Professional Documents
Culture Documents
HERPES ZOSTER
DISUSUN OLEH:
MOHAMAD RADHI BIN MOHD ARIFFIN
C 111 12 810
NURHIDAYAH BINTI AZIZ
C 111 12 811
NATIJAH SYUHADA BINTI ZUBIR
C 111 12 812
LIYANA BINTI MOHD ARIF
C 111 12 813
PEMBIMBING:
dr. SARIWANA
SUPERVISIOR :
dr. ASNAWI MADJID, Sp. KK,MARS, FINSDV
Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.
i
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN …………………………………………………………………… 1
EPIDEMIOLOGI …………………………………………………………………… 2
ETIOLOGI …………………………………………………………………………… 3
PATOGENESIS …………………………………………………………………... 4
DIAGNOSIS …………………………………………………………………………… 14
PENATALAKSANAAN ………………………………………………………………. 18
KOMPLIKASI …………………………………………………………………………. 19
PROGNOSIS …………………………………………………………………………… 20
ii
HERPES ZOSTER
I. PENDAHULUAN
Varicella (cacar) dan Herpes zoster (shingles) adalah entitas klinis yang berbeda
disebabkan oleh satu anggota keluarga virus herpes, virus varicella-zoster (VZV). 1
Herpes zoster adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus varisela-zoster yang
menyerang kulit dan mukosa, infeksi ini merupakan reaktivasi virus yang terjadi setelah infeksi
primer. Sinonim untuk Herpes zoster adalah dompo, shingles atau cacar ular. 2
Herpes zoster adalah radang kulit akut dan setempat, terutama terjadi pada orang tua yang
khas ditandai adanya nyeri radikuler unilateral serta timbulnya lesi vesikuler yang terbatas pada
dermatom yang dipersarafi serabut saraf spinal maupun ganglion serabut saraf sensorik dari
nervus kranialis. Infeksi ini merupakan reaktivasi virus virus varisela-zoster dari infeksi endogen
yang telah menetap dalam bentuk laten setelah infeksi primer oleh virus. 3
Herpes zoster ditandai dengan unilateral, nyeri dermatom, dan ruam yang hasil dari
reaktivasi dan multiplikasi endogen VZV yang telah berlangsung dalam bentuk laten dalam
ganglia sensoris menyusul bersama-sama serangan awal varicella. Lesi eritematosa, lesi
makulopapular, dan lesi vesicular pada Herpes zoster ini terkelompok daripada tersebar karena
virus mencapai kulit melalui saraf sensorik daripada viremia. Herpes zoster adalah yang paling
umum pada orang dewasa yang lebih tua dan individu imunosupresi. Nyeri merupakan
manifestasi klinis yang penting dari Herpes zoster, dan komplikasi yang melemahkan yang
paling umum adalah nyeri kronis atau neuralgia postherpetic (PHN). Terapi antivirus dan
analgesik mengurangi nyeri akut; lidocaine patch (5%), dosis tinggi capsaicin patch, gabapentin,
1
opioid pregabalin, dan antidepresan trisiklik dapat mengurangi rasa sakit PHN. Vaksin zoster
hidup yang dilemahkan mengurangi timbulnya Herpes zoster dan kejadian PHN. 1
II. EPIDEMIOLOGI
Herpes zoster atau Shingles merupakan suatu penyakit inflamasi neurodermatologis yang
biasanya ditemukan pada bagian kulit yang dipersarafi oleh saraf sensoris. Shingles merupakan
penyakit sekunder yang menularkan infeksi virus Varicella yang secara laten menetap di ganglia
Umur yang tua merupakan faktor resiko untuk Herpes zoster. Menurut kajian yang
dilakukan di Negara Eropa dan Amerika Utara menunjukkan bahwa untuk setahun insiden
Herpes zoster adalah 1.5- 3.0 per 1000 individu manakala 7- 11 per 1000 orang yang umurnya
melebihi 60 tahun (Goldsmith, 2012). Di Indonesia, infeksi Varicella terbukti tinggi melalui
studi yang telah dilakukan okeh Jufri,et al pada tahun 1996 dimana 2 per 3 dari populasi berusia
15 tahun seropositif terhadap antibody varicella. Puncak kasus Herpes zoster terjadi pada usia
46-64 tahun yaitu 37.95% dari total kasus Herpes zoster yang ditemukan pada total 2232 pasien
Herpes zoster pada 13 rumah sakit pendidikan di Indonesia. Wanita cenderung mempunyai
Selain itu, faktor resiko yang major adalah disfungsi immune selular. Pasien dengan
immunocompromised seperti infeksi HIV dan leukimia mempunyai resiko 20- 100 kali lebih
