You are on page 1of 12

artikel Membumikan Islam di 'Negeri'

Pancasila
23.45.00 Iwan Wahyudi 0 Comments

Membumikan Islam di 'Negeri' Pancasila

Oleh: Asrir Sutanmaradjo

Dalam bidang optik, sesuatu objek bisa saja terlihat berbeda-beda, tergantung
dari latar (faktor sikon disekitarnya). Adakalanya disebabkan karena adanya bias
(pembiasan), deviasi (penyimpangan, pembelokan), depresiasi (penurunan).

Dalam bidang Psikologi pun sesuatu objek bisa terlihat berbeda-beda, tergantung
dari latar (faktor sikon disekitarnya yang mempengaruhinya) dan dari cara, sikap
pandang si pengamat (observer) sendiri. Persepsi, observasi, evaluasi,
pengamatan, penilaian seseorang terhadap sesuatu masalah selalu akan
berbeda-beda, tergantung pada latar (sikon disekitar masalah) dan sikon
disekitar si pengamat.

Bila objek dinyatakan sebagai premise mayor (muqaddam kubra) dan latar
(sikon) sebagai premise minor (muqaddam shughra), maka dalam bidang Logika
(Mantiq), persepsi dapat dinyatakan sebagai konklusi (natijah). Dan bila objek
dinyatakan sebagai genotip (bawaan) dan latar (sikon) sebagai (fenotip)
(lingkungan), maka dalam biologi, persepsi dapat dinyatakan sebagai sosok.

Persepsi, observasi, evaluasi bersifat sangat relatif, nisbi. Pengamatan, penilaian


yang satu tak bisa menyalahkan pengamatan, penilaian yang lain. Dalam Islam
disebutkan bahwa sesuatu ijtihad tak dapat membatalkan (la yanqudhu, tak
dapat menolak, menafikan, membantah) ijtihad yang lain. Hanya persepsi yang
sama sekali bebas dari pengaruh asumsi, prasangka yang bersifat absolut,
mutlak.

Dalam hubungan ini, kini, belakangan ini marak isu, berita tentang tindak
kejahatan, tindak kriminal berkedok, mengatasnamakan NII (Negara Islam
Indonesia). Sesuai dengan cara, sikap pandang masing-masing, maka ada yang
berkesipulan bahwa NII (Islam) itu menghalalkan segala cara. Dan ada pula yang
berkesimpulan sebaliknya bahwa NII (Islam) itu didiskreditkan, dipojokkan
dengan berbagai cara.

Memperjuangkan tegak-berdirinya NII (Negara Islam Indonesia) secara


demokratis di negeri ini, di bumi pertiwi ini, di persada tanah air ini adalah sah,
legal saja. Ketika Pancasila dilahirkan, dicetuskan oleh penggagasnya Ir Soekarno
dalam siding BPUPK (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan, Dokuritsu
Zyunbi Tyuoosakai) pada 1 Juni 1945, umat Islam diajak agar bekerja sekeras-
kerasnya, sehebat-hebatnya supaya hukum-hukum yang keluar dari Badan
Perwakilan Rakyat adalah hukum-hukum Islam. Percaya dengan ajakan Ir
Soekarno, penggagas Pancasila tersebut, maka tokoh-tokoh umat Islam yang
duduk dalam BPUPK menerima, menyepakati ide Pancasila. Negara yang
memberlakukan hukum-hukum Islam secara positif adalah Negara Islam.
Baldatun thaiyibatun wa rabbun ghafur. Kenapa begitu antipati terhadap hukum
Islam?

Masih dalam hubungan ini, kini juga marak isu, berita tentang studi banding ke
luar negeri yang dilakukan oleh wakil-wakil rakyat di DPR. Kenapa tak berminat
melakukan studi banding ke dalam negeri? Studi banding antara sitim
pemerintahan Minangkabau dengan sitim pemerintahan Jawa ? Studi banding
antara sistim pemerintahan parlementer dengan sistim pemerintahan
presidensial? Studi banding antara konsitusi UUDS-1950 dengan konstitusi UUD-
1945 ? Studi banding antara konstitusi NII (NKA, Negara Karunia Allah) dengan
konstitusi NKRI ? dan lain-lain, dan lain-lain.

