Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1
merupakan salah satu penyebab keracunan paling sering di Indonesia.2,5 Pada laporan
ini, akan dibahas mengenai intoksikasi organofosfat beserta penanganannya.
2
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
II. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Muntah-muntah lebih dari 10 kali
3
tidak sadar , Muntah darah (-). Pasien juga mengeluhkan ludahnya terasa banyak. BAK
dan BAB tidak ada kelainan.
Tanda Vital
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Suhu : 36.8C
Respirasi : 20 kali/menit
Nadi : 96 kali/menit
Status Generalis
Kepala : Normochepali
4
Mata : Pupil bulat isokor, konjungtiva anemis -/-, sklera
ikterik -/-
Hidung : Simetris, pernapasan cuping hidung (-).
Mulut : sietris, sianosis (-), tonsil T1-T1 tenang, arkus faring
simetris, hiperemis (-), oral hygiene baik
Telinga : Normotia, liang telinga lapang, serumen (-), sekret(-)
Leher : KGB tidak teraba membesar, kelenjar tiroid tidak
teraba membesar, peningkatan JVP (-), deviasi trakea
(-)
Toraks
Paru
- Inspeksi : Gerakan dada simetris kanan dan kiri, retraksi (-)
- Palpasi : Gerak napas simetris, Vocal fremitus normal
- Perkusi : Sonor pada kedua hemitoraks
- Auskultasi : Suara napas vesikuler pada kedua lapang paru, ronki
-/-, wheezing -/-
Jantung
- Inspeksi : Pulsasi ictus cordis tidak terlihat
- Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V midklavikula line sinistra
- Perkusi : Batas paru dan jantung normal
- Auskultasi : Bunyi jantung 1 dan 2 normal reguler, splitting (-), S3
(-), S4 (-), murmur (-)
Abdomen
Inspeksi : Tampak datar, Distensi (+)
Auskultasi : Bising usus (+) meningkat 30x/menit
Perkusi : Timpani pada seluruh kuadran abdomen, shifting
dullness (-)
Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (+), nyeri lepas (-), hepar dan
lien tidak teraba membesar.
5
Ekstremitas : Akral hangat (+), edema (-), CRT < 2 detik
V. RESUME
VI. DIAGNOSIS
Diagnosis Kerja : Intoksikasi Organofosfat ( Pestisida )
6
VII. PENATALAKSANAAN
Nonmedikamentosa
- Tirah baring
- Pasang NGT
- Bilas Lambung dengan Nacl 0,9 % sampai jernih
- Edukasi : Pasien dipuasakan
Medikamentosa
- IVFD Nacl 0,9 % 20 tpm
- Inj. Omeprazol 1 amp (I.V.)
- Inj. Ranitidin 1 amp (I.V)
- Suckralfat Syr 4x10cc
IX. PROGNOSIS
- Ad vitam : Ad bonam
- Ad functionam : Ad bonam
- Ad sanationam : Dubia ad bonam
7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Racun adalah zat atau bahan yang bila masuk ke dalam tubuh melalui mulut,
hidung, suntikan dan absorpsi melalui kulit atau digunakan terhadap organisme hidup
dengan dosis relatif kecil akan merusak kehidupan atau mengganggu dengan serius
fungsi hati atau lebih organ atau jaringan(Mc Graw-Hill Nursing Dictionary).
Intoksikasi atau keracunan adalah masuknya zat atau senyawa kimia dalam
tubuh manusia yang menimbulkan efek merugikan pada yang menggunakannya.
Keracunan adalah keadaan sakit yang ditimbulkan oleh racun. Bahan racun yang
masuk ke dalam tubuh dapat langsung mengganggu organ tubuh tertentu, seperti paru-
paru, hati, ginjal dan lainnya. Tetapi zat tersebut dapat pula terakumulasi dalam organ
tubuh, tergantung sifatnya pada tulang, hati, darah atau organ lainnya sehingga akan
menghasilkan efek yang tidak diinginkan dalam jangka panjang.
