Professional Documents
Culture Documents
Abstrak
Dermatitis kontak iritan merupakan suatu kondisi yang umum yang diakibatkan oleh
paparan sejumlah iritan terhadap kulit. Ketika terjadi kontak dengan iritan kulit,
kerentanan terhadap infeksi (tergantung pH), inflamasi, dan gradien kalsium aberan.
Dengan memahami masalah ini secara bersamaan, dan tindakan menghindari iritan,
Glukonolakton.
Daftar singkatan: ACD: Dermatitis Kontak Alergik (Allergic Contact Dermatitis); CD:
Kontak Dermatitis (Dermatitis Contact); IL: Interleukin; ICD: Dermatitis Kontak Iritan
(Irritant Contact Dermatitis); TEWL: Transepidermal Water Loss; SLS: Sodium Lauret
Dermatitis kontak merupakan satu kondisi yang mengacu pada semua inflamasi
kulit yang terjadi akibat paparan terhadap iritan atau alergen. Dermatitis kontak iritan
(DKI) merupakan satu bentuk reaksi inflamatori yang terjadi ketika senyawa kimia atau
fisik menyebabkan kerusakan kulit sitotoksik yang menimbulkan disrupsi sawar kulit,
perubahan selular, dan pelepasan mediator pro-inflamatori. Hal ini merupakan satu
oleh sel T.
adalah disebabkan DKI, dan 20% sisanya disebabkan oleh DKA. Dermatitis kontak
yang bersifat ‘mengiritasi’ seperti contohnya air sabun, pembersih, dan alkohol oles.
Senyawa lain yang umum dapat menyebabkan DKI adalah karet, bahan kimia, wet work
tubuhnya), resin dan akrilik, nikel, petrolatum, cutting oils (minyak/ cairan pemotong),
dan zat pendingin. DKI dapat diderita oleh semua individu; namun, individu yang
bekerja di industri karet, plastik, logam, petrokimia, dan otomotif merupakan kelompok
individu yang paling sering menderita penyakit ini, yang dapat disebabkan oleh
tingginya resiko paparan terhadap zat pengiritasi. Para individu yang memang sudah
mengidap penyakit kulit penyerta lainnya (contohnya kulit kering atau dermatitis
atopik), para bayi dan lansia, merupakan kelompok lain yang juga beresiko tinggi untuk
mengidap DKI, hal ini karena sawar epidermalnya lebih rentan. Penelitian telah
membuktikan penetrasi yang berbeda pada stratum korneum (SK) pada pasien yang
mengidap dermatitis atopik dan pada mereka yang terpapar iritan jika dibandingkan
dengan subjek kendali, dimana dapat mengilustrasikan peranan utama dari fungsi sawar
Pembedaan klinis antara dermatitis kontak iritan dengan dermatitis kontak alergi
merupakan hal yang sulit. Kedua kondisi ini memiliki presentasi histopatologis dan
klinis yang serupa, dan seringkali muncul secara bersamaan. Bukti baru yang ada juga
bertanggungjawab atas kaskade inflamasi pada DKI dan DKA tidak ada perbedaan.
Karena DKI seringkali ditangani secara klinis yang sangat mempengaruhi evaluasi
alergi, maka sangat penting untuk mampu memahami perbedaan antara kedua proses
tersebut.
yang unik, dan tampilan klinis yang beragam. DKI dipengaruhi oleh sifat fisik dan kimia
senyawa/ bahan yang mengiritasi kulit, konsentrasi senyawa kimia tersebut, mode
Pengaruh ini dapat memunculkan beragam manifestasi klinis, dari mulai kulit kering
atau eritema dengan tingkat keparahan ringan, sampai edema yang parah, vesikel yang
menyatu, bula, pustula, ulserasi, dan bahkan nekrosis kulit. DKI kronis dapat
memunculkan toleransi relatif terhadap iritan dan cairan tertentu dengan tanda-tanda
DKI akut yang berubah menjadi bentuk DKI kronis berliken yang dikenal sebagai
Pada kasus DKI, lesi umumnya memiliki batas yang jelas dan terbatas pada area
kontak (Gambar 2a), sedangkan pada DKA, tidak terlalu memilki batas yang jelas dan
seringkali bersifat menyebar (Gambar 3a). Beberapa gejala yang umum pada kasus DKI
mencakup munculnya rasa panas/ terbakar, sensasi tersengat, dan nyeri pada kulit.
