You are on page 1of 14

REFERAT

SINDROM MIELODISPLASIA

Disusun Oleh:
Vivi Novemly Rumahlatu
11.2016.035

Pembimbing:
dr.Nuniek Hendri, Sp.PD

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam


RSUD Tarakan
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Periode 3 Juli 2017 – 9 September 2017

1|SINDROME MIELODISPLASIA
DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN………………………………………………………………………..……..3

II. PEMBAHASAN

2.1 DEFINISI............................................……………………………………………….....4
2.2 EPIDEMIOLOGI…………………………………………………………………………4
2.3 ETIOLOGI & FAKTOR RESIKO …..…………………………………………………..5
2.4 KLASIFIKASI....………………………………………………………………………....6
2.5 MANIFESTASI KLINIS......……………………………………………………………..8
2.6 PATOFISIOLOGI ………………...……………………………………………………...8
2.7 DIAGNOSIS KLINIS…………………………………………………………………….10
2.8 PENATALAKSANAAN............................................................................................. 11
2.9 PROGNOSIS ...............................................................................................................11

III. DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………....12

2|SINDROME MIELODISPLASIA
BAB I

PENDAHULUAN

Sindrom mielodisplasia (Myelodysplastic Syndrom/MDS) adalah gangguan sumsum


tulang, ditandai dengan hematopoesis yang tidak efektif, berbagai tingkat sitopenia serta
peningkatan risiko leukemia akut (Steensma, 2003).1 MDS mewakili spektrum gangguan
neoplastik sel induk klonal yang ditandai oleh kegagalan sumsum tulang dengan sitopeni,
dan persentase leukemia berkisar <5% sampai 19% terjadi pada populasi lanjut usia.
Kejadian MDS dalam data baru-baru ini diterbitkan oleh Surveillance, Epidemiology, and
End Result (SEER) meningkat dari 5 per 100.000 pasien dibawah usia 60 tahun menjadi 36,2
per 100.000 pasien dengan usia lebih dari 80 tahun. Dengan rata – rata usia diagnosis 76
tahun. Secara umum, pria dan kulit putioh memiliki insiden yang lebih tinggi dari penyakit
ini.2

Seperti halnya penyakit kanker pada umumnya, penyebab MDS yang pasti belum
diketahui. Studi epidemiologi menunjukkan MDS dihubungkan dengan paparan bahan kimia
seperti benzen, halogenated hydrocarbon, hidrogen peroksida, serta paparan radiasi.
Beberapa hal dapat mendasari petologi fenotip dan biologi pada penyakit ini, termasuk
kelainan kromosom dan genetik, dan perubahan sistem imun.3 Pada fase awal, sel induk
normal dan abnormal sama – sama berfungsi, tetapi pada proses selanjutnya klon ganas lebih
dominan. Ciri dari penyakit ini pada usia dini adalah apoptosis yang dipercepat pada sel
induk hematopoesis disertai peningkatan kompensasi dalam proliferasi.1

Setelah diagnosis dibuat, hematologi atau onkologi medis mencoba untuk


mengklasifikasikan pasien ke kategori untuk memprediksi prognosis dan menentukan strategi
pengobatan yang akan dilakukan. Tujuan pengobatan pada kelompok risiko rendah adalah
untuk meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi kebutuhan transfusi. Pada kelompok
risiko tinggi tujuan pengobatan adalah untuk meningkatkan kelangsungan hidup dan
memperlambat perkembangan penyakit.

3|SINDROME MIELODISPLASIA
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Sindrom mielodisplasia (Myelodysplastic Syndrom / MDS) adalah suatu kelainan


dari sel punca (stem cell) darah yang ditandai dengan terganggunya proliferasi dan
pendewasaan sel hematopoesis. Karakteristik dari MDS adalah hematopoesis yang tidak
efektif dan adanya displasia sel punca akibat proliferasi dan maturasi yang abnormal.
Dua karakteristik inilah yang menyebabkan terjadinya sitopenia pada penderita MDS. 4

Sindrom mielodisplasia (Myelodysplastic Syndrom / MDS) adalah kelaianan


neoplastik hemopoetik klonal yang disebabkan oleh transformasi ganas sel induk
myeloid sehingga menimbulkan gangguan maturasi dan diferensiasi seri myeloid,
eritriod atau megakariosit yang ditandai dengan hematopoesis inefektif, siopenia pada
darah tepi dan sebagian akan mengalami transformasi menjadi leukemia myeloid akut.2

2.2 Epidemiologi

Perkiraan dari American Cancer Society (2009), MDS di Amerika Serikat berkisar
12.000 kasus baru setiap tahun. Jumlah kasus baru nampaknya akan meningkat karena
peningkatan usia rata – rata populasi. Sekitas 80% sampai 90% dari semua pasien
dengan MDS umumnya lebih dari 60 tahun.

