Professional Documents
Culture Documents
APPENDISITIS
No. RM : 084284
Tanggal : 29-03-2006
Tempat : Perawatan IV RSUD Syekh Yusuf
Sungguminasa Gowa
1. Identitas Klien
Nama : Nn. G
Umur : 30 tahun
Agama : Islam
Suku : Makassar
Pendidikan : S1
Pekerjaan : PNS
Alamat : Makassar
2. Penanggung Jawab
Nama : Ny. D
Umur : 50 tahun
Pekerjaan : PNS
an masuk RS : sakit dirasakan ± 3 bulan yang lalu dan bertambah parah jika klien melakukan aktivitas
yang berat karena sakitnya bertambah dari hari ke hari sehingga klien dan keluarga memutuskan
ayat penyakit :
ocative/palliative : klien mengatakan nyeri disebabkan karena luka operasi (post op. hari
kedua)
Saat anak-anak, klien hanya sakit biasa flu dan demam biasa dan biasanya hanya mengatasinya
dengan membeli obat di warung terdekat. Klien pernah dirawat di rumah sakit Haji karena
penyakit asma.
Keterangan:
: Laki-laki
: Perempuan
: Penderita
: Tinggal serumah
Klien mengatakan tidak ada keluarganya yang menderita seperti penyakit yang dialaminya
E. RIWAYAT PSIKO-SOSIO-SPIRITUAL
1. Pola coping
Klien berharap penyakitnya akan sembuh agar berkumpul bersama keluarganya kembali
3. Faktor stressor
Klien mengatakan nyeri bila terlalu banyak bergerak atau beraktivitas tapi nyeri hilang bila tidak
beraktivitas.
4. Konsep diri
6. Adaptasi
dirawat.
Pada saat bicara klien tampak terbuka, kontak mata /cara bicara jelas walaupun klien tampak
masih lemah.
Klien mengatakan selalu ikut aktivitas di masyarakat seperti kerja bakti, acara-acara dan arisan.
Klien mengatakan keadaan lingkungannya baik dan tinggal bersama orang tua serta satu orang
adik perempuannya.
Klien beragama Islam, sebelum masuk rumah sakit klien rajin shalat 5 waktu tapi setelah masuk
Klien yakin bahwa penyakitnya akan sembuh dan menyerahkan semua kepada Tuhan YME.
1. Makan
m MRS : frekuensi makan 3x sehari dengan komposisi nasi lauk dan sayur.
2. Minum
m MRS : frekuensi tidak tentu sesuai dengan aktivitas yang dilakukan dalam
sehari namun biasanya minum 6 – 8 gelas/hari tidak ada minuman pantangan kecuali kopi dan
alkohol.
3. Tidur
m MRS : klien jarang tidur siang karena kesibukan tapi malam klien biasa
MRS : klien mengatakan setelah masuk rumah sakit klien sering tidur dan
4. Eliminasi /BAB
5. Eliminasi /BAK
m MRS : klien mengatakan BAK lancar, tidak sakit pada saat BAK
MRS : klien mengatakan BAK lancar, tidak sakit pada saat BAK
6. Personal hygiene
MRS : klien nampak bersih karena klien sudah dimandikan di tempat tidur
G. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan umum
Klien tampak lemah, tidak bergairah, tampak meringis, nyeri tekan dan beraktivitas di tempat
tidur.
: S : 37 ºC
TD : 100/60 mmHg
P : 20 x/mnt
ND : 86 x/mnt
2. Head to toe
Kulit/integument
Kulit sawo matang, tekstur kenyal, tidak terdapat edema, turgor baik suhu 37 ºC.
Kulit kepala klien cukup bersih tidak ada peradangan rambut warna hitam sebahu dan ikal.
Kuku
Bantalan kuku berwarna merah mudah, kuku tangan dan kaki cukup bersih dan pendek
Mata/penglihatan
Mata bulat, refleks cahaya normal, kedua pupil isokhor, akomodasi bagus, konjungtiva tidak
Hidung/penciuman
Septum hidung berada di tengah, simetris kanan dan kiri, tidak ada peradangan serta polip.
Bibir tidak kering, lidah tidak kotor, fungsi pengecapan bagus, tidak ada peradangan, karies tidak
ada
Leher
Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, tidak ada distensi. Vena jugularis dan tidak ada rasa kaku
Dada
Pernafasan tenang, gerakan toraks ke atas dan keluar simetris saat inspirasi, frekuensi pernafasan
20 x/menit, ictus kordis tidak tampak, bunyi jantung I dan II murni, denyut apeks teraba pada
ICS 5, tidak ada nyeri dan tidak ada bunyi jantung tambahan
Abdomen
Tampak luka insisi operasi, perut tidak kembung, tidak ada massa, tidak ada pembesaran hepar,
bising usus (+). Klien mengatakan nyeri bila ditekan pada daerah perut kanan bawah.
Genitalia
Tidak ada kekakuan, edema dan atropi pada ekstremitas atas dan bawah, pada ekstremitas atas
Sistem gastrointestinal
Inspeksi : umbilicus terletak di garis tengah dan tidak menonjol. Bentuk abdomen
simetris, tidak terlihat massa, tampak ada luka, telah dilakukan tindakan appendektori pada
Perkusi : perkusi hati pada midklavikulari kanan terdengar redup perkusi limfe di
Palpasi : tidak ada pembesaran hati, limfe dan ginjal tidak teraba adanya massa pada
4. Pemeriksaan diagnostik
5. Penatalaksanaan medis
Seminac 1 amp
Ramitidine 1 amp/8 jam
H. KLASIFIKASI DATA
Data Subjektif:
Data Objektif:
- Tampak meringis
- Tampak lemah
ANALISA DATA
Diagnosa
No Data Kemungkinan Penyebab
Keperawatan
(1) (20 (3) (4)
1. DS: Tindakan pembedahan Nyeri
- Klien mengatakan nyeri ↓
pada daerah operasi Terputusnya kontinuitas jaringan
- Klien mengatakan nyeri ↓
pada perut kanan bawah Pengeluaran zat-zat kimia
DO: (bradikinin, prostatglandin,
- Tampak meringis histamin)
- Nyeri tekan (+) ↓
- TTV Merangsang hipotalamus
S : 37 ºC ↓
TD : 100/60 mmHg Stimulus korteks serebri
P : 20 x/mnt ↓
ND : 86 x/mnt Rasa nyeri dipersepsikan
2. DS: Tindakan pembedahan Risiko tinggi
DO: ↓ infeksi
- Tampak ada luka insisi Terputusnya kontinuitas jaringan
di perut kuadran kanan ↓
bawah Hilangnya fungsi kulit sebagai
proteksi
↓
Memungkinkan masuk
mikroorganisme ke tubuh
↓
Risiko infeksi
3. DS: - Apendisitis Kurang
DO: ↓ pengetahuan
- Sering bertanya tentang Perubahan status kesehatan
penyakitnya ↓
Kurang informasi
↓
Kurang pengetahuan
RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
4. Tekankan pentingnya
terapi antibiotik sesuai
kebutuhan Penggunaan pencegahan
terhadap infeksi
IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
No Hari/
Implementasi Evaluasi
dx Tanggal
I Rabu/ 09.30 Rabu, 29-03-2006
29-03-061. Mengkaji tingkat nyeri, lokasi dan Jam: 14.00
karakteristik
Hasilnya: S : klien mengatakan
Nyeri sedang (6) lokasi pada perut nyerinya sudah berkurang
kuadran kanan bawah
O : - Wajah tampak
09.35 meringis
2. Mengobservasi TTV - vital sign
Hasilnya: S : 37 ºC
TD : 100/60 mmHg TD : 100/70 mmHg
S : 37 ºC P : 20 x/mnt
P : 20 x/mnt ND: 84 x/mnt
ND: 86 x/mnt
A : masalah belum teratasi
09.45
3. Memberikan lingkungan yang P : Pertahankan intervensi
tenang dan mengurangi rangsangan
stres
Hasilnya:
Klien tampak baring di atas tempat
tidur, dengan posisi semi Fowler
09.50
4. Mengajarkan teknik nafas dalam
bila rasa nyeri datang
Hasilnya:
Klien nampak tarik nafas melalui
hidung dan mengeluarkannya
melalui mulut
10.00
5. Mengkolaborasikan dengan
pemberian analgetik sesuai indikasi
Hasilnya:
Injeksi Cefotoxime 1 gr/12 jam
10.25
3. Mengkaji tanda-tanda infeksi
Hasilnya:
Udema (-), Pus (-), eritema (-)
III 10.30 Rabu 29-03-06
1. Mengkaji tingkat pemahaman klien Jam: 14.15
dan keluarga tentang penyakitnya
Hasil: S :
Klien mengatakan tidak tahu apa
penyebab penyakitnya O : - klien dapat
memahami tentang
10.35 penyakitnya
2. Mendiskusikan perawatan insisi - Klien tidak banyak
termasuk ganti balutan bertanya
Hasil:
Verban tampak kering A : masalah teratasi
11.00
4. Menekankan pentingnya terapi
antibiotik sesuai kebutuhan
Hasil:
Injeksi Cefotoxime 1 gr/12 jam
I Kamis/09.00 Kamis, 30-03-2006
30-03-061. Mengkaji tingkat nyeri, lokasi dan Jam: 14.15
karakteristik
Hasilnya: S : klien mengatakan
Nyeri ringan (2 - 4) lokasi pada nyerinya sudah berkurang
perut kuadran kanan bawah
O : - Wajah tampak tenang
09.10 - Tidak meringis
2. Mengobservasi TTV
Hasilnya: A : masalah teratasi
TD : 100/80 mmHg
S : 37 ºC P : Pertahankan intervensi
P : 20 x/mnt
ND: 78 x/mnt
09.20
3. Mengajarkan teknik nafas dalam
bila rasa nyeri datang
Hasilnya:
Klien nampak tarik nafas melalui
hidung dan mengeluarkannya
melalui mulut
II 09.30 Kamis 30-03-06
1. Mengganti balutan Jam: 11.10
Hasilnya:
Perawat mengganti verban S :
KONSEP APPENDICITIS
(USUS BUNTU)
A. Pengertian
C. Penyebab
Penyebab Appendisitis paling umum adalah inflamasi akut pada kuadran bawah kanan dari
rongga abdomen, penyebab ini paling umum untuk bedah abdomen darurat, kira-kira 7% dari
populasi akan mengalami appendisitis pada waktu yang bersamaan dalam hidup mereka. Pria
lebih sering dipengaruhi daripada wanita dan remaja lebih sering pada orang dewasa, meskipun
ini dapat terjadi pada usia berapapun, appendisitis paling sering terjadi antara usia 10 dan 30
tahun.
Menurut Irga, 2007, Terjadinya apendisitis akut umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri.
Namun terdapat banyak sekali faktor pencetus terjadinya penyakit ini. Diantaranya obstruksi
yang terjadi pada lumen apendiks. Obstruksi pada lumen apendiks ini biasanya disebabkan
karena adanya timbunan tinja yang keras ( fekalit), hipeplasia jaringan limfoid, penyakit cacing,
parasit, benda asing dalam tubuh, cancer primer dan striktur. Namun yang paling sering
menyebabkan obstruksi lumen apendiks adalah fekalit dan hiperplasia jaringan limfoid.
E. Klasifikasi Appendiks
Klasifikasi apendisitis dibagi menjadi 2 yaitu :
1. Apendisitis akut, dibagi atas: Apendisitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu setelah sembuh
akan timbul striktur lokal. Appendisitis purulenta difusi, yaitu sudah bertumpuk nanah.
2. Apendisitis kronis, dibagi atas: Apendisitis kronis fokalis atau parsial, setelah sembuh akan
timbul striktur lokal. Apendisitis kronis obliteritiva yaitu appendiks miring, biasanya ditemukan
pada usia tua.
F. Patofisiologi
Apendisitis biasa disebabkan oleh adanya penyumbatan lumen apendiks oleh hyperplasia folikel
limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau
neoplasma.
Feses yang terperangkap dalam lumen apendiks akan menyebabkan obstruksi dan akan
mengalami penyerapan air dan terbentuklah fekolit yang akhirnya sebagai kausa sumbatan.
Obstruksi yang terjadi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami
bendungan. Makin lama mukus semakin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai
keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan tersebut akan
menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukus.
Pada saat ini terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.
Sumbatan sebabkan nyeri sikitar umbilicus dan epigastrium, nausea, muntah. invasi kuman E
Coli dan spesibakteroides dari lumen ke lapisan mukosa, submukosa, lapisan muskularisa, dan
akhirnya ke peritoneum parietalis terjadilah peritonitis lokal kanan bawah. Suhu tubuh mulai
naik.
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan
menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding.
Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan
nyeri di area kanan bawah. Keadaan ini yang kemudian disebut dengan apendisitis supuratif
akut.
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan
gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh
pecah, akan menyebabkan apendisitis perforasi.
Bila proses tersebut berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak ke arah
apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrate apendikularis. Peradangan
apendiks tersebut akan menyebabkan abses atau bahkan menghilang.
Pada anak-anak karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, dinding apendiks
lebih tipis. Keadaan demikian ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang
memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena
telah ada gangguan pembuluh darah.
Obstruksi lumen
G. Komplikasi Apendisitis
Adapun tahapan peradangan apendisitis, antara lain :
1. Apendisitis akuta (sederhana, tanpa perforasi)
2. Apendisitis akuta perforate ( termasuk apendisitis gangrenosa, karena dinding apendiks
sebenarnya sudah terjadi mikroperforasi).
Beberapa komplikasi Appendiksitis yang dapat terjadi adalah
1. Perforasi
Keterlambatan penanganan merupakan alasan penting terjadinya perforasi. Perforasi appendix
akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai dengan demam tinggi, nyeri makin hebat
meliputi seluruh perut dan perut menjadi tegang dan kembung. Nyeri tekan dan defans muskuler
di seluruh perut, peristaltik usus menurun sampai menghilang karena ileus paralitik
(Syamsuhidajat, 1997).
Apendisitis adalah penyakit yang jarang mereda dengan spontan, tetapi peyakit ini tidak dapat
diramalkan dan mempunyai kecenderungan menjadi progresif dan mengalami perforasi. Karena
perforasi jarang terjadi dalam 8 jam pertama, observasi aman untuk dilakukan dalam masa
tersebut.
Tanda-tanda perforasi meliputi meningkatnya nyeri, spasme otot dinding perut kuadran kanan
bawah dengan tanda peritonitis umum atau abses yang terlokalisasi, ileus, demam, malaise,
leukositosis semakin jelas. Bila perforasi dengan peritonitis umum atau pembentukan abses telah
terjadi sejak klien pertam akali datang, diagnosis dapat ditegakkan dengan pasti.
Bila terjadi peritonitis umum terapi spesifik yang dilakukan adalah operasi untuk menutup asal
perforasi. Sedangkan tindakan lain sebagai penunjang : tirah baring dalam posisi fowler medium,
pemasangan NGT, puasa, koreksi cairan dan elektrolit, pemberian penenang, pemberian
antibiotik berspektrum luas dilanjutkan dengan pemberian antibiotik yang sesuai dengan kultur,
transfusi utnuk mengatasi anemia, dan penanganan syok septik secara intensif, bila ada.
Bila terbentuk abses apendiks akan teraba massa di kuadran kanan bawah yang cenderung
menggelembung ke arah rektum atau vagina. Terapi dini dapat diberikan kombinasi antibiotik
(misalnya ampisilin, gentamisin, metronidazol, atau klindamisin). Dengan sediaan ini abses akan
segera menghilang, dan apendiktomi dapat dilakaukan 6-12 minggu kemudian. Pada abses yang
tetap progresif harus segera dilakuakn drainase. Abses daerah pelvis yang menonjol ke arah
rektum atau vagina dengan fruktuasi positif juga perlu dibuatkan drainase.
Tromboflebitis supuratif dari sistem portal jarang terjadi tetapi merupakan komplikasi yang letal.
Hal ini harus dicurigai bila ditemukan demam sepsis, menggigil, hepatomegali, dan ikterus
setelah terjadi perforasi apendiks. Pada keadaan ini diindikasikan pemberian antibiotik
kombinasi dengan drainase. Komplikasi lain yang terjadi ialah abses subfrenikus dan fokal sepsis
intraabdominal lain. Obstruksi intestinal juga dapat terjadi akibat perlengketan.
2. Peritonitis
Peradangan peritoneum merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut
maupun kronis. Keadaan ini biasanya terjadi akibat penyebaran infeksi dari apendisitis. Bila
bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya
peritonitis generalisata. Dengan begitu, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus
paralitik, usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam
lumen usus menyebabkan dehidrasi, gangguan sirkulasi, oligouria, dan mungkin syok. Gejala :
demam, lekositosis, nyeri abdomen, muntah, Abdomen tegang, kaku, nyeri tekan, dan bunyi usus
menghilang (Price dan Wilson, 2006).
3. Massa Periapendikuler
Hal ini terjadi bila apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi pendindingan oleh
omentum. Umumnya massa apendix terbentuk pada hari ke-4 sejak peradangan mulai apabila
tidak terjadi peritonitis generalisata. Massa apendix dengan proses radang yang masih aktif
ditandai dengan keadaan umum masih terlihat sakit, suhu masih tinggi, terdapat tanda-tanda
peritonitis, lekositosis, dan pergeseran ke kiri. Massa apendix dengan proses meradang telah
mereda ditandai dengan keadaan umum telah membaik, suhu tidak tinggi lagi, tidak ada tanda
peritonitis, teraba massa berbatas tegas dengan nyeri tekan ringan, lekosit dan netrofil normal
(Ahmadsyah dan Kartono, 1995).
I. Pencegahan
Sering makan makanan berserat dan menjaga kebersihan.
J. Penatalaksanaan
Pembedahan diindikasikan bila diagnosa appendisitis telah diteteskan antibiotik dan cairan IV
diberikan sampai pembedahan dilakukan. Analgetik dapat diberikan setelah diagnosa ditegakkan.
Apendektomi (pembedahan untuk mengangkat apendiks) dilakukan sesegera mungkin untuk
menurunkan resiko perferasi. Appendiktomi dapat dilakukan di bawah anestesi umum atau spinal
dengan inersi abdomen bawah atau dengan laparoskopi, yang merupakan metode terbaru yang
sangat efektif.
Komplikasi-komplikasi utama appendisitis adalah terforasi appendiks, yang dapat berkembang
menjadi peritonitis atau abses mirdensperforasi adalah 10%-32% insiden lebih tinggi pada anak
kecil dan lansia. Perforasi secara umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup
demam dengan suhu 37,70C atau lebih tinggi, penampilan toksikdan nyeri atau nyeri tekan
abdomen yang kontinyu.
Intervensi keperawatan, tujuan keperawatan mencakup menghilangkan nyeri, mencegah
kekurangan volume cairan, mengurangi ansietas, menghilangkan infeksi karena potensial atau
gangguan aktual saluran gas traintestinal, mempertahankan integritas kulit dan mendapatkan
nutrisi yang optimum.
Pada praoperatif, perawat menyiapkan pasien untuk pembedahan, infus intravena digunakan
untuk meningkatkan fungsi ginjal adekuat dan menggantikan cairan lain yang telah hilang.
Aspirin dapat diberikan untuk mencegah infeksi. Apabila terdapat bukti atau kemungkinan
terjadi nasogastrik dapat dipasang. Enema tidak diberikan karena dapat menimbulkan perforasi.
Pada pascaoperatif, pasien ditempatkan pada posisi semi foluler. Posisi ini mengurangi tegangan
pada inersi dan organ abdomen yang membantu mengurangi nyeri oproid biasanya sulfat morfin
diberikan untuk menghilangkan nyeri. Cairan per oral biasanya diberikan bila mereka dapat
mentoleransi pasien yang mengalmai dehidrasi sebelum pembedahan diberikan cairan secara
intravena. Makanan dapat diberikan sesuai keinginan pada hall pembedahan bila dapat
ditoleransi.
