitis, infeksi pada tali pusat disebut funisitis, infeksi

pada cairan amnion disebut amnionitis. Infeksi jarang terjadi pada kehamilan

prematur akhir (34-36 minggu), dan lebih sering terjadi pada usia kehamilan

kurang dari 30 minggu (Franklin. 2000).

Gambar 1. Tempat potensial terjadinya infeksi bakteri intrauterin


10

Ada beberapa jalur yang dapat menyebabkan masuknya bakteri ke dalam

uterus. Bakteri dapat berasal dari migrasi dari kavum abdomen melalui

tubafallopi, infeksi dari jarum amnionsintesis yang terkontaminasi, secara

hematogen melalui plasenta, atau melalui serviks dari vagina. Pada persalinan

preterm dengan membran yang utuh bakteri yang paling banyak ditemukan adalah

Ureaplasma urealitycum, Mycoplasma hominis, Gardnerella vaginalis,

peptostretococcus, dan spesies bakterioides (Franklin, 2000). Organisme yang

sering berhubungan dengan infeksi saluran genital pada wanita tidak hamil

Neisseriagonorrhoeae dan Chlamydia trachomatis, jarang ditemukan dalam

uterus sebelum pecah ketuban, sedangkan bakteri yang sangat sering berhubungan

dengan korioamnionitis dan infeksi janin setelah pecah ketubah, group B

streptococci dan Escherichia coli, hanya ditemukan kadang-kadang. Jarang,

organisme saluran non genital, seperti organisme di mulut genus capnocitophaga,

ditemukan di dalam uterus yang berhubungan dengan persalinan prematur dan

korioamnionitis.

Organisme ini mencapai uterus dapat melalui plasenta dari sirkulasi atau

mungkin dengan kontak oral genital. Meskipun demikian, kebanyakan bakteria

yang ditemukan dalam uterus dalam hubungannya dengan persalinan prematur

berasal dari vagina. Bakteri dari vagina menyebar secara ascendens pertama kali

ke dalam ruang koriodesidua. Pada beberapa wanita, organisme ini melewati

membran korioamniotik yang intak ke dalam cairan amnion, dan beberapa fetus

akhirnya menjadi terinfeksi. Bukti infeksi melalui rute ini berasal dari penelitian

609 wanita yang fetusnya dilahirkan dengan seksio sesar sebelum pecah ketubah.
11

Setengah dari 121 wanita dengan kultur membran positif juga memiliki organisme

dalam cairan amnion. Sebagian kecil fetus memiliki kultur darah atau cairan

serebrospinal yang positif saat persalinan. Wanita dengan kultur membran positif

memiliki respon peradangan yang aktif, seperti diinfikasikan oleh temuan leukosit

histologis pada membran dan adanya konsentrasi interleukin 6 yang tinggi dalam

cairan amnion. Temuan ini mungkin menjelaskan kenapa wanita dengan kultur

cairan amnion negatif tetapi dengan konsentrasi sitokin yang tinggi dalam cairan

amnion resisten terhadap obat tokolitik. Tampaknya, wanita ini sering memiliki

infeksi dalam korioamnion, suatu tempat yang tidak boleh dikultur sebelum

persalinan.

Waktu terjadinya infeksi

Bukti terakhir menunjukkan bahwa infeksi intrauterine mungkin terjadi

jauh lebih awal saat hamil dan masih tidak terdeteksi selama beberapa bulan.

Sebagai contoh U. urealyticum telah terdeteksi pada beberapa sampel cairan

amnion yang diperoleh dari analisis kromosom rutin pada usia kehamilan 15 18

minggu. Kebanyakan wanita ini melakukan persalinan sekitar usia kehamilan 24

minggu. Lebih lanjut, konsentrasi interlekin 6 yang tinggi dalam cairan amnion

pada minggu 15 20 berhubungan dnegan persalinan prematur spontan setelat 32

34 minggu.

