You are on page 1of 20

Klasifikasi Stadium Klinis HIV AIDS Menurut WHO

Klasifikasi Stadium klinis WHO


Asimtomatik 1
Ringan 2
Sedang 3
Berat 4

Stadium Klinis WHO untuk Bayi dan Anak yang Terinfeksi HIV a, b

Stadium klinis 1
Asimtomatik
Limfadenopati generalisata persisten

Stadium klinis 2
Hepatosplenomegali persisten yang tidak dapat dijelaskana
Erupsi pruritik papular
Infeksi virus wart luas
Angular cheilitis
Moluskum kontagiosum luas
Ulserasi oral berulang
Pembesaran kelenjar parotis persisten yang tidak dapat dijelaskan
Eritema ginggival lineal
Herpes zoster
Infeksi saluran napas atas kronik atau berulang (otitis media, otorrhoea, sinusitis,
tonsillitis )
Infeksi kuku oleh fungus

Stadium klinis 3
Malnutrisi sedang yang tidak dapat dijelaskan, tidak berespons secara adekuat terhadap
terapi standara
Diare persisten yang tidak dapat dijelaskan (14 hari atau lebih ) a
Demam persisten yang tidak dapat dijelaskan (lebih dari 37.5o C intermiten atau konstan,
> 1 bulan) a
Kandidosis oral persisten (di luar saat 6- 8 minggu pertama kehidupan)
Oral hairy leukoplakia
Periodontitis/ginggivitis ulseratif nekrotikans akut
TB kelenjar
TB Paru
Pneumonia bakterial yang berat dan berulang
Pneumonistis interstitial limfoid simtomatik
Penyakit paru-berhubungan dengan HIV yang kronik termasuk bronkiektasis
Anemia yang tidak dapat dijelaskan (<8g/dl ), neutropenia (<500/mm3) atau
3
trombositopenia (<50 000/ mm )

Stadium klinis 4b
Malnutrisi, wasting dan stunting berat yang tidak dapat dijelaskan dan tidak berespons
terhadap terapi standara
Pneumonia pneumosistis
Infeksi bakterial berat yang berulang (misalnya empiema, piomiositis, infeksi tulang dan
sendi, meningitis, kecuali pneumonia)
Infeksi herpes simplex kronik (orolabial atau kutaneus > 1 bulan atau viseralis di lokasi
manapun)
TB ekstrapulmonar
Sarkoma Kaposi
Kandidiasis esofagus (atau trakea, bronkus, atau paru)
Toksoplasmosis susunan saraf pusat (di luar masa neonatus)
Ensefalopati HIV
Infeksi sitomegalovirus (CMV), retinitis atau infeksi CMV pada organ lain, dengan onset
umur > 1bulan
Kriptokokosis ekstrapulmonar termasuk meningitis
Mikosis endemik diseminata (histoplasmosis, coccidiomycosis)
Kriptosporidiosis kronik (dengan diarea)
Isosporiasis kronik
Infeksi mikobakteria non-tuberkulosis diseminata
Kardiomiopati atau nefropati yang dihubungkan dengan HIV yang simtomatik
Limfoma sel B non-Hodgkin atau limfoma serebral
Progressive multifocal leukoencephalopathy

Klasifikasi HIV/AIDS adalah sebagai berikut :

(1) Group
Infeksi akut,seperti gejala flu dan tes antibodi terhadap HIV negatif.
(2) Group II (Asimptomatis)
Tes antibodi terhadap HIV positif, tidak ada gejala-gejala dan laboratorium yang
mengarah ke HIV/AIDS
(3) Group III (Simpttomatis)
Tes antibodi terhadap HIV Positif, dan terjadi pembesaran kelenjar limfe secara
menetap dan merata (Persisten generalized lymphadenopathy)
(4) Group IVA
Tes antibodi terhadap HIV Positif, dan terjadi penyakit konstitusional (demam atau
diare yang persisten, penurunan berat badan lebih 10% dari berat badan normal)
(5) Group IVB
Sama dengan group IVA disertai adanya penyakit neurologi, dementia, neurophati, dan
myelophati.
(6) Group IVC
Sama dengan group IVB disertai sel CD4 < 200 mm dan terjadi infeksi opurtunistik.
(7) Group IV-D
Sama dengan group IVC disertai terjadi tuberkulosis paru, kanker servikal yang invasif,
dan keganasan yang lain.
II.7 Komplikasi
Kebanyakan komplikasi HIV terjadi akibat dari supresi sel T. Karena sel T yang
diserang, kekebalan tubuh menuruh hingga dapat terjadi infeksi oportunistik.
Komplikasi-komplikasi pada pasien yang terjangkit HIV menyebabkan AIDS. Obat
anti-retroviral, yang dikenal sebagai Highly Active Anti-Retroviral Therapy (ART),
sekarang tersedia untuk menghambat replikasi dari virus HIV. Obat-obat ini
membantu untuk memperpanjang hidup, mengembalikan sistem kekebalan pasien
hingga mendekati aktivitas normal dan mengurangi kemungkinan infeksi
oportunistik. Kombinasi dari tiga atau lebih obat-obatan diberikan untuk mengurangi
kemungkinan resistensi.
Komplikasi-komplikasi umum pada pasien HIV/AIDS akibat infeksi oportunistik:
Tuberkulosis (TB)
Di negara-negara miskin, TB merupakan infeksi oportunistik yang paling umum
yang terkait dengan HIV dan menjadi penyebab utama kematian di antara orang
yang hidup dengan AIDS. Jutaan orang saat ini terinfeksi HIV dan TBC dan
banyak ahli menganggap bahwa ini merupakan wabah dua penyakit kembar.
Salmonelosis
Kontak dengan infeksi bakteri ini terjadi dari makanan atau air yang telah
terkontaminasi. Gejalanya termasuk diare berat, demam, menggigil, sakit perut
dan, kadang-kadang, muntah. Meskipun orang terkena bakteri salmonella dapat
menjadi sakit, salmonellosis jauh lebih umum ditemukan pada orang yang HIV-
positif.
Cytomegalovirus (CMV)
Virus ini adalah virus herpes yang umum ditularkan melalui cairan tubuh seperti
air liur, darah, urine, semen, dan air susu ibu. Sistem kekebalan tubuh yang sehat
dapat menonaktifkan virus sehingga virus tetap berada dalam fase dorman
(tertidur) di dalam tubuh. Jika sistem kekebalan tubuh melemah, virus menjadi
aktif kembali dan dapat menyebabkan kerusakan pada mata, saluran pencernaan,
paru-paru atau organ tubuh lainnya.
Kandidiasis
Kandidiasis adalah infeksi umum yang terkait HIV. Hal ini menyebabkan
peradangan dan timbulnya lapisan putih tebal pada selaput lendir, lidah, mulut,
kerongkongan atau vagina. Anak-anak mungkin memiliki gejala parah terutama
di mulut atau kerongkongan sehingga pasien merasa sakit saat makan.
Cryptococcal Meningitis
Meningitis adalah peradangan pada selaput dan cairan yang mengelilingi otak dan
sumsum tulang belakang (meninges). Cryptococcal meningitis infeksi sistem saraf
pusat yang umum terkait dengan HIV. Disebabkan oleh jamur yang ada dalam
tanah dan mungkin berkaitan dengan kotoran burung atau kelelawar.
Toxoplasmolisis
Infeksi yang berpotensi mematikan ini disebabkan oleh Toxoplasma gondii.
Penularan parasit ini disebabkan terutama oleh kucing. Parasit berada dalam tinja
kucing yang terinfeksi kemudian parasit dapat menyebar ke hewan lain.
Kriptosporidiosis
Infeksi ini disebabkan oleh parasit usus yang umum ditemukan pada hewan.
Penularan kriptosporidiosis terjadi ketika menelan makanan atau air yang
terkontaminasi. Parasit tumbuh dalam usus dan saluran empedu yang
menyebabkan diare kronis pada orang dengan AIDS.

