You are on page 1of 23

PRESENTASI KASUS

Preeklamsia Berat

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik


di Bagian Ilmu Obstetri dan Ginekologi RSUD Panembahan Senopati Bantul

Disusun oleh:
Zulqaidandy Rahman
2012 031 0133

Diajukan kepada:
dr. Erick Yuane, Sp.OG.

Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan


Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Departemen Ilmu Obstetri dan Ginekologi
Rumah Sakit Panembahan Senopati
2016

1
HALAMAN PENGESAHAN
PREEKLAMSIA BERAT

Disusun oleh:
Zulqaidandy Rahman
2012 031 133

Disetujui dan disyahkan pada tanggal:

Mengetahui,
Dosen Pembimbing

dr. Erick Yuane, Sp.OG.

2
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kehamilan adalah suatu hal yang dinantikan oleh setiap pasangan yang
telah menikah. Namun tidak semua kehamilan dapat berjalan dengan lancar.
Terdapat beberapa penyulit yang terjadi selama kehamilan sehingga dapat
mengancam jiwa ibu maupun janin. Salah satu komplikasi yang sering
terjadi adalah hipertensi pada kehamilan. Hipertensi pada kehamilan terjadi pada
5-10 persen dari seluruh jumlah kehamilan, dan sekarang hipertensi dalam
kehamilan digolongkan sebagai trias, selain perdarahan dan infeksi, yang
menyebabkan tingginya morbiditas dan mortalitas pada ibu hamil. Berdasarkan
riset kesehatan dasar tahun 2007, dilakukan penelitian terhadap ibu hamil di
Indonesia dengan rentang usia 15-54 tahun, dan ditemukan prevalensi hipertensi
pada ibu hamil sebesar 12,7% (Sirait, 2012).

Sindrom preeklamsia yang merupakan salah satu jenis dari gangguan


hipertensi pada kehamilan, baik preeklamsia sendiri maupun preeklamsia pada
hipertensi kronik merupakan jenis yang paling berbahaya (Cunningham, et al.,
2014). Preeklamsia adalah penyebab utama dari morbiditas dan mortalitas pada
perinatal dan maternal, dengan estimasi sekitar 50.000 – 60.000 kasus
preeklamsia berujung dengan kematian di seluruh dunia (American College Of
Obstetricians and Gynecologist, 2013).

Yang paling ditakutkan dari hipertensi pada kehamilan adalah preeklamsia


dan eklamsia atau keracunan pada kehamilan yang sangat membahayakan ibu
maupun janinnya. Berdasarkan beberapa penelitian, preeklamsia menjadi
penyebab terbesar nomor dua pada kasus keguguran atau kematian janin.
Preeklamsia terjadi pada kurang lebih 5% dari semua kehamilan, 10% pada
kehamilan anak pertama dan 20–25% pada perempuan hamil dengan riwayat
hipertensi sebelum hamil. Pada janin, preeklamsia bisa menyebabkan berat badan
lahir rendah, keguguran dan lahir prematur. Sedangkan yang
menjadi eklamsia sekitar 0,05–0,20%. Setiap tahun sebanyak 250 ribu ibu hamil
di Amerika menderita hipertensi atau 5–10%.. Faktor risiko ibu untuk terjadinya
preeklamsia antara lain kehamilan pertama, usia kurang dari 18 tahun atau lebih
dari 35 tahun, riwayat preeklamsia pada kehamilan sebelumnya, riwayat keluarga
dengan preeklamsia, obesitas atau kegemukan, dan jarak antar kehamilan kurang
dari 2 tahun atau lebih dari 10 tahun (Sirait, 2012).

3
BAB II
IDENTITAS PASIEN
A. Identitas Pasien
Nama : Ny. Ernawati
Umur : 35 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Agama : Islam
Alamat : Trayem RT 03 Bantul
Tanggal masuk : I . 19 September 2016

B. Anamnesa
19 September 2016 (RB) 20.20
Keluhan Utama
Pasien kontrol rutin ke poli kebidanan RSPS, didapati tekanan darah
170/100 saat di poli.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien G2P1A0, mengatakan hari ini merupakan jadwal kontrol ke poli.
Setelah kontrol dari poli pasien dikirim ke rawat inap dengan kecurigaan
adanya pre eklamsia berat setelah tekanan darah di poli 170/100. Pasien
belum merasakan kenceng-kenceng, lendir darah tidak ada, air ketuban
belum ada merembes, gerakan janin dirasakan aktif
Riwayat obstetri
I : 2012, UK: 40 minggu, hidup, laki-laki, BBL = 3200gr
II : Hamil ini
Hari Pertama Haid Terakhir : 24/12/2015
Hari Perkiraan Lahir: 01/10/2016
Umur Kehamilan : 38 minggu 3 hari
Riw. ANC: 10x di bidan dan dokter :
Riw. Haid : menarche umur 13 tahun.
Riw. Menikah : menikah 2x dengan suami sekarang sejak 1 th yll
Riw. KB : KB suntik

