You are on page 1of 26

BAGIAN KULIT DAN KELAMIN REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN APRIL 2016


UNIVERSITAS HASANUDDIN

HERPES ZOSTER

DISUSUN OLEH:
MOHAMAD RADHI BIN MOHD ARIFFIN
C 111 12 810
NURHIDAYAH BINTI AZIZ
C 111 12 811
NATIJAH SYUHADA BINTI ZUBIR
C 111 12 812
LIYANA BINTI MOHD ARIF
C 111 12 813

PEMBIMBING:
dr. SARIWANA

SUPERVISIOR :
dr. ASNAWI MADJID, Sp. KK,MARS, FINSDV

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN KULIT KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2016
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertandatangan di bawah ini menyatakanbahwa:

Nama : MOHAMAD RADHI BIN MOHD ARIFFIN


Stambuk : C 111 12 810
Nama : NURHIDAYAH BINTI AZIZ
Stambuk : C111 12 811
Nama : NATIJAH SYUHADA BINTI ZUBIR
Stambuk : C 111 12 812
Nama : LIYANA BINTI MOHD ARIF
Stambuk : C111 12 813

Universitas : Universitas Hasanuddin


Judul Referat : Herpes zoster

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada Bagian Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, April 2016

Supervisor Residen Pembimbing

(dr. ASNAWI MADJID, Sp. KK, MARS,FINSDV) (dr. SARIWANA)

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL …………………………………………………………………. i

LEMBAR PENGESAHAN …………………………………………………………... ii

DAFTAR ISI …………………………………………………………………………… iii

PENDAHULUAN …………………………………………………………………… 1

EPIDEMIOLOGI …………………………………………………………………… 2

ETIOLOGI …………………………………………………………………………… 3

PATOGENESIS …………………………………………………………………... 4

GEJALA KLINIS ………………………………………………………………….. 6

PEMERIKSAAN PENUNJANG ……………………………………………………… 11

DIAGNOSIS …………………………………………………………………………… 14

DIAGNOSA BANDING ………………………………………………………………. 15

PENATALAKSANAAN ………………………………………………………………. 18

KOMPLIKASI …………………………………………………………………………. 19

PROGNOSIS …………………………………………………………………………… 20

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………….. 21

ii
HERPES ZOSTER

I. PENDAHULUAN
Varicella (cacar) dan Herpes zoster (shingles) adalah entitas klinis yang berbeda

disebabkan oleh satu anggota keluarga virus herpes, virus varicella-zoster (VZV). 1

Herpes zoster adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus varisela-zoster yang

menyerang kulit dan mukosa, infeksi ini merupakan reaktivasi virus yang terjadi setelah infeksi

primer. Sinonim untuk Herpes zoster adalah dompo, shingles atau cacar ular. 2

Herpes zoster adalah radang kulit akut dan setempat, terutama terjadi pada orang tua yang

khas ditandai adanya nyeri radikuler unilateral serta timbulnya lesi vesikuler yang terbatas pada

dermatom yang dipersarafi serabut saraf spinal maupun ganglion serabut saraf sensorik dari

nervus kranialis. Infeksi ini merupakan reaktivasi virus virus varisela-zoster dari infeksi endogen

yang telah menetap dalam bentuk laten setelah infeksi primer oleh virus. 3

Herpes zoster ditandai dengan unilateral, nyeri dermatom, dan ruam yang hasil dari

reaktivasi dan multiplikasi endogen VZV yang telah berlangsung dalam bentuk laten dalam

ganglia sensoris menyusul bersama-sama serangan awal varicella. Lesi eritematosa, lesi

makulopapular, dan lesi vesicular pada Herpes zoster ini terkelompok daripada tersebar karena

virus mencapai kulit melalui saraf sensorik daripada viremia. Herpes zoster adalah yang paling

umum pada orang dewasa yang lebih tua dan individu imunosupresi. Nyeri merupakan

manifestasi klinis yang penting dari Herpes zoster, dan komplikasi yang melemahkan yang

paling umum adalah nyeri kronis atau neuralgia postherpetic (PHN). Terapi antivirus dan

analgesik mengurangi nyeri akut; lidocaine patch (5%), dosis tinggi capsaicin patch, gabapentin,