Organofosfat adalah insektisida yang paling toksik di antara jenis pestisida
lainnya dan sering menyebabkan keracunan pada manusia.Bila tertelan, meskipun
hanya dalam jumlah sedikit, dapat menyebabkan kematian pada manusia.Organofosfat
menghambat aksi pseudokholinesterase dalam plasma dan kholinesterase dalam sel
darah merah dan pada sinapsisnya. Enzim tersebut secara normal menghidrolisis
acetylcholine menjadi asetat dan kholin. Pada saat enzim dihambat, mengakibatkan
jumlah acetylcholine meningkat dan berikatan dengan reseptor muskarinik dan
nikotinik pada system saraf pusat dan perifer. Hal tersebut menyebabkan timbulnya
gejala keracunan yang berpengaruh pada seluruh bagian tubuh.
Walaupun memiliki sifat toksisitas yang tinggi, tetapi penggunaan organofosfat
untuk pengobatan pada manusia tetap dilakukan berbagai studi untuk mengambil efek
8
terapeutik dari organofosfat (Lindell, 2003).Pada sekitar tahun 1930 sintesis
penghambat kolineterase pertama kali dipakai untuk penyakit gangguan otonom pada
otot rangka pada pengobatan Parkinsonisme. Studi kemudian dilanjutkan pada takrin
yang merupakan penghambat kolineterase pertama pada pengobatan penyakit
Alzheimerdan dilepaskan pada pengobatan klinik pada tahun 1993 (Dyro, 2006).
Gugus X pada struktur di atas disebut leaving group yang tergantikan saat
organofosfat menfosforilasi asetilkholin serta gugus ini paling sensitif terhidrolisis.
Sedangkan gugus R1 dan R2 umumnya adalah golongan alkoksi, misalnya OCH3 atau
OC2H5. Organofosfat dapat digolongkan menjadi beberapa golongan antara lain, fosfat,
fosforothioat, fosforamidat, fosfonat, dan sebagainya.
9
Pestisida yang termasuk dalam golongan organofosfat antara lain :
1. Asefat
Diperkenalkan pada tahun 1972. Asefat berspektrum luas untuk mengendalikan
hama-hama penusuk-penghisap dan pengunyah seperti aphids, thrips, larva
Lepidoptera (termasuk ulat tanah), penggorok daun dan wereng. LD50 (tikus) sekitar
1.030 1.147 mg/kg; LD50 dermal (kelinci) > 10.000 mg/kg menyebabkan iritasi
ringan pada kulit (kelinci)
2. Kadusafos
Merupakan insektisida dan nematisida racun kontak dan racun perut. LD50
(tikus) sekitar 37,1 mg/kg; LD50 dermal (kelinci) 24,4 mg/kg tidak menyebabkan
iritasi kulit dan tidak menyebabkan iritasi pada mata.
3. Klorfenvinfos
Diumumkan pada tahun 1962. Insektisida ini bersifat nonsistemik serta bekerja
sebagai racun kontak dan racun perut dengan efek residu yang panjang. LD50 (tikus)
sekitar 10 mg/kg; LD50 dermal (tikus) 31 108 mg/kg.
4. Klorpirifos
Merupakan insektisida non-sistemik, diperkenalkan tahun 1965, serta bekerja
sebagai racun kontak, racun lambung, dan inhalasi. LD50 oral (tikus) sebesar 135
163 mg/kg; LD50 dermal (tikus) > 2.000 mg/kg berat badan.
5. Kumafos
Ditemukan pada tahun 1952. Insektisida ini bersifat non-sistemik untuk
mengendalikan serangga hama dari ordo Diptera. LD50 oral (tikus) 16 41 mg/kg;
LD50 dermal (tikus) > 860 mg/kg.
6. Diazinon
10
Pertama kali diumumkan pada tahun 1953. Diazinon merupakan insektisida dan
akarisida non-sistemik yang bekerja sebagai racun kontak, racun perut, dan efek
inhalasi. Diazinon juga diaplikasikan sebagai bahan perawatan benih (seed treatment).
LD50 oral (tikus) sebesar 1.250 mg/kg.