4
Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit jantung, darah tinggi, kencing manis, asma, dan alergi
disangkal.
Riwayat penyakit keluarga
Riwayat penyakit jantung, darah tinggi, kencing manis, asma, dan alergi
disangkal.

C. Pemeriksaan fisik
Status Generalis
KU : baik, composmentis, tidak anemis
Vital sign : TD : 170/110 mmHg RR : 23 x/menit N : 100 x/menit T :
36,1oC
TB : 158 cm
BB : 75 kg
Kepala : CA (-)/(-), SI (-)/(-), edema palpebra(-)
Leher : pemb. kel. limfonodi(-), pemb. kel. tyroid(-)
Thorax : simetris(+), retraksi(-), SDV(+)/(+), ST(-) S1 S2
reguler(+), bising jantung(-)
Abdomen : bising usus(+) normal, nyeri tekan(-), supel(+)
Ekstremitas : hangat(+)/(+), edema(-)/(-)
Status Obstetri
Inspeksi : KU baik, sadar, tidak anemis
Palpasi abd : massa(-), NT(-)
Leopold 1: teraba bokong
Leopold 2: teraba punggung di kiri
Leopold 3: teraba kepala
Leopold 4: kepala belum masuk panggul
Auskultasi : DJJ: 145x/menit, TFU= 38 cm
Px. Dalam : V/U tenang, dinding vagina licin, serviks utuh mecucu.

5
D. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Hasil Rujukan Satuan


HEMATOLOGI

Hemoglobin 15.4 12.0 - 16.0 g/dl

Lekosit 11.75 4.00 - 11.00 10^3/uL

Eritrosit 4.28 4.00 - 5.00 10^6/uL

Trombosit 254 150 - 450 10^3/uL

Hematokrit 44.3 36.0 - 46.0 vol%

HITUNG JENIS

Eosinofil 1 2-4 %

Basofil 1 0-1 %

Batang 0 2-5 %

Segmen 55 40 - 60 %

Limfosit 46 45 - 65 %

Monosit 5 2-8 %

GOL.DARAH

Golongan Darah O

HEMOSTASIS

PPT 12.1 12.0 - 16.0 detik

APTT 29.1 28.0 - 38.0 detik

Control PPT 13.4 11.0 - 16.0 detik

Control APTT 30.4 28.0 - 36.5 detik

KIMIA KLINIK

FUNGSI HATI

SGOT 11 <31 U/L

SGPT 8 <31 U/L

6
Protein Total 5.80 6.20 - 8.40 g/dl

Albumin 2.70 3.50 - 5.50 g/dl

Globulin 3.10 2.80 - 3.20 g/dl

FUNGSI GINJAL

Ureum 16 17 - 43 mg/dl

Creatinin 0.68 0.60 - 1.10 mg/dl

DIABETES

Glukosa Darah Sewaktu 315 80 - 200 mg/dl

ELEKTROLIT

Natrium 142.4 137.0 - 145.0 mmol/l

Kalium 3.24 3.50 - 5.10 mmol/l

Klorida 105.8 98.0 - 107.0 mmol/l

SERO - IMUNOLOGI

HEPATITIS

HbsAg Titer Negatif Negatif

HIV

HIV Screening Non reaktif Non reaktif

URINE

Protein Urine +3 Negatif

E. Diagnosis Kerja
PEB, sekundigravida h.aterm, BDP
F. Penatalaksanaan
-Injeksi MgSO4 loading dose 4gr lanjut
-Injeksi MgSO4 1gr/jam s/d 24 jam
-Adalat oros 1x30 mg
-Nifedipin extra bila TD >150/110

7
G. Follow Up
19 September 2016 20.30
NST terpasang, hasil reaktif, balon kateter terpasang.
20 September 2016 06.00
Anamesis : pasien mengeluhkan pusing
Px fisik : KU baik, sadar, tidak anemis
TD: 150/100, N: 100x, RR: 32, t: 36.3
Diagnosis : PEB sekundigravida h.aterm BDP G2P1A0 dalam induksi balon
kateter
Terapi : -Injeksi MgSO4 loading dose 4gr lanjut
-Injeksi MgSO4 1gr/jam s/d 24 jam
-Adalat oros 1x30 mg
-Nifedipin extra bila TD >150/110
-Metildopa 3x500mg
-PCT k/p

