You are on page 1of 115

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN POST OP.

APPENDISITIS

Christy Arum 20:16

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN POST OP. APPENDISITIS

No. RM : 084284
Tanggal : 29-03-2006
Tempat : Perawatan IV RSUD Syekh Yusuf
Sungguminasa Gowa

A. DATA UMUM KLIEN

1. Identitas Klien

Nama : Nn. G

Umur : 30 tahun

Jenis Kelamin : perempuan

Status Perkawinan : belum kawin

Agama : Islam

Suku : Makassar

Pendidikan : S1

Pekerjaan : PNS

Alamat : Makassar

Tanggal masuk RS : 27 Maret 2006

Ruangan : Perawatan IV Kelas IA RSUD. Syekh Yusuf

Sumber info : Klien, keluarga dan rekam medik

2. Penanggung Jawab

Nama : Ny. D
Umur : 50 tahun

Pekerjaan : PNS

Hubungan dengan klien: keluarga klien

Alamat : Jl. Andi Tonro

B. RIWAYAT KESEHATAN SAAT INI

uhan utama : nyeri perut kuadran kanan bawah

an masuk RS : sakit dirasakan ± 3 bulan yang lalu dan bertambah parah jika klien melakukan aktivitas

yang berat karena sakitnya bertambah dari hari ke hari sehingga klien dan keluarga memutuskan

untuk membawanya ke rumah sakit dan disarankan untuk rawat inap.

ayat penyakit :

ocative/palliative : klien mengatakan nyeri disebabkan karena luka operasi (post op. hari

kedua)

Quality : nyerinya timbul bila klien bergerak dan beraktivitas

on : daerah perut kuadran kanan bawah

rity : nyeri akut dengan skala 6 (sedang)

ng : klien mengatakan nyeri tidak menentu waktunya

C. RIWAYAT KESEHATAN MASA LALU

1. Penyakit yang pernah dialami

Saat anak-anak, klien hanya sakit biasa flu dan demam biasa dan biasanya hanya mengatasinya

dengan membeli obat di warung terdekat. Klien pernah dirawat di rumah sakit Haji karena

penyakit asma.

wayat alergi : tidak ada


wayat imunisasi : klien tidak mengingatnya

D. RIWAYAT KESEHATAN KELUARGA

Keterangan:

: Laki-laki

: Perempuan

: Penderita

: Umur tidak diketahui

: Tinggal serumah

 Generasi I meninggal karena lanjut usia

 Klien mengatakan tidak ada keluarganya yang menderita seperti penyakit yang dialaminya
E. RIWAYAT PSIKO-SOSIO-SPIRITUAL

1. Pola coping

Pengambilan keputusan kadang sendiri atau dimusyawarahkan dengan keluarga.

2. Harapan klien terhadap keadaan penyakitnya

Klien berharap penyakitnya akan sembuh agar berkumpul bersama keluarganya kembali

3. Faktor stressor

Klien mengatakan nyeri bila terlalu banyak bergerak atau beraktivitas tapi nyeri hilang bila tidak

beraktivitas.

4. Konsep diri

Klien bisa menerima keadaannya setelah dioperasi.

5. Pengetahuan klien tentang penyakitnya

Klien tidak tahu persis penyebab dari penyakit yang dideritanya.

6. Adaptasi

Klien dapat beradaptasi dengan penyakitnya

7. Hubungan dengan anggota keluarga


Baik, karena banyak keluarga yang datang membesuk dan menjaganya di rumah sakit selama

dirawat.

8. Hubungan dengan masyarakat

Klien mengatakan hubungan dengan masyarakat baik


9. Perhatian terhadap orang lain dan lawan bicara

Pada saat bicara klien tampak terbuka, kontak mata /cara bicara jelas walaupun klien tampak

masih lemah.

10. Aktivitas sosial

Klien mengatakan selalu ikut aktivitas di masyarakat seperti kerja bakti, acara-acara dan arisan.

11. Bahasa yang digunakan

Klien menggunakan bahasa Indonesia campur Makassar

12. Keadaan lingkungan

Klien mengatakan keadaan lingkungannya baik dan tinggal bersama orang tua serta satu orang

adik perempuannya.

13. Kegiatan keagamaan

Klien beragama Islam, sebelum masuk rumah sakit klien rajin shalat 5 waktu tapi setelah masuk

rumah sakit klien hampir tidak pernah shalat.

14. Keyakinan tentang kesehatan

Klien yakin bahwa penyakitnya akan sembuh dan menyerahkan semua kepada Tuhan YME.

F. KEBUTUHAN DASAR/POLA KEBIASAAN SEHARI-HARI

1. Makan
m MRS : frekuensi makan 3x sehari dengan komposisi nasi lauk dan sayur.

Tidak ada makanan pantangan, nafsu makan baik.

MRS : frekuensi makan 3 x sehari dengan komposisi bubur dan lauk

sesuai dengan terapi diet yang diberikan di rumah sakit.

2. Minum

m MRS : frekuensi tidak tentu sesuai dengan aktivitas yang dilakukan dalam

sehari namun biasanya minum 6 – 8 gelas/hari tidak ada minuman pantangan kecuali kopi dan

alkohol.

MRS : klien mengatakan minum 4 – 5 gelas/hari

3. Tidur

m MRS : klien jarang tidur siang karena kesibukan tapi malam klien biasa

tidur jam 23.00 – 05.00 pagi

MRS : klien mengatakan setelah masuk rumah sakit klien sering tidur dan

malam hari klien tidur jam 22.00 – 06.00 pagi.

4. Eliminasi /BAB

m MRS : frekuensi 1 x sehari dengan konsistensi lunak, warna kuning dan

tidak menggunakan obat penahan.

MRS : klien mengatakan belum BAB semenjak masuk rumah sakit.

5. Eliminasi /BAK
m MRS : klien mengatakan BAK lancar, tidak sakit pada saat BAK

MRS : klien mengatakan BAK lancar, tidak sakit pada saat BAK

6. Personal hygiene

m MRS : klien mengatakan 2 x sehari mandi, cuci rambut 2 x seminggu

MRS : klien nampak bersih karena klien sudah dimandikan di tempat tidur

oleh keluarganya, kuku tangan dan kaki tampak bersih.

G. PEMERIKSAAN FISIK

Hari: Rabu / 29 Maret 2006

1. Keadaan umum

Klien tampak lemah, tidak bergairah, tampak meringis, nyeri tekan dan beraktivitas di tempat

tidur.

: S : 37 ºC

TD : 100/60 mmHg

P : 20 x/mnt

ND : 86 x/mnt
2. Head to toe

 Kulit/integument

Kulit sawo matang, tekstur kenyal, tidak terdapat edema, turgor baik suhu 37 ºC.

 Kepala dan rambut

Kulit kepala klien cukup bersih tidak ada peradangan rambut warna hitam sebahu dan ikal.

 Kuku

Bantalan kuku berwarna merah mudah, kuku tangan dan kaki cukup bersih dan pendek

 Mata/penglihatan

Mata bulat, refleks cahaya normal, kedua pupil isokhor, akomodasi bagus, konjungtiva tidak

ademis, fungsi penglihatan bagus tidak ada peradangan.

 Hidung/penciuman

Septum hidung berada di tengah, simetris kanan dan kiri, tidak ada peradangan serta polip.

 Mulut dan gigi

Bibir tidak kering, lidah tidak kotor, fungsi pengecapan bagus, tidak ada peradangan, karies tidak

ada

 Leher

Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada distensi. Vena jugularis dan tidak ada rasa kaku

 Dada

Pernafasan tenang, gerakan toraks ke atas dan keluar simetris saat inspirasi, frekuensi pernafasan

20 x/menit, ictus kordis tidak tampak, bunyi jantung I dan II murni, denyut apeks teraba pada

ICS 5, tidak ada nyeri dan tidak ada bunyi jantung tambahan

 Abdomen
Tampak luka insisi operasi, perut tidak kembung, tidak ada massa, tidak ada pembesaran hepar,

bising usus (+). Klien mengatakan nyeri bila ditekan pada daerah perut kanan bawah.

 Genitalia

Tidak ada peradangan dan perdarahan

 Ekstremitas atas dan bawah

Tidak ada kekakuan, edema dan atropi pada ekstremitas atas dan bawah, pada ekstremitas atas

sinistra terpasang infus RL 20 tetes/menit.

3. Pengkajian data fokus

Sistem gastrointestinal

Inspeksi : umbilicus terletak di garis tengah dan tidak menonjol. Bentuk abdomen

simetris, tidak terlihat massa, tampak ada luka, telah dilakukan tindakan appendektori pada

tanggal 28 Maret 2006

Auskultasi : bising usus 5 x/menit

Perkusi : perkusi hati pada midklavikulari kanan terdengar redup perkusi limfe di

daerah posterior midaksilaris kiri terdengar redup

Palpasi : tidak ada pembesaran hati, limfe dan ginjal tidak teraba adanya massa pada

abdomen, nyeri tekan pada perut kanan bawah (SPKB).

4. Pemeriksaan diagnostik

USG: tampak adanya tanda-tanda apendisitis

5. Penatalaksanaan medis

Hari/tanggal: 29 Maret 2006

Cefotoxime 1 gr/12 jam

Seminac 1 amp
Ramitidine 1 amp/8 jam

H. KLASIFIKASI DATA

Data Subjektif:

- Klien mengatakan nyeri pada daerah operasi

- Klien mengatakan nyeri pada perut kanan bawah

Data Objektif:

- Tampak meringis

- Tampak luka insisi di perut kuadran kanan bawah

- Tampak lemah

- Nyeri tekan (+)

- Klien sering bertanya tentang penyakitnya

- TTV: S : 37 ºC; TD : 100/60 mmHg; P : 20 x/mnt; ND : 86 x/mnt

ANALISA DATA

Diagnosa
No Data Kemungkinan Penyebab
Keperawatan
(1) (20 (3) (4)
1. DS: Tindakan pembedahan Nyeri
- Klien mengatakan nyeri ↓
pada daerah operasi Terputusnya kontinuitas jaringan
- Klien mengatakan nyeri ↓
pada perut kanan bawah Pengeluaran zat-zat kimia
DO: (bradikinin, prostatglandin,
- Tampak meringis histamin)
- Nyeri tekan (+) ↓
- TTV Merangsang hipotalamus
S : 37 ºC ↓
TD : 100/60 mmHg Stimulus korteks serebri
P : 20 x/mnt ↓
ND : 86 x/mnt Rasa nyeri dipersepsikan
2. DS: Tindakan pembedahan Risiko tinggi
DO: ↓ infeksi
- Tampak ada luka insisi Terputusnya kontinuitas jaringan
di perut kuadran kanan ↓
bawah Hilangnya fungsi kulit sebagai
proteksi

Memungkinkan masuk
mikroorganisme ke tubuh

Risiko infeksi
3. DS: - Apendisitis Kurang
DO: ↓ pengetahuan
- Sering bertanya tentang Perubahan status kesehatan
penyakitnya ↓
Kurang informasi

Kurang pengetahuan
RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN

Inisial Klien: Nn. G Ruang: Perawatan IV No. RM: 084284


Diagnosa Rencana Tindakan Keperawatan
No
Keperawatan Tujuan Intervensi Rasional
1. Gangguan rasa Tujuan: 1. Kaji tingkat nyeri, catat Berguna dalam pengawasan
nyeri berhubungan Nyeri berkurang lokasi, karakteristik dan keefektifan obat, kemajuan
dengan terputusnya atau hilang beratnya (0 – 10) penyembuhan pada
kontinuitas dengan kriteria: karakteristik nyeri
jaringan karena - Klien tidak menunjukkan terjadi abses,
tindakan operasi mengeluh nyeri memerlukan upaya evaluasi
ditandai dengan: - Klien tampak medik dan intervensi.
DS: tenang 2. Observasi TTV,
- Klien mengatakan - Klien tidak perhatikan petunjuk non Dapat membantu
nyeri pada daerah meringis verbal. mengevaluasi pernyataan
operasi - TTV verbal dan keefektifan
- Klien mengatakan S : 37 ºC intervensi
nyeri pada perut TD : 100/60 3. Berikan lingkungan
kanan bawah mmHg yang tenang dan Meningkatkan istirahat
DO: P : 20 x/mnt kurangi rangsangan
- Tampak meringis ND : 86 x/mnt stres
- Nyeri tekan (+)
- TTV 4. Pertahankan istirahat
S : 37 ºC dengan posisi semi Gravitasi melokalisasi
TD : 100/60 Fowler eksudat inflamasi dalam
mmHg abdomen bawah atau pelvis,
P : 20 x/mnt menghilangkan tegangan
ND : 86 x/mnt abdomen yang bertambah
dengan posisi telentang
5. Ajarkan teknik nafas
dalam bila rasa nyeri Teknik nafas dalam
datang menurunkan konsumsi
abdomen akan O2,
menurunkan frekuensi
pernafasan, frekuensi
jantung dan ketegangan otot
yang menghentikan siklus
nyeri
6. Kolaborasi dengan
pemberian analgetik Menghilangkan nyeri,
sesuai indikasi mempermudah kerjasama
dengan intervensi lain,
contoh ambulasi, batuk.
2. Risiko tinggi Tujuan: 1. Awasi tanda-tanda Dugaan adanya
infeksi Tidak terjadi vital. infeksi/terjadinya sepsis,
berhubungan luka infeksi dengan abses, peritonitis
post operasi kriteria:
ditandai dengan: - Meningkatkan 2. Lakukan pencucian Menurunkan risiko
DS: penyembuhan tangan yang baik dan penurunan bakteri
DO: luka dengan benar perawatan luka yang
- Tampak ada luka - Bebas dari tanda- aseptik
insisi di perut tanda infeksi
kuadran kanan 3. Observasi keadaan luka Memberikan deteksi dini
bawah dan insisi. terjadinya proses infeksi dan
pengawasan penyembuhan
peritonitis yang tidak ada
sebelumnya

4. Kolaborasi dengan Mungkin diberikan secara


pemberian antibiotik profilaktik atau menurunkan
sesuai indikasi jumlah organisme dan untuk
menurunkan penyebaran
dan penyembuhan pada
rongga abdomen.
3. Kurang Tujuan: 1. Kaji tingkat Mengidentifikasi
pengetahuan Klien dapat pemahaman klien dan sejauhmana tingkat
berhubungan memahami dan keluarga tentang pengetahuan keluarga atau
dengan kurang kooperatif dalam penyakitnya klien tentang penyakit yang
informasi ditandai pemberian dideritanya
dengan: tindakan
DS: - pengobatan 2. Diskusikan perawatan Pemahaman meningkatkan
DO: dengan kriteria: insisi termasuk ganti kerjasama dengan program
- Sering bertanya - Klien tidak balutan terapi meningkatkan
tentang bertanya-tanya penyembuhan dan
penyakitnya - Ikut serta dalam mengurangi komplikasi
program 3. Identifikasi gejala yang
pengobatan menentukan evaluasi Upaya intervensi
medik contoh menurunkan risiko
meringankan nyeri: komplikasi serius
edema/eritema luka,
adanya drainase demam

4. Tekankan pentingnya
terapi antibiotik sesuai
kebutuhan Penggunaan pencegahan
terhadap infeksi
IMPLEMENTASI KEPERAWATAN

No Hari/
Implementasi Evaluasi
dx Tanggal
I Rabu/ 09.30 Rabu, 29-03-2006
29-03-061. Mengkaji tingkat nyeri, lokasi dan Jam: 14.00
karakteristik
Hasilnya: S : klien mengatakan
Nyeri sedang (6) lokasi pada perut nyerinya sudah berkurang
kuadran kanan bawah
O : - Wajah tampak
09.35 meringis
2. Mengobservasi TTV - vital sign
Hasilnya: S : 37 ºC
TD : 100/60 mmHg TD : 100/70 mmHg
S : 37 ºC P : 20 x/mnt
P : 20 x/mnt ND: 84 x/mnt
ND: 86 x/mnt
A : masalah belum teratasi
09.45
3. Memberikan lingkungan yang P : Pertahankan intervensi
tenang dan mengurangi rangsangan
stres
Hasilnya:
Klien tampak baring di atas tempat
tidur, dengan posisi semi Fowler

09.50
4. Mengajarkan teknik nafas dalam
bila rasa nyeri datang
Hasilnya:
Klien nampak tarik nafas melalui
hidung dan mengeluarkannya
melalui mulut

10.00
5. Mengkolaborasikan dengan
pemberian analgetik sesuai indikasi
Hasilnya:
Injeksi Cefotoxime 1 gr/12 jam

II 10.10 Rabu 29-03-06


1. Mengawasi tanda-tanda vital Jam: 14.10
Hasilnya:
TD : 100/60 mmHg S :
S : 37 ºC
P : 20 x/mnt O : tidak tampak adanya
ND: 80 x/mnt tanda-tanda infeksi

10.20 A : masalah teratasi


2. Mengobservasi keadaan luka
balutan P : pertahankan intervensi
Hasilnya:
Tampak luka insisi dibalut dengan
verban, balutan tampak kering

10.25
3. Mengkaji tanda-tanda infeksi
Hasilnya:
Udema (-), Pus (-), eritema (-)
III 10.30 Rabu 29-03-06
1. Mengkaji tingkat pemahaman klien Jam: 14.15
dan keluarga tentang penyakitnya
Hasil: S :
Klien mengatakan tidak tahu apa
penyebab penyakitnya O : - klien dapat
memahami tentang
10.35 penyakitnya
2. Mendiskusikan perawatan insisi - Klien tidak banyak
termasuk ganti balutan bertanya
Hasil:
Verban tampak kering A : masalah teratasi

10.40 P : pertahankan intervensi


3. Mengidentifikasi gejala yang
memerlukan evaluasi medik contoh
peningkatan nyeri: edema/eritema
luka, adanya drainase, demam
Hasil:
Nyeri (+), edema (-), drainase (-)
demam (-)

11.00
4. Menekankan pentingnya terapi
antibiotik sesuai kebutuhan
Hasil:
Injeksi Cefotoxime 1 gr/12 jam
I Kamis/09.00 Kamis, 30-03-2006
30-03-061. Mengkaji tingkat nyeri, lokasi dan Jam: 14.15
karakteristik
Hasilnya: S : klien mengatakan
Nyeri ringan (2 - 4) lokasi pada nyerinya sudah berkurang
perut kuadran kanan bawah
O : - Wajah tampak tenang
09.10 - Tidak meringis
2. Mengobservasi TTV
Hasilnya: A : masalah teratasi
TD : 100/80 mmHg
S : 37 ºC P : Pertahankan intervensi
P : 20 x/mnt
ND: 78 x/mnt

09.20
3. Mengajarkan teknik nafas dalam
bila rasa nyeri datang
Hasilnya:
Klien nampak tarik nafas melalui
hidung dan mengeluarkannya
melalui mulut
II 09.30 Kamis 30-03-06
1. Mengganti balutan Jam: 11.10
Hasilnya:
Perawat mengganti verban S :

09.40 O : - Tidak ada tanda-tanda


2. Mengobservasi keadaan luka infeksi
operasi saat ganti verban - Luka insisi tampak
Hasilnya: kering
Luka nampak kering - Ganti verban
A : masalah teratasi
09.45
3. Mengkaji tanda-tanda infeksi P : pertahankan intervensi
Hasilnya: Catatan:
1
Udema (-), Pus (-), eritema (-) Pasien pulang

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN POST


APPENDECTOMY ATAS INDIKASI APPENDICITIS PERFORASI

KONSEP APPENDICITIS
(USUS BUNTU)

A. Pengertian

Gambar 1. Anantomi Apendiks


Menurut Smeltzer, Suzanne, C., 2001, Appendiks adalah ujung seperti jari-jari yang kecil
panjangnya kira-kira 10 cm (4 inchi), melekat pada sekum tepat di bawah katup ileosekal
Sedangkan menurut Mansjoer, 2000, Appendisitis adalah peradangan dari appendiks
vermiformis, dan merupakan penyebab abdomen akut. Penyakit ini dapat mengenai semua umur
baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia antara 10
sampai 30 tahun.
Menurut Pierce dan Neil, 2007, Apendisitis adalah peradangan pada apendix vermiformis.
Hampir 7% orang barat mengalami apendisitis dan sekitar 200.000 apendiktomi dilakukan di
Amerika Serikat tiap tahunnya. Insidens semakin menurun pada 25 tahun terakhir, namun di
negara berkembang justru semakin meningkat, kemungkinan disebabkan perubahan ekonomi dan
gaya hidup (Lawrence, 2006). Menurut beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa
pengertian dari Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai cacing
(apendiks vermiformis) yang dapat mengakibatkan pernanahan dan merupakan penyebab
abdomen akut.
Menurut Smeltzer Suzanne, C., 2001, Apendektomi adalah pembedahan untuk mengangkat
apendiks dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi.

B. Anatomi Fisiologi Appendiks


Anatomi dan Fisiologi Appendiks merupakan organ yang kecil dan vestigial (organ yang tidak
berfungsi) yang melekat sepertiga jari.Letak apendiks.
a. Letak Appendiks
Appendiks terletak di ujung sakrum kira-kira 2 cm di bawah anterior ileus saekum, bermuara di
bagian posterior dan medial dari saekum. Pada pertemuan ketiga taenia yaitu: taenia anterior,
medial dan posterior. Secara klinik appendiks terletak pada daerah Mc. Burney yaitu daerah 1/3
tengah garis yang menghubungkan sias kanan dengan pusat.
b. Ukuran dan isi apendiks.
Panjang apendiks rata-rata 6 – 9 cm. Lebar 0,3 – 0,7 cm. Isi 0,1 cc, cairan bersifat basa
mengandung amilase dan musin.
c. Posisi apendiks.
Laterosekal: di lateral kolon asendens. Di daerah inguinal: membelok ke arah di dinding
abdomen. Pelvis minor.
Bila appendix terletak retrokolik, rasa nyeri terasa di daerah pinggang bagian bawah, bila terletak
pelvical rasa nyeri dirasakan di hipogastrium atau di dalam pelvis, dan bila terletak retrocaecal
bisa mengiritasi m. psoas. Pada pemeriksaan fisik, pasien terlihat pucat, adanya nyeri tekan,
nyeri ketok, nyeri lepas, dan tahanan otot (defans muskuler). Iritasi pada psoas dan obturator
menimbulkan nyeri panggul. Peristaltik di daerah appendix menurun. Pada rectal toucher, ada
nyeri pada arah jam 10-11 merupakan petunjuk adanya perforasi (Subanada, dkk, 2007).

C. Penyebab
Penyebab Appendisitis paling umum adalah inflamasi akut pada kuadran bawah kanan dari
rongga abdomen, penyebab ini paling umum untuk bedah abdomen darurat, kira-kira 7% dari
populasi akan mengalami appendisitis pada waktu yang bersamaan dalam hidup mereka. Pria
lebih sering dipengaruhi daripada wanita dan remaja lebih sering pada orang dewasa, meskipun
ini dapat terjadi pada usia berapapun, appendisitis paling sering terjadi antara usia 10 dan 30
tahun.
Menurut Irga, 2007, Terjadinya apendisitis akut umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri.
Namun terdapat banyak sekali faktor pencetus terjadinya penyakit ini. Diantaranya obstruksi
yang terjadi pada lumen apendiks. Obstruksi pada lumen apendiks ini biasanya disebabkan
karena adanya timbunan tinja yang keras ( fekalit), hipeplasia jaringan limfoid, penyakit cacing,
parasit, benda asing dalam tubuh, cancer primer dan striktur. Namun yang paling sering
menyebabkan obstruksi lumen apendiks adalah fekalit dan hiperplasia jaringan limfoid.

D. Tanda dan gejala


Menurut Smeltzer, Suzanne, C, 2001, Tanda dan gejala yang muncul pada pasien dengan
apendiksitis, antara lain :
1. Nyeri kuadran bawah
Nyeri tekan lokal pada titik Mc. Burney bila dilakukan tekanan. Nyeri tekan lepas mungkin akan
dijumpai. Derajat nyeri tekan, spasme otot, dan apakah terdapat konstipasi atau diare tidak
tergantung pada beratnya infeksi dan lokasi appendiks. Bila appendiks melingkar di belakang
sekum, nyeri dan nyeri tekan dapat terasa di daerah lumbal ; bila ujungnya ada pada pelvis,
tanda-tanda ini hanya dapat diketahui pada pemeriksaan rektal. Nyeri pada defekasi
menunjukkan bahwa ujung appendiks dekat dengan kandung kemih atau ureter. Adanya
kekeakuan pada bagian bawah otot rektum kanan dapat terjadi.
2. Demam ringan
3. Mual-muntah
4. Hilangnya nafsu makan
5. Nyeri tekan lokal pada titik mc Burney
6. Nyeri tekan lepas (hasil atau intesifikasi dari nyeri bila tekanan dilepaskan)
7. Tanda rovsing
Tanda rovsing dapat timbul dengan melakukan palpasi kuadran bawah kiri yang secara
paradoksimal menyebabkan nyeri yang terasa di kuadran kanan bawah. Apabila appendiks telah
ruptur, nyeri dan dapat lebih menyebar ; distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitikdan
kondisi klien memburuk
8. Distensi abdomen akibat ileus paralitik
9. Kondisi pasien memburuk

E. Klasifikasi Appendiks
Klasifikasi apendisitis dibagi menjadi 2 yaitu :
1. Apendisitis akut, dibagi atas: Apendisitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu setelah sembuh
akan timbul striktur lokal. Appendisitis purulenta difusi, yaitu sudah bertumpuk nanah.
2. Apendisitis kronis, dibagi atas: Apendisitis kronis fokalis atau parsial, setelah sembuh akan
timbul striktur lokal. Apendisitis kronis obliteritiva yaitu appendiks miring, biasanya ditemukan
pada usia tua.

F. Patofisiologi
Apendisitis biasa disebabkan oleh adanya penyumbatan lumen apendiks oleh hyperplasia folikel
limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau
neoplasma.
Feses yang terperangkap dalam lumen apendiks akan menyebabkan obstruksi dan akan
mengalami penyerapan air dan terbentuklah fekolit yang akhirnya sebagai kausa sumbatan.
Obstruksi yang terjadi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami
bendungan. Makin lama mukus semakin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai
keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan tersebut akan
menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukus.
Pada saat ini terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.
Sumbatan sebabkan nyeri sikitar umbilicus dan epigastrium, nausea, muntah. invasi kuman E
Coli dan spesibakteroides dari lumen ke lapisan mukosa, submukosa, lapisan muskularisa, dan
akhirnya ke peritoneum parietalis terjadilah peritonitis lokal kanan bawah. Suhu tubuh mulai
naik.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan
menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding.
Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan
nyeri di area kanan bawah. Keadaan ini yang kemudian disebut dengan apendisitis supuratif
akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan
gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh
pecah, akan menyebabkan apendisitis perforasi.
Bila proses tersebut berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak ke arah
apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrate apendikularis. Peradangan
apendiks tersebut akan menyebabkan abses atau bahkan menghilang.
Pada anak-anak karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, dinding apendiks
lebih tipis. Keadaan demikian ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang
memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena
telah ada gangguan pembuluh darah.

