You are on page 1of 21

Journal Reading

Dermatitis Kontak Iritan: Mekanisme Untuk Perbaikan

Abstrak

Dermatitis kontak iritan merupakan suatu kondisi yang umum yang diakibatkan oleh

paparan sejumlah iritan terhadap kulit. Ketika terjadi kontak dengan iritan kulit,

epidermis akan mengalami banyak masalah, seperti defisiensi lipid epidermal,

peningkatan pH epidermal dengan supresi produksi lipid epidermal, meningkatnya

kerentanan terhadap infeksi (tergantung pH), inflamasi, dan gradien kalsium aberan.

Dengan memahami masalah ini secara bersamaan, dan tindakan menghindari iritan,

maka penanganan dermatitis kontak iritan dapat dimaksimalkan.

Kata kunci: Alergen; Disfungsi sawar, Ceramide; Kontak; Dermatitis; Iritan;

Petrolatum; Ester kolesterol; Niasinamida; Dimetikon, Asam glisiretinik 18-B;

Glukonolakton.

Daftar singkatan: ACD: Dermatitis Kontak Alergik (Allergic Contact Dermatitis); CD:

Kontak Dermatitis (Dermatitis Contact); IL: Interleukin; ICD: Dermatitis Kontak Iritan

(Irritant Contact Dermatitis); TEWL: Transepidermal Water Loss; SLS: Sodium Lauret

Sulfat (Sodium Lauryl Sulfate)


Pendahuluan

Dermatitis kontak merupakan satu kondisi yang mengacu pada semua inflamasi

kulit yang terjadi akibat paparan terhadap iritan atau alergen. Dermatitis kontak iritan

(DKI) merupakan satu bentuk reaksi inflamatori yang terjadi ketika senyawa kimia atau

fisik menyebabkan kerusakan kulit sitotoksik yang menimbulkan disrupsi sawar kulit,

perubahan selular, dan pelepasan mediator pro-inflamatori. Hal ini merupakan satu

mekanisme non-imunologi yang tidak memerlukan sensitisasi, sedangkan dermatitis

kontak alergi (DKA) merupakan reaksi hipersensitivitas tipe-tertunda, yang termediasi

oleh sel T.

Epidemiologi DK menunjukkan bahwa 80% dari seluruh kasus dermatitis kontak

adalah disebabkan DKI, dan 20% sisanya disebabkan oleh DKA. Dermatitis kontak

iritan umumnya disebabkan oleh seringnya atau penggunaan berulang senyawa-senyawa

yang bersifat ‘mengiritasi’ seperti contohnya air sabun, pembersih, dan alkohol oles.

Senyawa lain yang umum dapat menyebabkan DKI adalah karet, bahan kimia, wet work

(pekerjaan yang mengharuskan pekerjanya mengalami kondisi basah pada bagian

tubuhnya), resin dan akrilik, nikel, petrolatum, cutting oils (minyak/ cairan pemotong),

dan zat pendingin. DKI dapat diderita oleh semua individu; namun, individu yang

bekerja di industri karet, plastik, logam, petrokimia, dan otomotif merupakan kelompok

individu yang paling sering menderita penyakit ini, yang dapat disebabkan oleh

tingginya resiko paparan terhadap zat pengiritasi. Para individu yang memang sudah

mengidap penyakit kulit penyerta lainnya (contohnya kulit kering atau dermatitis

atopik), para bayi dan lansia, merupakan kelompok lain yang juga beresiko tinggi untuk

mengidap DKI, hal ini karena sawar epidermalnya lebih rentan. Penelitian telah

membuktikan penetrasi yang berbeda pada stratum korneum (SK) pada pasien yang
mengidap dermatitis atopik dan pada mereka yang terpapar iritan jika dibandingkan

dengan subjek kendali, dimana dapat mengilustrasikan peranan utama dari fungsi sawar

kulit pada kasus DKI.

Memahami Perbedaan DKI dari DKA

Pembedaan klinis antara dermatitis kontak iritan dengan dermatitis kontak alergi

merupakan hal yang sulit. Kedua kondisi ini memiliki presentasi histopatologis dan

klinis yang serupa, dan seringkali muncul secara bersamaan. Bukti baru yang ada juga

mengindikasikan bahwa aktifitas sel epidermal dan dermal yang diketahui

bertanggungjawab atas kaskade inflamasi pada DKI dan DKA tidak ada perbedaan.

Karena DKI seringkali ditangani secara klinis yang sangat mempengaruhi evaluasi

alergi, maka sangat penting untuk mampu memahami perbedaan antara kedua proses

tersebut.

DKI merupakan suatu sindrom biologis yang kompleks dengan patofisiologi

yang unik, dan tampilan klinis yang beragam. DKI dipengaruhi oleh sifat fisik dan kimia

senyawa/ bahan yang mengiritasi kulit, konsentrasi senyawa kimia tersebut, mode

paparan, faktor-faktor kerentanan tubuh, dan faktor-faktor lingkungan penyerta lainnya.