20 September 2016 14.30


S: pasien mengeluhkan pusing, penglihatan kabur.
Persiapan dilakukan Sectio Caesaria a.i impending eklampsia

20 September 2016 18.16


Telah dilakukan SC emergensi + insersi IUD a.i impending eklampsia. Bayi lahir
perabdominal jenis kelamin perempuan, BBL= 3600gr, PB= 49 cm, AS= 7/9 air
ketuban jernih.
20 September 2016 19.30
Anamesis : BAB (-), BAK (+), kaki belum bisa digerakkan
Px fisik : KU baik, sadar, tidak anemis
TD: 150/110, N: 85, R: 24, t: 37,2
Abdomen : peristaltik(-), kontraksi baik
Diagnosis : Post SC emergensi + insesi IUD a.i impending eklampsia dan PEB,
P2A0, H0 dengan DM tipe 2
Terapi : Inj.Cefotaxime 1gr/12jam

8
Inj.Ketorolac 30mg/8jam
adalat oros 1x30mg
metildopa 3x500mg
nifedipin k.p
inj, MgSO4 1gr/jam
konsul PD

21 September 2016 06.00


Anamesis : pusing(-), mual(-), muntah(-), demam(+), mobilisasi(+),
perdarahan(+), pandangan kabur (-), BAK (+), BAB (-), ASI +/+
Px fisik : KU baik, sadar, tidak anemis
TD: 150/100, N: 85, R: 24, t: 37,4, HB post op: 12,6
Abdomen : peristaltik(+), kontraksi baik
Diagnosis : Post SC emergensi + insesi IUD a.i impending eklampsia dan PEB,
P2A0, H1 dengan DM tipe 2
Terapi : Inj. Cefotaxime 1gr/12 jam/IV
Inj. Ketorolac 30mg/8jam/IV
Inj. MgSO4 1gr/jam/IV lanjut s/d 24 jam post SC
Metildopa 3x500mg
Nifedipin k.p
Konsul UPD
Minum yang banyak
21 September 2016 08.00 (UPD)
Anamesis : nyeri kepala (-), pusing (-), lemes (-), mual (-), BAK (+), BAB (-)
Px fisik : KU baik, sadar, tidak anemis
TD: 145/100, N: 98, RR: 24, t: 36,8
Kepala: CA (-), SI (-)
Thorax: vesikuler +/+, ST -/-, S1, S2 reguler
Abdomen : t.a.k
Ext: akral hangat, tidak ada edema
Diagnosis : DM 2
Terapi : Novorapid sesuai GDS

9
22 September 2016 06.00
Anamesis : pusing(-), mual(-), muntah(-), demam(-), mobilisasi(+),
perdarahan(+), pandangan kabur (-), BAK (+), BAB (-), ASI +/+
Px fisik : KU baik, sadar, tidak anemis
TD: 120/90, N: 81, R: 21, t: 36,5
Abdomen : kontraksi baik
Diagnosis : Post SC emergensi + insesi IUD a.i impending eklampsia dan PEB,
P2A0, H2 dengan DM tipe 2
Terapi : Inj. Cefotaxime 1gr/12 jam/IV
Inj. Ketorolac 30mg/8jam/IV
Metildopa 3x250mg
Balans cairan
Lanjut TX UPD
22 September 2016 08.00 (UPD)
Anamesis : nyeri kepala (-), pusing (-), lemes (-), mual (-), BAK (+), BAB (-)
Px fisik : KU baik, sadar, tidak anemis
TD: 95/75, N: 80, RR: 24, t: 36
Kepala: CA (-), SI (-)
Thorax: vesikuler +/+, ST -/-, S1, S2 reguler
Abdomen : t.a.k
Ext: t.a.k
Diagnosis : DM 2
Terapi : Novorapid sesuai GDS
23 September 2016 06.00
Anamesis : pusing(-), mual(-), muntah(-), demam(-), mobilisasi(+),
perdarahan(+), pandangan kabur (-), BAK (+), BAB (+), ASI +/+
Px fisik : KU baik, sadar, tidak anemis
TD: 110/90, N: 96, R: 24, t: 36
Abdomen : kontraksi baik
Diagnosis : Post SC emergensi + insesi IUD a.i impending eklampsia dan PEB,
P2A0, H3 dengan DM tipe 2
Terapi : Inj. Cefotaxime 1gr/12 jam/IV

