You are on page 1of 18

LAPORAN PENDAHULUAN

ARTERI CORONARY DEASSE

A. Definisi
Penyakit Sindrom Koroner Akut adalah terjadi ketidak seimbangan antara
suplai dan kebutuhan oksigen miokard.(Heni Rokhani, SMIP, CCRN. et.al).
Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah gabungan gejala klinik yang
menandakan iskemia miokard akut, terdiri dari infark miokard akut dengan
elevasi segmen ST (ST segment elevation myocardial infarction = STEMI),
infark miokard akut tanpa elevasi segment ST ( non ST segemnt elevation
myocardial infarction = NSTEMI), dan angina pektoris tidak stabil (unstable
angina pectoris = UAP). (Jantunghipertensi.com)
Harun (2007) mengatakan istilah Sindrom Koroner Akut (SKA) banyak
digunakan saat ini untuk menggambarkan kejadian kegawatan pada pembuluh
darah koroner. Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan satu sindrom yang
terdiri dari beberapa penyakit koroner yaitu, angina tak stabil (unstable angina),
infark miokard non-elevasi ST, infark miokard dengan elevasi ST, maupun angina
pektoris pasca infark atau pasca tindakan intervensi koroner perkutan. Sindrom
Koroner Akut (SKA) merupakan keadaan darurat jantung dengan manifestasi
klinis rasa tidak enak di dada atau gejala lain sebagai akibat iskemia miokardium.

B. Etiologi
Masalah yang sesungguhnya pada SKA terletak pada penyempitan
pembuluh darah jantung (vasokontriksi). Penyempitan ini diakibatkan oleh 4 hal
yaitu :
1. Adanya timbunan lemak (aterosklerosis) dalam pembuluh darah akibat
konsumsi kolesterol yang tinggi.
2. Sumbatan (trombosit) oleh sel bekuan darah (thrombus)
3. Vasokontriksi (penyempitan pembuluh darah akibat kejang terus menerus.
4. Infeksi pada pembuluh darah
Terjadinya SKA dipengaruhi oleh beberapa keadaan yakni :
1. Aktivitas atau latihan fisik yang berlebihan (tidak terkondisikan)
2. Stress atau emosi dan terkejut.
3. Udara dingin, keadaan-keadaan tersebut ada hubungannya dengan
peningkatan aktivitas simpatis sehingga tekanan darah meningkat, frekuensi
debar meningkat dan kontra aktivitas jantung meningkat.
C. Manifestasi Klinis
Diagnosis dari Sindroma Koroner Akut seyogyanya ditegakkan secara cepat dan
tepat. Ada 3 kriteria dasar diagnosis daripada SKA, yaitu :
1. Gejala klinis berupa nyeri dada spesific chest pain / cardiac chest pain
Adanya keluhan nyeri dada akut perlu ditelusuri secara cepat dan tepat
apakah terkait dengan SKA atau tidak. Nyeri dada spesifik (angina) merupakan
gejala kardinal penderita SKA dan tentunya harus dapat dibedakan dengan
nyeri dada yang lainnya / non specific chest pain / non cardiac chest pain.Ciri
dari nyeri dada angina / specific chest pain / cardiac chest pain adalah :
a. Lokasi : substernal, retrosternal, dan prekordial
b. Sifat nyeri : seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih, ditusuk, diperas
c. Penjalaran : rasa nyeri menjalar ke leher, lengan kiri, mandibula, gigi,
punggung interskapula, dan terkadang ke lengan kanan.
d. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau dengan obat nitrat
e. Faktor pencetus : latihan fisik, stres emosional, udara dingin dan sesudah
makan
f. Lamanya lebih dari 20 menit.
g. Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin dan
lemas.
2. Gambaran elektrokadiogram / EKG
Perekaman EKG 12 sadapan pada penderita SKA dapat menggambarkan
kelainan yang terjadi dan ini dilakukan secara serial untuk evaluasi dan
monitoring. Gambaran EKG pada SKA :
a. APTS : depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T,
kadang kadang elevasi segmen ST saat ada nyeri, tidak dijumpai
gelombang Q
b. NSTEMI : depresi segmen ST, inversi gelombang T dalam.
c. STEMI : elevasi segmen ST, inversi gelombang T, gelombang Q.
3. Evaluasi petanda biokimia / ensim jantung / cardiac markers
a. Cardiac Troponin
b. Creatine Kinase
c. LDH
(Anderson et al.,2007)