7. Diklorvos (DDVP)
Dipublikasikan pertama kali pada tahun 1955. Insektisida dan akarisida ini
bersifat non-sistemik, bekerja sebagai racun kontak, racun perut, dan racun inhalasi.
Diklorvos memiliki efek knockdown yang sangat cepat dan digunakan di bidang-
bidang pertanian, kesehatan masyarakat, serta insektisida rumah tangga.LD50 (tikus)
sekitar 50 mg/kg; LD50 dermal (tikus) 90 mg/kg.
8. Malation
Diperkenalkan pada tahun 1952. Malation merupakan pro-insektisida yang
dalam proses metabolisme serangga akan diubah menjadi senyawa lain yang beracun
bagi serangga. Insektisida dan akarisida non-sistemik ini bertindak sebagai racun
kontak dan racun lambung, serta memiliki efek sebagai racun inhalasi. Malation juga
digunakan dalam bidang kesehatan masyarakat untuk mengendalikan vektor penyakit.
LD50 oral (tikus) 1.375 2.800 mg/lg; LD50 dermal (kelinci) 4.100 mg/kg.
9. Paration
Ditemukan pada tahun 1946 dan merupakan insektisida pertama yang
digunakan di lapangan pertanian dan disintesis berdasarkan lead-structure yang
disarankan oleh G. Schrader. Paration merupakan insektisida dan akarisida, memiliki
mode of action sebagai racun saraf yang menghambat kolinesterase, bersifat non-
sistemik, serta bekerja sebagai racun kontak, racun lambung, dan racun inhalasi.
Paration termasuk insektisida yang sangat beracun, LD50 (tikus) sekitar 2 mg/kg;
LD50 dermal (tikus) 71 mg/kg.
10. Profenofos
Ditemukan pada tahun 1975. Insektisida dan akarisida non-sistemik ini
memiliki aktivitas translaminar dan ovisida. Profenofos digunakan untuk
11
mengendalikan berbagai serangga hama (terutama Lepidoptera) dan tungau. LD50
(tikus) sekitar 358 mg/kg; LD50 dermal (kelinci) 472 mg/kg.
11. Triazofos
Ditemukan pada tahun 1973. Triazofos merupakan insektisida, akarisida, dan
nematisida berspektrum luas yang bekerja sebagai racun kontak dan racun perut.
Triazofos bersifat non-sistemik, tetapi bisa menembus jauh ke dalam jaringan tanaman
(translaminar) dan digunakan untuk mengendalikan berbagai hama seperti ulat dan
tungau. LD50 (tikus) sekitar 57 59 mg/kg; LD50 dermal (kelinci) > 2.000 mg/kg.
12
o Bawang putih : Arsen, fosfor, thalium, organofosfat
o Alkohol : Ethanol, methanol
o Minyak : Minyak tanah atau destilat minyak
2. KULIT:
o Kemerahan : Co, cyanida, asam borax, anticholinergik
o Berkeringat : Amfetamin, LSD, organofosfat, cocain, barbiturate
o Kering : Anticholinergik
o Bulla : Barbiturat, carbonmonoksida
o Ikterus : Acetaminofen, carbontetrachlorida, besi, fosfor, jamur
o Purpura : Aspirin, warfarin, gigitan ular
3. SUHU TUBUH :
o Hipothermia: Sedatif hipnotik, ethanol, carbonmonoksida, clonidin,
fenothiazin
o Hiperthermia : Anticholinergik, salisilat, amfetamin, cocain, fenothiazin,
theofili.
4. TEKANAN DARAH :
o Hipertensi : Simpatomimetik, organofosfat, amfetamin .
o Hipotensi : Sedatif hipnotik, narkotika, fenothiazin, clonidin, beta-blocker
5. NADI:
o Bradikardia : Digitalis, sedatif hipnotik, beta-blocker, ethchlorvynol.
o Tachikardia : Anticholinergik, amfetamin, simpatomimetik, alkohol,
cokain, aspirin, theofilin
o Arithmia : Anticholinergik, organofosfat, fenothiazin, carbonmonoksida,
cyanida, beta-blocker.