10
Inj. Ketorolac 30mg/8jam/IV
Metildopa 3x250mg
Lanjut TX UPD
AF DC, cek residu urin
BLPL

Jawaban konsul UPD terkait GDS pasien:


GDS <200 = Novorapid stop
GDS 200-250 = 5IU
GDS 250-300 = 10IU
GDS 300-350 = 15IU
GDS >350 = 20 IU
GDS selama pasien dirawat
Waktu GDS Dosis Novorapid
20/9/2016, 22.00 331 15IU
21/9/2016 02.00 218 5IU
21/9/2016 06.00 119 STOP
21/9/2016 14.00 177 STOP
21/9/2016 18.00 303 15IU
22/9/2016 10.00 177 STOP
22/9/2016 14.00 193 STOP

11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Preeklamsia
Preeklamsia adalah peningkatan tekanan darah yang baru timbul
setelah usia kehamilan mencapai 20 minggu, disertai penambahan berat
badan ibu yang cepat akibat tubuh membengkak dan ditemukannya protein
dalam urine (Sirait, 2012).
Definisi lain dari preeklamsia adalah kelainan hipertensi pada ibu
yang terjadi pada kehamilan dan melibatkan banyak sistem di dalam tubuh
(American College Of Obstetricians and Gynecologist, 2013). Preeklamsia
umumnya didagnosis dengan ditemukannya tekanan darah tinggi serta
ditemukannya protein dalam urin ibu. Tetapi selain hipertensi dan
proteinuria, preeklamsia juga dapat didagnosis dengan ditemukannya
gejala lain selain proteinuria yang merupakan interpretasi dari adanya
gangguan multisistemik. Jika tidak ditemukan adanya proteinuria,
preeklamsia juga dapat ditegakkan diagnosisnya dengan hadirnya
hipertensi yang disertai trombositopenia (trombosit <100.000/microliter),
terganggunya fungsi hati, fungsi ginjal yang tidak adekuat (ditemukannya
kreatin >1,1mg/dL), edema pulmo, atau munculnya gangguan pada
cerebrum atau defek pada penglihatan yang timbul secara tiba-tiba
(American College Of Obstetricians and Gynecologist, 2013).
B. Epidemiologi Preeklamsia
Preeklampsia/eklampsia merupakan penyebab utama morbiditas
dan mortalitas ibu dan bayi di dunia khususnya negara-negara sedang
berkembang. Pada negara sedang berkembang frekuensi dilaporkan
berkisar antara 0,3 persen sampai 0,7 persen, sedang di negara-negara
maju angka eklampsia lebih kecil, yaitu 0,05 persen sampai 0,1 persen. Di
Indonesia preeklampsia berat dan eklampsia merupakan penyebab
kematian ibu berkisar 1,5 persen sampai 25 persen, sedangkan kematian
bayi antara 45 persen sampai 50 persen. Eklampsia menyebabkan 50.000
kematian/tahun di seluruh dunia, 10 persen dari total kematian maternal.
Kematian preeklampsia dan eklampsia merupakan kematian obsetrik

12
langsung, yaitu kematian akibat langsung dari kehamilan, persalinan atau
akibat komplikasi tindakan pertolongan sampai 42 hari pascapersalinan.
Banyak faktor yang menyebabkan meningkatnya insiden preeklamsia pada
ibu hamil. Faktor risiko yang dapat meningkatkan insiden preeklampsia
antara lain molahidatidosa, nulipara, usia kurang dari 20 tahun atau lebih
dari 35 tahun, janin lebih dari satu, multipara, hipertensi kronis, diabetes
mellitus atau penyakit ginjal. Preeklampsia/eklampsia dipengaruhi juga
oleh paritas, genetik dan faktor lingkungan (Djannah & Arianti, 2010).

C. Etiologi dan Patogenesis Preeklamsia


Pelbagai penelitian pada preeklampsia telah dilakukan untuk
mencari faktor risiko, etiologi, maupun intervensi yang terbaik untuk
preeklampsia, tetapi konsensus yang telah ada untuk preeklampsia masih
kurang. Sejumlah teori mengenai mekanisme etiopatofisiologi preeklamsia
telah banyak didiskusikan, tetapi teori-teori etiologi dan patogenesis
tersebut masih belum dapat dibuktikan secara pasti1. Karena itulah

preeklamsia masih digambarkan sebagai sebuah ―disease of theories”.