Pengaruh ini dapat memunculkan beragam manifestasi klinis, dari mulai kulit kering

atau eritema dengan tingkat keparahan ringan, sampai edema yang parah, vesikel yang

menyatu, bula, pustula, ulserasi, dan bahkan nekrosis kulit. DKI kronis dapat

memunculkan toleransi relatif terhadap iritan dan cairan tertentu dengan tanda-tanda

DKI akut yang berubah menjadi bentuk DKI kronis berliken yang dikenal sebagai

fenomena pengerasan (Gambar 1).


Gambar 1: Fenomena pengerasan dalam satu mekanis.

Pada kasus DKI, lesi umumnya memiliki batas yang jelas dan terbatas pada area

kontak (Gambar 2a), sedangkan pada DKA, tidak terlalu memilki batas yang jelas dan

seringkali bersifat menyebar (Gambar 3a). Beberapa gejala yang umum pada kasus DKI

mencakup munculnya rasa panas/ terbakar, sensasi tersengat, dan nyeri pada kulit.

Diagnosis dermatitis iritan akut akibat paparan bahan yang sangat iritan seringkali tidak

sulit, yang didasarkan pada distribusi, lokasi ruam, dan kemunculan perubahan pada

kulit yang cepat setelah paparan dengan senyawa kausatif. Pemeriksaan riwayat dan

informasi tentang kondisi pasien, sifat bahan pengiritasi, dan lingkungan fisik serta

penggunan metode uji alergi akan membantu kita di dalam membedakan antara kedua

tipe dermatitis.

Gambar 2: (A) Tanda-tanda dermatitis kontak iritan pada tangan mencakup kulit kering,

pecah-pecah, dan kemunculan plak yang seperti mengeluarkan rembesan cairan pada
punggung tangan. (B) Dermatitis kontak iritan setelah mendapatan penanganan dua kali

sehari selama 14 hari dengan menggunakan krim hidrokortison 1% sawar kulit yang

teroptimalkan dan salep pengoptimal sawar lipid.

Gambar 3: (A) Dermatitis kontak alergi akibat paparan iodin dua hari setelah

mendapatkan epidural pada ibu yang melahirkan. (B) Setelah 11 hari penanganan BID

dengan salep sawar lipid hipoalergenik yang bersifat mengoptimalkan sawar kulit yang

digabungkan dengan klobetasol 0,05%.

Pada kasus DKA, distribusi, lokasi, dan kronologi paparan terhadap alergen

merupakan hal yang sangat perlu dipertimbangkan ketika membedakan antara DKI dan

DKA. Ketika dermatitis terdistribusi pada pola simetris dan dikenali, atau jika muncul

pada lokasi yang sangat rentan terhadap kontak dengan alergen, maka DKA seringkali

mudah untuk dibedakan dari DKI. Namun, pada dermatitis kontak kronis atau sub-akut,

dimana tidak terdapat distribusi atau demarkasi yang jelas, maka kondisi ini akan sulit

untuk menentukan perbedaan antara etiologi DKI atau DKA. Yang lebih

membingungkan lagi, terdapat beberapa hapten yang dapat menyebabkan DKI dan

DKA, tergantung pada konsentrasinya.

Di dalam makalah ini, kami akan secara spesifik berfokus pada patofisiologi dan

mekanisme untuk perbaikan sawar kulit pada kasus DKI.


Patofisiologi Dermatitis Kontak Iritan

Patogenesis DKI bersifat multifaktor. Iritan fisik dan kimia yang berkontak

dengan kulit dapat merusak sel epidermal kulit, dan kondisi ini dapat melepaskan lipid

epidermal dari epidermis. Peningkatan permeabilitas kulit dan hilangnya cairan

transepidermal dapat terjadi. Hal ini dianggap sebagai kondisi awal DKI, dan dapat

menyebabkan pelepasan sitokin, kemokin, dan molekul adhesi, yang dimana hal ini

merupakan kemoatraktan untuk leukosit dan dapat memicu pengaktivan sel-T yang

tergantung pada antigen eksogen. Beberapa mekanisme yang berbeda telah dikaitkan

dengan DKI, dan hal ini sangat tergantung pada sifat dari iritan. Percobaan yang

melibatkan hewan sebagai subjek penelitian telah menunjukkan bahwa zat pelarut

seperti contohnya aseton diketahui dapat mengekstraksi lipid dari stratum korneum, dan

surfaktan anionik seperti contohnya sodium lauret sulfat (SLS), kokbetain, dan sodium

dodekan sulfonat (SDS) diketahui dapat merusak keratin, involukrin, profilagrin, dan

struktur-struktur protein lain yang bertanggungjawab di dalam pencegahan oversaturasi

stratum korneum dan disorganisasi lapisan-ganda lipid.