Kanker yang biasa terjadi pada pasien HIV/AIDS:


Sarkoma Kaposi
Sarkoma Kaposi adalah suatu tumor pada dinding pembuluh darah. Meskipun
jarang terjadi pada orang yang tidak terinfeksi HIV, hal ini menjadi biasa pada
orang dengan HIV-positif. Sarkoma Kaposi biasanya muncul sebagai lesi merah
muda, merah atau ungu pada kulit dan mulut. Pada orang dengan kulit lebih gelap,
lesi mungkin terlihat hitam atau coklat gelap. Sarkoma Kaposi juga dapat
mempengaruhi organ-organ internal, termasuk saluran pencernaan dan paru-paru.
Limfoma
Kanker jenis ini berasal dari sel-sel darah putih. Limfoma biasanya berasal dari
kelenjar getah bening. Tanda awal yang paling umum adalah rasa sakit dan
pembengkakan kelenjar getah bening ketiak, leher atau selangkangan.

Komplikasi lainnya:
Wasting Syndrome
Pengobatan agresif telah mengurangi jumlah kasus wasting syndrome, namun
masih tetap mempengaruhi banyak orang dengan AIDS. Hal ini didefinisikan
sebagai penurunan paling sedikit 10 persen dari berat badan dan sering disertai
dengan diare, kelemahan kronis dan demam.
Komplikasi Neurologis
Walaupun AIDS tidak muncul untuk menginfeksi sel-sel saraf, tetapi AIDS bisa
menyebabkan gejala neurologis seperti kebingungan, lupa, depresi, kecemasan
dan kesulitan berjalan. Salah satu komplikasi neurologis yang paling umum adalah
demensia AIDS yang kompleks, yang menyebabkan perubahan perilaku dan
fungsi mental berkurang.

II.8 Penatalaksanaan
1. Pengobatan suportif
Yaitu, pengobatan untuk meningkatkan keadaan umum penderita. Pengobatan ini
terdiri dari pemberian gizi yang baik, obat sintomatik, vitamin dan dukungan
psikososial agar penderita dapat melakukan aktivitas seperti semula/seoptimal
mungkin.
2. Pengobatan infeksi oportunistik
Yaitu, pengobatan yang ditujukan untuk infeksi oportunistik dan dilakukan secara
empiris.
3. Pengobatan antiretroviral (ARV)
Tujuan Terapi ARV
- Menurunkan angka kematian dan angka perawatan di rumah sakit
- Menurunkan viral load
- Meningkatkan CD4 (pemulihan respons imun)
- Mengurangi resiko penularan
- Meningkatkan kualitas hidup
Terapi Anti Retroviral
- obat ini bisa memperlambat progresivitas penyakit dan dapat memperpanjang
daya tahan tubuh
- obat ini aman, mudah, dan tidak mahal. Angka transmisi dapat diturunkan
sampai mendektai nol melalui identifikasi dini ibu hamil dengan HIV positif
dan pengelolaan klinis yang agresif.
- terdiri dari beberapa golongan seperti nucleoside reverse transcriptase inhibitor
(NRTI), nucleotide reverse transcriptase inhibitor, non-nucleoside reverse
transcriptase inhibitor (NNRTI), dan inhibitor protease (PI), entri inhibitor.

2. Regimen ARV Lini Pertama


a. Golongan Nucleoside RTI (NRTI):
Abacavir (ABC) 400 mg sekali sehari
Didanosine (ddl) 250 mg sekali sehari (BB<60 kg)
Lamivudine (3TC) 300 mg sekali sehari
Stavudine (d4T) 40 mg setiap 12 jam
Zidovudine (ZDV atau AZT) 300 mg setiap 12 jam
b. Nucleotide RTI
- Tenofovir (TDF) 300 mgsekali sehari (obat baru)
c. Non-nucleoside RTI (NNRTI)
- Efavirenz (EFV)600 mg sekali sehari
- Nevirapine (NPV) 200 mg sekali sehari selama 14 hari, selanjutnya setelah 12
jam
d. Protease Inhibitor (PI)
- Indinavir/ritronavir (IDV/r) 800 mg/100 mg setiap 12 jam
- Lopinavir/ritonavir (LPV/r) 400 mg/100 mg setiap 12 jam
- Nelfinavir (NFV) 1250 mg setiap 12 jam
- Sequinavir/r (SQV/r) 1000 mg/100 mg setiap 12 jam
- Ritonavir (RTV, r) 100 mg
Pilihan pengobatan adalah kombinasi 2 NRTI + 1 NNRTI:
1. AZT + 3TC + NVP
2. AZT + 3TC +EVP
3. d4T + 3TC + NVP
4. d4T +3TC + EFV
3. Regimen ARV Lini Kedua
Ini merupakan alternative pengobatan apabila yang pertama gagal:
1. AZT atau d4T diganti dengan TDF atau ABC
2. 3TC diganti dengan ddl
3. NVP atau EFV diganti dengan LPV/r atau SQV/r

Lima Golongan Obat Antiretroviral:


2. Nucleoside/ nucleotide Reverse Transcriptase Inhibitors
Menggangu protein HIV yang dikenali reverse transcriptase, yang diperlukan untuk
replikasi virus.
3. Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors
Menghambat replikasi dalam sel melalui menginhibisi protein reverse transcriptase
4. Protease Inhibitors
Menginhibisi protein yang terlibat dalam proses replikasi virus HIV
4. Entry Inhibitors.
Menghambat pengikatan/ kemasukan virus HIV kedalam sel-sel imun tubuh
manusia
5. Integrase Inhibitors.
Mengganggu integrase enzyme yang diperlukan sehingga virus HIV dapat
manginsersi bahan genetic kedalam sel manusia.

2. Zidovudin
AZT adalah analog thymidin dan merupakan obat HIV yang pertama kali
ditemukan.Sampai saat ini masih diteruskan sebagai obat pilihan pertama pada
terapi kronis HIV dan juga sebagai rejimen profilaksis.Obat ini juga dapat masuk
dengan baik dalam SSP (susunan syaraf pusat). Efek samping yang paling sering
muncul adalah myelotoxicity yang pada akhirnya akan menjadikan anemia berat
pada pasien.

Efek Samping :
- Nausea
- Vomitus
- Sakit kepala
- Myalgia
- Macrocytic anemia
- Neutropenia (jarang)
- Peningkatan LDH, CPK, transaminase (jarang)
- Asidosis laktat (jarang)

Peringatan: Jangan mengkombinasikan dengan D4T (stafudin)!