1
opioid pregabalin, dan antidepresan trisiklik dapat mengurangi rasa sakit PHN. Vaksin zoster

hidup yang dilemahkan mengurangi timbulnya Herpes zoster dan kejadian PHN. 1

II. EPIDEMIOLOGI
Herpes zoster atau Shingles merupakan suatu penyakit inflamasi neurodermatologis yang

biasanya ditemukan pada bagian kulit yang dipersarafi oleh saraf sensoris. Shingles merupakan

penyakit sekunder yang menularkan infeksi virus Varicella yang secara laten menetap di ganglia

spinal dari pasien. 4

Umur yang tua merupakan faktor resiko untuk Herpes zoster. Menurut kajian yang

dilakukan di Negara Eropa dan Amerika Utara menunjukkan bahwa untuk setahun insiden

Herpes zoster adalah 1.5- 3.0 per 1000 individu manakala 7- 11 per 1000 orang yang umurnya

melebihi 60 tahun (Goldsmith, 2012). Di Indonesia, infeksi Varicella terbukti tinggi melalui

studi yang telah dilakukan okeh Jufri,et al pada tahun 1996 dimana 2 per 3 dari populasi berusia

15 tahun seropositif terhadap antibody varicella. Puncak kasus Herpes zoster terjadi pada usia

46-64 tahun yaitu 37.95% dari total kasus Herpes zoster yang ditemukan pada total 2232 pasien

Herpes zoster pada 13 rumah sakit pendidikan di Indonesia. Wanita cenderung mempunyai

insiden lebih tinggi di Indonesia. 5

Selain itu, faktor resiko yang major adalah disfungsi immune selular. Pasien dengan

immunocompromised seperti infeksi HIV dan leukimia mempunyai resiko 20- 100 kali lebih

besar untuk terkena Herpes zoster berbanding individu yang sehat pada golongan usia yang

sama. Faktor resiko lain adalah golongan wanita, trauma fisik pada dermatom yang terinfeksi

serta oring kulit putih. 1

2
III. ETIOLOGI

Herpes zoster disebabkan oleh Varicella-Zoster Virus (VZV). VZV mempunyai kapsid

yang tersusun dari 162 subunit protein dan berbentuk simetri ikosehedral dengan diameter 100

nm. Virion lengkapnya berdiameter 150-200 nm dan hanya virion yang berselubung yang

bersifat infeksius. (Harahap, 2000) VZV adalah tergolong kepada keluarga herpesviridae dimana

genome tersebut encodes kurang lebih 70 protein. Pada manusia, infeksi primer VZV terjadi

apabila virus kontak dengan mukosadi saluran respiratori atau konjuntiva. Dari area tersebut

VSV terdistribusi ke seluruh badan, setelah infeksi primer, virus tersebut migrat ke sensori fiber

saraf ke sel satelit dorsal root ganglia dimana ia menjadi dorman.

Reaktivasi VZV yang kekal dormant di dorsal root ganglia sering terjadi dekad setelah

pasien terpapar dengan virus dalam bentuk varicella (cacar air/chickenpox), penyebab terjadinya

Herpes zoster. Penyebab spesifik reaktivasi masih tidak diketahui, namun pasien sering dengan

risiko : 6

 Paparan external pada virus

 Proses penyakit aku atau kronik (malignansi dan infeksi)

 Pelbagai tipe medikasi

 Stress

Masa tunasnya 7-12 hari. Masa aktif penyakit ini berupa lesi-lesi baru yang tetap timbul

berlangsung kira-kira seminggu, sedangkan masa resolusi berlangsung kira-kira 1-2 minggu. 1