Contoh lain yang menunjukkan infeksi kronik, konsentrasi fibronektin

yang tinggi dalam cerviks atau vagina pada usia kehamilan 24 minggu (yang

dipertimbangkan sebagai marker infeksi saluran genitalia atas) berhubungan

dengan terjadinya korioamnionitis rata-rata 7 minggu kemudian. Akhirnya,


12

beberapa wanita yang tidak hamil dengan vaginosis bakterialis memiliki

kolonisasi intrauterin yang berhubungan dengan endometritis sel plasma kronik.

Sehingga memungkinkan bahwa kolonisasi intrauterine yang berhubungan dengan

persalinan prematur spontan tampak saat konsepsi. Penting untuk menekankan

bahwa kebanyakan infeksi saluran genitalia atas masih asimptomatik dan tidak

berhubungan dengan demam, uterus yang bengkak atau leukositosis darah tepi.

Mekanisme persalinan premature akibat infeksi.

Data dari penelitian hewan, in vitro dan manusia seluruhnya memberikan

gambaran yang konsisten bagaimana infeksi balteri menyebabkan persalinan

prematur spontan (gambar 3). Invasi bakteri pada rongga koriodesidua,

menyebabkan pelepasan endotoksin dan eksotoksin, mengaktivasi desidua dan

membran janin untuk menghasilkan sejumlah sitokin, termasuk including tumor

necrosis factor, interleukin-1, interleukin-1, interleukin-6, interleukin-8, dan

granulocyte colony-stimulating factor. Selanjutnya, cytokines, endotoxins, dan

exotoxins merangsang sistesis dan pelepasan prostaglandin dan juga mengawali

chemotaxis, infiltrasi, dan aktivasi neutrofil. Prostaglandin merangsang kontraksi

uterus sedangkan metalloprotease menyerang membran korioamnion yang

menyebabkan pecah ketuban. Metalloprotease juga meremodeling kolagen dalam

serviks dan melembutkannya (Franklin, 2000).

Terdapat jalur lain yang memiliki peranan yang hampir sama. Sebagai

contoh, prostaglandin dehydrogenase dalam jaringan korionik menginaktivasi

prostaglandin yang dihasilkan dalam amnion yang mencegahnya mencapai

miometrium dan menyebabkan kontraksi. Infeksi korionik yang menurunkan


13

aktivitas dehidrogenase ini menyebabkan peningkatan kuantitas prostaglandin

untuk mencapai miometrium (Rima, 2010).

Jalur lain dimana infeksi menyebabkan persalinan prematur melibatkan

janin itu sendiri. Pada janin dengan infeksi, peningkatan produksi corticotropin-

releasing hormone menyebabkan meningkatnya sekresi kortikotropin janin, yang

kemudian meningkatkan produksi kortisol adrenal fetus. Sekresi kortisol yang

tinggi menyebabkan meningkatnya produksi prostaglandin. Contoh lain yaitu

ketika fetus itu sendiri terinfeksi, produksi sitokin fetus meningkat dan waktu

untuk persalinan jelas berkurang. Namun, kontribusi relatif kompartemen

maternal dan fetal terhadap respon peradangan keseluruhan tidak diketahui (Rima,

2010).

Gambar 2. Alur kolonisasi bakteri koriodesidua yang menyebabkan persalinan


prematur
14

Marker infeksi

Infeksi intrauterine sering bersifat kronik dan biasanya asimptomatik hingga

persalinan dimulai atau pecah ketubah. Bahkan selama persalinan, kebanyakan

wanita yang menunjukkan korioamnionitis kemudian (dengan temuan histologis

dan kultur) tidak memiliki gejala selain dari persalinan prematur tidak demam,

nyeri perut atau leukositosis darah tepi dan biasanya tidak terdapat takikardia

janin. Zat yang ditemukan dalam kuantitas abnormal dalam cairan amnion dan di

tempat lain pada wanita dengan infeksi intrauterine dijelaskan dalam tabel 1

(Rima, 2010).
15

5. Aktivasi Aksis Hipothalamic-Pituitary-Adrenal (HPA) Ibu dan Janin

Stress didefinisikan sebagai tantangan baik psikologis ataupun fisik yang

mengancam ataupun mengancam hemostasis pasien akan mengakibatkan aktivasi

prematur Hipothalamic-Pituitary-Adrenal (HPA) janin atau ibu. Stress semakin

diakui sebagai faktor resiko penting terjadinya persalinan preterm.