Idiopatik makan tak teratur Kerja fisik yang keras

Massa keras feses

Obstruksi lumen

Suplay aliran darah menurun


Mukosa terkikis

• Perforasi Peradangan pada appendiks distensi abdomen


• Abses
• Peritonitis Nyeri
Menekan gaster

Appendiktomy pembatasan intake cairan peningk prod HCL

Insisi bedah mual, muntah


Sumber :
- Smeltzer, Suzzane, C (2001)
- Mansjoer (2000)

G. Komplikasi Apendisitis
Adapun tahapan peradangan apendisitis, antara lain :
1. Apendisitis akuta (sederhana, tanpa perforasi)
2. Apendisitis akuta perforate ( termasuk apendisitis gangrenosa, karena dinding apendiks
sebenarnya sudah terjadi mikroperforasi).
Beberapa komplikasi Appendiksitis yang dapat terjadi adalah
1. Perforasi
Keterlambatan penanganan merupakan alasan penting terjadinya perforasi. Perforasi appendix
akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai dengan demam tinggi, nyeri makin hebat
meliputi seluruh perut dan perut menjadi tegang dan kembung. Nyeri tekan dan defans muskuler
di seluruh perut, peristaltik usus menurun sampai menghilang karena ileus paralitik
(Syamsuhidajat, 1997).
Apendisitis adalah penyakit yang jarang mereda dengan spontan, tetapi peyakit ini tidak dapat
diramalkan dan mempunyai kecenderungan menjadi progresif dan mengalami perforasi. Karena
perforasi jarang terjadi dalam 8 jam pertama, observasi aman untuk dilakukan dalam masa
tersebut.
Tanda-tanda perforasi meliputi meningkatnya nyeri, spasme otot dinding perut kuadran kanan
bawah dengan tanda peritonitis umum atau abses yang terlokalisasi, ileus, demam, malaise,
leukositosis semakin jelas. Bila perforasi dengan peritonitis umum atau pembentukan abses telah
terjadi sejak klien pertam akali datang, diagnosis dapat ditegakkan dengan pasti.
Bila terjadi peritonitis umum terapi spesifik yang dilakukan adalah operasi untuk menutup asal
perforasi. Sedangkan tindakan lain sebagai penunjang : tirah baring dalam posisi fowler medium,
pemasangan NGT, puasa, koreksi cairan dan elektrolit, pemberian penenang, pemberian
antibiotik berspektrum luas dilanjutkan dengan pemberian antibiotik yang sesuai dengan kultur,
transfusi utnuk mengatasi anemia, dan penanganan syok septik secara intensif, bila ada.
Bila terbentuk abses apendiks akan teraba massa di kuadran kanan bawah yang cenderung
menggelembung ke arah rektum atau vagina. Terapi dini dapat diberikan kombinasi antibiotik
(misalnya ampisilin, gentamisin, metronidazol, atau klindamisin). Dengan sediaan ini abses akan
segera menghilang, dan apendiktomi dapat dilakaukan 6-12 minggu kemudian. Pada abses yang
tetap progresif harus segera dilakuakn drainase. Abses daerah pelvis yang menonjol ke arah
rektum atau vagina dengan fruktuasi positif juga perlu dibuatkan drainase.
Tromboflebitis supuratif dari sistem portal jarang terjadi tetapi merupakan komplikasi yang letal.
Hal ini harus dicurigai bila ditemukan demam sepsis, menggigil, hepatomegali, dan ikterus
setelah terjadi perforasi apendiks. Pada keadaan ini diindikasikan pemberian antibiotik
kombinasi dengan drainase. Komplikasi lain yang terjadi ialah abses subfrenikus dan fokal sepsis
intraabdominal lain. Obstruksi intestinal juga dapat terjadi akibat perlengketan.
2. Peritonitis
Peradangan peritoneum merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut
maupun kronis. Keadaan ini biasanya terjadi akibat penyebaran infeksi dari apendisitis. Bila
bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya
peritonitis generalisata. Dengan begitu, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus
paralitik, usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam
lumen usus menyebabkan dehidrasi, gangguan sirkulasi, oligouria, dan mungkin syok. Gejala :
demam, lekositosis, nyeri abdomen, muntah, Abdomen tegang, kaku, nyeri tekan, dan bunyi usus
menghilang (Price dan Wilson, 2006).
3. Massa Periapendikuler
Hal ini terjadi bila apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi pendindingan oleh
omentum. Umumnya massa apendix terbentuk pada hari ke-4 sejak peradangan mulai apabila
tidak terjadi peritonitis generalisata. Massa apendix dengan proses radang yang masih aktif
ditandai dengan keadaan umum masih terlihat sakit, suhu masih tinggi, terdapat tanda-tanda
peritonitis, lekositosis, dan pergeseran ke kiri. Massa apendix dengan proses meradang telah
mereda ditandai dengan keadaan umum telah membaik, suhu tidak tinggi lagi, tidak ada tanda
peritonitis, teraba massa berbatas tegas dengan nyeri tekan ringan, lekosit dan netrofil normal
(Ahmadsyah dan Kartono, 1995).

H. Pemeriksaan Penunjang Appendiks


Akan terjadi leukositosis ringan (10.00 – 20.000/ml) dengan peningkatan jumlah neutrofil.
Pemeriksaan urin juga perlu dilakukan untuk membedakannya dengan kelainan pada ginjal dan
saluran kemih.
Pada kasus akut tidak diperbolehkan melakuakn barium enema, sedangkan pada apendisitis
kronis tindakan ini dibenarkan. Pemeriksaan USG dilakukan bila telah terjadi infiltrat
apendikularis.
1. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan Asites
Cairan asitas akan mengalir sesuai dengan gravivasi, sedangkan gas atau udara akan mengapung
di atas, perkusi akan menghasilkan pola suara perkusi yang khas. Tandailah batas antara daerah
timpani dan redup.
1) Tes suara redup berpindah
Setelah menandai batas suara timpani dan redup, penderita diminta untuk miring ke salah satu
sisi tubuhnya, lakukanlah perkusi lagi dan amatilah batas timpani dan redup. Pada penderita
tanpa arites batas ini tidak berubah dengan perubahan posisi.
2) Tes undulasi
Mintalah penderita untuk menekan kedua tangan pada midline dari abdomennya, kemudian
ketuklah satu sisi abdomen dengan ujung jari anda, dan katakan pada sisi yang lain dengan
tangan anda yang adanya getaran yang diteruskan oleh cairan asiter.

b. Tes untuk Apendisitis


Tes untuk Apendisitis, antara lain :
1) Penderita diminta untuk menunjukkan tempat yang mula-mula dan tempat yang sekarang
terasa sakit. Penderita diminta untuk batuk. Amati apakah timbul rasa sakit. Rasa sakit pada
apendisitis khas mulai pada daerah sekitar umbilikus dan kemudian bergeser ke kanan bawah
dan terasa sakit pada waktu batuk.
2) Mencari dengan teliti daerah nyeri tekan. Rasa sakit di daerah kuadran kanan bawah mungkin
menunjukkan appendisitis.
3) Merasakan adanya spasme otot.
4) Melakukan pemeriksaan rektal. Pemeriksaan ini dapat membedakan apendiks normal dengan
yang meradang. Rasa sakit pada kuadran kanan bawah mungkin berarti peradangan pada adnexa,
vesicula seminalis atau apendiks.
2. Pemeriksaan diagnostik
Untuk menegakkan diagnosa pada apendisitis didasarkan atas anamnese ditambah dengan
pemeriksaan laboratorium serta pemeriksaan penunjang lainnya. Gejala apendisitis ditegakkan
dengan anamnese, ada 4 hal yang penting adalah: Nyeri mula-mula di epigastrium (nyeri viseral)
yang beberapa waktu kemudian menjalar ke perut kanan bawah. Muntah oleh karena nyeri
viseral. Panas (karena kuman yang menetap di dinding usus).
Gejala lain adalah badan lemah dan kurang nafsu makan, penderita nampak sakit,
menghindarkan pergerakan, di perut terasa nyeri.
3. Pemeriksaan yang lain Lokalisasi.
Jika sudah terjadi perforasi, nyeri akan terjadi pada seluruh perut, tetapi paling terasa nyeri pada
daerah titik Mc. Burney. Jika sudah infiltrat, lokal infeksi juga terjadi jika orang dapat menahan
sakit, dan kita akan merasakan seperti ada tumor di titik Mc. Burney.
4. Test rektal.
Pada pemeriksaan rektal toucher akan teraba benjolan dan penderita merasa nyeri pada daerah
prolitotomi.
5. Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukosit meningkat sebagai respon fisiologis untuk
melindungi tubuh terhadap mikroorganisme yang menyerang. Pada apendisitis akut dan perforasi
akan terjadi lekositosis yang lebih tinggi lagi. Hb (hemoglobin) nampak normal. Laju endap
darah (LED) meningkat pada keadaan apendisitis infiltrat. Urine rutin penting untuk melihat apa
ada infeksi pada ginjal.
6. Pemeriksaan radiologi
Pada pemeriksaan radiologi didapatkan :
a. Foto polos abdomen dikerjakan apabila hasil pemeriksaan riwayat sakit dan pemeriksaan fisik
meragukan.
b. Tanda-tanda peritonitis kuadran kanan bawah. Gambaran perselubungan mungkin terlihat
“ileal atau caecal ileus” (gambaran garis permukaan cairan udara di sekum atau ileum)
c. Patognomonik bila terlihat gambaran fekolit.
d. Foto polos pada apendisitis perforasi:
1) Gambaran perselubungan lebih jelas dan dapat tidak terbatas di kuadran kanan bawah.
2) Penebalan dinding usus sekitar letak apendiks, seperti sekum dan ileum.
3) Garis lemak pra peritoneal menghilang.
4) Scoliosis ke kanan.
5) Tanda-tanda obstruksi usus seperti garis-garis permukaan cairan-cairan akibat paralysis usus-
usus lokal di daerah proses interaksi.

I. Pencegahan
Sering makan makanan berserat dan menjaga kebersihan.
J. Penatalaksanaan
Pembedahan diindikasikan bila diagnosa appendisitis telah diteteskan antibiotik dan cairan IV
diberikan sampai pembedahan dilakukan. Analgetik dapat diberikan setelah diagnosa ditegakkan.
Apendektomi (pembedahan untuk mengangkat apendiks) dilakukan sesegera mungkin untuk
menurunkan resiko perferasi. Appendiktomi dapat dilakukan di bawah anestesi umum atau spinal
dengan inersi abdomen bawah atau dengan laparoskopi, yang merupakan metode terbaru yang
sangat efektif.
Komplikasi-komplikasi utama appendisitis adalah terforasi appendiks, yang dapat berkembang
menjadi peritonitis atau abses mirdensperforasi adalah 10%-32% insiden lebih tinggi pada anak
kecil dan lansia. Perforasi secara umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup
demam dengan suhu 37,70C atau lebih tinggi, penampilan toksikdan nyeri atau nyeri tekan
abdomen yang kontinyu.
Intervensi keperawatan, tujuan keperawatan mencakup menghilangkan nyeri, mencegah
kekurangan volume cairan, mengurangi ansietas, menghilangkan infeksi karena potensial atau
gangguan aktual saluran gas traintestinal, mempertahankan integritas kulit dan mendapatkan
nutrisi yang optimum.
Pada praoperatif, perawat menyiapkan pasien untuk pembedahan, infus intravena digunakan
untuk meningkatkan fungsi ginjal adekuat dan menggantikan cairan lain yang telah hilang.
Aspirin dapat diberikan untuk mencegah infeksi. Apabila terdapat bukti atau kemungkinan
terjadi nasogastrik dapat dipasang. Enema tidak diberikan karena dapat menimbulkan perforasi.
Pada pascaoperatif, pasien ditempatkan pada posisi semi foluler. Posisi ini mengurangi tegangan
pada inersi dan organ abdomen yang membantu mengurangi nyeri oproid biasanya sulfat morfin
diberikan untuk menghilangkan nyeri. Cairan per oral biasanya diberikan bila mereka dapat
mentoleransi pasien yang mengalmai dehidrasi sebelum pembedahan diberikan cairan secara
intravena. Makanan dapat diberikan sesuai keinginan pada hall pembedahan bila dapat
ditoleransi.

K. Pembedahan
Pembedahan dikerjakan bila rehidrasi dan usaha penurunan suhu tubuh telah tercapai. Suhu
tubuh tidak melebihi 38oC, produksi urin berkisar 1-2 ml/kg/jam. nadi di bawah 120/menit.
1. Teknik pembedahan.
Insisi transversal di sebelah kanan sedikit di bawah umbilicus. Sayatan Fowler Weier lebih
dipilih, karena cepat dapat mencapai rongga abdomen dan bila diperlukan sayatan dapat
diperlebar ke medial dengan memotong fasi dan otot rectum.
Sebelum membuka peritoneum tepi sayatan diamankan dengan kasa. Membuka peritoneum
sedikit dahulu dan alat hisap telah disiapkan sedemikian rupa hingga nanah dapat langsung
terisap tanpa kontaminasi ke tepi sayatan. Sayatan peritoneum diperlebar dan penghisapan nanah
diteruskan. Apendektomi dikerjakan seperti biasa. Pencucian rongga peitonium mutlak
dikerjakan dengan larutan NaCl fisiologis sampai benar-benar bersih.
Cairan yang dimasukkan terlihat jerih sewaktu dihisap kembali. Pengumpulan nanah biasa
ditemukan di fosa apendiks, rongga pelvis, di bawah diafragma dan diantara usus-usus. Luka
sayatan dicuci dengan larutan NaCl fisiologis juga setelah peritonium dan lapisan fasia yang
menempel peritonium dan sebagian otot dijahit. Penjahitan luka sayatan jangan dilakukan terlalu
kuat dan rapat.
Pemasangan dren intraperitoneal masih merupakan kontroversi. Bila pencucian rongga
peritonium benar-benar bersih dren tidak diperlukan. Lebih baik dicuci bersih tanpa dren
daripada dicuci kurang bersih dipasang dren.
Catatan
Infiltrat radang apendiks yang penyebarannya dapat dibatasi oelh omentum dan usus-usus dan
peritonium di sekitarnya sehingga membentuk massa (appendiceal mass). Umumnya massa
apendiks terbentuk pada hari ke-4 sejak peradangan dimulai apabila tidak terjadi peritonitis
umum. Massa apendiks lebih sering dijumpai pada pasien berumur 5 tahun atau lebih; daya tahan
tubuh telah berkembang dengan baik dan omentum telah cukup panjang dan tebal untuk
membungkus proses radang.

L. Terapi Apendisitis Perforasi


Persiapan prabedah : Pemasangan sonde lambung dan tindakan dekompresi. Rehidrasi.
penurunan suhu tubuh. Antibiotic dengan spectrum luas, dosis cukup, diberikan secara intravena.
Apendisitis dengan penyulit peritonitis umum. Umumnya klien dalam kondisi buruk. Tampak
septis dan dalam kondisi hipovolemik serta hipertensi. Hipovolemik akibat puasa lama, muntah
dan pemusatan cairan di daerah proses radang, seperti udem organ intraperitoneal, dinding
abdomen dan pengumpulan cairan dalam rongga usus dan rongga peritoneal.
Persiapan prabedah adalah
1. Pemasangan sonde lambung untuk dekompresi.
2. Pemasangan kateter untuk control produksi urin.
3. Rehidrasi.
4. Antibiotic dengan spectrum luas, dosis tinggi dan diberikan secara intravena.
5. Obat-obatan penurun panas, phenergan sebagai anti menggigil, largaktil untuk membuka
pembuluh – pembuluh darah perifer diberikan setelah rehidrasi tercapai.

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN


POST APPENDECTOMY ATAS INDIKASI
APPENDICITIS PERFORASI

Menurut Doengoes, 1999


1. Pengkajian
a. Identitas klien
b. Riwayat Keperawatan
1) riwayat kesehatan saat ini ; keluhan nyeri pada luka post operasi apendektomi, mual muntah,
peningkatan suhu tubuh, peningkatan leukosit.
2) Riwayat kesehatan masa lalu
3) pemeriksaan fisik
a) Sistem kardiovaskuler : Untuk mengetahui tanda-tanda vital, ada tidaknya distensi vena
jugularis, pucat, edema, dan kelainan bunyi jantung.
b) Sistem hematologi : Untuk mengetahui ada tidaknya peningkatan leukosit yang merupakan
tanda adanya infeksi dan pendarahan, mimisan splenomegali.
c) Sistem urogenital : Ada tidaknya ketegangan kandung kemih dan keluhan sakit pinggang.
d) Sistem muskuloskeletal : Untuk mengetahui ada tidaknya kesulitan dalam pergerakkan, sakit
pada tulang, sendi dan terdapat fraktur atau tidak.
e) Sistem kekebalan tubuh : Untuk mengetahui ada tidaknya pembesaran kelenjar getah bening.
Dasar data pengkajian pasien
a. Aktivitas atau istirahat
Gejala : Malaise
b. Sirkulasi
Tanda : Takikardia
c. Eliminasi
Gejala : Konstipasi pada awitan awal
Diare (kadang-kadang)
Tanda : Distensi abdomen, nyeri tekan / nyeri lepas, kekakuan, penurunan atau tidak ada bising
usus
d. Makanan / cairan
Gejala : Anoreksia
Mual / muntah
e. Nyeri kenyamanan
Gejala : Nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilikus, yang meningkat berat dan
terlokalisasi pada titik Mc. Burney.
Mc. Burney (setengah jarak antara umbilikus dan tulang ileum kanan), meningkat karena
berjalan, bersin, batuk, atau nafas dalam (nyeri berhenti tiba-tiba di duga perforasi atau infark
pada appendiks) keluhan berbagai rasa nyeri atau gejala tidak jelas (sehubungan dengan lokasi
appendiks, contoh retrosekal atau sebelah ureter).
Tanda : Perilaku berhati-hati, berbaring ke samping atau telentang dengan lutut ditekuk,
meningkatnya nyeri pada kuadran kanan bawah karena posisi ekstensi kaki kanan atau posisi
duduk tegak
Nyeri lepas pada sisi kiri di duga inflamasi peritoneal.
f. Keamanan
Tanda : Demam (biasanya rendah)
g. Pernafasan
Tanda : Takipnea, pernafasan dangkal

2. Diagnosa keperawatan
a. Infeksi, resiko tinggi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan utama, perforasi atau
ruptur pada apendiks, peritonitis, pembentukan abses.
b. Kekurangan volume cairan, berhubungan dengan muntah pra operasi, pembatasan pasca
operasi.
c. Nyeri (akut) berhubungan dengan adanya insisi bedah.
d. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan intake menurun. Nafsu makan menurun
Berat badan menurun Porsi makan tidak dihabiskan Ada rasa mual muntah.
e. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan yang dirasakan.
f. Kurang pengetahuan berhubungan dengan perjalanan penyakit.

3. Intervensi keperawatan
a. Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan tubuh, ditandai
dengan : Suhu tubuh di atas normal. Frekuensi pernapasan meningkat. Distensi abdomen. Nyeri
tekan daerah titik Mc. Burney Leuco > 10.000/mm3.
Tujuan : Tidak akan terjadi infeksi dengan kriteria : Tidak ada tanda-tanda infeksi post operatif
(tidak lagi panas, kemerahan).
Intervensi :
1) Bersihkan lapangan operasi dari beberapa organisme yang mungkin ada melalui prinsip-
prinsip pencukuran.
Rasional : Pengukuran dengan arah yang berlawanan tumbuhnya rambut akan mencapai ke dasar
rambut, sehingga benar-benar bersih dapat terhindar dari pertumbuhan mikro organisme.
2) Beri obat pencahar sehari sebelum operasi dan dengan melakukan klisma.
Rasional : Obat pencahar dapat merangsang peristaltic usus sehingga bab dapat lancar.
Sedangkan klisma dapat merangsang peristaltic yang lebih tinggi, sehingga dapat mengakibatkan
ruptura apendiks.
3) Anjurkan klien mandi dengan sempurna.
Rasional : Kulit yang bersih mempunyai arti yang besar terhadap timbulnya mikro organisme.
4) HE tentang pentingnya kebersihan diri klien.
Rasional : Dengan pemahaman klien, klien dapat bekerja sama dalam pelaksaan tindakan.
b. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan adanya rasa mual dan muntah,
ditandai dengan : Kadang-kadang diare. Distensi abdomen. Tegang. Nafsu makan berkurang.
Ada rasa mual dan muntah.
Tujuan : Mempertahankan keseimbangan volume cairan dengan kriteria : Klien tidak diare.
Nafsu makan baik. Klien tidak mual dan muntah.
Intervensi :
1) Monitor tanda-tanda vital.
Rasional : Merupakan indicator secara dini tentang hypovolemia.
2) Monitor intake dan out put dan konsentrasi urine.
Rasional : Menurunnya out put dan konsentrasi urine akan meningkatkan kepekaan/endapan
sebagai salah satu kesan adanya dehidrasi dan membutuhkan peningkatan cairan.
3) Beri cairan sedikit demi sedikit tapi sering.
Rasional : Untuk meminimalkan hilangnya cairan.
c. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan distensi jaringan intestinal, ditandai dengan
: Pernapasan tachipnea. Sirkulasi tachicardia. Sakit di daerah epigastrum menjalar ke daerah Mc.
Burney Gelisah. Klien mengeluh rasa sakit pada perut bagian kanan bawah.
Tujuan : Rasa nyeri akan teratasi dengan kriteria : Pernapasan normal. Sirkulasi normal.
Intervensi :
1) Kaji tingkat nyeri, lokasi dan karasteristik nyeri.
Rasional : Untuk mengetahui sejauh mana tingkat nyeri dan merupakan indiaktor secara dini
untuk dapat memberikan tindakan selanjutnya.
2) Anjurkan pernapasan dalam.
Rasional : Pernapasan yang dalam dapat menghirup O2 secara adekuat sehingga otot-otot
menjadi relaksasi sehingga dapat mengurangi rasa nyeri.
3) Lakukan gate control.
Rasional : Dengan gate control saraf yang berdiameter besar merangsang saraf yang berdiameter
kecil sehingga rangsangan nyeri tidak diteruskan ke hypothalamus.
4) Beri analgetik.
Rasional : Sebagai profilaksis untuk dapat menghilangkan rasa nyeri (apabila sudah mengetahui
gejala pasti).
d. Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakitnya berhubungan dengan informasi kurang.
Gelisah. Wajah murung. Klien sering menanyakan tentang penyakitnya. Klien mengeluh rasa
sakit. Klien mengeluh sulit tidur.
Tujuan : Klien akan memahami manfaat perawatan post operatif dan pengobatannya.
Intervensi :
1) Jelaskan pada klien tentang latihan-latihan yang akan digunakan setelah operasi.
Rasional : Klien dapat memahami dan dapat merencanakan serta dapat melaksanakan setelah
operasi, sehingga dapat mengembalikan fungsi-fungsi optimal alat-alat tubuh.
2) Anjurkan aktivitas yang progresif dan sabar menghadapi periode istirahat setelah operasi.
Rasional : Mencegah luka baring dan dapat mempercepat penyembuhan.
3) Diskusikan kebersihan insisi yang meliputi pergantian verband, pembatasan mandi, dan
penyembuhan latihan.
Rasional : Mengerti dan mau bekerja sama melalui teraupeutik dapat mempercepat proses
penyembuhan.
e. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan intake menurun. Nafsu makan menurun
Berat badan menurun Porsi makan tidak dihabiskan Ada rasa mual muntah.
Tujuan : klien mampu merawat diri sendiri
Intervensi :
1) Kaji sejauh mana ketidakadekuatan nutrisi klien
Rasional : menganalisa penyebab melaksanakan intervensi.
2) Perkirakan / hitung pemasukan kalori, jaga komentar tentang nafsu makan sampai minimal
Rasional : Mengidentifikasi kekurangan / kebutuhan nutrisi berfokus pada masalah membuat
suasana negatif dan mempengaruhi masukan.
3) Timbang berat badan sesuai indikasi
Rasional : Mengawasi keefektifan secara diet.
4) Beri makan sedikit tapi sering
Rasional : Tidak memberi rasa bosan dan pemasukan nutrisi dapat ditingkatkan.
5) Anjurkan kebersihan oral sebelum makan
Rasional : Mulut yang bersih meningkatkan nafsu makan.
6) Tawarkan minum saat makan bila toleran.
Rasional : Dapat mengurangi mual dan menghilangkan gas.
7) Konsul tetang kesukaan/ketidaksukaan pasien yang menyebabkan distres.
Rasional : Melibatkan pasien dalam perencanaan, memampukan pasien memiliki rasa kontrol
dan mendorong untuk makan.
8) Memberi makanan yang bervariasi
Rasional : Makanan yang bervariasi dapat meningkatkan nafsu makan klien.

f. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan yang dirasakan. Kuku nampak kotor
Kulit kepala kotor Klien nampak kotor
Tujuan : klien mampu merawat diri sendiri
Intervensi :
1) Mandikan pasien setiap hari sampai klien mampu melaksanakan sendiri serta cuci rambut dan
potong kuku klien.
Rasional : Agar badan menjadi segar, melancarkan peredaran darah dan meningkatkan
kesehatan.
2) Ganti pakaian yang kotor dengan yang bersih.
Rasional : Untuk melindungi klien dari kuman dan meningkatkan rasa nyaman.
3) Berikan HE pada klien dan keluarganya tentang pentingnya kebersihan diri.
Rasional : Agar klien dan keluarga dapat termotivasi untuk menjaga personal hygiene.
4) Berikan pujian pada klien tentang kebersihannya.
Rasional : Agar klien merasa tersanjung dan lebih kooperatif dalam kebersihan.
5) Bimbing keluarga / istri klien memandikan
Rasional : Agar keterampilan dapat diterapkan.
6) Bersihkan dan atur posisi serta tempat tidur klien.
Rasional : Klien merasa nyaman dengan tenun yang bersih serta mencegah terjadinya infeksi.

4. Implementasi
Pelaksanaan adalah pemberian asuhan keperawatan secara nyata berupa serangkaian kegiatan
sistimatis berdasarkan perencanaan untuk mencapai hasil yang optimal. Pada tahap ini perawat
menggunakan segala kemampuan yang dimiliki dalam melaksanakan tindakan keperawatan
terhadap klien baik secara umum maupun secara khusus pada klien post apendektomi. Pada
pelaksanaan ini perawat melakukan fungsinya secara independen, interdependen dan dependen.
Pada fungsi independen adalah mencakup dari semua kegiatan yang diprakarsai oleh perawat itu
sendiri sesuai dengan kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya Pada fungsi interdependen
adalah dimana fungsi yang dilakukan dengan bekerja sama dengan profesi/disiplin ilmu yang
lain dalam keperawatan maupun pelayanan kesehatan, sedangkan fungsi dependen adalah fungsi
yang dilaksanakan oleh perawat berdasarkan atas pesan orang lain.

5. Evaluasi
Untuk mengetahui pencapaian tujuan dalam asuhan keperawatan yang telah dilakukan pada klien
perlu dilakukan evaluasi dengan mengajukan pertanyaan sebagai berikut : Apakah klien dapat
mempertahankan keseimbangan cairan dalam tubuh?. Apakah klien dapat terhidar dari bahaya
infeksi?. Apakah rasa nyeri akan dapat teratasi?. Apakah klien sudah mendapat informasi tentang
perawatan dan pengobatannya.
LAMPIRAN
PEMERIKSAAN ABDOMEN

Cara Pemeriksaan
Syarat-syarat pemeriksaan abdomen yang baik adalah :
1. Penerangan ruangan yang memadai.
2. Penderita dalam keadaan relaks.
3. Daerah abdomen mulai dari atas prosessus xiphoideus sampai sympisis pubis harus terbuka.
Untuk memudahkan relaksasi:
1. Kandung kencing harus kosong.
2. Penderita berbaring telentang dengan bantal di bawah kepalanya dan di bawah lututnya.
3. Kedua lengan diletakkan di samping badan, atau diletakkan menyilang pada dada. Tangan
yang diletakkan di atas kepala akan membuat dinding abdomen terenggang dan mengeras,
sehingga menyulitkan palpasi.
4. Menggunakan tangan yang hangat, permukaan stetoskop yang hangat dan kuku yang dipotong
pendek. Menggosokkan kedua tangan akan membantu menghangatkan tangan anda.
5. Meminta kepada penderita untuk menunjukkan daerah yang terasa sakit dan memeriksa
tersebut terakhir.
6. Melakukan pemeriksaan dengan perlahan, menghindarkan gerakan yang cepat dan tiba-tiba.
7. Apabila perlu, mengajak penderita berbicara.
8. Apabila penderita amat ketakutan atau kegelian, memulai dengan pemeriksaan dengan
menggenggam kedua tangannya di bawah tangan anda, kemudian secara pelan-pelan bergeser
untuk melakukan palpasi.
9. Memonitor pemeriksaan anda dengan memperhatikan muka/ekspresi penderita.

Biasakan untuk mengetahui keadaan di tiap bagian yang anda periksa. Pemeriksaan dilakukan
dari sebelah kanan penderita, dengan urutan inspeksi, auskultasi, perkusi, dan palpasi.