Diagnosis dermatitis iritan akut akibat paparan bahan yang sangat iritan seringkali tidak
sulit, yang didasarkan pada distribusi, lokasi ruam, dan kemunculan perubahan pada
kulit yang cepat setelah paparan dengan senyawa kausatif. Pemeriksaan riwayat dan
informasi tentang kondisi pasien, sifat bahan pengiritasi, dan lingkungan fisik serta
penggunan metode uji alergi akan membantu kita di dalam membedakan antara kedua
tipe dermatitis.
Gambar 2: (A) Tanda-tanda dermatitis kontak iritan pada tangan mencakup kulit kering,
pecah-pecah, dan kemunculan plak yang seperti mengeluarkan rembesan cairan pada
punggung tangan. (B) Dermatitis kontak iritan setelah mendapatan penanganan dua kali
sehari selama 14 hari dengan menggunakan krim hidrokortison 1% sawar kulit yang
Gambar 3: (A) Dermatitis kontak alergi akibat paparan iodin dua hari setelah
mendapatkan epidural pada ibu yang melahirkan. (B) Setelah 11 hari penanganan BID
dengan salep sawar lipid hipoalergenik yang bersifat mengoptimalkan sawar kulit yang
Pada kasus DKA, distribusi, lokasi, dan kronologi paparan terhadap alergen
merupakan hal yang sangat perlu dipertimbangkan ketika membedakan antara DKI dan
DKA. Ketika dermatitis terdistribusi pada pola simetris dan dikenali, atau jika muncul
pada lokasi yang sangat rentan terhadap kontak dengan alergen, maka DKA seringkali
mudah untuk dibedakan dari DKI. Namun, pada dermatitis kontak kronis atau sub-akut,
dimana tidak terdapat distribusi atau demarkasi yang jelas, maka kondisi ini akan sulit
untuk menentukan perbedaan antara etiologi DKI atau DKA. Yang lebih
membingungkan lagi, terdapat beberapa hapten yang dapat menyebabkan DKI dan
Di dalam makalah ini, kami akan secara spesifik berfokus pada patofisiologi dan
Patogenesis DKI bersifat multifaktor. Iritan fisik dan kimia yang berkontak
dengan kulit dapat merusak sel epidermal kulit, dan kondisi ini dapat melepaskan lipid
transepidermal dapat terjadi. Hal ini dianggap sebagai kondisi awal DKI, dan dapat
menyebabkan pelepasan sitokin, kemokin, dan molekul adhesi, yang dimana hal ini
merupakan kemoatraktan untuk leukosit dan dapat memicu pengaktivan sel-T yang
tergantung pada antigen eksogen. Beberapa mekanisme yang berbeda telah dikaitkan
dengan DKI, dan hal ini sangat tergantung pada sifat dari iritan. Percobaan yang
melibatkan hewan sebagai subjek penelitian telah menunjukkan bahwa zat pelarut
seperti contohnya aseton diketahui dapat mengekstraksi lipid dari stratum korneum, dan
surfaktan anionik seperti contohnya sodium lauret sulfat (SLS), kokbetain, dan sodium
dodekan sulfonat (SDS) diketahui dapat merusak keratin, involukrin, profilagrin, dan
Kaskade Sitokin
Pada kasus DKI, kaskade sitokin diinisiasi oleh kontak dan penetrasi iritan
kedalam sawar kulit yang dapat menyebabkan pengaktifan keratinosit. Sistem imunitas
interleukin (IL) 1 alfa, IL-1 beta, IL-6, faktor nekrosis tumor (TNF) alfa. Sel T
diaktifkan oleh TNF alfa, IL-1 beta, dan IL-6. Kaskade sitokin dan kemokin menjadi
interselular molekul-1 (ICAM-1) yang ditemukan pada DKI. Pelepasan CCI20 dan
CXCL8 juga akan terpicu, dan hal ini menyebabkan penarikan sel mononuklir dan
aktif seperti contohnya CXCL8, CXCL1, dan CCL2. Hal ini dapat menyebabkan migrasi
sel Langerhans keluar dari epidermis dan peningkatan regulasi molekul adhesi simultan
DKI Kronis
Dengan berulangnya paparan terhadap zat pelarut dan surfaktan, kulit akan
mengalami fenomena pengerasan, yang merupakan ciri dari DKI kronis (Gambar 1).