Neuroendrokin, kekebalan tubuh, proses perlilaku (seperti depresi) telah dikaitkan

dengan kejadian persalinan preterm akibat stress. Proses aktivasi prematur HPA

dimediasi oleh corticothropine releasing hormone (CRH) plasenta. Dalam sebuah

hasil penelitian in vivo ditemukan hubungan yang signifikan antara stress

psikososial ibu dengan kadar CRH, ACTH, dan kortisol plasma ibu. Menurut

Hobel dkk, dibandingkan dengan wanita yang melahirkan aterm, wanita yang

preterm memiliki kadar CRH yang meningkat signifikan dengan mempercepat

peningkatan kadar CRH selama kehamilan. Pada persalinan preterm aksis HPA

ibu dapat mendorong ekspresi CRH plasenta. CRH plasenta menstimulasi janin

untuk mensekresi kortisol dan dehydroepiandrosterone synthase (DHEA-S)

melalui aktivasi aksis HPA janin dan menstimulasi plasenta untuk mensisntesis

estriol dan prostaglandin, sehingga mempercepat persalinan preterm (Rima,

2010).

6. Perdarahan Desidua (Desidual Hemmorrage/thrombosis)

Perdarahan desidu dapat menyebabkan persalinan preterm. Lesi vaskuler

dari plasenta biasanya dihubungkan dengan persalinan preterm dan ketuban pecah

dini. Lesi plasenta dilaporkan terjadi pada 34% wanita dengan persalinan preterm.

Lesi ini dapat dikarakteristikkan sebagai kegagalan transformasi fisiologis dari


16

arteri spiralis, atherosis, dan trombosis arteri ibu atau janin. Diperkirakan

mekanisme yang menghubungkan lesi vaskuler dengan persalinan preterm adalah

iskemi uteroplasenta. Meskipun patofisiologinya belum jelas tetapi trombin

diduga memegang peranan utama (Rima, 2010).

Terlepas dari peran penting dalam koagulasi, trombin merupakan protease

multifungsi yang memunculkan aktivitas kontraksi dari vaskuler dan otot halus

myometrium. Trombin mestimulasi kontraksi otot polos longitudinal myometrium

(Rima, 2010).

Tabel 3. Etologi dan jalur persalinan preterm yang diakui secara umum (Rima,

2010)

2.5 Diagnosis

1. Anamnesis

Anamnesis diperlukan untuk mencari faktor resiko. Faktor resiko ini

penting dan dalam kaitannya dengan terjadinya persalinan preterm. Berikut adalah

beberapa faktor resiko terjadinya persalinan preterm : (Rima, 2010)

1) Faktor resiko mayor :

a. Kehamilan multipel

b. Polihidramniom
17

c. Anomali uterus

d. Dilatasi serviks > 2cm pada usia kehamilan 32 minggu

e. Riwayat abortus 2 kali atau lebih pada trimester II

f. Riwayat persalinan preterm sebelumnya

g. Riwayat menjalani prosedur operasi pada serviks (cone biopsy, loop

electrosurgical excision procedure)

h. Penggunaan cocain dan amphetamine

i. Operasi besar pada abdomen

2) Faktor resiko minor

a. Perdarahan pervaginam setelah 12 minggu

b. Riwayat pyelonefritis

c. Merokok

d. Riwayat abortus

Pasien tergolong reiko tinggi apabila ditemukan lebih dari satu faktor

resiko mayor atau dua atau lebih fator resiko minor, atau keduanya. Disamping

faktor resiko di atas faktor resiko lain yang perlu diperhatikan adalah tingkat

sosiobiologi (usia ibu, jumlah anak, obesitas, status sosioekonomi yang rendah,

ras, stress lingkungan) dan komplikasi kehamilan lainnya (infeksi maternal,

preeklampsia-eklampsia, plasenta previa, kehamilan yang diperolh melalui

bantuan medikasi, terlambat atau ridak melakukan asuhan antenatal) (Rima,

2010).
18

Gambar 3. Mekanisme persalinan preterm pada kehamilan ganda

2. Gejala Klinis

Sering terjadi kesulitan dalam diagnosis ancaman persalinan preterm.