K. Pembedahan
Pembedahan dikerjakan bila rehidrasi dan usaha penurunan suhu tubuh telah tercapai. Suhu
tubuh tidak melebihi 38oC, produksi urin berkisar 1-2 ml/kg/jam. nadi di bawah 120/menit.
1. Teknik pembedahan.
Insisi transversal di sebelah kanan sedikit di bawah umbilicus. Sayatan Fowler Weier lebih
dipilih, karena cepat dapat mencapai rongga abdomen dan bila diperlukan sayatan dapat
diperlebar ke medial dengan memotong fasi dan otot rectum.
Sebelum membuka peritoneum tepi sayatan diamankan dengan kasa. Membuka peritoneum
sedikit dahulu dan alat hisap telah disiapkan sedemikian rupa hingga nanah dapat langsung
terisap tanpa kontaminasi ke tepi sayatan. Sayatan peritoneum diperlebar dan penghisapan nanah
diteruskan. Apendektomi dikerjakan seperti biasa. Pencucian rongga peitonium mutlak
dikerjakan dengan larutan NaCl fisiologis sampai benar-benar bersih.
Cairan yang dimasukkan terlihat jerih sewaktu dihisap kembali. Pengumpulan nanah biasa
ditemukan di fosa apendiks, rongga pelvis, di bawah diafragma dan diantara usus-usus. Luka
sayatan dicuci dengan larutan NaCl fisiologis juga setelah peritonium dan lapisan fasia yang
menempel peritonium dan sebagian otot dijahit. Penjahitan luka sayatan jangan dilakukan terlalu
kuat dan rapat.
Pemasangan dren intraperitoneal masih merupakan kontroversi. Bila pencucian rongga
peritonium benar-benar bersih dren tidak diperlukan. Lebih baik dicuci bersih tanpa dren
daripada dicuci kurang bersih dipasang dren.
Catatan
Infiltrat radang apendiks yang penyebarannya dapat dibatasi oelh omentum dan usus-usus dan
peritonium di sekitarnya sehingga membentuk massa (appendiceal mass). Umumnya massa
apendiks terbentuk pada hari ke-4 sejak peradangan dimulai apabila tidak terjadi peritonitis
umum. Massa apendiks lebih sering dijumpai pada pasien berumur 5 tahun atau lebih; daya tahan
tubuh telah berkembang dengan baik dan omentum telah cukup panjang dan tebal untuk
membungkus proses radang.
2. Diagnosa keperawatan
a. Infeksi, resiko tinggi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan utama, perforasi atau
ruptur pada apendiks, peritonitis, pembentukan abses.
b. Kekurangan volume cairan, berhubungan dengan muntah pra operasi, pembatasan pasca
operasi.
c. Nyeri (akut) berhubungan dengan adanya insisi bedah.
d. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan intake menurun. Nafsu makan menurun
Berat badan menurun Porsi makan tidak dihabiskan Ada rasa mual muntah.
e. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan yang dirasakan.
f. Kurang pengetahuan berhubungan dengan perjalanan penyakit.
3. Intervensi keperawatan
a. Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan tubuh, ditandai
dengan : Suhu tubuh di atas normal. Frekuensi pernapasan meningkat. Distensi abdomen. Nyeri
tekan daerah titik Mc. Burney Leuco > 10.000/mm3.
Tujuan : Tidak akan terjadi infeksi dengan kriteria : Tidak ada tanda-tanda infeksi post operatif
(tidak lagi panas, kemerahan).
Intervensi :
1) Bersihkan lapangan operasi dari beberapa organisme yang mungkin ada melalui prinsip-
prinsip pencukuran.
Rasional : Pengukuran dengan arah yang berlawanan tumbuhnya rambut akan mencapai ke dasar
rambut, sehingga benar-benar bersih dapat terhindar dari pertumbuhan mikro organisme.
2) Beri obat pencahar sehari sebelum operasi dan dengan melakukan klisma.
Rasional : Obat pencahar dapat merangsang peristaltic usus sehingga bab dapat lancar.
Sedangkan klisma dapat merangsang peristaltic yang lebih tinggi, sehingga dapat mengakibatkan
ruptura apendiks.
3) Anjurkan klien mandi dengan sempurna.
Rasional : Kulit yang bersih mempunyai arti yang besar terhadap timbulnya mikro organisme.
4) HE tentang pentingnya kebersihan diri klien.
Rasional : Dengan pemahaman klien, klien dapat bekerja sama dalam pelaksaan tindakan.
b. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan adanya rasa mual dan muntah,
ditandai dengan : Kadang-kadang diare. Distensi abdomen. Tegang. Nafsu makan berkurang.
Ada rasa mual dan muntah.
Tujuan : Mempertahankan keseimbangan volume cairan dengan kriteria : Klien tidak diare.
Nafsu makan baik. Klien tidak mual dan muntah.
Intervensi :
1) Monitor tanda-tanda vital.
Rasional : Merupakan indicator secara dini tentang hypovolemia.
2) Monitor intake dan out put dan konsentrasi urine.
Rasional : Menurunnya out put dan konsentrasi urine akan meningkatkan kepekaan/endapan
sebagai salah satu kesan adanya dehidrasi dan membutuhkan peningkatan cairan.
3) Beri cairan sedikit demi sedikit tapi sering.
Rasional : Untuk meminimalkan hilangnya cairan.
c. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan distensi jaringan intestinal, ditandai dengan
: Pernapasan tachipnea. Sirkulasi tachicardia. Sakit di daerah epigastrum menjalar ke daerah Mc.
Burney Gelisah. Klien mengeluh rasa sakit pada perut bagian kanan bawah.
Tujuan : Rasa nyeri akan teratasi dengan kriteria : Pernapasan normal. Sirkulasi normal.
Intervensi :
1) Kaji tingkat nyeri, lokasi dan karasteristik nyeri.
Rasional : Untuk mengetahui sejauh mana tingkat nyeri dan merupakan indiaktor secara dini
untuk dapat memberikan tindakan selanjutnya.
2) Anjurkan pernapasan dalam.
Rasional : Pernapasan yang dalam dapat menghirup O2 secara adekuat sehingga otot-otot
menjadi relaksasi sehingga dapat mengurangi rasa nyeri.
3) Lakukan gate control.
Rasional : Dengan gate control saraf yang berdiameter besar merangsang saraf yang berdiameter
kecil sehingga rangsangan nyeri tidak diteruskan ke hypothalamus.
4) Beri analgetik.
Rasional : Sebagai profilaksis untuk dapat menghilangkan rasa nyeri (apabila sudah mengetahui
gejala pasti).
d. Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakitnya berhubungan dengan informasi kurang.
Gelisah. Wajah murung. Klien sering menanyakan tentang penyakitnya. Klien mengeluh rasa
sakit. Klien mengeluh sulit tidur.
Tujuan : Klien akan memahami manfaat perawatan post operatif dan pengobatannya.
Intervensi :
1) Jelaskan pada klien tentang latihan-latihan yang akan digunakan setelah operasi.
Rasional : Klien dapat memahami dan dapat merencanakan serta dapat melaksanakan setelah
operasi, sehingga dapat mengembalikan fungsi-fungsi optimal alat-alat tubuh.
2) Anjurkan aktivitas yang progresif dan sabar menghadapi periode istirahat setelah operasi.
Rasional : Mencegah luka baring dan dapat mempercepat penyembuhan.
3) Diskusikan kebersihan insisi yang meliputi pergantian verband, pembatasan mandi, dan
penyembuhan latihan.
Rasional : Mengerti dan mau bekerja sama melalui teraupeutik dapat mempercepat proses
penyembuhan.
e. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan intake menurun. Nafsu makan menurun
Berat badan menurun Porsi makan tidak dihabiskan Ada rasa mual muntah.
Tujuan : klien mampu merawat diri sendiri
Intervensi :
1) Kaji sejauh mana ketidakadekuatan nutrisi klien
Rasional : menganalisa penyebab melaksanakan intervensi.
2) Perkirakan / hitung pemasukan kalori, jaga komentar tentang nafsu makan sampai minimal
Rasional : Mengidentifikasi kekurangan / kebutuhan nutrisi berfokus pada masalah membuat
suasana negatif dan mempengaruhi masukan.
3) Timbang berat badan sesuai indikasi
Rasional : Mengawasi keefektifan secara diet.
4) Beri makan sedikit tapi sering
Rasional : Tidak memberi rasa bosan dan pemasukan nutrisi dapat ditingkatkan.
5) Anjurkan kebersihan oral sebelum makan
Rasional : Mulut yang bersih meningkatkan nafsu makan.
6) Tawarkan minum saat makan bila toleran.
Rasional : Dapat mengurangi mual dan menghilangkan gas.
7) Konsul tetang kesukaan/ketidaksukaan pasien yang menyebabkan distres.
Rasional : Melibatkan pasien dalam perencanaan, memampukan pasien memiliki rasa kontrol
dan mendorong untuk makan.
8) Memberi makanan yang bervariasi
Rasional : Makanan yang bervariasi dapat meningkatkan nafsu makan klien.
f. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan yang dirasakan. Kuku nampak kotor
Kulit kepala kotor Klien nampak kotor
Tujuan : klien mampu merawat diri sendiri
Intervensi :
1) Mandikan pasien setiap hari sampai klien mampu melaksanakan sendiri serta cuci rambut dan
potong kuku klien.
Rasional : Agar badan menjadi segar, melancarkan peredaran darah dan meningkatkan
kesehatan.
2) Ganti pakaian yang kotor dengan yang bersih.
Rasional : Untuk melindungi klien dari kuman dan meningkatkan rasa nyaman.
3) Berikan HE pada klien dan keluarganya tentang pentingnya kebersihan diri.
Rasional : Agar klien dan keluarga dapat termotivasi untuk menjaga personal hygiene.
4) Berikan pujian pada klien tentang kebersihannya.
Rasional : Agar klien merasa tersanjung dan lebih kooperatif dalam kebersihan.
5) Bimbing keluarga / istri klien memandikan
Rasional : Agar keterampilan dapat diterapkan.
6) Bersihkan dan atur posisi serta tempat tidur klien.
Rasional : Klien merasa nyaman dengan tenun yang bersih serta mencegah terjadinya infeksi.
4. Implementasi
Pelaksanaan adalah pemberian asuhan keperawatan secara nyata berupa serangkaian kegiatan
sistimatis berdasarkan perencanaan untuk mencapai hasil yang optimal. Pada tahap ini perawat
menggunakan segala kemampuan yang dimiliki dalam melaksanakan tindakan keperawatan
terhadap klien baik secara umum maupun secara khusus pada klien post apendektomi. Pada
pelaksanaan ini perawat melakukan fungsinya secara independen, interdependen dan dependen.
Pada fungsi independen adalah mencakup dari semua kegiatan yang diprakarsai oleh perawat itu
sendiri sesuai dengan kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya Pada fungsi interdependen
adalah dimana fungsi yang dilakukan dengan bekerja sama dengan profesi/disiplin ilmu yang
lain dalam keperawatan maupun pelayanan kesehatan, sedangkan fungsi dependen adalah fungsi
yang dilaksanakan oleh perawat berdasarkan atas pesan orang lain.
5. Evaluasi
Untuk mengetahui pencapaian tujuan dalam asuhan keperawatan yang telah dilakukan pada klien
perlu dilakukan evaluasi dengan mengajukan pertanyaan sebagai berikut : Apakah klien dapat
mempertahankan keseimbangan cairan dalam tubuh?. Apakah klien dapat terhidar dari bahaya
infeksi?. Apakah rasa nyeri akan dapat teratasi?. Apakah klien sudah mendapat informasi tentang
perawatan dan pengobatannya.
LAMPIRAN
PEMERIKSAAN ABDOMEN
Cara Pemeriksaan
Syarat-syarat pemeriksaan abdomen yang baik adalah :
1. Penerangan ruangan yang memadai.
2. Penderita dalam keadaan relaks.
3. Daerah abdomen mulai dari atas prosessus xiphoideus sampai sympisis pubis harus terbuka.
Untuk memudahkan relaksasi:
1. Kandung kencing harus kosong.
2. Penderita berbaring telentang dengan bantal di bawah kepalanya dan di bawah lututnya.
3. Kedua lengan diletakkan di samping badan, atau diletakkan menyilang pada dada. Tangan
yang diletakkan di atas kepala akan membuat dinding abdomen terenggang dan mengeras,
sehingga menyulitkan palpasi.
4. Menggunakan tangan yang hangat, permukaan stetoskop yang hangat dan kuku yang dipotong
pendek. Menggosokkan kedua tangan akan membantu menghangatkan tangan anda.
5. Meminta kepada penderita untuk menunjukkan daerah yang terasa sakit dan memeriksa
tersebut terakhir.
6. Melakukan pemeriksaan dengan perlahan, menghindarkan gerakan yang cepat dan tiba-tiba.
7. Apabila perlu, mengajak penderita berbicara.
8. Apabila penderita amat ketakutan atau kegelian, memulai dengan pemeriksaan dengan
menggenggam kedua tangannya di bawah tangan anda, kemudian secara pelan-pelan bergeser
untuk melakukan palpasi.
9. Memonitor pemeriksaan anda dengan memperhatikan muka/ekspresi penderita.
Biasakan untuk mengetahui keadaan di tiap bagian yang anda periksa. Pemeriksaan dilakukan
dari sebelah kanan penderita, dengan urutan inspeksi, auskultasi, perkusi, dan palpasi.
INSPEKSI
Mulai menginspeksi dinding abdomen dari posisi anda berdiri di sebelah kanan penderita.
Apabila anda akan memeriksa gerakan peristaltik, sebaiknya dilakukan dengan duduk, atau agak
membungkuk sehingga anda dapat melihat dinding abdomen secara tangensial.
Memperhatikan :
1. Kulit: Apakah ada sikotrik, stria, atau vena yang melebar. Secara normal, mungkin terlihat
vena-vena kecil. Stria yang berwarna ungu terdapat pada sindroma cushing dan vena yang
melebar dapat terlihat pada cirhosis hepatis atau bendungan vena cava inferior. Memperhatikan
puala apakah dan rash atau lesi-lesi lainnya.
2. Umbillkus: Memperhatikan bentuk dan lokasinya, dan apakah ada tanda-tanda inflamasi atau
hernia.
3. Memperhatikan bentuk permukaan (countur) abdomen termasuk daerah inguinal dan femaral:
datar, bulat, protoberant, atau scapold? Bentuk yang melendung mungkin disebabkan oleh asites.
Penonjolan suprapubik karena kehamilan atau kandungan kencing yang penuh. Tonjolan
asimetris mungkin terjadi karena pembesaran organ setempat atau masa.
4. Simetri dinding abdomen.
5. Pembesaran organ: meminta penderita untuk bernafas, memperhatikan apakah nampak adanya
hepar atau lien yang menonjol di bawah arcus casta.
6. Masa
7. Peristaltik: Apabila anda mencurigai adanya abstruksi usus, mengamati peristaltik selama
beberapa menit. Pada organ yang kurus, kadang-kadang peristaltik yang normal dapat terlihat.
8. Pulsasi: pulsasi aorta yang normal kadang-kadang dapat terlihat di daerah epigastrium.
AUSKULTASI
Pemeriksaan auskultasi abdomen berguna untuk memperkirakan gerakan usus, dan kemungkinan
adanya gangguan vaskuler, anda harus banyak berlatih hingga betul-betul mengenali keadaan
normal dan variasi normal. Auskultasi abdomen dilakukan sebelum perkusi dan palpasi, karena
kedua pemeriksaan tersebut dapat mempengaruhi frekuensi suara usus meletakkan diafragma
dari stetoskop anda dengan lembut pada abdomen.
Mendengarkan suara usus, dan memperhatikan frekuensi dan karakteristik suara yang normal
terdiri dari clicks dan gurgles, dengan frekuensi kira-kira 5 sampai dengan 35 per menit. Kadang-
kadang anda dapat mendengar harboryrmi yaitu gurgles yang panjang. Karena suara khusus akan
disebarkan ke seluruh abdomen, maka mendengarnya pada satu tempat saja, misalnya kuadran
kanan bawah biasanya sudah memadai. Suara usus ini dapat berubah pada diare, sumbatan usus,
ileus paralitikus dan peritonis.
Pada penderita dengan hipertensi, memeriksa daerah epigastrium dan daerah kuadran kanan dan
kiri atas, apakah ada bising. Bising pada sistole dan distole pada penderita hipertensi
menunjukkan adanya stenasis arteria renalis. Sedangkan bising sistole saja pada epigastrium
dapat terdapat pada orang normal.
Apabila dicurigai adanya insufisiensi arteri pada tungkai, memeriksa ada bising sistolik dan
diastolik pada arteria iliaca dan femoralis.
PERKUSI
Perkusi berguna untuk orientasi abdomen, untuk memperbaiki ukuran hepar, dan kadang-kadang
lien, menemukan asites, mengetahui apakah suatu masa padat atau kristik, dan untuk mengetahui
adanya udara pada lambung dan usus.
Orientasi
Melakukan perkusi pada keempat kuadran untuk memperbaiki distribusi suara timpani dan
redup. Biasanya suara timpanilah yang dominan karena adanya gas pada saluran gastraintestinal,
tetapi cairan dan feses menghasilkan suara redup. Pada sisi abdomen perhatikan daerah timpani
berubah menjadi redup. Memeriksa daerah suprapublik untuk mengetahui adanya kandungan
kencing yang teregang atas uterus yang membesar.
Di perkusi dada bagian bawah, antara paru dan arcus casta, anda akan mendengar suara redup
hepar di sebelah kanan, dan suara timpana di sebelah kiri karena gelembung udara pada lambung
dan fleksura splenikus kolon. Suara redup pada kedua sisi abdomen mungkin menunjukkan
adanya asites.
Hepar
Melakukan perkusi pada garis midklavikula kanan, mulai dari bawah umbikulus (di daerah suara
timpani) ke atas, sampai terdengar suara redup yang merupakan batas bawah hepar. Kemudian
melakukan perkusi dari daerah paru ke bawah untuk menentukan batas atas hepar. Sekarang
mengukur berapa sentimeter tinggi daerah redup hepar tersebut. Ukuran ini pada orang yang
tinggi, lebih besar daripada orang yang pendek, dan biasanya pria lebih besar dari wanita, pada
penderita penyakit abdtruksi paru kronik (COPD), batas bawah hepar dapat lebih ke bawah,
tetapi jarak/daerah redup hepar tidak berubah.
Apabila hepar tampaknya membesar, perkusilah daerah lain untuk mengetahui garis batas bawah
hepar.
Lien
Lien yang normal terletak pada lengkung diafragma, di sebelah pasterior garis midaxiler. Suatu
daerah kecil suara redup dapat ditemukan diantara suara sonar paru dan suara timpani, tetapi
mencari suara redup lien ini tidak banyak gunanya. Perkusi lien hanya berguna kalau dicurigai
atau didapatkan spienomegali. Apabila membesar, lien akan membesar ke arah anterior, pasterior
dan medial, mengganti suara timpani dari lambung dan kolon, menjadi suara redup.
PALPASI
Palpasi ringan (supenicial) berguna untuk mengetahui adanya ketegangan otot nyeri tekan
abdomen, dan beberapa organ dan masa supenicial.
Dengan posisi tangan dan lengan bawah horizontal, dengan menggunakan telapak ujung jari-jari
secara bersama-sama, melakukan gerakan menekan yang lembut dan ringan. Hindarkan suatu
gerakan yang menghentak. Dengan perlahan rasakan semua kuadran. Mencari adanay masa atau
organ, daerah nyeri tekan, atau daerah yang tegangan ototnya lebih tinggi (spasme). Apabila
terdapat tegangan, dicari apakah ini disadari atau tidak, dengan mencoba cara merelaskan
penderita dan melakukan palpasi pada waktu ekspirasi.