Akan terdapat peningkatan myelotoksisitas jika digunakan bersama dengan
obat-obatan myelosupresive lain, misalnya ganciclovir, kotrimoksasol, dapson,
pirimetamin, interferon, sulfadiazin, amphoerisin B, ribavirin dan beberapa agen
kemoterapi lain.
Anemia dapat terjadi bahkan setelah beberapa bulan setelah terapi. Monitoring
berkala bulanan meliputi hitung darah, transaminase, CPK dan bilirubin. Keluhan
gastrointestinal bisa diterapi secara simptomatis dan biasanya akan hilang dalam 2
atau 3 minggu. AZT harus selalu diberikan sebagai slaah satu komponen dari
profilaksis.
3. Lamivudin
Merupakan analog Cytidin yang sangat mudah ditoleransi oleh tubuh sehingga
efek sampingnya paling sedikit.Resistensi pada lamivudin dapat terjadi dengan
sangat cepat karane hanya membutuhkan satu mutasi saja di satu tempat
(M184V).Obat ini juga efektif digunakan sebagai terapi hepatitis B.
Indikasi : HIV dan hepatitis B
Dosis oral :150 mg dua kali sehari
Dosis anak : 4 mg/kg BB, maksimum 150 mg
Efek samping :
Sangat jarang ditemukan efek samping.Fatigue, nausea, vomitur, diare, sakit
kepala, insomnia, myalgia juga sangat jarang terjadi, kalaupun ada karena
kombinasi dengan AZT dan ABC. Polineuropathy periferal, laktit asidosis,
anemia dan pankreatitis sangat jarang terjadi

4. Stavudin
Stavudin adalah analog thymidine.Toleransi dalam tubuh juga baik.Obat ini
sudah sejak lama digunakan sebagai alternatif terhadap AZT.Obat ini dapat
menimbulkan toksisitas mitokondrial berupa lipoatrofi, asidosis laktat, dan
neuropathy perifer.Terutama jika digunakan sebagai kombinasi dengan ddI. Untuk
itulah penggunaan jangka panjang D4T(stavudin) dan ddI (didanosin) tidak
disarankan lagi saat ini.
Efek samping :
Toksisitas mitokondrial dan lipoatrofi.Neuropathy perifer jika dikombinasikan
dengan ddI.
Efek samping yang jarang :
diare, nausea, sakit kepala, hepatic steatosis, pankreatitis
Efek samping yang sangat jarang :
asidosis laktat (terutama jika dikombinasikan dengan ddI dan jika dipakai dalam
kehamilan)
Peringatan :
Jangan dikombinasikan dengan AZT.
D4T kontraindikasi pada PNP.
Hindari penggunaan obat-obatan neurotoksik lainnya (etambutol, cisplatin,
INH dan vincristine).
D4T bisa dikonsumsi dalam kondisi perut yang kosong.
5. Nevirapine
Nevirapine adalah obat ART yang paling sering diresepkan dalam golongan
NNRTI. Obat ini juga berhasil digunakan sebagai profilaksis dalam program
PMTCT (Prevention mother to child transmition). Mutasi dapat terjadi dengan
sangat mudah karena hanya membutuhkan perubahan di satu titik DNA saja. Obat
ini sangat mudah ditoleransi tubuh dan baik untuk digunakan sebagai terapi jangka
panjang.Hepatotoksisitas mungkin saja dapat terjadi dalam bulan-bulan pertama
pemberian obat.Peningkatan dosis sebaiknya dilakukan secara bertahap.
Dosis oral :
Satu tablet 200 mg dua kali sehari dengan atau tanpa makanan. Selalu dimulai
dengan dosis lead-in dalam 2 minggu pertama ( 1 tablet sekali sehari). Lead in
mungkin tidak begitu diperlukan jika obat dapat ditoleransi dengan baik.
Peningkatan dosis disini untuk menghindari efek samping yang berat.
Efek samping :
Hepatotoksik dan Rash.
Efek samping yang lebih jarang :
demam, nausea, drowsiness, sakit kepala, myalgia.
Peringatan :
Kontraindikasi untuk digunakan bersama-sama dengan rifampisin,
ketoconazole.
Jika digunakan bersama dengan lopinavir mungkin perlu menaikkan dosis
kaletra nya.
Jika digunakan bersama dengan indinavir naikkan dosis indinavir sampai 1000
mg 3x sehari.
Jika digunakan bersama methadone perlu menaikkan dosis methadone.
NVP sebaiknya tidak digunakag sebagai PEP.

6. Efaviren
Efaviren adalah golongan NNRTI yang juga sering digunakan selain NVP.Efek
samping SSP merupakan masalahutama penggunaan obat ini.
Dosis oral : 600 mg single dose sebelum tidur malam
Efek samping :
Pada SSP sering terjadi (mimpi buruk, bingung, dizzy, somnolen, depresi,
gangguan konsentrasi, insomnia dan perubahan kepribadian. Gejala-gejala ini
biasanya akan hilang dalam beberapa minggu
Peringatan :
Kontraindikasi pada perempuan hamil. Sebaiknya jangan digunakan pada
perempuan usia reproduksi.
Kontraindikasi pada pemakaian derivat alkaloid ergot, astemizole, cisapride,
midazolam, terfenadine, triazolam.
Sebaiknya tidak digunakan bersamaan dengan obat-obatan kontrasepsi.

Obat anti-retroviral, yang dikenal sebagai Highly Active Anti-Retroviral Therapy


(ART), sekarang tersedia untuk menghambat replikasi dari virus HIV. Obat-obat ini
membantu untuk memperpanjang hidup, mengembalikan sistem kekebalan pasien
hingga mendekati aktivitas normal dan mengurangi kemungkinan infeksi oportunistik.
Kombinasi dari tiga atau lebih obat-obatan diberikan untuk mengurangi kemungkinan
resistensi.
Interaksi dengan obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Masalah koinfeksi tuberkulosis dengan HIV merupakan masalah yang sering di
hadapi di indonesia. Pada prinsipnya, pemberian OAT pada odha tidak berbeda dengan
passien HIF negatif. Interaksi antara OAT dan ARV, termasuk efek
hepatotoksisitasnya, harus sangat di perhatikan. Pada odha yang telah mendapat obat
ARV sewaktu diagnosis TB ditegakkan, maka obat ARV tetap diteruskan dengan
efaluasi yang lebih ketat. Pada odha yang belum mendapat terapi ARV, waktu
pemberian obat di sesuaikan dengan kondisinya.
Tidak ada interaksi bermakna antara OAT dengan ARV golongan nukleosida,
kecuali ddl yang harus di berikan selang 1 jam dengan OAT karena bersifat sebagai
buffer antasida.
Interaksi dengan OAT terutama terjadi pada ARV golongan non-nukleosida dan
inhibitor protease. Obat ARV yang di anjurkan digunakan pada odha dengan TB adalah
evafirenz. Rifampisin dapat menurunkan kadar nelvinafir sampai 82% dan dapat
menurunkan kadar nevirapin sampai 37%. Namun, jika evafirenza tidak
memungkinkan diberikan, Pada pemberian Bersama rifamisin dan nevirapin, dosis
nevirapin tidak perlu dinaikan.