Kondisi ini dianggap disebabkan oleh ekstraksi yang bersifat eksesif dan kronis lipid
kulit sebagai akibat dari paparan terhadap surfaktan dan zat pelarut. Kehilangan cairan
transepidermal dapat memicu peningkata proliferasi sel dan hiperkeratosis, yang terjadi
Sawar Kulit
Kulit manusia terdiri dari tiga wilayah utama, yaitu epidermis, dermis, dan
hipodermis, ketiga ini menciptakan sawar kedap yang melindungi jaringan dibawah nya
dari kondisi dehidrasi, infeksi, tekanan yang bersifat fisik, kimia, dan mekanis. Lapisan
yang paling luar pada epidermis adalah stratum korneum, lapisan ini berperan sebagai
lini pertama pertahanan terhadap penyerapan dan iritasi akibat paparan kimia. Di dalam
oleh lapisan ganda lipid ekstraselular tersusun. Lapisan ganda lipid berperan untuk
mencegah hilangnya cairan berlebih dari kulit dan juga berperan sebagai sawar terhadap
permeasi senyawa yang diaplikasikan pada kulit. Lapisan ganda juga berkontribusi
sebagai pelindung dari zat asam pada epidermis serta berkontribusi sebagai lini
Setelah terjadinya paparan dengan iritan, stratum korneum akan rusak, dan sawar
kulit akan terganggu. Kehilangan cairan berlebih serta peningkatan penetrasi iritan dan
alergen pun dapat terjadi. Alterasi atau perubahan pada gradien kalsium epidermal,
Untuk mencegah dan menangani dermatitis kontak iritan, adalah penting bagi
kita untuk memahami banyak cara kulit dapat mengalami DKI (Tabel 1), dan kita juga
Pengoptimalan sawar kulit terjadi melalui pengoptimalan konten lipid sawar kulit
epidermal, pengembalian pH dan pelindung zat asam, pencegahan iritan dan alergen
yang mempenetrasi kulit, pengendalian inflamasi, dan membantu untuk menjaga gradien
kalsium alami pada epidermis. Selain itu, semua alergen dan eksipien pro-inflamatori
harus dihindari. Pada kasus dimana inflamasi terjadi sangat parah, perbaikan sawar saja
kedalam sawar kulit diperlukan untuk mengoptimalkan kelembapan. Sawar kulit harus
dapat ditemui. Diadaptasi dengan izin dari; Chew AL., Maibach HI (2003), Masalah-
masalah pekerjaan untuk kasus dermatitis kontak iritan. Int Arch Occup Eniron Health
76:339.
menjaga hidrasi pun akan berkurang, dan hal ini akan meningkatkan TEWL dan
menurunkan kandungan air pada kulit. Sawar kulit yang terganggu ini akan memberi
jalan bagi iritan, dan hal ini merupakan salah satu dari gangguan fundamental di dalam
pelarut, deterjen, dan penggunaan sabun dan air yang berlebihan. Resiko iritasi dari
(SDS), dan kokobetain (COCO) diketahui merupakan senyawa yang paling memberikan
Selain pencegahan TEWL, iritan juga harus dicegah sehingga tidak berkontak
dengan kulit. Beberapa senyawa diketahui dapat secara efektif menghambat kehilangan
cairan transepidermal selain untuk mencegah iritan untuk berkontak dengan kulit.