Belajar memahami Hukum Islam

Cara (Metoda) yang ditempuh oleh Ulama Fiqih (Pakar Hukum Islam) dalam
menentukan kaidah ushul (Prinsip Hukum Islam) secara sederhana adalah sperti
berikut : 1. Menela'ah sumber syar'iyah (Sumber Hukum Islam). 2. Merumuskan
kaidah-kaidah ushul (Prinsip Hukum Islam) dari sumber syar'iyah 9Sumber
Hukum Islam). 3. Menyusun ketentuan hukum (Hukum Islam) dari kaidah-kaidah
ushul (Prinsip Hukum Islam). 4. Memeriksa ketentuan hukum (Hukum Islam)
dengan sumber syar'iyah (Sumber Hukum Islam). 5. Merumuskan kembali
kaidah-kaidah ushul (Prinsip hukum Islam).

Mengacu pada pandangan(Teori Hukum) Imam Syafi'i dalam kitabnya


"ArRisalah", maka para ulama fiqih (Pakar Hukum Islam) mengemukakan bahwa
sumber syar'iyah (Sumber Hukum Islam) itu terdiri dari Quran, Hadits, Ijma dan
Qiyas.

Diantara kaidah ushul (Prinsip Hukum Islam) yang dikemukakan oleh ulama fiqih
(Pakar Hukum Islam) berbunyi bahwa "Yang menjadi pegangan ('ibarat) adalah
kekhususan (parsial) sebabnya, bukan keumuman (total) lafadznya
(ungkapannya), disamping "Yang menjadi perhatian ('ibarat) adalah keumuman
(total) tujuan katanya, bukan kekhususan (parsial) sebab terjadinya" (Simak
antara lain : ALMUSLIMUN, No.191, Februari 1986, hal 23; Prof Dr Hamka : "Tafsir
AlAzhar", juzuk II, 1983, hal 77; Abdul Hamid Hakim : "AlBayan", hal 61).

Dalam Ilmu Mantiq (Logika) disebutan bahwa lafadz (ungkapan) itu ada yang
kulli (total) dan ada pula yang juz^I (parsial). Meskipun lafadznya itu bersifat
kulli (total), namun makna (mafhum, 'ibarat) nya bisa bersifat juzi (parsial)
(Simak antara lain Drs M Umar dkk: "Fiqih-Ushul Fiqih-Mantiq untuk Madrasah
Aliyah", Depag RI, 1984/1985, hal 130-132).

Dalam wilayah, daulah, negara yang berpenduduk Muslim, maka konsekwensi


logisnya yang layak diberlakukan adalah Hukum Islam (Simak antara lain KH
Firdaus AN : "Dosa-Dosa Yang Tak Boleh Berulang Lagi", Pedomaan Ilmu Jaya,
1992, hal 32-33. Sayangnya KH Firdaus AN tak memiliki kemampuan
(kepemimpinan, leadership) untuk mewujudkan, merealisasikan idenya agar
"Dosa-Dosa Politik Orla dan Orba Tak Berulang lagi").

Mengenang Piagam Jakarta

Dalam rangka mengenang kembali Piagam Jakarta yang dikhianati, seyogianya


sepanjang bulan Juni digalakkan upaya pengungkapan kembali segala sesuatu
yang berhubungan dengan perihal Piagam Jakarta, seperti yang pernah dirintis,
dilakukan oleh KH Firdaus AN dengan tulisannya "22 Juni yang Keramat" dalam
majalah HARMONIS, No.410, Oktober 1989 ("Dosa-Dosa Yang Tak Boleh berulang
Lagi", 1992, Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta).

Dalam pandangan KH Firdaus AN "Teks Proklamasi Kemerdekaan Republik


Indonesia yang dibacakan Soekarno adalah teks yang tidak sah alias tidak
otentik. Karena sama sekali tidak sesuai dengan apa yang telah diputuskan oleh
BPUUPKI". Dengan kata laian telah terjadi penyimpangan, sekaligus
pengkhianatan terhadap Islam" (SABILI, 29 Januari 1999, REPUBLIKA, Kamis, 28
Januari 1999, hal 3).