Kaskade Sitokin

Pada kasus DKI, kaskade sitokin diinisiasi oleh kontak dan penetrasi iritan

kedalam sawar kulit yang dapat menyebabkan pengaktifan keratinosit. Sistem imunitas

bawaan sudah dirancang untuk melepaskan sitokin proinflamatori, seperti contohnya

interleukin (IL) 1 alfa, IL-1 beta, IL-6, faktor nekrosis tumor (TNF) alfa. Sel T

diaktifkan oleh TNF alfa, IL-1 beta, dan IL-6. Kaskade sitokin dan kemokin menjadi

semakin kuat, dan menyebabkan peningkatan regulasi karakteristik dari adhesi

interselular molekul-1 (ICAM-1) yang ditemukan pada DKI. Pelepasan CCI20 dan
CXCL8 juga akan terpicu, dan hal ini menyebabkan penarikan sel mononuklir dan

polimofonuklir ke lokasi cedera. Fibroblas juga akan menstimulasi mediator-mediator

aktif seperti contohnya CXCL8, CXCL1, dan CCL2. Hal ini dapat menyebabkan migrasi

sel Langerhans keluar dari epidermis dan peningkatan regulasi molekul adhesi simultan

yang menyebabkan perekrutan banyaknya sel imun ke kulit.

DKI Kronis

Dengan berulangnya paparan terhadap zat pelarut dan surfaktan, kulit akan

mengalami fenomena pengerasan, yang merupakan ciri dari DKI kronis (Gambar 1).

Kondisi ini dianggap disebabkan oleh ekstraksi yang bersifat eksesif dan kronis lipid

kulit sebagai akibat dari paparan terhadap surfaktan dan zat pelarut. Kehilangan cairan

transepidermal dapat memicu peningkata proliferasi sel dan hiperkeratosis, yang terjadi

sebagai reaksi iritan eksematoid kronis dari fenomena pengerasan kulit.

Sawar Kulit

Kulit manusia terdiri dari tiga wilayah utama, yaitu epidermis, dermis, dan

hipodermis, ketiga ini menciptakan sawar kedap yang melindungi jaringan dibawah nya

dari kondisi dehidrasi, infeksi, tekanan yang bersifat fisik, kimia, dan mekanis. Lapisan

yang paling luar pada epidermis adalah stratum korneum, lapisan ini berperan sebagai

lini pertama pertahanan terhadap penyerapan dan iritasi akibat paparan kimia. Di dalam

stratum korneum, keratinosit yang berkornifikasi (terlapisi lapisan tanduk), terpisah

oleh lapisan ganda lipid ekstraselular tersusun. Lapisan ganda lipid berperan untuk

mencegah hilangnya cairan berlebih dari kulit dan juga berperan sebagai sawar terhadap

permeasi senyawa yang diaplikasikan pada kulit. Lapisan ganda juga berkontribusi
sebagai pelindung dari zat asam pada epidermis serta berkontribusi sebagai lini

pertahanan intrinsik di dalam epidermis; pH dengan keasaman alami. Gradien kalsium

epidermal diketahui mempengaruhi deskuamas, peremajaan selular, dan diferensiasi

epidermis, serta sistem imun kulit.

Setelah terjadinya paparan dengan iritan, stratum korneum akan rusak, dan sawar

kulit akan terganggu. Kehilangan cairan berlebih serta peningkatan penetrasi iritan dan

alergen pun dapat terjadi. Alterasi atau perubahan pada gradien kalsium epidermal,

lambat/terganggunya produksi lipid, dan meningkatnya pH, semuanya diketahui

memainkan peranan akan terjadinya dermatitis kontak iritan.

Mekanisme Untuk Perbaikan

Untuk mencegah dan menangani dermatitis kontak iritan, adalah penting bagi

kita untuk memahami banyak cara kulit dapat mengalami DKI (Tabel 1), dan kita juga

harus memahami kerentanan epidermal melalui pengoptimalan sawar kulit.

Pengoptimalan sawar kulit terjadi melalui pengoptimalan konten lipid sawar kulit

epidermal, pengembalian pH dan pelindung zat asam, pencegahan iritan dan alergen

yang mempenetrasi kulit, pengendalian inflamasi, dan membantu untuk menjaga gradien

kalsium alami pada epidermis. Selain itu, semua alergen dan eksipien pro-inflamatori

harus dihindari. Pada kasus dimana inflamasi terjadi sangat parah, perbaikan sawar saja

tidak cukup untuk mengembalikan sawar kulit, maka penggunaan glukokortikoid

kedalam sawar kulit diperlukan untuk mengoptimalkan kelembapan. Sawar kulit harus

dioptimalkan yang diikuti dengan penanganan inflamasi (Gambar 3b).