II.9 Prognosis
Sebagian besar HIV/AIDS berakibat fatal. Sekitar 75% pasien yang didiagnosis
AIDS meninggal tiga tahun kemudian. Penelitian melaporkan ada 5% kasus pasien
terinfeksi HIV yang tetap sehat secara klinis dan imunologis (Widoyono, 2008).
Saat ini tidak ada obat untuk AIDS dan hal ini berakibat fatal tanpa pengobatan.
Infeksi HIV. Masa yang diambil untuk pengembangan AIDS dari infeksi HIV dapat
berkisar dari 6 bulan (sangat jarang) hingga 15 tahun. Di Inggris waktu rata-rata untuk
pengembangan AIDS dari awal infeksi HIV adalah sekitar 12 tahun.

III. Algoritme Pemeriksaan Screening dan Konfirmasi untuk Diagnosis HIV/AIDS

Pemeriksaan darah adalah cara paling umum untuk mendiagnosis HIV. Tes ini
bertujuan untuk mencari antibodi terhadap virus HIV. Orang yang terkena virus harus segera
dilakukan pemeriksaan laboratorium. Tindak lanjut tes mungkin diperlukan, tergantung pada
waktu awal paparan.

Sebelum dilakukan tes, pemeriksaan anamnesis juga perlu dilakukan untuk mengetahui gaya
hidup pasien apakah termasuk gaya hidup berisiko tinggi.
Pemeriksaan primer untuk mendiagnosis HIV dan AIDS meliputi:
ELISA
ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay) digunakan untuk mendeteksi infeksi
HIV. Jika tes ELISA positif, tes Western blot biasanya dilakukan untuk
mengkonfirmasikan diagnosis. Jika tes ELISA negatif, tetapi ada kemungkinan pasien
tersebut memiliki HIV, pemeriksaan harus diulang lagi dalam satu sampai tiga bulan.
ELISA sensitivitasnya tinggi yaitu sebesar 98,1-100%, cukup sensitif pada infeksi
HIV kronis, tetapi karena antibodi tidak diproduksi segera setelah infeksi, hasil tes
mungkin negatif selama beberapa minggu untuk beberapa bulan setelah terinfeksi.
Meskipun hasil tes mungkin negatif selama periode ini, pasien mungkin memiliki
tingkat penularan tinggi. Biasanya tes ini memberikan hasil positif setelah 2-3 bulan
terinfeksi.
Pemeriksaan Air Liur
Pada kapas digunakan untuk memperoleh air liur dari bagian dalam pipi. Pad
ditempatkan dalam botol dan diserahkan ke laboratorium untuk pengujian. Hasil
dapat diperoleh dalam tiga hari. Hasil positif harus dikonfirmasi dengan tes darah.
Viral Load Test
Tes ini bertujuan untuk mengukur jumlah virus HIV dalam darah. Umumnya, tes ini
digunakan untuk memantau kemajuan pengobatan atau mendeteksi dini infeksi HIV.
Tiga teknologi yang digunakan untuk mengukur viral load HIV dalam darah: Reverse
Transcription Polymerase Chain Reaction (RT-PCR), Branched DNA (bDNA) and
Nucleic Acid Sequence-Based Amplification Assay (NASBA). Prinsip-prinsip dasar
dari tes ini sama. HIV dideteksi menggunakan urutan DNA yang terikat secara khusus
pada virus. Penting untuk dicatat bahwa hasil dapat bervariasi antara tes.
Western Blot
Ini adalah pemeriksaan darah yang sangat sensitif sebesar 99,6-100%, yang
digunakan untuk mengkonfirmasi hasil tes ELISA positif. Tetapi pemeriksaan ini
cukup sulit, mahal, dan membutuhkan waktu sekitar 24 jam. Western Blot merupakan
elektroporesis gel poliakrilamid yang digunakan untuk mendeteksi rantai protein yang
spesifik terhadap DNA. Jika tidak ada rantai protein yang ditemukan berarti tes
negatif. Sedangkan bila hampir atau semua rantai protein ditemukan berarti western
blot positif. Tes ini harus diulangi lagi setelah 2 minggu dengan sampel yang sama.
Jika western blot tetap tidak bisa disimpulkan maka tes western blot harus diulangi
lagi setelah 6 bulan. Jika tes tetap negatif maka pasien dianggap HIV negatif.

Pemeriksaan laboratorium untuk menetapkan adanya infeksi HIV dapat dibagi dalam 2
kelompok yaitu pemeriksaan yang mencari adanya virus tersebut dalam tubuh penderita seperti
biakan virus, deteksi antigen dan deteksi materi genetik dalam darah penderita; dan
pemeriksaan serologik yang mencari adanya antibodi terhadap berbagai komponen virion HIV
dalam serum penderita.

Pemeriksaan yang paling sering dipakai untuk menentukan adanya infeksi HIV saat ini adalah
pemeriksaan serologik untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV dalam darah penderita.
Berbagai teknik dapat dipakai untuk pemeriksaan ini, diantaranya rapid test (aglutinasi,
imunokromatografi), dan Enzyme Immunoassay (EIA).

Rapid Test
Rapid test HIV memegang peranan penting dalam membantu diagnosis dini secara cepat
seseorang yang terinfeksi HIV dan tidak membutuhkan sarana yang rumit dan mahal. Rapid
test adalah tes cepat (kurang dari 30 menit), sederhana, tidak invasif dan digunakan untuk
mendeteksi antibodi. Rapid test digunakan untuk menentukan status infeksi dengan cepat
untuk mendeteksi antibodi, sehingga terapi dapat segera dilakukan dan mempunyai keuntungan
sebagai berikut:
menentukan status infeksi dengan cepat, sehingga terapi dapat segera dilakukan
tes ini mendeteksi antibodi
bermanfaat pada kunjungan konseling pasien, karena dapat segera dilakukan terapi
mudah penggunaannya dan tidak memerlukan peralatan yang canggih, waktu yang
dibutuhkan untuk pemeriksaan relatif cepat sekitar 10-20 menit (misal: aglutinasi,
imunodot, imunokromatografi)
hasil reaktif atau nonreaktif

Pada teknik aglutinasi dapat dipakai berbagai jenis partikel, seperti lateks, sel darah merah atau
gelatin, sedangkan imunokhromatografi umumnya menggunakan koloid emas sebagai petanda.
Pada EIA dipakai suatu enzim sebagai petanda yang akan menimbulkan perubahan warna pada
suatu substrat yang spesifik.

Strategi Pemeriksaan: Pemeriksaan HIV didasarkan pada strategi pemeriksaan yang


direkomendasi oleh WHO (tabel 2).

Strategi I
Prinsip: serum atau plasma diperiksa dengan satu jenis reagensia Enzyme Immunoassay (EIA)
atau rapid test.
Serum yang reaktif dianggap mengandung antiHIV, sedangkan serum yang nonreaktif
dianggap tidak mengandung antiHIV. Strategi ini dapat dipakai untuk menyaring darah donor
dan produk darah yang lain, transplantasi, serta surveilans pada daerah dengan perkiraan
prevalensi infeksi HIV > 10%. Bila tujuan pemeriksaan adalah untuk keamanan transfusi
darah, reagensia yang dipilih sebaiknya dapat mendeteksi baik HIV-1 maupun HIV-2 dan
memiliki sensitivitas yang tertinggi (sensitivitas dan spesifisitas 99%).