Dari banyak teori yang telah dikemukakan, tidak ada satu pun teori
tersebut yang dianggap mutlak benar. Teori-teori tersebut diantaranya
adalah (1) teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel, (2)
teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin, (3) teori kelainan pada
vaskularisasi plasenta, (4) teori adaptasi kardiovaskular, (5) teori defisiensi
gizi, (6) teori inflamasi, dan (7) teori genetik (Jembawan, 2015).
Plasenta pada kehamilan normal dan preeklamsia, pada
kehamilan normal terjadi invasi trofoblas ke dalam lapisan otot arteri
spiralis, yang menimbulkan degenerasi lapisan otot tersebut. Degenerasi
lapisan otot menyebabkan lapisan menjadi lunak, sehingga lumen arteri
spiralis dengan mudah mengalami distensi dan vasodilatasi, yang akan
memberi dampak penurunan tekanan darah, penurunan resistensi, dan
peningkatan aliran darah pada daerah uteroplasenta. Akibatnya aliran
darah ke janin cukup banyak dan perfusi jaringan meningkat, sehingga

13
dapat menjamin pertumbuhan janin dengan baik. Proses ini dikenal
dengan istilah remodeling arteri spiralis. Pada preeklampsia tidak terjadi

invasi sel – sel trofoblas pada lapisan otot arteri spiralis. Lapisan otot

menjadi kaku dan keras, sehingga lumen arteri spiralis tidak mungkin
menjadi distensi dan vasodilatasi. Akibatnya arteri spiralis relatif
mengalami vasokonstriksi, sehingga aliran darah uteroplasenta menurun
dan terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta yang tentunya akan
berpengaruh juga terhadap keadaan janin intra uterin (Kusuma, 2004).
Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel,
salah satu teori etiologi preeklampsia yang saat ini cukup banyak dianut
adalah yaitu teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel.
Teori ini mengatakan adanya ketidakseimbangan antara produksi radikal
bebas dan sistem pertahanan antioksidan akibat iskemia plasenta, sehingga
terjadi stres oksidatif. Peningkatan peroksidasi lemak dianggap memiliki
peranan penting didalamnya (Jembawan, 2015). Idealnya selama
kehamilan normal, peningkatan produksi radikal bebas keseimbangannya
selalu dijaga melalui produksi antioksidan yang cukup, namun pada
preeklamsia terjadi peningkatan produksi radikal bebas berlebihan dan
penurunan kadar antioksidan sehingga menyebabkan suatu keadaan stres
oksidatif. Preeklamsia sering disebut sebagai penyakit dengan dua
tahapan. Tahap pertama adalah kegagalan parsial invasi trofoblas dan
remodeling arteri spiralis dengan akibat restriksi aliran vaskular dan
kurangnya pasokan aliran darah pada plasenta yang menyebabkan
terjadinya hipoksia. Sebagai hasil akhir timbulah lesi iskemik yang
terinduksi oleh adanya stres oksidatif. Tahap kedua adalah sindroma
maternal, yang ditandai dengan respon inflamasi sistemik yang
berlebihan, melibatkan leukosit, disfungsi endotel, trombosis, dan aktivasi
sistem reninangiotensi-aldosteron. Rangsangan yang mengakibatkan
timbulnya manifestasi klinis diyakini akibat stres pada plasenta (Roberts
& Hubel, 2009). Berkurangnya invasi trofoblas kedalam uterus dan arteri
spiralis yang merupakan karakteristik dari preeklamsia menyebabkan