6. SELAPUT LENDIR :
o Kering : Anticholinergik
o Salivasi : Organofosfat, carbamat
13
D. DAMPAK PENGGUNAAN PESTISIDA ORGANOFOSFAT
1. Parathion
Parathion merupakan phenyl organfosfat yang paling dikenal pada tahun
1946.Ethyl parathion merupakan derivate phenyl yang pertama dikenalkan secara
komersial, karena sifatnya yang sangat toksik tidak digunakan di rumah.Methyl
parathion dikenalkan 1946 dan lebih banyak digunakan daripada ethyl parathion,
karena methyl parathion kurang toksik untuk manusia dan hewan piaraan.
2. Demeton
Demeton adalah organofosfat pestisida peringkat 10% bahan kimia yang paling
berbahaya teratas. Ini adalah racun bagi manusia, mamalia lain, organisme air, dan
spesies nontarget. Demeton adalah campuran isomer yang tidak berwarna dan memiliki
bau belerang yang kuat dan sebagai Inhibitor Cholinesterase dan serius menekan
sistem saraf. Cholinesterase, atau acetylcholine, yang diproduksi di hati, adalah salah
satu dari banyak enzim penting yang dibutuhkan untuk berfungsinya sistem saraf
manusia, vertebrata lainnya, dan serangga. Hal ini digunakan
sebagai acaricide dan insektisida pada berbagai tanaman untuk mengendalikan kutu
daun, tungau, lalat putih, thrips, dan leafminers. Demeton sangat beracun bagi
manusia. Sejumlah keracunan dan bahkan beberapa kematian pekerja yang terpapar
dalam jumlah besar demeton telah diamati. Gejala awal keracunan mungkin termasuk
keringat berlebihan, sakit kepala, lemah, pusing, mual, muntah, hiper-air liur, sakit
perut, penglihatan kabur, lakrimasi cadel bicara, buang air kecil, diare dan otot
berkedut. Kemudian mungkin ada kejang-kejang dan koma
3. Malathion
14
Malathion termasuk golongan organofosfat parasimpatomimetik, yang berarti
berikatan irreversibel dengan enzim kolinesterase pada sistem saraf
serangga.Akibatnya, otot tubuh serangga mengalami kejang, kemudian lumpuh, dan
akhirnya mati. Malathion digunakan dengan cara pengasapan (fogging). Dosis yang
dipakai adalah 5% yaitu campuran antara malathion dan solar sebesar 1:19
Malathion membunuh insekta dengan cara meracun lambung, kontak langsung dan
dengan uap/pernapasan. Malathion, mempunyai sifat yang sangat khas, dapat
menghambat kerja kolinesterase terhadap asetilkolin (Asetilcholinesterase Inhibitor) di
dalam tubuh. Insektisida mengalami proses biotransformation di dalam darah dan hati.
Sebagian malathion dapat dipecahkan dalam hati mamalia dan penurunan jumlah
dalam tubuh terjadi melalui jalan hidrolisa esterase.
15
antara sebuah syaraf (neuron) dan sebuah otot atau sari neuron ke neuron. Karena
getaran syaraf (sinyal) mencapai suatu sypapse, sinyal itu merangang pembebasan
asetilkolin.
Asetikholinesterase adalah suatu enzim, terdapat pada banyak jaringan yang
menghidrolisis asetilkholin menjadi kholin dan asam asetat. Sel darah merah dapat
mensintesis asetilkholin dan bahwa kholin asetilase dan asetilkholinesterase keduanya
terdapat dalam sel darah merah. Kholin asetilase juga ditemukan tidak hanya di dalam
otak tetapi juga di dalam otot rangka, limpa dan jaringan plasenta. Adanya enzim ini
dalam jaringan seperti plasenta atau eritrosit yang tidak mempunyai persyaratan
menunjukkan fungsi yang lebih umum bagi asetilkholin dari pada funsi dalam syaraf
saja. Pembentukan dan pemecahan asetilkholin dapat dihubungkan dengan
permeabilitas sel. Perhatian lebih diarahkan pada sel darah merah, telah dicatat bahwa
enzim kholin asetilase tidak aktif baik karena pengahambatan oleh obat-obatan maupun
karena kekurangan subtrat, sel akan kehilangan permeabilitas selektifnya dan
mengalami hemolisis.