Rakyat Indonesia sangat mendambakan, mengharapkan pemerintahan yang


memiliki Sistim pencekalan pengangguran, Sistim pencekalan kemiskinan, Sistim
pencekalan pornografi, Sistim pencekalan kezhaliman, untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, seperti yang
diamanatkan oleh Piagam Jakarta, yang kemudian dipungut sebagai Pembukaan
UUD-1945.
Selama Pancasila dan UUD-45 menjadi nomor satu dalam negara RI; Islam,
AlQur^an dan AsSunnah jadi nomor dua, itu berarti semangat jihad kaum
Muslimin belumlah optimal. Dan itu aalah hal yang cukup memalukana dalam
suatu negara yang penduduknya hamper 90% memeluk agama Islam. Itu satu
bukti bahwa iman dan kesadaraan beragama terlalu lemah dan melempem (KH
Firdaus An : "Dosa-Dosa Politik Orla dan Orba Yang Tak Boleh Berulang Lagi di Era
Reformasi", Pustaka AlKautsar, Jakarta, 1999:190).

Yang ideal, di Indonesia cukup memiliki dua buah partai politik,Yaitu Partai Islam
dan yang satu lagi Partai Pancasila. Di negara-negara besar yang matang
demokrasinya cuma ada dua partai politik. Dengan itu rakyat mudah
menentukan pilihannya dan mudah pula menentukan lawan dan kawan. Bagi
yang tidak setuju ideology Islam silakan masuk partai Pancasila, dan yang
bercita-cita untuk kejayaan Islam dan kaum Muslimin, silakan masuk Partai Islam
(idem, hal 186). Dengan demikian bisa pula diatasi gerakan jihad yang dicap
sebagai teroris. Semua yang bercita-cita untuk kejayaan Islam dan kaum Muslim
diberikan kesempatan berjuang secara demokratis (musyawarah mufakat) dalam
sidang DPR/MPR, seperti yang pernah ditawarkan oleh Soekarno pada sidang
BPUUPKI pada 1 Juni 1945 yang dikenal dengan hari Lahirnya Pancasila.

Pertarungan antara Islamisasi dan Deislamisasi


Dalam WARTA BEKASI, Minggu ke-I, Juli 1999, hlm 3, Drs Nur Supriyanto, MM,
Ketua DPD Partai Keadilan Kodya Bekasi mengemukakan agenda politik bersama
Umat Islam yang harus segera diselesaikan. Pertama menyediakan komponen
strategis dengan mengkalkulasi (memperhitungkan) seluruh unsur potensi
kekuatan Umat Islam. Kedua, meletakkan dasar kebersamaan (kolektivitas dan
unitas jama'ah dan jami'ah) diantara Umat islam, dengan visi politik yang dijiwai
oleh semangat keterbukaan dan demokratisasi, serta yang juga menjangkau
wajah perekonomian, hukum, sosial, budaya dan moralitas angsa dan negara.

Komponen politik strategis yang perlu disiapkan. Pertama, kesamaan visi dan
persepsi politik yang akan menjadi garis kebijakan politik bersama Umat Islam.
Kedua, instrumen politik (sarana dan prasarana infrastrukturnya) yang akan
bekerja sebagai mesin politik Umat Islam.

Ketiga, masa pendukung dengan kadar intelektual dan kesadaran politik yang
memadai sebagai motor penggerak perubahan. Keempat, pemimpin umat yang
bisa diterima secara kolektif oleh semua pihak. Kelima, media massa yang
berpihak pada Umat Islam.

Sebagai bandingan, dapat disimak kekuatan komunitas jama'ah Umat Islam


(Natio of Islam) pimpinan Elijah muhammad di kalangan Muslim Amerika (Black
Moslem). Pertama, kepemimpinan karismatik, komando terpusat, loyalitas
(kesetiaan dan ketaatan) tunggal. Kedua, milisi kuat terorganisir (Fruit of Islam),
yang bertugas memelihara keutuhan masyarakat Islam, masjid-masjid dan
lembaga-lembaga Islam. Ketiga, organisasi bisnis (bank, perusahaan, restoran).
Keempat, Universitas Islam yang berdisiplin ketat. Kelima, tempat ibadah yang
multi fungsi terorganisir (Drs Juhaya S Praja : Pengantar "Jihad Gaya Amerika"nya
Steven Barboza, 1995:21).