INSPEKSI
Mulai menginspeksi dinding abdomen dari posisi anda berdiri di sebelah kanan penderita.
Apabila anda akan memeriksa gerakan peristaltik, sebaiknya dilakukan dengan duduk, atau agak
membungkuk sehingga anda dapat melihat dinding abdomen secara tangensial.
Memperhatikan :
1. Kulit: Apakah ada sikotrik, stria, atau vena yang melebar. Secara normal, mungkin terlihat
vena-vena kecil. Stria yang berwarna ungu terdapat pada sindroma cushing dan vena yang
melebar dapat terlihat pada cirhosis hepatis atau bendungan vena cava inferior. Memperhatikan
puala apakah dan rash atau lesi-lesi lainnya.
2. Umbillkus: Memperhatikan bentuk dan lokasinya, dan apakah ada tanda-tanda inflamasi atau
hernia.
3. Memperhatikan bentuk permukaan (countur) abdomen termasuk daerah inguinal dan femaral:
datar, bulat, protoberant, atau scapold? Bentuk yang melendung mungkin disebabkan oleh asites.
Penonjolan suprapubik karena kehamilan atau kandungan kencing yang penuh. Tonjolan
asimetris mungkin terjadi karena pembesaran organ setempat atau masa.
4. Simetri dinding abdomen.
5. Pembesaran organ: meminta penderita untuk bernafas, memperhatikan apakah nampak adanya
hepar atau lien yang menonjol di bawah arcus casta.
6. Masa
7. Peristaltik: Apabila anda mencurigai adanya abstruksi usus, mengamati peristaltik selama
beberapa menit. Pada organ yang kurus, kadang-kadang peristaltik yang normal dapat terlihat.
8. Pulsasi: pulsasi aorta yang normal kadang-kadang dapat terlihat di daerah epigastrium.
AUSKULTASI
Pemeriksaan auskultasi abdomen berguna untuk memperkirakan gerakan usus, dan kemungkinan
adanya gangguan vaskuler, anda harus banyak berlatih hingga betul-betul mengenali keadaan
normal dan variasi normal. Auskultasi abdomen dilakukan sebelum perkusi dan palpasi, karena
kedua pemeriksaan tersebut dapat mempengaruhi frekuensi suara usus meletakkan diafragma
dari stetoskop anda dengan lembut pada abdomen.
Mendengarkan suara usus, dan memperhatikan frekuensi dan karakteristik suara yang normal
terdiri dari clicks dan gurgles, dengan frekuensi kira-kira 5 sampai dengan 35 per menit. Kadang-
kadang anda dapat mendengar harboryrmi yaitu gurgles yang panjang. Karena suara khusus akan
disebarkan ke seluruh abdomen, maka mendengarnya pada satu tempat saja, misalnya kuadran
kanan bawah biasanya sudah memadai. Suara usus ini dapat berubah pada diare, sumbatan usus,
ileus paralitikus dan peritonis.
Pada penderita dengan hipertensi, memeriksa daerah epigastrium dan daerah kuadran kanan dan
kiri atas, apakah ada bising. Bising pada sistole dan distole pada penderita hipertensi
menunjukkan adanya stenasis arteria renalis. Sedangkan bising sistole saja pada epigastrium
dapat terdapat pada orang normal.
Apabila dicurigai adanya insufisiensi arteri pada tungkai, memeriksa ada bising sistolik dan
diastolik pada arteria iliaca dan femoralis.

PERKUSI
Perkusi berguna untuk orientasi abdomen, untuk memperbaiki ukuran hepar, dan kadang-kadang
lien, menemukan asites, mengetahui apakah suatu masa padat atau kristik, dan untuk mengetahui
adanya udara pada lambung dan usus.

Orientasi
Melakukan perkusi pada keempat kuadran untuk memperbaiki distribusi suara timpani dan
redup. Biasanya suara timpanilah yang dominan karena adanya gas pada saluran gastraintestinal,
tetapi cairan dan feses menghasilkan suara redup. Pada sisi abdomen perhatikan daerah timpani
berubah menjadi redup. Memeriksa daerah suprapublik untuk mengetahui adanya kandungan
kencing yang teregang atas uterus yang membesar.
Di perkusi dada bagian bawah, antara paru dan arcus casta, anda akan mendengar suara redup
hepar di sebelah kanan, dan suara timpana di sebelah kiri karena gelembung udara pada lambung
dan fleksura splenikus kolon. Suara redup pada kedua sisi abdomen mungkin menunjukkan
adanya asites.

Hepar
Melakukan perkusi pada garis midklavikula kanan, mulai dari bawah umbikulus (di daerah suara
timpani) ke atas, sampai terdengar suara redup yang merupakan batas bawah hepar. Kemudian
melakukan perkusi dari daerah paru ke bawah untuk menentukan batas atas hepar. Sekarang
mengukur berapa sentimeter tinggi daerah redup hepar tersebut. Ukuran ini pada orang yang
tinggi, lebih besar daripada orang yang pendek, dan biasanya pria lebih besar dari wanita, pada
penderita penyakit abdtruksi paru kronik (COPD), batas bawah hepar dapat lebih ke bawah,
tetapi jarak/daerah redup hepar tidak berubah.
Apabila hepar tampaknya membesar, perkusilah daerah lain untuk mengetahui garis batas bawah
hepar.

Lien
Lien yang normal terletak pada lengkung diafragma, di sebelah pasterior garis midaxiler. Suatu
daerah kecil suara redup dapat ditemukan diantara suara sonar paru dan suara timpani, tetapi
mencari suara redup lien ini tidak banyak gunanya. Perkusi lien hanya berguna kalau dicurigai
atau didapatkan spienomegali. Apabila membesar, lien akan membesar ke arah anterior, pasterior
dan medial, mengganti suara timpani dari lambung dan kolon, menjadi suara redup.

PALPASI
Palpasi ringan (supenicial) berguna untuk mengetahui adanya ketegangan otot nyeri tekan
abdomen, dan beberapa organ dan masa supenicial.
Dengan posisi tangan dan lengan bawah horizontal, dengan menggunakan telapak ujung jari-jari
secara bersama-sama, melakukan gerakan menekan yang lembut dan ringan. Hindarkan suatu
gerakan yang menghentak. Dengan perlahan rasakan semua kuadran. Mencari adanay masa atau
organ, daerah nyeri tekan, atau daerah yang tegangan ototnya lebih tinggi (spasme). Apabila
terdapat tegangan, dicari apakah ini disadari atau tidak, dengan mencoba cara merelaskan
penderita dan melakukan palpasi pada waktu ekspirasi.
Palpasi dalam biasanya diperlukan untuk pemeriksaan/memeriksa masa diabdomen. Dengan
menggunakan permukaan pallar dari ujung jari, melakukan palpasi dalam untuk mengetahui
adanya masa. Menentukan lokasinya, ukurannya, bentuknya, konsistensinya, mobilitasnya,
apakah terasa nyeri pada tekanan.
Apabila palpasi dalam sulit dilakukan (misalnya pada obesitas atau otot yang tegang),
menggunakan dua tangan, satu di atas yang lain.
Masa di abdomen dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis fisiologis (uterus dalam
kehamilan): inflamasi (diverticulitis colon atau pseudacyts pancreas): vaskuler (aneurisma aorta):
neoplastik (uterus yang miamatosa, karsinamakolon atau ovarium) atau abstruksi (kandung
kencing yang teregang).

Mengetahui adanya iritasi peritoneal


Nyeri abdomen dan nyeri tekan abdomen, lebih-lebih bila disertai apasme otot menunjukkan
adanya inflamasi dari peritoneum parietale. Temukan daerah ini setepatnya.
Sebelumnya melakukan palpasi, penderita diminta untuk batuk dan temukanlah letak rasa
sakitnya. Kemudian melakukan palpasi secara lembut dengan satu jari untuk menentukan daerah
nyeri.
Atau, meletakkan pemeriksaan untuk mengetahui adanya nyeri lepas. Tekan jari anda pelan-
pelan dengan kuat, kemudian dengan tiba-tiba melepaskan tekanan anda. Apabila pada pelepasan
tekanan juga timbul rasa sakit (tidak hanya pada penekanan), dinyatakan bahwa nyeri lepas tekan
positif.
Hepar
Meletakkan tangan kiri anda di belakang penderita, menyangga kosta ke 11 dan 12 dengan posisi
sejajar pada costa. Penderita diminta untuk relaks. Dengan mendorong hepar ke depan hepar
akan lebih mudah teraba dari depan dengan tangan kanan. Menempatkan tangan kanan anda pada
abdomen penderita sebelah kanan, di sebelah lateral otot rektus abdominis, dengan ujung jari
ditempatkan di bawah batas bawah daerah redup hepar. Dengan posisi jari tangan menunjuk ke
atas atau obliq, menekan dengan lembut ke arah dalam dan ke atas.
Penderita diminta untuk bernafas dalam-dalam. Cobalah merasakan sentuhan hepar pada jari
anda pada waktu hepar bergerak ke bawah dan menyentuh jari anda. Apabila anda
merasakannya, kendorkan tekanan jari anda, sehingga hepar dapat meluncur di bawah jari anda,
dan anda dapat meraba permukaan anterior hepar penderita. Apabila anda dapat merasakannya,
batas hepar normal adanya lunak tegas dan tidak berbenjol-benjol.
Pemeriksaan dapat juga dilakukan dengan teknik mengait, berdirilah di sebelah kanan penderita.
Meletakkan kedua tangan anda bersebelahan di bawah batas bawah redup hepar. Penderita
diminta untuk bernafas dalam-dalam dengan nafas perut, sehingga pada inspirasi hepar dan juga
lien dan ginjal akan berada pada posisi teraba.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim.2007.Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Apendiksitis.


myschoolnet.ppk.kpm.my/ingin_tahu/imej/apendix.jpg.
Budianto, Anang. 2005. Guidance to Anatomy II. Surakarta : Keluarga Besar Asisten Anatomi
FKUNS.
Chandrasoma dan Taylor. 2006. Ringkasan Patologi Anatomi. Ed: ke-2. Jakarta : EGC.
Dietho.2007. Apendisitis. Terdapat dalam: http://dito.rezaervani.com/?page_id=13.
Doenges, Marylinn E. (2000), Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Penerbit
Buku Kedokteran, EGC. Jakarta.
Faradillah, Firman, dan Anita. 2009. Gastro Intestinal Track Anatomical Aspect. Surakarta :
Keluarga Besar Asisten Anatomi FKUNS.
Lawrence. 2006. Appendix. Dalam: Current Surgical Diagnosis and Treatment. Ed : 12. USA :
The McGraw-Hill Companies, Inc.
Manjoer, Arif.2000. Kapita Selekta Kedokteran ed.3 cetakan 1.Media Aesculapsus:Jakarta.
Pierce dan Neil. 2007. At a Glance Ilmu Bedah. Ed : 3. Jakarta : Penerbit Erlangga.
Price dan Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Ed: Ke-6. Jakarta:
EGC.
Schwartz, Seymour, (2000), Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah, Penerbit Buku Kedokteran,
EGC. Jakarta. 4.Smeltzer, Suzanne C, (2001), Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah, Volume
2, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Smeltzer, C. Suzanne, C. Brenda, G. Bare, 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah,
Brunner & Suddarth, EGC, Jakarta.
Subanada, Supadmi, Aryasa, dan Sudaryat. 2007. Beberapa Kelainan Gastrointestinal yang
Memerlukan Tindakan Bedah. Dalam: Kapita Selekta Gastroenterologi Anak. Jakarta: CV
Sagung Seto.

ASUHAN KEPERAWATAN POST OPERASI APENDISITIS

LAPORAN KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN POST OPERASI APENDISITIS PADA NY.M

DI BANGSAL C RST DOKTER SOEDJONO MAGELANG

KTI

DisusununtukmemenuhisebagaisyaratmatakuliahTugasAkhir

Pada Program Studi D III KeperawatanMagelang

Oleh:

HARIS ALBASIT

NIM. P17420513031
PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN MAGELANG
JURUSAN KEPERAWATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG
MARET,2016

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermiformis dan merupakan penyebab

abdomen akut yang paling sering terjadi (Dermawan & Rahayuningsih, 2012).

Istilah usus buntu yang dikenal di masyarakat awam adalah kurang tepat karena usus

yang buntu sebenarnya adalah sekum. Apendiks diperkirakan ikut serta dalam system

imun sektorik di saluran pencernaan. Namun, pengangkatan apendiks tidak menimbulkan

efek fungsi system imun yang jelas (Syamsyuhidayat, 2005). Peradangan pada apendiks

selain mendapat intervensi farmakologik juga memerlukan tindakan bedah segera untuk
mencegah komplikasi dan memberikan implikasi pada perawat dalam bentuk asuhan

keperawatan.

Berlanjutnya kondisi apendisitis akan meningkatkan resiko terjadinya perforasi dan

pembentukan masa periapendikular. Perforasi dengan cairan inflamasi dan bakteri masuk

ke rongga abdomen lalu memberikan respons inflamasi permukaan peritoneum atau

terjadi peritonitis. Apabila perforasi apendiks disertai dengan material abses, maka akan

memberikan manifestasi nyeri lokal akibat akumulasi abses dan kemudian juga akan

memberikan 2 respons peritonitis. Manifestasi yang khas dari perforasi apendiks adalah

nyeri hebat yang tiba - tiba datang pada abdomen kanan bawah (Tzanakis, 2010).

Angka kejadian apendisitis di dunia mencapai 3442 juta kasus tiap tahun (Stacroce,

2013). Statistik di Amerika mencatat setiap tahun terdapat 30 – 35 juta kasus apendisitis

(Departemen Republik Indonesia, 2013). Penduduk di Amerika 10% menjalani

apendektomy (pembedahan untuk mengangkat apendiks). Afrika dan Asia prevalensinya

lebih rendah akan tetapi cenderung meningkat oleh karena pola diitnya yang mengikuti

orang barat.

Survey di 15 provinsi di Indonesia tahun 2014 menunjukan jumlah apendisitis yang

dirawat di rumah sakit sebanyak 4.351 kasus. Jumlah ini meningkat drastis dibandingkan

dengan tahun sebelumnya, yaitu sebanyak 3.236 orang. Awal tahun 2014, tercatat 1.889

orang di Jakarta yang dirawat di rumah sakit akibat apendisitis (Depkes RI, 2013).

Kementrian Kesehatan menganggap apendisitis merupakan isu prioritas kesehatan di

tingkat lokal dan nasional karena mempunyai dampak besar pada kesehatan masyarakat
(Depkes RI, 2013). Dinas kesehatan Jawa tengah menyebutkan pada tahun 2014 jumlah kasus

apendisitis sebanyak 1.355 penderita, dan 190 penderita diantaranya menyebabkan kematian.

Berdasarkan data yang diperoleh dari RST Dokter Soedjono Magelang pada tahun

2014 prevalensi dari semua kasus penyakit pembedahan digestive ditemukan ada 354

kasus dengan kejadian apendisitis berjumlah 266 kasus sebanyak (75%). Laki - laki

berjumlah 136 penderita sebanyak (51%), sedangkan perempuan 130 penderita sebanyak

(49%). Angka kejadianapendisitis yang dilakukan pembedahan sebanyak 239 penderita

(90%) dan yang tidak dilakukan pembedahan sebanyak 27 penderita (10%).

Sedangkan data yang diperoleh dari RST Dokter Soedjono Magelang pada periode 1

Januari sampai dengan 31 September 2015 prevalensi dari semua kasus penyakit

pembedahan digestive ditemukan 245 kasus dengan kejadian apendisitis berjumlah 159

kasus sebanyak (65%). Laki-laki sebanyak 75 penderita (47%), Sedangkan perempuan

sebanyak 84 penderita (53%), dan angka kejadian apendisitis yang dilakukan pembedahan

sebanyak 146 penderita (92%) dan yang tidak dilakukan pembedahan sebanyak 13

penderita (8%).

Dampak penderita ketika tidak dilakukan pembedahan dapat mengakibatkan abses

atau perforasi. Insiden perforasi adalah 10% sampai 32%. Perforasi terjadi secara umum

24 jam pertama setelah awitan nyeri. Angka kematian yang timbul akibat terjadinya

perforasia dalah 10 - 15% dari kasus yang ada, sedangkan angka kematian penderita

apendisitis akut adalah 0,2% - 0,8% yang berhubungan dengan komplikasi penyakitnya

akibat intervensi tindakan (Sjamsuhidayat, 2005).


Dampak apendisitis juga muncul setelah dilakukan pembedahan yaitu akan

menimbulkan nyeri bagi penderita. Dapat terjadi perdarahan di dalam, syok, hipertermia

atau gangguan pernapasan (Sjamsuhidayat, 2005).

Alternatif penulis untuk mengatasi masalah pada penderita apendisitis yang tidak

dilakukan pembedahan adalah segera untuk dilakukan pembedahan pada penderitanya.

Hal ini didukung menurut pendapat (Tzanakis, 2010) yang berbunyi, bahwa pada

penderita apendisitis dapat terjadi perforasi dan pembentukan masa periapendikular.

Perforasi dengan cairan inflamasi dan bakteri masuk ke rongga abdomen lalu

memberikan respons inflamasi permukaan peritoneum atau terjadi peritonitis. Alternatif

yang bisa dilakukan pada penderita harus segera untuk dilakukan pembedahan agar tidak

terjadi abses dan peritonitis yang lebih parah. Peradangan yang sudah berlanjut dan

infeksi sudah menyebar keseluruh rongga perut akibatnya terjadi perluasan infeksi pada

organ yang lain. Penderita yang sudah dalam infeksi berat dapat mengakibatkan kematian

maka harus segera untuk dilakukan operasi.

Alternatif penulis yang selanjutnya untuk mengatasi masalah pada penderita

apendisitis yang setelah dilakukan pembedahan adalah relaksasi dan distraksi, pencegahan

infeksi, dan observasi tanda - tanda vital. Hal ini didukung menurut pendapat (Tzanakis,

2010) yang berbunyi, mengajarkan teknik relaksasi distraksi pada penderita agar nyeri

yang ditimbulkan akibat dari perlukaan jaringan dapat mengurangi rasa nyeri yang

dirasakan. Kemudian hal penting yang perlu diidentifikasi dalam mencegah infeksi setelah

pembedahan mencakup; kondisi luka atau balutan, perdarahan, warna insisi dan jahitan,

drain, tanda – tanda infeksi, tipe eksudat dan jumlah serta sumber - sumber lain yang

dapat menyebabkan risiko infeksi. Teknik aseptik yang tepat harus diperhatikan pada saat
mengganti balutan. Dilakukan observasi tanda – tanda vital untuk mengetahui terjadinya

perdarahan di dalam, syok, hipertermia atau gangguan pernapasan.

Dari penjelasan di atas penulis tertarik untuk mengambil judul “Asuhan Keperawatan

Post Operasi Apendisitis pada Tn. X di Bangsal X RST Dokter Soedjono Magelang”

B. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

Menggambarkan Pengelolaan Asuhan Keperawatan Post Operasi Apendisitis di RST

Dokter Soedjono Magelang

2. Tujuan Khusus

a. Menggambarkan pengkajian post operasi apendisitis padaTn. X

b. Menggambarkan masalah keperawatan pada Tn. X dengan post

operasi apendisitis

c. Menggambarkan perencanaan untuk memecahkan masalah pada Tn. X dengan post

operasi apendisitis

d. Menggambarkan tindakan yang dilakukan untuk pemecahan masalah padaTn X dengan

post operasi apendisitis

e. Menggambarkan penilaian/evaluasi pencapaian tujuan pengelolaan masalah pada Tn. X

dengan post operasi apendisitis

f. Menggambarkan kesenjangan antara teori dan kondisi nyata di layanan kesehatan terkait

post apendisitis

C. ManfaatPenulisan

Hasil laporan kasus ini diharapkan dapat memberi manfaat praktis dalam

keperawatan yaitu sebagai panduan perawat dalam pengelolaan keperawatan post


apendisitis pada penderita. Diharapkan menjadi informasi bagi tenaga kesehatan lain

terutama dalam pengelolaan keperawatan post apendisitis pada penderita.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Apendisitis

1. Definisi

Menurut Gruendemann (2006) (cit Arif dan Kumala, 2013), Apendiks (umbai cacing)

merupakan perluasan sekum yang rata-rata panjangnya adalah 10cm. Ujung apendiks

dapat terletak di berbagai lokasi, terutama di belakang sekum. Arteri apendisialis

mengalirkan darah ke apendiks dan merupakan cabang dari arteri ileokolika.

Apendisitis adalah kasus bedah abdomen darurat yang paling sering terjadi.

Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis dan merupakan

penyebab abdomen akut yang paling sering terjadi. Apendiks disebut juga umbai cacing

(Andran & Yessie. 2013, p. 88). Menurut Price (2006) apendisitis adalah peradangan

apendiks yang mengenai semua lapisan dinding organ tersebut yang disebabkan oleh agen

infeksi.

2. Klasifikasi

Klasifikasi apendisitis berdasarkan klinik patologis adalah sebagai berikut:

1) Apendisitis Akut
a) Apendisitis Akut Sederhana (Cataral Apendisitis)

Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan obstruksi.

Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen apendiks dan terjadi peningkatan tekanan dalam

lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa apendiks jadi menebal, edema, dan

kemerahan. Gejala diawali dengan rasa nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah,

anoreksia, malaise, dan demam ringan. Pada apendisitis kataral terjadi leukositosis dan

apendiks terlihat normal, hiperemia, edema, dan tidak ada eksudat serosa.

b) Apendisitis Akut Purulenta (Supurative Apendisitis)

Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan

terbendungnya aliran vena pada dinding apendiks dan menimbulkan trombosis. Keadaan

ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus

besar berinvasi ke dalam dinding apendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa

menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Apendiks dan mesoapendiks terjadi

edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan

rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc Burney, dan nyeri

pada gerak aktif dan pasif.

c) Apendisitis Akut Gangrenosa

Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai terganggu

sehingga terjadi infrak dan ganggren. Selain didapatkan tanda-tanda supuratif, apendiks

mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding apendiks berwarna ungu, hijau

keabuan atau merah kehitaman. Pada apendisitis akut gangrenosa terdapat

mikroperforasi dan kenaikan cairan peritoneal yang purulen.


d) Apendisitis Infiltrat

Apendisitis infiltrat adalah proses radang apendiks yang penyebarannya dapat

dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga membentuk

gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya.

e) Apendisitis Abses

Apendisitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus), biasanya

di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrocaecal, subcaecal, dan pelvic.

f) Apendisitis Perforasi

Apendisitis perforasi adalah pecahnya apendiks yang sudah ganggren yang

menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum. Pada

dinding apendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik.

g) Apendisitis Kronis

Apendisitis kronis merupakan lanjutan apendisitis akut supuratif sebagai proses

radang yang persisten akibat infeksi mikroorganisme dengan virulensi rendah, khususnya

obstruksi parsial terhadap lumen. Diagnosa apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika

ada riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang

kronik apendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Secara

histologis, dinding appendiks menebal, sub mukosa dan muskularis propia mengalami

fibrosis. Terdapat infiltrasi sel radang limfosit dan eosinofil pada sub mukosa, muskularis

propia, dan serosa. Pembuluh darah serosa tampak dilatasi (Soeparman dalam USU

Institutional Repository, 2010).

Menurut Smeltzer (2002) (cit Andra & Yessie, 2013), menyatakan apendisitis akut

adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan rongga
abdomen, penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat. Menurut Lindseth, 2006

(cit Andra & Yessie, 2013) apendisitis akut adalah nyeri atau rasa tidak enak di sekitar

umbilicus berlangsung antara 1-2 hari. Beberapa jam nyeri bergeser ke kuadran kanan

bawah (titik Mc Burney) dengan disertai mual, anoreksia dan muntah. Menurut Pieter

(2005) (Andra & Yessie, 2013) apendisitis kronik adalah nyeri perut kanan bawah lebih

dari 2 minggu, dan keluhan menghilang setelah apendektomi. Kriteria mikroskopik

apendiks kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks adanya jaringan parut dan

ulkus lama di mukosa dan infiltrasi sel inflamasi kronik.

3. Etiologi

Menurut Andra &Yessie(2013) penyebab apendisitis antara lain:

a. Ulserasi pada mukosa

b. Obstruksi pada colon oleh fecalit (feses yang keras)

c. Tumor

d. Berbagai macam penyakit cacing

e. Striktur karena fibrosis pada dinding usus

4. Manifestasi Klinis

Menurut Andra dan Yessie (2013) tanda terjadinya apendisitis antara lain:

a. Nyeri pindah ke kanan bawah (yang menetap dan diperberat bila berjalan atau batuk)

dan menunjukkan tanda rangsangan peritoneum lokal di titik Mc. Burney : nyeri tekan,

nyeri lepas, defans muskuler.

b. Nyeri rangsangan peritoneum tidaklangsung


c. Nyeri pada kuadran kanan bawah saat kuadran kiri bawah ditekan (Roving Sign)

d. Nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepas (Blumberg)

e. Nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti napas dalam, berjalan, batuk,

mengedan

f. Nafsu makan menurun

g. Demam

Gejala-gejala permulaan pada apendisitis yaitu perasaan tidak enak sekitar umbilikus

diikuti oleh anoreksia, nausea dan muntah, gejala ini umumnya berlangsung lebih dari 1

atau 2 hari.Beberapa jam nyeri bergeser ke kuadran kanan bawah dan mungkin terdapat

nyeri tekan sekitar titik Mc. Burney, kemudian dapat timbul spasme otot dan nyeri

lepas.Biasanya ditemukan demam ringan dan leukosit meningkat.Bila

ruptureapendiks terjadi nyeri sering sekali hilang secara dramatik untuk sementara.

5. Pemeriksaan

a. Laboratorium, terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein (CRP).

Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-18.000/mm3

(leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum

yang meningkat. CRP adalah salah satu komponen protein fase akut yang akan meningkat

4-6 jam setelah terjadinya proses inflamasi, dapat dilihat melalui proses elektroforesis

serum protein. Angka sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%.

b. Radiologi, terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi (USG) dan Computed Tomography

Scanning (CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian memanjang pada tempat
yang terjadi inflamasi pada apendiks, sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan

bagian yang menyilang dengan fekalith dan perluasan dari apendiks yang mengalami

inflamasi serta adanya pelebaran sekum. Tingkat akurasi USG 90-94% dengan angka

sensitivitas dan spesifisitas yaitu 85% dan 92%, sedangkan CT-Scan mempunyai tingkat

akurasi 94-100% dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-100% dan 96-

97%.

c. Pemeriksaan penunjang lainnya

1) Pada copy fluorossekum dan ileum terminasuk tampak irritable

2) Pemeriksaan colok dubur : menyebabkan nyeri bila di daerah infeksi, bisa dicapai dengan

jari telunjuk. Menurut Craig, (2009) (cit Arif & Tutik, 2010, p. 505) pemeriksaan colok

dubur diperlukan untuk mengevaluasi adanya peradangan apendiks. Pertama-tama

tentukan diameter anus dengan mencocokkan jari. Apabila yang diperiksa adalah

pediatrik, maka jari kelingking diperlukan untuk melakukan colok dubur. Pemeriksaan

colok dubur dengan manifestasi nyeri pada saat palpasi mencapai area

inflamasi.Pemeriksaan juga mendeteksi adanya feses atau masa inflamasi apendiks. Pada

rectal taoucher, apabila terdapat nyeri pada arah jam 10-11 merupakan petunjuk adanya

perforasi.

3) Uji psoas dan uji obturator

Pemeriksaan fisik menurut Deden &Tutik (2010, p. 85) ada 2 cara pemeriksaan, yaitu:

a) Psoas Sign

Penderita terlentang, tungkai kanan harus lurus dan ditahan oleh pemeriksa. Penderita

disuruh aktif memfleksikan articulatio coxae kanan, akan terasa nyeri di perut kanan

bawah (cara aktif).


Penderita miring ke kiri, paha kanan di hiperektensi oleh pemeriksa, akan terasa nyeri di

perut kanan bawah (cara pasif).

b) Obtrutor Sign

Gerakan fleksi dan endorotasi articulatio coxae pada posisi supine akan menimbulkan

nyeri. Bila nyeri berarti kontak dengan Obturator internus, artinya apendiks terletak di

pelvis.

6. Patofisiologi

Apendisitis disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasia folikel

limfoid, fekalit, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya atau neoplasma.

Obstruksi tersebut menyebabkan mucus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding

apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan intralumen,

tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan

edema. Diaforesis bakteri dan ulserasi mukosa pada saatinilah terjadi apendiksitis fokal

yang ditandai nyeri epigastrium.

Sekresi mucus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan

mengakibatkan obstruksi vena, edema bertambah dan bakteri akan menembus dinding

apendiks. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritonium setempat sehingga

menimbulkan nyeri di abdomen kanan bawah, keadaan ini disebut apendisitis supuratif

akut. Aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan

gangrene, stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah

rapuh ini pecah akan terjadi apendisitis perforasi.


Semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan

bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrate

apendukularis, peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.

Pada anak-anak karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, dinding

apendiks lebih tipis, keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih

kurang memudahkan terjadinya perforasi, sedangkan padaorang tua perforasi mudah

terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah (Mansjoer, 2003).

Apendiks yang meradang tidak akan sembuh sempurna tetapi membentuk

jaringan parut yang melengket dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat

menimbulkan keluhan berulang di perut kanan bawah. Suatu saat, organ ini dapat

meradang akut lagi dan dinyatakan sebagai mengalami eksaserbasi akut (Sjamsuhidajat,

2012).
7. Penatalaksanaan

a. Sebelum operasi

1) Observasi

Dalam 8-12 jam setelah timbulnya keluhan, tanda dan gejala apendisitis

seringkalibelum jelas, dalam keadaan ini observasi ketat perlu dilakukan. Penderita

diminta melakukan tirah baring dan dipuasakan. Pemeriksaan abdomen dan rectal serta

pemeriksaan darah (leukosit dan hitung jenis) diulang secara periodik, foto abdomen dan

thoraks dilakukan untuk mencari kemungkinan adanya penyulit lain. Kebanyakan kasus

diagnosa ditegakkan dengan lokalisasi nyeri di daerah kanan bawah dalam 12 jam setelah

timbulnya keluhan.

2) Antibiotik

Apendisitis tanpa komplikasi biasanya tidak perlu diberikan antibiotik, kecuali

apendisitis gangrenosa atau apendisitis perporasi. Penundaan tindakan pembedahan

sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi.

b. Operasi

Apendektomi (pembedahan untuk mengangkat apendiks) dilakukan sesegera

mungkin untuk menurunkan risiko perforasi. Apendektomi dapat dilakukan dibawah

anestesi umum dengan insisi abdomen bawah atau dengan laparoscopy, yang merupakan

metode terbaru yang sangat efektif (Brunner & Suddarth, 2001).


Apendektomi dapat dilakukan dengan menggunakan dua metode pembedahan, yaitu

secara tehnik terbuka / pembedahan konvensional (laparotomy) atau dengan tehnik

laparoscopy yang merupakan teknik pembedahan minimal invasif dengan metode terbaru

yang sangat efektif (Brunner & Suddarth, 2001).

1) Laparotomy

Laparotomy adalah prosedur yang membuat irisan vertikal besar pada dinding perut

ke dalam rongga perut. Menurut referensi lain laparotomy adalah salah operasi yang

dilakukan pada daerah abdomen. Prosedur ini memungkinkan dokter melihat dan

merasakan organ dalam dalam membuat diagnosa apa yang salah. Adanya teknik

diagnosa yang tidak invansif, laparotomy semakin kurang digunakan dibandingkan masa

lalu. Prosedur ini hanya dilakukan jika semua prosedur lainnya yang tidak membutuhkan

operasi, seperti pemeriksaan sinar X atau tes darah atau urineatau tesdarah, gagal

mengungkap penyakit penderita. Teknik laparoscopy yang seminimal mungkin tingkat

invansifnya juga membuat laparotomy tidak sesering di masa lalu. Bila laparotomy

dilakukan, begitu organ-organ dalam dapat dilihat dalam masalah teridentifikasi,

pengobatan bedah yang diperlukan harus segera dilakukan.

Laparotomy dibutuhkan ketika ada kedaruratan perut. Operasi laparotomy dilakukan

apabila terjadi masalah kesehatan yang berat pada area abdomen, misalnya trauma

abdomen. Perawatan post laparotomy adalah bentuk pelayanan perawatan yang diberikan

kepada penderita-penderita yang telah menjalani operasi pembedahan perut. Bila

penderita merasakan nyeri perut hebat dan gejala-gejala lain dari masalah internal yang

serius dan kemungkinan penyebabnya tidak terlihatusus buntu, tukak peptik yang

berlubang atau kondisi ginekologi, perlu dilakukan operasi untuk menemukan dan
mengoreksinya sebelum terjadi kerusakan lebih lanjut. Sejumlah operasi yang membuang

usus buntu berawal dari laparotomy. Beberapa kasus laparotomy mungkin hanyalah

prosedur kecil. Pada kasus lain, laparotomy bisa berkembang menjadi pembedahan besar,

diikuti oleh transfusi darah dan masa perawatan intensif (David ,Arnot, dkk. 2009).

2) Laparoscopy

Laparoscopy berasal dari kata lapara yaitu bagian dari badan mulai iga paling bawah

sampai dengan panggul. Teknologi laparoscopy ini bisa digunakan untuk melakukan

pengobatan dan juga untuk melakukan diagnosa terhadap penyakit yang belum jelas.

Keuntungan bedah laparoscopy:

1) Luka operasi yang kecil berkisar antara 3-10 mm.

2) Medan penglihatan diperbesar 20 kali, tentunya halini lebih membantu ahli bedah dalam

melakukan pembedahan.

3) Secara kosmetik bekas luka sangat berbeda dibandingkan dengan luka operasi pasca

bedah konvensional. Luka bedah laparoscopy berukuran 3 mm sampai dengan ukuran 10

mm akan hilang atau tersembunyi kecuali penderita mempunyai bakat keloid

(pertumbuhan jaringan parut yang berlebihan).

4) Rasa nyeri setelah pembedahan minimal sehingga penggunaan obat-obatan dapat

diminimalkan, masa pulih setelah pembedahan jauh lebih cepat dan masa rawat di rumah

sakit menjadi lebih pendek, sehingga penderita bisa kembali beraktivitas normal lebih

cepat.

5) Banyaknya keuntungan yang diperoleh penderita dengan laparoscopy menyebabkan

teknik ini lebih diminati dan bersahabat kepada penderita.

c. Pasca operasi
Dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya perdarahan di dalam,

syok, hipertermia atau gangguan pernapasan, baringkan penderita dalam posisi

fowler.Penderita dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan, selama itu

penderita dipuasakan sampai fungsi usus kembali normal. Satu hari pasca operasi

penderita dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur selama 2x30 menit. Hari kedua

dapat dianjurkan untuk duduk di luar kamar. Hari ke tujuh jahitan dapat diangkat dan

penderita diperbolehkan pulang (Mansjoer, 2003).

B. Asuhan Keperawatan pada Penderita dengan Post Operasi Apendisitis

1. Pengkajian

Menurut Perry Potter (2007) pengkajian pada penderita post operasi adalah:

a. Jalan Napas dan Pernapasan

Agen anestesi tertentu menyebabkan depresi pernafasan. Waspadai pernapasan

dangkal, lambat, dan batuk lemah. Kaji patensi jalan napas, laju napas, irama, kedalaman

ventilasi, simetri gerakan dinding dada, suara napas, dan warna mukosa. Nilai normal

oksimeter pulsa berkisar antara 92% dan 100% saturasi. Kebingungan pasca operasi

merupakan efek sekunder dari hipoksia terutama pada lansia.

b. Sirkulasi

Penderita berisiko mengalami komplikasi kardiovaskular yang disebabkan oleh

hilangnya darah aktual atau potensial dari tempat pembedahan, efek samping dari

anestesi, ketidakseimbangan elektrolit, dan depresi mekanisme yang mengatur sirkulasi

normal. Pengkajian yang telah diteliti terhadap denyut dan irama jantung, bersama

dengan tekanan darah, mengungkapkan status kardiovaskular penderita. Kaji sirkulasi

kapiler dengan mencatat pengisian kembali kapiler, denyut, serta warna kuku dan
temperatu kulit.Masalah umum awal sirkulasi adalah perdarahan. Kehilangan darah

dapat terjadi secara eksternal melalui saluran atau sayatan internal. Kedua tipe ini

menghasilkan perdarahan dan penurunan tekanan darah, jantung, dan laju pernapasan

meningkat, nadi terdengar lemah, kulit dingin, lembab, pucat, dan gelisah.

c. Kontrol Suhu

d. Keseimbangan Cairan dan Elektrolit

Kaji status hidrasi dan pantau fungsi jatung dan saraf untuk tanda-tanda perubahan

elektrolit. Monitor dan bandingkan nilai-nilai laboratorium dengan nilai-nilai dasar dari

penderita. Catatan yang akurat dari asupan dan keluaran dapat menilai fungsi ginjal dan

peredaran darah. Ukur semua sumber keluaran, termasuk urine, keluaran dari

pembedahan, drainase luka dan perhatikan setiap keluaran yang tidak terlihat dari

diaforesis.

e. Fungsi Neurologi

Kaji refleks pupil dan muntah, cengkeraman tangan, dan gerakan kaki. Jika penderita

telah menjalani operasi melibatkan sebagian sistem saraf, lakukan pengkajian neurologi

secara lebih menyeluruh.

f. Integritas Kulit dan Kondisi Luka

Perhatikan jumlah, warna, bau dan konsistensi drainase diperban. Pada penggantian

perban pertama kalinya perlu dikaji area insisi, jika tepi luka berdekatan dan untuk

perdarahan atau drainase.

g. Fungsi Perkemihan

Anestesi epidural atau spinal sering mencegah penderita dari sensasi kandung kemih

yang penuh. Raba perut bagian bawah tapat di atas simfisis pubis untuk mengkaji distensi
kandung kemih. Jika penderita terpasang kateter urine, harus ada aliran urine terus-

menerus sebanyak 30-50 ml/jam pada orang dewasa. Amati warna dan bau urine,

pembedahan yang melibatkan saluran kemih biasanya akan menyebabkan urine berdarah

paling sedikit selama 12 sampai 24 jam, tergantung pada jenis operasi.

h. Fungsi Gastrointestinal

Inspeksi abdomen untuk memeriksa perut kembung akibat akumulasi gas. Perawat

perlu memantau asupan oral awal penderita yang berisiko menyebabkan aspirasi atau

adanya mual dan muntah. Kaji juga kembalinya peristaltik setiap 4 sampai 8 jam.

Auskultasi perut secara rutin untuk mendeteksi suara usus kembali normal, 5-30 bunyi

keras per menit pada masing-masing kuadran menunjukkan gerak peristaltik yang telah

kembali. Suara denting tinggi disertai oleh distensi perut menunjukkan bahwa usus tidak

berfungsi dengan baik. Tanyakan apakah penderita membuang gas (flatus), ini merupakan

tanda penting yang menunjukkan fungsi usus normal.

i. Kenyamanan

Penderita merasakan nyeri sebelum mendapatkan kembali kesadaran penuh. Nyeri insisi

akut menyebabkan penderita menjadi gelisah dan

mungkin bertanggungjawab atas perubahan sementara pada tanda vital. Kaji nyeri

penderita dengan skala nyeri, evaluasi respons terhadap analgesik.

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan dengan penderita post operasi apendisitis menurut Wilkinson, J

dan Ahern (2012) :

a. Nyeri akut

1) Definisi:
Pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan akibat adanya kerusakan

jaringan yang aktual atau potensial, atau digambarkan dengan istilah seperti

(International Association for the Study of Pain), awitan yang tiba-tiba atau perlahan

dengan intensitas ringan sampai berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau dapat

diramalkan dan durasinya kurang dari enam bulan.

2) Batasan karakteristik:

a) Subjektif :

Mengungkapkan secara verbal atau melaporkan (nyeri) dengan isyarat

b) Objektif :

(1) Posisi untuk meghindari nyeri

(2) Perubahan tonus otot (dengan rentang dari lemas tidak bertenaga sampai kaku)

(3) Respon autonomik ( misalnya, diaforesis; perubahan tekanan darah, pernapasan, atau

nadi; dilatasi pupil)

(4) Perubahan selera makan

(5) Perilaku distraksi (misalnya, mondar-mandir, mencari orang dan/ atau aktivitas lain,

aktivitas berulang)

(6) Perilaku ekspresif (misalnya, gelisah, merintih, menangis, kewaspadaan berlebihan, peka

terhadaap rangsang, dan menghela napas panjang)

(7) Perilaku menjaga atau sikap melindungi

(8) Fokus menyempit (misalnya, gangguan persepsi waktu, gangguan proses pikir, interaksi

dengan orang lain atau lingkungan menurun)

(9) Bukti nyeri yang dapat diamati

(10) Berfokus pada diri sendiri


(11) Gangguan tidur ( mata terlihat kuyu, gerakan tidak teratur atau tidak menentu, dan

menyeringai)

3) Faktor yang berhubungan :

Agen-agen penyebab cedera (misalnya, biologis, kimia, fisik, dan psikologis)

b. Ketidakseimbangan Nutrisi Kurang dari Kebutuhan Tubuh

1) Definisi:

Asupan nutrisi tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan metabolic.

2) Batasan Karakteristik:

a) Subjektif :

(1) Kram abdomen

(2) Nyeri abdomen (dengan atau tanpa penyakit)

(3) Menolak makan

(4) Indigesti (non-NANDA International)

(5) Persepsi ketidakmampuan untuk mencerna makanan

(6) Melaporkan perubahan sensasi rasa

(7) Melaporkan kurangnya makanan

(8) Merasa cepat kenyang setelah mengkonsumsi makanan

b) Objektif :

(1) Bising usus hiperaktif

(2) Kurangnya minat terhadap makanan

(3) Membrane mukosa puca

(4) Tonus otot buruk

3) Faktor yang berhubungan:


Ketidakmampuan untuk menelan atau menerima makanan atau menyerap nutrien akibat

faktor biologis, psikologis, atau ekonomi, termasuk contoh non-NANDA berikut ini:

Kesulitan mengunyah atau menelan, hilangnya nafsu makan,mual dan muntah

c. Hambatan mobilitas fisik

1) Definisi : Keterbatasan dalam pergerakan fisik mandiri dan terarah pada tubuh atau satu

ekstremitas atau lebih

2) Batasan karekteristik

Objektif : kesulitan membolak-balik posisi tubuh, dispnea saat beraktivitas, keterbatasan

rentang gerak sendi, ketidakstabilan postur tubuh (saat melakukan rutinitas aktivitas

kehidupan sehari-hari), melambatnya pergerakan, gerakan tidak teratur atau tidak

terkoordinasi

3) Faktor yang berhubungan:

Perubahan metabolisme sel, gangguan kognitif, penurunan kekuatan/ kendali / massa otot,

ansietas, ketidaknyamanan, intoleransi aktivitas dan penurunan kekuatan, kaku sendi /

kontaktur, gangguan muskuluskeletal, gangguan neuromuskuler, nyeri, program

pembatasan pergerakan, gaya hidup yang kurang gerak, malnutrisi, gangguan sensori

persepsi.

d. Konstipasi

1) Definisi:

Penurunan frekuensi normal defekasi yang disertai pengeluaran feses yang sulit atau tidak

lampias atau pengeluaran feses yang sangat keras dan kering.

2) Batasan karakteristik:

a) Subjektif
(1) Nyeri abdomen

(2) Nyeri tekan pada abdomen dengan atau tanpa resistansi otot yang dapat dipalpasi

(3) Perasaan penuh dan tekanan pada rektum

(4) Nyeri saat defekasi

b) Objektif

(1) Perubahan pada pola defekasi

(2) Penurunan frekuensi

(3) Penurunan volume feses

(4) Distensi abdomen

(5) Feses yang kering, keras, dan padat

(6) Bising usus hipoaktif

(7) Massa abdomen dapat dipalpasi

(8) Flatus berat

(9) Mengejan saat defekasi

(10) Tidak mampu mengeluarkan feses

3) Faktor yang berhubungan:

a) Kebiasaan mengabaikan desakan untuk defekasi

b) Antikolinergis

c) Antidepresan

d) Diuretik

e) Sedatif

f) Perubahan pola makan dan jenis makanan yang dikonsumsi

g) Asupan serat tidak mencukupi


h) Asupan cairan yang tidak mencukupi

e. Resiko kekurangan volume cairan

1) Definisi : kondisi individu yang berisiko mengalami dehidrasi vascular, selular atau

intraselular kapiler.

2) Faktor resiko :

a) Objektif :

(1) Penyimpangan yang memengaruhi akses untuk pemasukan atau absorbsi cairan

(misalnya, imobilitas fisik).

(2) Kehilangan yang berlebihan melalui rute normal (mislanya, diare).

(3) Usia ekstrem (bayi baru lahir atau lansia).

(4) Berat badan ekstrem (kurang atau berlebih).

(5) Faktor yang memengaruhi kebutuhan cairan (misalnya, status hipermetabolik).

(6) Defisiensi pengetahuan (yang berhubungan dengan volume cairan).

(7) Kehilangan cairan melalui rute yang tidak normal (misalnya, slang kateter menetap).

(8) Obat (diuretik).

3) Faktor yang berhubungan :

a) Kehilangan volume cairan aktif

b) Kegagalan mekanisme pengaturan (seperti, dalam diabetes insipidus,

hiperaldosteronisme)

c) Asupan cairan yang tidak adekuat.

f. Ansietas

1) Definisi:
Perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran yang samar disertai respons autonom

(sumber sering kali tidak spesifik atau tidak diketahui oleh individu); perasaan takut yang

disebabkan oleh antisipasi tehadap bahaya. Perasaan ini merupakan isyarat kewaspadaan

yang memperingatkan bahaya yang akan terjadi dan memampukan individu melakukan

tindakan untuk menghadapi ancaman.

2) Batasan karakteristik :

a) Perilaku :

Penurunan produktivitas, mengekspresikan kekhawatiran akibat peristiwa dalam hidup,

gelisah, memandang sekilas, insomnia, kontak mata buruk, resah, menyelidik dan tidak

waspada

b) Afektif

Gelisah, kesedihan yang mendalam, fokus pada diri sendiri, gugup, marah, menyesal,

perasaan takut, ketidakpastian, khawatir

c) Fisiologis

Wajah tegang, peningkatan keringat, gemetar atau tremor di tangan, suara bergetar

d) Parasimpatis

Nyeri abdomen, penurunan tekanan darah, penurunaan nadi, pingsan, sering berkemih

e) Simpatis

Mulut kering, jantung berdebar-debar, dilatasi pupil, kelemahan

f) Kognitif

Konfusi, kesulitan untuk berkonsentrasi

3) Faktor yang berhubungan :

a) Terpajan toksin
b) Stres

c) Ancaman atau perubahan pada status peran, fungsi peran, lingkungan, status kesehatan

g. Risiko infeksi

1) Definisi:

Berisiko terhadap invasi organisme patogen

2) Faktor yang berhubungan :

a) Penyakit kronis

b) Penekanan sistem imun

c) Pertahanan primer tidak adekuat (misal, kulit luka, trauma jaringan)

3. Perencanaan

Rencana keperawatan dengan penderita post operasi apendisitis menurut Wilkinson, J dan

Ahern (2013) :

a. Nyeri akut

1) Kriteria hasil :

a) Memperlihatkan pengendalian nyeri, yang dibuktikan oleh indikator sebagai berikut

(sebutkan 1-5 : tidak pernah, jarang, kadang-kadang, sering, atau selalu):

(1) Mengenali awitan nyeri

(2) Menggunakan tindakan pencegahan

(3) Melaporkan nyeri dapat dikendalikan

b) Menunjukkan tingkat nyeri, yang dibuktikan oleh indikator sebagai berikut (sebutkan 1-

5: sangat berat, berat, sedang, ringan, atau tidak ada):

(1) Ekspresi nyeri pada wajah

(2) Gelisah atau ketegangan otot


(3) Durasi episode nyeri

(4) Merintih dan menangis

(5) Gelisah

2) Intervensi :

a) Observasi isyarat nonverbal ketidaknyamanan, khususnya pada mereka yang tidak

mampu berkomunikasi efektif

b) Minta penderita untuk menilai nyeri atau ketidaknyamanan pada skala 0 samapi 10 (0 =

tidak ada nyeri atau ketidaknyamanan, 10 = nyeri hebat).

c) Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif meliputi lokasi, karakteristik, awitan dan

durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau keparahan nyeri, dan faktor presipitasinya.

d) Informasikan kepada penderita tentang prosedur yang dapat meningkatkan nyeri

e) Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan

berlangsung dan antisipasi ketidaknyamanan akibat prosedur.

f) Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologis (misalnya,umpan balik biologis, relaksasi,

imajinasi terbimbing,terapi musik, distraksi, terapi bermain, terapi aktivitas, kompres

hangat atau dingin, massase sebelum dan sesudah, dan jikamemungkinkan selama

aktivitas yang menimbulkan nyeri

g) Bantu penderita untuk lebih fokus pada aktivitas, bukan pada nyeri dan rasa tidak

nyaman dengan melakukan pengalihan melalui televisi, radio,tape, dan interaksi dengan

pengunjung

h) Kendalikan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon penderita terhadap

ketidaknyamanan (misalnya, suhu ruangan, pencahayaan, dan kegaduhan)


i) Pastikan pemberian analgesia terapi atau strategi nonfarmakologis sebelum melakukan

prosedur yang menimbulkan nyeri

b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

1) Kriteria hasil :

a) Memperlihatkan status gizi : asupan makanan dan cairan, yang dibuktikan oleh indikator

sebagai berikut (sebutkan 1-5 : tidak adekuat,sedikit adekuat, cukup adekuat, adekuat,

sangat adekuat)

(1) Makanan oral, pemberian makanan lewat selang, atau nutrisi parenteral total

(2) Asupan cairan oral / IV

b) Mempertahankan berat badan ideal

c) Memiliki nilai laboratorium (misalnya, transferin, albumin, dan elektrolit dalam batas

normal)

2) Intervensi :

a) Timbang penderita pada interval yang tepat.

b) Instruksikan penderita agar menarik napas dalam, perlahan, dan menelan secara sadar

untuk mengurangi mual dan muntah.

c) Letakkan makanan pada bagian mulut yang tidak bermasalah untuk memudahkan

menelan.

d) Berikan informasi yang tepat tentang kebutuhan nutrisi dan bagaimana memenuhinya.

e) Tentukan dengan melakukan kolaborasi bersama ahli gizi, jika diperlukan, jumlah kalori

dan jenis zat gizi yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi (khususnya untuk

penderita dengan kebutuhan energi tinggi, seperti penderita pascabedah dan luka bakar,

trauma, demam, dan luka).


f) Berikan obat antiemetik dan/atau analgesik sebelum makan atau sesuai jadwal yang

dianjurkan.

c. Hambatan Mobilitas Fisik

1) Kriteria hasil :

Memperlihatkan mobilitas yang dibuktikan oleh indikator berikut (gangguan ekstrem,

berat, sedang, ringan, atau tidak mengalami gangguan keseimbangan, koordinasi,

performa posisi tubuh, pergerakan sendi dan otot, berjalan dan bergerak dengan mudah).

2) Intervensi :

a) Aktivitas keperawatan tingkat 1

(1) Kaji kebutuhan terhadap bantuan pelayanan kesehatan di rumah dan kebutuhan

terhadap peralatan pengobatan yang tahan lama

(2) Berikan penguatan yang positif selama aktivitas

(3) Ajarkan penderita penggunaan alat bantu mobilitas

(4) Ajarkan dan bantu penderita dalam proses berpindah

(5) Ajarkan penderita dalam mengggunakan postur tubuh yang benar saat melakukan

aktivitas

(6) Rujuk ke ahli terpai fisik untuk program latihan

b) Aktivitas keperawatan tingkat 2

(1) Kaji kebutuhan terhadap bantuan pelayanan kesehatan

(2) Berikan penguatan positif selama aktivitas

(3) Gunakan sabuk penyokong saat memberikan bantuan ambulasi

(4) Ajarkan dan dukung penderita dalam latihan ROM aktif atau pasif

(5) Ajarkan teknik ambulasi dan berpindah yang aman


(6) Kolaborasi dengan terapi ahli fisik dan okupasi

c) Aktivtas keperawatan tingkat 3 dan 4

(1) Tentukan tingkat motivasi penderita untuk mempertahankan atau mengembalikan

mobilitas sendi dan otot

(2) Berikan penguatan positif selama aktivitas

(3) Berikan analgesik sebelum memulai latihan fisik

(4) Letakkan matras atau tempat tidur terapeutik dengan benar

(5) Letakkan posisi yang terapeutik (misalnya hindari penempatan punting amputasi pada

posisi fleksi)

(6) Atur posisi dengan kesejajaran tubuh yang benar

(7) Ubah posisi penderita minimal setiap 2 jam

(8) Dukung latihan ROM aktif atau pasif jika diperlukan

(9) Gunakan ahli terapi fisik atau okupasi

d. Konstipasi

1) Kriteria hasil :

a) Konstipasi menurun, yang dibuktikan oleh defekasi (sebutkan 1-5 : gangguan ekstrem,

berat, sedang, ringan, atau tidak mengalami gangguan):

b) Pola eliminasi (dalam rentang yang diharapkan)

c) Feses lunak dan berbentuk

d) Konstipasi menurun, yang dibuktikan oleh defekasi (sebutkan 1-5 : sangat berat ekstrem,

berat, sedang, ringan, atau tidak ada)

2) Intervensi :
a) Dapatkan data dasar mengenai program defekasi, aktivitas, pengobatan, dan pola

kebiasaan penderita

b) Kaji dan dokumentasikan :

(1) Warna dan konsitensi feses pertama pascaoperasi

(2) Frekuensi, warna dan konsistensi feses

(3) Keluarnya flatus

(4) Ada atau tidak ada bising usus

c) Identifikasi faktor (misalnya, pengobatan, tirah baring, dan diet) yang dapat

menyebabkan konstipasi.

d) Informasikan kepada penderita kemungkinan konstipasi akibat obat

e) Ajarkan kepada penderita tentang efek diet pada eliminasi

f) Tekankan pentingnya menghindari mengejan selama defekasi untuk mencegah

perubahantanda vital, perdarahan

g) Konsultasi dengan ahli gizi untuk meningkatkan serat dan cairan dalam diet

e. Ansietas

1) Kriteria hasil :

a) Ansietas berkurang, dibuktikan oleh bukti tingkat ansietas hanya ringan sampai sedang,

konsentrasi

b) Meneruskan aktivitas yang dibutuhkan mengalami kecemasan

c) Memiliki tanda-tanda vital dalam batas normal

2) Intervensi :

a) Kaji faktor budaya (misalnya konflik nilai) yang menjadi penyebab ansietas

b) Berikan penguatan positif kepada penderita


c) Berikan sikap empatik secara verbal non verbal
d) Berikan informasi kepada kelurga tentang gejala ansietas

e) Ajarkan relaksasi distraksi

f) Kolaborasi pemberian obat ansietas jika diperlukan

f. Risiko infeksi

1) Kriteria hasil :

a) Faktor risiko infeksi akan hilang, dibuktikan dengan : status imun, keparahan infeksi, dan

penyembuhan luka

b) Terbebas dari tanda gejala infeksi

2) Intervensi :

a) Pantau tanda dan gejala infeksi (misalnya, suhu tubuh, denyut jantung, drainase,

penampilan luka, suhu kulit, lesi kulit)

b) Kaji faktor yang dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi

c) Bersihkan, pantau, dan fasilitasi proses penyembuhan luka yang ditutup dengan jahitan.

d) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antibiotik.