Okupasi/ Pekerjaan Jenis iritan yang umum ditemui
Pertanian Minyak
Zat pelarut
Zat pembesih dan deterjen
Tanaman
Rambut, air liur, dan sekresi binatang
Wet work (pekerjaan-pekerjaan yang mengharuskan
sebagian bagian tubuh pekerjanya basah)
Industri otomotif/ mobil Oil/ minyak/ oli (minyak/ cairan pemotong)
Zat pelarut
Zat pembesih dan deterjen
Industri konstruksi dan Semen
semen
Zat pengawet kayu
Oli/ minyak
Asam dan alkali
Fiberglas
Wet work (pekerjaan-pekerjaan yang mengharuskan
sebagian bagian tubuh pekerjanya basah)
Zat pembesih dan deterjen
Zat yang bersifat abrasif
Kelistrikan/ elektronik Zat pelarut
Fluks solder/ pematri
Zat pembesih dan deterjen
Asam dan alkali
Industri Makanan Wet work
Zat pembesih dan deterjen
Sayuran, ikan, daging, buah-buahan, rempah-rempah/
bumbu, tepung
Salon/ periasan/ Zat pembesih dan deterjen
kecantikan
Sampo
Zat peng-ikal rambut permanen
Zat pengoksidasi, senyawa pewarna
Kesehatan dan Kesehatan Zat pembesih dan deterjen
Gigi
Wet work
Alkohol
Disinfektan
Obat
Zat pelarut
Pengecatan Minyak dan larutan pemotong
Asam dan alkali
Zat pelarut
Industri logam Zat pembesih dan deterjen
Cat
Lem/ perekat
Tanah liat, plaster
Industri plastik Plastik
Zat pelarut
Fiberglas
Asam
Industri karet Zat pelarut
Zat pembersih dan deterjen
Faktor gesekan/ mekanis
Industri/ pekerjaan- Plastik
pekerjaan perkayuan
Zat pelarut
Zat pengawet kayu
Deterjen
Bubuk gergaji
Tabel 1: Pekerjaan-pekerjaan dengan resiko tinggi dan jenis-jenis iritan umum yang

dapat ditemui. Diadaptasi dengan izin dari; Chew AL., Maibach HI (2003), Masalah-

masalah pekerjaan untuk kasus dermatitis kontak iritan. Int Arch Occup Eniron Health

76:339.

Pencegahan Hilangnya Cairan Transepidermal Yang Dipicu Oleh Zat Kimia

Hilangnya cairan transepidermal (TEWL) merupakan satu refleksi fungsi sawar

stratum korneum. Ketika terjadinya cedera, kemampuan stratum korneum untuk

menjaga hidrasi pun akan berkurang, dan hal ini akan meningkatkan TEWL dan

menurunkan kandungan air pada kulit. Sawar kulit yang terganggu ini akan memberi

jalan bagi iritan, dan hal ini merupakan salah satu dari gangguan fundamental di dalam

patofisiologi dermatitis kontak.

Semua senyawa yang dapat mendenaturasi keratin, menghilangkan faktor

pelembab/ kelembapan alami, atau terganggunya komponen lapisan ganda lipid

epidermis diketahui dapat menyebabkan peningkatan TEWL, yang mencakup zat

pelarut, deterjen, dan penggunaan sabun dan air yang berlebihan. Resiko iritasi dari

surfaktan dan deterjen yang berbeda-beda telah sebelumnya diteliti dengan


menggunakan TEWL, dengan sodium lauret sulfat (SLS), sodium dodekana sulfonat

(SDS), dan kokobetain (COCO) diketahui merupakan senyawa yang paling memberikan

dampak atas kondisi hilangnya cairan melaluli kulit.

Mencegah Kontak Dengan Iritan

Selain pencegahan TEWL, iritan juga harus dicegah sehingga tidak berkontak

dengan kulit. Beberapa senyawa diketahui dapat secara efektif menghambat kehilangan

cairan transepidermal selain untuk mencegah iritan untuk berkontak dengan kulit.

Petrolatum, lilin parafin, dan dimetikon umumnya secara efektif digunakan sebagai

pelindung kulit dan juga penghambat TEWL pada kasus DKI. Baru-baru ini, fraksi lipid,

isostearil isostearat, telah teridentifikasi sebagai salah satu penghambat TEWL berbasis

lipid yang paling efektif di dunia.

Untuk dianggap sebagai protektan/ pelindung sawar kulit yang ideal,

hidrofobisitas relatifnya, solubilitas/ tingkat kelarutannya dalam air, dan titik lelehnya

harus dipertimbangkan. Ketika hidrofobisitas suatu senyawa meningkat, maka tingkat

kelarutannya dalam air akan menurun akan memungkinnya menjadi lebih sulit dicuci

dan akan menjadi lebih resisten terhadap iritan yang dapat larut dalam air. Peningkatan

titik leleh juga berbanding lurus dengan resistensi yang lebih tinggi untuk dapat dicuci

pada air panas atau dingin.

Petrolatum, yang merupakan penghambat TEWL standar, merupakan kombinasi

semi-padat kompleks dari lilin parafin, lilin mikrokristalin, dan minyak mineral putih.

Wigger-Alberti dan Elsner pun mengevaluasi pengaruh protektif dari petrolatum

terhadap empat iritan standar: SLS 10%, sodium hidroksida (NaOH) 1%, asam laktat

(LA) 30%, dan toluena non-encer (TOL) pada uji iritasi berulang (RIT) pada manusia
selama 12 hari. Iritasi pun di-assessment melalui penskoran visual, TEWL, dan

kolorimetri. Diketahui, petrolatum adalah lebih efektif untuk mencegah iritasi SLS,

NaOH, dan LA, dan cukup efektif untuk mencegah iritasi akibat TOL. Titik leleh

petrolatum adalah sekitar 36-60ºC.