Asetilkholin berperan sebagai jembatan penyeberangan bagi mengalirnya
getaran syaraf. Melalui sistem syaraf inilah organ-organ di dalam tubuh menerima
informasi untuk mempergiat atau mengurangi efektifitas sel. Pada sistem syaraf,
stimulas yang diterima dijalarkan melalui serabut-serabut syaraf (akson) dalam betuk
impuls.
Ketika pestisida organofosfat memasuki tubuh manusia atau hewan, pestisida
menempel pada enzim kholinesterase. Karena kholinesterase tidak dapat memecahkan
asetilkholin, impuls syaraf mengalir terus (konstan) menyebabkan suatu twiching yang
cepat dari otot-otot dan akhirnya mengarah kepada kelumpuhan. Pada saat otot-otot
pada sistem pernafasan tidak berfungsi terjadilah kematian.
Patofisiologi Intoksikasi Organofosfat :
16
F. GEJALA KERACUNAN PESTISIDA ORGANOFOSFAT
Gejala keracunan timbul setelah sekitar 30 menit keracunan dan kematian
timbul antara 1,5 4 jam kemudian akibat dari cardiac arrest dan respiratory failure.
Tanda dan gejala dari intoksikasi organofosfat terbagi menjadi 3 bagian: (1) efek
muskarinik, (2) efek nikotinik, dan (3) efek Sistem Saraf Pusat :
17
a. Efek muskarinik
Tanda dan gejala yang timbul 12-24 jam pertama setelah terpapar
termasuk: diare, urinasi, miosis (tidak pada 10% kasus),
bronkospasma/bradikardi, mual muntah, peningkatan lakrimasi, hipersalivasi
dan hipotensi.
Efek muskarinik menurut sistem organ termasuk:
1. Kardiovaskular - Bradikardi, hipotensi
2. Respiratori bronkospasma, batuk, depresi saluran pernafasan
3. Gastrointestinal hipersalivasi, mual muntah, nyeri abdomen, diare,
inkontinensia alvi
4. Genitourinari Inkontinensia urin
5. Mata mata kabur, miosis
6. Kelenjar Lakrimasi meningkat, keringat berlebihan
b. Efek Nikotinik
Efek nikotinik termasuklah fasikulasi otot, kram, lemah, dan gagal
diafragma yang bisa menyebabkan paralisis otot. Efek nikotinik autonom
termasuk hipertensi, takikardi, midriasis, dan pucat.
Diagnosis
1) Diperlukan autoanamnesis dan aloanamnesis yang cukup cermat serta
diperlukan bukti-bukti yang diperoleh di tempat kejadian.
2) Bagi pemeriksaan fisik harus ditemukan dugaan tempat masuknya racun
sama ada dengan cara inhalasi, per oral, absorpsi kulit dan mukosa atau
parenteral, yang amat berpengaruh pada efek kecepatan dan lamanya reaksi
keracunan.
18
3) Pemeriksaan klinis paling awal adalah menilai status kesadaran pasien. Hal
ini diikuti oleh penemuan tanda dan gejala klinis seperti yang telah
dihuraikan sebelumnya
4) Akhir sekali diagnosa dikuatkan lagi dengan pemeriksaan penunjang sesuai
indikasi.
Pemeriksaan penunjang
1) Laboratorium klinik
analisa gas darah
darah lengkap
serum elektrolit
pemeriksaan fungsi hati
Pemeriksaan fungsi ginjal
sedimen urin
2) EKG
Deteksi gangguan irama jantung
3) Pemeriksaan radiologi
Dilakukan terutama bila curiga adanya aspirasi zat racun melalui
inhalasi atau dugaan adanya perforasi lambung.