4. Evaluasi

Evaluasi keperawatan dengan penderita post operasi apendisitis menurut Wilkinson, J dan

Ahern (2013)

a. Nyeri akut

1). Memperlihatkan pengendalian nyeri, yang dibuktikan oleh indikator sebagai berikut

(sebutkan 1-5 : tidak pernah, jarang, kadang-kadang, sering, atau selalu):

a.) Mengenali awitan nyeri

b.) Menggunakan tindakan pencegahan

c.) Melaporkan nyeri dapat dikendalikan


2.) Menunjukkan tingkat nyeri, yang dibuktikan oleh indikator sebagai berikut (sebutkan 1-

5: sangat berat, berat, sedang, ringan, atau tidak ada):

a) Ekspresi nyeri pada wajah

b) Gelisah atau ketegangan otot

c) Durasi episode nyeri

d) Merintih dan menangis

e) Gelisah

b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

1) Memperlihatkan status gizi : asupan makanan dan cairan, yang dibuktikan oleh indikator

sebagai berikut (sebutkan 1-5 : tidak adekuat,sedikit adekuat, cukup adekuat, adekuat,

sangat adekuat)

2) Makanan oral, pemberian makanan lewat selang, atau nutrisi parenteral total

3) Asupan cairan oral / IV

4) Mempertahankan berat badanideal

5) Memiliki nilai laboratorium (misalnya, transferin, albumin, dan elektrolit dalam batas

normal)

c. Hambatan mobilitas fisik

Memperlihatkan mobilitas yang dibuktikan oleh indikator berikut

1) gangguan ekstrem, berat, sedang, ringan, atau tidak mengalami gangguan keseimbangan,

koordinasi, performa posisi tubuh, pergerakan sendi dan otot, berjalan dan bergerak

dengan mudah).

d. Konstipasi
1) Konstipasi menurun, yang dibuktikan oleh defekasi (sebutkan 1-5 : gangguan ekstrem,

berat, sedang, ringan, atau tidak mengalami gangguan):

2) Pola eliminasi (dalam rentang yang diharapkan)

3) Feses lunak dan berbentuk

4) Konstipasi menurun, yang dibuktikan olehdefekasi (sebutkan 1-5 : sangat berat ekstrem,

berat, sedang, ringan, atau tidak ada)

e. Ansietas

1) Ansietas berkurang, dibuktikan oleh bukti tingkat ansietas hanya ringan sampai sedang,

konsentrasi

2) Meneruskan aktivitas yang dibutuhkan mengalami kecemasan

3) Memiliki tanda-tanda vital dalam batas normal

f. Risiko infeksi

1) Faktor risiko infeksi akan hilang, dibuktikan dengan : status imun, keparahan infeksi, dan

penyembuhan luka

2) Terbebas dari tanda gejala infeksi

BAB III

TINJAUAN KASUS

A. Biodata Penderita (biographic information)


Penderita masuk RST dr. Soedjono Magelang tanggal 10 Januari 2016 pukul 09.00

WIB. Pengkajian dilakukan tanggal 12 Januari 2016 pukul 10.00 WIB di ruang Cempaka

kamar 5B RST dr. Soedjono Magelang :

Nama Ny. M, umur 18 tahun, jenis kelamin perempuan, agama Islam, pendidikan

terakhir SMP, alamat Borobudur, Magelang, penanggung jawab Tn. M, umur 21 tahun,

pekerjaan swasta, agama Islam, hubungan dengan penderita adalah Suami.

B. Pengkajian (assesment) :

1. Riwayat Keperawatan (nursing history)

Keluhan utama penderita adalah nyeri pada luka post op. Riwayat penyakit

sekarang pasien dioperasi pada tanggal 11 Januari 2016 pukul 11.00 WIB, operasi

apendektomi dengan anestesi spinal. Saat dikaji penderita mengeluh nyeri pada luka post

op, ditusuk-tusuk, skala 6, terus – menerus, pada pengkajian PQRST, P

(provokatif/paliatif): nyeri pada luka post op. Q (qualitas/quantitas): ditusuk-tusuk, R

(region): perut kanan bawah, S (skala): skala 6, T (timing): terus-menerus. Riwayat

penyakit dahulu, penderita sebelumnya belum pernah masuk rumah sakit. Riwayat

penyakit keluarga, penderita mengatakan di dalam keluarganya tidak ada yang menderita

penyakit keturunan seperti hipertensi, diabetes melitus dan penyakit menular seperti TBC

dan hepatitis.

Pengkajian Fokus pada penderita, Hasil yang didapatkan dari pengkajian pada

tanggal 12 Januari 2016 pukul 10.00 WIB yaitu Tekanan Darah 120/70 mmHg, nadi: 72

x/menit, respiratory rate: 22 x/menit, suhu: 36,20C. Aktivitas atau istrahat, penderita dapat

melakukan aktivitas mandiri, terkadang dibantu suaminya, penderita mengatakan lemas,

sediki-sedikit sudah mulai bisa tidur miring ke kanan dan ke kiri tidak maksimal dan
belum bisa duduk karena ada luka di post op di perut kanan bawah. Pengkajian sirkulasi,

penderita mengatakan pusing TD: 120/70 mmHg, nadi: 72x/menit, respiratory rate:

22x/menit, suhu: 36,20C. Penderita tidak ada distensi kandung kemih, sudah berkemih

(BAK) 1x sebanyak ± 100 cc dan belum buang air besar (BAB) tetapi, sebelum operasi

penderita sudah BAB 1x. Penderita makan dengan diit rumah sakit yaitu bubur saring,

makannya habis ¾ porsi rumah sakit, untuk minumnya penderita mengatakan sehari

minum air putih ± 300 ml, air teh sehari ± 150 ml, penderita mengatakan tidak

mual/muntah, bising usus 11x/menit. Saat pengkajian neurologinya, reflek pupil: isokor,

gerakan kaki: bisa digerakkan. Pada pengkajian Integritas kulit, turgor kulit baik, mukosa

bibir kering, warna kulit sawo matang, tidak ada lesi, ada bekas luka post op di abdomen

kanan bawah, keadaan luka tertutup, terdapat rembesan darah. Saat dikaji penderita

mengatakan nyeri, takut bergerak, cemas, karena nyeri tidak hilang - hilang, ekspresi

wajah tampak menahan nyeri. Nyeri luka post op di perut kanan bawah, seperti ditusuk-

tusuk dan terasa panas, skala 6, nyeri timbul terus-menerus. Penderita mengatakan tidak

sesak nafas repiratory rate: 22x/menit. Pada pengkajian genetalia tidak ada distensi

kandung kemih, tidak terpasang kateter.

2. Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum baik, tingkat kesadaran compos mentis, tekanan darah: 120/70

mmHg, nadi: 72x/menit, suhu: 36,20C, respiratory rate: 22x/menit. Kepala mesochepal,

tidak ada benjolan, penyebaran rambut hitam, merata, rambut panjang, bersih. Pada

mata pupil isokor, konjungtiva tidak anemis. Hidung bersih, tidak ada polip. Mulut tidak

ada lesi, mukosa bibir pucat. Telinga tidak ada serumen berlebih, tidak ada benjolan di

saluran telinga. Selanjutnya, pada leher tidak ada pembesaran kelenjar tyroid.
Pemeriksaan fisik dada terdiri dari paru-paru dan jantung. Jantung saat inspeksi ictus

cordis tidak tampak, teraba ictus cordis, perkusinya redup dan tidak terdengar suara

tambahan. Pada paru - paru pergerakan dada simetris kanan kiri, palpasi taktil fremitus

sama, perkusinya resonan, dan auskultasinya vesikuler. Saat mengkaji abdomen, abdomen

datar terdapat luka di abdomen kanan bawah, luka tertutup kassa di perut kanan bawah 9

cm melintang, luka tertutup kassa betadine, daerah sekitar luka bersih, tidak kemerahan,

terdapat rembesan darah. Terdengar peristaltik usus 11x/menit, terdapat nyeri tekan di

abdomen kanan bawah, tidak ada distensi kandung kemih, perkusinya tympani. Untuk

ekstremitas atas terpasang infus RL 20 tetes/menit, pada ekstremitas bawah tidak ada

edema dan tidak terpasang kateter.

3. Pemeriksaan Diagnostik

a. Pemeriksaan laboratorium tanggal 11 Januari 2016 adalah sebagai berikut:

WBC: 11,9 (10̂ 3/uL), RBC 5,48 (10̂ 6/uL), HGB: 12,2 (g/dL), HCT: 41,2 (%), MCV: 75,8

(fL), MCH: 26,0 (Pg), MCHC: 31,9 (g/dL), PCT: 0,15 (fL)

b. Program terapi

Program terapi yang diberikan adalah

1) RL 20 tpm

2) Ceftriaxon 1 gr 1x1

3) Ranitidin 25 mg 2x1

4) Ketorolac 30 mg 2x1

c. Program Diit

Program diit yang diberikan adalah diit bubur saring

C. Perumusan Masalah (Formulate problem (s))


1. Analisa Data

Pada pengkajian yang dilakukan tanggal 12 Januari 2016 pukul 10.00 WIB

didapatkan data sebagai berikut:

a. Data subjektif: penderita mengatakan nyeri pada luka post op, seperti tertusuk-tusuk, di

abdomen kanan bawah, skala 6, nyeri terus-menerus.

Data objektif: penderita tampak menyeringai menahan nyeri saat dipalpasi, tirah baring,

tekanan darah: 120/70mmHg, nadi: 72x/menit, respiatori rate: 22x/menit. Dari pengkajian

tersebut dapat ditarik masalah keperawatan nyeri akut berhubungan dengan agen cedera

fisik.

b. Data subjektif: penderita mengatakan cemas karena nyeri yang dirasakan tidak hilang-

hilang, takut untuk bergerak,

Data objektif: penderita tampak gelisah, tekanan darah: 90/70mmHg, nadi: 62x/menit,

respiatori rate: 22x/menit. Dari pengkajian tersebut dapat ditarik masalah keperawatan

ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan

c. Data subjektif: penderita mengatakan nyeri pada luka post op, terasa seperti ditusuk –

tusuk.

Data objektif: terdapat luka post op di abdomen kanan bawah, terdapat rembesan darah,

9cm melintang, luka tertutup kassa betadine, daerah sekitar luka bersih, tidak kemerahan.

WBC: 11,9 (10̂3/uL). Dari pengkajian tersebut dapat ditarik masalah keperawatan resiko

infeksi berhubungan dengan luka insisi bedah post apendektomi.

2. Perumusan Masalah

Diagnosa keperawatan sesuai prioritas tanggal 12 Januari 2016 adalah:

a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik


b. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan

c. Risiko infeksi berhubungan dengan luka insisi bedah apendektomi

D. Perencanaan (plan)

1. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik

a. Kriteria hasil :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan masalah nyeri

dapat teratasi dengan kriteria hasil:

1) Memperlihatkan pengendalian nyeri, yang dibuktikan oleh indikator sebagai berikut

(sebutkan 1-5 : tidak pernah, jarang, kadang-kadang, sering, atau selalu):

a) Mengenali awitan nyeri

b) Menggunakan tindakan pencegahan

c) Melaporkan nyeri dapat dikendalikan

2) Menunjukkan tingkat nyeri, yang dibuktikan oleh indikator sebagai berikut (sebutkan 1-

5: sangat berat, berat, sedang, ringan, atau tidak ada):

a) Ekspresi nyeri pada wajah

b) Gelisah atau ketegangan otot

c) Durasi episode nyeri

d) Merintih, menangis dan gelisah

b. Intervensi

c. Observasi isyarat nonverbal ketidaknyamanan, khususnya pada mereka yang tidak

mampu berkomunikasi efektif

d. Minta pasien untuk menilai nyeri atau ketidaknyamanan pada skala 0 samapi 10 (0 =

tidak ada nyeri atau ketidaknyamanan, 10 = nyeri hebat).


e. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif meliputi lokasi, karakteristik, awitan dan

durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau keparahan nyeri, dan faktor presipitasinya.

f. Informasikan kepada pasien tentang prosedur yang dapat meningkatkan nyeri

g. Berikan informasi tentang nyeri,seperti penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan

berlangsung dan antisipasi ketidaknyamanan akibat prosedur.

h. Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologis (misalnya,umpan balik biologis, relaksasi,

imajinasi terbimbing,terapi musik, distraksi, terapi bermain, terapi aktivitas, kompres

hangat atau dingin, dan massase sebelum dan sesudah, dan jikamemungkinkan selama

aktivitas yang menimbulkan nyeri

i. Bantu pasien untuk lebih fokus pada aktivitas, bukan pada nyeri dan rasa tidak nyaman

dengan melakukan pengalihan melalui televisi, radio,tape, dan interaksi dengan

pengunjung

j. Kendalikan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon pasien terhadap

ketidaknyamanan ( misalnya, suhu ruangan, pencahayaan, dan kegaduhan)

k. Pastikan pemberian analgesia terapi atau strategi nonfarmakologis sebelum melakukan

prosedur yang menimbulkan nyeri

2. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan

a. Kriteria hasil:

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x8 jam diharapkan masalah ansietas

dapat teratasi dengan kriteria hasil:

1) Ansietas berkurang, dibuktikan oleh bukti tingkat ansietas hanya ringan sampai sedang,

konsentrasi

2) Meneruskan aktivitas yang dibutuhkan mengalami kecemasan


3) Memiliki tanda-tanda vital dalam batas normal

b. Intervensi:

1) Kaji faktor yang menjadi penyebab ansietas

2) Berikan penguatan positif kepada penderita

3) Berikan sikap empatik secara verbal non verbal

4) Berikan informasi kepada kelurga tentang gejala ansietas

5) Ajarkan relaksasi distraksi

3. Risiko infeksi berhubungan dengan trauma jaringan

a. Kriteria hasil:

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan masalah risiko

infeksi dapat teratasi dengan kriteria hasil:

1) Faktor risiko infeksi akan hilang, dibuktikan dengan : status imun, keparahan infeksi, dan

penyembuhan luka

2) Terbebas dari tanda gejala infeksi

b. Intervensi:

1) Pantau tanda dan gejala infeksi (misalnya, suhu tubuh, denyut jantung, drainase,

penampilan luka, suhu kulit, lesi kulit)

2) Kaji faktor yang dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi

3) Bersihkan, pantau, dan fasilitasi proses penyembuhan luka yang ditutup dengan jahitan.

4) Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antibiotik.

E. Pelaksanaan

1. Tanggal 12 Januari 2016:


a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik

Implementasi yang dilakukan adalah pada pukul 10.00 WIB mengobservasi tanda-

tanda vital penderita, tekanan darah 120/70 mmHg, nadi: 72x/menit, respiratory rate:

22x/menit, suhu: 36,20C, membantu penderita untuk menilai nyeri yang dirasakan, skala:

6, Mengobservasi isyarat nonverbal ketidaknyamanan, mengkaji karakteristik nyeri secara

komprehensif, penderita mengatakan nyeri pada luka post op, seperti tertusuk-tusuk, di

abdomen kanan bawah, skala 6, nyeri terus-menerus. Pada pukul 11.00 WIB

mengajarkan teknik relaksasi (napas dalam), kemudian pada pukul 12.00 WIB

memberikan injeksi ranitidin 25 mg dan ketorolac 30 mg.

b. Ansietas berhubungan dengan status kesehatan

Implementasi yang dilakukan adalah pada pukul 10.00 WIB mengobservasi tanda- tanda

vital, selanjutnya pada pukul 11.00 WIB mengkaji yang menyebabkan ansietas,

memberikan sikap empatik secara verbal non verbal, memberikan informasi kepada

kelurga tentang gejala ansietas mengajarkan relaksasi distraksi.

c. Risiko infeksi berhubungan dengan trauma jaringan

Implementasi yang dilakukan adalah pukul 10.00 WIB mengobservasi tanda-tanda

vital penderita, kemudian memantau tanda dan gejala infeksi, mengkaji faktor yang dapat

menimbulkan infeksi, pada pukul 12.00 WIB memberikan injeksi ceftriaxon 1 gr.

2. Tanggal 13 Januari 2016:

a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik

Implementasi yang dilakukan adalah pada pukul 09.00 WIB mengobservasi tanda-

tanda vital penderita, tekanan darah 110/70 mmHg, nadi: 80x/menit, respiratory rate:

22x/menit, suhu: 36,50C, membantu penderita untuk menilai kembali nyeri yang
dirasakan, skala 5, mengobservasi isyarat nonverbal ketidaknyamanan, mengkaji kembali

karakteristik nyeri secara komprehensif, penderita mengatakan nyeri pada luka post op,

seperti tertusuk-tusuk, di abdomen kanan bawah, skala 5, nyeri terus-menerus

megevaluasi teknik relaksasi (napas dalam) yang telah dianjurkan, pada pukul 12.00 WIB

memberikan injeksi ranitidin 25 mg dan ketorolac 30 mg.

b. Ansietas berhubungan dengan status kesehatan

Implementasi yang dilakukan adalah pada pukul 10.00 WIB mengobservasi tanda-

tanda vital, selanjutnya pada pukul 11.00 WIB mengkaji kembali yang menyebabkan

ansietas, memberikan sikap empatik secara verbal non verbal,mengevaluasi relaksasi

distraksi yang sudah diajarkan.

c. Risiko infeksi berhubungan dengan trauma jaringan

Implementasi yang dilakukan adalah pukul 09.00 WIB mengobservasi tanda-tanda

vital penderita, tekanan darah 110/70 mmHg, nadi: 80x/menit, respiratory rate: 22x/menit,

suhu: 36,50C, memantau tanda dan gejala infeksi, mengkaji faktor yang dapat

menimbulkan infeksi, kemudian pada pukul 12.00 WIB memberikan injeksi ceftriaxon 1

gr.

3. Tanggal 14 Januari 2016:

a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik

Implementasi yang dilakukan adalah pada pukul 09.00 WIB mengobservasi tanda-

tanda vital penderita, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi: 74x/menit, respiratory rate:

20x/menit, suhu: 36,20C, membantu penderita menilai kembali nyeri yang dirasakan,

skala 2, mengobservasi isyarat nonverbal ketidaknyamanan, mengkaji karakteristik nyeri

secara komprehensif, penderita mengatakan nyeri sudah berkurang, nyeri pada luka post
op, seperti tertusuk-tusuk, di abdomen kanan bawah, skala 2, nyeri hilang timbul,

megevaluasi teknik relaksasi (napas dalam) yang telah dianjurkan, pada pukul 12.00 WIB

memberikan injeksi ranitidin 25 mg dan ketorolac 30 mg.

b. Risiko infeksi berhubungan dengan trauma jaringan

Implementasi yang dilakukan adalah pukul 09.00 WIB mengobservasi tanda-tanda

vital, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi: 74x/menit, respiratory rate: 20x/menit, suhu:

36,20C, memantau tanda dan gejala infeksi, pada pukul 09.30 WIB melakukan perawatan

luka steril, kemudian pukul 12.00 WIB memberikan injeksi ceftriaxone 1 gr.

F. Evaluasi

1. Tanggal 12 Januari 2016:

a. Nyeri akut berhubungan denan agen cidera fisik

Setelah dilakukan tindakan keperawatan pada tanggal 12 Januari 2016 pukul 14.00

WIB, evaluasi akhir yang didapatkan adalah penderita mengatakan nyeri, nyeri seperti

tertusuk-tusuk dan panas, nyeri di abdomen kanan bawah, skala 6, nyeri terus-menerus.

Penderita tampak menahan nyeri, penderita tirah baring, tekanan darah: 120/70 mmHg,

nadi: 72 x/menit, respiatori rate: 22 x/menit.

Masalah nyeri belum teratasi. Perlu adanya tindak lanjut yaitu observasi isyarat

nonverbal ketidaknyamanan, lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif meliputi

lokasi, karakteristik, awitan dan durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau keparahan

nyeri, dan faktor presipitasinya, anjurkan penggunaan teknik nonfarmakologis (nafas

dalam dan berbincang-bincang dengan yang menunggu) pada saat nyeri muncul, pastikan

pemberian analgesia terapi.

b. Ansietas berhubungan dengan status kesehatan


Setelah dilakukan tindakan keperawatan pada tanggal 12 Januari 2016 pukul 14.00

WIB, evaluasi akhir yang didapatkan adalah penderita mengatakan belum tahu tentang

rasa cemas yang dirasakan, tampak gelisah tekanan darah: 120/70mmHg, nadi: 72x/menit,

respiatori rate: 22x/menit. Sehingga, masalah ansietas teratasi dan perlu adanya tindak

lanjut hentikan intervensi yaitu: kaji faktor yang menjadi penyebab ansietas, berikan

penguatan positif kepada penderita, berikan sikap empatik secara verbal non verbal,

berikan informasi kepada kelurga tentang gejala ansietas, ajarkan relaksasi distraksi.

c. Risiko infeksi berhubungan dengan trauma jaringan

Setelah dilakukan tindakan keperawatan pada tanggal 12 Januari 2016 pukul 14.00

WIB, evaluasi akhir yang didapatkan adalah penderita mengatakan nyeri pada luka post

op, terasa panas, terdapat luka post op di abdomen kanan bawah, tidak ada rembesan

darah, luka sekitar 9 cm melintang, luka tertutup kassa betadine, daerah sekitar luka

bersih, tidak kemerahan. WBC: 11,9 (10̂3/uL). Sehingga, masalah risiko infeksi belum

teratasi dan perlu adanya tindak lanjut yaitu pantau tanda dan gejala infeksi, kaji faktor

yang dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi, bersihkan luka yang ditutup

dengan jahitan, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antibiotik.

2. Tanggal 13 Januari 2016

a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik

Setelah dilakukan tindakan keperawatan pada tanggal 13 Januari 2016 pukul 14.00

WIB, evaluasi akhir yang didapatkan adalah penderita mengatakan nyeri sudah

berkurang, nyeri seperti tertusuk-tusuk, nyeri di abdomen kanan bawah, skala 5, nyeri

terus-menerus. Penderita tirah baring, tekanan darah: 110/70 mmHg, nadi: 80 x/menit,

respiatori rate: 22x/menit. Sehingga, masalah nyeri belum teratasi dan perlu adanya
tindak lanjut yaitu observasi isyarat nonverbal ketidaknyamanan, lakukan pengkajian

nyeri secara komprehensif meliputi lokasi, karakteristik, awitan dan durasi, frekuensi,

kualitas, intensitas atau keparahan nyeri, dan faktor presipitasinya, anjurkan penggunaan

teknik nonfarmakologis (nafas dalam dan berbincang-bincang dengan yang menunggu)

pada saat nyeri muncul, kendalikan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon

pasien terhadap ketidaknyamanan, pastikan pemberian analgesia terapi.

d. Ansietas berhubungan dengan status kesehatan

Setelah dilakukan tindakan keperawatan pada tanggal 13 Januari 2016 pukul 14.00

WIB, evaluasi akhir yang didapatkan adalah penderita mengatakan sudah paham tentang

nyeri yang dirasakan, tampak rileks tekanan darah: 110/70 mmHg, nadi: 80 x/menit,

respiatori rate: 22x/menit. Sehingga, masalah ansietas teratasi dan perlu adanya tindak

lanjut hentikan intervensi yaitu: kaji faktor yang menjadi penyebab ansietas, berikan

penguatan positif kepada penderita, berikan sikap empatik secara verbal non verbal,

berikan informasi kepada kelurga tentang gejala ansietas, ajarkan relaksasi distraksi.

b. Risiko infeksi berhubungan dengan trauma jaringan

Setelah dilakukan tindakan keperawatan pada tanggal 13 Januari 2016 pukul 14.00

WIB, evaluasi akhir yang didapatkan adalah kllien mengatakan nyeri skala 5 pada luka

post op sudah berkurang, terasa panas, terdapat luka post op di abdomen kanan bawah,

luka tertutup, tidak ada rembesan darah. Sehingga, masalah risiko infeksi belum teratasi

dan perlu adanya tindak lanjut yaitu pantau tanda dan gejala infeksi, kaji faktor yang

dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi, bersihkan, pantau, dan fasilitasi proses

penyembuhan luka yang ditutup dengan jahitan, kolaborasi dengan dokter dalam

pemberian antibiotik.
3. Tanggal 14 Januari 2016

a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik

Setelah dilakukan tindakan keperawatan pada tanggal 14 Januari 2016 pukul 14.00

WIB, evaluasi akhir yang didapatkan adalah penderita mengatakan nyeri sudah

berkurang, nyeri seperti tertusuk-tusuk, nyeri di abdomen kanan bawah, skala 2, hilang

timbul. Tekanan darah: 120/80 mmHg, nadi: 74 x/menit, respiatori rate: 22x/menit.

Sehingga, masalah nyeri teratasi, mempertahankan intervensi yaitu menganjurkan nafas

dalam jika nyeri muncul.

b. Risiko infeksi berhubungan dengan trauma jaringan

Setelah dilakukan tindakan keperawatan pada tanggal 14 Januari 2016 pukul 14.00

WIB, evaluasi akhir yang didapatkan adalah penderita mengatakan nyeri skala 2 pada

luka post op, terdapat luka post op di abdomen kanan bawah, luka tertutup, ada rembesan

darah. Terdapat luka di abdomen kanan bawah, luka tertutup kassa di perut kanan bawah

9 cm melintang, daerah sekitar luka bersih, tidak kemerahan. Sehingga, masalah risiko

infeksi teratasi hentikan intervensi yaitu pantau tanda dan gejala infeksi, kaji faktor yang

dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi, bersihkan, pantau luka yang ditutup

dengan jahitan, kolaborasi dengan dokter dalam pemberian antibiotik.

BAB IV

PEMBAHASAN DAN SIMPULAN


A. Pembahasan

Pada bab ini akan dibahas tentang pengelolaan asuhan keperawatan pada Ny. M

dengan diagnosa medis apendisitis di bangsal C RST dr. Soedjono Magelang. Pembahasan

difokuskan pada aspek asuhan keperawatan yang meliputi pengkajian, analisa data,

diagnosa, intervensi, implementasi dan evaluasi. Dalam pembahasan ini akan diuraikan

tentang kesenjangan yang ditemukan selama melaksanakan asuhan keperawatan dari

pengkajian hingga evaluasi.

1. Pengkajian

Pada tahap awal yaitu melakukan pengkajian penderita dan keluarga sangat

kooperatif, penderita ditemani oleh suaminya. Data pengkajian diperoleh melalui

alloanamnase dan autoanamnase. Keluhan yang dirasakan penderita adalah nyeri post

apendektomi rasa tertusuk-tusuk pada abdomen kanan bawah (luka post op), skala 6 dan

terus-menerus. Dari data tersebut sudah sesuai dengan pengkajian menurut Perry Potter

(2007) yaitu pada penderita post operasi mengalami nyeri akut akibat adanya trauma

jaringan yang disebabkan oleh reseksi dan hilangnya efek anestesi.

Pada pengkajian kenyamanan penderita mengatakan cemas karena nyeri yang

dirasakan tidak hilang-hilang. Hal tersebut terjadi karena ketika seseorang merasa

terancam akan timbul perasaan takut atau tidak tenang. Sistem saraf otonom yang

menyebabkan seseorang mengalami kecemasan lebih besar tingkatannya dari orang lain.

Ketika ada input sensori yang tidak sesuai dengan tubuh amigdala menerima dan

mengidentifikasi informasi sensori yang menjadi ancaman dan kemudian menimbulkan

perasaan cemas. Begitu pula ketika seseorang mengalami nyeri dan mekanisme koping
dari individu tersebut kurang baik, maka amigdala akan menganggap sebagai ancaman

(Darmawan, Tya, 2012).

Kesenjangan terdapat pada pemeriksaan diagnostik. Menurut Andra dan Yessie

(2013) pemeriksaan yang harus dilakukan untuk menegakkan diagnosa apendisitis

meliputi: laboratorium, radiologi, dan pemeriksaan fisik. Akan tetapi yang dilakukan pada

penderita adalah pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan fisik, sedangkan

pemeriksaan radiologi tidak dilakukan.

Hal tersebut karena menurut Taufik Rahmanto (2009), riwayat penyakit dan

pemeriksaan fisik merupakan dasar untuk menegakkan diagnosa apendisitis. Pemeriksaan

tambahan hanya dikerjakan bila ada keragu-raguan. Pemeriksaan radiologi tidak

dilakukan karena penderita sudah dilakukan pemeriksaan radiologi pada pemeriksaan

fisik sudah ditemukan tanda-tanda apendisitis dan segera dilakukan pembedahan.

2. Diagnosa Keperawatan

Berdasarkan patofisiologi yang dikembangkan dari (Potter dan Perry, 2005; Said

Latif, 2002; Andra & Yessie, 2013), ditemukan diagnosa keperawatan antara lain:

Nyeriakut, ansietas, resiko infeksi, kekurangan volume cairan, hambatan mobilitas fisik,

konstipasi, ketidakseimbangan nutisi kurang dari kebutuhan tubuh.

Dari ketujuh diangnosa yang muncul, penulis menegakkan tiga diagnosa yaitu nyeri

akut, ansietas, dan resiko infeksi. Penulis mengambil diagnosa keperawatan nyeri sebagai

diagnosa prioritas yang akan ditangani terlebih dahulu oleh penulis. Penegakkan diagnosa

keperawatan prioritas pertama ini dilakukan karena implikasi keperawatan yang perlu

dikenal perawat setelah operasi adalah adanya nyeri dan risiko infeksi yang merupakan

masalah utama (Andra & Yessie, 2013).