Strategi II
Pemeriksaan dengan algoritma strategi II dilakukan untuk kegiatan surveilans.
Prinsip: serum atau plasma diperiksa untuk pertama kali dengan reagensia EIA atau rapid test.
Bahan pemeriksaan yang memberikan hasil reaktif pada pemeriksaan pertama
dilanjutkan dengan reagensia EIA atau rapid test kedua yang memiliki asal antigen dan/atau
prinsip tes yang berbeda dari yang dipakai pada pemeriksaan pertama.
Bahan pemeriksaan yang memberikan hasil reaktif pada kedua pemeriksaan tersebut
dianggap mengandung antiHIV. Bahan pemeriksaan yang memberikan hasil yang nonreaktif
pada pemeriksaan kedua harus diperiksa ulang dengan kedua reagensia yang sama.
Hasil pemeriksaan ulang yang sesuai antara reagensia pertama dan kedua menunjukkan
hasil yang reaktif atau nonreaktif, namun bila setelah pengulangan tetap diperoleh hasil yang
tidak sama antara kedua reagensia tersebut, maka hasil pemeriksaan dilaporkan sebagai
indeterminate.
Strategi III
Sama seperti pada strategi II, semua bahan pemeriksaan diperiksa pertama kali dengan
satu reagensia EIA atau rapid test, dan yang memberikan hasil reaktif dilanjutkan dengan
reagensia yang berbeda.
Bahan pemeriksaan yang memberikan hasil nonreaktif pada pemeriksaan pertama
dianggap tidak mengandung antiHIV. Bahan pemeriksaan yang memberikan hasil reaktif pada
pemeriksaan pertama dan nonreaktif pada pemeriksaan kedua harus diperiksa ulang dengan
kedua reagensia yang sama dengan sampel yang sama.
Pada strategi III diperlukan pemeriksaan ketiga bila hasil pemeriksaan kedua reaktif
atau pada pemeriksaan ulang dengan reagensia pertama tetap reaktif dan pemeriksaan dengan
reagensia kedua negatif. Ketiga reagensia yang dipakai pada strategi ini harus memiliki asal
antigen dan/atau prinsip tes yang berbeda.
Bahan pemeriksaan yang memberikan hasil reaktif pada ketiga pemeriksaan dianggap
mengandung antiHIV. Bahan pemeriksaan yang memberikan hasil yang tidak sesuai pada
pemeriksaan kedua, atau reaktif pada pemeriksaan pertama dan kedua namun nonreaktif pada
yang ketiga dilaporkan sebagai indeterminate.
Bahan pemeriksaan yang reaktif pada pemeriksaan pertama serta nonreaktif pada
pemeriksaan kedua dan ketiga dilaporkan indeterminate bila individu yang diperiksa
mempunyai risiko terpapar HIV (risiko tinggi) dan dilaporkan sebagai nonreaktif bila individu
yang diperiksa tidak mempunyai risiko terpapar HIV.

Strategi Pemeriksaan
a. Strategi I
Hanya dilakukan satu kali pemeriksaan. Bila hasil pemeriksaan reaktif,
maka dianggap sebagai kasus terinfeksi HIV dan bila hasil pemeriksaan
nonreaktif dianggap tidak terinfeksi HIV. Reagensia yang dipakai untuk
pemeriksaan pada strategi ini harus memiliki sensitivitas yang tinggi
(>99%). Dilakukan kalau prevalensi lebih dari 30%.
b. Strategi II
Menggunakan dua kali pemeriksaan jika serum pada pemeriksaan
pertama memberikan hasil reaktif. Jika pada pemeriksaan pertama hasilnya
nonreaktif, maka dilaporkan hasilnya negatif. Pemeriksaan pertama
menggunakan reagensia dengan sensitivitas tertinggi dan pada pemeriksaan
kedua dipakai reagensia yang lebih spesifik serta berbeda jenis antigen atau
tekniknya dari yang dipakai pada pemeriksaan pertama. Bila hasil
pemeriksaan kedua juga reaktif, maka disimpulkan sebagai terinfeksi HIV.
Namun jika hasil pemeriksaan yang kedua adalah nonreaktif, maka
pemeriksaan harus diulang dengan kedua metode. Bila hasil tetap tidak
sama, maka dilaporkan sebagai indeterminate. Dilakukan kalau prevalensi
kurang dari 30 sampai kurang dari 10%.
c. Strategi III
Menggunakan tiga kali pemeriksaan. Bila hasil pemeriksaan pertama,
kedua, dan ketiga reaktif, maka dapat disimpulkan bahwa pasien tersebut
memang terinfeksi HIV. Bila hasil pemeriksaan tidak sama, misalnya hasil
tes pertama reaktif, tes kedua reaktif, dan tes ketiga nonreaktif, atau tes
pertama reaktif, sementara tes kedua dan ketiga nonreaktif, maka keadaan
ini disebut sebagai equivokal atau indeterminate bila pasien yang diperiksa
memiliki riwayat pemaparan terhadap HIV atau berisiko tinggi tertular
HIV. Sedangkan bila hasil seperti yang disebut sebelumnya terjadi pada
orang tanpa riwayat pemaparan terhadap HIV atau tidak berisiko tertular
HIV, maka hasil pemeriksaan dilaporkan sebagai nonreaktif. Perlu
diperhatikan juga bahwa pada pemeriksaan ketiga dipakai reagensia yang
berbeda asal antigen atau tekniknya, serta memiliki spesifisitas yang lebih
tinggi.
Jika pemeriksaan penyaring menyatakan hasil yang reaktif,
pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi untuk
memastikan adanya infeksi oleh HIV, yang paling sering dipakai saat ini
adalah teknik Western Blot (WB).
Seseorang yang ingin menjalani tes HIV untuk keperluan diagnosis harus
mendapatkan konseling pra tes. Hal ini dilakukan agar ia bisa mendapat
informasi yang sejelas-jelasnya mengenai infeksi HIV/AIDS sehingga
dapat mengambil keputusan yang terbaik untuk dirinya serta lebih siap
menerima apapun hasil tesnya nanti. Untuk keperluan survei tidak
diperlukan konseling pra tes karena orang yang dites tidak akan diberi tahu
hasil tesnya.
Untuk memberi tahu hasil tes juga diperlukan konseling pasca tes, baik
hasil tes positif maupun negatif. Jika hasilnya positif akan diberikan
informasi mengenai pengobatan untuk memperpanjang masa tanpa gejala
serta cara pencegahan penularan. Jika hasilnya negatif, konseling tetap
perlu dilakukan untuk memberikan informasi bagaimana mempertahankan
perilaku yang tidak berisiko. Seseorang dinyatakan terinfeksi HIV apabila
dengan pemeriksaan laboratorium terbukti terinfeksi HIV, baik dengan
metode pemeriksaan antibodi atau pemeriksaan untuk mendeteksi adanya
virus dalam tubuh. Dilakukan kalau prevalensi kurang dari 10%.