Efek Toksikologi :
1. Hambatan aktivitas AChE berhubungan dengan stres oksidatif pada sel darah.
Jika antioksidan dalam tubuh tidak mampu menangani radikal bebas yang
terbentuk akibat terhambatnya AChE, radikal bebas ini akan merusak sel-sel,
dan menyebabkan terjadinya stres oksidatif.
2. Efek toxic organophosphate juga terjadi pada sel hati, dimana organophosphate
juga meningkatkan pelepasan glukosa ke darah dengan jalan mengaktifkan
19
glikogenolisis dan glukoneogenesis, sehingga menjadi predisposisi terjadinya
Diabetes Mellitus.
20
nasogastrik, jika toksikan diharapkan masih berada di lambung. Pengosongan
lambung kurang efektif jika organofosfat dalam bentuk cairan karena
absorbsinya yang cepat dan bagi pasien yang mengalami muntah.
Arang aktif 1g/kg BB harus diberikan secara rutin untuk menyerap
toksikan yang masih tersisa di saluran cerna. Arang aktif harus diberikan setelah
pasien mengalami pengosongan lambung. Muntah yang dialami pasien perlu
dikontrol untuk menghindari aspirasi arang aktif karena dapat berhubungan
dengan pneumonitis dan gangguan paru kronik.
3. Antidotum
Antidotum merupakan penawaran racun, sedangkan antidotum yang digunakan ialah
:
Agen Antimuskarinik
Atropine
Merupakan antagonizes ACH pada reseptor muscarinic, dengan meninggalkan
reseptor nicotinic. Atropine diberikan sampai gejala muscarinic mengalami perbaikan
, yang dapat diukur dengan peningkatan kemudahan bernapas pada pasien sadar atau
perbaikan dalam kemudahan ventilasi pasien. Segera diberikan antidotum Sulfas
atropin 2 mg IV atau IM sampai teratropinisasi. Dosis besar ini tidak berbahaya pada
keracunan organofosfat dan harus dulang setiap 5 10 menit sampai terlihat gejala-
21
gejala keracunan atropin yang ringan berupa wajah merah, kulit dan mulut kering,
midriasis dan takikardi. Kemudian atropinisasi ringan ini harus dipertahankan selama
24 48 jam, karena gejala-gejala keracunan organofosfat biasanya muncul kembali.
Pada hari pertama mungkin dibutuhkan sampai 50 mg atropin. Kemudian atropin dapat
diberikan oral 1 2 mg selang beberapa jam, tergantung kebutuhan. Atropin akan
menghilangkan gejala gejala muskarinik perifer (pada otot polos dan kelenjar
eksokrin) maupun sentral. Pernafasan diperbaiki karena atropin melawan
brokokonstriksi, menghambat sekresi bronkus dan melawan depresi pernafasan di otak,
tetapi atropin tidak dapat melawan gejala kolinergik pada otot rangka yang berupa
kelumpuhan otot-otot rangka, termasuk kelumpuhan otot-otot pernafasan.
dosis yang digunakan :
- Dewasa : 1-2 mg / dosis IV , kemudian 0,5-1mg setiap 5-10 menit sampai
teratropinisasi, interval pengulangan diperpanjang setiap 15-30-60 menit
selanjutnya 2-4-6-8 dan 12 jam , tidak melebihi 50 mg dalam 24 jam pertama
(atau 2 g selama beberapa hari jika mabuk berat) .Pemberian SA dihentikan
minimal setelah 2x24 jam, Penghentian yang mendadak dapat menimbulkan
rebound effect berupa edema paru dan kegagalan pernafasan akut yang sering
fatal
- Pediatric : 0,02-0,05 mg / kg IV pengulangan 10-20 menit sampai
teratropinisasi, kemudian pengulangan 1-4 jam paling sedikit selama 24 jam.
Oxime
Oxime adalah salah satu agen farmakologi yang biasa digunakan untuk melawan
efek neuromuskular pada keracunan organofosfat. Terapi ini diperlukan karena
Atropine tidak berpengaruh pada efek nikotinik yang ditimbulkan oleh organofosfat.