Parafin merupakan campuran hidrokarbon alifatik tersaturasi dan dianggap

sebagai senyawa anti air yang paling hidrofobik. Lilin parafin bahkan lebih anti air jika

dibandingkan dengan petrolatum, dan ketika dikombinasikan dengan petrolatum, maka

senyawa gabungan ini dapat menjadi penghambat TEWL yang sangat efektif. Parafin

juga merupakan pelembab alami, membantu proses pengelupasan kulit, dan membantu

untuk menyembuhkan kulit yang kering dan pecah-pecah. Jika diinjeksikan kedalam

kulit, parafin diketahui juga dapat memicu pembentukan granuloma. Hal ini tentunya

berbeda jika diaplikasikan langsung pada kulit di dalam kasus dermatitis iritan. Titik

leleh lilin parafin adalah berkisar antara 4-65ºC, tergantung pada derajat lilin yang

digunakan.

Dimetikon merupakan polimer buatan manusia dari unsur alami silika atau

silikon. Senyawa ini digunakan sebagai pelembut untuk melembutkan dan melembapkan

kulit, mengurangi rasa gatal dan pengelupasan, memfasilitasi eksfoliasi epidermal, dan

memberikan sawar pelindung dari iritan. Losion yang mengandung dimetikon juga

diketahui cukup manjur untuk meminimalisir kerusakan akibat DKI yang dipicu oleh

sodium lauret sulfat (SLS). Salep yang mengandung dimetikon juga diketahui terbukti

manjur didalam melindungi kulit dari iritan kontak tabir surya, penyaliran intra-

abdominal, dan dari luahan ulkus kulit. Sayangnya, terdapat peningkatan jumlah laporan

yang menunjukkan sensitisasi dan reaksi inflamatori terhadap polimer silikon, yang

dimana hal ini membatasi penggunaannya. Ketika silikon diinkubasikan dengan monosit
manusia, terjadi peningkatan tingkat sitokin inflamatori yang mencakup IL-1 beta, IL-6,

dan TNF-alfa. Lebih jauh lagi, asai kelenjar getah bening lokal pada tikus juga

menunjukkan potensi lemahnya atau kurangnya sensitisasi kulit pada empat dari lima

material silikon yang diuji untuk sensitisasi kulit. Titik leleh dimetikon umumnya

dibawah 50ºC, tergantung pada polimer mana yang digunakan.

Suplementasi dan Deplesi Lipid Kulit

Ketika banyak dari produk pereparasi sawar kulit berfokus pada “penggantian

lipid fisiologis” dengan rasio 3:1:1 (ceramide, kolesterol, dan asam lemak), jenis lipid

utama stratum korneum pada kenyataannya dapat ditemukan pada konsentrasi relatif

berikut ini: ceramide (47%), asam lemak (11%), kolesterol (24%), dan ester kolesterol

(18%). Penggantian lipid fisiologis yang mengikuti aturan rasio 3:1:1 tidak secara

spesifik berfokus pada spesies atau jenis lipid yang secara khusus defisien (kurang) pada

dermatitis kontak yang diakibatkan oleh SDS, kulit yang menua, kulit kering, dan kulit

yang rentan terkena eksema. Struktur, konsentrasi, dan rasio lipid epidermal

memungkinkan epidermis untuk berperan sebagai sawar terhadap iritan, alergen, dan

mikroba, dan juga dapat membatasi kehilangan cairan dan meregulasi suhu. Banyak dari

kondisi kulit seperti contohnya DKI, serosis, kulit yang menua, dan dermatitis atopik

diatribusikan pada kekurangan atau aberasi dalam hal rasio dari kelas-kelas lipid

spesifik. Dengan demikian, akan lebih bermanfaat untuk bersandar pada literatur medis

dan mengidentifikasi spesies atau jenis lipid khusus yang memang defisien/ sedikit pada

dermatitis kontak iritan, dan pada upaya suplementasi lipid tersebut terhadap kulit yang

teriritasi, bukan mensuplai tingkat fisiologis dari lipid tersebut.


Lipid Epidermal

Cermaide merupakan sfingolipid yang berasal dari granula lamelar. Granula

lamelar menghasilkan dan mengeksresikan struktur lipid tetap pada korneosit dan

memberikan sawar yang membatasi TEWL, serta dapat mencegah pelarutan faktor

pelembapan alami dari stratum korneum. Dengan bertambahnya usia, tingkat produksi

lipid intraselular dan konsentrasinya akan menurun. Fitosfingosin dan ceramide yang

mengandung fitosfingosin akan menjadi sedikit dan kulit akan lebih rentan terhadap

kondisi kering, iritasi, dan DKI. Menariknya, ceramide 3 (ceramide yang berbasis

fistosfinosin) diketahui juga akan mengalami penurunan konsentrasi pada kulit atopik,

dan hal ini memiliki hubungan dengan peningkatan TEWL.