Screening HIV
Menurut UNAIDS/WHO terdapat empat jenis model skrining HIV, antara lain :
1. Pemeriksaan dan konseling HIV (voluntary counselling and testing)
Pemeriksaan HIV yang didorong oleh kemauan klien untuk mengetahui status HIV-
nya ini masih dianggap penting bagi keberhasilan program pencegahan HIV.
Konseling pra tes dapat dilakukan secara individu maupun berkelompok.
UNAIDS/WHO mendukung penggunaan uji cepat sehingga hasilnya dapat diketahui
segera dan dapat ditindaklanjuti langsung dengan konseling pasca tes baik untuk yang
HIV positif maupun HIV negatif.
2. Pemeriksaan HIV diagnostik, diindikasikan pada pasien dengan tanda dan gejala yang
sejalan dengan penyakit-penyakit yang terkait HIV atau AIDS, termasuk pemeriksaan
terhadap tuberkulosis sebagai pemeriksaan rutin. Pada pemeriksaan ini, pasien
sebaiknya diberikan informasi yang cukup sehingga pasien dapat memutuskan apakah
setuju untuk dilakukan pemeriksaan HIV atau tidak. Untuk keadaan di mana pasien
tidak dalam posisi memberikan persetujuan, seperti pasien psikiatrik atau pasien yang
tidak sadar, pemeriksaan dapat dilakukan bila hasilnya bermanfaat bagi pasien. Jika
ini terjadi, harus ada usaha untuk mengkomunikasikan hasil pemeriksaan kepada
pasien dan memberitahukan hasil tersebut dengan konseling.
3. Pemeriksaan HIV dengan inisiatif dari tenaga kesehatan (Provider-Initiated Testing
and Counseling -PITC) dilakukan pada pasien yang:
Sedang menjalani pemeriksaan terhadap penyakit menular seksual (PMS) di klinik
umum atau khusus infeksi menular seksual (IMS).
Sedang hamil, untuk mengatur pemberian antiretroviral untuk mencegah transmisi
dari ibu ke bayi.
Dijumpai di klinik umum atau puskesmas di daerah dengan prevalens HIV yang
tinggi dan tersedia obat antiretroviral, namun tidak memiliki gejala.
Dalam model ini, dibutuhkan mekanisme rujukan yang jelas untuk mendukung sistem
perujukan ke pelayanan konseling pascates HIV bagi semua pasien yang diperiksa,
yang menekankan pada pencegahan dan pemberian dukungan medis serta psikososial
bagi pasien yang hasil tesnya positif HIV. Pada pemeriksaan jenis ini, juga dilakukan
konseling sebelum pemeriksaan, hanya saja tidak penuh seperti pada pemeriksaan jenis
VCT di atas. Informasi minimal yang harus diketahui pasien pada saat melakukan
informed consent adalah:
- Manfaat pemeriksaan tersebut secara klinis dan untuk pencegahan.
- Hak untuk menolak.
- Pelayanan tindak lanjut yang ditawarkan.
- Bila hasilnya positif, diberikan pemahaman untuk mengantisipasi keharusan untuk
menginformasikan kepada siapa saja yang berisiko yang mungkin tidak sadar bahwa
mereka terpajan dengan HIV.

Pada pemeriksaan yang sifatnya ditawarkan oleh tenaga medis, misalnya untuk tujuan
diagnosis, atau untuk mengetahui status HIV-nya. Selain itu tenaga medis juga dapat
menawarkan pemeriksaan HIV kepada wanita hamil untuk memberikan profilaksis
antiretroviral untuk mencegah transmisi HIV dari ibu ke bayi. Konseling pada situasi
ini harus diperbanyak agar bisa sedikit memaksa ibu untuk mengikuti program
PMTCM. Meski demikian, dalam semua kondisi tersebut, pasien tetap memiliki hak
untuk menolak.

4. Skrining HIV wajib


UNAIDS/WHO mendukung diberlakukannya skrining wajib bagi HIV dan penyakit yang
dapat ditransmisikan lewat darah bagi semua darah yang ditujukan untuk transfusi atau
pengolahan produk darah lainnya. Skrining wajib dibutuhkan sebelum dilakukannya prosedur-
prosedur yang berkaitan dengan pemindahan cairan atau jaringan tubuh, seperti inseminasi
buatan, graft kornea, dan transplantasi organ.
Uji Konfirmasi HIV
Pemeriksaan Anti-HIV konfirmasi merupakan pemeriksaan tahap kedua setelah uji saring.
Pemeriksaan ini diperlukan ketika hasil uji saring positif atau positif palsu (hasil uji saring
menyatakan positif, namun sebenarnya tidak terinfeksi HIV). Bila pada pemeriksaan ini
menunjukkan hasil positif, maka hampir dapat dipastikan bahwa seorang individu terinfeksi HIV.

IV. Pencegahan dan Tindakan Promotif Infeksi HIV/AIDS

Anjuran dari badan kesehatan dan WHO:


1. Pendidikan kesehatan reproduksi untuk remaja dan dewasa muda.
2. Program penyuluhan sebaya (peer group education) untuk berbagai kelompok sasaran.
3. Program kerjasama dengan media cetak dan elektronik.
4. Paket pencegahan komprehensif untuk pengguna narkotika, termasuk program pengadaan
jarum suntik steril.
5. Program pendidikan agama.
6. Program layanan pengobatan infeksi menular seksual (IMS).
7. Program promosi kondom di lokalisasi pelacuran dan panti pijat.
8. Pelatihan ketrampilan hidup.
9. Program pengadaan tempat-tempat untuk tes HIV dan konseling.
10. Dukungan untuk anak jalanan dan pengentasanprostitusi anak.
11. Integrasi program pencegahan dengan program pengobatan, perawatn, dan dukungan untuk
ODHA.
12. Program pencegahan penularan HIV dari ibu ke anak dengan pemberian obat ARV.

Bagi ibu yang terinfeksi HIV, agar tidak tertular ke bayi:


1. Mengambil pengobatan antiviral ketika trimester I, karena dapat menghambat transmis
virus dari ibu ke bayi.
2. Ketika melahirkan, obat antiviral diberikan ke ibu dan anak untuk mengurangi resiko
transmisi HIV saat partus.
3. Seorang ibu akan direkomendasikan untuk memberikan susu formula, karena virus HIV
dapat di transmisikan melalui ASI.
(The Nermours Foundation, 1995)
Menurut The National Womens Health Information Center (2009), tiga cara untuk pencegahan
HIV/AIDS secara seksual adalah abstinence (A), artinya tidak melakukan hubungan seks, be
faithful (B), artinya dalam hubungan seksual setia pada satu pasang yang juga setia padanya,
penggunaan kondom (C) pada setiap melakukan hubungan seks. (D) jauhi narkoba. (E)
Equipment/Education.

Bagi pengguna narkoba harus mengambil langkah-langkah tertentu untuk mengurangi risiko
tertular HIV, yaitu beralih dari NAPZA yang harus disuntikkan ke yang dapat diminum secara
oral, jangan gunakan atau secara bergantian menggunakan semprit, air atau alat untuk
menyiapkan NAPZA, selalu gunakan jarum suntik atau semprit baru yang sekali pakai atau
jarum yang secara tepat disterilkan sebelum digunakan kembali, ketika mempersiapkan
NAPZA, gunakan air yang steril atau air bersih dan gunakan kapas pembersih beralkohol untuk
bersihkan tempat suntik sebelum disuntik

(Watters dan Guydish, 1994).