Memang sejarah mencatat bahwa Umar bin Khaththab dan Abu Bakar telah
berupaya mempelopori penyamaan visi dan persepsi politik Umat Islam yang
bertikai antara kelompok Anshar dan Muhajirin pada sa'at janazah Rasulullah
masih terbujur. Namun kini yang menjadi persoalan, bagaimana caranya
menyatukan, menyamakan visi dan persepsi politik Umat Islam yang saling
bertentangan itu, dan apakah memang visi dan persepsi politik Umat Islam yang
saling bertentangan satu sama lain dapat disatukan, disamakan?

Meskipun hadis tentang Umat Islam akan terpecah atas 73 firqah (kelompok,
golongan) diperselisihkan kesahihan sanadnya, namun nyatanya Umat Islam itu
terkotak-kotak. Ada yang berorientasi pada politik, teleologi, teosofi, hukum dan
seterusnya. Dalam bidang siasah ada yang beraliran Syi'ah, Khawarij, Ahli
Sunnah, dst. Dalam bidang akidah, ada yang beraliran Mu'tazilah, Jabariyah,
Qadariyah, Murji:ah, dst. Dalam bidang tasauf, ada yang beraliran Qadiriyah,
Naqsyabandiyah, Syazaliyah, Syatariyah, Sanusiyah, dst. Dalam bidang fiqih, ada
yang beraliran Hanafiyah, Malikiyah, Syafi'iyah, Hanabilah, Zhahiriyah, Tsauriyah,
dst.

Menurut Drs Amrullah Ahmad, dalam Khabar Forum Silaturrahmi (KFS),


20:1993:52-53, bahwa dalam bidang fikrah, pola pikir (epistemologi,
metodologi), jama'ah dakwah (lapis umat) ada yang berpola pikir model thugyan
(ideologi Barat atau Timur atau Lokal). Ada yang berpola pikir mengikuti
(bermadzhab dengan) pemikiran klassik (ulama terdahulu) tanpa kritik dan
olahan menjadi epistemologi falsafah sistematis Islam (dengan taqlid kepada
ulama terdahulu). Ada yang berpola pikir bahwa Islam itu sebagai obyek kajian
(ilmiah), bukan sebagai fikrah untuk menjelaskan realitas. Ada yang berpola pikir
mengikuti model warisan Islam yang cenderung menyemaikan pemahaman al-
Qur:an dengan ilmu pengetahuan dan falsafah thugyan. Ada yang berpola pikir
masih/sedang dalam proses pembebasan dari model thugyan, namun belum
menemukan sebuah sistim seagai falsafah sebagai model penafsir realitas.

Dalam bidang akhlak, sikap hidup (sesama Muslim dan terhadap thagut),
jama'ah dakwah ada yang berakhlak relatif mengikuti etika (moral thughyan).
Ada yang berakhlak keras terhadap mukmin, kasih sayang terhadap thagut
(kafirin, musyrikin, munafikin, fasikin). Ada yang berakhlak sinis dan curiga
terhadap mukmin yang bermaksud menerapkan al-Qur:an dan as-Sunnah,
ramah-tamah dengan kafirin. Ada yang berakhlak mengutamakan kesalehan
pribadi. Ada yang berakhlak di dalam lebih nampak rasional sesama mukmin,
tegas terhadap thagut, tetapi sama-sama lemah-lembut atau mendukung
kebijaksanaan thagut. Ada yang berakhlak nampak kuat ukhuwah sesama
mereka dengan mengutamakan
kesalehan dan nampak tegas terhadap thagut, namun harus berugi dalam waktu
sejauh mana bersikap sabar seagai akaibat sikap hidup terhadap thagut itu,
apakah mengalami reduksi dengan alasan ekonomi.
Dalam perilaku lainnya, jama'ah dakwah ada yang berprilaku sub-ordinasi sistim
thugyan, sepenuhnya mengikuti sistim thughyan (rela diatur oleh ideologi Barat
atau Timur atau Lokal). Ada yang menyelenggarakan pendidikan Islam serta
kajian ke-Islaman dalam persepktif/metodologi dan epistemologi thugyan, dan
menempatkan Islam sebagai sub-ordinasi sistim thughyan (Islam ditempatkan di
bawah ideologi Barat atau Timur atau Lokal).