D. Patofisiologi
Gangguan kontraktilitas miokardium ventrikel kiri yang menurun pada
Sindrom Koroner akut akan mengganggu kemampuan pengosongan ventrikel,
sehingga volume residu ventrikel menjadi meningkat akibat berkurangnya stroke
volume yang diejeksikan oleh ventrikel kiri tersebut. Dengan meningkatnya EDV
(End Diastolic Volume), maka terjadi pula peningkatan LVEDP (Left Ventricle
End Diastolic Pressure), yang mana derajat peningkatannya bergantung pada
kelenturan ventrikel. Oleh karena selama diastol atrium dan ventrikel
berhubungan langsung, maka peningkatan LVEDP akan meningkatkan LAP(
Left Atrium Pressure ), sehingga tekanan kapiler dan vena paru-
paru juga akan meningkat. Jika tekanan hidrostatik di kapiler paru-paru melebihi
tekanan onkotik vaskular, maka akan terjadi transudasi cairan ke interstitial dan
bila cairan tersebut merembes ke dalam alveoli, terjadilah edema paru-paru.
Peningkatan tekanan vena paru yang kronis dapat meningkatkan tekanan
arteri paru yang disebut dengan hipertensi pulmonal, yang mana hipertensi
pulmonal akan meningkatkan tahanan terhadap ejeksi ventrikel kanan. Bila
proses yang terjadi pada jantung kiri juga terjadi pada jantung kanan, akhirnya
akan terjadi kongesti sistemik dan edema.
Menurut Laksono S (2009), ada beberapa mekanisme patofisiologi
sindrom koroner akut :
a. Mekanisme neurohormonal
Pengaturan neurohormonal melibatkan sistem saraf adrenergik (aktivasi sistem
saraf simpatis akan meningkatkan kadar norepinefrin), sistem renin-angiotensin,
stres oksidatif (peningkatan kadar ROS/reactive oxygen species), arginin
vasopressin (meningkat), natriuretic peptides, endothelin, neuropeptide Y,
urotensin II, nitric oxide, bradikinin, adrenomedullin (meningkat), dan apelin
(menurun).

b. Remodeling ventrikel kiri


Remodeling ventrikel kiri yang progresif berhubungan langsung dengan
memburuknya kemampuan ventrikel di kemudian hari.
c. Perubahan biologis pada miosit jantung
Terjadi hipertrofi miosit jantung, perubahan komplek kontraksi-eksitasi,
perubahan miokard, nekrosis, apoptosis, autofagi.
d. Perubahan struktur ventrikel kiri
Perubahan ini membuat jantung membesar, mengubah bentuk jantung menjadi
lebih sferis mengakibatkan ventrikel membutuhkan energi lebih banyak,
sehingga terjadi peningkatan dilatasi ventrikel kiri, penurunan cardiac output, dan
peningkatan hemodynamic overloading.
E. Pathway
F. Klasifikasi
Wasid (2007) mengatakan berat/ ringannya Sindrom Koroner Akut (SKA)
menurut Braunwald (1993) adalah:
a. Kelas I: Serangan baru, yaitu kurang dari 2 bulan progresif, berat, dengan nyeri
pada waktu istirahat, atau aktivitas sangat ringan, terjadi >2 kali per hari.
b. Kelas II: Sub-akut, yakni sakit dada antara 48 jam sampai dengan 1 bulan pada
waktu istirahat.
c. Kelas III: Akut, yakni kurang dari 48 jam.

Secara Klinis:
a. Klas A: Sekunder, dicetuskan oleh hal-hal di luar koroner, seperti anemia,
infeksi, demam, hipotensi, takiaritmi, tirotoksikosis, dan hipoksia karena gagal
napas.
b. Kelas B: Primer.
c. Klas C: Setelah infark (dalam 2 minggu IMA). Belum pernah diobati. Dengan
anti angina (penghambat beta adrenergik, nitrat, dan antagonis kalsium )
Antiangina dan nitrogliserin intravena.