Petrolatum, lilin parafin, dan dimetikon umumnya secara efektif digunakan sebagai
pelindung kulit dan juga penghambat TEWL pada kasus DKI. Baru-baru ini, fraksi lipid,
isostearil isostearat, telah teridentifikasi sebagai salah satu penghambat TEWL berbasis
hidrofobisitas relatifnya, solubilitas/ tingkat kelarutannya dalam air, dan titik lelehnya
kelarutannya dalam air akan menurun akan memungkinnya menjadi lebih sulit dicuci
dan akan menjadi lebih resisten terhadap iritan yang dapat larut dalam air. Peningkatan
titik leleh juga berbanding lurus dengan resistensi yang lebih tinggi untuk dapat dicuci
semi-padat kompleks dari lilin parafin, lilin mikrokristalin, dan minyak mineral putih.
terhadap empat iritan standar: SLS 10%, sodium hidroksida (NaOH) 1%, asam laktat
(LA) 30%, dan toluena non-encer (TOL) pada uji iritasi berulang (RIT) pada manusia
selama 12 hari. Iritasi pun di-assessment melalui penskoran visual, TEWL, dan
kolorimetri. Diketahui, petrolatum adalah lebih efektif untuk mencegah iritasi SLS,
NaOH, dan LA, dan cukup efektif untuk mencegah iritasi akibat TOL. Titik leleh
sebagai senyawa anti air yang paling hidrofobik. Lilin parafin bahkan lebih anti air jika
senyawa gabungan ini dapat menjadi penghambat TEWL yang sangat efektif. Parafin
juga merupakan pelembab alami, membantu proses pengelupasan kulit, dan membantu
untuk menyembuhkan kulit yang kering dan pecah-pecah. Jika diinjeksikan kedalam
kulit, parafin diketahui juga dapat memicu pembentukan granuloma. Hal ini tentunya
berbeda jika diaplikasikan langsung pada kulit di dalam kasus dermatitis iritan. Titik
leleh lilin parafin adalah berkisar antara 4-65ºC, tergantung pada derajat lilin yang
digunakan.
Dimetikon merupakan polimer buatan manusia dari unsur alami silika atau
silikon. Senyawa ini digunakan sebagai pelembut untuk melembutkan dan melembapkan
kulit, mengurangi rasa gatal dan pengelupasan, memfasilitasi eksfoliasi epidermal, dan
memberikan sawar pelindung dari iritan. Losion yang mengandung dimetikon juga
diketahui cukup manjur untuk meminimalisir kerusakan akibat DKI yang dipicu oleh
sodium lauret sulfat (SLS). Salep yang mengandung dimetikon juga diketahui terbukti
manjur didalam melindungi kulit dari iritan kontak tabir surya, penyaliran intra-
abdominal, dan dari luahan ulkus kulit. Sayangnya, terdapat peningkatan jumlah laporan
yang menunjukkan sensitisasi dan reaksi inflamatori terhadap polimer silikon, yang
dimana hal ini membatasi penggunaannya. Ketika silikon diinkubasikan dengan monosit
manusia, terjadi peningkatan tingkat sitokin inflamatori yang mencakup IL-1 beta, IL-6,
dan TNF-alfa. Lebih jauh lagi, asai kelenjar getah bening lokal pada tikus juga
menunjukkan potensi lemahnya atau kurangnya sensitisasi kulit pada empat dari lima
material silikon yang diuji untuk sensitisasi kulit. Titik leleh dimetikon umumnya
Ketika banyak dari produk pereparasi sawar kulit berfokus pada “penggantian
lipid fisiologis” dengan rasio 3:1:1 (ceramide, kolesterol, dan asam lemak), jenis lipid
utama stratum korneum pada kenyataannya dapat ditemukan pada konsentrasi relatif
berikut ini: ceramide (47%), asam lemak (11%), kolesterol (24%), dan ester kolesterol