3
IV. PATOGENESIS

Gambar 4.1: Patogenesis Herpes zoster 7


Selama varicella, VZV lewat dari lesi di kulit dan permukaan mukosa ke ujung

bersebelahan saraf sensorik dan dibawa terus ke ganglia sensorik. Sel T yang terinfeksi juga

dapat membawa virus ke ganglia sensoris secara hematogenous. Virus bersifat infeksi latent di

daerah ganglia yang berlangsung selama hidup. Herpes zoster terjadi paling sering pada

dermatom dimana ruam varicella mencapai kepadatan tertinggi pada daerah yang dipersarafi

oleh saraf trigeminal yang pertama yaitu saraf ophthalmicus dan oleh ganglia sensorik tulang

belakang dari T1 ke L2. Namun begitu, virus ini tdak akan muncul sebarang reaktivasi pada saat

fase latent. 1

Mekanisme yang terlibat dalam reaktivasi adalah laten VZV yang tidak jelas, namun

reaktivasi telah dikaitkan dengan imunosupresi seperti iradiasi emosional stres dari kolom tulang

belakang, keterlibatan tumor dari kabelnya, akar dorsal ganglion, atau struktur yang berdekatan

seperti trauma lokal, manipulasi bedah tulang belakang, dan sinusitis frontal (sebagai endapan

4
dari zoster ophthalmic). Yang paling penting, meskipun, adalah penurunan VZV yaitu dimana

imunitas seluler spesifik yang terjadi dengan bertambahnya usia. 1

Dermatome merupakan area pada permukaan kulit yang dipersarafi oleh saraf
15
tunggal yang keluar dari medulla spinalis. Pada saat reaktivasi, VZV akan memproduksi

sejumlah besar partikel virus yang akan ditransportasi sepanjang axon sensoris pada kulit yang

nantinya akan menimbulkan inflamasi dan ruam yang bisa hilang dalam waktu 2 minggu namun
15
pasien akan mengalami hiperalgesia sebelum dan selepas ruam muncul. . VZV akan

menginfeksi daerah tubuh ditempat virus tersebut laten atau menetap. Terdapat delapan

dermatom pada saraf cervical dan hanya C1 dikecualikan karena tanpa dermatom, dua belas saraf

torakal, lima saraf lumbar dan lima saraf sakral. 15

Gambar 4.2 : Dermatomes pada tubuh manusia 15

5
V. GEJALA KLINIS
Penyakit ini dapat dibagi menjadi 3 fase yaitu fase pre-eruptif, fase eruptif akut dan fase

kronis (neuralgia post herpetik) 8

i. Fase pre-eruptif atau preherpetik neuralgia

Gejala prodomal yang timbul ialah rasa terbakar, gatal dan nyeri yang terlokalisir

mengikut dermatom atau belum timbul erupsi difus setelah 4-5 hari berikutnya. Tanda-tanda

prediktif pada Herpes zoster ialah adanya hiperesthesi pada daerah kutaneus pre erupsi yang

lunak sejajar dengan dermatom.Disertai juga gejala demam, nyeri kepala dan malaise yang

terjadi beberapa hari sebelum gejala lesi timbul, limfadenopati regional juga bisa terjadi pada

pasien. Nyeri segmental dan gejala lain secara bertahap mereda apabila erupsi mulai muncul

.Gejala prodromal mungkin tidak didapatkan pada anak-anak. 8

ii. Fase eruptif

Erupsi pada kulit diawali dengan plak eritematosa terlokalisir atau difus kemudian

makulopapular muncul secara dermatomal. Lesikulit yang sering dijumpai adalah vesikel

herpetiformis berkelompok dengan distribusi segmental unilateral.Kemudian, vesikel-vesikel ini

terumblikasi dan rupture sebelum menjadi krusta yang terjadi dalam waktu 2 hingga 3 minggu.

Dalam 12-24 jam tampak lesi jernih, biasanya timbul di tengah plake ritematosa, dalam

masa 2-4 hari vesikel bersatu, setelah 72 jam akan terbentuk pustul. Vesikel baru akan tumbuh

terus dan berlangsung selama 1-7 hari. Biasanya pada penderita lansia dan memiliki daya

imunitas lemah, masa perbaikan lebih lama dan erupsinya lebih luas, vesikel hemoragik, ada

nekrosis kulit, infeksi sekunder bakteri atau skar yang biasa berubah menjadi keloid dan

hipertrofik. 1, 8

6
Erupsi pada kulit boleh terjadi pada satu atau dua dermatom yang berdekatan.Kadang-

kadang, beberapa vesikel muncul di garis tengah dan erupsi pada dermatom jarang terjadi

simestris bilateral atau asimetris. Sebanyak 50% penderita dengan uncomplicated zoster terjadi

viremia dengan gambaran 20 hingga 30 vesikel tersebar dipermukaan kulit dan diluar dermatom.
2, 9