G. Tanda dan Gejala Klinis


Tanda dan gejala dari SKA antara lain adalah
1. Rasa tertekan, teremas, terbakar yang tidak nyaman, nyeri atau rasa penuh
yang sangat terasa dan menetap di bagian tengah dada dan berlangsung
selama beberapa menit (biasanya lebih dari 15 menit).
2. Nyeri yang memancar sampai ke bahu, leher, lengan, atau rahang, atau nyeri
di punggung diantara tulang belikat.
3. Pusing
4. Berkeringat
5. Sesak napas
6. Kecemasan

H. Komplikasi
1. Dapat terjadi tromboembolus akibat kontraktilitas miokard berkurang.
2. Dapat terjadi gagal jantung kongestif apabila jantung tidak dapat memompa
keluar semua darah yang diterimanya.
3. Distrimia adalah komplikasi tersering pada infark.
4. Distrimia adalah syok kardiogenik apabila curah jantung sangat berkurang
dalam waktu lama.
5. Dapat terjadi ruptur miokardium selama atau segera setelah suatu infark
besar.
6. Dapat terjadi perikarditis, peradangan selaput jantung (biasanya berapa hari
setelah infark).

I. Pemeriksaan Diagnostik
1. EKG : menunjukkan peningkatan gelombang S T, iskemia berarti ;
penurunan atau datarnya gelombang T, menunjukkan cedera, : dan atau
adanya gelombang Q.
2. Enzim jantung dan iso enzim : CPK MB (isoenzim yang ditemukan pada
otot jantung ) meningkat antara 4-6 jam, memuncak dalam 12 24 jam,
kembali normal dalam 36-48 jam : LDH meningkat dalam 12-24 jam,
memuncak dalam 24-48 jam, dan memakan waktu lama untuk kembali
normal. AST ( aspartat amonitransfarase )meningkat (kurang nyata / khusus)
terjadi dalam 6-12 jam, memuncak dalam 24 jam, kembali normal dalam 3-4
hari.
3. Elektrolit : ketidak seimbangan dapat mempengaruhi konduksi dan dapat
mempengaruhi kontraktilitas.
4. Sel darah putih : leukosit (10.000-20.000) biasanya tampak pada hari kedua
setelah IM sehubungan dengan proses inflamasi.
5. GDA/oksimetri nadi : dapat menunjukkan hipoksia atau proses penyakit
paru akut atau kronis.
6. Kolesteron atau trigelisarida serum : meningkat, menunjukkan
arteriosklerosis sebagai penyebab IM.
7. Foto dada : mungkin normal atau menunjukkan pembesaran jantung diduga
GJK atau aneurisma ventrikuler.
8. Ekokardiogram : mungkin dilakukan untuk menentukan dimensi serambi,
gerakan katup/dinding ventrikuler dan konfigurasi atau fungsi kutub.
9. Angiografi koroner : menggambarkan penyempitan / sumbatan arteri
koroner dan biasanya dilakukan sehubungan dengan pengukuran tekanan
serambi dan mengkaji fungsi ventrikel kiri (fraksi ejeksi).
10. Tes stress olahraga : menentukan respons kardiovaskuler terhadap aktifitas.