Ada yang berdakwah (sesuai dengan persepsinya terhadap Islam),


menyelenggarakan ta'dib (dikhotomi epistemologi dan falsafat) untuk menggelar
warisan intelektual Islam yang penekanannya menempatkan Islam sebagai sub-
ordinasi sistim thughyan. Ada yang berdakwah, menyelenggarakan ta'dib
(dengan
kurikulum thughyan dan mata pelajaran agama Islam dengan dua model
epistemologi, dikhotomik dengan sistim falsafah Islami yang masih longgar,
sehingga membenarkan falsafah non-Islam atau dikhotomik fikrah),
menempatkan Islam sebagai sub-ordinasi sistim thughyan. Ada yang berdakwah,
cinta jihad, gemar mengadakan kajian Islam untuk memperbaiki pola pikir dalam
rangka mengganti pola pikir thaghut, berusaha mandiri dalam memilih lapangan
kerja sehingga dalam batas-batas tertentu tidak terserap dalam sistim thughyan
(tidak ela diatur oleh ideologi Barat atau Timur atau Lokal),menyelenggarakan
ta'dib sesuai dengan keangka imannya, berusaha menempatkan Islam, sebagai
falsafah hidup yang universal dengan kebenaran yang dijamin Allah dan Rasul-
Nya (rela diatur oleh Islam).
Secara umum, ada yang berupaya sungguh-sungguh menjadi Muslim utuh,
kaffah, totalitas, menyeluruh, istiqamah dalam keadaan bagaimanapun,
melakukan Islamisasi. Ir Haidar Baqir, Direktur Mizan, Bandung, dalam PANJI
MASYARAKAT 521:35-37, menyebut tipe-tipe strategi Islamisasi.

Ada yang beraliran modernis, yang memandang Islam itu hanya menyangkut
soal nilai, masalah moral (ajaran etika), dan hanya menginginkan terwujudnya
kultural-sosial Islam. Ada yang bealiran radikalis kompromistis-evolusioner, yang
memandang Islam itu sebagai sistim alternatif, dan berupaya mengwujudkan
terwujudnya struktur politik (pemerintahan) secara efektif, dengan
menggunakan jalur dakwah (tarbiyah dan taklim), bersifat evolusioner dan
dialogis, yang disampaikan secara bijak, edukatif, persuasif, dengan mengambil
bentuk ihsan (reformasi), dan dilakukan secara mendasar dan menyeluruh. Ada
yang beraliran radikalis-kompromistis-revolusioner, yang berupaya
mengwujudkan pemerintahan Islam dengan melakukan ajakan moral,
penggalangan publik-opini, aksi-sosial, dengan sikap kompromi, dengan
menggunakan jalur politik (demokrasi-konstitusional), dan dilancarkan secara
mendasar dan menyeluruh.
Ada yang beraliran radikalis-non-kompromistis (fundamentalis-integralis-militan),
yang berupaya mengwujudkan pemerintahan/negara Islam dengan
menggunakan cara yang bersifat konfrontatif (hijrah dan represif) terhadap
struktur politik yang berkuasa (menolak bekerjasama dengan siapa pun yang
menentang perjuangan dan cita-cita Islam),, bersifat populis (gerakan massa,
aksi-sosial), bahkan konfrontatif terhadap elite (malaa, mutraf, konglomerat),
bersifat revolusioner, berjuang
menggunakan jalur militer dengan kekuatan senjata, bukan melalui jalur politik
konstitusional.
Namun di samping itu ada pula yang secara sistimatis, terarah, terencana dan
berkesinambungan berupaya meminggirkan, menyingkirkan, mengasingkan,
memenjarakan Islam. Mengebiri, memasung, memandulkan, melumpuhkan
Islam. Meredusir, mereduksi, membatasi hakikat dakwah, hakikat jihad. Menolak
Islam didakwahkan sebagai acuan alternatif.