Banyak dari iritan yang umum seperti contohnya (SLS) dan (SDS) diketahui

dapat mengurangi produksi ceramide. Hal ini sebagian disebabkan oleh kemampuannya

untuk melarutkan lipid stratum korneum. Pemeriksaan kandungan ceramide setelah

pengaplikasian SLS menunjukkan hubungan berbanding terbalik antara bobot ceramide

pada baseline dengan iritasi klinis yang mencakup eritema, kulit bersisik, kulit kering,

dan kulit kasar. Hal ini menunjukkan kecenderungan terhadap dermatitis kontak iritan

yang dipicu oleh surfaktan. Iritan-iritan yang lain yang dikenal dapat merusak lapisan-

ganda lipid dan mengurangi kandungan ceramide diantaranya adalah alkalis seperti

contohnya sabun, soda, amonia, potasium, dan sodium hidroksida, dan juga zat pelarut

seperti benzen, toluena, dan aseton.

Produk yang dapat memperbaiki sawar kulit untuk penanganan dan pencegahan

dermatitis kontak iritan akan secara spesifik mensuplementasi kulit dengan fitosfingosin

dan ceramide yang mengandung fitosfingosin, yang dimana hal ini akan memicu

produksi ceramide. Produksi ceramide dapat dipicu dengan niasinamida. Niasinamida


diketahui dapat meningkatkan regulasi ekspresi serine palmitoiltransferase, yaitu enzim

penentu laju di dalam sintesis sfingolipid. Niasinamida juga diketahui dapat

meningkatkan ketebalan epidermal dan pembentukan filagrin.

Kolesterol, ester kolesterol, dan rasio relatifnya juga memainkan peranan yang

penting di dalam fungsi sawar kulit. Konsentrasi kolesteron yang berlebihan dengan

defisiensi ester kolesterol juga teridentifikasi pada kondisi kulit kering yang disebabkan

oleh SDS, kulit serotik, dan kulit atopik. Ketika kulit teriritasi dengan SDS untuk

memicu ICD dan kemudian ditangani baik dengan obat berbasis kolesterol 1% atau obat

berbasis ester kolesterol 1%, maka kulit yang ditangani kolesterol tidaklah menunjukkan

pemulihan/ peningkatan dalam hal nilai konduktan, sedangkan kulit yang ditangai

dengan ester kolesterol dapat menunjukkan pemulihan dalam hal nilai konduktan. Hal

ini mengilustrasikan manfaat dari pensuplementasian kulit dengan spesies-spesies lipid

yang secara khusus mengalami defisiensi pada kasus ICD, seperti contohnya ester

kolesterol, bukan hanya mengikuti suplementasi lipid fisiologis konvensional yang

mensuplementasikan kolesterol.

Inflamasi

Molekul anti-inflamasi diketahui cukup menimbulkan untuk bentuk gangguan

sawar kulit, dan glukokortikoid diketahui merupakan senyawa yang paling umum

digunakan. Krim glukokortikoid yang diresepkan sesuai indikasi medis diketahui

memiliki tingkat kemanjuran yang sama dengan krim yang dibeli tanpa resep. Disini kita

akan meninjau ulang manfaat dari dua molekul anti inflamatori non-steroid (yang sudah

sering diteliti), yaitu niasinamida dan Asam Glisiretinik 18β.


Asam Glisiretinik 18β

Asam glisiretinik 18β merupakan senyawa yang tepat untuk penanganan

dermatitis kontak, hal ini karena senyawa ini memiliki aktifitas anti alergi dan anti

inflamatori yang mirip dengan kortikosteroid. Secara in vitro, asam glisiretinik dapat

melemahkan penggenerasian/ produksi NO, PGE2, dan ROS yang berlebihan, dan dapat

menekan ekspresi gen-gen pro inflamatori dengan menghambat aktifitas NF-kB dan

P13K. Selain itu, diketahui bahwa asam glisiretinik 18β diketahui dapat menghambat

reduktase ∆4β, yaitu suatu enzim yang secara kompetitif menonaktifkan hormon-

hormon steroid, dan hidroksisteroid dehidrogenase 11β, yang merupakan enzim yang

menonaktifkan kortisol. Hal ini mungkin akan dapat mempotensikan kapasitas anti

inflamatori tubuh dengan meningkatkan kadar kortisol alami. Ketika digunakan di dalam

formulasi terpisah atau dengan glukokortikoid, asam glisiretinik dapat meningkatkan

kemanjuran glukokortikoid, yang dimana hal ini dapat memungkinkan penggunaan

glukokortikoid dosis rendah dan/ atau penggunaan dalam jangka pendek (Gambar 2b).