besar untuk terkena Herpes zoster berbanding individu yang sehat pada golongan usia yang
sama. Faktor resiko lain adalah golongan wanita, trauma fisik pada dermatom yang terinfeksi
2
III. ETIOLOGI
Herpes zoster disebabkan oleh Varicella-Zoster Virus (VZV). VZV mempunyai kapsid
yang tersusun dari 162 subunit protein dan berbentuk simetri ikosehedral dengan diameter 100
nm. Virion lengkapnya berdiameter 150-200 nm dan hanya virion yang berselubung yang
bersifat infeksius. (Harahap, 2000) VZV adalah tergolong kepada keluarga herpesviridae dimana
genome tersebut encodes kurang lebih 70 protein. Pada manusia, infeksi primer VZV terjadi
apabila virus kontak dengan mukosadi saluran respiratori atau konjuntiva. Dari area tersebut
VSV terdistribusi ke seluruh badan, setelah infeksi primer, virus tersebut migrat ke sensori fiber
Reaktivasi VZV yang kekal dormant di dorsal root ganglia sering terjadi dekad setelah
pasien terpapar dengan virus dalam bentuk varicella (cacar air/chickenpox), penyebab terjadinya
Herpes zoster. Penyebab spesifik reaktivasi masih tidak diketahui, namun pasien sering dengan
risiko : 6
Stress
Masa tunasnya 7-12 hari. Masa aktif penyakit ini berupa lesi-lesi baru yang tetap timbul
berlangsung kira-kira seminggu, sedangkan masa resolusi berlangsung kira-kira 1-2 minggu. 1
3
IV. PATOGENESIS
bersebelahan saraf sensorik dan dibawa terus ke ganglia sensorik. Sel T yang terinfeksi juga
dapat membawa virus ke ganglia sensoris secara hematogenous. Virus bersifat infeksi latent di
daerah ganglia yang berlangsung selama hidup. Herpes zoster terjadi paling sering pada
dermatom dimana ruam varicella mencapai kepadatan tertinggi pada daerah yang dipersarafi
oleh saraf trigeminal yang pertama yaitu saraf ophthalmicus dan oleh ganglia sensorik tulang
belakang dari T1 ke L2. Namun begitu, virus ini tdak akan muncul sebarang reaktivasi pada saat
fase latent. 1
Mekanisme yang terlibat dalam reaktivasi adalah laten VZV yang tidak jelas, namun
reaktivasi telah dikaitkan dengan imunosupresi seperti iradiasi emosional stres dari kolom tulang
belakang, keterlibatan tumor dari kabelnya, akar dorsal ganglion, atau struktur yang berdekatan
seperti trauma lokal, manipulasi bedah tulang belakang, dan sinusitis frontal (sebagai endapan
4
dari zoster ophthalmic). Yang paling penting, meskipun, adalah penurunan VZV yaitu dimana
Dermatome merupakan area pada permukaan kulit yang dipersarafi oleh saraf
15
tunggal yang keluar dari medulla spinalis. Pada saat reaktivasi, VZV akan memproduksi
sejumlah besar partikel virus yang akan ditransportasi sepanjang axon sensoris pada kulit yang
nantinya akan menimbulkan inflamasi dan ruam yang bisa hilang dalam waktu 2 minggu namun
15
pasien akan mengalami hiperalgesia sebelum dan selepas ruam muncul. . VZV akan
menginfeksi daerah tubuh ditempat virus tersebut laten atau menetap. Terdapat delapan
dermatom pada saraf cervical dan hanya C1 dikecualikan karena tanpa dermatom, dua belas saraf
5
V. GEJALA KLINIS
Penyakit ini dapat dibagi menjadi 3 fase yaitu fase pre-eruptif, fase eruptif akut dan fase
Gejala prodomal yang timbul ialah rasa terbakar, gatal dan nyeri yang terlokalisir
mengikut dermatom atau belum timbul erupsi difus setelah 4-5 hari berikutnya. Tanda-tanda
prediktif pada Herpes zoster ialah adanya hiperesthesi pada daerah kutaneus pre erupsi yang
lunak sejajar dengan dermatom.Disertai juga gejala demam, nyeri kepala dan malaise yang
terjadi beberapa hari sebelum gejala lesi timbul, limfadenopati regional juga bisa terjadi pada
pasien. Nyeri segmental dan gejala lain secara bertahap mereda apabila erupsi mulai muncul
Erupsi pada kulit diawali dengan plak eritematosa terlokalisir atau difus kemudian
makulopapular muncul secara dermatomal. Lesikulit yang sering dijumpai adalah vesikel
terumblikasi dan rupture sebelum menjadi krusta yang terjadi dalam waktu 2 hingga 3 minggu.