Menantang hak individu dintervensi, diatur oleh Islam. Menolak Islam diterapkan
secara formal. Menolak formalisasi/legalisasi ketentuan syari'at Islam ke dalam
peraturan perundangan sebagai hukum positif. Melakukan labelisasi/stigmatisasi
Umat Islam dengan julukan seperti sekretarian, primodial, ekstrim,
fundamentalisme, dan lain-lain yang sejenis dan yang menyakitkan.
Menggembar-gemborkan bahwa syari'at Islam itu hanya cocok buat bangsa
biadab, barbar, primitif, seram, kejam, sadis, bengis, beringas, jorok, dekil,
kumal. Melakukan kegiatan/manuver politik Deislamisasi yang cenderung
sinkretis (talbis alhaq bi albathil) (Luthfi Basori : "Perkuat Keimanan Islam",
dalam "Musykilat Dalam NU", terbitan Forum Nahdliyin Untuk Kajian Strategis).

Dengan gencar berupaya memisah-misahkan antara hakikat (yang


substansial/substantif) dan syari'at (law enforcement, legal action). Hanya
mengambil hakikat (esensi, semangat, nilai) dan melepaskan syari'at (syi'ar.
simbol, ritual, legal-formal). Memuji-muji keagungan nilai-nilai Islam sebagai nilai
yang humanis-universal, dan mencela, mencerca hukum-hukum Islam dengan
sebutan sadis, kejam, biadab, primitif, tidak manusiawi. Mengarahkan
perkembangan Islam hanya beraliran, berdimensi, bernuansa
substantif/substansial (hakikat semata) tanpa terkait pada syari'at (legal-formal).
Lebih menekankan pada aspek nilai (hakikat, teoritis-akademis) dan
mengabaikan aspek simbol dan legal-formal (syari'at, praktek-aplikatif). Al-
Qur:an dipahami hanya sebatas kontekstual sesuai dengan kehidupan
sosio-kultural yang terus berkembang terlepas dari tekstual (nash).
Konsep kebersamaan, hidup berdampingan secara damai dilarutkan, dialihkan
menjadi konsep kesamaan mutlak, tanpa membedakan budaya, etnis, agamaa.
Kesamaan antara Muslim dan non-Muslim, antara pria dan wanita dalam segala
hal, termasuk dalam kepemimpinan. Siapa saja boleh dan berhak dipilih jadi
pemimpin tanpa membeda-bedakan agamanya, jendernya. Penegakkan
kesamaan antara Muslim dan non-Muslim dipandang sebagai penegakan
keadilan dan egalitarianisme paripurna, kemanusiaan universal.

Hanya berupaya sebatas menegakkan nilai-nilai Islam, dan sama sekali antipati
terhadap hukum Islam. Menghalangi, merintangi tegaknya hukum Islam di
tengah-tengah masyarakat. Meyakinkan bahwa dalam perspektif historis,
gerakan-gerakan fundamentalis radikal yang berupaya menegakkan hukum
(syari'at) Islam tidak pernah mendapat simpati dari mayoritas umat Islam.
Bahwa segala bentuk sikap, pandangan dan tindakan yang berlawanan dengan
pluralitas kehidupan akan mendapat tantangan. Yang dijadikan patokan, ukuran
kebenaran adalah hawa, publik-opini, suara terbanyak, vox populi vox Dei.

Berupaya meyakinkan bahwa perkembangan Islam substansial yang berwatak


damai, toleran dan inklusif semakin kukuh, sedangkan perkembangan Islam yang
berwatak ekslusif (ghurabaa) akan semakin terjepit, tidak memiliki lahan, tempat
untuk tumbuh berkembang. Bahwa Islam substansial adalah yang terbaik untuk
mengaktualisasikan nilai Islam ke dalam kehidupan tanpa membawa-bawa
wadah panji syari'at (hukum, ritual) (Abd A'la : "Kemengangan Gus Dur. Angin
Sejuk bagi Iklim Keagamaan di Indonesia", dalam KOMPAS 22/10/1999).