Terdapat 4 diagnosa yang tidak ditegakkan oleh penulis yaitu:

a. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

Menurut Judith, Wilkinson & Ahern (2012), asupan nutrisi tidak mencukupi untuk

memenuhi kebutuhan metabolic. Batasan karakteristik pada data objektif bising usus

hiperaktif, kurangnya minat terhadap makanan, membrane mukosa pucat, tonus otot

buruk. Faktor yang berhubungan yaitu Ketidakmampuan untuk menelan atau menerima

makanan atau menyerap nutrient akibat factor biologis, psikologis, atau ekonomi,

termasuk contoh non-NANDA (misalnya: Kesulitan mengunyah atau menelan, hilangnya

nafsu makan, mual dan muntah).

Masalah ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh tidak muncul

karena dalam pengkajian makanan/cairan makannya habis ¾ porsi rumah sakit, untuk

minumnya penderita sehari minum air putih ± 300 ml, air teh sehari ± 150 ml, penderita

tidak mengeluh mual/muntah, bising usus 11x/menit.

Menurut Andra & Yessie (2013), penderita yang setelah dilakukan pembedahan yang

diberikan anastesi, kemudian apabila pada saluran pencernaan tidak terpengaruh oleh

anastesi yang tidak menyebabkan adanya keluhan mual dan muntal, dan pada penderita

tidak mengalami penurunan nafsu makan, hal itu tidak mempengaruhi status nutrisi dan

gizi pada penderita, sehingga penulis tidak mengangkat diagnosa ketidakseimbangan

nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.

b. Konstipasi

Menurut Judith, Wilkinson & Ahern (2012), Penurunan frekuensi normal defekasi

yang disertai pengeluaran feses yang sulit atau pengeluaran feses yang sangat keras dan

kering. Batasan karakteristik pada data objektif yaitu perubahan pada pola defekasi,
penurunan frekuensi, penurunan volume feses, distensi abdomen, feses yang kering, keras,

danpadat, bising usus hipoaktif, massa abdomen dapat dipalpasi, flatus berat, mengejan

saat defekasi, tidak mampu mengeluarkan feses.

Masalah konstipasi tidak muncul karena dalam pengkajian eliminasi penderita

belum buang air besar (BAB) tetapi, sebelum operasi penderita sudah BAB 1x, bising usus

11x/menit.

Menurut Andra & Yessie (2013), apabila setelah dilakukan pembedahan kemudian

pada saluran pencernaan tidak mengalami penurunan bising usus, penderita juga tidak

mengeluh susah BAB, maka tidak terdapat gangguan eliminasi pada penderita, sehingga

penulis tidak mengangkat diagnosa konstipasi.

c. Resiko kekurangan volume cairan

Menurut Judith, Wilkinson & Ahern (2012), kondisi individu yang berisiko

mengalami dehidrasi vascular, selular atau intra selular kapiler. Batasan karakteristik

pada data objektif yaitu penyimpangan yang memengaruhi akses untuk pemasukan atau

absorbs cairan (misalnya, imobilitasfisik), kehilangan yang berlebihan melaluirute normal

(mislanya, diare), usia ekstrem (bayi baru lahir atau lansia), Berat badan ekstrem (kurang

atau berlebih), faktor yang memengaruhi kebutuhan cairan (misalnya, status

hipermetabolik), defisiensi pengetahuan (yang berhubungan dengan volume cairan),

kehilangan cairan melaluirute yang tidak normal (misalnya, slang kateter menetap), obat

(diuretik). Masalah resiko kekurangan volume cairan tidak muncul karena dalam

pengkajian makanan/cairan, elminasi, dan integritas kulit yaitu untuk minumnya

penderita mengatakan sehari minum air putih ± 300 ml, air teh sehari ± 150 ml, sudah

berkemih (BAK) 1x sebanyak ± 100 cc, turgor kulit baik, mukosa bibir kering.
Menurut Potter dan Perry (2005),. Pada penderita yang tidak ditemukan tanda -

tanda kekurangan cairan seperti turgor kulit kurang, membrane mukosa kering,

demam, dan tidak terjadi pendarahan setelah dilakukan pembedahan, maka penderita

tidak terjadi masalah resiko kekurangan volume cairan.

d. Hambatan mobilitas fisik

Hambatan mobilitas fisik menurut Wilkinson (2013), keterbatasan dalam

pergerakan fisik mandiri dan terarah pada tubuh atau satu ekstremitas atau lebih.

Tingkatan meliputi 0: mandiri total, 1: memerlukan penggunaan peralatan atau alat

bantu, 2: memerlukan bantuan orang lain, 3: membutuhkan bantuan orang lain dan

peralatan alat bantu, 4: ketergantungan. Batasan Karakteristik yang tampak penurunan

waktu reaksi, kesulitan membolak-balik posisi tubuh, dispneu saat beraktivitas, perubahan

cara berjalan, keterbatasan kemampuan untuk melakukan ketrampilan motor ikhalus dan

kasar, keterbatasan rentang gerak sendi, ketidakstabilan postur tubuh, melambatnya

pergerakan, gerakan tidak teratur atau tidak terkoordinasi.

Menurut Judith, Wilkinson & Ahern (2012), masalah Hambatan mobilitas fisik

tidak muncul karena data yang didapat pada saat pengkajian aktivitas/istirahat

disebutkan penderita mengatakan mampu melakukan aktivitasnya secara mandiri,

kekuatan otot 5. Dari pengkajian yang didapat tersebut maka penulis tidak menegakkan

diagnosa hambatan mobilitas fisik.

3. Intervensi dan Implementasi

a. Nyeri akut

Pada intervensi dan implementasi diagnosa keperawatan nyeri akut penulis

menemukan kesenjangan yaitu tindakan berikan informasi tentang nyeri, seperti


penyebab nyeri, berapa lama akan berlangsung dan antisipasi ketidaknyamanan akibat

prosedur. Menurut Wilkinson (2013) nyeri merupakan pengalaman sensori dan emosi

yang tidak menyenangkan akibat adanya kerusakan jaringan yang actual atau potensial,

atau digambarkan dengan istilah seperti ( International Assosiation for the study of pain),

awitan tiba-tiba atau perlahan dengan intensitas ringan sampai berat dengan akhir yang

dapat diantisipasi atau dapat diramalkan dan durasinya kurang dari enam bulan.

Pemahaman penderita tentang penyebab nyeri yang terjadi akan mengurangi ketegangan

penderita dan memudahkan penderita untuk diajak bekerjasama dalam melakukan

tindakan. Menurut Wilkinson (2013), tindakan memberikan informasi tentang nyeri,

seperti penyebab nyeri, berapa lama akan berlangsung dan antisipasi ketidaknyamanan

akibat prosedur dilakukan untuk menambah pengetahuan penderita tentang nyeri yang

dirasakan, tetapi pada pengkajian Ny. M tidak diberikan tindakan tersebut dikarenakan

penderita dan keluarga sudah diberikan informasi lebih dalam oleh dokter setelah

dilakukan pembedahan.

4. Evaluasi

a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera fisik

Evaluasi menurut NOC adalah tingkat kenyamanan: memperlihatkan pengendalian

nyeri yang dibuktikan oleh indikator; respon autonomic, seperti pucat, peningkatan tanda-

tanda vital dan diaphoresis tida kterjadi, mengenali awitan nyeri. Ekspresi nyeri pada

wajah ringan, tidak ada gelisah atau ketegangan otot, merintih dan menangis tidak ada,

tidak ada gelisah.

Evaluasi yang didapat pada penderita menunjukkan hasil yang signifikan, adanya

perubahan pada skala nyeri dari skala 5 menjadi skala 2 pada hari ketiga. Penderita
tampak rileks, tidak gelisah, penderita mampu mendemonstrasikan teknik relaksasi

distraksi dan mampu menerapkan secara optimal, penderita dapat mengungkapkan

kenyamanannya. Hal tersebut menunjukkan adanya keefektifan pengobatan secara

farmakologi dan non farmakologi yang sudah dilakukan.

b. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan

Evaluasi menurut NOC adalah tingkat ansietas: ansietas berkurang, dibuktikan oleh

bukti tingkat ansietas hanya ringan sampai sedang, konsentrasi, meneruskan aktivitas

yang dibutuhkan mengalami kecemasan, memiliki tanda-tanda vital dalam batas normal.

Evaluasi dari tindakan tersebut adalah penderita sudah mengerti dan paham tentang

penyakit dan teknik pengobatannya, penderita juga mengatakan kecemasannya berkurang

karena biasa mengetahui hal-hal yang biasa memperbesar resiko kekambuhan

penyakitnya sehingga sebisa mungkin dia akan mengurangi hal tersebut, penderita juga

merasa sedikit rileks karena sudah tidak ada lagi pertanyaan yang ingin diatanyakan

tentang penyakitnya.

c. Risiko infeksi berhubungan dengan trauma jaringan

Menurut NOC evaluasi adalah status imun: terbebas dari tanda dan gejala infeksi,

memperlihatkan hygiene personal yang adekuat. Penyembuhan luka primer: tingkat

regenerasi sel dan jaringan setelah penutupan luka secara sengaja.

Hasil evaluasi yang didapat setelah dilakukan implementasi adalah tidak ada tanda-

tanda infeksi seperti kemerahan, tidak bengkak, sekitar luka bersih, tidak ada rembesan

darah, luka tampak bersih, tanda-tanda vital dalam batas normal, suhu 36,70C. Hal ini

menunjukkan adanya keefektifan pengobatan yang sudah dilakukan dengan pemberian


antibiotic, pencegahan risiko infeksi lebih dini dengan mendeteksi tanda-tanda infeksi,

mampu menjaga personal higien.

B. Simpulan

Setelah melakukan asuhan keperawatan pada penderita dengan post operasi

apendisitis pada hari ke 1 sampai hari ke 3 diruang C RST dr. Soedjono Magelang,

diperoleh kesenjangan-kesenjangan mulai dari pengkajian, diagnosa keperawatan,

intervensi, implementasi dan evaluasinya. Hal tersebut disesuaikan dengan keadaan yang

dialami penderita berdasarkan hirarki Maslow.

Dalam mengatasi kesenjangan ini, penulis berusaha untuk memodifikasi asuhan

keperawatan mulai dari pengkajian, analisa data, diagnosa keperawatan, intervensi,

implementasi dan evaluasi sesuai masalah penderita dengan harapan agar asuhan

keperawatan pada penderita lebih efektif dengan dampak yang minimal.

Berdasarkan tujuan yang telah dicantumkan penulis di bagian awal, penulis juga

telah mencapai tujuan yang telah direncanakan yaitu dengan tujuan umum penulis

mampu menggambarkan kompetensi penulis dalam melaksanakan Asuhan Keperawatan

Post Operasi Apendisitis pada Ny. M di Bangsal C RST dr. Soedjono Magelang. Tujuan

khusus yang telah penulis capai adalah mampu menggambarkan kemampuannya dalam

mengkaji, menegakkan diagnosa, merumuskan rencana keperawatan, melakukan

implementasi tindakan, dan mengevaluasi Asuhan Keperawatan Post Operasi Apendisitis

pada Ny. M di Bangsal C RST dr. Soedjono Magelang.

DAFTAR PUSTAKA
Akhrita, Zetri. (2011). Pengaruh Mobilisasi Dini Terhadap Pemulihan (online).
(http://www.google.co.id/PENGARUH_MOBILISASI_DINI_TERHADAP_PEMULIHAN.
pdf, diakses tanggal 9 Oktober 2015)

Andra & Yessie. (2013). Keperawatan Medikal Bedah Keperawatan Dewasa Teori dan Contoh
Askep. Yogyakarta : Nuha Medika

Ariani, Lisa. (2012). Anestetika (online). (https://chamaiiaariani.wordpress.com/penyebab-


diare/sedatif-hipnotik-dan-anestetika/, diakses tanggal 9 Oktober 2015)

Carpenito J.L. (2006). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 10 Jakarta: EGC

Davison & king. (2006). Psikologi Abnormal. Jakarta: PT Rajagravindo Persada

Departemen Bedah UGM. (2010). Apendik (online). (http://www.bedahugm.net/tag/appendix,


diakses 10 Oktober 2015)

Dermawan, Deden, dkk. (2010). Keperawatan Medikal Bedah (Sistem Pencernaan). Yogyakarta :
Gosyen Publishing

Kaplan, Sadock. (1998). Pengobatan Ansietas (online).


(http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3910418/, diakses tanggal 9 Oktober 2015)

Latief, Said. (2002). Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia Jakarta
Muttaqin, Arif dkk. (2013). Gangguan Gastrointestinal Aplikasi Asuhan Keperawatan Medikal
Bedah. Jakarta : Salemba Medika

Price, Sylvia Anderson.(2006). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses - proses Penyakit. Jilid 6.
Jakarta: EGC

Price, Sylvia A & Wilson. (2005). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6.
Volume 2. Jakarta :EGC

Rachman, Sari. (2009). (online). (http://www.scribd.com/doc/57421478/Askep-Post-my-e-c-


Trauma-Abdomen, diakses tanggal 23 Oktober 2015)

Rahmanto, Taufik. (2009). Diagnosis (online).


(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31374/4/Chapter%20II.pdf, diakses
tanggal 8 Oktober 2015)

Rumah Sakit Kasih Ibu. (2012). Laparaskopi. (online),


(http://rskasihibu.net/artikel/42+LAPARASKOPI.html diakses pada 23 Oktober 2015)

Sjamsuhidajat. (2005). Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. EGC. Jakarta

Smeltzer, S. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner Suddarth. Volume 2 Edisi 8.
Jakarta : EGC

Tamsuri. (2006). Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta: EGC

Wilkinson & Ahern. (2012). Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 9 (Terjemahan). Jakarta :
EGC
Yanuar, Eri. (2011). Cara Memahami NANDA NIC NOC (online).
(www.academia.edu/5761611/JURUS_DAHSYAT_30_MENIT_MEMAHAMI_NANDA_N
OC_and_NIC, diakses tanggal 9 Oktober 2015)

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. PENGERTIAN

Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermiformis, dan merupakan penyebab abdomen
akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun
perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki 2000)berusia antara 10-30 tahun (Kapita
Selekta

Appendiks terletak di ileocaecum, pertemuan di 3 tinea (Tinea libera, tinea colica, dan tinea
omentum). Bentuk tabung panjang 7-10 cm, diameter 0,7 cm. Memiliki beberapa jenis posisi
yaitu:
1.Ileocecal
2.Antecaecal
3.Retrocaecal
4.Hepatica
5.Pelvica
Vaskularisasi dari appendiks: a. Appendicularis, cabang dari a. Iliocaecalis, cabang dari A.
Mesentrika superior. Inervasinya simpatis sedangkan parasimpatis : N. Vagus (C.10)berasal
dari N. Thoracalis 10
Apendiks memiliki topografi yaitu pangkal appendiks terletak pada titik Mc Burney.
Garis Monroe : Garis antara umbilicus dengan SIAS dekstra
Titik Mc Burney : 1/3 bagian dari SIAS dekstra pada garis Monroe
Titik Lanz : 1/6 bagian dari SIAS dekstra pada garis antara SIAS dekstra dan SIAS sinistra
Garis Munro : Pertemuan antara garis Monroe dengan garis parasagital dari 2000)pertengahan
SIAS dekstra dengan simfisis. (Schwartz

II.2. ETIOLOGI
Penyumbatan lumen apendiks disebabkan oleh hyperplasia folikel limfoid, fekalit, striktur karena
fibrosis akibat peradangan sebelumnya,cacing usus atau neoplasma. penyebab lain yang diduga
dapat menimbulkan apendisitis ialah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E.
Histolityca. (Schwartz 2000)
Penyebab sumbatan 60% adalah hyperplasia kelenjar getah 4% oleh benda asing (termasuk
35% disebabkan karena fekalithbening dan 1% oleh striktur lumen yang bisa disebabkan
karsinomacacing) 1997)(Aksara Medisina

II.3. PATOFISIOLOGI
Pada dasarnya appendicitis akut adalah suatu proses penyumbatan yang mengakibatkan mukus
yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mucus tersebut makin banyak,
namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan
tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang
mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi
apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri 2005)epigastrium. (De Jong
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan
menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding.
Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan
nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis 2000)supuratif akut.
(Kapita Selekta
Setelah mukosa terkena kemudian serosa juga terinvasi sehingga akan merangsang peritoneum
maka timbul nyeri somatic yang khas yaitu di sisi kanan bawahparietale (titik Mc Burney).
Titik Mc Burney terletak pada 1/3 lateral garis yang 1997)menghubungkan SIAS dan
umbilicus. (Aksara Medisina
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan
gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu
pecah, akan terjadi 2000)apendisitis perforasi. (Kapita Selekta
Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak ke
yaitu denganarah apendiks sehingga melokalisasi daerah infalmasi mengelompok dan
memebentuk suatu infiltrate apendiks dan disebut proses walling off. Peradangan apendiks
tersebut dapat menjadi abses atau 1997)menghilang. (Aksara Medisina
Pada orangtua kemungkinan terjadi perforasi lebih besar karena daya tahan tubuh sudah lemah
dan telah ada gangguan pembuluh darah. Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan
apendiks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya
tahan tubuh yang masih kurang memudahkan 2000)terjadinya perforasi. (Kapita Selekta

Appendicitis komplet (10)


Appendisitis akut dalam 48 jam dapat menjadi :
1.Sembuh
2.Kronik
3.Perforasi
4.Infiltrat

II.4. MANIFESTASI KLINIK


Gambaran klinis appendicitis akut
1.Tanda awal
nyeri mulai di epigastrium atau region umbilicus disertai mual dan anorexia.
Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5 - 38,5o C. Bila suhu lebih tinggi, mungkin
sudah terjadi perforasi..
2.Nyeri berpindah ke kanan bawah dan menunjukkan tanda rangsangan peritoneum lokal di titik
Mc Burney
nyeri tekan
nyeri lepas
defans muskuler
3.Nyeri rangsangan peritoneum tak langsung
nyeri kanan bawah pada tekanan kiri (Rovsing’s Sign)
nyeri kanan bawah bila tekanandi sebelah kiri dilepaskan (Blumberg’s Sign)
batauk atau mengedan. berjalan seperti nafas dalamnyeri kanan bawah bila peritoneum
bergerak
2005)(De Jong

Gejala apendisitis akut pada anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering hanya rewel dan tidak
mau makan. Anak biasanya tidak bisa melukiskan rasa nyerinya. Dalam beberapa jam kemudian
akan timbul muntah-muntah dan anak menjadi lemah dan letargi. Karena gejala yang tidak khas
tadi, sering apendisitis diketahui setelah perforasi. Pada bayi, 80-90% apendisitis baru diketahui
setelah terjadi perforasi.
Pada beberapa keadaan, apendisitis agak sulit didiagnosis sehingga tidak ditangani pada
waktunya dan terjadi komplikasi. Misalnya, pada orang berusia lanjut yang gejalanya sering
samar-samar saja sehingga lebih dari separuh penderita baru dapat didiagnosis setelah perforasi.
Pada kehamilan, keluhan utama apendisitis adalah nyeri perut, mual dan muntah. Yang perlu
diperhatikan adalah, pada kehamilan trimester pertama sering juga terjadi mual dan muntah.
Pada kehamilan lanjut, sekum dan apendiks terdorong ke kraniolateral sehingga keluhan tidak
dirasakan diperu kanan 2005)bawah tetapi lebih ke regio lumbal kanan. (De Jong

II.5. PEMERIKSAAN
A. Pemeriksaan Fisik
1. Inspeksi
- tidak ditemukan gambaran spesifik.
- kembung sering terlihat pada komplikasi perforasi.
- penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada masaa atau abses periapendikuler.
- tampak perut kanan bawah tertinggal pada pernafasan
2. Palpasi
- nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan, bisa disertai nyeri tekan lepas.
- defans muscular menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale.
- pada apendisitis retrosekal atau retroileal diperlukan palpasi dalam untuk menentukan adanya
rasa nyeri.
3. Perkusi
- maka udara bocor) pekak hati ini hilang karena bocoran usus pekak hati (jika terjadi
peritonotosterdapat nyeri ketok
4. Auskultasi
- sering normal
- peristaltic dapat hilang karena ileus paralitik pada peritonitis generalisata akibat apendisitis
perforata pada keadaan lanjut
- bising usus tidak ada (karena peritonitis)
5. Rectal Toucher
- tonus musculus sfingter ani baik
- ampula kolaps
- nyeri tekan pada daerah jam 09.00-12.00
- terdapat massa yang menekan rectum (jika ada abses).
- pada apendisitis pelvika tanda perut sering meragukan maka kunsi diagnosis dalah nyeri
terbatas sewaktu dilakukan colok dubur.
6. Uji Psoas
Dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat hiperekstensi sendi panggul kanan atau fleksi
aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila apendiks yang meradang menepel
di m. poas mayor, tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri.
7. Uji Obturator
Digunakan untuk melihat apakah apendiks yang meradang kontak dengan m. obturator internus
yang merupakan dinding panggul kecil. Gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi
terlentang akan menimbulkan nyeri pada apendisitis pelvika.
Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk
mengetahui letak apendiks.
8. Alvarado Score
Digunakan untuk menegakkan diagnosis sebagai appendisitis akut atau bukan, menjadi 3
symptom, 3 sign dan 2 laboratorium
Alvarado Score:

Appendicitis point pain : 2


Lekositosis : 2
Vomitus : 1
Anorexia : 1
Rebound Tendeness Fenomen : 1
Degree of Celcius (.>37,5) : 1
Observation of hemogram : 1
Abdominal migrate pain : 1 +
Total : 10

Dinyatakan appendisitis akut bila skor > 7 poin


2005)(De Jong

B. Pemeriksaan Penunjang
1.Laboratorium
a. Pemeriksaan darah
- leukositosis pada kebanyakan kasus appendisitis akut terutama pada kasus dengan komplikasi.
- pada appendicular infiltrat, LED akan meningkat
b. Pemeriksaan urin untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di dalam urin.
Pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis banding seperti infeksi
saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai gejala klinis yang hampir sama dengan
appendicitis. (www.medicastore.com 2003)

2. Radiologis
a. Foto polos abdomen
tampak:Pada appendicitis akut yang terjadi lambat dan telah terjadi komplikasi (misalnya
peritonitis)
- scoliosis ke kanan
- psoas shadow tak tampak
- bayangan gas usus kananbawah tak tampak
- garis retroperitoneal fat sisi kanan tubuh tak tampak
- 5% dari penderita menunjukkan fecalith radio-opak
1997) cut off. (Aksara Medisina mouse tail partial filling hasil positif bila : non filling -
Appendicogram

b. . USG
Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan USG, terutama pada
wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan USG dapat dipakai untuk menyingkirkan
diagnosis banding seperti kehamilan ektopik, adnecitis dan sebagainya. (www.jama.com 2001)

c.Barium enema
Yaitu suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan barium ke colon melalui anus.
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-komplikasi dari appendicitis pada jaringan
sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan diagnosis banding.
Foto barium enema yang dilakukan perlahan pada appendicitis akut memperlihatkan tidak
adanya pengisian apendiks dan efek massa pada tepi medial serta inferior dari seccum;
pengisisan 2000) menyingkirkan appendicitis. (Schwartzlengkap dari apendiks

d. CT-Scan
Dapat menunjukkan tanda-tanda dari appendicitis. Selain itu juga dapat menunjukkan komplikasi
dari appendicitis seperti bila terjadi abses.
e. Laparoscopi
Yaitu suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang dimasukkan dalam abdomen,
appendix dapat divisualisasikan secara langsung.Tehnik ini dilakukan di bawah pengaruh
anestesi umum. Bila pada saat melakukan tindakan ini didapatkan peradangan pada appendix
maka pada saat itu juga dapat langsung dilakukan pengangkatan appendix.
(www.medicastore.com 2006)

II.6. DIAGNOSIS BANDING


1. Gastroenteritis akut
Adalah kelainan yang sering dikacaukan dengan apendisitis. Pada kelainan ini muntah dan diare
lebih sering. Demam dan lekosit akan meningkat jelas dan tidak sesuai dengan nyeri perut yang
timbul. Lokasi nyeri tidak jelas dan berpindah-pindah. Hiperperistaltik merupakan gejala yang
khas. Gastroenteritis biasanya berlangsung akut, suatu observasi berkala akan dapat menegakkan
diagnosis.
2. Kehamilan Ektopik
Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang tidak menentu. Jika ada rupture
tuba atau abortus kehamilan di luar rahim dengan perdarahan, akan timbul nyeri yang mendadak
difus di daerah pelvis dan mungkin terjadi syok hipovolemik. Pada pemeriksaan vaginal
didapatkan nyeri dan penonjolan cavum Douglas.

3. Adenitis Mesenterium
Penyakit ini juga dapat menunjukkan gejala dan tanda yang identik dengan apendisitis. Penyakit
ini lebih sering pada anak-anak, biasanya didahului infeksi saluran nafas. Lokasi neri diperut
kanan bawah tidak 2005)konstan dan menetap. (De Jong

II.7. PENATALAKSAAN
1. Sebelum operasi
a. Observasi
Dalam 8-12 jam setelah timbulnya keluhan, tanda dan gejala apendisitis seringkali masih belum
jelas. Dalam keadaan ini observasi ketat perlu dilakukan. Pasien diminta melakukan tirah baring
dan dipuasakan. Laktasif tidak boleh diberikan bila dicurigai adanya apendisitis ataupun bentuk
peritonitis lainnya. Pemeriksaan abdomen dan rectal serta pemeriksaan darah (lekosit dan hitung
jenis) diulang secara periodic. Foto abdomen dan toraks tegak dilakukan untuk mencari
kemungkinan adanya penyulit lain. Pada kebanyakan kasus, diagnosis ditegakkan dengan
lokalisasi nyeri di daerah kanan bawah dalam 12 jam setelah timbulnya keluhan.

b. Antibiotik.
Pada apendisitis tanpa komplikasi biasanya tidak perlu diberikan antibiotic, kecuali pada
apendisitis gangrenosa atau apendisitis perforate. Penundaan tindak bedah sambil memberikan
antibiotic dapat mengakibatkan abses atau perforasi.

2. Operasi
1.Appendiktomi cito (appendicitis akut, abses, dan perforasi)
2.Appendiktomi elektif (appendisitis kronis)
3.Konservatif kemudian operasi elektif (appendisitis infiltrat)
Operasi Appendisitis akut disebut : A. Chaud
Operasi Appendisitis kronis disebut : A. Froid

3. Pascaoperasi
Perlu dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya pendarahan di dalam,
syok, hipertermia, atau gangguan pernafasan. Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar,
sehingga aspirasi cairan lambung dapat dicegah. Baringkan pasien dalam posii Fowler. Pasien
dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjai gangguan. Selama itu pasien dipuasakan. Bila
tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforasi atau peritonitis umum, puasa diteruskan
sampai fungsi usus kembali normal.
Satu hari pascaoperasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur selama 2x 30 menit.
Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar. Hari ke tujuh jahitan dapat
diangkat dan pasien diperbolehkan pulang. (www.kedokteranpacificinternet.com 1999)

II.8. KOMPLIKASI
Komplikasi yang mungkin timbul adalah peritonitis, abses subfrenikus, infiltrat dan fokal sepsis
intraabdominal lain. (www.medicastore.com 2006)

II.9. PROGNOSIS
Mortalitas adalah 0.1% jika appendicitis akut tidak pecah dan 15% jika pecah pada atau emboli
paruorangtua. Kematian biasanya berasal dari sepsis aspirasi; prognosis membaik dengan
diagnosis dini sebelum rupture dan antibiotic yang lebih baik.

Morbiditas meningkat dengan rupture dan usia tua. Komplikasi dini adalah sepsis. Infeksi luka
membutuhkan pembukaan kembali insisi kulit yang merupakan predisposisi terjadinya robekan.
Abses intraabdomen dapat terjadi dari kontaminasi peritonealis setelah gangren dan perforasi.
Fistula fekalis timbul dari nekrosis suatu bagian dari seccum oleh abses atau kontriksi dari
jahitan kantong. Obstruksi usus dapat terjadi dengan abses lokulasi dan pembentukan adhesi.
Komplikasi lanjut meliputi pembentukan adhesi dengan obstruksi 2000)mekanis dan
hernia.(Schwartz
Dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan, tingkat mortalitas dan morbiditas penyakit ini
sangat kecil. Keterlambatan diagnosis akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas bila terjadi
komplikasi. Serangan berulang dapat terjadi bila apendiks tidak diangkat. Terminologi
apendisitis kronis sebenarnya 2005)tidak ada. (De Jong

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1997, Kumpulan Kuliah Khusus Ilmu Bedah, Aksara Medisina, Jakarta

Anonim, 2003, Appendicitis


www.wikipwedia.org/wiki/appendicitis.com
Accessed on June 29th, 2006 at 19.00 p.m

Anonim, 2003, Gangguan Saluran Pencernaan


www.medicastore.com
Accessed on June 29th, 2006 at 19.00 p.m

Anonim, 2003, Laparoskopi


www.medicastore.com
Accessed on June 29th, 2006 at 19.00 p.m

August, 1999, Usus Buntu


www.kedokteranpacificinternet.com
Accessed on June 29th, 2006 at 19.00 p.m

Jong, W.D., 2005, Buku Ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta.