Bagian sering terkena adalah dada (55%), kranial (20% dengan keterlibatan

N.Trigeminal), lumbal (15%) dan sakral (5%). Erupsi yang sedikit dapat mencapai keseluruhan

dermatom. 2, 9

Pada kondisi parah, rasa nyeri dapat didiagnosis salah yaitu sebagai infark miokard,

pleuritis. Kadang rasa nyeri tidak diikuti oleh erupsi kulit Herpes zoster dan manifestasi klinis ini

dikenal sebagai “zoster sine herpete” (yaitu zoster tanpa ruam). Dalam beberapa kasus, wajah,

leher, kulit kepala atau ekstremitas mungkin terlibat. 10

Gambar 5.1 : Papuleritematos 10

7
Gambar 5.2: Vesikel 9

Gambar 5.3: Jaringan Nekrotik 9

8
iii. Fase kronis atau fase neuralgia post herpetic

Fase ini ditandai dengan adanya nyeri menetap setelah semua lesi menjadi krusta atau

setelah infeksi akut atau sering rekurens yang berlangsung selama sebulan.Keterlibatan

N.Trigeminal sering terjadi pada penderita berumur diatas 40 tahun.Nyerinya dapat di bagi

menjadi 2 tipe yaitu rasa terbakar terus menerus dengan hyperaesthesia dan tipe shooting

spasmodic. Allodinia adalah nyeri akibat dari stimuli yang tidak berbahaya dan disebabkan

oleh simptom stress. 11

Variasi dari sindroma zoster tergantung dorsal root yang terkena, dan intensitasnya

tergantung reaksi inflamasi yang terjadi pada motor root dan anterior horn cells. Nyeri

abdominal, pleura atau gangguan elektrokardiografi yang disebabkan keterlibatan viseral.

Beberapa sindrom yang disebabkan oleh Herpes zoster, yaitu:

a. Keterlibatan motorik

Onset terjadinya pada 5% kasus dengan penderita yang tua dan melibatkan nervus

spinalis.Erupsi dan nyeri diikuti dengan penurunan motorik. Biasanya mengikuti dermatom yang

disebabkan oleh virus dan bias juga terjadi pada segmen dermatom yang berbeda. Herpes zoster

pada anogenital bisa menyebabkan adanya gangguan defekasi dan urinasi . 11

b. Herpes zoster trigeminal

Pada kasus Herpes zoster trigeminal yang biasa terjadi adalah sebanyak dua pertiga kasus

terjadi pada bagian mata, jika ada vesikel pada hidung akan melibatkan N.nasosiliar

(hutchinson’s sign). Komplikasi yang terjadi pada okularadalah uveitis, keratitis, konjunctivitis,

edema konjunctiva (chemosis), palsy ototokular, proptosis, skleritis, oklusi vaskular pada retina

dan ulkus, skar dan bias terjadi nekrosis pada kelopak mata. Keterlibatan ganglia siliaris dapat

menyebabkanArgyll-Robertson pupil.Jika terjadi pada bagian maksilaris terdapa vesikel pada

9
uvula dan tonsil.Vesikel pada lidah, basal mulut dan mukosa buccal menunjukkan adanya

keterlibatan divisi mandibularis.Pada Zoster orofasial, sakit gigi adalah petandanya. 11

Gambar 5.4. Herpes zoster oftalmikus 11


c. Herpes zoster Otikus

N. fasialis merupakan saraf yang utama berjalan dengan fiber-fibersensoris vestigial pada

telinga bagian eksternal (pinna dan meatus) dan fossa tonsilaris. Biasa menyebabkan rasa nyeri

dan vesikel biasanya terdapat pada daerah meatus auditorius eksterna saja, jarang melibatkan

bagian lebih yang dalam. Adapun faktor tertekannya N.fasialis merupakan salah satu faktor

terjadinya facial palsy disertai dengan nyeri pada telinga dan yang berkaitan dengan sindroma