Hal ini dapat membatasi paparan terhadap glukokortikoid dan efek sampingnya. Insiden

akan dermatitis kontak pada tikus diketahui dapat diminimalisir ketika diberikan

prekursor metabolik asam glisiretinik 18β secara intraperitoneal jika dibandingkan

dengan prednisolon. Ketika diberikan melalui oral, asam glisiretinik 18β tidaklah dapat

memberikan kemanjuran, dan hal ini pun mengindikasikan bahwa tindakan pemberian

molekul aktif secara langsung ke area dermatitis kontak merupakan hal yang

direkomendasikan.
Niasinamida

Niasinamida merupakan bentuk aktif vitamin B3 secara fisiologis yang diketahui

memiliki efek anti kanker dan dapat bermanfaat di dalam penanganan beragam penyakit

kulit inflamatori yang mencakup akne vulgaris, rosasea, dan pemfigoid bulosa. Pengaruh

klinis yang luas dari niasinamida disebabkan oleh beragam mekanisme aksinya, yang

mencakup efek anti inflamasi nya melalui penghambatan kemotaksis leukosit, pelepasan

enzim lisosomal, transformasi limfosit, degranulasi sel mastosit, efek bakteriostatik

untuk akne propionibakterium, penghambatan amina vasoaktif, pemeliharaan

homeostatsis koenzim intraselular, dan penurunan produks sebum. Niasinamida

diketahui juga dapat meningkatkan ketebalan epidermis dan juga memicu produksi

creamide de novo melalui pengekspresian up-regulasi serin palmitoiltransferase, yaitu

enzim penentu laju di dalam sintesis sfingolipid. Peningkatan ini di dalam produksi

ceramide secara langsung berkaitan dengan penurunan pada TEWL pada subjek yang

menderita kulit serotik. Dengan menciptakan sawar kulit yang lebih kuat dengan

penggunaan niasinamida topikal, para pasien akan menjadi lebih resisten terhadap DKI

setelah mengalami paparan iritan.

Fluktuasi dan Modulasi pH Kulit

pH kulit dan faktor-faktor organik yang mempengaruhinya diketahui sangat

pentig di dalam patogenesis, pencegahan, dan penanganan dermatitis kontak iritan. Kulit

yang sehat biasanya memiliki stratum korneum asam dengan pH sekitar 4,6 sampai 5,6.

Pengoptimalan pH kulit diketahui dapat memelihara tingkat aktifitas enzim

glukoserebrosidase β yang dapat meproduksi lipid dan asam sfingomielinase. Enzim-

enzim ini adalah penting untuk produksi ceramide dan lipid, dan juga untuk menjaga
mikrobioma yang sehat. Ketika ceramide, kandungan lipid, dan flora kulit alami

terganggu, maka siklus dari peningkatan alaklinitas/ kebasaan, infeksi, kulit kering, dan

terganggunya sawar epidermal dapat terjadi. Hal ini akan kemudian diperburuk dengan

paparan berulang terhadap senyawa-senyawa basa seperti contohnya sabun, zat pelarut,

deterjen, atau bahkan air sumur.

Sebaliknya, hiperasidifikasi stratum korneum pada tikus tanpa bulu dengan

menggunakan asam laktobionik (LBA) dan glukonolakton (GL) diketahui dapat

meningkatkan homeostasis sawar permeabilitas, deskuamasi stratum korneum, dan

keindahan kulit, dan juga dapat mencegah iritasi kulit. Asam-asam polihidroksi (PHA)

ini diketahui sangat ideal untuk mengoptimalkan pH epidermal dan menurunkan TEWL.

Mengembalikan Gradien Kalsium Yang Terganggu Untuk Mengoptimalkan

Peremajaan Sel

Keratinosit dihasilkan pada stratum basal dan mendiferensiasi ketika bergerak ke

permukaan kulit. Sel-sel epitelial ini merupakan instrumen di dalam memelihara

homeostasis sawar. Keratinosit diketahui dapat memberikan dukungan struktural untuk

stratum korneum melalui diferensiasi terminal untuk memproduksi korneosit dan lipid

interkorneosit. Korneosit mengandung protein kaku dan memainkan peranan hidrasi di

dalam stratum korneum, sedangkan lipid intraselular diketahui menghasilkan interface

hidrofobik antara korneosit dan lamela lipid yang bersifat hidrofobik untuk

meningkatkan kualitas sawar kulit ionik.

Diferensiasi terminal epidermis diregulasi oleh konsentrasi ion-ion kalsium

ekstraselular. Keratinosit yang dikultur pada konsentrasi kalsium rendah dapat

menghasilhkan fenotip yang mirip dengan sel basal, sedangkan keratinosit yang dikultur
pada konsentrasi kalsium yang lebih tinggi akan mengalami diferensiasi terminal.

Beberapa penelitian in vivo dan in vitro yang menggunakan epidermis manusia dan tikus

telah memperkuat temuan ini, yang menunjukkan kadar kalsium yang lebih rendah pada

lapisan spinosa basal yang berproliferasi, dengan peningkatan kalsium progresif ke

stratum granulosum terdiferensiasi di bagian luar.

Gradien kalsium epidermal diketahui memiliki peranan yang penting pada

homeostasis sawar kulit melalui pengaruhnya terhadap diferensiasi terminal keratinosit.

Dalam hal disrupsi sawar yang dipicu oleh aseton, Menon dkk menunjukkan bahwa

gradien kalsium intraselular dapat hilang dan muncul kembali dengan sekresi tubuh

lamelar dan pemulihan sawar selama periode 24 jam. Ketika direndam pada kalsium

plus sukrosa iso-osmolar, gradien kalsium epidermal pun terisi kembali dan sekresi

badan lamelar serta proses pemulihan sawar secara signifikan mengalami penurunan.