J. Penatalaksaan
1. Oksigenasi: Langkah ini segera dilakukan karena dapat membatasi
kekurangan oksigen pada miokard yang mengalami cedera serta menurunkan
beratnya ST-elevasi. Ini dilakukan sampai dengan pasien stabil dengan level
oksigen 2 3 liter/ menit secara kanul hidung.
2. Nitrogliserin (NTG): digunakan pada pasien yang tidak hipotensi. Mula-
mula secara sublingual (SL) (0,3 0,6 mg ), atau aerosol spray. Jika sakit
dada tetap ada setelah 3x NTG setiap 5 menit dilanjutkan dengan drip
intravena 10 ug/menit (jangan lebih 200 ug/menit ) dan tekanan darah
sistolik jangan kurang dari 100 mmHg. Manfaatnya ialah memperbaiki
pengiriman oksigen ke miokard; menurunkan kebutuhan oksigen di miokard;
menurunkan beban awal (preload) sehingga mengubah tegangan dinding
ventrikel; dilatasi arteri coroner besar dan memperbaiki aliran kolateral; serta
menghambat agregasi platelet (masih menjadi pertanyaan).
3. Morphine: Obat ini bermanfaat untuk mengurangi kecemasan dan
kegelisahan; mengurangi rasa sakit akibat iskemia; meningkatkan venous
capacitance; menurunkan tahanan pembuluh sistemik; serta nadi menurun dan
tekanan darah juga menurun, sehingga preload dan after load menurun, beban
miokard berkurang, pasien tenang tidak kesakitan. Dosis 2 4 mg intravena
sambil memperhatikan efek samping mual, bradikardi, dan depresi
pernapasan
4. Aspirin: harus diberikan kepada semua pasien Sindrom coroner akut jika
tidak ada kontraindikasi (ulkus gaster, asma bronkial). Efeknya ialah
menghambat siklooksigenase 1 dalam platelet dan mencegah pembentukan
tromboksan-A2. Kedua hal tersebut menyebabkan agregasi platelet dan
konstriksi arterial.
5. Penelitian ISIS-2 (International Study of Infarct Survival) menyatakan
bahwa Aspirin menurunkan mortalitas sebanyak 19%, sedangkan "The
Antiplatelet Trialists Colaboration" melaporkan adanya penurunan kejadian
vaskular IMA risiko tinggi dari 14% menjadi 10% dan nonfatal IMA sebesar
30%. Dosis yang dianjurkan ialah 160 325 mg perhari, dan absorpsinya
lebih baik "chewable" dari pada tablet, terutama pada stadium awal 3,4.
Aspirin suppositoria (325 mg) dapat diberikan pada pasien yang mual atau
muntah 4. Aspirin boleh diberikan bersama atau setelah pemberian
GPIIb/IIIa-I atau UFH (unfractioned heparin). Ternyata efektif dalam
menurunkan kematian, infark miokard, dan berulangnya angina pectoris.

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS

A. PENGKAJIAN
1. Aktifitas
Gejala :
- Kelemahan, kelelahan, tidak dapat tidur.
- Pola hidup menetap, jadwal olahraga tidak teratur
Tanda : Takikardi, Dispnea pada istirahat atau aktifitas.
2. Sirkulasi
Gejala : riwayat IMA sebelumnya, penyakit arteri koroner, masalah tekanan
darah, diabetes mellitus.
Tanda :
a. TD : dapat normal atau naik/turun, perubahan postural dicatat dari
tidur sampai duduk/berdiri
b. Nadi : Dapat normal , penuh atau tidak kuat atau lemah / kuat
kualitasnya dengan pengisian kapiler lambat, tidak teratur (disritmia)
mungkin terjadi.
c. Bunyi jantung : Bunyi jantung ekstra : S3 atau S4 mungkin
menunjukkan gagal jantung atau penurunan kontraktilits atau komplain
ventrikel.
d. Murmur : bila ada menunjukkan gagal katup atau disfungsi otot
papilar
e. Friksi ; dicurigai Perikarditis
f. Irama jantung dapat teratur atau tidak teratur
g. Edema : Distensi vena juguler, edema dependent , perifer, edema
umum, krekles mungkin ada dengan gagal jantung atau ventrikel.
h. Warna : Pucat atau sianosis, kuku datar , pada membran mukossa atau
bibir
3. Integritas ego
Gejala : menyangkal gejala penting atau adanya kondisi takut mati,
perasaan ajal sudah dekat, marah pada penyakit atau perawatan, khawatir
tentang keuangan , kerja , keluarga.
Tanda : menolak , menyangkal, cemas, kurang kontak mata, gelisah,
marah, perilaku menyerang, fokus pada diri sendiri, koma nyeri.