Ramsay-Hunt. Tertekannnya N.vestibulokoklearis menyebabkan gangguan pendengaran

sensorineural, vertigo dan keterlibatan N.intermedius mengakibatkan gangguan .pengecapan

padadua pertiga lidah dan mengubah system lakrimasi. 11

10
Gambar 5.5: .Bell’s Palsy 9

d. Sindroma Ramsay-Hunt

Sindrom ini adalah akibat dari gangguan N.fasialis dan otikus, sehingga memberikan

gejala paralisis otot muka (bell’s palsy), kelainan kulit sesuai dengan perjalanan saraf, tinnitus,

vertigo, gangguan p endengaran, nistagmus dan nausea,juga gangguan pengecapan. 2

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Dalam stadium pra-erupsi, penyakit ini sering dirancukan dengan penyebab rasa nyeri

lainnya. Bila erupsi mulai terlihat, diagnosis menjadi mudah ditegakkan. Herpes zoster dapat

ditegakkan melalui pemeriksaan laboratorik, sediaan apus secara Tzank dengan menemukan sel

datia berinti banyak; demikian pula pemeriksaan cairan vesikula atau material biopsi dengan

mikroskop electron, serta tes serologik. 3

Herpes zoster dapat didiagnosa secara klinis berdasarkan lesi kulit yang terlibat pada

kebanyakan kasus. Namun, pada keadaan khusus memerlukan pemeriksaan laboratorium seperti:

11
a. Tes Smear Tzank

Hapusan lesi ditempatkan pada slide kaca dan diwarnai dengan Giemsa. Jika hapusan

positif akan menunjukan sel keratinosit yang berinti balon dan selmultinuklear raksasa. Tes ini

cepat dan murah. 12

Gambar 6.1 : Tzank Smear 8


b. Biopsi

Biopsi dari lesi Herpes zoster menunjukkan gambaran patonogmonik, tetapi biasanya

dilakukan hanya untuk mengetahui gambaran histopatologi lesi atipikal. Biopsi tidak dapat

membedakan HZV dan HSV-1 atau HSV-2 juga terhadap lesi secara diagnosis klinis. 12

Secara histopatologis terlihat peradangan nekrosis ganglion, kadangkala terlihat

perdarahan ganglia, Pada masa vesikulasi dapat ditemukan virus di vesikel epidermis dan

vaskulitis di lapisan dermis. Lima tanda spesifik secara histopatologis yaitu vesikel di

intraepidermal, degenarasi balon, degenerasi retikuler, sel raksasa berinti banyak dan badan
12
inklusi eosinofil intranukleus yang sering disebut Lipschutz bodies.

12
Gambar 6.2 : Gambaran Biopsi 8

c. Polymerase Chain Reaction

Tes PCR dilakukan dari spesimen yang menunjukkan sensitivitas 97% dimana tes ini

lebih baik daripada kultur. PCR memberikan hasil yang cepat dan dapat membedakan HZV dan

HSV-1 dan HSV-2. Dengan PCR, HCZ dan HSV dapat dibedakan dalam waktu 6 jam. 12

d. Tes serologik

Tes ini digunakan untuk mendiagnosa riwayat varisela dan Herpes zoster dan untuk

membandingkan stadium akut dan konvalesen.Tes ini juga dapat mengidentifikasi dan

mengisolasi individu yang diduga mengalami Herpes zoster sehingga dapat digunakan sebagai

pencegahan.Teknik yang paling sering digunakan adalah solid-phase enzyme-linked

immunoabsorbent assay.Kekurangan dari tes ini adalah tidak memiliki sensitivitas dan spesifitas

terhadap orang yang memiliki antibodi Herpes zoster dan menunujukkan hasil positif palsu pada