Palpasi dalam biasanya diperlukan untuk pemeriksaan/memeriksa masa diabdomen. Dengan
menggunakan permukaan pallar dari ujung jari, melakukan palpasi dalam untuk mengetahui
adanya masa. Menentukan lokasinya, ukurannya, bentuknya, konsistensinya, mobilitasnya,
apakah terasa nyeri pada tekanan.
Apabila palpasi dalam sulit dilakukan (misalnya pada obesitas atau otot yang tegang),
menggunakan dua tangan, satu di atas yang lain.
Masa di abdomen dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis fisiologis (uterus dalam
kehamilan): inflamasi (diverticulitis colon atau pseudacyts pancreas): vaskuler (aneurisma aorta):
neoplastik (uterus yang miamatosa, karsinamakolon atau ovarium) atau abstruksi (kandung
kencing yang teregang).
DAFTAR PUSTAKA
LAPORAN KASUS
KTI
DisusununtukmemenuhisebagaisyaratmatakuliahTugasAkhir
Oleh:
HARIS ALBASIT
NIM. P17420513031
PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN MAGELANG
JURUSAN KEPERAWATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG
MARET,2016
BAB I
PENDAHULUAN
abdomen akut yang paling sering terjadi (Dermawan & Rahayuningsih, 2012).
Istilah usus buntu yang dikenal di masyarakat awam adalah kurang tepat karena usus
yang buntu sebenarnya adalah sekum. Apendiks diperkirakan ikut serta dalam system
efek fungsi system imun yang jelas (Syamsyuhidayat, 2005). Peradangan pada apendiks
selain mendapat intervensi farmakologik juga memerlukan tindakan bedah segera untuk
mencegah komplikasi dan memberikan implikasi pada perawat dalam bentuk asuhan
keperawatan.
pembentukan masa periapendikular. Perforasi dengan cairan inflamasi dan bakteri masuk
terjadi peritonitis. Apabila perforasi apendiks disertai dengan material abses, maka akan
memberikan manifestasi nyeri lokal akibat akumulasi abses dan kemudian juga akan
memberikan 2 respons peritonitis. Manifestasi yang khas dari perforasi apendiks adalah
nyeri hebat yang tiba - tiba datang pada abdomen kanan bawah (Tzanakis, 2010).
Angka kejadian apendisitis di dunia mencapai 3442 juta kasus tiap tahun (Stacroce,
2013). Statistik di Amerika mencatat setiap tahun terdapat 30 – 35 juta kasus apendisitis
lebih rendah akan tetapi cenderung meningkat oleh karena pola diitnya yang mengikuti
orang barat.
dirawat di rumah sakit sebanyak 4.351 kasus. Jumlah ini meningkat drastis dibandingkan
dengan tahun sebelumnya, yaitu sebanyak 3.236 orang. Awal tahun 2014, tercatat 1.889
orang di Jakarta yang dirawat di rumah sakit akibat apendisitis (Depkes RI, 2013).
tingkat lokal dan nasional karena mempunyai dampak besar pada kesehatan masyarakat
(Depkes RI, 2013). Dinas kesehatan Jawa tengah menyebutkan pada tahun 2014 jumlah kasus
apendisitis sebanyak 1.355 penderita, dan 190 penderita diantaranya menyebabkan kematian.
Berdasarkan data yang diperoleh dari RST Dokter Soedjono Magelang pada tahun
2014 prevalensi dari semua kasus penyakit pembedahan digestive ditemukan ada 354
kasus dengan kejadian apendisitis berjumlah 266 kasus sebanyak (75%). Laki - laki
berjumlah 136 penderita sebanyak (51%), sedangkan perempuan 130 penderita sebanyak
Sedangkan data yang diperoleh dari RST Dokter Soedjono Magelang pada periode 1
Januari sampai dengan 31 September 2015 prevalensi dari semua kasus penyakit
pembedahan digestive ditemukan 245 kasus dengan kejadian apendisitis berjumlah 159
sebanyak 84 penderita (53%), dan angka kejadian apendisitis yang dilakukan pembedahan
sebanyak 146 penderita (92%) dan yang tidak dilakukan pembedahan sebanyak 13
penderita (8%).
atau perforasi. Insiden perforasi adalah 10% sampai 32%. Perforasi terjadi secara umum
24 jam pertama setelah awitan nyeri. Angka kematian yang timbul akibat terjadinya
perforasia dalah 10 - 15% dari kasus yang ada, sedangkan angka kematian penderita
apendisitis akut adalah 0,2% - 0,8% yang berhubungan dengan komplikasi penyakitnya
menimbulkan nyeri bagi penderita. Dapat terjadi perdarahan di dalam, syok, hipertermia
Alternatif penulis untuk mengatasi masalah pada penderita apendisitis yang tidak
Hal ini didukung menurut pendapat (Tzanakis, 2010) yang berbunyi, bahwa pada
Perforasi dengan cairan inflamasi dan bakteri masuk ke rongga abdomen lalu
yang bisa dilakukan pada penderita harus segera untuk dilakukan pembedahan agar tidak
terjadi abses dan peritonitis yang lebih parah. Peradangan yang sudah berlanjut dan
infeksi sudah menyebar keseluruh rongga perut akibatnya terjadi perluasan infeksi pada
organ yang lain. Penderita yang sudah dalam infeksi berat dapat mengakibatkan kematian
apendisitis yang setelah dilakukan pembedahan adalah relaksasi dan distraksi, pencegahan
infeksi, dan observasi tanda - tanda vital. Hal ini didukung menurut pendapat (Tzanakis,
2010) yang berbunyi, mengajarkan teknik relaksasi distraksi pada penderita agar nyeri
yang ditimbulkan akibat dari perlukaan jaringan dapat mengurangi rasa nyeri yang
dirasakan. Kemudian hal penting yang perlu diidentifikasi dalam mencegah infeksi setelah
pembedahan mencakup; kondisi luka atau balutan, perdarahan, warna insisi dan jahitan,
drain, tanda – tanda infeksi, tipe eksudat dan jumlah serta sumber - sumber lain yang
dapat menyebabkan risiko infeksi. Teknik aseptik yang tepat harus diperhatikan pada saat
mengganti balutan. Dilakukan observasi tanda – tanda vital untuk mengetahui terjadinya
Dari penjelasan di atas penulis tertarik untuk mengambil judul “Asuhan Keperawatan
Post Operasi Apendisitis pada Tn. X di Bangsal X RST Dokter Soedjono Magelang”
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
2. Tujuan Khusus
operasi apendisitis
operasi apendisitis
f. Menggambarkan kesenjangan antara teori dan kondisi nyata di layanan kesehatan terkait
post apendisitis
C. ManfaatPenulisan
Hasil laporan kasus ini diharapkan dapat memberi manfaat praktis dalam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Apendisitis
1. Definisi
Menurut Gruendemann (2006) (cit Arif dan Kumala, 2013), Apendiks (umbai cacing)
merupakan perluasan sekum yang rata-rata panjangnya adalah 10cm. Ujung apendiks
Apendisitis adalah kasus bedah abdomen darurat yang paling sering terjadi.
Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada apendiks vermiformis dan merupakan
penyebab abdomen akut yang paling sering terjadi. Apendiks disebut juga umbai cacing
(Andran & Yessie. 2013, p. 88). Menurut Price (2006) apendisitis adalah peradangan
apendiks yang mengenai semua lapisan dinding organ tersebut yang disebabkan oleh agen
infeksi.
2. Klasifikasi
1) Apendisitis Akut
a) Apendisitis Akut Sederhana (Cataral Apendisitis)
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan obstruksi.
Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen apendiks dan terjadi peningkatan tekanan dalam
lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa apendiks jadi menebal, edema, dan
kemerahan. Gejala diawali dengan rasa nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah,
anoreksia, malaise, dan demam ringan. Pada apendisitis kataral terjadi leukositosis dan
apendiks terlihat normal, hiperemia, edema, dan tidak ada eksudat serosa.
terbendungnya aliran vena pada dinding apendiks dan menimbulkan trombosis. Keadaan
ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang ada di usus
besar berinvasi ke dalam dinding apendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa
menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Apendiks dan mesoapendiks terjadi
edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat fibrinopurulen. Ditandai dengan
rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan, nyeri lepas di titik Mc Burney, dan nyeri
Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai terganggu
sehingga terjadi infrak dan ganggren. Selain didapatkan tanda-tanda supuratif, apendiks
mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding apendiks berwarna ungu, hijau
dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga membentuk
gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya.
e) Apendisitis Abses
Apendisitis abses terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus), biasanya
di fossa iliaka kanan, lateral dari sekum, retrocaecal, subcaecal, dan pelvic.
f) Apendisitis Perforasi
menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum. Pada
g) Apendisitis Kronis
radang yang persisten akibat infeksi mikroorganisme dengan virulensi rendah, khususnya
obstruksi parsial terhadap lumen. Diagnosa apendisitis kronis baru dapat ditegakkan jika
ada riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang
histologis, dinding appendiks menebal, sub mukosa dan muskularis propia mengalami
fibrosis. Terdapat infiltrasi sel radang limfosit dan eosinofil pada sub mukosa, muskularis
propia, dan serosa. Pembuluh darah serosa tampak dilatasi (Soeparman dalam USU
Menurut Smeltzer (2002) (cit Andra & Yessie, 2013), menyatakan apendisitis akut
adalah penyebab paling umum inflamasi akut pada kuadran bawah kanan rongga
abdomen, penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat. Menurut Lindseth, 2006
(cit Andra & Yessie, 2013) apendisitis akut adalah nyeri atau rasa tidak enak di sekitar
umbilicus berlangsung antara 1-2 hari. Beberapa jam nyeri bergeser ke kuadran kanan
bawah (titik Mc Burney) dengan disertai mual, anoreksia dan muntah. Menurut Pieter
(2005) (Andra & Yessie, 2013) apendisitis kronik adalah nyeri perut kanan bawah lebih
apendiks kronik adalah fibrosis menyeluruh dinding apendiks adanya jaringan parut dan
3. Etiologi
c. Tumor
4. Manifestasi Klinis
Menurut Andra dan Yessie (2013) tanda terjadinya apendisitis antara lain:
a. Nyeri pindah ke kanan bawah (yang menetap dan diperberat bila berjalan atau batuk)
dan menunjukkan tanda rangsangan peritoneum lokal di titik Mc. Burney : nyeri tekan,
e. Nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti napas dalam, berjalan, batuk,
mengedan
g. Demam
Gejala-gejala permulaan pada apendisitis yaitu perasaan tidak enak sekitar umbilikus
diikuti oleh anoreksia, nausea dan muntah, gejala ini umumnya berlangsung lebih dari 1
atau 2 hari.Beberapa jam nyeri bergeser ke kuadran kanan bawah dan mungkin terdapat
nyeri tekan sekitar titik Mc. Burney, kemudian dapat timbul spasme otot dan nyeri
ruptureapendiks terjadi nyeri sering sekali hilang secara dramatik untuk sementara.
5. Pemeriksaan
a. Laboratorium, terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan C-reactive protein (CRP).
(leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum
yang meningkat. CRP adalah salah satu komponen protein fase akut yang akan meningkat
4-6 jam setelah terjadinya proses inflamasi, dapat dilihat melalui proses elektroforesis
serum protein. Angka sensitivitas dan spesifisitas CRP yaitu 80% dan 90%.
Scanning (CT-scan). Pada pemeriksaan USG ditemukan bagian memanjang pada tempat
yang terjadi inflamasi pada apendiks, sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan
bagian yang menyilang dengan fekalith dan perluasan dari apendiks yang mengalami
inflamasi serta adanya pelebaran sekum. Tingkat akurasi USG 90-94% dengan angka
sensitivitas dan spesifisitas yaitu 85% dan 92%, sedangkan CT-Scan mempunyai tingkat
akurasi 94-100% dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi yaitu 90-100% dan 96-
97%.
2) Pemeriksaan colok dubur : menyebabkan nyeri bila di daerah infeksi, bisa dicapai dengan
jari telunjuk. Menurut Craig, (2009) (cit Arif & Tutik, 2010, p. 505) pemeriksaan colok
tentukan diameter anus dengan mencocokkan jari. Apabila yang diperiksa adalah
pediatrik, maka jari kelingking diperlukan untuk melakukan colok dubur. Pemeriksaan
colok dubur dengan manifestasi nyeri pada saat palpasi mencapai area
inflamasi.Pemeriksaan juga mendeteksi adanya feses atau masa inflamasi apendiks. Pada
rectal taoucher, apabila terdapat nyeri pada arah jam 10-11 merupakan petunjuk adanya
perforasi.
Pemeriksaan fisik menurut Deden &Tutik (2010, p. 85) ada 2 cara pemeriksaan, yaitu:
a) Psoas Sign
Penderita terlentang, tungkai kanan harus lurus dan ditahan oleh pemeriksa. Penderita
disuruh aktif memfleksikan articulatio coxae kanan, akan terasa nyeri di perut kanan
b) Obtrutor Sign
Gerakan fleksi dan endorotasi articulatio coxae pada posisi supine akan menimbulkan
nyeri. Bila nyeri berarti kontak dengan Obturator internus, artinya apendiks terletak di
pelvis.
6. Patofisiologi
limfoid, fekalit, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya atau neoplasma.
Obstruksi tersebut menyebabkan mucus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding
tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan
edema. Diaforesis bakteri dan ulserasi mukosa pada saatinilah terjadi apendiksitis fokal
Sekresi mucus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan
mengakibatkan obstruksi vena, edema bertambah dan bakteri akan menembus dinding
apendiks. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritonium setempat sehingga
menimbulkan nyeri di abdomen kanan bawah, keadaan ini disebut apendisitis supuratif
akut. Aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan
gangrene, stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah
bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrate
Pada anak-anak karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, dinding
apendiks lebih tipis, keadaan tersebut ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih
jaringan parut yang melengket dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat
menimbulkan keluhan berulang di perut kanan bawah. Suatu saat, organ ini dapat
meradang akut lagi dan dinyatakan sebagai mengalami eksaserbasi akut (Sjamsuhidajat,
2012).
7. Penatalaksanaan
a. Sebelum operasi
1) Observasi
Dalam 8-12 jam setelah timbulnya keluhan, tanda dan gejala apendisitis
seringkalibelum jelas, dalam keadaan ini observasi ketat perlu dilakukan. Penderita
diminta melakukan tirah baring dan dipuasakan. Pemeriksaan abdomen dan rectal serta
pemeriksaan darah (leukosit dan hitung jenis) diulang secara periodik, foto abdomen dan
thoraks dilakukan untuk mencari kemungkinan adanya penyulit lain. Kebanyakan kasus
diagnosa ditegakkan dengan lokalisasi nyeri di daerah kanan bawah dalam 12 jam setelah
timbulnya keluhan.
2) Antibiotik
b. Operasi
anestesi umum dengan insisi abdomen bawah atau dengan laparoscopy, yang merupakan
laparoscopy yang merupakan teknik pembedahan minimal invasif dengan metode terbaru
1) Laparotomy
Laparotomy adalah prosedur yang membuat irisan vertikal besar pada dinding perut
ke dalam rongga perut. Menurut referensi lain laparotomy adalah salah operasi yang
dilakukan pada daerah abdomen. Prosedur ini memungkinkan dokter melihat dan
merasakan organ dalam dalam membuat diagnosa apa yang salah. Adanya teknik
diagnosa yang tidak invansif, laparotomy semakin kurang digunakan dibandingkan masa
lalu. Prosedur ini hanya dilakukan jika semua prosedur lainnya yang tidak membutuhkan
operasi, seperti pemeriksaan sinar X atau tes darah atau urineatau tesdarah, gagal
invansifnya juga membuat laparotomy tidak sesering di masa lalu. Bila laparotomy
apabila terjadi masalah kesehatan yang berat pada area abdomen, misalnya trauma
abdomen. Perawatan post laparotomy adalah bentuk pelayanan perawatan yang diberikan
penderita merasakan nyeri perut hebat dan gejala-gejala lain dari masalah internal yang
serius dan kemungkinan penyebabnya tidak terlihatusus buntu, tukak peptik yang
berlubang atau kondisi ginekologi, perlu dilakukan operasi untuk menemukan dan
mengoreksinya sebelum terjadi kerusakan lebih lanjut. Sejumlah operasi yang membuang
usus buntu berawal dari laparotomy. Beberapa kasus laparotomy mungkin hanyalah
prosedur kecil. Pada kasus lain, laparotomy bisa berkembang menjadi pembedahan besar,
diikuti oleh transfusi darah dan masa perawatan intensif (David ,Arnot, dkk. 2009).
2) Laparoscopy
Laparoscopy berasal dari kata lapara yaitu bagian dari badan mulai iga paling bawah
sampai dengan panggul. Teknologi laparoscopy ini bisa digunakan untuk melakukan
pengobatan dan juga untuk melakukan diagnosa terhadap penyakit yang belum jelas.
2) Medan penglihatan diperbesar 20 kali, tentunya halini lebih membantu ahli bedah dalam
melakukan pembedahan.
3) Secara kosmetik bekas luka sangat berbeda dibandingkan dengan luka operasi pasca
diminimalkan, masa pulih setelah pembedahan jauh lebih cepat dan masa rawat di rumah
sakit menjadi lebih pendek, sehingga penderita bisa kembali beraktivitas normal lebih
cepat.
c. Pasca operasi
Dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya perdarahan di dalam,
fowler.Penderita dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjadi gangguan, selama itu
penderita dipuasakan sampai fungsi usus kembali normal. Satu hari pasca operasi
penderita dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur selama 2x30 menit. Hari kedua
dapat dianjurkan untuk duduk di luar kamar. Hari ke tujuh jahitan dapat diangkat dan
1. Pengkajian
Menurut Perry Potter (2007) pengkajian pada penderita post operasi adalah:
dangkal, lambat, dan batuk lemah. Kaji patensi jalan napas, laju napas, irama, kedalaman
ventilasi, simetri gerakan dinding dada, suara napas, dan warna mukosa. Nilai normal
oksimeter pulsa berkisar antara 92% dan 100% saturasi. Kebingungan pasca operasi
b. Sirkulasi
hilangnya darah aktual atau potensial dari tempat pembedahan, efek samping dari
normal. Pengkajian yang telah diteliti terhadap denyut dan irama jantung, bersama
kapiler dengan mencatat pengisian kembali kapiler, denyut, serta warna kuku dan
temperatu kulit.Masalah umum awal sirkulasi adalah perdarahan. Kehilangan darah
dapat terjadi secara eksternal melalui saluran atau sayatan internal. Kedua tipe ini
menghasilkan perdarahan dan penurunan tekanan darah, jantung, dan laju pernapasan
meningkat, nadi terdengar lemah, kulit dingin, lembab, pucat, dan gelisah.
c. Kontrol Suhu
Kaji status hidrasi dan pantau fungsi jatung dan saraf untuk tanda-tanda perubahan
elektrolit. Monitor dan bandingkan nilai-nilai laboratorium dengan nilai-nilai dasar dari
penderita. Catatan yang akurat dari asupan dan keluaran dapat menilai fungsi ginjal dan
peredaran darah. Ukur semua sumber keluaran, termasuk urine, keluaran dari
pembedahan, drainase luka dan perhatikan setiap keluaran yang tidak terlihat dari
diaforesis.
e. Fungsi Neurologi
Kaji refleks pupil dan muntah, cengkeraman tangan, dan gerakan kaki. Jika penderita
telah menjalani operasi melibatkan sebagian sistem saraf, lakukan pengkajian neurologi
Perhatikan jumlah, warna, bau dan konsistensi drainase diperban. Pada penggantian
perban pertama kalinya perlu dikaji area insisi, jika tepi luka berdekatan dan untuk
g. Fungsi Perkemihan
Anestesi epidural atau spinal sering mencegah penderita dari sensasi kandung kemih
yang penuh. Raba perut bagian bawah tapat di atas simfisis pubis untuk mengkaji distensi
kandung kemih. Jika penderita terpasang kateter urine, harus ada aliran urine terus-
menerus sebanyak 30-50 ml/jam pada orang dewasa. Amati warna dan bau urine,
pembedahan yang melibatkan saluran kemih biasanya akan menyebabkan urine berdarah
h. Fungsi Gastrointestinal
Inspeksi abdomen untuk memeriksa perut kembung akibat akumulasi gas. Perawat
perlu memantau asupan oral awal penderita yang berisiko menyebabkan aspirasi atau
adanya mual dan muntah. Kaji juga kembalinya peristaltik setiap 4 sampai 8 jam.