Para pekerja kesehatan hendaknya mengikuti Universal Precaution:
1. Penanganan dan pembuangan barang-barang tajam.
2. Mencuci tangan dengan sabun dan air sebelum dan sesudah dilakukannya semua
prosedur.
3. Menggunakan alat pelindung seperti jubbah, sarung tangan, celemek, masker, dan
kacamata pelindung saat harus bersentuhan langsung dengan darah dan cairan tubuh
lainnya.
4. Melakukan desinfeksi instrument kerja dan peralatan yang terkontaminasi.
5. Penanganan sprei kotor/ bernoda secara tepat.
(Komisi Penanggulangan AIDS, 2010-2011)

V. Dilema Etik

V.1 Kewajiban Dokter dalam KODEKI untuk Penanganan Kasus HIV/AIDS

V.2 Etika Dokter dalam Penanganan Kasus yang dapat Menimbulkan Stigmatisasi

ETIKA MENGHADAPI ODHA


Stigma dan diskriminasi, dibawah slogan "Live and Let Live" (Hidup dan Tetap
Tegar), telah ditetapkan menjadi tema Kampanye AIDS Dunia di tahun 2002-2003. Stigma
sering kali menyebabkan terjadinya diskriminasi dan akan mendorong munculnya
pelanggaran HAM bagi orang dengan HIV/AIDS dan keluarganya. Ini karena mengingat
HIV/AIDS sering diasosiasikan dengan seks, penggunaan narkoba dan kematian, banyak
orang yang tidak peduli, tidak menerima, dan takut terhadap penyakit ini di hampir seluruh
lapisan masyarakat. Stigma dan diskriminasi memperparah epidemi HIV/AIDS (Kesrepro,
2007).
Diskriminasi terjadi ketika pandangan pandangan negatif mendorong orang atau
lembaga untuk memperlakukan seseorang secara tidak adil yang didasarkan pada
prasangka mereka akan status HIV seseorang. Contoh contoh diskriminasi meliputi para
staf rumah sakit atau penjara yang menolak memberikan pelayanan kesehatan kepada
ODHA atasan yang memberhentikan pegawainya berdasarkan status atau prasangka akan
status HIV mereka atau keluarga/masyarakat yang menolak mereka yang hidup, atau
dipercayai hidup, dengan HIV/AIDS. Tindakan diskriminasi semacam itu adalah sebuah
bentuk pelanggaran hak asasi manusia (Kesrepro, 2007)

KODEKI
Pasal 8
Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan kepentingan
masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh
(promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-sosial, serta berusaha
menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-benarnya.

KEWAJIBAN DOKTER TERHADAP PASIEN


Pasal 10
Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan
keterampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak mampu melakukan suatu
pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien, ia wajib merujuk pasien
kepada dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.
Pasal 12
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien,
bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
Pasal 13
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas perikemanusiaan,
kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.

Kaidah Dasar Bioetik


- Prinsip Beneficence, Tindakan untuk kebaikan pasien. Memilih lebih banyak
manfaatnya daripada buruknya.
- Prinsip Non-maleficence, Melarang tindakan yang memperburuk kedaan pasien.
Primum non nocere atau above all do no harm.
- Prinsip Justice, mementingkan fairness dan keadilan dalam bersikap maupun dalam
mendistribusikan sumber daya (distributiv justice)
- Prinsip Autonomy, menghormati hak-hak pasien, hak otonomi pasien. Melahirkan
informed consent

UUD yang Berhubungan


Pasal 30
Pemberantasan penyakit menular dilaksanakan dengan upaya penyuluhan, penyelidikan,
pengebalan, menghilangkan sumber dan perantara penyakit, tindakan karantina, dan upaya
lain yang diperlukan.
Pasal 31
Pemberantasan penyakit menular yang dapat menimbulkan wabah dan penyakit karantina
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku. Kewajiban etik yang
utama dari professional MIK maupun tenaga kesehatan adalah melindungi privasi dan
kerahasiaan pasien dan melindungi hak-hak pasien dengan menjaga kerahasiaan rekam
medis pasien HIV AIDS. Kaidah turunan moral bagi tenaga kesehatan adalah privacy,
confidentiality, fidelity dan veracity. Privacy berarti menghormati hak privacy pasien,
confidentialty berarti kewajiban menyimpan informasi kesehatan sebagai rahasia, fidelity
berarti kesetiaan, dan veracity berarti menjunjung tinggi kebenaran dan kejujuran.
Pengelolaan informasi pasien HIV AIDS di tempat kerja juga diatur Menurut Kepmenaker
No.KEP. 68/MEN/IV/2004 tentang pencegahan dan penanggulangan HIV AIDS :
Pasal 6
Informasi yang diperoleh dari kegiatan konseling, tes HIV, pengobatan, perawatan dan
kegiatan lainnya harus dijaga kerahasiaannya seperti yang berlaku bagi data rekam medis.
Dalam kaitannya aspek hukum kerahasiaan pasien HIV AIDS , kode etik administrator
perekammedis dan informasi kesehatan adalah :
Selalu menyimpan dan menjaga data rekam medis serta informasi yang terkandung di
dalamnya sesuai dengan ketentuan prosedur manajemen, ketetapan pimpinan institusi dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selalu menjunjung tinggi doktrin kerahasiaan
dan hak atas informasi pasien yang terkait dengan identittas individu atau sosial.
Administrator informasi kesehtan wajib mencegah terjadinya tindakan yang menyimpang
dari kode etik profesi. Perbuatan / tindakan yang bertentangan dengan kode etik adalah
menyebarluaskan informasiyang terkandung dalam laporan rekam medis HIV AIDS yang
dapat merusak citra profesi rekam administrator informasi kesehatan. Disisi lain rumah sakit
sebagai institusi tempatdilaksanakannya pelayanan medis, memiliki Kode Etik Rumah Sakit
( Kodersi ) dalam kaitannya manajemen informasi kesehatan :
Pasal 4
Rumah sakit harus memelihara semua catatan / arsip, baik medik maupun non medik secara
baik.
Pasal 9
Rumah sakit harus mengindahkan hak-hak asasi pasien
Pasal 10
Rumah sakit harus memberikan penjelasan apa yang diderita pasien dan tindakan apa yang
hendak dilakukan.
Pasal 11
Rumah sakit harus meminta persetujuan pasien ( informed consent ) sebelum melakukan
tindakan medik.
Tujuan dari rahasia kedokteran dalam kasus HIV AIDS, selain untuk kepentingan jabatan
adalahuntuk menghindarkan pasien dari hal-hal yang merugikan karena terbongkarnya
statuskesehatan. Menurut Declaration on the Rights of the Patients yang dikeluarkan oleh
WMA memuat hak pasien terhadap kerahasiaan sebagai berikut:
Semua informasi yang teridentifikasi mengenai status kesehatan pasien, kondisi
medis,diagnosis, prognosis, dan tindakan medis serta semua informasi lain yang sifatnya
pribadi, harus dijaga kerahasiaannya, bahkan setelah kematian. Perkecualian untuk kerabat
pasien mungkin mempunyai hak untuk mendapatkan informasi yang dapat memberitahukan
mengenai resiko kesehatan mereka.