orang tersebut. 1

13
VI. DIAGNOSIS

Gejala prodromal biasanya pada pasien yang umurnya diatas 60 tahun dan jarang

ditemukan pada pasien immunokompeten. Keluhan biasanya diawali dengan nyeri dermatom

yang akan menimbulkan lesi dalam waktu yang bervariasi dan bersifat segmental dan dapat juga

bersifat terus- menerus serta serangan yang hilang timbul. 5

Erupsi kulit pada Herpes zoster yang khasnya adalah lokasi dan distribusi

effloriesasi yang hampir selalunya unilateral dan pada kulit yang dipersarafi oleh ganglion

sensoris. Contohnya pada bagian yang sipersarafi oleh nervus trigeminus serta bagian bokong

antara Thorakal 3 hingga Lumbar 2 paling sering ditemukan effloresasi akibat infeksi VZV

(Goldsmith, 2012). Efflorisasi yang ditemukan adalah vesikel yang berkelompok dengan dasar

erimatous dan edema. Vesikel dapat berubah menjadi pustul (hari ke-3), krusta akan timbul

setelah 7- 10 hari dan akan menetap selama 2- 3 minggu.

1
Gambar 7.1 : Herpes zoster

14
Diagnosis Herpes zoster dapat di tegakkan dengan gejala klinis yang dapat dilihat seperti

effloresensi lesi yang polimorf, unilateral, dan mengikuti dermatom ganglion saraf tepi yang

teraktivasi oleh virus Varicella (VZV). Pemeriksaan tes penunjang yang dapat dilakukan adalah

Tzanck test (sel datia berinti banyak), biopsi, tes serologik, PCR, dan kultur virus. 5

VIII. DIAGNOSIS BANDING


Berdasarkan gejala prodormal

Nyeri

 Angina pectoris,

 Duodenal ulcer

 Biliary or renal colic

 Appendicitis, pleurodynia,

 Early glaucoma

Diagnosis akan mudah ditegakkan apabila letusan dari kulit muncul. Herpes simpleks sukar

dibedakan dengan Herpes zoster saat lesi HSV yang linear (zosteriform HSV), atau jika jumlah

lesi zoster kecil dan bersifat lokal dan juga setempat. Tes DFA( Direcy Fluorescent Antibody)

bisa dapat membedakan Herpes simpleks dan Herpes zoster. Tes ini digunakan karena tes ini
9
sensitif dan cepat.

a. Herpes simpleks

Herpes zoster dapat muncul di daerah genital sehingga harus didiagnosis banding dengan

herpes simpleks.Sering ditemukan gejala prodromal local sebelum timbul vesikel berupa rasa

panas, nyeri, dan gatal. 14

15
Gambar 8.1 : Lesi pada penderita herpes simpleks 9
b. Dermatitis kontak

Herpes zoster juga bisa di diagnosa dengan dermatitis kontak alergi.Pada dermatitis

kontak alergi, penderita umumnya mengeluh gatal.Pada yang akut dimulai dengan bercak

eritematosa yang berbatas jelas kemudiannya diikuiti oleh edema, papulovesikel, vesikel atau

bula. Vesikel atau bula dapat pecah dan menimbulkan erosi atau eksudasi. Pada yang kronik

terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi, dan mungkin juga fisur, dan batasnya tidak

jelas.2

Gambar 8.2 : Lesi pada penderita dermatitis kontak alergi 1

16
c. Gigitan serangga

Herpes zoster juga bisa didiagnosa dengan gigitan serangga. Sebagai contoh, penyakit

kulit dermatitis marin menyerupai gejala yang dimiliki oleh Herpes zoster. Lesi dermatitis marin

ini sering didapatkan sesudah mandi di laut. Lesi mula timbul dalam waktu 4 hingga 24 jam

selepas terpapar dengan air laut dengan gejala seperti eritema, papula, macula dan urtikaria yang

disertai dengan rasa nyeri dan sensasi panas. Lesi akan berlanjutan menjadi vesikulopapul yang

akan pecah menjadi krusta, seterusnya akan sembuh dalam jangka waktu 7 smpai 10 hari.