(18%). Penggantian lipid fisiologis yang mengikuti aturan rasio 3:1:1 tidak secara
spesifik berfokus pada spesies atau jenis lipid yang secara khusus defisien (kurang) pada
dermatitis kontak yang diakibatkan oleh SDS, kulit yang menua, kulit kering, dan kulit
yang rentan terkena eksema. Struktur, konsentrasi, dan rasio lipid epidermal
memungkinkan epidermis untuk berperan sebagai sawar terhadap iritan, alergen, dan
mikroba, dan juga dapat membatasi kehilangan cairan dan meregulasi suhu. Banyak dari
kondisi kulit seperti contohnya DKI, serosis, kulit yang menua, dan dermatitis atopik
diatribusikan pada kekurangan atau aberasi dalam hal rasio dari kelas-kelas lipid
spesifik. Dengan demikian, akan lebih bermanfaat untuk bersandar pada literatur medis
dan mengidentifikasi spesies atau jenis lipid khusus yang memang defisien/ sedikit pada
dermatitis kontak iritan, dan pada upaya suplementasi lipid tersebut terhadap kulit yang
lamelar menghasilkan dan mengeksresikan struktur lipid tetap pada korneosit dan
memberikan sawar yang membatasi TEWL, serta dapat mencegah pelarutan faktor
pelembapan alami dari stratum korneum. Dengan bertambahnya usia, tingkat produksi
lipid intraselular dan konsentrasinya akan menurun. Fitosfingosin dan ceramide yang
mengandung fitosfingosin akan menjadi sedikit dan kulit akan lebih rentan terhadap
kondisi kering, iritasi, dan DKI. Menariknya, ceramide 3 (ceramide yang berbasis
fistosfinosin) diketahui juga akan mengalami penurunan konsentrasi pada kulit atopik,
Banyak dari iritan yang umum seperti contohnya (SLS) dan (SDS) diketahui
dapat mengurangi produksi ceramide. Hal ini sebagian disebabkan oleh kemampuannya
pada baseline dengan iritasi klinis yang mencakup eritema, kulit bersisik, kulit kering,
dan kulit kasar. Hal ini menunjukkan kecenderungan terhadap dermatitis kontak iritan
yang dipicu oleh surfaktan. Iritan-iritan yang lain yang dikenal dapat merusak lapisan-
ganda lipid dan mengurangi kandungan ceramide diantaranya adalah alkalis seperti
contohnya sabun, soda, amonia, potasium, dan sodium hidroksida, dan juga zat pelarut
Produk yang dapat memperbaiki sawar kulit untuk penanganan dan pencegahan
dermatitis kontak iritan akan secara spesifik mensuplementasi kulit dengan fitosfingosin
dan ceramide yang mengandung fitosfingosin, yang dimana hal ini akan memicu
Kolesterol, ester kolesterol, dan rasio relatifnya juga memainkan peranan yang
penting di dalam fungsi sawar kulit. Konsentrasi kolesteron yang berlebihan dengan
defisiensi ester kolesterol juga teridentifikasi pada kondisi kulit kering yang disebabkan
oleh SDS, kulit serotik, dan kulit atopik. Ketika kulit teriritasi dengan SDS untuk
memicu ICD dan kemudian ditangani baik dengan obat berbasis kolesterol 1% atau obat
berbasis ester kolesterol 1%, maka kulit yang ditangani kolesterol tidaklah menunjukkan
pemulihan/ peningkatan dalam hal nilai konduktan, sedangkan kulit yang ditangai
dengan ester kolesterol dapat menunjukkan pemulihan dalam hal nilai konduktan. Hal
yang secara khusus mengalami defisiensi pada kasus ICD, seperti contohnya ester
mensuplementasikan kolesterol.