VI. Hukum dan Etika Islam Terkait dengan Penderita HIV/AIDS

Solusi Preventif
Transmisi utama (media penularan yang utama) penyakit HIV/AIDS adalah seks bebas.
Oleh karena itu pencegahannya harus dengan menghilangkan praktik seks bebas tersebut. Hal
ini meliputi media-media yang merangsang (pornografi-pornoaksi), tempat-tempat prostitusi,
club-club malam, tempat maksiat dan pelaku maksiat.
- Islam telah mengharamkan laki-laki dan perempuan yang bukan muhrim berkholwat
(berduaan/pacaran).
HR. Baihaqi
Sabda Rasulullah SAW: Jangan sekali-kali seorang lelaki dengan perempuan menyepi
(bukan muhrim) karena sesungguhnya syaithan ada sebagai pihak ketiga
- Islam mengharamkan perzinahan dan segala yang terkait dengannya.
QS. Al-Isra [17]:32
Janganlah kalian mendekati zina karenasesungguhnya zina itu perbuatan yang keji dan
seburuk-buruknya jalan
- Islam mengharamkan perilaku seks menyimpang, antara lain LGBT.
QS. Al-Araf: 80-81
Dan (kami juga telah mengutus) Luth ( kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia
berkata kepada mereka : Mengapa kamu mengerjakan perbuatan kotor itu, yang belum
pernah dikerjakan oleh seorangpun manusia (didunia ini) sebelummu? Sesungguhnya
kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu ( kepada mereka ), bukan kepada
wanita, Bahkan kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.
- Islam melarang pria-wanita melakukan perbuatan-perbuatan yang membahayakan
akhlak dan merusak masyarakat, termasuk pornografi dan pornoaksi. Islam melarang
seorang pria dan wanita melakukan kegiatan dan pekerjaan yang menonjolkan
sensualitasnya. Rafi ibnu Rifaa pernah bertutur demikian: Nabi Saw telah melarang
kami dari pekerjaan seorang pelayan wanita kecuali yang dikerjakan oleh kedua
tangannya. Beliau bersabda Seperti inilah jari-jemarinya yang kasar sebagaimana
halnya tukang roti, pemintal, atau pengukir.
- Islam mengharamkan khamr dan seluruh benda yang memabukkan serta mengharamkan
narkoba. Narkoba termasuk sesuatu yang dapat menghilangkan akal dan menjadi pintu
gerbang dari segala kemaksiatan termasuk seks bebas. Sementara seks bebas inilah media
utama penyebab virus HIV/AIDS .
HR. Bukhori Muslim
Setiap yang menghilangkan akal itu adalah haram.
HR. Ibnu Majah
Tidak boleh menimpakan bahaya pada diri sendiri dan kepada orang lain.
- Amaruf nahi munkar yang wajib dilakukan oleh individu danmasyarakat.

Solusi Kuratif
Orang yang terkena virus HIV/AIDS, maka tugas negara untuk melakukan beberapa hal
sebagai berikut:
1. Orang yang tertular HIV/AIDS karena berzina maka jika dia sudah menikah dihukum
rajam. Sedangkan yang belum menikah dicambuk 100 kali dan selanjutnya dikarantina.
2. Orang yang tertular HIV/AIDS karena Homoseks maka dihukum mati.
3. Orang yang tertular HIV/AIDS karena memakai Narkoba maka dicambuk selanjutnya
di karantina.
4. Orang yang tertular HIV/AIDS karena efek spiral (tertular secara tidak langsung)
misalnya karena transfusi darah, tertular dari suaminya dan sebagainya, maka orang
tersebut di karantina.
Karantina dalam arti memastikan tidak terbuka peluang untuk terjadinya penularan harus
dilakukan, terutama kepada pasien terinfeksi fase AIDS. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah
Saw yang artinya:
HR. Bukhari
Sekali-kali janganlah orang yang berpenyakit menularkan kepada yang sehat
HR. Ahmad, Bukhari, Muslim, dan Nasai dari Abdurrahman bin Auf
Apabila kamu mendengar ada wabah di suatu negeri, maka janganlah kamu memasukinya dan
apabila wabah itu berjangkit sedangkan kamu berada dalam negeri itu , janganlah kamu keluar
melarikan diri.
Mengkarantina agar penyakit tersebut tidak menyebar luas, perlu memperhatikan hal-hal
berikut:
a) Selama karantina seluruh hak dan kebutuhan manusiawinya tidak diabaikan
b) Diberi pengobatan gratis
c) Berinteraksi dengan orang orang tertentu di bawah pengawasan dan jauh dari media
serta aktifitas yang mampu menularkan
d) Dilakukan upaya pendidikan yang benar tentang HIV-AIDS kepada semua kalangan
disertai sosialisasi sikap yang diharapkan dari masing-masing pihak/kalangan
(komunitas ODHA/OHIDA, komunitas resiko tinggi, komunitas rentan)
e) Dilakukan pendidikan disertai aktivitas penegakan hukum kepada ODHA yang
melakukan tindakan yang membahayakan (beresiko menularkan pada) orang lain
f) Pembinaan rohani, merehabilitasi mental (keyakinan, ketawakalan, kesabaran)
sehingga mempecepat kesembuhan dan memperkuat ketaqwaan. Telah diakui bahwa
kesehatanm mental mengantarkan pada 50% kesembuhan.
g) Dilakukan pemberdayaan sesuai kapasitas. Di sisi lain, jika selama ini penyakit seperti
HIV/AIDS belum ditemukan obatnya maka negara wajib menggerakkan dan
memberikan fasilitas kepada para ilmuwan dan ahli kesehatan agar secepatnya bisa
menemukan obatnya.

Bagi seorang yang sudah terlanjur tertular atau mengidap virus HIV/AIDS, ajaran Islam
memberikan tuntunan umum sebagaimana dianjurkan pada mereka yang sedang menunggu
saat-saat kematian, antara lain :
a. Bertaubat
Segera bertaubat dengan bentuk taubat nasucha (tobat yang sungguh-sungguh), dengan
cara menyucikan diri dari kekhilafan, kesalahan dan dosa yang pernah dilakukannya,
baik penularannya akibat dosa-dosanya atau tertulari bukan akibat kesalahannya,
sebagaimana dianjurkan dalam ayat al-Quran :
Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada allah, hai orang-orang yang beriman
supaya kamu beruntung (QS. An-Nur:31)

b. Tawakkal
Terhadap pasien AIDS yang penularannya bukan karena perzinaan, misalnya melalui
jarum suntik, transfusi darah atau pun yang lainnya, hendaknya bersabar dan bertawakkal
kepada Allah dan menerimanya sebagai cobaan, musibah, ujian atas keimanannya. Sikap
demikian dianjurkan Allah dalam firman-Nya, antara lain :
(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, Inna
lillahi wa inna ilaihi rajiun Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna
dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat
petunjuk (QS. Al-Baqarah:156-157)

You might also like