Dermatitis marin ini juga turut disertai dengan gejala sistemik seperti sub-febril, menggigil serta

mual, muntah, nyeri kepala, spasma otot, dan malaise. 1

1
Gambar 8.3 : Lesi pada penderita dermatitis marin

17
IX. PENATALAKSANAAN

Terapi sistemik hanya bersifat simtomatik, misalnya pemberiaan analgetika untuk

mengurangi neuralgia. Dapat pula ditambahkan neurotropic: vitamin B1, B6, dan B12.

Antibiotika diberikan bila adanya infeksi sekunder.

Secara local dapat diberikan bedak, losio kalamin dapat diberikan untuk mengurangirasa

tidak enak dan mengeringkan lesi vesikuler. IDU 5-40% dalam 100% DMSO (dimetilsulfoksid)

dipakai secara topical manakalapemberian secara oral prednisone 30 mg per hari atau

triamsinolon 48 mg sehari akan memperpendekan masa neuralgia pascaherpetika, terutama pada

orang tua dan seyogianya sudah diberikan sejak awal timbulnya erupsi. Pengobatan dengan

imunomodulator, seperti isoprinosin dan antivirus seperti interferon dapat pula

dipertimbangkan.3

Pada anak imunokompeten, biasanya tidak diperlukan pengobatan spesifik dan pengobatan

yang diberikan bersifat simtomatis yaitu: 3

- Lesi vesikel : bedak agar tidak mudah pecah.

- Lesi vesikel yang sudah pecah/krusta : salep antibiotic untuk mencegah infeksi sekunder.

- Pemberian antipiretik dan analgetik, tidak boleh diberi golongan salisilat (aspirin) untuk

menghindar terjadinya Sindroma Reye.

- Kuku jari tangan dipotong untuk mencegah terjadinya infeksi sekunder akibat garukan.

Terapi sistemik hanya bersifat simtomatik, misalnya pemberiaan analgetika untuk

mengurangi neuralgia. Dapat pula ditambahkan neurotropic: vitamin B1, B6, dan B12.

Antibiotika diberikan bila adanya infeksi sekunder. secara local dapat diberikan bedak, losio

kalamin dapat diberikan untuk mengurangi rasa tidak enak dan mengeringkan lesi vesikuler. IDU

18
5-40% dalam 100% DMSO (dimetilsulfoksid) dipakai secara topical manakala pemberian secara

oral prednisone 30 mg per hari atau triamsinolon 48 mg sehari akan memperpendekan masa

neuralgia pascaherpetika, terutama pada orang tua dan seyogianya sudah diberikan sejak awal

timbulnya erupsi. Pengobatan dengan imunomodulator, seperti isoprinosin dan antivirus seperti

interferon dapat pula dipertimbangkan. 3

Tujuan dari pemberian antivirus adalah untuk mengurangi lama sakit, keparahan dan

waktu penyembuhan akan lebih singkat. Pemberian antivirus sebaiknya dalam jangka waktu

kurang dari 48-72jam setelah erupssi dikulit muncul. Antara golongan antivirus yang dapat

diberikan adalah asiklovir, valaklovir dan famasiklovir. 3

Dosis antivirus (oral ) untuk pengobatan Herpes zoster : 3

Neonates (< 1 tahun) : asiklovir 500mg / 𝑚2 IV setiap 8 jam selama 10 hari

Anak (2-12 tahun) : asiklovir 4 x 20mg / kg BB / hari / oral selama 5 hari

Dewasa (> 12 tahun) : asiklovir 5 x 800mg / hari /oral selama 7 hari

: valaklovir 3 x 1gr / hari / oral selama 7 hari

: famaklovir 3 x 500mg / hari / oral selama 7 hari

Ibu Hamil 16 : asiklovir 5x800mg / hari / oral selama 7 hari

: asiklovir intravena 3x10mg / kg / hari

sekurang-kurangnya selama 5 hari (7-10) dengan penyakit

berat

X. KOMPLIKASI

Komplikasi Herpes zoster tergantung dari lokasi kerusakan saraf sensorik atau motorik

atau invasi virusnya sendiri, mungkin juga karena terjadi vaskulopati. Komplikasi yang lain dari