4. Neurosensori
Gejala : pusing, berdenyut selama tidur atau saat bangun (duduk atau
istrahat
Tanda : perubahan mental, kelemahan
5. Nyeri atau ketidaknyamanan
Gejala :
a. Nyeri dada yang timbulnya mendadak (dapat atau tidak
berhubungan dengan aktifitas ), tidak hilang dengan istirahat atau
nitrogliserin (meskipun kebanyakan nyeri dalam dan viseral
b. Lokasi : Tipikal pada dada anterior, substernal , prekordial, dapat
menyebar ke tangan, ranhang, wajah. Tidak tertentu lokasinya seperti
epigastrium, siku, rahang, abdomen, punggung, leher.
c. Kualitas : Crushing , menyempit, berat, menetap, tertekan.
d. Intensitas : Biasanya 10 (pada skala 1 -10), mungkin pengalaman
nyeri paling buruk yang pernah dialami.
Catatan : nyeri mungkin tidak ada pada pasien pasca operasi, diabetes
mellitus , hipertensi, lansia
6. Pernafasan:
Gejala :
a. Dispnea saat aktivitas ataupun saat istirahat
b. Dispnea nokturnal
c. Batuk dengan atau tanpa produksi sputum
d. Riwayat merokok, penyakit pernafasan kronis.
Tanda :
a. Peningkatan frekuensi pernafasan
b. Nafas sesak / kuat
c. Pucat, sianosis
d. Bunyi nafas ( bersih, krekles, mengi ), sputum
Pemeriksaan Fisik :
1. Tampilam umum (inspeksi) :
a. Pasien tampak pucat, berkeringat, dan gelisah akibat aktivitas
simpatis berlebih.
b. Pasien tampak sesak
c. Demam derajat sedang (< 38 C) bisa timbul setelah 12-24 jam
pasca infark.
d. Kombinasi nyeri dada substernal > 30 menit dan banyak keringat
dicurigai kuat adanya stemi.
2. Denyut Nadi dan Tekanan Darah (palpasi):
a. Sinus takikardi (100-120 x/menit
b. Adanya sinus bradikardi atau blok jantung sebagai
komplikasi dari infark
3. Pemeriksaan jantung (auskultasi):
a. Adanya bunyi jantung S4 dan S3 Gallop, Penurunan Intensitas
Bunyi Jantung Pertama Dan Split Paradoksikal Bunyi Jantung
Kedua.
b. Dapat ditemukan Mur Mur Mid Sistoloik atau Late Sistolik Apikal
bersifat sementara

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan perfusi
dan ventilasi
3. Ketidakefektifan perfusi jaringan berhubungan dengan kerusakan transport
oksigen melalui membrane alveolar dan membrane kapiler
4. Nyeri Akut berhubungan dengan agen penyebab biologis
5. Intoleran Aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
dan kebutuhan oksigen
6. Cemas berhubungan dengan stress

C. INTERVENSI
No. Diagnosis Tujuan dan Intervensi Rasional
Keperawatan Kriteria Hasil
1 Ketidakefektifan Setelah diberikan1. Pantau adanya 1. Mengetahui adanya
pola nafas tindakan pucat dan sianosis sianosis pada px
berhubungan dengan keperawatan 2. Mengetahuikecepatan,
hiperventilasi selama x 2. Pantau irama, kedalaman dan
jam kecepatan, irama, upaya pernafasan
diharapkan pola kedalaman dan
nafas pasien upaya pernafasan3. Retraksi dada
efektif dengan mengindikasikan
kriteria hasil : 3. Perhatikan kelainan pada paru-paru
1. TTV dalam pergerakan dada, lobus tertentu
rentang amati
normal,tidak ada kesimetrisan,
retraksi dada, penggunaan otot- 4. Mengetahui hambatan
tidak ada otot bantu jalan napas.
penggunaan otot
bantu nafas 4. Pantau
2. Pasien tidak pernafasan yang
5. Mengetahui pola
mengeluh susah berbunyi seperti nafas px
bernafas. mendengkur
5. Pantau pola
6. Mengetahui suara
pernafasan nafas px