Differensiasi dini antara persalinan palsu dengan persalinan sebenarnya sulit

ditentukan sebelum adanya pendatarandan dilatasi serviks. Kontraksi uterus

sendiri sulit dibedakan karena adanya kontraksi braxtons hicks. Kontraksi ini

digambarkan sebagai kontraksi yang tidak teratur, tidak ritmis, tidak begitu sakit

atau tidak sakit sama sekali, namun dapat menimbulkan keraguan besar dalam

diagnosis persalinan preterm. Tidak jarang wanita yang melahirkan sebelum aterm

memiliki kontraksi yang mirip dengan braxtons hicks yang mengarahkan ke

diagnosis yang salah, yaitu persalinan palsu. Beberapa kriteria yang dapat dipakai

sebagai ancaman persalinan preterm :

a. Usia kehamilan antara 20 dan 37 minggu atau 140 dan 259 hari.

b. Kontraksi uterus (his) yang teratur yaitu berulang 7-8 kali atau 2-3 kali dalam

10 menit.
19

c. Merasakan gejala seperti kaku di perut, menyerupai rasa kaku seperti

menstruasi, rasa tekanan intrapelvik, nyeri punggung bawah (low back pain).

d. Mengeluarkan lendir bercampu darah pervaginam.

e. Pemeriksaan dalam menunjukkan serviks telah mendatar 50-80%, atau telah

terjadi pembukaan sedikitnya 2 cm.

f. Selaput amnion sering kali telah pecah.

g. Presentasi janin rendah, sampai mencapai spina ischiadika (Cunningham,

2012).

Kriteria lain yang diusulkan oleh American Academy of Pediatrics dan

The American College of Obstreticians and Gynecologists, adalah sebagai berikut:

a. Kontraksi yang terjadi 4 kali dalam 20 menit atau 8 kali dalam 60 menit dan

perubahan progresif pada serviks.

b. Dilatasi serviks lebih dari 1 cm.

c. Pendataran serviks sebesar 80% atau lebih.

2. Perubahan serviks

a. Dilatasi serviks

Dilatasi serviks asimtomatik setelah pertengahan masa kehamilan diduga

sebagai fator resiko persalinan preterm (Cunningham, 2012).

b. Panjang serviks

Serviks memegang peranan ganda pada kehamilan. Serviks

mempertahankan isi uterus terhadap pengaruh gravitasi dan tekanan intrauterin

sampai persalinan, dan serviks akan berdilatasi untuk memungkinkan isi uterus

untuk melewatinya selama proses persalinan.


20

Kompetensi serviks tergantung pada kesatuan antara anatomi dan komposisi

biokimia dari serviks. Salah satu indikator dini dari inkompetensia serviks adalah

terjadinya pemendekan dari serviks. Berdasarkan hasil penelitian dengan

ultrasounografi sebagai prediktor persalinan preterm menentukan bahwa panjang

serviks kurang dari 25 mm pada usia kehamilan 24-28 minggu dapat

meningkatkan resiko persalinan preterm (Rima, 2010).

c. Inkompetensia Serviks

Inkompetensia serviks adalah diagnosis klinis yang ditandai dengan dilatasi

serviks berulang, tanpa rasa sakit, dan kejadian kelahiran spontan pada

midtrimester tanpa adanya pecah ketuban spontan, peradarahan, ataupun infeksi.

Dilatasi serviks ini dapat diiikuti prolaps dan menggembungnya membran janin ke

dalam vagina, dan akhirnya ekspulsi janin imatur. Penyebab inkompetensia

serviks ini belum jelas, namun terkait dengan riwayat trauma pada serviks seperti

dilatasi , kuretase, kauterisasi (Rima, 2010).