Herpes zoster adalah gangguan N.Trigeminus cabang pertama ganglion trigeminalis. Ulkus
19
kornea dan jaringan parut dapat terjadi akibat Herpes zoster dari gangguna N. Trigeminus cabang

pertama. Bantuan Ophthalmologis harus segera didapatkan. 14

Seterusnya, Herpes zoster bisa mengakibatkan kelumpuhan motorik namun jarang

didapat. Virus mungkin menyebar dari bagian posterior horn spin

al cord ke bagian anterior spinal cord menyebabkan disfungsi motorik sehingga bisa

menyebabkan kelumpuhan saraf cranial, kelumpuhan otot. 41.

Neuralgia paska herpes (NPH) adalah nyeri yang menetap di dermatom yang terkena 3

bulan setelah erupsi Herpes zoster menghilang. NPH merupakan komplikasi yang mengganggu

pasien secara fungsional. dan psikososial. Pasien akan mengalami nyeri konstan (terbakar, nyeri,

berdenyut), nyeri intermiten (tertusuk--tusuk), dan nyeri yang dipicu stimulus seperti allodinia.

Risiko NPH meningkat pada usia lebih 50 tahun. 5

XII. PROGNOSIS
Prognosa bagi penyakit Herpes zoster umumnya baik. Pada Herpes zoster oftalmikus,
prognosis nya bergantung pada tindakan perawatan secara dini.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Goldsmith. (2012). Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, 8th Edition. USA:

McGraw-hill Companies, Inc.

2. Djuanda A. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2007. Pg.60-1,110,130-3,382

3. Harahap, P. D. (2000). Ilmu Penyakit Kulit. (P. D. Harahap, Ed.) Jakarta, Indonesia:

Hipokrates.

4. Allwin, R. (2006). Epidemiology of Herpes zoster: What has Changed? In S. B. Regina

Allwin, Herpes zoster- Recent Aspects of Diagnosis and Control (p. 154). Basel,

Switzerland.

5. Dr. Syarief Hidayat, S. e. (2014). Buku PAnduan Herpes zoster di Indonesia 2014.

Jakarta: BAdan Penerbit FAkultas Kedokteran Universitas Indonesia.

6. Janniger, C. K. (2016, February 1). Medscape. Retrieved March 23, 2016, from Herpes

zoster: http://emedicine.medscape.com/article/1132465-overview

7. W.Johnson, R. (2010). Herpes zoster And Postherpetic Neuralgia. From Varicella to HZ:

Natural History, 21-26

8. Habif T. Clinical Dermatology: A Color Guide to Diagnosis and Therapy. 4th ed. USA:
mosby; 2003. Pg.394-406

9. William D. James, T. G. (2011). Andrew's Diseases of The Skin Clinical Dermatology.

USA: Saunders.

10. Bolognia JL, Jprizzo JL, Rapini RP. Dermatology. 2nded. New York: William Coleman
III retains copyright of his original figures in chapter 156; 2008. 3:1-8

11. Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Rook’s Textbook of Dermatology. 7th ed.
Australia: Blackshell Publishing Company; 2005. Pg. 22.25-4

21
12. Trozak DJ, Tennenhouse J, Russell JJ. Dermatology Skills for Primary Care. Totowa,
New Jersey: Human Press; 2006. Pg. 335-44

13. Roxas M. Herpes zoster and Postherpetic Neuralgia; Diagnosis and Therapeutic
Considerations. Alternative Medicine Review;2006. 11;102-11

14. Gawkrodger, D. J. (2003). Dermatology an Illustrated Colour Text. Sheffield, UK:

Churchill Livingstone.

15. Jjustad, M. (2013). Shingles (Herpes zoster). Health Guidelines Shingles, 2. Striedter, G.
F. (2016). Neurobiology A Functional Approach. New York, USA: Oxford University
Press.

16. Irena Narkeviciute, Jolanta Bernatoniene. (2012). Varicella Zoster Virus Infection in
Pregnancy, Herpesviridae – A look into This Unique Family of Viruses, Dr George
Dimitri Magel. Croatia : University Campus STeP.

22
23

You might also like