6. Auskultasi suara
nafas

2 Gangguan Setelah diberikan


1. Kaji frekuensi,
1. Manifestasi distress
pertukaran gas tindakan kedalaman, dan pernapasan tergantung
berhubungan dengan keperawatan kemudahan pada derajat
ketidakseimbangan selama x bernapas keterlibatan paru dan
perfusi dan ventilasi jam diharapkan status kesehatan umum
px tidak 2. Mengetahui saturasi
mengalami O2 px
gangguan
pertukaran gas
2. Pantau saturasi
dengan kriteria O2dengan
hasil: oksimetri nadi 3. Mengetahui hasil gas
1. TTV dalam darah px
rentang normal 3. Pantau hasil gas
4. Mengetahui kadar
2. Hasil AGD darah elelktrolit px
dalam rentang 5. Mengetahui status
normal 4. Pantau kadar mental px
elektrolit
6. Mengetahui adannya
5. Pantau status sianosis pada px
mental px

6. Observasi
terhadap sianosis,
terutama membran
mukosa mulut
3 Ketidakefektifan Setelah dilakukan1. Pantau nyeri
1. Mengetahui adanya
perfusi tindakan dada nyeri dada pada px
jaringanberhubungan keperawatan 2. Mengetahui kondisi
dengan kerusakan selama x24 2. Pantau TTV umum px.
transport oksigen jam diharapkan 3. Mengetahui adanya
melalui membrane perfusi jaringan tanda-tanda penurunan
alveolar dan pasien 3. Lakukan perfusi jaringan
membrane kapiler efektifdengan pengkajian
kriteria hasil : komprehensif
1. TTV DBN terhadap sirkulasi
- TD (120-140/80- perifer (misalnya
90 mm/Hg) nadi, edema,
- RR (16-24xC) warna kulit, dan
- N (60-100x/mnt) suhu) 4. Menurunkan beban
- S (36.5-37.5C) kerja organ dalam tubuh
2. Membran mukosa4. Tingkatkan 5. Memenuhi kebutuhan
merah muda istirahat oksigen tubuh
6. Meningkatkan
keefektifan perfusi
5. Memberikan jaringan px
terapi oksigen

6.
Kolaborasi
pemberian obat
berdasarkan
program
(misalnya,
analgesik,
antikoagulan,
vasodilator)
4 Nyeri Akut Setelah diberikan
1. Lakukan 1. Mengetahuilokasi,
berhubungan dengan asuhan pengkajian nyeri karakteristik, durasi,
agen penyebab keperawatan secara frekuensi, kualitas,
biologis selamax24 komprehensif intensitas dan faktor
jam, diharapkan meliputi lokasi, presipitasi nyeri px
px mampu karakteristik,
mengatasi nyeri durasi, frekuensi,
dengan kriteria kualitas, intensitas
hasil : dan faktor
2. Mengetahui perasan
1. Nyeri px presipitasi. px terhadap nyeri
hilang/ berkurang
2. Px mampu 2. Observasi
mengendalikan isyarat non verbal
nyeri ketidaknyamanan3. Membantu px
3. Px merasa mengndalikan nyeri
nyaman 3. Berikan
informasi tentang
nyeri, seperti
penyebab nyeri,
berapa lama akan
berlangsung dan
antisipasi
ketidaknyamanan
akibat prosedur

4. Kendalikan 4. Memberikan
faktor lingkungan kenyamanan kepada px
yang dapat
mempengaruhi
respon pasien
terhadap
ketidaknyamanan
(misalnya suhu
ruangan,
pencahayaan, dan
kegaduhan)