2.5.1 Indikasi Wanita yang beresiko mengalami persalinan preterm

Cara utama untuk mengurangi resiko persalinan preterm dapat dilakukan

sejak awal, sebelum tanda tanda persalinan muncul. Dimulai dengan pengenalan

pasien yang beresiko, untuk diberi penjelasan dan penilaian klinik terhadap

persalinan preterm serta pengenalan kontraksi sedini mungkin, sehingga tindakan

pencegahan dapat segera dilakukan. Pemeriksaan serviks mempunyai manfaat

yang cukup besar dalam memprediksi terjadinya persalinan preterm. Bila

dijumpai serviks pendek (< 1cm) yang disertai dengan pembukaan yang

merupakan tanda serviks matang/inkompetensia serviks, maka pasien tersebut


21

dikatakan memiliki resiko mengalami persalinan preterm 3-4 kali (Cunningham,

2012).

2.6 Penatalaksanaan

Manajemen persalinan perterm meliputi (P.O.G.I, 2011):

1. Tirah baring (Bedrest)

2. Hidrasi dan sedasi

3. Pemberian tokolitik

4. Pemberian steroid

5. Pemberian antibiotik

6. Emergency Cerclage

7. Perencanaan persalinan

1. Tirah baring (bedrest)

Kepentingan istirahat rebah disesuaikan dengan kebutuhan ibu, namun

secara statistik tidak terbukti dapat mengurangi kejadian kurang bulan secara

statistik (P.O.G.I, 2011).

2. Hidrasi dan sedasi

Hidrasi oral maupun intravena sering dilakukan untuk mencegah

persalinan preterm, karena sering terjadi hipovolemik pada ibu dengan kontraksi

premature, walaupun mekanisme biologisnya belum jelas. Preparat morfin dapat

digunakan untuk mendapatkan efek sedasi (P.O.G.I, 2011).


22

3. Pemberian tokolitik

Tokolitik akan menghambat kontraksi myometrium dan dapat menunda

persalinan. Berikut adalah alasan pemberian tokolitik pada persalinan preterm

(Sarwono, 2010) :

a. Mencegah mortalitas dan morbiditas pada bayi prematur.

b. Memberi kesempatan bagi terapi kortikosteroid untuk menstimulir surfaktan

paru janin.

c. Memberi kesempatan trasnfer intrauterin pada afsilitas yang lebih lengkap.

d. Optimalisasi personel.

Beberapa macam obat yang dapat digunakan sebagai tokolisis :

a) Nifedipin

Nifedipin adalah antagonis kalsium diberikan per oral. Dosis inisial 20 mg,

dilanjutkan 10-20 mg, 3-4 kali perhari, disesuaikan dengan aktivitas uterus sampai

48 jam. Dosis maksimal 60mg/hari, komplikasi yang dapat terjadi adalah sakit

kepala dan hipotensi (P.O.G.I, 2011).Antagonis kalsium merupakan relaksan otot

polos yang menghambat aktivitas uterus dengan mengurangi influks kalsium

melalui kanal kalsium yang bergantung pada 19 voltase. Terdapat beberapa kelas

antagonis kalsium, namun sebagian besar pengalaman klinis adalah dengan

nifedipin (Hadrians, 2007).

Nifedipin diabsorbsi cepat di saluran pencernaan setelah pemberial oral

ataupun sublingual. Konsentrasi maksimal pada plasma umumnya dicapai setelah

15-90 menit setelah pemberian oral, dengan pemberian sublingual konsentrasi

dalam plasma dicapai setelah 5 menit pemberian(Hadrians, 2007) .


23

b) Magnesium sulfat

Magnesium sulfat dipakai sebagai tokolitik yang diberikan secara

parenteral. Dosis awal 4-6 gr IV diberikan dalam 20 menit, diikuti 1-4 gram per

jam tergantung dari produksi urin dan kontraksi uterus. Bila terjadi efek toksik,

berikan kalsium glukonas 1 gram secara IV perlahan-lahan (P.O.G.I, 2011).