Dalam 12-24 jam tampak lesi jernih, biasanya timbul di tengah plake ritematosa, dalam
masa 2-4 hari vesikel bersatu, setelah 72 jam akan terbentuk pustul. Vesikel baru akan tumbuh
terus dan berlangsung selama 1-7 hari. Biasanya pada penderita lansia dan memiliki daya
imunitas lemah, masa perbaikan lebih lama dan erupsinya lebih luas, vesikel hemoragik, ada
nekrosis kulit, infeksi sekunder bakteri atau skar yang biasa berubah menjadi keloid dan
hipertrofik. 1, 8
6
Erupsi pada kulit boleh terjadi pada satu atau dua dermatom yang berdekatan.Kadang-
kadang, beberapa vesikel muncul di garis tengah dan erupsi pada dermatom jarang terjadi
simestris bilateral atau asimetris. Sebanyak 50% penderita dengan uncomplicated zoster terjadi
viremia dengan gambaran 20 hingga 30 vesikel tersebar dipermukaan kulit dan diluar dermatom.
2, 9
Bagian sering terkena adalah dada (55%), kranial (20% dengan keterlibatan
N.Trigeminal), lumbal (15%) dan sakral (5%). Erupsi yang sedikit dapat mencapai keseluruhan
dermatom. 2, 9
Pada kondisi parah, rasa nyeri dapat didiagnosis salah yaitu sebagai infark miokard,
pleuritis. Kadang rasa nyeri tidak diikuti oleh erupsi kulit Herpes zoster dan manifestasi klinis ini
dikenal sebagai “zoster sine herpete” (yaitu zoster tanpa ruam). Dalam beberapa kasus, wajah,
7
Gambar 5.2: Vesikel 9
8
iii. Fase kronis atau fase neuralgia post herpetic
Fase ini ditandai dengan adanya nyeri menetap setelah semua lesi menjadi krusta atau
setelah infeksi akut atau sering rekurens yang berlangsung selama sebulan.Keterlibatan
N.Trigeminal sering terjadi pada penderita berumur diatas 40 tahun.Nyerinya dapat di bagi
menjadi 2 tipe yaitu rasa terbakar terus menerus dengan hyperaesthesia dan tipe shooting
spasmodic. Allodinia adalah nyeri akibat dari stimuli yang tidak berbahaya dan disebabkan
Variasi dari sindroma zoster tergantung dorsal root yang terkena, dan intensitasnya
tergantung reaksi inflamasi yang terjadi pada motor root dan anterior horn cells. Nyeri
a. Keterlibatan motorik
Onset terjadinya pada 5% kasus dengan penderita yang tua dan melibatkan nervus
spinalis.Erupsi dan nyeri diikuti dengan penurunan motorik. Biasanya mengikuti dermatom yang
disebabkan oleh virus dan bias juga terjadi pada segmen dermatom yang berbeda. Herpes zoster
Pada kasus Herpes zoster trigeminal yang biasa terjadi adalah sebanyak dua pertiga kasus
terjadi pada bagian mata, jika ada vesikel pada hidung akan melibatkan N.nasosiliar
(hutchinson’s sign). Komplikasi yang terjadi pada okularadalah uveitis, keratitis, konjunctivitis,
edema konjunctiva (chemosis), palsy ototokular, proptosis, skleritis, oklusi vaskular pada retina
dan ulkus, skar dan bias terjadi nekrosis pada kelopak mata. Keterlibatan ganglia siliaris dapat
9
uvula dan tonsil.Vesikel pada lidah, basal mulut dan mukosa buccal menunjukkan adanya
N. fasialis merupakan saraf yang utama berjalan dengan fiber-fibersensoris vestigial pada
telinga bagian eksternal (pinna dan meatus) dan fossa tonsilaris. Biasa menyebabkan rasa nyeri
dan vesikel biasanya terdapat pada daerah meatus auditorius eksterna saja, jarang melibatkan
bagian lebih yang dalam. Adapun faktor tertekannya N.fasialis merupakan salah satu faktor