Oxime dapat mereaktivasi enzim kholinesterase dengan membuang fosforil
organofosfat dari sisi aktif enzim. Pralidoxime adalah oxime yang tersedia. Efek
22
samping yang dapat ditimbulkan karena pemakaian Pralidoxime meliputi dizziness,
pandangan kabur, pusing, drowsiness, nausea, takikardi, peningkatan tekanan darah,
hiperventilasi, penurunan fungsi renal, dan nyeri pada tempat injeksi. Efek samping
tersebut jarang terjadi dan tidak ada kontraindikasi pada penggunaan Pralidoxime
sebagai antidotum keracunan organofosfat.
Diberikan segera setelah pasien diberi atropin yang merupakan reaktivator enzim
kolinesterase. Jika pengobatan terlambat lebih dari 24 jam setelah keracunan,
keefektifannya dipertanyakan
Dosis dewasa
1-2 g bolus IV dengan kecepatan tidak melebihi 500 mg per menit dan selama 15-30
menit saat pasien telah fasikulasi, kelemahan otot, atau depresi pernafasan pada
pemeriksaan; dapat diulangi pengulangan 8-12 jam untuk 3 dosis. Dosis yang
direkomendasikan WHO, minimal 30mg/kg BB IV bolus diikuti >8mg/kg/jam dengan
infus
Pediatric
25-50 mg / kg IV diberikan sebagai solusi 5% dalam saline isotonik, ulangi dalam 12
jam jika gejala menetap atau berulang
Pralidoxime tidak melintasi sawar otak sehingga beberapa hari dan bahkan sampai
berminggu-minggu , gangguan psikis masih pada pasiean tersebut. Pengobatan
alternatif yang bisa menembus sawarotak dan bekerja lebih cepat serta efek samping
yang minimal adalah obidoksim (toksogonin).
- Obidoxime
Dosis yang diberikan adalah 3 mg/kgBB IM
23
G. PENCEGAHAN KERACUNAN PESTISIDA
24
BAB IV
PEMBAHASAN
25
Namun demikian, hasil pemeriksaan penunjang darah lengkap pada pasien ini
di dapatkan dalam batas normal. Terapi yang dapat diberikan merupakan tindakan
penyelamatan pertama agar para korban keracunan dapat tetap hidup.misalnya: Infuse,
Pemberian O2, ventilator jika terjadi depresi pernafasan. Pelepasan pakaian dan
dekontaminasi dermal mampu mengurangi toksikan yang terpapar secara inhalasi atau
dermal, namun tidak bisa digunakan untuk dekontaminasi toksikan yang masuk dalam
saluran pencernaan.. Dekontaminasi saluran cerna dapat melalui pengosongan
orogastrik atau nasogastrik, jika toksikan diharapkan masih berada di lambung.
Sehingga pada pasien ini dilakukan pemasangan nasogastrik untuk mengeluarkan zat
toksik sekaligus melakukan pembilasan pada lambung dari zat-zat toksik.
26
BAB IV
PENUTUP
Pestisida Organofosfat adalah insektisida yang paling toksik di antara jenis
pestisida lainnya dan sering menyebabkan keracunan pada manusia.Bila tertelan,
meskipun hanya dalam jumlah sedikit, dapat menyebabkan kematian pada
manusia.Organofosfat menghambat aksi pseudokholinesterase dalam plasma dan
kholinesterase dalam sel darah merah dan pada sinapsisnya. Enzim tersebut secara
normal menghidrolisis acetylcholine menjadi asetat dan kholin. Pada saat enzim
dihambat, mengakibatkan jumlah acetylcholine meningkat dan berikatan dengan
reseptor muskarinik dan nikotinik pada system saraf pusat dan perifer. Hal tersebut
menyebabkan timbulnya gejala keracunan yang berpengaruh pada seluruh bagian
tubuh. Manajemen terapinya meliputi stabilisasi pasien, dekontaminasi, dan pemberian
antidotum. Antidotum yang digunakan adalah Atropin dan Pralidoxime. Gagal nafas
merupakan penyebab utama kematian pasien.
27
Daftar Pustaka
28