Terapi tokolitik magnesium sulfat terbukti aman dan bermanfaat terhadap

janin dan ibu. Namun, perubahan tulang yang terlihat melalui rontgen terlihat

pada neonatus dari pasien yang menerima infus magnesium sulfat jangka panjang

(lebih dari 1 minggu). Perubahan-perubahan ini termasuk abnormalitas tulang

secara radiografi seperti perubahan dari tulang panjang, penipisan tulang parietal,

dan mineralisasi tulang yang abnormal.Ketika magnesium sulfat digunakan

dengan hati-hati sebagai obat tokolitik, efek sampingnya terhadap ibu, janin dan

neonatus biasanya sedikit dan tidaklah serius atau merusak (Hadrians, 2007).

c) Atosiban

Antagonis oksitosin salah satu contohnya adalah atosiban dapat menjadi

obat tokolitik di masa depan. Obat ini merupakan alternatif menarik terhadap

obat-obat tokolitik saat ini karena spesifisitasnya yang tinggi dan kurangnya efek

samping terhadap ibu, janin atau neonatus. Atosiban adalah obat sintetik baru

pada golongan obat ini dan telah mendapat izin penggunaannya sebagai tokolitik

di Eropa (Hadrians, 2007). Atosiban menghasilkan efek tokolitik dengan melekat

secara kompetitif dan memblok reseptor oksitosin. Dosis awal 6,75mg bolus

dalam satu menit, diikuti 18mg/jam selama 3 jam per infus, kemudian 6mg/jam

selama 45 jam (P.O.G.I, 2011).


24

d) Beta2-sympathomimetics

Saat ini sudah banyak ditinggalkan. Preparat yang biasa dipakai adalah

ritodrine, terbutaline, salbutamol, isoxsuprine, fenoterol and hexoprenaline.

Contoh: Ritodrin (Yutopar) Dosis: 50 mg dalam 500 ml larutan glukosa 5%.

Dimulai dengan 10 tetes per menit dan dinaikkan 5 tetes setiap 10 menit sampai

kontraksi uterus hilang. Infus harus dilanjutkan 12 48 jam setelah kontraksi

hilang. Selanjutnya diberikan dosis pemeliharaan satu tablet (10 mg) setiap 8 jam

setelah makan. Nadi ibu, tekanan darah dan denyut jantung janin harus dimonitor

selama pengobatan (Hadrians, 2007).

Kontra indikasi pemberian adalah penyakit jantung pada ibu, hipertensi

atau hipotensi, hipertiroidi, diabetes dan perdarahan antepartum. Efek samping

yang dapat terjadi pada ibu adalah palpitasi, rasa panas pada muka (flushing),

mual, sakit kepala, nyeri dada, hipotensi, aritmia kordis, edema paru,

hiperglikemi, dan hipoglikemi.Efek samping pada janin antara lain ft.tal

takhikardia. Inpoglikemia, hipokalemi, ileus dan hipotensi (Hadrians, 2007).

e) Progesteron

Progesteron dapat mencegah persalinan preterm. Injeksi alpha-

hidroxirogesterone caproate menurunkan persalinan pretern berulang. Dosis 250

mg (1 mL) im tiap minggu sampai 37 minggu kehamilan atau sampai persalinan.

Pemberian dimulai 16-21 minggu kehamilan (P.O.G.I, 2011).

f) COX (Cyclo-oxygenase) -2 inhibitor

I. Indomethacin
25

Dosis awal 100 mg, dilanjutkan 50 rng per oral setiap 6 jam untuk 8 kali

pemberian. Jika pemberian lebih dari dua hari,dapat rnenimbulkan

oligohidramnion akibat penurunan renal blood flow janin. Indometasin

direkomendasikan pada kehamilan>32 minggu karena dapat mempercepat

penutupan ductus arteriosus (P.O.G.I, 2011).