terjadinya facial palsy disertai dengan nyeri pada telinga dan yang berkaitan dengan sindroma
10
Gambar 5.5: .Bell’s Palsy 9
d. Sindroma Ramsay-Hunt
Sindrom ini adalah akibat dari gangguan N.fasialis dan otikus, sehingga memberikan
gejala paralisis otot muka (bell’s palsy), kelainan kulit sesuai dengan perjalanan saraf, tinnitus,
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Dalam stadium pra-erupsi, penyakit ini sering dirancukan dengan penyebab rasa nyeri
lainnya. Bila erupsi mulai terlihat, diagnosis menjadi mudah ditegakkan. Herpes zoster dapat
ditegakkan melalui pemeriksaan laboratorik, sediaan apus secara Tzank dengan menemukan sel
datia berinti banyak; demikian pula pemeriksaan cairan vesikula atau material biopsi dengan
Herpes zoster dapat didiagnosa secara klinis berdasarkan lesi kulit yang terlibat pada
kebanyakan kasus. Namun, pada keadaan khusus memerlukan pemeriksaan laboratorium seperti:
11
a. Tes Smear Tzank
Hapusan lesi ditempatkan pada slide kaca dan diwarnai dengan Giemsa. Jika hapusan
positif akan menunjukan sel keratinosit yang berinti balon dan selmultinuklear raksasa. Tes ini
Biopsi dari lesi Herpes zoster menunjukkan gambaran patonogmonik, tetapi biasanya
dilakukan hanya untuk mengetahui gambaran histopatologi lesi atipikal. Biopsi tidak dapat
membedakan HZV dan HSV-1 atau HSV-2 juga terhadap lesi secara diagnosis klinis. 12
perdarahan ganglia, Pada masa vesikulasi dapat ditemukan virus di vesikel epidermis dan
vaskulitis di lapisan dermis. Lima tanda spesifik secara histopatologis yaitu vesikel di
intraepidermal, degenarasi balon, degenerasi retikuler, sel raksasa berinti banyak dan badan
12
inklusi eosinofil intranukleus yang sering disebut Lipschutz bodies.
12
Gambar 6.2 : Gambaran Biopsi 8
Tes PCR dilakukan dari spesimen yang menunjukkan sensitivitas 97% dimana tes ini
lebih baik daripada kultur. PCR memberikan hasil yang cepat dan dapat membedakan HZV dan
HSV-1 dan HSV-2. Dengan PCR, HCZ dan HSV dapat dibedakan dalam waktu 6 jam. 12
d. Tes serologik
Tes ini digunakan untuk mendiagnosa riwayat varisela dan Herpes zoster dan untuk
membandingkan stadium akut dan konvalesen.Tes ini juga dapat mengidentifikasi dan
mengisolasi individu yang diduga mengalami Herpes zoster sehingga dapat digunakan sebagai
immunoabsorbent assay.Kekurangan dari tes ini adalah tidak memiliki sensitivitas dan spesifitas
terhadap orang yang memiliki antibodi Herpes zoster dan menunujukkan hasil positif palsu pada
orang tersebut. 1
13
VI. DIAGNOSIS
Gejala prodromal biasanya pada pasien yang umurnya diatas 60 tahun dan jarang
ditemukan pada pasien immunokompeten. Keluhan biasanya diawali dengan nyeri dermatom
yang akan menimbulkan lesi dalam waktu yang bervariasi dan bersifat segmental dan dapat juga
Erupsi kulit pada Herpes zoster yang khasnya adalah lokasi dan distribusi
effloriesasi yang hampir selalunya unilateral dan pada kulit yang dipersarafi oleh ganglion
sensoris. Contohnya pada bagian yang sipersarafi oleh nervus trigeminus serta bagian bokong
antara Thorakal 3 hingga Lumbar 2 paling sering ditemukan effloresasi akibat infeksi VZV
(Goldsmith, 2012). Efflorisasi yang ditemukan adalah vesikel yang berkelompok dengan dasar
erimatous dan edema. Vesikel dapat berubah menjadi pustul (hari ke-3), krusta akan timbul
1