5. Ajarkan teknik
non farmakologis 5. Mengendalikan nyeri
( misalnya px
relaksasi,
distraksi, kompres
hangat)
6. Kolaborasi
pemberian
analgetik
6. Menurunkan nyeri px
5 Intoleran Aktifitas Setelah diberikan1. Monitor 1. Mengidentifikasi
berhubungan dengan asuhan frekuensi nadi dan kemajuan atau
ketidakseimbangan keperawatan nafas sebelum dan penyimpangan dari
antara suplai dan selamax24 sesudah sasaran yang
kebutuhan oksigen jam, diharapkan melakukan diharapkan
px mampu aktifitas
beraktifitas secara 2. Gejala-gejala tersebut
normal dengan 2. Tunda aktifitas merupakan tanda
kriteria hasil : jika freuensi nadi intoleransi aktifitas.
1. Klien dan nafas konsumsi oksigen
mendemonstrasik meningkat secara meningkat jika aktifitas
an peningkatan cepat dan klien meningkat dan daya
toleransi terhadap mengeluh sesal tahan tubuh klien dapat
aktifitas nafas dan bertahan lebih lama jika
2. Klien dapat kelelahan, ada waktu istirahat di
melakukan tingkatkan antara kktifitas
aktifitas, dapat aktifitas secara3. Membantu
berjalan lebih bertahap menurunkan kebutuhan
jauh tanpa oksigen yang
mengalami nafas meningkat akibat
tersengal-sengal peningkatan aktifitas
sesak nafas dan
kelelahan
3. Bantu klien
melaksanakan 4. Aktifitas fisik
aktifitas sesuai meningkatkan
dnegan kebutuhan oksigen dan
kebutuhannya. sistem tubuh akan
Beri klien waktu berusaha
tanpa diganggu menyesuaikannya.
berbagai aktifitas

4. Pertahankan
terapi oksigen
selama aktifitas
dan lakukan
tindakan
pencegahan 5. Hal tersebut dapat
terhadap merupakan tanda awal
komplikasi akibat dari komplikai
omobilisasi jika khusunya gagal nafas
klien dianjurkan
tirah baring

5.Konsultasikan
dengan dokter jika
sesak nafas tetap
atau bertambah
berat saat istirahat
6 Cemas berhubungan Setelah diberikan1. Kaji tingkat
1. Mengetahi tingkat
dengan stress asuhan kecemasan px kecemasan px
keperawatan 2. Membantu px
selamax24 2. Beri dorongan mengungkapkan
jam, diharapkan kepada pasien tentang perasaan
px mampu mengungkapkan cemasnya
mengatasi cemas secara verbal
denagn kriteria pikiran dan
hasil : perasaan untuk
1. Pasien mampu mengeksternalisas
mengendalikan ikan cemas
cemas 3. Mengurangi cemas px
2 Pasien tidak 3. Bantu pasien
gelisah untuk memfokusk
an pada situsi saat
ini, sebagai cara
untuk
mengidentifikasi
mekanisme
koping yang
dibutuhkan untuk
mengurangi
cemas.

4. Intruksikan
pasien tentang
4. Membantu px
pengguanaan mengendalikan cemas
teknik relaksasi

5. Kurangi
rangsangan yang
5. Memnimalkan faktor
berlebihan dengan pencetus cemas
menyediakan
lingkungan yang
tenang, kontak
denga orang lain
jika dibutuhkan,
serta pembatasan
pengguanaan
kafein dan
stimulasi lain
.
6. Kolaborasi
pemberian obat
untuk menurunkan
ansietas, jika perlu
6. Menurunkan cemas
px

D. EVALUASI
1. Pola nafas pasien kembali efektif
2. Px tidak mengalami gangguan pertukaran gas
3. Perfusi jaringan pasien kembali efektif
4. Px mampu mengatasi nyeri
5. Px mampu beraktifitas secara normal
6. Px mampu mengatasi cemas
DAFTAR PUSTAKA

Anderson et al. (2007). ACC/AHA 2007 Guidelines for the Management of Patients
with Unstable Angina/Non-ST-Elevation Myocardial Infarction-Executive
Summary, in: Journal of the American College of Cardiology (JACC). 50(7):
665-95. http://assets.cardiosource.com/UA-NSTEMI.ExecSumm.pdf.
Harun, Idrus. (2007). Infark Miokard Akut Tanpa Elevasi ST. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Heni Rokaeni, SMIP, CCRN. et. al. (2001). Keperawatan Kardiovaskular. Harapan
Kita. Jakarta.
Laksono, S. (2009). Patofisiologi Payah Jantung Kronik. Cermin Dunia Kedokteran,
36 (3): 172 127.

You might also like