Auskultasi perut secara rutin untuk mendeteksi suara usus kembali normal, 5-30 bunyi
keras per menit pada masing-masing kuadran menunjukkan gerak peristaltik yang telah
kembali. Suara denting tinggi disertai oleh distensi perut menunjukkan bahwa usus tidak
berfungsi dengan baik. Tanyakan apakah penderita membuang gas (flatus), ini merupakan
i. Kenyamanan
Penderita merasakan nyeri sebelum mendapatkan kembali kesadaran penuh. Nyeri insisi
mungkin bertanggungjawab atas perubahan sementara pada tanda vital. Kaji nyeri
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut
1) Definisi:
Pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan akibat adanya kerusakan
jaringan yang aktual atau potensial, atau digambarkan dengan istilah seperti
(International Association for the Study of Pain), awitan yang tiba-tiba atau perlahan
dengan intensitas ringan sampai berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau dapat
2) Batasan karakteristik:
a) Subjektif :
b) Objektif :
(2) Perubahan tonus otot (dengan rentang dari lemas tidak bertenaga sampai kaku)
(3) Respon autonomik ( misalnya, diaforesis; perubahan tekanan darah, pernapasan, atau
(5) Perilaku distraksi (misalnya, mondar-mandir, mencari orang dan/ atau aktivitas lain,
aktivitas berulang)
(6) Perilaku ekspresif (misalnya, gelisah, merintih, menangis, kewaspadaan berlebihan, peka
(8) Fokus menyempit (misalnya, gangguan persepsi waktu, gangguan proses pikir, interaksi
menyeringai)
1) Definisi:
2) Batasan Karakteristik:
a) Subjektif :
b) Objektif :
faktor biologis, psikologis, atau ekonomi, termasuk contoh non-NANDA berikut ini:
1) Definisi : Keterbatasan dalam pergerakan fisik mandiri dan terarah pada tubuh atau satu
2) Batasan karekteristik
rentang gerak sendi, ketidakstabilan postur tubuh (saat melakukan rutinitas aktivitas
terkoordinasi
Perubahan metabolisme sel, gangguan kognitif, penurunan kekuatan/ kendali / massa otot,
pembatasan pergerakan, gaya hidup yang kurang gerak, malnutrisi, gangguan sensori
persepsi.
d. Konstipasi
1) Definisi:
Penurunan frekuensi normal defekasi yang disertai pengeluaran feses yang sulit atau tidak
2) Batasan karakteristik:
a) Subjektif
(1) Nyeri abdomen
(2) Nyeri tekan pada abdomen dengan atau tanpa resistansi otot yang dapat dipalpasi
b) Objektif
b) Antikolinergis
c) Antidepresan
d) Diuretik
e) Sedatif
1) Definisi : kondisi individu yang berisiko mengalami dehidrasi vascular, selular atau
intraselular kapiler.
2) Faktor resiko :
a) Objektif :
(1) Penyimpangan yang memengaruhi akses untuk pemasukan atau absorbsi cairan
(7) Kehilangan cairan melalui rute yang tidak normal (misalnya, slang kateter menetap).
hiperaldosteronisme)
f. Ansietas
1) Definisi:
Perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran yang samar disertai respons autonom
(sumber sering kali tidak spesifik atau tidak diketahui oleh individu); perasaan takut yang
disebabkan oleh antisipasi tehadap bahaya. Perasaan ini merupakan isyarat kewaspadaan
yang memperingatkan bahaya yang akan terjadi dan memampukan individu melakukan
2) Batasan karakteristik :
a) Perilaku :
gelisah, memandang sekilas, insomnia, kontak mata buruk, resah, menyelidik dan tidak
waspada
b) Afektif
Gelisah, kesedihan yang mendalam, fokus pada diri sendiri, gugup, marah, menyesal,
c) Fisiologis
Wajah tegang, peningkatan keringat, gemetar atau tremor di tangan, suara bergetar
d) Parasimpatis
Nyeri abdomen, penurunan tekanan darah, penurunaan nadi, pingsan, sering berkemih
e) Simpatis
f) Kognitif
a) Terpajan toksin
b) Stres
c) Ancaman atau perubahan pada status peran, fungsi peran, lingkungan, status kesehatan
g. Risiko infeksi
1) Definisi:
a) Penyakit kronis
3. Perencanaan
Rencana keperawatan dengan penderita post operasi apendisitis menurut Wilkinson, J dan
Ahern (2013) :
a. Nyeri akut
1) Kriteria hasil :
b) Menunjukkan tingkat nyeri, yang dibuktikan oleh indikator sebagai berikut (sebutkan 1-
(5) Gelisah
2) Intervensi :
b) Minta penderita untuk menilai nyeri atau ketidaknyamanan pada skala 0 samapi 10 (0 =
c) Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif meliputi lokasi, karakteristik, awitan dan
durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau keparahan nyeri, dan faktor presipitasinya.
e) Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan
hangat atau dingin, massase sebelum dan sesudah, dan jikamemungkinkan selama
g) Bantu penderita untuk lebih fokus pada aktivitas, bukan pada nyeri dan rasa tidak
nyaman dengan melakukan pengalihan melalui televisi, radio,tape, dan interaksi dengan
pengunjung
1) Kriteria hasil :
a) Memperlihatkan status gizi : asupan makanan dan cairan, yang dibuktikan oleh indikator
sebagai berikut (sebutkan 1-5 : tidak adekuat,sedikit adekuat, cukup adekuat, adekuat,
sangat adekuat)
(1) Makanan oral, pemberian makanan lewat selang, atau nutrisi parenteral total
c) Memiliki nilai laboratorium (misalnya, transferin, albumin, dan elektrolit dalam batas
normal)
2) Intervensi :
b) Instruksikan penderita agar menarik napas dalam, perlahan, dan menelan secara sadar
c) Letakkan makanan pada bagian mulut yang tidak bermasalah untuk memudahkan
menelan.
d) Berikan informasi yang tepat tentang kebutuhan nutrisi dan bagaimana memenuhinya.
e) Tentukan dengan melakukan kolaborasi bersama ahli gizi, jika diperlukan, jumlah kalori
dan jenis zat gizi yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi (khususnya untuk
penderita dengan kebutuhan energi tinggi, seperti penderita pascabedah dan luka bakar,
dianjurkan.
1) Kriteria hasil :
performa posisi tubuh, pergerakan sendi dan otot, berjalan dan bergerak dengan mudah).
2) Intervensi :
(1) Kaji kebutuhan terhadap bantuan pelayanan kesehatan di rumah dan kebutuhan
(5) Ajarkan penderita dalam mengggunakan postur tubuh yang benar saat melakukan
aktivitas
(4) Ajarkan dan dukung penderita dalam latihan ROM aktif atau pasif
(5) Letakkan posisi yang terapeutik (misalnya hindari penempatan punting amputasi pada
posisi fleksi)
d. Konstipasi
1) Kriteria hasil :
a) Konstipasi menurun, yang dibuktikan oleh defekasi (sebutkan 1-5 : gangguan ekstrem,
d) Konstipasi menurun, yang dibuktikan oleh defekasi (sebutkan 1-5 : sangat berat ekstrem,
2) Intervensi :
a) Dapatkan data dasar mengenai program defekasi, aktivitas, pengobatan, dan pola
kebiasaan penderita
c) Identifikasi faktor (misalnya, pengobatan, tirah baring, dan diet) yang dapat
menyebabkan konstipasi.
g) Konsultasi dengan ahli gizi untuk meningkatkan serat dan cairan dalam diet
e. Ansietas
1) Kriteria hasil :
a) Ansietas berkurang, dibuktikan oleh bukti tingkat ansietas hanya ringan sampai sedang,
konsentrasi
2) Intervensi :
a) Kaji faktor budaya (misalnya konflik nilai) yang menjadi penyebab ansietas
f. Risiko infeksi
1) Kriteria hasil :
a) Faktor risiko infeksi akan hilang, dibuktikan dengan : status imun, keparahan infeksi, dan
penyembuhan luka
2) Intervensi :
a) Pantau tanda dan gejala infeksi (misalnya, suhu tubuh, denyut jantung, drainase,
c) Bersihkan, pantau, dan fasilitasi proses penyembuhan luka yang ditutup dengan jahitan.
4. Evaluasi
Evaluasi keperawatan dengan penderita post operasi apendisitis menurut Wilkinson, J dan
Ahern (2013)
a. Nyeri akut
1). Memperlihatkan pengendalian nyeri, yang dibuktikan oleh indikator sebagai berikut
e) Gelisah
1) Memperlihatkan status gizi : asupan makanan dan cairan, yang dibuktikan oleh indikator
sebagai berikut (sebutkan 1-5 : tidak adekuat,sedikit adekuat, cukup adekuat, adekuat,
sangat adekuat)
2) Makanan oral, pemberian makanan lewat selang, atau nutrisi parenteral total
5) Memiliki nilai laboratorium (misalnya, transferin, albumin, dan elektrolit dalam batas
normal)
1) gangguan ekstrem, berat, sedang, ringan, atau tidak mengalami gangguan keseimbangan,
koordinasi, performa posisi tubuh, pergerakan sendi dan otot, berjalan dan bergerak
dengan mudah).
d. Konstipasi
1) Konstipasi menurun, yang dibuktikan oleh defekasi (sebutkan 1-5 : gangguan ekstrem,
4) Konstipasi menurun, yang dibuktikan olehdefekasi (sebutkan 1-5 : sangat berat ekstrem,
e. Ansietas
1) Ansietas berkurang, dibuktikan oleh bukti tingkat ansietas hanya ringan sampai sedang,
konsentrasi
f. Risiko infeksi
1) Faktor risiko infeksi akan hilang, dibuktikan dengan : status imun, keparahan infeksi, dan
penyembuhan luka
BAB III
TINJAUAN KASUS
WIB. Pengkajian dilakukan tanggal 12 Januari 2016 pukul 10.00 WIB di ruang Cempaka
Nama Ny. M, umur 18 tahun, jenis kelamin perempuan, agama Islam, pendidikan
terakhir SMP, alamat Borobudur, Magelang, penanggung jawab Tn. M, umur 21 tahun,
B. Pengkajian (assesment) :
Keluhan utama penderita adalah nyeri pada luka post op. Riwayat penyakit
sekarang pasien dioperasi pada tanggal 11 Januari 2016 pukul 11.00 WIB, operasi
apendektomi dengan anestesi spinal. Saat dikaji penderita mengeluh nyeri pada luka post
penyakit dahulu, penderita sebelumnya belum pernah masuk rumah sakit. Riwayat
penyakit keluarga, penderita mengatakan di dalam keluarganya tidak ada yang menderita
penyakit keturunan seperti hipertensi, diabetes melitus dan penyakit menular seperti TBC
dan hepatitis.
Pengkajian Fokus pada penderita, Hasil yang didapatkan dari pengkajian pada
tanggal 12 Januari 2016 pukul 10.00 WIB yaitu Tekanan Darah 120/70 mmHg, nadi: 72
x/menit, respiratory rate: 22 x/menit, suhu: 36,20C. Aktivitas atau istrahat, penderita dapat
sediki-sedikit sudah mulai bisa tidur miring ke kanan dan ke kiri tidak maksimal dan
belum bisa duduk karena ada luka di post op di perut kanan bawah. Pengkajian sirkulasi,
penderita mengatakan pusing TD: 120/70 mmHg, nadi: 72x/menit, respiratory rate:
22x/menit, suhu: 36,20C. Penderita tidak ada distensi kandung kemih, sudah berkemih
(BAK) 1x sebanyak ± 100 cc dan belum buang air besar (BAB) tetapi, sebelum operasi
penderita sudah BAB 1x. Penderita makan dengan diit rumah sakit yaitu bubur saring,
makannya habis ¾ porsi rumah sakit, untuk minumnya penderita mengatakan sehari
minum air putih ± 300 ml, air teh sehari ± 150 ml, penderita mengatakan tidak
mual/muntah, bising usus 11x/menit. Saat pengkajian neurologinya, reflek pupil: isokor,
gerakan kaki: bisa digerakkan. Pada pengkajian Integritas kulit, turgor kulit baik, mukosa
bibir kering, warna kulit sawo matang, tidak ada lesi, ada bekas luka post op di abdomen
kanan bawah, keadaan luka tertutup, terdapat rembesan darah. Saat dikaji penderita
mengatakan nyeri, takut bergerak, cemas, karena nyeri tidak hilang - hilang, ekspresi
wajah tampak menahan nyeri. Nyeri luka post op di perut kanan bawah, seperti ditusuk-
tusuk dan terasa panas, skala 6, nyeri timbul terus-menerus. Penderita mengatakan tidak
sesak nafas repiratory rate: 22x/menit. Pada pengkajian genetalia tidak ada distensi
2. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum baik, tingkat kesadaran compos mentis, tekanan darah: 120/70
mmHg, nadi: 72x/menit, suhu: 36,20C, respiratory rate: 22x/menit. Kepala mesochepal,
tidak ada benjolan, penyebaran rambut hitam, merata, rambut panjang, bersih. Pada
mata pupil isokor, konjungtiva tidak anemis. Hidung bersih, tidak ada polip. Mulut tidak
ada lesi, mukosa bibir pucat. Telinga tidak ada serumen berlebih, tidak ada benjolan di
saluran telinga. Selanjutnya, pada leher tidak ada pembesaran kelenjar tyroid.
Pemeriksaan fisik dada terdiri dari paru-paru dan jantung. Jantung saat inspeksi ictus
cordis tidak tampak, teraba ictus cordis, perkusinya redup dan tidak terdengar suara
tambahan. Pada paru - paru pergerakan dada simetris kanan kiri, palpasi taktil fremitus
sama, perkusinya resonan, dan auskultasinya vesikuler. Saat mengkaji abdomen, abdomen
datar terdapat luka di abdomen kanan bawah, luka tertutup kassa di perut kanan bawah 9
cm melintang, luka tertutup kassa betadine, daerah sekitar luka bersih, tidak kemerahan,
terdapat rembesan darah. Terdengar peristaltik usus 11x/menit, terdapat nyeri tekan di
abdomen kanan bawah, tidak ada distensi kandung kemih, perkusinya tympani. Untuk
ekstremitas atas terpasang infus RL 20 tetes/menit, pada ekstremitas bawah tidak ada
3. Pemeriksaan Diagnostik
WBC: 11,9 (10̂ 3/uL), RBC 5,48 (10̂ 6/uL), HGB: 12,2 (g/dL), HCT: 41,2 (%), MCV: 75,8
(fL), MCH: 26,0 (Pg), MCHC: 31,9 (g/dL), PCT: 0,15 (fL)
b. Program terapi
1) RL 20 tpm
2) Ceftriaxon 1 gr 1x1
3) Ranitidin 25 mg 2x1
4) Ketorolac 30 mg 2x1
c. Program Diit
Pada pengkajian yang dilakukan tanggal 12 Januari 2016 pukul 10.00 WIB
a. Data subjektif: penderita mengatakan nyeri pada luka post op, seperti tertusuk-tusuk, di
Data objektif: penderita tampak menyeringai menahan nyeri saat dipalpasi, tirah baring,
tekanan darah: 120/70mmHg, nadi: 72x/menit, respiatori rate: 22x/menit. Dari pengkajian
tersebut dapat ditarik masalah keperawatan nyeri akut berhubungan dengan agen cedera
fisik.
b. Data subjektif: penderita mengatakan cemas karena nyeri yang dirasakan tidak hilang-
Data objektif: penderita tampak gelisah, tekanan darah: 90/70mmHg, nadi: 62x/menit,
respiatori rate: 22x/menit. Dari pengkajian tersebut dapat ditarik masalah keperawatan
c. Data subjektif: penderita mengatakan nyeri pada luka post op, terasa seperti ditusuk –
tusuk.
Data objektif: terdapat luka post op di abdomen kanan bawah, terdapat rembesan darah,
9cm melintang, luka tertutup kassa betadine, daerah sekitar luka bersih, tidak kemerahan.
WBC: 11,9 (10̂3/uL). Dari pengkajian tersebut dapat ditarik masalah keperawatan resiko
2. Perumusan Masalah
D. Perencanaan (plan)
a. Kriteria hasil :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan masalah nyeri
2) Menunjukkan tingkat nyeri, yang dibuktikan oleh indikator sebagai berikut (sebutkan 1-
b. Intervensi
d. Minta pasien untuk menilai nyeri atau ketidaknyamanan pada skala 0 samapi 10 (0 =
durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau keparahan nyeri, dan faktor presipitasinya.
g. Berikan informasi tentang nyeri,seperti penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan
hangat atau dingin, dan massase sebelum dan sesudah, dan jikamemungkinkan selama
i. Bantu pasien untuk lebih fokus pada aktivitas, bukan pada nyeri dan rasa tidak nyaman
pengunjung
a. Kriteria hasil:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x8 jam diharapkan masalah ansietas
1) Ansietas berkurang, dibuktikan oleh bukti tingkat ansietas hanya ringan sampai sedang,
konsentrasi
b. Intervensi:
a. Kriteria hasil:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan masalah risiko
1) Faktor risiko infeksi akan hilang, dibuktikan dengan : status imun, keparahan infeksi, dan
penyembuhan luka
b. Intervensi:
1) Pantau tanda dan gejala infeksi (misalnya, suhu tubuh, denyut jantung, drainase,
3) Bersihkan, pantau, dan fasilitasi proses penyembuhan luka yang ditutup dengan jahitan.
E. Pelaksanaan
Implementasi yang dilakukan adalah pada pukul 10.00 WIB mengobservasi tanda-
tanda vital penderita, tekanan darah 120/70 mmHg, nadi: 72x/menit, respiratory rate:
22x/menit, suhu: 36,20C, membantu penderita untuk menilai nyeri yang dirasakan, skala:
komprehensif, penderita mengatakan nyeri pada luka post op, seperti tertusuk-tusuk, di
abdomen kanan bawah, skala 6, nyeri terus-menerus. Pada pukul 11.00 WIB
mengajarkan teknik relaksasi (napas dalam), kemudian pada pukul 12.00 WIB
Implementasi yang dilakukan adalah pada pukul 10.00 WIB mengobservasi tanda- tanda
vital, selanjutnya pada pukul 11.00 WIB mengkaji yang menyebabkan ansietas,
memberikan sikap empatik secara verbal non verbal, memberikan informasi kepada
vital penderita, kemudian memantau tanda dan gejala infeksi, mengkaji faktor yang dapat
menimbulkan infeksi, pada pukul 12.00 WIB memberikan injeksi ceftriaxon 1 gr.
Implementasi yang dilakukan adalah pada pukul 09.00 WIB mengobservasi tanda-
tanda vital penderita, tekanan darah 110/70 mmHg, nadi: 80x/menit, respiratory rate:
22x/menit, suhu: 36,50C, membantu penderita untuk menilai kembali nyeri yang
dirasakan, skala 5, mengobservasi isyarat nonverbal ketidaknyamanan, mengkaji kembali
karakteristik nyeri secara komprehensif, penderita mengatakan nyeri pada luka post op,
megevaluasi teknik relaksasi (napas dalam) yang telah dianjurkan, pada pukul 12.00 WIB
Implementasi yang dilakukan adalah pada pukul 10.00 WIB mengobservasi tanda-
tanda vital, selanjutnya pada pukul 11.00 WIB mengkaji kembali yang menyebabkan
vital penderita, tekanan darah 110/70 mmHg, nadi: 80x/menit, respiratory rate: 22x/menit,
suhu: 36,50C, memantau tanda dan gejala infeksi, mengkaji faktor yang dapat
menimbulkan infeksi, kemudian pada pukul 12.00 WIB memberikan injeksi ceftriaxon 1
gr.