Inflamasi
sawar kulit, dan glukokortikoid diketahui merupakan senyawa yang paling umum
memiliki tingkat kemanjuran yang sama dengan krim yang dibeli tanpa resep. Disini kita
akan meninjau ulang manfaat dari dua molekul anti inflamatori non-steroid (yang sudah
dermatitis kontak, hal ini karena senyawa ini memiliki aktifitas anti alergi dan anti
inflamatori yang mirip dengan kortikosteroid. Secara in vitro, asam glisiretinik dapat
melemahkan penggenerasian/ produksi NO, PGE2, dan ROS yang berlebihan, dan dapat
menekan ekspresi gen-gen pro inflamatori dengan menghambat aktifitas NF-kB dan
P13K. Selain itu, diketahui bahwa asam glisiretinik 18β diketahui dapat menghambat
reduktase ∆4β, yaitu suatu enzim yang secara kompetitif menonaktifkan hormon-
hormon steroid, dan hidroksisteroid dehidrogenase 11β, yang merupakan enzim yang
menonaktifkan kortisol. Hal ini mungkin akan dapat mempotensikan kapasitas anti
inflamatori tubuh dengan meningkatkan kadar kortisol alami. Ketika digunakan di dalam
glukokortikoid dosis rendah dan/ atau penggunaan dalam jangka pendek (Gambar 2b).
Hal ini dapat membatasi paparan terhadap glukokortikoid dan efek sampingnya. Insiden
akan dermatitis kontak pada tikus diketahui dapat diminimalisir ketika diberikan
dengan prednisolon. Ketika diberikan melalui oral, asam glisiretinik 18β tidaklah dapat
memberikan kemanjuran, dan hal ini pun mengindikasikan bahwa tindakan pemberian
molekul aktif secara langsung ke area dermatitis kontak merupakan hal yang
direkomendasikan.
Niasinamida
memiliki efek anti kanker dan dapat bermanfaat di dalam penanganan beragam penyakit
kulit inflamatori yang mencakup akne vulgaris, rosasea, dan pemfigoid bulosa. Pengaruh
klinis yang luas dari niasinamida disebabkan oleh beragam mekanisme aksinya, yang
mencakup efek anti inflamasi nya melalui penghambatan kemotaksis leukosit, pelepasan
diketahui juga dapat meningkatkan ketebalan epidermis dan juga memicu produksi
enzim penentu laju di dalam sintesis sfingolipid. Peningkatan ini di dalam produksi
ceramide secara langsung berkaitan dengan penurunan pada TEWL pada subjek yang
menderita kulit serotik. Dengan menciptakan sawar kulit yang lebih kuat dengan
penggunaan niasinamida topikal, para pasien akan menjadi lebih resisten terhadap DKI
pentig di dalam patogenesis, pencegahan, dan penanganan dermatitis kontak iritan. Kulit
yang sehat biasanya memiliki stratum korneum asam dengan pH sekitar 4,6 sampai 5,6.
enzim ini adalah penting untuk produksi ceramide dan lipid, dan juga untuk menjaga
mikrobioma yang sehat. Ketika ceramide, kandungan lipid, dan flora kulit alami
terganggu, maka siklus dari peningkatan alaklinitas/ kebasaan, infeksi, kulit kering, dan
terganggunya sawar epidermal dapat terjadi. Hal ini akan kemudian diperburuk dengan
paparan berulang terhadap senyawa-senyawa basa seperti contohnya sabun, zat pelarut,
keindahan kulit, dan juga dapat mencegah iritasi kulit. Asam-asam polihidroksi (PHA)
ini diketahui sangat ideal untuk mengoptimalkan pH epidermal dan menurunkan TEWL.
Peremajaan Sel
stratum korneum melalui diferensiasi terminal untuk memproduksi korneosit dan lipid
hidrofobik antara korneosit dan lamela lipid yang bersifat hidrofobik untuk
menghasilhkan fenotip yang mirip dengan sel basal, sedangkan keratinosit yang dikultur
pada konsentrasi kalsium yang lebih tinggi akan mengalami diferensiasi terminal.
Beberapa penelitian in vivo dan in vitro yang menggunakan epidermis manusia dan tikus
telah memperkuat temuan ini, yang menunjukkan kadar kalsium yang lebih rendah pada
Dalam hal disrupsi sawar yang dipicu oleh aseton, Menon dkk menunjukkan bahwa
gradien kalsium intraselular dapat hilang dan muncul kembali dengan sekresi tubuh
lamelar dan pemulihan sawar selama periode 24 jam. Ketika direndam pada kalsium
plus sukrosa iso-osmolar, gradien kalsium epidermal pun terisi kembali dan sekresi
badan lamelar serta proses pemulihan sawar secara signifikan mengalami penurunan.