Gambar 7.1 : Herpes zoster
14
Diagnosis Herpes zoster dapat di tegakkan dengan gejala klinis yang dapat dilihat seperti
effloresensi lesi yang polimorf, unilateral, dan mengikuti dermatom ganglion saraf tepi yang
teraktivasi oleh virus Varicella (VZV). Pemeriksaan tes penunjang yang dapat dilakukan adalah
Tzanck test (sel datia berinti banyak), biopsi, tes serologik, PCR, dan kultur virus. 5
Nyeri
Angina pectoris,
Duodenal ulcer
Appendicitis, pleurodynia,
Early glaucoma
Diagnosis akan mudah ditegakkan apabila letusan dari kulit muncul. Herpes simpleks sukar
dibedakan dengan Herpes zoster saat lesi HSV yang linear (zosteriform HSV), atau jika jumlah
lesi zoster kecil dan bersifat lokal dan juga setempat. Tes DFA( Direcy Fluorescent Antibody)
bisa dapat membedakan Herpes simpleks dan Herpes zoster. Tes ini digunakan karena tes ini
9
sensitif dan cepat.
a. Herpes simpleks
Herpes zoster dapat muncul di daerah genital sehingga harus didiagnosis banding dengan
herpes simpleks.Sering ditemukan gejala prodromal local sebelum timbul vesikel berupa rasa
15
Gambar 8.1 : Lesi pada penderita herpes simpleks 9
b. Dermatitis kontak
Herpes zoster juga bisa di diagnosa dengan dermatitis kontak alergi.Pada dermatitis
kontak alergi, penderita umumnya mengeluh gatal.Pada yang akut dimulai dengan bercak
eritematosa yang berbatas jelas kemudiannya diikuiti oleh edema, papulovesikel, vesikel atau
bula. Vesikel atau bula dapat pecah dan menimbulkan erosi atau eksudasi. Pada yang kronik
terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi, dan mungkin juga fisur, dan batasnya tidak
jelas.2
16
c. Gigitan serangga
Herpes zoster juga bisa didiagnosa dengan gigitan serangga. Sebagai contoh, penyakit
kulit dermatitis marin menyerupai gejala yang dimiliki oleh Herpes zoster. Lesi dermatitis marin
ini sering didapatkan sesudah mandi di laut. Lesi mula timbul dalam waktu 4 hingga 24 jam
selepas terpapar dengan air laut dengan gejala seperti eritema, papula, macula dan urtikaria yang
disertai dengan rasa nyeri dan sensasi panas. Lesi akan berlanjutan menjadi vesikulopapul yang
akan pecah menjadi krusta, seterusnya akan sembuh dalam jangka waktu 7 smpai 10 hari.
Dermatitis marin ini juga turut disertai dengan gejala sistemik seperti sub-febril, menggigil serta
1
Gambar 8.3 : Lesi pada penderita dermatitis marin
17
IX. PENATALAKSANAAN
mengurangi neuralgia. Dapat pula ditambahkan neurotropic: vitamin B1, B6, dan B12.
Secara local dapat diberikan bedak, losio kalamin dapat diberikan untuk mengurangirasa
tidak enak dan mengeringkan lesi vesikuler. IDU 5-40% dalam 100% DMSO (dimetilsulfoksid)
dipakai secara topical manakalapemberian secara oral prednisone 30 mg per hari atau
orang tua dan seyogianya sudah diberikan sejak awal timbulnya erupsi. Pengobatan dengan
dipertimbangkan.3
Pada anak imunokompeten, biasanya tidak diperlukan pengobatan spesifik dan pengobatan
- Lesi vesikel yang sudah pecah/krusta : salep antibiotic untuk mencegah infeksi sekunder.
- Pemberian antipiretik dan analgetik, tidak boleh diberi golongan salisilat (aspirin) untuk
- Kuku jari tangan dipotong untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder akibat garukan.
mengurangi neuralgia. Dapat pula ditambahkan neurotropic: vitamin B1, B6, dan B12.