Hasil ini menunjukkan bahwa terganggunya sawar dapat menyebabkan hilangnya

gradien kalsium epidermal, yang dimana berupa sinyal yang menginisiasi sekresi badan

lamelar, dan hal ini pun dapat memicu perbaikan sawar. Para pasien penderita psoriasis,

kulit atopik kering, dan dermatitis kontak biasanya akan rentan terhadap iritan seperti

contohnya sodium lauret sulfat dan glikol politilen (PEG), hal ini disebabkan oleh

terganggunya fungsi sawar secara kronis. Penelitian dengan menggunakan penguar-

mikro (microprobe) nuklir telah menunjukkan bahwa para pasien ini diketahui memiliki

gradien kalsium epidermal yang lebih tinggi dari normal. Selain itu, senyawa-senyawa

iritan yang kuat seperti contohnya heksadinal 2-4, piperazine, DMIPA, heptilamina, dan

SLS diketahui semuanya dapat memicu pelepasan keratinosit kalsium intraselular yang

dapat memicu pengaktifan sitokin-sitokin pro inflamatori IL1-alfa, IL6 dan IL8, serta

mediator-mediator seperti contohnya ATP dan prostaglandin. Iritian-iritan kimia ini


dengan demikian memiliki hubungan dengan dermatitis kontak iritan akut yang

diaktivasi oleh lintasan yang tergantung pada kalsium.

Kalsium dapat menghambat deskuamasi normal. Pengkelatan dengan EDTA

telah menunjukkan langkah akhir deskuamasi pada kulit hiperkeratotik. Kulit yang

normal sepertinya memiliki senyawa pengkelatan alami, yang dimana menurut Rawlings

dkk, hal ini disebabkan oleh asam lemak alami. Jika memang benar, adalah logis untuk

berpendapat bahwa gangguan kulit yang kekurangan asam lemak akanlah meningkatkan

kadar kalsium, seperti yang dikemukakan oleh Forslind dkk. Untuk produk-produk yang

ditujukan untuk menangani dermatitis kontak iritan, dimana asam lemak yang seringkali

diminimalisir dari kulit, penyertaan senyawa pengkelatan kalsium rendah mungkin akan

membantu untuk menormalkan peremajaan sel dan deskuamasi.

Pencegahan DKI

Pengedukasian pasien tentang bagaimana menghindari iritan di rumah dan di

tempat kerja merupakan hal yang sangat penting. Peminimalisiran kontak dengan iritan

seperti contohnya sabun, zat pelarut, minyak, alkali, asam, atau material-material abrasif

diketahui dapat menurunkan tingkat insiden DKI. Namun, ketika penghindaran dari

iritan tidak memungkinkan, maka produk-produk pelindung kulit dapat menjadi

alternatif berikutya.

Ketika memilih produk pelindung kulit, adalah penting untuk

mempertimbangkan senyawa-senyawa spesifik dan kondisi paparan. Krim dan salep

pelindung dapat melindungi dari iritan lemah, yang dimana hal ini dapat bermanfaat

bagi para pekerja wet-work yang sering bersentuhan dengan air, sabun, dan deterjen.

Produk ini juga dapat melindungi kulit dari bahan kimia, minyak, dan iritan lainnya.
Produk-produk pelindung kulit yang memiliki sifat melembapkan juga dapat mencegah

DKI dan mengakselerasi tingkat kesembuhan kulit yang rusak melalui peningkatan

hidrasi kulit dan pemodifikasian lipid epidermal endogen. Para individu yang sering

terpapar iritan harus didorong untuk secara berkala menggunakan pelembap, bukan

hanya untuk mencegah, namun juga ditujukan untuk menangani DKI dengan tingkat

keparahan ringan.

Kesimpulan

Air, zat pelarut organik, deterjen, alkali, dan asam diketahui merupakan iritan

yang paling umum yang dapat menyebabkan DKI. Paparan kulit manusia terhadap iritan

ini diketahui dapat merusak stratum korneum, yang dapat menyebabkan gangguan pada

sawar kulit. Karena penghindaran akan iritan ini tidak selalu dapat dipraktekkan, maka

upaya profilaktik yang ditujukan untuk mengurangi tingkat tanda dan gejala inflamasi

dan mengembalikan fungsi sawar epidermal. Produk topikal yang ideal harus digunakan

pada banyak area yang memiliki kerentanan dan patologi yang dapat menyebabkan DKI,

dan produk ini harus efektif untuk semua tanpa memandang lingkungan, kelompok usia,

ataupun pekerjaan individu. Pemanfaatan data terbaru maupun data yang sudah ada

dalam hal interaksi beragam bahan kimia dengan stratum korneum telah memicu

pengembangan produk baru yang didasarkan pada ilmu medis yang berbasis bukti.

Pemahaman kami akan patofisiologi dermatitis kontak iritan akan terus diklarifikasi,

yang dimana hal ini dapat memungkinkan pengembangan opsi-opsi penanganan yang

lebih baik dan inovatif.

You might also like