S.,Luigi 2005, Appendicitis


www.emedicine.com
Accessed on June 29th, 2006 at 19.00 p.m

Mansjoer, et al, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga Jilid Kedua, Media Aesculapius,
FK UI

Schwartz, et al, 2000, Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah, Edisi Keenam, EGC, Jakarta
Soda, K., et al, 2001, Detection of Pinpoint Tenderness on the Appendix Under Ultrasonography
Is Useful to Confirm Acute Appendicitis,
www.jama.com
Accessed on June 29th, 2006 at 19.00 p.m

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi
Appendiks merupakan suatu organ limfoid seperti tonsil, payer patch (analog dengan Bursa
Fabricus) membentuk produk immunoglobulin, berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm
(kisaran 3-15 cm) dengan diameter 0,5-1 cm, dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di
bagian proksimal dan melebar dibagian distal.7 Basis appendiks terletak pada bagian postero
medial caecum, di bawah katup ileocaecal. Ketiga taenia caecum bertemu pada basis appendiks.
8,9
Apendiks vermiformis disangga oleh mesoapendiks (mesenteriolum) yang bergabung dengan
mesenterium usus halus pada daerah ileum terminale. Mesenteriolum berisi a. Apendikularis
(cabang a.ileocolica). Orificiumnya terletak 2,5 cm dari katup ileocecal. Mesoapendiknya
merupakan jaringan lemak yang mempunyai pembuluh appendiceal dan terkadang juga memiliki
limfonodi kecil. 3,10
Struktur apendiks mirip dengan usus mempunyai 4 lapisan yaitu mukosa, submukosa, muskularis
eksterna/propria (otot longitudinal dan sirkuler) dan serosa. Apendiks mungkin tidak terlihat
karena adanya membran Jackson yang merupakan lapisan peritoneum yang menyebar dari
bagian lateral abdomen ke ileum terminal, menutup caecum dan appendiks. Lapisan submukosa
terdiri dari jaringan ikat kendor dan jaringan elastic membentuk jaringan saraf, pembuluh darah
dan lymphe. Antara Mukosa dan submukosa terdapat lymphonodes. Mukosa terdiri dari satu
lapis collumnar epithelium dan terdiri dari kantong yang disebut crypta lieberkuhn. Dinding
dalam sama dan berhubungan dengan sekum (inner circular layer). Dinding luar (outer
longitudinal muscle) dilapisi oleh pertemuan ketiga taenia colli pada pertemuan caecum dan
apendiks. Taenia anterior digunakan sebagai pegangan untuk mencari apendiks.3
Appendiks pertama kali tampak saat perkembangan embriologi minggu ke-8 yaitu bagian ujung
dari protuberans sekum. Pada saat antenatal dan postnatal, pertumbuhan dari sekum yang
berlebih akan menjadi apendiks, yang akan berpindah dari medial menuju katup ileosekal. 2
Pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya.
Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden apendisitis pada usia itu. Pada 65 %
kasus, apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan apendiks bergerak dan
ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya. Pada kasus selebihnya,
apediks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di belakang kolon asendens, atau ditepi
lateral kolon asendens. Gejala klinis apendisitis ditentukan oleh letak apendiks.7
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti a.mesenterika superior dan
a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri
visceral pada apendisitis bermula disekitar umbilikus. Pendarahan apendiks berasal dari a.
apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena
trombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami gangrene. 7

Gambar 1 : Anatomi Apendiks11

Gambar 2 : Letak appendiks terhadap organ lain diabdomen (kiri), Perbesaran apendiks (tengah),
Penampang apendiks (kanan) 12

2.2. Fisiologi
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir di muara apendiks tampaknya berperan
pada patogenesis apendisitis.7
Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut associated Lymphoid tissue) yang
terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA. Imunoglobulin ini sangat
efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak
mempengaruhi system imun tubuh karena jumlah jaringan limfe disini kecil sekali jika
dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan diseluruh tubuh.7
Jaringan lymphoid pertama kali muncul pada apendiks sekitar 2 minggu setelah lahir. Jumlahnya
meningkat selama pubertas, dan menetap saat dewasa dan kemudian berkurang mengikuti umur.
Setelah usia 60 tahun, tidak ada jaringan lymphoid lagi di apendiks dan terjadi penghancuran
lumen apendiks komplit. 2

2.3. Definisi
Apendisitis infiltrate adalah proses radang apendiks yang penyebarannya dapat dibatasi oleh
omentum dan usus-usus dan peritoneum disekitarnya sehingga membentuk massa (appendiceal
mass). Umumnya massa apendiks terbentuk pada hari ke-4 sejak peradangan mulai apabila tidak
terjadi peritonitis umum. Massa apendiks lebih sering dijumpai pada pasien berumur lima tahun
atau lebih karena daya tahan tubuh telah berkembang dengan baik dan omentum telah cukup
panjang dan tebal untuk membungkus proses radang.13
2.4 Etiologi
Obstruksi lumen merupakan penyebab utama apendisitis. Fekalit merupakan penyebab tersering
dari obstruksi apendiks. Penyebab lainnya adalah hipertrofi jaringan limfoid, sisa barium dari
pemeriksaan roentgen, diet rendah serat, dan cacing usus termasuk ascaris. Trauma tumpul atau
trauma karena colonoscopy dapat mencetuskan inflamasi pada apendiks. Post operasi apendisitis
juga dapat menjadi penyebab akibat adanya trauma atau stasis fekal. 2,8 Frekuensi obstruksi
meningkat dengan memberatnya proses inflamasi. Fekalit ditemukan pada 40% dari kasus
apendisitis akut, sekitar 65% merupakan apendisitis gangrenous tanpa rupture dan sekitar 90%
kasus apendisitis gangrenous dengan rupture. 2
Penyebab lain yang diduga dapat menyebabkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena
parasit seperti E. Histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan
makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan
meningkatkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan
meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya akan mempermudah terjadinya
apendisits akut.7
2.5. Patofisiologi
Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hyperplasia folikel
limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau
neoplasma.1
Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian proksimalnya dan
berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa apendiks yang distensi. Obstruksi
tersebut mneyebabkan mucus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama
mucus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan
sehingga menyebabkan peningkatan intralumen. Kapasitas lumen apendiks normal hanya sekitar
0,1 ml. Jika sekresi sekitar 0,5 dapat meningkatkan tekanan intalumen sekitar 60 cmH20.
Manusia merupakan salah satu dari sedikit binatang yang dapat mengkompensasi peningkatan
sekresi yang cukup tinggi sehingga menjadi gangrene atau terjadi perforasi.2

Tekanan di dalam sekum akan meningkat (3) karena sembelit (1) jika katup ileosekal kompeten
(2). Kombinasi tekanan tinggi di sekum dan peningkatan flora kuman di kolon (4)
mengakibatkan sembelit, hal ini menjadi pencetus radang di mukosa apendiks (5). Pencetus lain
ialah erosi dan tukak kecil di selaput lendir oleh E.histolytica (6) dan penghambatan evakuasi isi
apendiks (7). Evakuasi ini terhambat oleh stenosis (8) atau penyumbatan lumen atau gangguan
motilitas oleh pita, adesi (9) dan faktor lain yang mengurangi gerakan bebas apendiks.
Perkembangan dari apendisitis mukosa menjadi apendisitis komplet, yang meliputi semua
lapisan dinding apendiks tentu dipengaruhi oleh berbagai faktor pencetus setempat yang
menghambat pengosongan lumen apendiks atau mengganggu motilitas normal apendiks (10).

Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan apendiks mengalami hipoksia,


menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan invasi bakteri. Infeksi menyebabkan
pembengkakan apendiks bertambah (edema) dan semakin iskemik karena terjadi trombosis
pembuluh darah intramural (dinding apendiks). Pada saat inilah terjadi apendisitis akut fokal
yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Gangren dan perforasi khas dapat terjadi dalam 24-36 jam,
tapi waktu tersebut dapat berbeda-beda setiap pasien karena ditentukan banyak faktor. 1,9
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan
menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding.
Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri
didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis supuratif akut.1
Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan
gangrene. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu
pecah, akan terjadi apendisitis perforasi. 1
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak
kearah apendiks hingga timbul suatu massa local yang disebut infiltrate apendikularis.
Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.1
Infiltrat apendikularis merupakan tahap patologi apendisitis yang dimulai dimukosa dan
melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam pertama, ini merupakan
usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses radang dengan menutup apendiks dengan
omentum, usus halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa periapendikular. Didalamnya dapat
terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk
abses, apendisitis akan sembuh dan massa periapendikular akan menjadi tenang untuk
selanjutnya akan mengurai diri secara lambat. 7
Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, dinding apendiks
lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang
memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena
telah ada gangguan pembuluh darah.1
Kecepatan rentetan peristiwa tersebut tergantung pada virulensi mikroorganisme, daya tahan
tubuh, fibrosis pada dinding apendiks, omentum, usus yang lain, peritoneum parietale dan juga
organ lain seperti vesika urinaria, uterus tuba, mencoba membatasi dan melokalisir proses
peradangan ini. Bila proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi perforasi maka akan
timbul peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah selesai tetapi masih belum cukup kuat
menahan tahanan atau tegangan dalam cavum abdominalis, oleh karena itu pendeita harus benar-
benar istirahat (bedrest). 3
Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan membentuk jaringan
parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat
menimbulkan keluhan berulang diperut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat
meradang akut lagi dan dinyatakan mengalami eksaserbasi akut. 7

2.6. Manifestasi klinis


Appendisitis infiltrat didahului oleh keluhan appendisitis akut yang kemudian disertai adanya
massa periapendikular. Gejala klasik apendisitis akut biasanya bermula dari nyeri di daerah
umbilikus atau periumbilikus yang berhubungan dengan muntah. Dalam 2-12 jam nyeri beralih
kekuadran kanan, yang akan menetap dan diperberat bila berjalan atau batuk. Terdapat juga
keluhan anoreksia, malaise, dan demam yang tidak terlalu tinggi. Biasanya juga terdapat
konstipasi tetapi kadang-kadang terjadi diare, mual dan muntah. Pada permulaan timbulnya
penyakit belum ada keluhan abdomen yang menetap. Namun dalam beberapa jam nyeri abdomen
kanan bawah akan semakin progresif.1
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang mendadak apendiks
yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai rangsang peritoneum lokal.
Umunya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke
titik McBurney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan
somatik setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium tetapi terdapat konstipasi sehingga
penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan itu dianggap berbahaya karena bisa
mempermudah terjadinya perforasi. Bila terdapat perangsangan peritoneum biasanya pasien
mengeluh sakit perut bila berjalan atau batuk.7
Bila letak apendiks retrosekal di luar rongga perut, karena letaknya terlindung sekum maka tanda
nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih
ke arah perut sisi kanan atau nyeri timbul pada saat berjalan, karena kontraksi otot psoas mayor
yang menegang dari dorsal. 7
Apendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat menimbulkan gejala dan tanda
rangsangan sigmoid atau rektum sehingga peristaltik meningkat, pengosongan rektum akan
menjadi lebih cepat dan berulang-ulang. Jika apendiks tadi menempel ke kandung kemih, dapat
terjadi peningkatan frekuensi kencing, karena rangsangan dindingnya. 7
Pada beberapa keadaan, apendisitis agak sulit didiagnosis sehingga tidak ditangani pada
waktunya dan terjadi komplikasi. Gejala apendisitis akut pada anak tidak spesifik. Gejala
awalnya sering hanya rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa
nyerinya dalam beberapa jam kemudian akan timbul muntah-muntah dan anak akan menjadi
lemah dan letargik. Karena gejala yang tidak khas tadi, sering apendisitis diketahui setelah
perforasi. Pada bayi, 80-90 % apendisitis baru diketahui setelah terjadi perforasi. 7

Pada orang berusia lanjut gejalanya juga sering samar-samar saja, tidak jarang terlambat
diagnosis. Akibatnya lebih dari separo penderita baru dapat didiagnosis setelah perforasi. 7
Pada kehamilan, keluhan utama apendisitis adalah nyeri perut, mual, dan muntah. Yang perlu
diperhatikan ialah, pada kehamilan trimester pertama sering juga terjadi mual dan muntah. Pada
kehamilan lanjut sekum dengan apendiks terdorong ke kraniolateral sehingga keluhan tidak
dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih ke regio lumbal kanan. 7
Gambar 5 : Gambaran klinik apendisitis akut
tanda awal
nyeri mulai di epigastrium atau regio umbilikus disertai mual dan anoreksi
nyeri pindah ke kanan bawah dan menunjukkan tanda rangsangan peritoneum lokal di titik
McBurney
nyeri tekan
nyeri lepas
defans muskuler
nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung
nyeri tekan bawah pada tekanan kiri (Rovsing)
nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepaskan (Blumberg)
nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti nafas dalam, berjalan, batuk, mengedan

2.7. Pemeriksaan
2.7.1. Pemeriksaan Fisik
C. Bila suhu lebihDemam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5 tinggi, mungkin
sudah terjadi perforasi. Bisa terdapat perbedaan suhu C. Pada inspeksi perut tidak
ditemukanaksilar dan rektal sampai 1 gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada
penderita dengan komplikasi perforasi. Appendisitis infiltrat atau adanya abses apendikuler
terlihat dengan adanya penonjolan di perut kanan bawah.7
Pada palpasi didapatkan nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan, bisa disertai nyeri lepas.
Defans muskuler menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale. Nyeri tekan perut
kanan bawah ini merupakan kunci diagnosis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirawakan
nyeri di perut kanan bawah yang disebut tanda Rovsing. Pada apendisitis retrosekal atau
retroileal diperlukan palpasi dalam untuk menentukan adanya rasa nyeri. 7
Jika sudah terbentuk abses yaitu bila ada omentum atau usus lain yang dengan cepat
membendung daerah apendiks maka selain ada nyeri pada fossa iliaka kanan selama 3-4 hari
(waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan abses) juga pada palpasi akan teraba massa yang
fixed dengan nyeri tekan dan tepi atas massa dapat diraba. Jika apendiks intrapelvinal maka
massa dapat diraba pada RT(Rectal Touche) sebagai massa yang hangat.3
Peristalsis usus sering normal, peristalsis dapat hilang karena ileus paralitik pada peritonitis
generalisata akibat apendisitis perforata. Pemeriksaan colok dubur menyebabkan nyeri bila
daerah infeksi bisa dicapai dengan jari telunjuk, misalnya pada apendisitis pelvika. 7
Pada apendisitis pelvika tanda perut sering meragukan, maka kunci diagnosis adalah nyeri
terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. Colok dubur pada anak tidak dianjurkan. Pemeriksaan
uji psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk mengetahui letak
apendiks. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan m. psoas lewat hiperekstensi atau fleksi aktif.
Bila apendiks yang meradang menempel di m.psoas, tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri.
Uji obturator digunakan untuk melihat apakah apendiks yang meradang kontak dengan
m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil. Dengan gerakan fleksi dan
endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang, pada apendisitis pelvika akan menimbulkan
nyeri. 7

Dasar anatomi dari tes psoas. Apendiks yang mengalami peradangan kontak dengan otot psoas
yang meregang saat dilakukan manuver (pemeriksaan). 14

Tes Obturator. Nyeri pada rotasi kedalam secara pasif saat paha pasien difleksikan. Pemeriksa
menggerakkan tungkai bawah kelateral, pada saat itu ada tahanan pada sisi samping dari lutut
(tanda bintang), menghasilkan rotasi femur kedalam. 14

Dasar Anatomi dari tes obturator : Peradangan apendiks dipelvis yang kontak denhgan otot
obturator internus yang meregang saat dilakukan manuver. 14

2.7.2. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan Laboratorium, pada darah lengkap didapatkan leukosit ringan umumnya pada
apendisitis sederhana. Lebih dari 13.000/mm3 umumnya pada apendisitis perforasi. Tidak
adanya leukositosis tidak menyingkirkan apendisitis. Hitung jenis leukosit terdapat pergeseran
kekiri. Pada pemeriksaan urin, sedimen dapat normal atau terdapat leukosit dan eritrosit lebih
dari normal bila apendiks yang meradang menempel pada ureter atau vesika.13
Pemeriksaan Radiologi,
foto polos abdomen dikerjakan apabila hasil anamnesa atau pemeriksaan fisik meragukan.
Tanda-tanda peritonitis kuadran kanan bawah. Gambaran perselubungan mungkin terlihat ”ileal
atau caecal ileus” (gambaran garis permukaan air-udara disekum atau ileum). Patognomonik bila
terlihat gambar fekalit.13
USG atau CT Scan. USG dilakukan khususnya untuk melihat keadaan kuadran kanan bawah atau
nyeri pada pelvis pada pasien anak atau wanita. Adanya peradangan pada apendiks menyebabkan
ukuran apendiks lebih dari normalnya (diameter 6mm). Kondisi penyakit lain pada kuadran
kanan bawah seperti inflammatory bowel desease, diverticulitis cecal, divertikulum meckel’s,
endometriosis dan pelvic Inflammatory Disease (PID) dapat menyebabkan positif palsu pada
hasil USG.14

Pada CT Scan khususnya apendiceal CT, lebih akurat dibanding USG. Selain dapat
mengidentifikasi apendiks yang mengalami inflamasi (diameter lebih dari 6 mm) juga dapat
melihat adanya perubahan akibat inflamasi pada periapendik.
Gambar 11:
CT scan dengan inflamasi apendiks, tampak fekalit(tanda panah). 14

Pemeriksaan Barium enema dan Colonoscopy merupakan pemeriksaan awal untuk


menyingkirkan kemungkinan adanya karsinoma colon.5 Tetapi untuk apendisitis akut
pemeriksaan barium enema merupakan kontraindikasi karena dapat menyebabkan rupture
apendiks.3
2.8. Diagnosis
Riwayat klasik apendisitis akut, yang diikuti dengan adanya massa yang nyeri di region iliaka
kanan dan disertai demam, mengarahkan diagnosis ke massa atau abses apendikuler. Penegakan
diagnosis didukung dengan pemeriksaan fisik maupun penunjang. Kadang keadaan ini sulit
dibedakan dengan karsinoma sekum, penyakit Crohn, amuboma dan Lymphoma maligna intra
abdomen. Perlu juga disingkirkan kemungkinan aktinomikosis intestinal, enteritis tuberkulosa,
dan kelainan ginekolog seperti Kehamilan Ektopik Terganggu (KET), Adneksitis dan Kista
Ovarium terpuntir . Kunci diagnosis biasanya terletak pada anamnesis yang khas.7
Tumor caecum, biasanya terjadi pada orang tua dengan tanda keadaan umum jelek, anemia dan
turunnya berat badan. Hal ini perlu dipastikan dengan colon in loop dan benzidin test. Pada anak-
anak tumor caecum yang sering adalah sarcoma dari kelenjar mesenterium. Pada apendisitis
tuberkulosa, klinisnya antara lain keluhan nyeri yang tidak begitu hebat disebelah kanan perut,
dengan atau tanpa muntah dan waktu serangan dapat timbul panas badan, leukositosis sedang,
biasanya terdapat nyeri tekan dan rigiditas pada kuadran lateral bawah kanan, kadang-kadang
teraba massa. 3
Massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif ditandai dengan:
a.keadaan umum pasien masih terlihat sakit, suhu tubuh masih tinggi;
b.pemeriksaan lokal pada abdomen kuadran kanan bawah masih jelas terdapat tanda-tanda
peritonitis;
c.laboratorium masih terdapat lekositosis dan pada hitung jenis terdapat pergeseran ke kiri.
Massa apendiks dengan proses radang yang telah mereda dengan ditandai dengan
a.keadaan umum telah membaik dengan tidak terlihat sakit, suhu tubuh tidak tinggi lagi;
b.pemeriksaan lokal abdomen tenang, tidak terdapat tanda-tanda peritonitis dan hanya teraba
massa dengan batas jelas dengan nyeri tekan ringan
c.laboratorium hitung lekosit dan hitung jenis normal.13

2.9. Penatalaksanaan
Perjalanan patologis penyakit dimulai pada saat apendiks menjadi dilindungi oleh omentum dan
gulungan usus halus didekatnya. Mula-mula, massa yang terbentuk tersusun atas campuran
membingungkan bangunan-bangunan ini dan jaringan granulasi dan biasanya dapat segera
dirasakan secara klinis. Jika peradangan pada apendiks tidak dapat mengatasi rintangan-
rintangan sehingga penderita terus mengalami peritonitis umum, massa tadi menjadi terisi nanah,
semula dalam jumlah sedikit, tetapi segera menjadi abses yang jelas batasnya. 15
Urut-urutan patologis ini merupakan masalah bagi ahli bedah. Masalah ini adalah bilamana
penderita ditemui lewat sekitar 48 jam, ahli bedah akan mengoperasi untuk membuang apendiks
yang mungkin gangrene dari dalam massa perlekatan ringan yang longgar dan sangat berbahaya,
dan bilamana karena massa ini telah menjadi lebih terfiksasi dan vascular, sehingga membuat
operasi berbahaya maka harus menunggu pembentukan abses yang dapat mudah didrainase.15
Massa apendiks terjadi bila terjadi apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi atau
dibungkus oleh omentum dan atau lekuk usus halus. Pada massa periapendikular yang
pendidingannya belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus keseluruh rongga peritoneum jika
perforasi diikuti peritonitis purulenta generalisata. Oleh karena itu, massa periapendikular yang
masih bebas disarankan segera dioperasi untuk mencegah penyulit tersebut. Selain itu, operasi
lebih mudah. Pada anak, dipersiapkan untuk operasi dalam waktu 2-3 hari saja. Pasien dewasa
dengan massa periapendikular yang terpancang dengan pendindingan sempurna, dianjurkan
untuk dirawat dahulu dan diberi antibiotik sambil diawasi suhu tubuh, ukuran massa, serta
luasnya peritonitis. Bila sudah tidak ada demam, massa periapendikular hilang, dan leukosit
normal, penderita boleh pulang dan apendiktomi elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian
agar perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi perforasi, akan
terbentuk abses apendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu dan frekuensi nadi,
bertambahnya nyeri, dan teraba pembengkakan massa, serta bertambahnya angka leukosit. 7
Massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif sebaiknya dilakukan tindakan
pembedahan segera setelah pasien dipersiapkan, karena dikuatirkan akan terjadi abses apendiks
dan peritonitis umum. Persiapan dan pembedahan harus dilakukan sebaik-baiknya mengingat
penyulit infeksi luka lebih tinggi daripada pembedahan pada apendisitis sederhana tanpa
perforasi. 13
Pada periapendikular infiltrat, dilarang keras membuka perut, tindakan bedah apabila dilakukan
akan lebih sulit dan perdarahan lebih banyak, lebih-lebih bila massa apendiks telah terbentuk
lebih dari satu minggu sejak serangan sakit perut. Pembedahan dilakukan segera bila dalam
perawatan terjadi abses dengan atau pun tanpa peritonitis umum. 13
Terapi sementara untuk 8-12 minggu adalah konservatif saja. Pada anak kecil, wanita hamil, dan
penderita usia lanjut, jika secara konservatif tidak membaik atau berkembang menjadi abses,
dianjurkan operasi secepatnya. 7
Bila pada waktu membuka perut terdapat periapendikular infiltrat maka luka operasi ditutup lagi,
apendiks dibiarkan saja. Terapi konservatif pada periapendikular infiltrat :
1.Total bed rest posisi fawler agar pus terkumpul di cavum douglassi.
2.Diet lunak bubur saring
3.Antibiotika parenteral dalam dosis tinggi, antibiotik kombinasi yang aktif terhadap kuman
aerob dan anaerob. Baru setelah keadaan tenang, yaitu sekitar 6-8 minggu kemudian, dilakukan
apendiktomi. Kalau sudah terjadi abses, dianjurkan drainase saja dan apendiktomi dikerjakan
setelah 6-8 minggu kemudian. Jika ternyata tidak ada keluhan atau gejala apapun, dan
pemeriksaan jasmani dan laboratorium tidak menunjukkan tanda radang atau abses, dapat
dipertimbangkan membatalakan tindakan bedah.3,7
Analgesik diberikan hanya kalau perlu saja. Observasi suhu dan nadi. Biasanya 48 jam gejala
akan mereda. Bila gejala menghebat, tandanya terjadi perforasi maka harus dipertimbangkan
appendiktomy. Batas dari massa hendaknya diberi tanda (demografi) setiap hari. Biasanya pada
hari ke5-7 massa mulai mengecil dan terlokalisir. Bila massa tidak juga mengecil, tandanya telah
terbentuk abses dan massa harus segera dibuka dan didrainase.3
Caranya dengan membuat insisi pada dinding perut sebelah lateral dimana nyeri tekan adalah
maksimum (incisi grid iron). Abses dicapai secara ekstraperitoneal, bila apendiks mudah
diambil, lebih baik diambil karena apendik ini akan menjadi sumber infeksi. Bila apendiks sukar
dilepas, maka apendiks dapat dipertahankan karena jika dipaksakan akan ruptur dan infeksi dapat
menyebar. Abses didrainase dengan selang yang berdiameter besar, dan dikeluarkan lewat
samping perut. Pipa drainase didiamkan selama 72 jam, bila pus sudah kurang dari 100 cc/hari,
drai dapat diputar dan ditarik sedikit demi sedikit sepanjang 1 inci tiap hari. Antibiotik sistemik
dilanjutkan sampai minimal 5 hari post operasi. Untuk mengecek pengecilan abses tiap hari
penderita di RT. 3
Penderita periapendikular infiltrat diobservasi selama 6 minggu tentang :
LED
Jumlah leukosit
Massa
Periapendikular infiltrat dianggap tenang apabila :
1.Anamesa : penderita sudah tidak mengeluh sakit atau nyeri abdomen
2.Pemeriksaan fisik :
Keadaan umum penderita baik, tidak terdapat kenaikan suhu tubuh (diukur rectal dan aksiler)
Tanda-tanda apendisitis sudah tidak terdapat
Massa sudah mengecil atau menghilang, atau massa tetap ada tetapi lebih kecil dibanding
semula.
Laboratorium : LED kurang dari 20, Leukosit normal
Kebijakan untuk operasi periapendikular infiltrat :
a.Bila LED telah menurun kurang dari 40
b.Tidak didapatkan leukositosis
c.Tidak didapatkan massa atau pada pemeriksaan berulang massa sudah tidak mengecil lagi.
Bila LED tetap tinggi ,maka perlu diperiksa
Apakah penderita sudah bed rest total
Pemberian makanan penderita
Pemakaian antibiotik penderita
Kemungkinan adanya sebab lain.
d. Bila dalam 8-12 minggu masih terdapat tanda-tanda infiltrat atau tidak ada perbaikan, operasi
tetap dilakukan.
e. Bila ada massa periapendikular yang fixed, ini berarti sudah terjadi abses dan terapi adalah
drainase.3

2.10. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun
perforasi pada apendiks yang telah mengalami pendindingan berupa massa yang terdiri atas
kumpulan apendiks, sekum, dan lekuk usus halus.7
Perforasi dapat menyebabkan timbulnya abses lokal ataupun suatu peritonitis generalisata.
Tanda-tanda terjadinya suatu perforasi adalah :
nyeri lokal pada fossa iliaka kanan berganti menjadi nyeri abdomen menyeluruh
Suhu tubuh naik tinggi sekali.
Nadi semakin cepat.
Defance Muskular yang menyeluruh
Bising usus berkurang
Perut distended
Akibat lebih jauh dari peritonitis generalisata adalah terbentuknya :
1.Pelvic Abscess
2.Subphrenic absess
3.Intra peritoneal abses lokal.3
Peritonitis merupakan infeksi yang berbahaya karena bakteri masuk kerongga abdomen, dapat
menyebabkan kegagalan organ dan kematian.12

DAFTAR PUSTAKA

1.Mansjoer,A., dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid Kedua. Penerbit Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
2.Schwartz, Spencer, S., Fisher, D.G., 1999. Principles of Surgery sevent edition. Mc-Graw Hill
a Division of The McGraw-Hill Companies. Enigma an Enigma Electronic Publication.
3.Anonim, . Ilmu Bedah dan Teknik Operasi. Bratajaya Fakultas Kedokteran UNAIR. Surabaya.
4.Lugo,. V.H., 2004. Periappendiceal Mass. Pediatric Surgery Update. Vol.23 No.03 September
2004.
http://home.coqui.net/titolugo/PSU23304.PDF#search=periappendiceal %20 mass
5.Anonim, 2006. Appendix Mass.GP Note Book
http://www.gpnotebook.co.uh/cache/1738145813.htm
6.Anonim, 2006. Appendicitis.
http://www.meddean.lun.edu/lumen/Meded/Radio/Nuc_med?Appendicitis/Natural.htm.