14
suplai darah ke plasenta menjadi sangat berkurang. Gangguan plasentasi
ini menyebabkan terjadinya hipoksia plasenta dan dapat menyebabkan
cedera iskemi reperfusi pada plasenta. Dengan adanya iskemia plasenta
ini, kemudian dihasilkan lebih banyak radikal bebas. Jika radikal bebas
yang dihasilkan melebihi kapasitas antioksidan atau keadaan dimana
jumlah antioksidan menurun, maka timbulah suatu keadaan stres oksidatif.
Pada keadaan ini, terdapat radikal bebas yang berlebihan, terutama spesies
oksigen reaktif, yang selanjutnya akan bereaksi dengan asam lemak tak
jenuh (PUFA; Poly Unsaturated Fatty Acid) pada membran sel dan
lipoprotein pada plasma yang kemudian membentuk peroksida lemak,
yang dikenal dengan 9 proses peroksidasi lemak (Roberts & Hubel, 2009).
Peroksida lemak ini merupakan komponen yang sangat reaktif sehingga
dapat menyebabkan kerusakan pada membran sel endotel, bahkan juga
dapat merusak komponen sel lainnya. Kerusakan atau gangguan pada
struktur endotel karena produk peroksidasi lemak ini berperan penting
menyebabkan gangguan fungsi endotel (Roberts & Hubel, 2009).
Endotel dan disfungsi endotel, endotel merupakan organ terluas
dalam tubuh manusia, yang terdapat sepanjang dinding sebelah dalam
pembuluh darah. Endotel ini berperan penting untuk mengontrol aliran
darah dan tahanan perifer, melalui mediator-mediator kimiawi yang
dihasilkan sebagai akibat rangsangan neuronal, kemikal, dan fisikal, yaitu;
NO, PGI2 dan EDHF, yang kesemuanya bersifat vasodilator. Selain itu
endotel juga berperan dalam proses trombosis dan hemostasis. Dengan
demikian peranan endotel bukan saja sebagai barier mekanik antara
plasma intravaskuler dengan cairan ekstravaskuler, tetapi mempunyai
fungsi yang kompleks mengontrol diameter pembuluh darah, aliran darah,
serta mekanisme pembekuan darah. Karena perannya itulah sel endotel
harus mampu merespon situasi stres oksidatif yang buruk, atau situasi
patologis yang buruk seperti iskemia dan hipoksia (Kusuma, 2004).
Disfungsi endotel yang terjadi pada preeklampsia dimulai dengan
terpaparnya membran sel endotel oleh mediator-mediator yang terlepas
akibat iskemia dan hipoksia plasenta, diantaranya produk peroksidasi

15
lemak, sehingga mengakibatkan kerusakan pada membran sel tersebut.
Terganggunya membran sel tadi dapat menganggu fungsi endotel, bahkan
mengakibatkan rusaknya seluruh struktur sel endotel. Akibat terjadinya
kerusakan sel endotel, maka fungsi endotel sebagai barier mekanik hilang
sehingga terjadi kebocoran endotel yang menyebabkan terjadinya
ekstravasasi cairan intra ke ekstravaskuler, disamping itu fungsi endotel
untuk memproduksi PGI2 dan NO juga menurun, sehingga terjadi
vasokonstriksi dan peningkatan tekanan darah. Selain hal tersebut
kerusakan endotel juga akan mengakibatkan banyak gangguan lain,
diantaranya (1) penurunan produksi prostasiklin, (2) agregasi trombosit
pada daerah endotel yang 10 rusak yang juga akan menghasilkan
tromboksan A2, (3) perubahan khas pada kapilar glomerulus berupa
glomerular endotheliosis, (4) peningkatan permeabilitas kapiler, (5)
peningkatan faktor koagulasi. Keseluruhan dari gangguan disfungsi
endotel ini secara bersama-sama dianggap bertanggung jawab
menyebabkan timbulnya gejala klinis preeklampsia (Jembawan, 2015).
Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel diatas telah
didukung oleh banyak peneliti yang menganggap preeklamsia sebagai
salah satu penyakit dengan ketidak seimbangan antioksidan / oksidan.
Bukti-bukti telah bertambah terus selama lebih dari 20 tahun terakhir.
Banyak peneliti yang menemukan bahwa preeklampsia merupakan
keadaan dengan disfungsi endotel menyeluruh, termasuk perubahan
respon vaskular yang kehilangan resistensinya terhadap agen-agen
vasokonstriktor seperti norepinephrine dan angiotensin II, berkurangnya
produksi prostasiklin endothelial, dan peningkatan produksi fibronektin
selular. Semua gambaran preeklamsia diatas dimiliki juga oleh sejumlah
kelainan medis (atherosclerosis, diabetes, sepsis, dan cedera
iskemikreperfusi) yang bersama-sama diperkirakan penyebab utamanya
adalah adanya stres oksidatif (Chelbi & Vaiman, 2008).

16
D. Gejala pada Preeklamsia
Kadang, preeklamsia bisa berkembang tanpa gejala apa pun atau
hanya muncul gejala-gejala ringan.
Gejala utama dari preeklampsia adalah tekanan darah yang terus
meningkat. Naiknya tekanan darah bisa terjadi dengan lambat, akibatnya
sulit untuk memastikan kondisi ini. Oleh karena itu, memonitor tekanan
darah secara rutin menjadi hal penting untuk dilakukan selama masa
kehamilan.