4. Pemberian Steroid

Pemakaian kortikosteroid dapat menurunkan kejadian RDS. kematian

neonatal dan perdarahan intraventrikuler. Dianjurkan pada kehamilan 24 34

minggu, namun dapat dipertimbangkan sampai 36 minggu.Kontra indikasi :

infeksi sistemik yang berat, (tuberkulosis dan korioamnionitis). Betametason

merupakan obat terpilih, diberikan secara injeksi intramuskuler dengan dosis 12

mg dan diulangi 24 jam kemudian. Efek optimal dapat dicapai dalam 1 - 7 hari

pemberian, setelah 7 hari efeknya masih meningkat. Apabilatidak terdapat

betametason, dapat diberikan deksametason dengan dosis 2 x 5 mg intramuskuler

per hari selama 2 hari (P.O.G.I, 2011).

2.7 Komplikasi

2.7.1 Komplikasi pada ibu :

Pada ibu setelah persalinan preterm, infeksi endometrium lebih sering

terjadi sehingga menyebabkan sepsis dan lambatnya penyenbuhan luka episiotomi

(Rima, 2010).
26

2.7.2 Komplikasi pada bayi :

Tabel 4. Komplikasi persalinan preterm pada bayi


Masalah masalah utama jangka pendek dan jangka panjang pada berat
badan bayi sangat rendah

Organ atau Masalah jangka pendek Masalah jangka


sistem
panjang

Paru paru Sindroma distress pernafasan, Displasia


kebocoran udara, displasia bronkopulmunore,
bronkopulmuner, penyakit jalan nafas
pneumoprematuritas. reaktif, asma.

Gastrointestinal Hiperbilirubinemia, gangguan Gagal tumbuh, sindroma


atau nutrisional makan, necritizing enterocolitis short-bowel, kolestasis

Imunologi Infeksi nosokomial, infeksi Infeksi respiratory


perinatal, imunodefisiensi. syncitial virus,
bronkiolitis.

Sistem saraf Perdarahan intraventrikularm Cerebral palsy,


pusat leukomalasia periventrikular, hidrosefalus, atrofi
hidrosefalus serebral, hambatan
neurodevelopmental,
gangguan pendengaran
Oftalmologi Retinopati prematuritas Kebutaan, ablasio retina,
miopia, starbismus

Kardiovaskuler Hipotensi, paten ductus Hipertensi pulmonal,


arteriosus, hipertensi pulmonal hipertensi saat dewasa
Renal Ketidakseimbangan air dan Hipertensi saat dewasa
elektrolit

Hematologi Anemia iatrogenik, memerlukan


transfusi berulang, anemia
prematuritas

Endokrinologi Hipoglikemia, kadar tiroksin Kelemahan regulasi


rendah sementara, defisiensi glukosa, peningkatan
27

kortisol resistensi insulin

2.8 Pencegahan

Intervensi yang dilakukan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas

yang beruhungan dengan persalinan preterm dapat diklasifikasikan sebagai

berikut :

1. Pencegahan primer

Ditujukan kepada semua wanita, sebelum dan selama kehamilan untuk

mencegah dan mengurangi resiko.

a. Pencegahan primer sebelum pembuahan dan selama kehamilan

Memberikan pendidikan : kepada semua wanita usia reproduksi diberikan

pendidikan mengenai faktor faktor resiko persalinan preterm.

Mengkonsumsi suplemen nutrisi

Menghentikan konsumsi rokok

Melakukan asuhna prenatal.

Melakukan perawatan periodontal (Rima, 2010).

b. Pencegahan sekunder

Bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi resiko pada wanita yang

diketahui memiliki faktor resiko mengalami persalinan preterm. Bentuk

pencegahan sekunder antara lain, :

Modifikasi aktivitas ibu (tirah baring, pembatasan aktifitas kerja, tidak

berhubungan seksual selama kehamilan).

Pemberian sumplemen nutrisi


28

Peningkatan perawatanbagi wanita yang beresiko

Pemberian progesteron (Rima, 2010).

You might also like