gradien kalsium epidermal, yang dimana berupa sinyal yang menginisiasi sekresi badan
lamelar, dan hal ini pun dapat memicu perbaikan sawar. Para pasien penderita psoriasis,
kulit atopik kering, dan dermatitis kontak biasanya akan rentan terhadap iritan seperti
contohnya sodium lauret sulfat dan glikol politilen (PEG), hal ini disebabkan oleh
mikro (microprobe) nuklir telah menunjukkan bahwa para pasien ini diketahui memiliki
gradien kalsium epidermal yang lebih tinggi dari normal. Selain itu, senyawa-senyawa
iritan yang kuat seperti contohnya heksadinal 2-4, piperazine, DMIPA, heptilamina, dan
SLS diketahui semuanya dapat memicu pelepasan keratinosit kalsium intraselular yang
dapat memicu pengaktifan sitokin-sitokin pro inflamatori IL1-alfa, IL6 dan IL8, serta
telah menunjukkan langkah akhir deskuamasi pada kulit hiperkeratotik. Kulit yang
normal sepertinya memiliki senyawa pengkelatan alami, yang dimana menurut Rawlings
dkk, hal ini disebabkan oleh asam lemak alami. Jika memang benar, adalah logis untuk
berpendapat bahwa gangguan kulit yang kekurangan asam lemak akanlah meningkatkan
kadar kalsium, seperti yang dikemukakan oleh Forslind dkk. Untuk produk-produk yang
ditujukan untuk menangani dermatitis kontak iritan, dimana asam lemak yang seringkali
diminimalisir dari kulit, penyertaan senyawa pengkelatan kalsium rendah mungkin akan
Pencegahan DKI
tempat kerja merupakan hal yang sangat penting. Peminimalisiran kontak dengan iritan
seperti contohnya sabun, zat pelarut, minyak, alkali, asam, atau material-material abrasif
diketahui dapat menurunkan tingkat insiden DKI. Namun, ketika penghindaran dari
alternatif berikutya.
pelindung dapat melindungi dari iritan lemah, yang dimana hal ini dapat bermanfaat
bagi para pekerja wet-work yang sering bersentuhan dengan air, sabun, dan deterjen.
Produk ini juga dapat melindungi kulit dari bahan kimia, minyak, dan iritan lainnya.
Produk-produk pelindung kulit yang memiliki sifat melembapkan juga dapat mencegah
DKI dan mengakselerasi tingkat kesembuhan kulit yang rusak melalui peningkatan
hidrasi kulit dan pemodifikasian lipid epidermal endogen. Para individu yang sering
terpapar iritan harus didorong untuk secara berkala menggunakan pelembap, bukan
hanya untuk mencegah, namun juga ditujukan untuk menangani DKI dengan tingkat
keparahan ringan.
Kesimpulan
Air, zat pelarut organik, deterjen, alkali, dan asam diketahui merupakan iritan
yang paling umum yang dapat menyebabkan DKI. Paparan kulit manusia terhadap iritan
ini diketahui dapat merusak stratum korneum, yang dapat menyebabkan gangguan pada
sawar kulit. Karena penghindaran akan iritan ini tidak selalu dapat dipraktekkan, maka
upaya profilaktik yang ditujukan untuk mengurangi tingkat tanda dan gejala inflamasi
dan mengembalikan fungsi sawar epidermal. Produk topikal yang ideal harus digunakan
pada banyak area yang memiliki kerentanan dan patologi yang dapat menyebabkan DKI,
dan produk ini harus efektif untuk semua tanpa memandang lingkungan, kelompok usia,
ataupun pekerjaan individu. Pemanfaatan data terbaru maupun data yang sudah ada
dalam hal interaksi beragam bahan kimia dengan stratum korneum telah memicu
pengembangan produk baru yang didasarkan pada ilmu medis yang berbasis bukti.
Pemahaman kami akan patofisiologi dermatitis kontak iritan akan terus diklarifikasi,
yang dimana hal ini dapat memungkinkan pengembangan opsi-opsi penanganan yang