Antibiotika diberikan bila adanya infeksi sekunder. secara local dapat diberikan bedak, losio
kalamin dapat diberikan untuk mengurangi rasa tidak enak dan mengeringkan lesi vesikuler. IDU
18
5-40% dalam 100% DMSO (dimetilsulfoksid) dipakai secara topical manakala pemberian secara
oral prednisone 30 mg per hari atau triamsinolon 48 mg sehari akan memperpendekan masa
neuralgia pascaherpetika, terutama pada orang tua dan seyogianya sudah diberikan sejak awal
timbulnya erupsi. Pengobatan dengan imunomodulator, seperti isoprinosin dan antivirus seperti
Tujuan dari pemberian antivirus adalah untuk mengurangi lama sakit, keparahan dan
waktu penyembuhan akan lebih singkat. Pemberian antivirus sebaiknya dalam jangka waktu
kurang dari 48-72jam setelah erupssi dikulit muncul. Antara golongan antivirus yang dapat
berat
X. KOMPLIKASI
Komplikasi Herpes zoster tergantung dari lokasi kerusakan saraf sensorik atau motorik
atau invasi virusnya sendiri, mungkin juga karena terjadi vaskulopati. Komplikasi yang lain dari
Herpes zoster adalah gangguan N.Trigeminus cabang pertama ganglion trigeminalis. Ulkus
19
kornea dan jaringan parut dapat terjadi akibat Herpes zoster dari gangguna N. Trigeminus cabang
al cord ke bagian anterior spinal cord menyebabkan disfungsi motorik sehingga bisa
Neuralgia paska herpes (NPH) adalah nyeri yang menetap di dermatom yang terkena 3
bulan setelah erupsi Herpes zoster menghilang. NPH merupakan komplikasi yang mengganggu
pasien secara fungsional. dan psikososial. Pasien akan mengalami nyeri konstan (terbakar, nyeri,
berdenyut), nyeri intermiten (tertusuk--tusuk), dan nyeri yang dipicu stimulus seperti allodinia.
XII. PROGNOSIS
Prognosa bagi penyakit Herpes zoster umumnya baik. Pada Herpes zoster oftalmikus,
prognosis nya bergantung pada tindakan perawatan secara dini.
20
DAFTAR PUSTAKA
2. Djuanda A. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2007. Pg.60-1,110,130-3,382
3. Harahap, P. D. (2000). Ilmu Penyakit Kulit. (P. D. Harahap, Ed.) Jakarta, Indonesia:
Hipokrates.
Allwin, Herpes zoster- Recent Aspects of Diagnosis and Control (p. 154). Basel,
Switzerland.
5. Dr. Syarief Hidayat, S. e. (2014). Buku PAnduan Herpes zoster di Indonesia 2014.
6. Janniger, C. K. (2016, February 1). Medscape. Retrieved March 23, 2016, from Herpes
zoster: http://emedicine.medscape.com/article/1132465-overview
7. W.Johnson, R. (2010). Herpes zoster And Postherpetic Neuralgia. From Varicella to HZ:
8. Habif T. Clinical Dermatology: A Color Guide to Diagnosis and Therapy. 4th ed. USA:
mosby; 2003. Pg.394-406
USA: Saunders.
10. Bolognia JL, Jprizzo JL, Rapini RP. Dermatology. 2nded. New York: William Coleman
III retains copyright of his original figures in chapter 156; 2008. 3:1-8
11. Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Rook’s Textbook of Dermatology. 7th ed.
Australia: Blackshell Publishing Company; 2005. Pg. 22.25-4
21
12. Trozak DJ, Tennenhouse J, Russell JJ. Dermatology Skills for Primary Care. Totowa,
New Jersey: Human Press; 2006. Pg. 335-44
13. Roxas M. Herpes zoster and Postherpetic Neuralgia; Diagnosis and Therapeutic
Considerations. Alternative Medicine Review;2006. 11;102-11
Churchill Livingstone.
15. Jjustad, M. (2013). Shingles (Herpes zoster). Health Guidelines Shingles, 2. Striedter, G.
F. (2016). Neurobiology A Functional Approach. New York, USA: Oxford University
Press.
16. Irena Narkeviciute, Jolanta Bernatoniene. (2012). Varicella Zoster Virus Infection in
Pregnancy, Herpesviridae – A look into This Unique Family of Viruses, Dr George
Dimitri Magel. Croatia : University Campus STeP.
22
23