Implementasi yang dilakukan adalah pada pukul 09.00 WIB mengobservasi tanda-
tanda vital penderita, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi: 74x/menit, respiratory rate:
20x/menit, suhu: 36,20C, membantu penderita menilai kembali nyeri yang dirasakan,
secara komprehensif, penderita mengatakan nyeri sudah berkurang, nyeri pada luka post
op, seperti tertusuk-tusuk, di abdomen kanan bawah, skala 2, nyeri hilang timbul,
megevaluasi teknik relaksasi (napas dalam) yang telah dianjurkan, pada pukul 12.00 WIB
vital, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi: 74x/menit, respiratory rate: 20x/menit, suhu:
36,20C, memantau tanda dan gejala infeksi, pada pukul 09.30 WIB melakukan perawatan
luka steril, kemudian pukul 12.00 WIB memberikan injeksi ceftriaxone 1 gr.
F. Evaluasi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan pada tanggal 12 Januari 2016 pukul 14.00
WIB, evaluasi akhir yang didapatkan adalah penderita mengatakan nyeri, nyeri seperti
tertusuk-tusuk dan panas, nyeri di abdomen kanan bawah, skala 6, nyeri terus-menerus.
Penderita tampak menahan nyeri, penderita tirah baring, tekanan darah: 120/70 mmHg,
Masalah nyeri belum teratasi. Perlu adanya tindak lanjut yaitu observasi isyarat
lokasi, karakteristik, awitan dan durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau keparahan
dalam dan berbincang-bincang dengan yang menunggu) pada saat nyeri muncul, pastikan
WIB, evaluasi akhir yang didapatkan adalah penderita mengatakan belum tahu tentang
rasa cemas yang dirasakan, tampak gelisah tekanan darah: 120/70mmHg, nadi: 72x/menit,
respiatori rate: 22x/menit. Sehingga, masalah ansietas teratasi dan perlu adanya tindak
lanjut hentikan intervensi yaitu: kaji faktor yang menjadi penyebab ansietas, berikan
penguatan positif kepada penderita, berikan sikap empatik secara verbal non verbal,
berikan informasi kepada kelurga tentang gejala ansietas, ajarkan relaksasi distraksi.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan pada tanggal 12 Januari 2016 pukul 14.00
WIB, evaluasi akhir yang didapatkan adalah penderita mengatakan nyeri pada luka post
op, terasa panas, terdapat luka post op di abdomen kanan bawah, tidak ada rembesan
darah, luka sekitar 9 cm melintang, luka tertutup kassa betadine, daerah sekitar luka
bersih, tidak kemerahan. WBC: 11,9 (10̂3/uL). Sehingga, masalah risiko infeksi belum
teratasi dan perlu adanya tindak lanjut yaitu pantau tanda dan gejala infeksi, kaji faktor
yang dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi, bersihkan luka yang ditutup
Setelah dilakukan tindakan keperawatan pada tanggal 13 Januari 2016 pukul 14.00
WIB, evaluasi akhir yang didapatkan adalah penderita mengatakan nyeri sudah
berkurang, nyeri seperti tertusuk-tusuk, nyeri di abdomen kanan bawah, skala 5, nyeri
terus-menerus. Penderita tirah baring, tekanan darah: 110/70 mmHg, nadi: 80 x/menit,
respiatori rate: 22x/menit. Sehingga, masalah nyeri belum teratasi dan perlu adanya
tindak lanjut yaitu observasi isyarat nonverbal ketidaknyamanan, lakukan pengkajian
nyeri secara komprehensif meliputi lokasi, karakteristik, awitan dan durasi, frekuensi,
kualitas, intensitas atau keparahan nyeri, dan faktor presipitasinya, anjurkan penggunaan
pada saat nyeri muncul, kendalikan faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon
Setelah dilakukan tindakan keperawatan pada tanggal 13 Januari 2016 pukul 14.00
WIB, evaluasi akhir yang didapatkan adalah penderita mengatakan sudah paham tentang
nyeri yang dirasakan, tampak rileks tekanan darah: 110/70 mmHg, nadi: 80 x/menit,
respiatori rate: 22x/menit. Sehingga, masalah ansietas teratasi dan perlu adanya tindak
lanjut hentikan intervensi yaitu: kaji faktor yang menjadi penyebab ansietas, berikan
penguatan positif kepada penderita, berikan sikap empatik secara verbal non verbal,
berikan informasi kepada kelurga tentang gejala ansietas, ajarkan relaksasi distraksi.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan pada tanggal 13 Januari 2016 pukul 14.00
WIB, evaluasi akhir yang didapatkan adalah kllien mengatakan nyeri skala 5 pada luka
post op sudah berkurang, terasa panas, terdapat luka post op di abdomen kanan bawah,
luka tertutup, tidak ada rembesan darah. Sehingga, masalah risiko infeksi belum teratasi
dan perlu adanya tindak lanjut yaitu pantau tanda dan gejala infeksi, kaji faktor yang
dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi, bersihkan, pantau, dan fasilitasi proses
penyembuhan luka yang ditutup dengan jahitan, kolaborasi dengan dokter dalam
pemberian antibiotik.
3. Tanggal 14 Januari 2016
Setelah dilakukan tindakan keperawatan pada tanggal 14 Januari 2016 pukul 14.00
WIB, evaluasi akhir yang didapatkan adalah penderita mengatakan nyeri sudah
berkurang, nyeri seperti tertusuk-tusuk, nyeri di abdomen kanan bawah, skala 2, hilang
timbul. Tekanan darah: 120/80 mmHg, nadi: 74 x/menit, respiatori rate: 22x/menit.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan pada tanggal 14 Januari 2016 pukul 14.00
WIB, evaluasi akhir yang didapatkan adalah penderita mengatakan nyeri skala 2 pada
luka post op, terdapat luka post op di abdomen kanan bawah, luka tertutup, ada rembesan
darah. Terdapat luka di abdomen kanan bawah, luka tertutup kassa di perut kanan bawah
9 cm melintang, daerah sekitar luka bersih, tidak kemerahan. Sehingga, masalah risiko
infeksi teratasi hentikan intervensi yaitu pantau tanda dan gejala infeksi, kaji faktor yang
dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi, bersihkan, pantau luka yang ditutup
BAB IV
Pada bab ini akan dibahas tentang pengelolaan asuhan keperawatan pada Ny. M
dengan diagnosa medis apendisitis di bangsal C RST dr. Soedjono Magelang. Pembahasan
difokuskan pada aspek asuhan keperawatan yang meliputi pengkajian, analisa data,
diagnosa, intervensi, implementasi dan evaluasi. Dalam pembahasan ini akan diuraikan
1. Pengkajian
Pada tahap awal yaitu melakukan pengkajian penderita dan keluarga sangat
alloanamnase dan autoanamnase. Keluhan yang dirasakan penderita adalah nyeri post
apendektomi rasa tertusuk-tusuk pada abdomen kanan bawah (luka post op), skala 6 dan
terus-menerus. Dari data tersebut sudah sesuai dengan pengkajian menurut Perry Potter
(2007) yaitu pada penderita post operasi mengalami nyeri akut akibat adanya trauma
dirasakan tidak hilang-hilang. Hal tersebut terjadi karena ketika seseorang merasa
terancam akan timbul perasaan takut atau tidak tenang. Sistem saraf otonom yang
menyebabkan seseorang mengalami kecemasan lebih besar tingkatannya dari orang lain.
Ketika ada input sensori yang tidak sesuai dengan tubuh amigdala menerima dan
perasaan cemas. Begitu pula ketika seseorang mengalami nyeri dan mekanisme koping
dari individu tersebut kurang baik, maka amigdala akan menganggap sebagai ancaman
meliputi: laboratorium, radiologi, dan pemeriksaan fisik. Akan tetapi yang dilakukan pada
Hal tersebut karena menurut Taufik Rahmanto (2009), riwayat penyakit dan
2. Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan patofisiologi yang dikembangkan dari (Potter dan Perry, 2005; Said
Latif, 2002; Andra & Yessie, 2013), ditemukan diagnosa keperawatan antara lain:
Nyeriakut, ansietas, resiko infeksi, kekurangan volume cairan, hambatan mobilitas fisik,
Dari ketujuh diangnosa yang muncul, penulis menegakkan tiga diagnosa yaitu nyeri
akut, ansietas, dan resiko infeksi. Penulis mengambil diagnosa keperawatan nyeri sebagai
diagnosa prioritas yang akan ditangani terlebih dahulu oleh penulis. Penegakkan diagnosa
keperawatan prioritas pertama ini dilakukan karena implikasi keperawatan yang perlu
dikenal perawat setelah operasi adalah adanya nyeri dan risiko infeksi yang merupakan
Menurut Judith, Wilkinson & Ahern (2012), asupan nutrisi tidak mencukupi untuk
memenuhi kebutuhan metabolic. Batasan karakteristik pada data objektif bising usus
hiperaktif, kurangnya minat terhadap makanan, membrane mukosa pucat, tonus otot
buruk. Faktor yang berhubungan yaitu Ketidakmampuan untuk menelan atau menerima
makanan atau menyerap nutrient akibat factor biologis, psikologis, atau ekonomi,
karena dalam pengkajian makanan/cairan makannya habis ¾ porsi rumah sakit, untuk
minumnya penderita sehari minum air putih ± 300 ml, air teh sehari ± 150 ml, penderita
Menurut Andra & Yessie (2013), penderita yang setelah dilakukan pembedahan yang
diberikan anastesi, kemudian apabila pada saluran pencernaan tidak terpengaruh oleh
anastesi yang tidak menyebabkan adanya keluhan mual dan muntal, dan pada penderita
tidak mengalami penurunan nafsu makan, hal itu tidak mempengaruhi status nutrisi dan
b. Konstipasi
Menurut Judith, Wilkinson & Ahern (2012), Penurunan frekuensi normal defekasi
yang disertai pengeluaran feses yang sulit atau pengeluaran feses yang sangat keras dan
kering. Batasan karakteristik pada data objektif yaitu perubahan pada pola defekasi,
penurunan frekuensi, penurunan volume feses, distensi abdomen, feses yang kering, keras,
danpadat, bising usus hipoaktif, massa abdomen dapat dipalpasi, flatus berat, mengejan
belum buang air besar (BAB) tetapi, sebelum operasi penderita sudah BAB 1x, bising usus
11x/menit.
Menurut Andra & Yessie (2013), apabila setelah dilakukan pembedahan kemudian
pada saluran pencernaan tidak mengalami penurunan bising usus, penderita juga tidak
mengeluh susah BAB, maka tidak terdapat gangguan eliminasi pada penderita, sehingga
Menurut Judith, Wilkinson & Ahern (2012), kondisi individu yang berisiko
mengalami dehidrasi vascular, selular atau intra selular kapiler. Batasan karakteristik
pada data objektif yaitu penyimpangan yang memengaruhi akses untuk pemasukan atau
(mislanya, diare), usia ekstrem (bayi baru lahir atau lansia), Berat badan ekstrem (kurang
kehilangan cairan melaluirute yang tidak normal (misalnya, slang kateter menetap), obat
(diuretik). Masalah resiko kekurangan volume cairan tidak muncul karena dalam
penderita mengatakan sehari minum air putih ± 300 ml, air teh sehari ± 150 ml, sudah
berkemih (BAK) 1x sebanyak ± 100 cc, turgor kulit baik, mukosa bibir kering.
Menurut Potter dan Perry (2005),. Pada penderita yang tidak ditemukan tanda -
tanda kekurangan cairan seperti turgor kulit kurang, membrane mukosa kering,
demam, dan tidak terjadi pendarahan setelah dilakukan pembedahan, maka penderita
pergerakan fisik mandiri dan terarah pada tubuh atau satu ekstremitas atau lebih.
bantu, 2: memerlukan bantuan orang lain, 3: membutuhkan bantuan orang lain dan
waktu reaksi, kesulitan membolak-balik posisi tubuh, dispneu saat beraktivitas, perubahan
cara berjalan, keterbatasan kemampuan untuk melakukan ketrampilan motor ikhalus dan
Menurut Judith, Wilkinson & Ahern (2012), masalah Hambatan mobilitas fisik
tidak muncul karena data yang didapat pada saat pengkajian aktivitas/istirahat
kekuatan otot 5. Dari pengkajian yang didapat tersebut maka penulis tidak menegakkan
a. Nyeri akut
prosedur. Menurut Wilkinson (2013) nyeri merupakan pengalaman sensori dan emosi
yang tidak menyenangkan akibat adanya kerusakan jaringan yang actual atau potensial,
atau digambarkan dengan istilah seperti ( International Assosiation for the study of pain),
awitan tiba-tiba atau perlahan dengan intensitas ringan sampai berat dengan akhir yang
dapat diantisipasi atau dapat diramalkan dan durasinya kurang dari enam bulan.
Pemahaman penderita tentang penyebab nyeri yang terjadi akan mengurangi ketegangan
seperti penyebab nyeri, berapa lama akan berlangsung dan antisipasi ketidaknyamanan
akibat prosedur dilakukan untuk menambah pengetahuan penderita tentang nyeri yang
dirasakan, tetapi pada pengkajian Ny. M tidak diberikan tindakan tersebut dikarenakan
penderita dan keluarga sudah diberikan informasi lebih dalam oleh dokter setelah
dilakukan pembedahan.
4. Evaluasi
nyeri yang dibuktikan oleh indikator; respon autonomic, seperti pucat, peningkatan tanda-
tanda vital dan diaphoresis tida kterjadi, mengenali awitan nyeri. Ekspresi nyeri pada
wajah ringan, tidak ada gelisah atau ketegangan otot, merintih dan menangis tidak ada,
Evaluasi yang didapat pada penderita menunjukkan hasil yang signifikan, adanya
perubahan pada skala nyeri dari skala 5 menjadi skala 2 pada hari ketiga. Penderita
tampak rileks, tidak gelisah, penderita mampu mendemonstrasikan teknik relaksasi
Evaluasi menurut NOC adalah tingkat ansietas: ansietas berkurang, dibuktikan oleh
bukti tingkat ansietas hanya ringan sampai sedang, konsentrasi, meneruskan aktivitas
yang dibutuhkan mengalami kecemasan, memiliki tanda-tanda vital dalam batas normal.
Evaluasi dari tindakan tersebut adalah penderita sudah mengerti dan paham tentang
penyakitnya sehingga sebisa mungkin dia akan mengurangi hal tersebut, penderita juga
merasa sedikit rileks karena sudah tidak ada lagi pertanyaan yang ingin diatanyakan
tentang penyakitnya.
Menurut NOC evaluasi adalah status imun: terbebas dari tanda dan gejala infeksi,
Hasil evaluasi yang didapat setelah dilakukan implementasi adalah tidak ada tanda-
tanda infeksi seperti kemerahan, tidak bengkak, sekitar luka bersih, tidak ada rembesan
darah, luka tampak bersih, tanda-tanda vital dalam batas normal, suhu 36,70C. Hal ini
B. Simpulan
apendisitis pada hari ke 1 sampai hari ke 3 diruang C RST dr. Soedjono Magelang,
intervensi, implementasi dan evaluasinya. Hal tersebut disesuaikan dengan keadaan yang
implementasi dan evaluasi sesuai masalah penderita dengan harapan agar asuhan
Berdasarkan tujuan yang telah dicantumkan penulis di bagian awal, penulis juga
telah mencapai tujuan yang telah direncanakan yaitu dengan tujuan umum penulis
Post Operasi Apendisitis pada Ny. M di Bangsal C RST dr. Soedjono Magelang. Tujuan
khusus yang telah penulis capai adalah mampu menggambarkan kemampuannya dalam
DAFTAR PUSTAKA
Akhrita, Zetri. (2011). Pengaruh Mobilisasi Dini Terhadap Pemulihan (online).
(http://www.google.co.id/PENGARUH_MOBILISASI_DINI_TERHADAP_PEMULIHAN.
pdf, diakses tanggal 9 Oktober 2015)
Andra & Yessie. (2013). Keperawatan Medikal Bedah Keperawatan Dewasa Teori dan Contoh
Askep. Yogyakarta : Nuha Medika
Carpenito J.L. (2006). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 10 Jakarta: EGC
Dermawan, Deden, dkk. (2010). Keperawatan Medikal Bedah (Sistem Pencernaan). Yogyakarta :
Gosyen Publishing
Latief, Said. (2002). Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia Jakarta
Muttaqin, Arif dkk. (2013). Gangguan Gastrointestinal Aplikasi Asuhan Keperawatan Medikal
Bedah. Jakarta : Salemba Medika
Price, Sylvia Anderson.(2006). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses - proses Penyakit. Jilid 6.
Jakarta: EGC
Price, Sylvia A & Wilson. (2005). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6.
Volume 2. Jakarta :EGC
Smeltzer, S. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner Suddarth. Volume 2 Edisi 8.
Jakarta : EGC
Wilkinson & Ahern. (2012). Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 9 (Terjemahan). Jakarta :
EGC
Yanuar, Eri. (2011). Cara Memahami NANDA NIC NOC (online).
(www.academia.edu/5761611/JURUS_DAHSYAT_30_MENIT_MEMAHAMI_NANDA_N
OC_and_NIC, diakses tanggal 9 Oktober 2015)
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. PENGERTIAN
Apendisitis adalah peradangan dari apendiks vermiformis, dan merupakan penyebab abdomen
akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun
perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki 2000)berusia antara 10-30 tahun (Kapita
Selekta
Appendiks terletak di ileocaecum, pertemuan di 3 tinea (Tinea libera, tinea colica, dan tinea
omentum). Bentuk tabung panjang 7-10 cm, diameter 0,7 cm. Memiliki beberapa jenis posisi
yaitu:
1.Ileocecal
2.Antecaecal
3.Retrocaecal
4.Hepatica
5.Pelvica
Vaskularisasi dari appendiks: a. Appendicularis, cabang dari a. Iliocaecalis, cabang dari A.
Mesentrika superior. Inervasinya simpatis sedangkan parasimpatis : N. Vagus (C.10)berasal
dari N. Thoracalis 10
Apendiks memiliki topografi yaitu pangkal appendiks terletak pada titik Mc Burney.
Garis Monroe : Garis antara umbilicus dengan SIAS dekstra
Titik Mc Burney : 1/3 bagian dari SIAS dekstra pada garis Monroe
Titik Lanz : 1/6 bagian dari SIAS dekstra pada garis antara SIAS dekstra dan SIAS sinistra
Garis Munro : Pertemuan antara garis Monroe dengan garis parasagital dari 2000)pertengahan
SIAS dekstra dengan simfisis. (Schwartz
II.2. ETIOLOGI
Penyumbatan lumen apendiks disebabkan oleh hyperplasia folikel limfoid, fekalit, striktur karena
fibrosis akibat peradangan sebelumnya,cacing usus atau neoplasma. penyebab lain yang diduga
dapat menimbulkan apendisitis ialah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E.
Histolityca. (Schwartz 2000)
Penyebab sumbatan 60% adalah hyperplasia kelenjar getah 4% oleh benda asing (termasuk
35% disebabkan karena fekalithbening dan 1% oleh striktur lumen yang bisa disebabkan
karsinomacacing) 1997)(Aksara Medisina
II.3. PATOFISIOLOGI
Pada dasarnya appendicitis akut adalah suatu proses penyumbatan yang mengakibatkan mukus
yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mucus tersebut makin banyak,
namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan
tekanan intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe yang
mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa. Pada saat inilah terjadi
apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri 2005)epigastrium. (De Jong
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan
menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding.
Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan
nyeri di daerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis 2000)supuratif akut.
(Kapita Selekta
Setelah mukosa terkena kemudian serosa juga terinvasi sehingga akan merangsang peritoneum
maka timbul nyeri somatic yang khas yaitu di sisi kanan bawahparietale (titik Mc Burney).
Titik Mc Burney terletak pada 1/3 lateral garis yang 1997)menghubungkan SIAS dan
umbilicus. (Aksara Medisina
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan
gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu
pecah, akan terjadi 2000)apendisitis perforasi. (Kapita Selekta
Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak ke
yaitu denganarah apendiks sehingga melokalisasi daerah infalmasi mengelompok dan
memebentuk suatu infiltrate apendiks dan disebut proses walling off. Peradangan apendiks
tersebut dapat menjadi abses atau 1997)menghilang. (Aksara Medisina
Pada orangtua kemungkinan terjadi perforasi lebih besar karena daya tahan tubuh sudah lemah
dan telah ada gangguan pembuluh darah. Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan
apendiks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan daya
tahan tubuh yang masih kurang memudahkan 2000)terjadinya perforasi. (Kapita Selekta
Gejala apendisitis akut pada anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering hanya rewel dan tidak
mau makan. Anak biasanya tidak bisa melukiskan rasa nyerinya. Dalam beberapa jam kemudian
akan timbul muntah-muntah dan anak menjadi lemah dan letargi. Karena gejala yang tidak khas
tadi, sering apendisitis diketahui setelah perforasi. Pada bayi, 80-90% apendisitis baru diketahui
setelah terjadi perforasi.
Pada beberapa keadaan, apendisitis agak sulit didiagnosis sehingga tidak ditangani pada
waktunya dan terjadi komplikasi. Misalnya, pada orang berusia lanjut yang gejalanya sering
samar-samar saja sehingga lebih dari separuh penderita baru dapat didiagnosis setelah perforasi.
Pada kehamilan, keluhan utama apendisitis adalah nyeri perut, mual dan muntah. Yang perlu
diperhatikan adalah, pada kehamilan trimester pertama sering juga terjadi mual dan muntah.
Pada kehamilan lanjut, sekum dan apendiks terdorong ke kraniolateral sehingga keluhan tidak
dirasakan diperu kanan 2005)bawah tetapi lebih ke regio lumbal kanan. (De Jong
II.5. PEMERIKSAAN
A. Pemeriksaan Fisik
1. Inspeksi
- tidak ditemukan gambaran spesifik.
- kembung sering terlihat pada komplikasi perforasi.
- penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada masaa atau abses periapendikuler.
- tampak perut kanan bawah tertinggal pada pernafasan
2. Palpasi
- nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan, bisa disertai nyeri tekan lepas.
- defans muscular menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale.
- pada apendisitis retrosekal atau retroileal diperlukan palpasi dalam untuk menentukan adanya
rasa nyeri.
3. Perkusi
- maka udara bocor) pekak hati ini hilang karena bocoran usus pekak hati (jika terjadi
peritonotosterdapat nyeri ketok
4. Auskultasi
- sering normal
- peristaltic dapat hilang karena ileus paralitik pada peritonitis generalisata akibat apendisitis
perforata pada keadaan lanjut
- bising usus tidak ada (karena peritonitis)
5. Rectal Toucher
- tonus musculus sfingter ani baik
- ampula kolaps
- nyeri tekan pada daerah jam 09.00-12.00
- terdapat massa yang menekan rectum (jika ada abses).
- pada apendisitis pelvika tanda perut sering meragukan maka kunsi diagnosis dalah nyeri
terbatas sewaktu dilakukan colok dubur.
6. Uji Psoas
Dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat hiperekstensi sendi panggul kanan atau fleksi
aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila apendiks yang meradang menepel
di m. poas mayor, tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri.
7. Uji Obturator
Digunakan untuk melihat apakah apendiks yang meradang kontak dengan m. obturator internus
yang merupakan dinding panggul kecil. Gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi
terlentang akan menimbulkan nyeri pada apendisitis pelvika.
Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk
mengetahui letak apendiks.
8. Alvarado Score
Digunakan untuk menegakkan diagnosis sebagai appendisitis akut atau bukan, menjadi 3
symptom, 3 sign dan 2 laboratorium
Alvarado Score:
B. Pemeriksaan Penunjang
1.Laboratorium
a. Pemeriksaan darah
- leukositosis pada kebanyakan kasus appendisitis akut terutama pada kasus dengan komplikasi.
- pada appendicular infiltrat, LED akan meningkat
b. Pemeriksaan urin untuk melihat adanya eritrosit, leukosit dan bakteri di dalam urin.
Pemeriksaan ini sangat membantu dalam menyingkirkan diagnosis banding seperti infeksi
saluran kemih atau batu ginjal yang mempunyai gejala klinis yang hampir sama dengan
appendicitis. (www.medicastore.com 2003)
2. Radiologis
a. Foto polos abdomen
tampak:Pada appendicitis akut yang terjadi lambat dan telah terjadi komplikasi (misalnya
peritonitis)
- scoliosis ke kanan
- psoas shadow tak tampak
- bayangan gas usus kananbawah tak tampak
- garis retroperitoneal fat sisi kanan tubuh tak tampak
- 5% dari penderita menunjukkan fecalith radio-opak
1997) cut off. (Aksara Medisina mouse tail partial filling hasil positif bila : non filling -
Appendicogram
b. . USG
Bila hasil pemeriksaan fisik meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan USG, terutama pada
wanita, juga bila dicurigai adanya abses. Dengan USG dapat dipakai untuk menyingkirkan
diagnosis banding seperti kehamilan ektopik, adnecitis dan sebagainya. (www.jama.com 2001)
c.Barium enema
Yaitu suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan barium ke colon melalui anus.
Pemeriksaan ini dapat menunjukkan komplikasi-komplikasi dari appendicitis pada jaringan
sekitarnya dan juga untuk menyingkirkan diagnosis banding.
Foto barium enema yang dilakukan perlahan pada appendicitis akut memperlihatkan tidak
adanya pengisian apendiks dan efek massa pada tepi medial serta inferior dari seccum;
pengisisan 2000) menyingkirkan appendicitis. (Schwartzlengkap dari apendiks
d. CT-Scan
Dapat menunjukkan tanda-tanda dari appendicitis. Selain itu juga dapat menunjukkan komplikasi
dari appendicitis seperti bila terjadi abses.
e. Laparoscopi
Yaitu suatu tindakan dengan menggunakan kamera fiberoptic yang dimasukkan dalam abdomen,
appendix dapat divisualisasikan secara langsung.Tehnik ini dilakukan di bawah pengaruh
anestesi umum. Bila pada saat melakukan tindakan ini didapatkan peradangan pada appendix
maka pada saat itu juga dapat langsung dilakukan pengangkatan appendix.
(www.medicastore.com 2006)
3. Adenitis Mesenterium
Penyakit ini juga dapat menunjukkan gejala dan tanda yang identik dengan apendisitis. Penyakit
ini lebih sering pada anak-anak, biasanya didahului infeksi saluran nafas. Lokasi neri diperut
kanan bawah tidak 2005)konstan dan menetap. (De Jong
II.7. PENATALAKSAAN
1. Sebelum operasi
a. Observasi
Dalam 8-12 jam setelah timbulnya keluhan, tanda dan gejala apendisitis seringkali masih belum
jelas. Dalam keadaan ini observasi ketat perlu dilakukan. Pasien diminta melakukan tirah baring
dan dipuasakan. Laktasif tidak boleh diberikan bila dicurigai adanya apendisitis ataupun bentuk
peritonitis lainnya. Pemeriksaan abdomen dan rectal serta pemeriksaan darah (lekosit dan hitung
jenis) diulang secara periodic. Foto abdomen dan toraks tegak dilakukan untuk mencari
kemungkinan adanya penyulit lain. Pada kebanyakan kasus, diagnosis ditegakkan dengan
lokalisasi nyeri di daerah kanan bawah dalam 12 jam setelah timbulnya keluhan.
b. Antibiotik.
Pada apendisitis tanpa komplikasi biasanya tidak perlu diberikan antibiotic, kecuali pada
apendisitis gangrenosa atau apendisitis perforate. Penundaan tindak bedah sambil memberikan
antibiotic dapat mengakibatkan abses atau perforasi.
2. Operasi
1.Appendiktomi cito (appendicitis akut, abses, dan perforasi)
2.Appendiktomi elektif (appendisitis kronis)
3.Konservatif kemudian operasi elektif (appendisitis infiltrat)
Operasi Appendisitis akut disebut : A. Chaud
Operasi Appendisitis kronis disebut : A. Froid
3. Pascaoperasi
Perlu dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya pendarahan di dalam,
syok, hipertermia, atau gangguan pernafasan. Angkat sonde lambung bila pasien telah sadar,
sehingga aspirasi cairan lambung dapat dicegah. Baringkan pasien dalam posii Fowler. Pasien
dikatakan baik bila dalam 12 jam tidak terjai gangguan. Selama itu pasien dipuasakan. Bila
tindakan operasi lebih besar, misalnya pada perforasi atau peritonitis umum, puasa diteruskan
sampai fungsi usus kembali normal.
Satu hari pascaoperasi pasien dianjurkan untuk duduk tegak di tempat tidur selama 2x 30 menit.
Pada hari kedua pasien dapat berdiri dan duduk di luar kamar. Hari ke tujuh jahitan dapat
diangkat dan pasien diperbolehkan pulang. (www.kedokteranpacificinternet.com 1999)
II.8. KOMPLIKASI
Komplikasi yang mungkin timbul adalah peritonitis, abses subfrenikus, infiltrat dan fokal sepsis
intraabdominal lain. (www.medicastore.com 2006)
II.9. PROGNOSIS
Mortalitas adalah 0.1% jika appendicitis akut tidak pecah dan 15% jika pecah pada atau emboli
paruorangtua. Kematian biasanya berasal dari sepsis aspirasi; prognosis membaik dengan
diagnosis dini sebelum rupture dan antibiotic yang lebih baik.
Morbiditas meningkat dengan rupture dan usia tua. Komplikasi dini adalah sepsis. Infeksi luka
membutuhkan pembukaan kembali insisi kulit yang merupakan predisposisi terjadinya robekan.
Abses intraabdomen dapat terjadi dari kontaminasi peritonealis setelah gangren dan perforasi.
Fistula fekalis timbul dari nekrosis suatu bagian dari seccum oleh abses atau kontriksi dari
jahitan kantong. Obstruksi usus dapat terjadi dengan abses lokulasi dan pembentukan adhesi.
Komplikasi lanjut meliputi pembentukan adhesi dengan obstruksi 2000)mekanis dan
hernia.(Schwartz
Dengan diagnosis yang akurat serta pembedahan, tingkat mortalitas dan morbiditas penyakit ini
sangat kecil. Keterlambatan diagnosis akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas bila terjadi
komplikasi. Serangan berulang dapat terjadi bila apendiks tidak diangkat. Terminologi
apendisitis kronis sebenarnya 2005)tidak ada. (De Jong
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1997, Kumpulan Kuliah Khusus Ilmu Bedah, Aksara Medisina, Jakarta
Mansjoer, et al, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga Jilid Kedua, Media Aesculapius,
FK UI
Schwartz, et al, 2000, Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah, Edisi Keenam, EGC, Jakarta
Soda, K., et al, 2001, Detection of Pinpoint Tenderness on the Appendix Under Ultrasonography
Is Useful to Confirm Acute Appendicitis,
www.jama.com
Accessed on June 29th, 2006 at 19.00 p.m
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi
Appendiks merupakan suatu organ limfoid seperti tonsil, payer patch (analog dengan Bursa
Fabricus) membentuk produk immunoglobulin, berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm
(kisaran 3-15 cm) dengan diameter 0,5-1 cm, dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di
bagian proksimal dan melebar dibagian distal.7 Basis appendiks terletak pada bagian postero
medial caecum, di bawah katup ileocaecal. Ketiga taenia caecum bertemu pada basis appendiks.
8,9
Apendiks vermiformis disangga oleh mesoapendiks (mesenteriolum) yang bergabung dengan
mesenterium usus halus pada daerah ileum terminale. Mesenteriolum berisi a. Apendikularis
(cabang a.ileocolica). Orificiumnya terletak 2,5 cm dari katup ileocecal. Mesoapendiknya
merupakan jaringan lemak yang mempunyai pembuluh appendiceal dan terkadang juga memiliki
limfonodi kecil. 3,10
Struktur apendiks mirip dengan usus mempunyai 4 lapisan yaitu mukosa, submukosa, muskularis
eksterna/propria (otot longitudinal dan sirkuler) dan serosa. Apendiks mungkin tidak terlihat
karena adanya membran Jackson yang merupakan lapisan peritoneum yang menyebar dari
bagian lateral abdomen ke ileum terminal, menutup caecum dan appendiks. Lapisan submukosa
terdiri dari jaringan ikat kendor dan jaringan elastic membentuk jaringan saraf, pembuluh darah
dan lymphe. Antara Mukosa dan submukosa terdapat lymphonodes. Mukosa terdiri dari satu
lapis collumnar epithelium dan terdiri dari kantong yang disebut crypta lieberkuhn. Dinding
dalam sama dan berhubungan dengan sekum (inner circular layer). Dinding luar (outer
longitudinal muscle) dilapisi oleh pertemuan ketiga taenia colli pada pertemuan caecum dan
apendiks. Taenia anterior digunakan sebagai pegangan untuk mencari apendiks.3
Appendiks pertama kali tampak saat perkembangan embriologi minggu ke-8 yaitu bagian ujung
dari protuberans sekum. Pada saat antenatal dan postnatal, pertumbuhan dari sekum yang
berlebih akan menjadi apendiks, yang akan berpindah dari medial menuju katup ileosekal. 2
Pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit kearah ujungnya.
Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden apendisitis pada usia itu. Pada 65 %
kasus, apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan apendiks bergerak dan
ruang geraknya bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya. Pada kasus selebihnya,
apediks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di belakang kolon asendens, atau ditepi
lateral kolon asendens. Gejala klinis apendisitis ditentukan oleh letak apendiks.7
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti a.mesenterika superior dan
a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri
visceral pada apendisitis bermula disekitar umbilikus. Pendarahan apendiks berasal dari a.
apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena
trombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami gangrene. 7
Gambar 2 : Letak appendiks terhadap organ lain diabdomen (kiri), Perbesaran apendiks (tengah),
Penampang apendiks (kanan) 12
2.2. Fisiologi
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir di muara apendiks tampaknya berperan
pada patogenesis apendisitis.7
Imunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut associated Lymphoid tissue) yang
terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA. Imunoglobulin ini sangat
efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak
mempengaruhi system imun tubuh karena jumlah jaringan limfe disini kecil sekali jika
dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan diseluruh tubuh.7
Jaringan lymphoid pertama kali muncul pada apendiks sekitar 2 minggu setelah lahir. Jumlahnya
meningkat selama pubertas, dan menetap saat dewasa dan kemudian berkurang mengikuti umur.
Setelah usia 60 tahun, tidak ada jaringan lymphoid lagi di apendiks dan terjadi penghancuran
lumen apendiks komplit. 2
2.3. Definisi
Apendisitis infiltrate adalah proses radang apendiks yang penyebarannya dapat dibatasi oleh
omentum dan usus-usus dan peritoneum disekitarnya sehingga membentuk massa (appendiceal
mass). Umumnya massa apendiks terbentuk pada hari ke-4 sejak peradangan mulai apabila tidak
terjadi peritonitis umum. Massa apendiks lebih sering dijumpai pada pasien berumur lima tahun
atau lebih karena daya tahan tubuh telah berkembang dengan baik dan omentum telah cukup
panjang dan tebal untuk membungkus proses radang.13
2.4 Etiologi
Obstruksi lumen merupakan penyebab utama apendisitis. Fekalit merupakan penyebab tersering
dari obstruksi apendiks. Penyebab lainnya adalah hipertrofi jaringan limfoid, sisa barium dari
pemeriksaan roentgen, diet rendah serat, dan cacing usus termasuk ascaris. Trauma tumpul atau
trauma karena colonoscopy dapat mencetuskan inflamasi pada apendiks. Post operasi apendisitis
juga dapat menjadi penyebab akibat adanya trauma atau stasis fekal. 2,8 Frekuensi obstruksi
meningkat dengan memberatnya proses inflamasi. Fekalit ditemukan pada 40% dari kasus
apendisitis akut, sekitar 65% merupakan apendisitis gangrenous tanpa rupture dan sekitar 90%
kasus apendisitis gangrenous dengan rupture. 2
Penyebab lain yang diduga dapat menyebabkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena
parasit seperti E. Histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan
makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan
meningkatkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan
meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya akan mempermudah terjadinya
apendisits akut.7
2.5. Patofisiologi
Appendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hyperplasia folikel
limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau
neoplasma.1
Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian proksimalnya dan
berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa apendiks yang distensi. Obstruksi
tersebut mneyebabkan mucus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama
mucus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding appendiks mempunyai keterbatasan
sehingga menyebabkan peningkatan intralumen. Kapasitas lumen apendiks normal hanya sekitar
0,1 ml. Jika sekresi sekitar 0,5 dapat meningkatkan tekanan intalumen sekitar 60 cmH20.
Manusia merupakan salah satu dari sedikit binatang yang dapat mengkompensasi peningkatan
sekresi yang cukup tinggi sehingga menjadi gangrene atau terjadi perforasi.2
Tekanan di dalam sekum akan meningkat (3) karena sembelit (1) jika katup ileosekal kompeten
(2). Kombinasi tekanan tinggi di sekum dan peningkatan flora kuman di kolon (4)
mengakibatkan sembelit, hal ini menjadi pencetus radang di mukosa apendiks (5). Pencetus lain
ialah erosi dan tukak kecil di selaput lendir oleh E.histolytica (6) dan penghambatan evakuasi isi
apendiks (7). Evakuasi ini terhambat oleh stenosis (8) atau penyumbatan lumen atau gangguan
motilitas oleh pita, adesi (9) dan faktor lain yang mengurangi gerakan bebas apendiks.
Perkembangan dari apendisitis mukosa menjadi apendisitis komplet, yang meliputi semua
lapisan dinding apendiks tentu dipengaruhi oleh berbagai faktor pencetus setempat yang
menghambat pengosongan lumen apendiks atau mengganggu motilitas normal apendiks (10).
Pada orang berusia lanjut gejalanya juga sering samar-samar saja, tidak jarang terlambat
diagnosis. Akibatnya lebih dari separo penderita baru dapat didiagnosis setelah perforasi. 7
Pada kehamilan, keluhan utama apendisitis adalah nyeri perut, mual, dan muntah. Yang perlu
diperhatikan ialah, pada kehamilan trimester pertama sering juga terjadi mual dan muntah. Pada
kehamilan lanjut sekum dengan apendiks terdorong ke kraniolateral sehingga keluhan tidak
dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih ke regio lumbal kanan. 7
Gambar 5 : Gambaran klinik apendisitis akut
tanda awal
nyeri mulai di epigastrium atau regio umbilikus disertai mual dan anoreksi
nyeri pindah ke kanan bawah dan menunjukkan tanda rangsangan peritoneum lokal di titik
McBurney
nyeri tekan
nyeri lepas
defans muskuler
nyeri rangsangan peritoneum tidak langsung
nyeri tekan bawah pada tekanan kiri (Rovsing)
nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri dilepaskan (Blumberg)
nyeri kanan bawah bila peritoneum bergerak seperti nafas dalam, berjalan, batuk, mengedan
2.7. Pemeriksaan
2.7.1. Pemeriksaan Fisik
C. Bila suhu lebihDemam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5 tinggi, mungkin
sudah terjadi perforasi. Bisa terdapat perbedaan suhu C. Pada inspeksi perut tidak
ditemukanaksilar dan rektal sampai 1 gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada
penderita dengan komplikasi perforasi. Appendisitis infiltrat atau adanya abses apendikuler
terlihat dengan adanya penonjolan di perut kanan bawah.7
Pada palpasi didapatkan nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan, bisa disertai nyeri lepas.