Sinkretisme adalah faham yang gerakannya berupaya mempersatukan agama-


agama yang ada di dunia (religious sssyncretism is the fusion of diverse religious
beliefs and practics). Bentuknya yang lebih konkrit adalah Moonisme, yaitu
gerakan yang didirikan oleh pendeta kaya Soon Moon dari Korea, yang menyeru
ke pada fusi (peleburan) agama-agama dalam satu wadah, yang tujuannya
menggantikan dasr ke-Tuhanan dengan dasar kemanusiaan (WA : "Gerakan
Keagamaan dan Pemikiran", 1995:384, 388). Pencetus sinkretisme Ibnu Sab'in
dan Ibnu Hud at-Talmasani beranggapan, bahwa orang yang paling mulia adalah
yang mengajak semua ummat beragama bersatu (Ibnu Taimiyah : "Al-Raddu 'ala
Al-Manthiqiyah, 1396H:282).

Sinkretisme merupakan puncak toleransi beragama secara berlebihan. Semua


agama baik. Toleransi beragamanya Jalaluddin Akbar (1556-1605) yang
memadukan unsur-unsur dari segala agama dunia ke dalam agama baru yang
disebutnya Din-Ilahi merupakan cikal bakalnya sekte Baha:i (Abul A'la Al-
Maududi : "Sejarah Pembaruan Dan Pembangunan Kembali Alam Pikiran Agama",
1984:85). Pancasila pun merupakan bentuk baru dari sinkretisme yang berupaya
mempersatukan Islam, Nasionalis/sekuler, Sosialis/Komunis (NASAMARX-
NASAKOM). Khams Qanun yang dimiliki Gerakan Freemansory dan Zionis
internasional terdiri dari monotheisme, Nasionalisme, Humanisme,
Demokratisme, Sosialisme, yang berasal dari Syer Talmud Qaballa XI:45-46
(RISALAH, No.10, Th XXII, Januari 1985, hal 53-54 : "Plotisma, apa itu ?", oleh
Em's). Tokoh-tokoh semacam Ir Mahmud Muhammad Thaha, Dr Hasan Hanafi, Dr
Muhammad Imarah, Dr Rifa'ah at-Thahthawi cenderung sinkretis.

Memang ada solusi lain yang pernah diajukan, agar segera bangkit kembali
menyusun barisan, melakukan konsolidasi. Mengadakan kontak tatap-muka
(silaturrahim). Saling menyeru, memanggil, mengajak melakukan kegiatan
tabligh, taushiah, dakwah tatap-muka. Saling nasehat-menasehati. Melakukan
lobi secara intensif, dialog (muhasabah, mudzakarah). Saling memperhatikan.
Saling bantu membantu (HUSNAYAIN 72:1999).

Tetap saja pertanyaan demi pertanyaan bergelayutan, bergelantungan.


Bagaimana caranya menyamakan visi dan persepsi politik, sehingga Islam
sebagai sistim alternatif bukan di bawah sub-ordinasi (sebagai pelengkap) sistim
thughyan ? Bagaimana caranya memunculkan kepemimpinan umat (yang bukan
hanya kepemimpinan jama'ah terbatas)?

Ataukah cukup dengan menunggu kehadiran kepemimpinan yang tepat dan


menarik, seperti menunggu kedatangan Ratu Adil atau Imam Mahdi? Kenyataan
tetap saja menunjukkan, bahwa masih saja ada yang mensahkan (legitimasi)
semua hal yang berkaitan dengan sistim thughyan, memandang hina syari'at
Islam, menolak politik diatur Islam. Masih saja ada yang dengan suara lantang
meneriakkan bahwa Islam ya Islam, Politik ya Politik, jangan dicampuradukkan.
Solusi pemecahan penyelesaian persoalan kembali kepada pakar, para ahli.

You might also like