Selain hipertensi, gejala umum lainnya dari preeklamsia adalah:

 Sesak napas, karena ada cairan di paru-paru.

 Sakit kepala parah.

 Berkurangnya volume urine.

 Gangguan penglihatan. Pandangan hilang sementara, menjadi kabur, dan


sensitif terhadap cahaya.

 Mual dan muntah.

 Rasa nyeri pada perut bagian atas. Biasanya di bawah tulang rusuk sebelah
kanan.

 Meningkatnya kandungan protein pada urine (proteinuria).

 Gangguan fungsi hati.

 Pembengkakan pada telapak kaki, pergelangan kaki, wajah dan tangan.

 Berkurangnya jumlah trombosit dalam darah (Alodokter, 2016).

E. Penegakan Diagnosis pada Preeklamsia


Kriteria diagnostik pada penegakan diagnosis preeklamsia adalah:
1. Tekanan darah
- Tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau diastolik ≥ 90
mmHg dalam dua kali pengukuran pada selang waktu 4

17
jam, setelah kehamilan mencapai 20 minggu pada ibu yang
sebelumnya tekanan darahnya normal.
- Tekanan darah sistolik ≥160 mmHg atau diastolik ≥ 110
mmHg, hipertensi dapat ditegakkan dengan interval dalam
hitungan menit, untuk dapat diberikan terapi antihipertensi.
2. Proteinuria
- Proteinuria ≥ 300mg/24 jam dari hasil tampung urin selama
24 jam, atau
- Perbandingan antara protein/kreatinin ≥ 0.3
- Hasil pembacaan protein dalam urin dengan dipstick ≥ 1+
Bila tidak ditemukan adanya proteinuria, adanya hipertensi yang
baru terjadi pada kehamilan setelah 20 minggu serta adanya salah satu dari
gejala dibawah berikut ini maka diagnosis preeklamsia dapat ditegakkan.
3. Trombositopenia
- Jumlah hitung platelet darah <100.000/mikroliter
4. Gangguan Ginjal
- Kreatinin serum >1,1 mg/dL atau peningkatan nilai
kreatinin serum dua kali lipat dengan tidak adanya
gangguan atau penyakit ginjal
5. Gangguan Fungsi Hati
- Naiknya kadar transaminase hepar dua kali lipat dari pada
nilai normal
Preeklamsia dapat digolongkan berat dengan gejala-gejala berikut:
- Tekanan darah sistolik ≥160 mmHg atau diastolik ≥ 110
mmHg
- Trombositopenia
- Gangguan fungsi hepar, ditandai dengan meningkatnya
kadar enzim hepar secara abnormal (dua kali nilai normal),
nyeri epigastrium atau kuadran atass abdomen tanpa adanya
respon pada terapi
- Kerusakan ginjal yang progresif
- Edema pulmo

18
- Adanya gangguan pada otak maupun penglihatan
(American College Of Obstetricians and Gynecologist,
2013).

F. Penatalaksanaan Preeklamsia

Manajemen preeklamsia (ACOG, 2013).


Tujuan utama penanganan preeklampsia adalah mencegah
terjadinya eklampsia, melahirkan bayi tanpa asfiksia dengan skor APGAR
baik, dan mencegah mortalitas maternal dan perinatal.
Pada preeklampsia ringan istirahat di tempat tidur merupakan
terapi utama dalam penanganan preeklampsia ringan. Istirahat dengan

19
berbaring pada sisi tubuh menyebabkan aliran darah ke plasenta dan aliran
darah ke ginjal meningkat, tekanan vena pada ekstremitas bawah menurun
dan reabsorpsi cairan bertambah.Selain itu dengan istirahat di tempat tidur
mengurangi kebutuhan volume darah yang beredar dan juga dapat
menurunkan tekanan darah. Apabila preeklampsia tersebut tidak membaik
dengan penanganan konservatif, dalam hal ini kehamilan harus diterminasi
jika mengancam nyawa maternal (Wiknjosastro, 2006).