Defans muskuler menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale. Nyeri tekan perut
kanan bawah ini merupakan kunci diagnosis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirawakan
nyeri di perut kanan bawah yang disebut tanda Rovsing. Pada apendisitis retrosekal atau
retroileal diperlukan palpasi dalam untuk menentukan adanya rasa nyeri. 7
Jika sudah terbentuk abses yaitu bila ada omentum atau usus lain yang dengan cepat
membendung daerah apendiks maka selain ada nyeri pada fossa iliaka kanan selama 3-4 hari
(waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan abses) juga pada palpasi akan teraba massa yang
fixed dengan nyeri tekan dan tepi atas massa dapat diraba. Jika apendiks intrapelvinal maka
massa dapat diraba pada RT(Rectal Touche) sebagai massa yang hangat.3
Peristalsis usus sering normal, peristalsis dapat hilang karena ileus paralitik pada peritonitis
generalisata akibat apendisitis perforata. Pemeriksaan colok dubur menyebabkan nyeri bila
daerah infeksi bisa dicapai dengan jari telunjuk, misalnya pada apendisitis pelvika. 7
Pada apendisitis pelvika tanda perut sering meragukan, maka kunci diagnosis adalah nyeri
terbatas sewaktu dilakukan colok dubur. Colok dubur pada anak tidak dianjurkan. Pemeriksaan
uji psoas dan uji obturator merupakan pemeriksaan yang lebih ditujukan untuk mengetahui letak
apendiks. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan m. psoas lewat hiperekstensi atau fleksi aktif.
Bila apendiks yang meradang menempel di m.psoas, tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri.
Uji obturator digunakan untuk melihat apakah apendiks yang meradang kontak dengan
m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil. Dengan gerakan fleksi dan
endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang, pada apendisitis pelvika akan menimbulkan
nyeri. 7
Dasar anatomi dari tes psoas. Apendiks yang mengalami peradangan kontak dengan otot psoas
yang meregang saat dilakukan manuver (pemeriksaan). 14
Tes Obturator. Nyeri pada rotasi kedalam secara pasif saat paha pasien difleksikan. Pemeriksa
menggerakkan tungkai bawah kelateral, pada saat itu ada tahanan pada sisi samping dari lutut
(tanda bintang), menghasilkan rotasi femur kedalam. 14
Dasar Anatomi dari tes obturator : Peradangan apendiks dipelvis yang kontak denhgan otot
obturator internus yang meregang saat dilakukan manuver. 14
Pada CT Scan khususnya apendiceal CT, lebih akurat dibanding USG. Selain dapat
mengidentifikasi apendiks yang mengalami inflamasi (diameter lebih dari 6 mm) juga dapat
melihat adanya perubahan akibat inflamasi pada periapendik.
Gambar 11:
CT scan dengan inflamasi apendiks, tampak fekalit(tanda panah). 14
2.9. Penatalaksanaan
Perjalanan patologis penyakit dimulai pada saat apendiks menjadi dilindungi oleh omentum dan
gulungan usus halus didekatnya. Mula-mula, massa yang terbentuk tersusun atas campuran
membingungkan bangunan-bangunan ini dan jaringan granulasi dan biasanya dapat segera
dirasakan secara klinis. Jika peradangan pada apendiks tidak dapat mengatasi rintangan-
rintangan sehingga penderita terus mengalami peritonitis umum, massa tadi menjadi terisi nanah,
semula dalam jumlah sedikit, tetapi segera menjadi abses yang jelas batasnya. 15
Urut-urutan patologis ini merupakan masalah bagi ahli bedah. Masalah ini adalah bilamana
penderita ditemui lewat sekitar 48 jam, ahli bedah akan mengoperasi untuk membuang apendiks
yang mungkin gangrene dari dalam massa perlekatan ringan yang longgar dan sangat berbahaya,
dan bilamana karena massa ini telah menjadi lebih terfiksasi dan vascular, sehingga membuat
operasi berbahaya maka harus menunggu pembentukan abses yang dapat mudah didrainase.15
Massa apendiks terjadi bila terjadi apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi atau
dibungkus oleh omentum dan atau lekuk usus halus. Pada massa periapendikular yang
pendidingannya belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus keseluruh rongga peritoneum jika
perforasi diikuti peritonitis purulenta generalisata. Oleh karena itu, massa periapendikular yang
masih bebas disarankan segera dioperasi untuk mencegah penyulit tersebut. Selain itu, operasi
lebih mudah. Pada anak, dipersiapkan untuk operasi dalam waktu 2-3 hari saja. Pasien dewasa
dengan massa periapendikular yang terpancang dengan pendindingan sempurna, dianjurkan
untuk dirawat dahulu dan diberi antibiotik sambil diawasi suhu tubuh, ukuran massa, serta
luasnya peritonitis. Bila sudah tidak ada demam, massa periapendikular hilang, dan leukosit
normal, penderita boleh pulang dan apendiktomi elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian
agar perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi perforasi, akan
terbentuk abses apendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu dan frekuensi nadi,
bertambahnya nyeri, dan teraba pembengkakan massa, serta bertambahnya angka leukosit. 7
Massa apendiks dengan proses radang yang masih aktif sebaiknya dilakukan tindakan
pembedahan segera setelah pasien dipersiapkan, karena dikuatirkan akan terjadi abses apendiks
dan peritonitis umum. Persiapan dan pembedahan harus dilakukan sebaik-baiknya mengingat
penyulit infeksi luka lebih tinggi daripada pembedahan pada apendisitis sederhana tanpa
perforasi. 13
Pada periapendikular infiltrat, dilarang keras membuka perut, tindakan bedah apabila dilakukan
akan lebih sulit dan perdarahan lebih banyak, lebih-lebih bila massa apendiks telah terbentuk
lebih dari satu minggu sejak serangan sakit perut. Pembedahan dilakukan segera bila dalam
perawatan terjadi abses dengan atau pun tanpa peritonitis umum. 13
Terapi sementara untuk 8-12 minggu adalah konservatif saja. Pada anak kecil, wanita hamil, dan
penderita usia lanjut, jika secara konservatif tidak membaik atau berkembang menjadi abses,
dianjurkan operasi secepatnya. 7
Bila pada waktu membuka perut terdapat periapendikular infiltrat maka luka operasi ditutup lagi,
apendiks dibiarkan saja. Terapi konservatif pada periapendikular infiltrat :
1.Total bed rest posisi fawler agar pus terkumpul di cavum douglassi.
2.Diet lunak bubur saring
3.Antibiotika parenteral dalam dosis tinggi, antibiotik kombinasi yang aktif terhadap kuman
aerob dan anaerob. Baru setelah keadaan tenang, yaitu sekitar 6-8 minggu kemudian, dilakukan
apendiktomi. Kalau sudah terjadi abses, dianjurkan drainase saja dan apendiktomi dikerjakan
setelah 6-8 minggu kemudian. Jika ternyata tidak ada keluhan atau gejala apapun, dan
pemeriksaan jasmani dan laboratorium tidak menunjukkan tanda radang atau abses, dapat
dipertimbangkan membatalakan tindakan bedah.3,7
Analgesik diberikan hanya kalau perlu saja. Observasi suhu dan nadi. Biasanya 48 jam gejala
akan mereda. Bila gejala menghebat, tandanya terjadi perforasi maka harus dipertimbangkan
appendiktomy. Batas dari massa hendaknya diberi tanda (demografi) setiap hari. Biasanya pada
hari ke5-7 massa mulai mengecil dan terlokalisir. Bila massa tidak juga mengecil, tandanya telah
terbentuk abses dan massa harus segera dibuka dan didrainase.3
Caranya dengan membuat insisi pada dinding perut sebelah lateral dimana nyeri tekan adalah
maksimum (incisi grid iron). Abses dicapai secara ekstraperitoneal, bila apendiks mudah
diambil, lebih baik diambil karena apendik ini akan menjadi sumber infeksi. Bila apendiks sukar
dilepas, maka apendiks dapat dipertahankan karena jika dipaksakan akan ruptur dan infeksi dapat
menyebar. Abses didrainase dengan selang yang berdiameter besar, dan dikeluarkan lewat
samping perut. Pipa drainase didiamkan selama 72 jam, bila pus sudah kurang dari 100 cc/hari,
drai dapat diputar dan ditarik sedikit demi sedikit sepanjang 1 inci tiap hari. Antibiotik sistemik
dilanjutkan sampai minimal 5 hari post operasi. Untuk mengecek pengecilan abses tiap hari
penderita di RT. 3
Penderita periapendikular infiltrat diobservasi selama 6 minggu tentang :
LED
Jumlah leukosit
Massa
Periapendikular infiltrat dianggap tenang apabila :
1.Anamesa : penderita sudah tidak mengeluh sakit atau nyeri abdomen
2.Pemeriksaan fisik :
Keadaan umum penderita baik, tidak terdapat kenaikan suhu tubuh (diukur rectal dan aksiler)
Tanda-tanda apendisitis sudah tidak terdapat
Massa sudah mengecil atau menghilang, atau massa tetap ada tetapi lebih kecil dibanding
semula.
Laboratorium : LED kurang dari 20, Leukosit normal
Kebijakan untuk operasi periapendikular infiltrat :
a.Bila LED telah menurun kurang dari 40
b.Tidak didapatkan leukositosis
c.Tidak didapatkan massa atau pada pemeriksaan berulang massa sudah tidak mengecil lagi.
Bila LED tetap tinggi ,maka perlu diperiksa
Apakah penderita sudah bed rest total
Pemberian makanan penderita
Pemakaian antibiotik penderita
Kemungkinan adanya sebab lain.
d. Bila dalam 8-12 minggu masih terdapat tanda-tanda infiltrat atau tidak ada perbaikan, operasi
tetap dilakukan.
e. Bila ada massa periapendikular yang fixed, ini berarti sudah terjadi abses dan terapi adalah
drainase.3
2.10. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik berupa perforasi bebas maupun
perforasi pada apendiks yang telah mengalami pendindingan berupa massa yang terdiri atas
kumpulan apendiks, sekum, dan lekuk usus halus.7
Perforasi dapat menyebabkan timbulnya abses lokal ataupun suatu peritonitis generalisata.
Tanda-tanda terjadinya suatu perforasi adalah :
nyeri lokal pada fossa iliaka kanan berganti menjadi nyeri abdomen menyeluruh
Suhu tubuh naik tinggi sekali.
Nadi semakin cepat.
Defance Muskular yang menyeluruh
Bising usus berkurang
Perut distended
Akibat lebih jauh dari peritonitis generalisata adalah terbentuknya :
1.Pelvic Abscess
2.Subphrenic absess
3.Intra peritoneal abses lokal.3
Peritonitis merupakan infeksi yang berbahaya karena bakteri masuk kerongga abdomen, dapat
menyebabkan kegagalan organ dan kematian.12
DAFTAR PUSTAKA
1.Mansjoer,A., dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid Kedua. Penerbit Media
Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
2.Schwartz, Spencer, S., Fisher, D.G., 1999. Principles of Surgery sevent edition. Mc-Graw Hill
a Division of The McGraw-Hill Companies. Enigma an Enigma Electronic Publication.
3.Anonim, . Ilmu Bedah dan Teknik Operasi. Bratajaya Fakultas Kedokteran UNAIR. Surabaya.
4.Lugo,. V.H., 2004. Periappendiceal Mass. Pediatric Surgery Update. Vol.23 No.03 September
2004.
http://home.coqui.net/titolugo/PSU23304.PDF#search=periappendiceal %20 mass
5.Anonim, 2006. Appendix Mass.GP Note Book
http://www.gpnotebook.co.uh/cache/1738145813.htm
6.Anonim, 2006. Appendicitis.
http://www.meddean.lun.edu/lumen/Meded/Radio/Nuc_med?Appendicitis/Natural.htm.
7.De Jong,.W., Sjamsuhidajat, R., 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. EGC. Jakarta.
8.Jehan, E., 2003. Peran C Reaktif Protein Dalam Menentukan Diagnosa Appendisitis Akut.
Bagian Ilmu bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatra Utara.
http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-emir%20jehan.pdf.
9.Itskowiz, M.S., Jones, S.M., 2004. Appendicitis. Emerg Med 36 (10): 10-15.
www.emedmag.com
10.Anonim, 2005. Appendix. PathologyOutlines.
http://www.patholoyoutlines.com
11.Gray, H.(1826-1861). 1918. Anatomy of The Human Body.
www.Bartleby.com
12.Anonim, 2004. Appendicitis. U.S. Department Of Health and Human Services. National
Institute of Health. NIH Publication No. 04–4547.June 2004
www.digestive.niddk.nih.gov
13.Reksoprodjo, S., dkk.1995. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Bagian Bedah Staf Pengajar
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Bina Rupa Aksara. Jakarta.
14.Hardin, M., 1999. Acute Appendisitis :Review and Update. The American Academy of
Family Physicians. Texas A&M University Health Science Center, Temple, Texas
http://www.aafg.org
15.Hugh, A.F.Dudley. 1992. Ilmu Bedah Gawat Darurat edisi kesebelas. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
sorces : http://sanirachman.blogspot.com/2009/11/appendicitis-akut-dan-
appendicitis.html#ixzz52GJDdpqD
Under Creative Commons License: Attribution Non-Commercial
BAB I PENDAHULUAN Appendicitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix
vermicularis, dan merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering pada anak-anak
maupun dewasa. Appendicitis akut merupakan kasus bedah emergensi yang paling sering
ditemukan pada anak-anak dan remaja. Terdapat sekitar 250.000 kasus appendicitis yang terjadi
di Amerika Serikat setiap tahunnya dan terutama terjadi pada anak usia 6-10 tahun1.
Appendicitis dapat mengenai semua kelompok usia, meskipun tidak umum pada anak sebelum
usia sekolah. Hampir 1/3 anak dengan appendicitis akut mengalami perforasi setelah dilakukan
operasi. Meskipun telah dilakukan peningkatan pemberian resusitasi cairan dan antibiotik yang
lebih baik, appendicitis pada anak-anak, terutama pada anak usia prasekolah masih tetap
memiliki angka morbiditas yang signifikan2. Diagnosis appendicitis akut pada anak kadang-
kadang sulit. Diagnosis yang tepat dibuat hanya pada 50-70% pasien-pasien pada saat penilaian
awal. Angka appendectomy negatif pada pediatrik berkisar 10-50%. Riwayat perjalanan penyakit
pasien dan pemeriksaan fisik merupakan hal yang paling penting dalam mendiagnosis
appendicitis2. Semua kasus appendicitis memerlukan tindakan pengangkatan dari appendix yang
terinflamasi, baik dengan laparotomy maupun dengan laparoscopy. Apabila tidak dilakukan
tindakan pengobatan, maka angka kematian akan tinggi, terutama disebabkan karena peritonitis
dan shock. Reginald Fitz pada tahun 1886 adalah orang pertama yang menjelaskan bahwa
Appendicitis acuta merupakan salah satu penyebab utama terjadinya akut abdomen di seluruh
dunia 3. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 ANATOMI Apendiks merupakan organ berbentuk
tabung, panjangnya kira-kira 10cm (kisaran 3-15cm), dan berpangkal di caecum. Lumennya
sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks
berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit ke arah ujungnya. Keadaan ini
mungkin menjadi sebab rendahnya insiden appendicitis pada usia itu. Pada 65% kasus, apendiks
terletak intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya
bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya4. Pada kasus selebihnya, apendiks
terletak retroperitoneal, yaitu di belakang caecum, di belakang colon ascendens, atau di tepi
lateral colon ascendens. Gejala klinis appendicitis ditentukan oleh letak apendiks4. Persarafan
parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti a.mesenterica superior dan
a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri
visceral pada appendicitis bermula di sekitar umbilicus5. Pendarahan apendiks berasal dari
a.apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena
thrombosis pada infeksi apendiks akan mengalami gangren5. Gambar 1. Variasi lokasi Appendix
2.2 FISIOLOGI Apendiks menghasilkan lender 1-2ml per hari. Lendir itu normalnya dicurahkan
ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke caecum. Hambatan aliran lender di muara apendiks
tampaknya berperan pada pathogenesis appendicitis5. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan
oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk
apendiks, ialah IgA. Immunoglobulin itu sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi.
Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena
jkumlah jaringan limf disini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna
dan di seluruh tubuh5. 2.3 INSIDENSI Terdapat sekitar 250.000 kasus appendicitis yang terjadi
di Amerika Serikat setiap tahunnya dan terutama terjadi pada anak usia 6-10 tahun. Appendicitis
lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan 3:2. Bangsa
Caucasia lebih sering terkena dibandingkan dengan kelompok ras lainnya. Appendicitis akut
lebih sering terjadi selama musim panas. 1 Insidensi Appendicitis acuta di negara maju lebih
tinggi daripada di negara berkembang, tetapi beberapa tahun terakhir angka kejadiannya
menurun secara bermakna. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat
dalam menu sehari-hari. Appendicitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak
kurang dari satu tahun jarang dilaporkan. Insidensi tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun,
setelah itu menurun. Insidensi pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada
umur 20-30 tahun, insidensi lelaki lebih tinggi6. Gambar 2. Insidensi Risiko Terjadinya
Appendicitis Berdasarkan Usia 2.4 ETIOLOGI Appendicitis disebabkan karena adanya obstruksi
pada lumen appendix sehingga terjadi kongseti vaskuler, iskemik nekrosis dan akibatnya terjadi
infeksi. Appendicitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri. Penyebab obstruksi yang paling
sering adalah fecolith. Fecolith ditemukan pada sekitar 20% anak dengan appendicitis. Penyebab
lain dari obstruksi appendiks meliputi: Hiperplasia folikel lymphoid Carcinoid atau tumor
lainnya Benda asing (pin, biji-bijian) Kadang parasit 1 Penyebab lain yang diduga menimbulkan
Appendicitis adalah ulserasi mukosa appendix oleh parasit E. histolytica. Berbagai spesies
bakteri yang dapat diisolasi pada pasien appendicitis yaitu7: Bakteri aerob fakultatif Bakteri
anaerob Escherichia coli Viridans streptococci Pseudomonas aeruginosa Enterococcus
Bacteroides fragilis Peptostreptococcus micros Bilophila species Lactobacillus species 2.5
PATOGENESIS Appendicitis terjadi dari proses inflamasi ringan hingga perforasi, khas dalam
24-36 jam setelah munculnya gejala, kemudian diikuti dengan pembentukkan abscess setelah 2-3
hari5 Appendicitis dapat terjadi karena berbagai macam penyebab, antara lain obstruksi oleh
fecalith, gallstone, tumor, atau bahkan oleh cacing (Oxyurus vermicularis), akan tetapi paling
sering disebabkan obstruksi oleh fecalith dan kemudian diikuti oleh proses peradangan. Hasil
observasi epidemiologi juga menyebutkan bahwa obstruksi fecalith adalah penyebab terbesar,
yaitu sekitar 20% pada ank dengan appendicitis akut dan 30-40% pada anak dengan perforasi
appendiks. Hiperplasia folikel limfoid appendiks juga dapat menyababkan obstruksi lumen.
Insidensi terjadinya appendicitis berhubungan dengan jumlah jaringan limfoid yang hyperplasia.