7.De Jong,.W., Sjamsuhidajat, R., 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. EGC. Jakarta.
8.Jehan, E., 2003. Peran C Reaktif Protein Dalam Menentukan Diagnosa Appendisitis Akut.
Bagian Ilmu bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara.
http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-emir%20jehan.pdf.
9.Itskowiz, M.S., Jones, S.M., 2004. Appendicitis. Emerg Med 36 (10): 10-15.
www.emedmag.com
10.Anonim, 2005. Appendix. PathologyOutlines.
http://www.patholoyoutlines.com
11.Gray, H.(1826-1861). 1918. Anatomy of The Human Body.
www.Bartleby.com
12.Anonim, 2004. Appendicitis. U.S. Department Of Health and Human Services. National
Institute of Health. NIH Publication No. 04–4547.June 2004
www.digestive.niddk.nih.gov
13.Reksoprodjo, S., dkk.1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Bagian Bedah Staf Pengajar
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Bina Rupa Aksara. Jakarta.
14.Hardin, M., 1999. Acute Appendisitis :Review and Update. The American Academy of
Family Physicians. Texas A&M University Health Science Center, Temple, Texas
http://www.aafg.org
15.Hugh, A.F.Dudley. 1992. Ilmu Bedah Gawat Darurat edisi kesebelas. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.

sorces : http://sanirachman.blogspot.com/2009/11/appendicitis-akut-dan-
appendicitis.html#ixzz52GJDdpqD
Under Creative Commons License: Attribution Non-Commercial
BAB I PENDAHULUAN Appendicitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix
vermicularis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering pada anak-anak
maupun dewasa. Appendicitis akut merupakan kasus bedah emergensi yang paling sering
ditemukan pada anak-anak dan remaja. Terdapat sekitar 250.000 kasus appendicitis yang terjadi
di Amerika Serikat setiap tahunnya dan terutama terjadi pada anak usia 6-10 tahun1.
Appendicitis dapat mengenai semua kelompok usia, meskipun tidak umum pada anak sebelum
usia sekolah. Hampir 1/3 anak dengan appendicitis akut mengalami perforasi setelah dilakukan
operasi. Meskipun telah dilakukan peningkatan pemberian resusitasi cairan dan antibiotik yang
lebih baik, appendicitis pada anak-anak, terutama pada anak usia prasekolah masih tetap
memiliki angka morbiditas yang signifikan2. Diagnosis appendicitis akut pada anak kadang-
kadang sulit. Diagnosis yang tepat dibuat hanya pada 50-70% pasien-pasien pada saat penilaian
awal. Angka appendectomy negatif pada pediatrik berkisar 10-50%. Riwayat perjalanan penyakit
pasien dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang paling penting dalam mendiagnosis
appendicitis2. Semua kasus appendicitis memerlukan tindakan pengangkatan dari appendix yang
terinflamasi, baik dengan laparotomy maupun dengan laparoscopy. Apabila tidak dilakukan
tindakan pengobatan, maka angka kematian akan tinggi, terutama disebabkan karena peritonitis
dan shock. Reginald Fitz pada tahun 1886 adalah orang pertama yang menjelaskan bahwa
Appendicitis acuta merupakan salah satu penyebab utama terjadinya akut abdomen di seluruh
dunia 3. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 ANATOMI Apendiks merupakan organ berbentuk
tabung, panjangnya kira-kira 10cm (kisaran 3-15cm), dan berpangkal di caecum. Lumennya
sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks
berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit ke arah ujungnya. Keadaan ini
mungkin menjadi sebab rendahnya insiden appendicitis pada usia itu. Pada 65% kasus, apendiks
terletak intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya
bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya4. Pada kasus selebihnya, apendiks
terletak retroperitoneal, yaitu di belakang caecum, di belakang colon ascendens, atau di tepi
lateral colon ascendens. Gejala klinis appendicitis ditentukan oleh letak apendiks4. Persarafan
parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti a.mesenterica superior dan
a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri
visceral pada appendicitis bermula di sekitar umbilicus5. Pendarahan apendiks berasal dari
a.apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena
thrombosis pada infeksi apendiks akan mengalami gangren5. Gambar 1. Variasi lokasi Appendix
2.2 FISIOLOGI Apendiks menghasilkan lender 1-2ml per hari. Lendir itu normalnya dicurahkan
ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke caecum. Hambatan aliran lender di muara apendiks
tampaknya berperan pada pathogenesis appendicitis5. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan
oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk
apendiks, ialah IgA. Immunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi.
Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena
jkumlah jaringan limf disini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna
dan di seluruh tubuh5. 2.3 INSIDENSI Terdapat sekitar 250.000 kasus appendicitis yang terjadi
di Amerika Serikat setiap tahunnya dan terutama terjadi pada anak usia 6-10 tahun. Appendicitis
lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan 3:2. Bangsa
Caucasia lebih sering terkena dibandingkan dengan kelompok ras lainnya. Appendicitis akut
lebih sering terjadi selama musim panas. 1 Insidensi Appendicitis acuta di negara maju lebih
tinggi daripada di negara berkembang, tetapi beberapa tahun terakhir angka kejadiannya
menurun secara bermakna. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat
dalam menu sehari-hari. Appendicitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak
kurang dari satu tahun jarang dilaporkan. Insidensi tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun,
setelah itu menurun. Insidensi pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada
umur 20-30 tahun, insidensi lelaki lebih tinggi6. Gambar 2. Insidensi Risiko Terjadinya
Appendicitis Berdasarkan Usia 2.4 ETIOLOGI Appendicitis disebabkan karena adanya obstruksi
pada lumen appendix sehingga terjadi kongseti vaskuler, iskemik nekrosis dan akibatnya terjadi
infeksi. Appendicitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri. Penyebab obstruksi yang paling
sering adalah fecolith. Fecolith ditemukan pada sekitar 20% anak dengan appendicitis. Penyebab
lain dari obstruksi appendiks meliputi: Hiperplasia folikel lymphoid Carcinoid atau tumor
lainnya Benda asing (pin, biji-bijian) Kadang parasit 1 Penyebab lain yang diduga menimbulkan
Appendicitis adalah ulserasi mukosa appendix oleh parasit E. histolytica. Berbagai spesies
bakteri yang dapat diisolasi pada pasien appendicitis yaitu7: Bakteri aerob fakultatif Bakteri
anaerob Escherichia coli Viridans streptococci Pseudomonas aeruginosa Enterococcus
Bacteroides fragilis Peptostreptococcus micros Bilophila species Lactobacillus species 2.5
PATOGENESIS Appendicitis terjadi dari proses inflamasi ringan hingga perforasi, khas dalam
24-36 jam setelah munculnya gejala, kemudian diikuti dengan pembentukkan abscess setelah 2-3
hari5 Appendicitis dapat terjadi karena berbagai macam penyebab, antara lain obstruksi oleh
fecalith, gallstone, tumor, atau bahkan oleh cacing (Oxyurus vermicularis), akan tetapi paling
sering disebabkan obstruksi oleh fecalith dan kemudian diikuti oleh proses peradangan. Hasil
observasi epidemiologi juga menyebutkan bahwa obstruksi fecalith adalah penyebab terbesar,
yaitu sekitar 20% pada ank dengan appendicitis akut dan 30-40% pada anak dengan perforasi
appendiks. Hiperplasia folikel limfoid appendiks juga dapat menyababkan obstruksi lumen.
Insidensi terjadinya appendicitis berhubungan dengan jumlah jaringan limfoid yang hyperplasia.
Penyebab dari reaksi jaringan limfatik baik lokal atau general misalnya akibat infeksi Yersinia,
Salmonella, dan Shigella; atau akibat invasi parasit seperti Entamoeba, Strongyloides, Enterobius
vermicularis, Schistosoma, atau Ascaris. Appendicitis juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus
enteric atau sistemik, seperti measles, chicken pox, dan cytomegalovirus. Pasien dengan cyctic
fibrosis memiliki peningkatan insidensi appendicitis akibat perubahan pada kelenjar yang
mensekresi mucus. Carcinoid tumor juga dapat mengakibatkan obstruksi appendiks, khususnya
jika tumor berlokasi di 1/3 proksimal. Selama lebih dari 200 tahun, benda asaning seperti pin,
biji sayuran, dan batu cherry dilibatkan dalam terjadinya appendicitis. Trauma, stress psikologis,
dan herediter juga mempengaruhi terjadinya appendicitis5 Awalnya, pasien akan merasa gejala
gastrointestinal ringan seperti berkurangnya nafsu makan, perubahan kebiasaan BAB yang
minimal, dan kesalahan pencernaan. Anoreksia berperan penting pada diagnosis appendicitis,
khususnya pada anak-anak5. Distensi appendiks menyebabkan perangsangan serabut saraf
visceral dan dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical. Nyeri awal ini bersifat nyeri
dalam, tumpul, berlokasi di dermatom Th 10. Adanya distensi yang semakin bertambah
menyebabkan mual dan muntah, dalam beberapa jam setelah nyeri. Jika mual muntah timbul
lebih dulu sebelum nyeri, dapat dipikirkan diagnosis lain5. Appendiks yang obstruksi merupakan
tempat yang baik bagi bakteri untuk berkembang biak. Seiring dengan peningkatan tekanan
intraluminal, terjadi gangguan aliran limf, terjadi oedem yang lebih hebat. Akhirnya peningkatan
tekanan menyebabkan obstruksi vena, yang mengarah pada iskemik jaringan, infark, dan
gangrene. Setelah itu, terjadi invasi bakteri ke dinding appendiks; diikuti demam, takikardi, dan
leukositosis akibat kensekuensi pelepasan mediator inflamasi dari jaringan yang iskemik. Saat
eksudat inflamasi dari dinding appendiks berhubungan dengan peritoneum parietale, serabut
saraf somatic akan teraktivasi dan nyeri akan dirasakan lokal pada lokasi appendiks, khususnya
di titik Mc Burney’s. Nyeri jarang timbul hanya pada kuadran kanan bawah tanpa didahului
nyeri visceral sebelumnya. Pada appendiks retrocaecal atau pelvic, nyeri somatic biasanya
tertunda karena eksudat inflamasi tidak mengenai peritoneum parietale sampai saat terjadinya
rupture dan penyebaran infeksi. Nyeri pada appendiks retrocaecal dapat muncul di punggung
atau pinggang. Appendiks pelvic yang terletak dekat ureter atau pembuluh darah testis dapat
menyebabkan peningkatan frekuensi BAK, nyeri pada testis, atau keduanya. Inflamasi ureter
atau vesica urinaria pada appendicitis dapat menyebabkan nyeri saat berkemih, atau nyeri seperti
terjadi retensi urine5. Perforasi appendiks akan menyebabkan terjadinya abscess lokal atau
peritonitis umum. Proses ini tergantung pada kecepatan progresivitas ke arah perforasi dan
kemampuan pasien berespon terhadap adanya perforasi. Tanda perforasi appendiks mencakup
peningkatan suhu melebihi 38.6oC, leukositosis > 14.000, dan gejala peritonitis pada
pemeriksaan fisik. Pasien dapat tidak bergejala sebelum terjadi perforasi, dan gejala dapat
menetap hingga > 48 jam tanpa perforasi. Secara umum, semakin lama gejala berhubungan
dengan peningkatan risiko perforasi. Peritonitis difus lebih sering dijumpai pada bayi karena
tidak adanya jaringan lemak omentum. Anak yang lebih tua atau remaja lebih memungkinkan
untuk terjadinya abscess yang dapat diketahui dari adanya massa pada pemeriksaan fisik5
Konstipasi jarang dijumpai tetapi tenesmus sering dijumpai. Diare sering didapatkan pada anak-
anak, dalam jangka waktu sebentar, akibat iritasi ileum terminal atau caecum. Adanya diare
dapat mengindikasikan adanya abscess pelvis5 2.6 GAMBARAN KLINIS Appendicitis dapat
mengenai semua kelompok usia. Meskipun sangat jarang pada neonatus dan bayi, appendicitis
akut kadang-kadang dapat terjadi dan diagnosis appendicitis jauh lebih sulit dan kadang tertunda.
Nyeri merupakan gejala yang pertama kali muncul. Seringkali dirasakan sebagai nyeri tumpul,
nyeri di periumbilikal yang samar-samar, tapi seiring dengan waktu akan berlokasi di abdomen
kanan bawah. Terjadi peningkatan nyeri yang gradual seiring dengan perkembangan penyakit1.
Variasi lokasi anatomis appendiks dapat mengubah gejala nyeri yang terjadi. Pada anak-anak,
dengan letak appendiks yang retrocecal atau pelvis, nyeri dapat mulai terjadi di kuadran kanan
bawah tanpa diawali nyeri pada periumbilikus. Nyeri pada flank, nyeri punggung, dan nyeri alih
pada testis juga merupakan gejala yang umum pada anak dengan appendicitis retrocecal arau
pelvis1. Jika inflamasi dari appendiks terjadi di dekat ureter atau bladder, gejal dapat berupa
nyeri saat kencing atau perasaan tidak nyaman pada saat menahan kencing dan distensi kandung
kemih1. Anorexia, mual, dan muntah biasanya terjadi dalam beberapa jam setelah onset
terjadinya nyeri. Muntah biasanya ringan. Diare dapat terjadi akibat infeksi sekunder dan iritasi
pada ileum terminal atau caecum. Gejala gastrointestinal yang berat yang terjadi sebelum onset
nyeri biasanya mengindikasikan diagnosis selain appendicitis. Meskipun demikian, keluhan GIT
ringan seperti indigesti atau perubahan bowel habit dapat terjadi pada anak dengan appendicitis1.
Pada appendicitis tanpa komplikasi biasanya demam ringan (37,5 -38,5 0 C). Jika suhu tubuh
diatas 38,6 0 C, menandakan terjadi perforasi. Anak dengan appendicitis kadang-kadang berjalan
pincang pada kaki kanan. Karena saat menekan dengan paha kanan akan menekan Caecum
hingga isi Caecum berkurang atau kosong. Bising usus meskipun bukan tanda yang dapat
dipercaya dapat menurun atau menghilang1. Anak dengan appendicitis biasanya menghindari
diri untuk bergerak dan cenderung untuk berbaring di tempat tidur dengan kadang-kadang lutut
diflexikan 1. Anak yang menggeliat dan berteriak-teriak jarang menderita appendicitis, kecuali
pada anak dengan appendicitis retrocaecal, nyeri seperti kolik renal akibat perangsangan ureter5.
Tabel 1. Gejala Appendicitis Akut8 Gejala Appendicitis Akut Frekuensi (%) Nyeri perut 100
Anorexia 100 Mual 90 Muntah 75 Nyeri berpindah 50 Gejala sisa klasik (nyeri periumbilikal
kemudian anorexia/mual/muntah kemudian nyeri berpindah ke RLQ kemudian demam yang
tidak terlalu tinggi) 50 *-- Onset gejala khas terdapat dalam 24-36 jam 2.7 PEMERIKSAAN
FISIK Pada Apendicitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga pada
pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut9. Secara klinis, dikenal beberapa manuver
diagnostik4: · Rovsing’s sign: dikatakan posiif jika tekanan yang diberikan pada LLQ abdomen
menghasilkan sakit di sebelah kanan (RLQ), menggambarkan iritasi peritoneum. Sering positif
tapi tidak spesifik4. · Psoas sign: dilakukan dengan posisi pasien berbaring pada sisi sebelah kiri
sendi pangkal kanan diekstensikan. Nyeri pada cara ini menggambarkan iritasi pada otot psoas
kanan dan indikasi iritasi retrocaecal dan retroperitoneal dari phlegmon atau abscess4. Gambar 3
. Cara melakukan Psoas sign Dasar anatomis terjadinya psoas sign adalah appendiks yang
terinflamasi yang terletak retroperitoneal akan kontak dengan otot psoas pada saat dilakukan
manuver ini8. Gambar 4. Dasar anatomis terjadinya Psoas sign · Obturator sign: dilakukan
dengan posisi pasien terlentang, kemudian gerakan endorotasi tungkai kanan dari lateral ke
medial. Nyeri pada cara ini menunjukkan peradangan pada M. obturatorius di rongga pelvis.
Perlu diketahui bahwa masing-masing tanda ini untuk menegakkan lokasi Appendix yang telah
mengalami radang atau perforasi4. Gambar 5. Cara melakukan Obturator sign Dasar anatomis
terjadinya psoas sign adalah appendiks yang terinflamasi yang terletak retroperitoneal akan
kontak dengan otot obturator internus pada saat dilakukan manuver ini8. Gambar 6. Dasar
anatomis terjadinya Obturator sign · Blumberg’s sign: nyeri lepas kontralateral (tekan di LLQ
kemudian lepas dan nyeri di RLQ) · Wahl’s sign: nyeri perkusi di RLQ di segitiga Scherren
menurun. · Baldwin test: nyeri di flank bila tungkai kanan ditekuk. · Defence musculare: bersifat
lokal, lokasi bervariasi sesuai letak Appendix. · Nyeri pada daerah cavum Douglas bila ada
abscess di rongga abdomen atau Appendix letak pelvis. · Nyeri pada pemeriksaan rectal
tooucher. · Dunphy sign: nyeri ketika batuk10. Skor Alvarado Semua penderita dengan suspek
Appendicitis acuta dibuat skor Alvarado dan diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu: skor
<6>6. Selanjutnya dilakukan Appendectomy, setelah operasi dilakukan pemeriksaan PA
terhadap jaringan Appendix dan hasilnya diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu: radang akut
dan bukan radang akut11. Tabel Alvarado scale untuk membantu menegakkan diagnosis
Manifestasi Skor Gejala Adanya migrasi nyeri 1 Anoreksia 1 Mual/muntah 1 Tanda Nyeri RLQ
2 Nyeri lepas 1 Febris 1 Laboratorium Leukositosis 2 Shift to the left 1 Total poin 10
Keterangan: 0-4 : kemungkinan Appendicitis kecil 5-6 : bukan diagnosis Appendicitis 7-8 :
kemungkinan besar Appendicitis 9-10 : hampir pasti menderita Appendicitis Bila skor 5-6
dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor >6 maka tindakan bedah sebaiknya
dilakukan11. 2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium Jumlah leukosit diatas 10.000
ditemukan pada lebih dari 90% anak dengan appendicitis akuta. Jumlah leukosit pada penderita
appendicitis berkisar antara 12.000-18.000/mm3. Peningkatan persentase jumlah neutrofil (shift
to the left) dengan jumlah normal leukosit menunjang diagnosis klinis appendicitis. Jumlah
leukosit yang normal jarang ditemukan pada pasien dengan appendicitis1. Pemeriksaan urinalisis
membantu untuk membedakan appendicitis dengan pyelonephritis atau batu ginjal. Meskipun
demikian, hematuria ringan dan pyuria dapat terjadi jika inflamasi appendiks terjadi di dekat
ureter1. Ultrasonografi Ultrasonografi sering dipakai sebagai salah satu pemeriksaan untuk
menunjang diagnosis pada kebanyakan pasien dengan gejala appendicitis. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa sensitifitas USG lebih dari 85% dan spesifitasnya lebih dari 90%.
Gambaran USG yang merupakan kriteria diagnosis appendicitis acuta adalah appendix dengan
diameter anteroposterior 7 mm atau lebih, didapatkan suatu appendicolith, adanya cairan atau
massa periappendix1. False positif dapat muncul dikarenakan infeksi sekunder appendix sebagai
hasil dari salphingitis atau inflammatory bowel disease. False negatif juga dapat muncul karena
letak appendix yang retrocaecal atau rongga usus yang terisi banyak udara yang menghalangi
appendix1. CT-Scan CT scan merupakan pemeriksaan yang dapat digunakan untuk
mendiagnosis appendicitis akut jika diagnosisnya tidak jelas.sensitifitas dan spesifisitasnya kira-
kira 95-98%. Pasien-pasien yang obesitas, presentasi klinis tidak jelas, dan curiga adanya
abscess, maka CT-scan dapat digunakan sebagai pilihan test diagnostik1. Diagnosis appendicitis
dengan CT-scan ditegakkan jika appendix dilatasi lebih dari 5-7 mm pada diameternya. Dinding
pada appendix yang terinfeksi akan mengecil sehingga memberi gambaran “halo” 10. 2.9
DIAGNOSIS BANDING Diagnosis banding dari Appendicitis dapat bervariasi tergantung dari
usia dan jenis kelamin4,12. · Pada anak-anak balita à intususepsi, divertikulitis, dan
gastroenteritis akut. Intususepsi paling sering didapatkan pada anak-anak berusia dibawah 3
tahun. Divertikulitis jarang terjadi jika dibandingkan Appendicitis. Nyeri divertikulitis hampir
sama dengan Appendicitis, tetapi lokasinya berbeda, yaitu pada daerah periumbilikal. Pada
pencitraan dapat diketahui adanya inflammatory mass di daerah abdomen tengah. Diagnosis
banding yang agak sukar ditegakkan adalah gastroenteritis akut, karena memiliki gejala-gejala
yang mirip dengan appendicitis, yakni diare, mual, muntah, dan ditemukan leukosit pada feses. ·
Pada anak-anak usia sekolah à gastroenteritis, konstipasi, infark omentum. Pada gastroenteritis,
didapatkan gejala-gejala yang mirip dengan appendicitis, tetapi tidak dijumpai adanya
leukositosis. Konstipasi, merupakan salah satu penyebab nyeri abdomen pada anak-anak, tetapi
tidak ditemukan adanya demam. Infark omentum juga dapat dijumpai pada anak-anak dan
gejala-gejalanya dapat menyerupai appendicitis. Pada infark omentum, dapat terraba massa pada
abdomen dan nyerinya tidak berpindah · Pada pria dewasa muda Diagnosis banding yang sering
pada pria dewasa muda adalah Crohn’s disease, klitis ulserativa, dan epididimitis. Pemeriksaan
fisik pada skrotum dapat membantu menyingkirkan diagnosis epididimitis. Pada epididimitis,
pasien merasa sakit pada skrotumnya. · Pada wanita usia muda Diagnosis banding appendicitis
pada wanita usia muda lebih banyak berhubungan dengan kondisi-kondisi ginekologik, seperti
pelvic inflammatory disease (PID), kista ovarium, dan infeksi saluran kencing. Pada PID,
nyerinya bilateral dan dirasakan pada abdomen bawah. Pada kista ovarium, nyeri dapat dirasakan
bila terjadi ruptur ataupun torsi. · Pada usia lanjut Appendicitis pada usia lanjut sering sukar
untuk didiagnosis. Diagnosis banding yang sering terjadi pada kelompok usia ini adalah
keganasan dari traktus gastrointestinal dan saluran reproduksi, divertikulitis, perforasi ulkus, dan
kolesistitis. Keganasan dapat terlihat pada CT Scan dan gejalanya muncul lebih lambat daripada
appendicitis. Pada orang tua, divertikulitis sering sukar untuk dibedakan dengan appendicitis,
karena lokasinya yang berada pada abdomen kanan. Perforasi ulkus dapat diketahui dari
onsetnya yang akut dan nyerinya tidak berpindah. Pada orang tua, pemeriksaan dengan CT Scan
lebih berarti dibandingkan dengan pemeriksaan laboratorium. 2.10 KOMPLIKASI 1.
Appendicular infiltrat: Infiltrat / massa yang terbentuk akibat mikro atau makro perforasi dari
Appendix yang meradang yang kemudian ditutupi oleh omentum, usus halus atau usus besar. 2.
Appendicular abscess: Abses yang terbentuk akibat mikro atau makro perforasi dari Appendix
yang meradang yang kemudian ditutupi oleh omentum, usus halus, atau usus besar. 3. Perforasi
4. Peritonitis 5. Syok septik 6. Mesenterial pyemia dengan Abscess Hepar 7. Gangguan
peristaltik 8. Ileus 4,12 2.11 PENATALAKSANAAN Untuk pasien yang dicurigai Appendicitis
: n Puasakan n Berikan analgetik dan antiemetik jika diperlukan untuk mengurangi gejala n
Penelitian menunjukkan bahwa pemberian analgetik tidak akan menyamarkan gejala saat
pemeriksaan fisik. n Pertimbangkan DD/ KET terutama pada wanita usia reproduksi. n Berikan
antibiotika IV pada pasien dengan gejala sepsis dan yang membutuhkan Laparotomy Perawatan
appendicitis tanpa operasi n Penelitian menunjukkan pemberian antibiotika intravena dapat
berguna untuk Appendicitis acuta bagi mereka yang sulit mendapat intervensi operasi (misalnya
untuk pekerja di laut lepas), atau bagi mereka yang memilki resiko tinggi untuk dilakukan
operasi Rujuk ke dokter spesialis bedah. Antibiotika preoperative n Pemberian antibiotika
preoperative efektif untuk menurunkan terjadinya infeksi post opersi. n Diberikan antibiotika
broadspectrum dan juga untuk gram negative dan anaerob n Antibiotika preoperative diberikan
dengan order dari ahli bedah. n Antibiotik profilaksis harus diberikan sebelum operasi dimulai.
Biasanya digunakan antibiotik kombinasi, seperti Cefotaxime dan Clindamycin, atau Cefepime
dan Metronidazole. Kombinasi ini dipilih karena frekuensi bakteri yang terlibat, termasuk
Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, Enterococcus, Streptococcus viridans, Klebsiella, dan
Bacteroides. Teknik operasi Appendectomy 2,,5 A. Open Appendectomy 1. Dilakukan tindakan
aseptik dan antiseptik. 2. Dibuat sayatan kulit: Horizontal Oblique 3. Dibuat sayatan otot, ada
dua cara: a. Pararectal/ Paramedian Sayatan pada vaginae tendinae M. rectus abdominis lalu otot
disisihkan ke medial. Fascia diklem sampai saat penutupan vagina M. rectus abdominis karena
fascia ada 2 supaya jangan tertinggal pada waktu penjahitan karena bila terjahit hanya satu lapis
bisa terjadi hernia cicatricalis. 2 lapis M.rectus abd. sayatan b. Mc Burney/ Wechselschnitt/
muscle splitting Sayatan berubah-ubah sesuai serabut otot. Gambar 7. Lokasi insisi yang sering
digunakan pada Appendectomy B. Laparoscopic Appendectomy Pertama kali dilakukan pada
tahun 1983. Laparoscopic dapat dipakai sarana diagnosis dan terapeutik untuk pasien dengan
nyeri akut abdomen dan suspek Appendicitis acuta. Laparoscopic kemungkinan sangat berguna
untuk pemeriksaan wanita dengan keluhan abdomen bagian bawah. Membedakan penyakit akut
ginekologi dari Appendicitis acuta sangat mudah dengan menggunakan laparoskop2,,5. BAB III
KESIMPULAN Appendicitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix vermicularis, dan
merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering pada anak-anak maupun dewasa.
Appendicitis akut merupakan kasus bedah emergensi yang paling sering ditemukan pada anak-
anak dan remaja Gejala appendicitis akut pada anak tidak spesifik . Gejala awalnya sering hanya
rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa nyerinya. Dalam beberapa
jam kemudian akan timbul muntah-muntah dan anaka akan menjadi lemah dan letargik. Karena
gejala yang tidak khas tadi, appendicitis sering diketahui setelah terjadi perforasi. Pada bayi, 80-
90% appendicitis baru diketahui setelah terjadi perforasi. Riwayat perjalanan penyakit pasien dan
pemeriksaan fisik merupakan hal yang paling penting dalam mendiagnosis appendicitis.

Cheap Offers: http://bit.ly/gadgets_cheap

You might also like