Pada pasien preeklampsia berat segera harus diberi obat sedatif


kuat untuk mencegah timbulnya kejang. Apabila sesudah 12 – 24 jam
bahaya akut sudah diatasi, tindakan terbaik adalah menghentikan
kehamilan. Sebagai pengobatan mencegah timbulnya kejang, dapat
diberikan larutan magnesium sulfat (MgSO4) 20% dengan dosis 4 gram
secara intravena loading dose dalam 4-5 menit. Kemudian dilanjutkan
dengan MgSO4 40% sebanyak 12 gram dalam 500 cc ringer laktat (RL)
atau sekitar 14 tetes/menit. Tambahan magnesium sulfat hanya dapat
diberikan jika diuresis pasien baik, refleks patella positif dan frekuensi
pernafasan lebih dari 16 kali/menit. Obat ini memiliki efek menenangkan,
menurunkan tekanan darah dan meningkatkan diuresis. Selain magnesium
sulfat, pasien dengan preeklampsia dapat juga diberikan klorpromazin
dengan dosis 50 mg secara intramuskular ataupun diazepam 20 mg secara
intramuskular (Wiknjosastro, 2006).

20
BAB IV
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN
A. Pembahasan
Pada wanita dengan diabetes, hipertensi pada kehamilan
merupakan komplikasi utama yang seringkali mengharuskan persalinan
premature. Faktor risiko utama pada preeklamsia adalah semua penyakit
vascular.
Kegagalan invasi trofoblas (sitotrofoblas) merupakan salah satu
teori yang dipakai dalam mencari penyebab terjadinya preeklamsia.
Hubungan antara diabetes mellitus dengan terjadinya preeklamsia
disebabkan karena adanya peningkatan konsesntrasi glukosa di dalam
darah yang dapat menghambat sitotrofoblas melalui adanya rangsangan
pada alur pemicu stress (P38 MAPK dan PPRAγ) yang diikuti oleh
penghambatan dari MMP-9 yang membuat sitotrofoblas berpindah dan
terjadinya gangguan pada invasi yang juga menyebabkan terjadinya stress
oksidatif yang membuat terjadinya hipoksia pada plasenta dan naiknya IL6
yang menyebabkan ketidakseimbangan angiogenik. Hal-hal inilah yang
pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya pembentukan plasenta yang
abnormal sehingga dapat memicu terjadinya preeklamsia pada ibu dengan
diabetes mellitus (Uddin, Beeram, & Kuehl, 2013).

B. Kesimpulan
Preeklamsia yang merupakan suatu penyulit pada kehamilan
disebabkan oleh banyak faktor, diabetes mellitus sebagai salah satu
gangguan metabolic pada tubuh juga dapat menjadi salah satu penyebab
dari timbulnya preeklamsia pada kehamilan.

21
BAB V
DAFTAR PUSTAKA

Alodokter. (2016). ALODOKTER | INFORMASI KESEHATAN TERLENGKAP DAN


TERPERCAYA. Retrieved october 20, 2016, from Alodokter:
http://www.alodokter.com/preeklamsia
American College Of Obstetricians and Gynecologist. (2013). Hypertension In Pregnancy.
Washington, DC: American College Of Obstetricians and Gynecologist.
Chelbi, S., & Vaiman, D. (2008). Genetic and Epigenetic Factors Contribute To The Onset
of Preelampsia. Mollecular and Cellular Endocrinology, 120-129.
Cunningham, F. G., Leveno, K. J., Bloom, S. L., Spong, C. Y., Dashe, J. S., Hoffman, B.
L., et al. (2014). William Obstetric 24th Edition. New York: Mc Graw-Hill
Education.
Djannah, S. N., & Arianti, I. S. (2010). Gambaran Epidemiologi Kejadian
Preeklamsia/Eklamsia di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Buletin Penelitian
Sistem Kesehatan, 378-385.
Jembawan, M. W. (2015). Kadar Kalsium Pada Preeklamsia. Universitas Udayana.
Kusuma, A. J. (2004). Manajemen Risiko Pada Preeklamsia. Denpasar: Pendidikan
Kedokteran Berkelanjutan Obstetri dan Ginekologi FK UNUD/RSUP Sanglah.
Roberts, J., & Hubel, C. (2009). The Two Stage Model Of Preeclampsia. Thropoblast
Research, 32-37.
Sirait, A. M. (2012, april 2). Prevalensi Hipertensi Pada Kehamilan di Indonesia dan
Berbagai Faktor yang Berhubungan. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 15(2),
103-109.
Uddin, M. N., Beeram, M. R., & Kuehl, T. J. (2013). Diabetes Mellitus and Preeclampsia.
Medical Journal Of Obstetric and Gynecology.
Wiknjosastro H. Ilmu Kebidanan. Edisi ke-4 Cetakan ke-2. Jakarta: Yayaan Bina Pustaka
ffffffffSarwono Prawirohardjo; 2009, hal 523 - 529.

22
23

You might also like