Penyebab dari reaksi jaringan limfatik baik lokal atau general misalnya akibat infeksi Yersinia,
Salmonella, dan Shigella; atau akibat invasi parasit seperti Entamoeba, Strongyloides, Enterobius
vermicularis, Schistosoma, atau Ascaris. Appendicitis juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus
enteric atau sistemik, seperti measles, chicken pox, dan cytomegalovirus. Pasien dengan cyctic
fibrosis memiliki peningkatan insidensi appendicitis akibat perubahan pada kelenjar yang
mensekresi mucus. Carcinoid tumor juga dapat mengakibatkan obstruksi appendiks, khususnya
jika tumor berlokasi di 1/3 proksimal. Selama lebih dari 200 tahun, benda asaning seperti pin,
biji sayuran, dan batu cherry dilibatkan dalam terjadinya appendicitis. Trauma, stress psikologis,
dan herediter juga mempengaruhi terjadinya appendicitis5 Awalnya, pasien akan merasa gejala
gastrointestinal ringan seperti berkurangnya nafsu makan, perubahan kebiasaan BAB yang
minimal, dan kesalahan pencernaan. Anoreksia berperan penting pada diagnosis appendicitis,
khususnya pada anak-anak5. Distensi appendiks menyebabkan perangsangan serabut saraf
visceral dan dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical. Nyeri awal ini bersifat nyeri
dalam, tumpul, berlokasi di dermatom Th 10. Adanya distensi yang semakin bertambah
menyebabkan mual dan muntah, dalam beberapa jam setelah nyeri. Jika mual muntah timbul
lebih dulu sebelum nyeri, dapat dipikirkan diagnosis lain5. Appendiks yang obstruksi merupakan
tempat yang baik bagi bakteri untuk berkembang biak. Seiring dengan peningkatan tekanan
intraluminal, terjadi gangguan aliran limf, terjadi oedem yang lebih hebat. Akhirnya peningkatan
tekanan menyebabkan obstruksi vena, yang mengarah pada iskemik jaringan, infark, dan
gangrene. Setelah itu, terjadi invasi bakteri ke dinding appendiks; diikuti demam, takikardi, dan
leukositosis akibat kensekuensi pelepasan mediator inflamasi dari jaringan yang iskemik. Saat
eksudat inflamasi dari dinding appendiks berhubungan dengan peritoneum parietale, serabut
saraf somatic akan teraktivasi dan nyeri akan dirasakan lokal pada lokasi appendiks, khususnya
di titik Mc Burney’s. Nyeri jarang timbul hanya pada kuadran kanan bawah tanpa didahului
nyeri visceral sebelumnya. Pada appendiks retrocaecal atau pelvic, nyeri somatic biasanya
tertunda karena eksudat inflamasi tidak mengenai peritoneum parietale sampai saat terjadinya
rupture dan penyebaran infeksi. Nyeri pada appendiks retrocaecal dapat muncul di punggung
atau pinggang. Appendiks pelvic yang terletak dekat ureter atau pembuluh darah testis dapat
menyebabkan peningkatan frekuensi BAK, nyeri pada testis, atau keduanya. Inflamasi ureter
atau vesica urinaria pada appendicitis dapat menyebabkan nyeri saat berkemih, atau nyeri seperti
terjadi retensi urine5. Perforasi appendiks akan menyebabkan terjadinya abscess lokal atau
peritonitis umum. Proses ini tergantung pada kecepatan progresivitas ke arah perforasi dan
kemampuan pasien berespon terhadap adanya perforasi. Tanda perforasi appendiks mencakup
peningkatan suhu melebihi 38.6oC, leukositosis > 14.000, dan gejala peritonitis pada
pemeriksaan fisik. Pasien dapat tidak bergejala sebelum terjadi perforasi, dan gejala dapat
menetap hingga > 48 jam tanpa perforasi. Secara umum, semakin lama gejala berhubungan
dengan peningkatan risiko perforasi. Peritonitis difus lebih sering dijumpai pada bayi karena
tidak adanya jaringan lemak omentum. Anak yang lebih tua atau remaja lebih memungkinkan
untuk terjadinya abscess yang dapat diketahui dari adanya massa pada pemeriksaan fisik5
Konstipasi jarang dijumpai tetapi tenesmus sering dijumpai. Diare sering didapatkan pada anak-
anak, dalam jangka waktu sebentar, akibat iritasi ileum terminal atau caecum. Adanya diare
dapat mengindikasikan adanya abscess pelvis5 2.6 GAMBARAN KLINIS Appendicitis dapat
mengenai semua kelompok usia. Meskipun sangat jarang pada neonatus dan bayi, appendicitis
akut kadang-kadang dapat terjadi dan diagnosis appendicitis jauh lebih sulit dan kadang tertunda.
Nyeri merupakan gejala yang pertama kali muncul. Seringkali dirasakan sebagai nyeri tumpul,
nyeri di periumbilikal yang samar-samar, tapi seiring dengan waktu akan berlokasi di abdomen
kanan bawah. Terjadi peningkatan nyeri yang gradual seiring dengan perkembangan penyakit1.
Variasi lokasi anatomis appendiks dapat mengubah gejala nyeri yang terjadi. Pada anak-anak,
dengan letak appendiks yang retrocecal atau pelvis, nyeri dapat mulai terjadi di kuadran kanan
bawah tanpa diawali nyeri pada periumbilikus. Nyeri pada flank, nyeri punggung, dan nyeri alih
pada testis juga merupakan gejala yang umum pada anak dengan appendicitis retrocecal arau
pelvis1. Jika inflamasi dari appendiks terjadi di dekat ureter atau bladder, gejal dapat berupa
nyeri saat kencing atau perasaan tidak nyaman pada saat menahan kencing dan distensi kandung
kemih1. Anorexia, mual, dan muntah biasanya terjadi dalam beberapa jam setelah onset
terjadinya nyeri. Muntah biasanya ringan. Diare dapat terjadi akibat infeksi sekunder dan iritasi
pada ileum terminal atau caecum. Gejala gastrointestinal yang berat yang terjadi sebelum onset
nyeri biasanya mengindikasikan diagnosis selain appendicitis. Meskipun demikian, keluhan GIT
ringan seperti indigesti atau perubahan bowel habit dapat terjadi pada anak dengan appendicitis1.
Pada appendicitis tanpa komplikasi biasanya demam ringan (37,5 -38,5 0 C). Jika suhu tubuh
diatas 38,6 0 C, menandakan terjadi perforasi. Anak dengan appendicitis kadang-kadang berjalan
pincang pada kaki kanan. Karena saat menekan dengan paha kanan akan menekan Caecum
hingga isi Caecum berkurang atau kosong. Bising usus meskipun bukan tanda yang dapat
dipercaya dapat menurun atau menghilang1. Anak dengan appendicitis biasanya menghindari
diri untuk bergerak dan cenderung untuk berbaring di tempat tidur dengan kadang-kadang lutut
diflexikan 1. Anak yang menggeliat dan berteriak-teriak jarang menderita appendicitis, kecuali
pada anak dengan appendicitis retrocaecal, nyeri seperti kolik renal akibat perangsangan ureter5.
Tabel 1. Gejala Appendicitis Akut8 Gejala Appendicitis Akut Frekuensi (%) Nyeri perut 100
Anorexia 100 Mual 90 Muntah 75 Nyeri berpindah 50 Gejala sisa klasik (nyeri periumbilikal
kemudian anorexia/mual/muntah kemudian nyeri berpindah ke RLQ kemudian demam yang
tidak terlalu tinggi) 50 *-- Onset gejala khas terdapat dalam 24-36 jam 2.7 PEMERIKSAAN
FISIK Pada Apendicitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga pada
pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut9. Secara klinis, dikenal beberapa manuver
diagnostik4: · Rovsing’s sign: dikatakan posiif jika tekanan yang diberikan pada LLQ abdomen
menghasilkan sakit di sebelah kanan (RLQ), menggambarkan iritasi peritoneum. Sering positif
tapi tidak spesifik4. · Psoas sign: dilakukan dengan posisi pasien berbaring pada sisi sebelah kiri
sendi pangkal kanan diekstensikan. Nyeri pada cara ini menggambarkan iritasi pada otot psoas
kanan dan indikasi iritasi retrocaecal dan retroperitoneal dari phlegmon atau abscess4. Gambar 3
. Cara melakukan Psoas sign Dasar anatomis terjadinya psoas sign adalah appendiks yang
terinflamasi yang terletak retroperitoneal akan kontak dengan otot psoas pada saat dilakukan
manuver ini8. Gambar 4. Dasar anatomis terjadinya Psoas sign · Obturator sign: dilakukan
dengan posisi pasien terlentang, kemudian gerakan endorotasi tungkai kanan dari lateral ke
medial. Nyeri pada cara ini menunjukkan peradangan pada M. obturatorius di rongga pelvis.
Perlu diketahui bahwa masing-masing tanda ini untuk menegakkan lokasi Appendix yang telah
mengalami radang atau perforasi4. Gambar 5. Cara melakukan Obturator sign Dasar anatomis
terjadinya psoas sign adalah appendiks yang terinflamasi yang terletak retroperitoneal akan
kontak dengan otot obturator internus pada saat dilakukan manuver ini8. Gambar 6. Dasar
anatomis terjadinya Obturator sign · Blumberg’s sign: nyeri lepas kontralateral (tekan di LLQ
kemudian lepas dan nyeri di RLQ) · Wahl’s sign: nyeri perkusi di RLQ di segitiga Scherren
menurun. · Baldwin test: nyeri di flank bila tungkai kanan ditekuk. · Defence musculare: bersifat
lokal, lokasi bervariasi sesuai letak Appendix. · Nyeri pada daerah cavum Douglas bila ada
abscess di rongga abdomen atau Appendix letak pelvis. · Nyeri pada pemeriksaan rectal
tooucher. · Dunphy sign: nyeri ketika batuk10. Skor Alvarado Semua penderita dengan suspek
Appendicitis acuta dibuat skor Alvarado dan diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu: skor
<6>6. Selanjutnya dilakukan Appendectomy, setelah operasi dilakukan pemeriksaan PA
terhadap jaringan Appendix dan hasilnya diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu: radang akut
dan bukan radang akut11. Tabel Alvarado scale untuk membantu menegakkan diagnosis
Manifestasi Skor Gejala Adanya migrasi nyeri 1 Anoreksia 1 Mual/muntah 1 Tanda Nyeri RLQ
2 Nyeri lepas 1 Febris 1 Laboratorium Leukositosis 2 Shift to the left 1 Total poin 10
Keterangan: 0-4 : kemungkinan Appendicitis kecil 5-6 : bukan diagnosis Appendicitis 7-8 :
kemungkinan besar Appendicitis 9-10 : hampir pasti menderita Appendicitis Bila skor 5-6
dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor >6 maka tindakan bedah sebaiknya
dilakukan11. 2.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium Jumlah leukosit diatas 10.000
ditemukan pada lebih dari 90% anak dengan appendicitis akuta. Jumlah leukosit pada penderita
appendicitis berkisar antara 12.000-18.000/mm3. Peningkatan persentase jumlah neutrofil (shift
to the left) dengan jumlah normal leukosit menunjang diagnosis klinis appendicitis. Jumlah
leukosit yang normal jarang ditemukan pada pasien dengan appendicitis1. Pemeriksaan urinalisis
membantu untuk membedakan appendicitis dengan pyelonephritis atau batu ginjal. Meskipun
demikian, hematuria ringan dan pyuria dapat terjadi jika inflamasi appendiks terjadi di dekat
ureter1. Ultrasonografi Ultrasonografi sering dipakai sebagai salah satu pemeriksaan untuk
menunjang diagnosis pada kebanyakan pasien dengan gejala appendicitis. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa sensitifitas USG lebih dari 85% dan spesifitasnya lebih dari 90%.
Gambaran USG yang merupakan kriteria diagnosis appendicitis acuta adalah appendix dengan
diameter anteroposterior 7 mm atau lebih, didapatkan suatu appendicolith, adanya cairan atau
massa periappendix1. False positif dapat muncul dikarenakan infeksi sekunder appendix sebagai
hasil dari salphingitis atau inflammatory bowel disease. False negatif juga dapat muncul karena
letak appendix yang retrocaecal atau rongga usus yang terisi banyak udara yang menghalangi
appendix1. CT-Scan CT scan merupakan pemeriksaan yang dapat digunakan untuk
mendiagnosis appendicitis akut jika diagnosisnya tidak jelas.sensitifitas dan spesifisitasnya kira-
kira 95-98%. Pasien-pasien yang obesitas, presentasi klinis tidak jelas, dan curiga adanya
abscess, maka CT-scan dapat digunakan sebagai pilihan test diagnostik1. Diagnosis appendicitis
dengan CT-scan ditegakkan jika appendix dilatasi lebih dari 5-7 mm pada diameternya. Dinding
pada appendix yang terinfeksi akan mengecil sehingga memberi gambaran “halo” 10. 2.9
DIAGNOSIS BANDING Diagnosis banding dari Appendicitis dapat bervariasi tergantung dari
usia dan jenis kelamin4,12. · Pada anak-anak balita à intususepsi, divertikulitis, dan
gastroenteritis akut. Intususepsi paling sering didapatkan pada anak-anak berusia dibawah 3
tahun. Divertikulitis jarang terjadi jika dibandingkan Appendicitis. Nyeri divertikulitis hampir
sama dengan Appendicitis, tetapi lokasinya berbeda, yaitu pada daerah periumbilikal. Pada
pencitraan dapat diketahui adanya inflammatory mass di daerah abdomen tengah. Diagnosis
banding yang agak sukar ditegakkan adalah gastroenteritis akut, karena memiliki gejala-gejala
yang mirip dengan appendicitis, yakni diare, mual, muntah, dan ditemukan leukosit pada feses. ·
Pada anak-anak usia sekolah à gastroenteritis, konstipasi, infark omentum. Pada gastroenteritis,
didapatkan gejala-gejala yang mirip dengan appendicitis, tetapi tidak dijumpai adanya
leukositosis. Konstipasi, merupakan salah satu penyebab nyeri abdomen pada anak-anak, tetapi
tidak ditemukan adanya demam. Infark omentum juga dapat dijumpai pada anak-anak dan
gejala-gejalanya dapat menyerupai appendicitis. Pada infark omentum, dapat terraba massa pada
abdomen dan nyerinya tidak berpindah · Pada pria dewasa muda Diagnosis banding yang sering
pada pria dewasa muda adalah Crohn’s disease, klitis ulserativa, dan epididimitis. Pemeriksaan
fisik pada skrotum dapat membantu menyingkirkan diagnosis epididimitis. Pada epididimitis,
pasien merasa sakit pada skrotumnya. · Pada wanita usia muda Diagnosis banding appendicitis
pada wanita usia muda lebih banyak berhubungan dengan kondisi-kondisi ginekologik, seperti
pelvic inflammatory disease (PID), kista ovarium, dan infeksi saluran kencing. Pada PID,
nyerinya bilateral dan dirasakan pada abdomen bawah. Pada kista ovarium, nyeri dapat dirasakan
bila terjadi ruptur ataupun torsi. · Pada usia lanjut Appendicitis pada usia lanjut sering sukar
untuk didiagnosis. Diagnosis banding yang sering terjadi pada kelompok usia ini adalah
keganasan dari traktus gastrointestinal dan saluran reproduksi, divertikulitis, perforasi ulkus, dan
kolesistitis. Keganasan dapat terlihat pada CT Scan dan gejalanya muncul lebih lambat daripada
appendicitis. Pada orang tua, divertikulitis sering sukar untuk dibedakan dengan appendicitis,
karena lokasinya yang berada pada abdomen kanan. Perforasi ulkus dapat diketahui dari
onsetnya yang akut dan nyerinya tidak berpindah. Pada orang tua, pemeriksaan dengan CT Scan
lebih berarti dibandingkan dengan pemeriksaan laboratorium. 2.10 KOMPLIKASI 1.
Appendicular infiltrat: Infiltrat / massa yang terbentuk akibat mikro atau makro perforasi dari
Appendix yang meradang yang kemudian ditutupi oleh omentum, usus halus atau usus besar. 2.
Appendicular abscess: Abses yang terbentuk akibat mikro atau makro perforasi dari Appendix
yang meradang yang kemudian ditutupi oleh omentum, usus halus, atau usus besar. 3. Perforasi
4. Peritonitis 5. Syok septik 6. Mesenterial pyemia dengan Abscess Hepar 7. Gangguan
peristaltik 8. Ileus 4,12 2.11 PENATALAKSANAAN Untuk pasien yang dicurigai Appendicitis
: n Puasakan n Berikan analgetik dan antiemetik jika diperlukan untuk mengurangi gejala n
Penelitian menunjukkan bahwa pemberian analgetik tidak akan menyamarkan gejala saat
pemeriksaan fisik. n Pertimbangkan DD/ KET terutama pada wanita usia reproduksi. n Berikan
antibiotika IV pada pasien dengan gejala sepsis dan yang membutuhkan Laparotomy Perawatan
appendicitis tanpa operasi n Penelitian menunjukkan pemberian antibiotika intravena dapat
berguna untuk Appendicitis acuta bagi mereka yang sulit mendapat intervensi operasi (misalnya
untuk pekerja di laut lepas), atau bagi mereka yang memilki resiko tinggi untuk dilakukan
operasi Rujuk ke dokter spesialis bedah. Antibiotika preoperative n Pemberian antibiotika
preoperative efektif untuk menurunkan terjadinya infeksi post opersi. n Diberikan antibiotika
broadspectrum dan juga untuk gram negative dan anaerob n Antibiotika preoperative diberikan
dengan order dari ahli bedah. n Antibiotik profilaksis harus diberikan sebelum operasi dimulai.
Biasanya digunakan antibiotik kombinasi, seperti Cefotaxime dan Clindamycin, atau Cefepime
dan Metronidazole. Kombinasi ini dipilih karena frekuensi bakteri yang terlibat, termasuk
Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, Enterococcus, Streptococcus viridans, Klebsiella, dan
Bacteroides. Teknik operasi Appendectomy 2,,5 A. Open Appendectomy 1. Dilakukan tindakan
aseptik dan antiseptik. 2. Dibuat sayatan kulit: Horizontal Oblique 3. Dibuat sayatan otot, ada
dua cara: a. Pararectal/ Paramedian Sayatan pada vaginae tendinae M. rectus abdominis lalu otot
disisihkan ke medial. Fascia diklem sampai saat penutupan vagina M. rectus abdominis karena
fascia ada 2 supaya jangan tertinggal pada waktu penjahitan karena bila terjahit hanya satu lapis
bisa terjadi hernia cicatricalis. 2 lapis M.rectus abd. sayatan b. Mc Burney/ Wechselschnitt/
muscle splitting Sayatan berubah-ubah sesuai serabut otot. Gambar 7. Lokasi insisi yang sering
digunakan pada Appendectomy B. Laparoscopic Appendectomy Pertama kali dilakukan pada
tahun 1983. Laparoscopic dapat dipakai sarana diagnosis dan terapeutik untuk pasien dengan
nyeri akut abdomen dan suspek Appendicitis acuta. Laparoscopic kemungkinan sangat berguna
untuk pemeriksaan wanita dengan keluhan abdomen bagian bawah. Membedakan penyakit akut
ginekologi dari Appendicitis acuta sangat mudah dengan menggunakan laparoskop2,,5. BAB III
KESIMPULAN Appendicitis adalah peradangan yang terjadi pada Appendix vermicularis, dan
merupakan penyebab abdomen akut yang paling sering pada anak-anak maupun dewasa.
Appendicitis akut merupakan kasus bedah emergensi yang paling sering ditemukan pada anak-
anak dan remaja Gejala appendicitis akut pada anak tidak spesifik . Gejala awalnya sering hanya
rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa nyerinya. Dalam beberapa
jam kemudian akan timbul muntah-muntah dan anaka akan menjadi lemah dan letargik. Karena
gejala yang tidak khas tadi, appendicitis sering diketahui setelah terjadi perforasi. Pada bayi, 80-
90% appendicitis baru diketahui setelah terjadi perforasi. Riwayat perjalanan penyakit pasien dan
pemeriksaan fisik merupakan hal yang paling penting dalam mendiagnosis appendicitis.