Sedangkan insiden MDS dalam data yang baru – baru ini diterbitkan oleh
Surveillance, Epidemiology, and End Result (SEER) meningkat dari < 5 per 100.000
pasien dibawah usia 60 tahun menjadi 36,2 per 100.000 pasien dengan usia lebih dari 80
tahun. Dengan rata – rata usia diagnosis 76 tahun. Secara umum, pria dan kulit putioh
memiliki insiden yang lebih tinggi dari penyakit ini.2

4|SINDROME MIELODISPLASIA
2.3 Etiologi dan Faktor Risiko

Etiologi utama MDS sampai saat ini belum diketahui secara pasti, namun dapat
terjadi karena bertambahnya usia, perubahan genetik yang diwariskan atau disebabkan
oleh paparan zat yang berbahaya. Faktor risiko meliputi pemaparan terhadap pelarut
benzena atau bahan lainnya, halogenated hydrocarbon, tembakau, dan asap rokok serta
penurunan sistem imun. Kemoterapi dan radiasi yang berhubungan dengan terapi juga
dapat terkait dengan MDS.1

1. Penuaan
Sebagaimana disebutkan di atas, penuaan tampaknya menjadi faktor risiko
terpenting dalam perkembangan MDS karena risiko terjadinya mutasi meningkat
sebanding dengan usia.
2. Kimia
Paparan tingkat tinggi dari beberapa bahan kimia lingkungan, terutama produk
benzena dan minyak bumi, terkait dengan perkembangan MDS.
3. Rokok
Paparan bahan kimia dalam asap tembakau atau rokok dapat meningkatkan risiko
perkembangan MDS.
4. Sitotoksik kemoterapi
Pasien yang sebelumnya mengalami pengobatan kamker atau kondisi lain dengan
kemoterapi, akan meningkatkan risiko untuk terjadinya MDS sekunder atau terkait
pengobatan. Ini mewakili kurang dari 10 persen dari semua kasus MDS. MDS
sekunder dikaitkan dengan mutasi yang berbeda yang terjadi pada MDS spontan dan
memiliki prognosis yang lebih buruk. Waktu antara paparan obat dan terjadinya
MDS dapat 2-3 tahun hingga lebih dari 10 tahun.
5. Radiasi
Terapi radiasi sebelumnya, atau paparan radiasi lingkungan tingkat tinggi dikaitkan
dengan peningkatan risiko MDS. Dalam beberapa kasus mungkin tidak terlihat
sampai 40 tahun setelah paparan.
6. Kelaianan bawaan
Beberapa kelainan bawaan seperti sindrom Bloom, Down Syndrome, anemia
fanconi, dan neurofibromatosis memiliki risiko lebih untuk terjadinya mutasi yang
menyebabkan kanker atau MDS.

5|SINDROME MIELODISPLASIA
2.4 Klasifikasi

FAB (French-British-America) membagi MDS menjadi 5 kategori berdasarkan


jumlah blast dalam darah tepi dan sumsum tulang, jumlah monosit dalam darah tepi,
serta jumlah ringed sideroblast dalam sumsum tulang.

1. Refractory Anemia ( RA )
Pada RA dijumpai sitopenia, paling sedikit pada satu turunan sel (cell lineage), pada
umumnya pada seri eritroid. Sumsum tulang hiperseluler atau normoseluler dengan
perubahan displastik terutama pada sistem eritroid, sistem granulosit, sistem
megakariosit mengalami perubahan displastik dalam derajat yang lebih ringan. Blast
dalam darah tepi <1% dan dalam sumsum tulang <5%.
2. Refractory Anemia with Ringed Sideroblast (RARS)
Pada RARS dijumpai sitopenia (hampir selalu disertai anemia), perubahan displastik,
jumlah blast seperti pada RA, ring sideroblast dijumpai >15% dari sel eritroid berinti
dalam sumsum tulang.
3. Refractory Anemia with Exessive Blast (RAEB)
Pada RAEB dijumpai sitopenia dari dua atau lebih turunan sel pada darah tepi.
Perubahan displastik pada ketiga lineage dalam sumsum tulang lebih nyata. Blast
darah tepi <5% dan dalam sumsum tulang antara 5 – 20%.
4. RAEB in Transformation to Leukemia (RAEBt)
Pada RAEBt gambaran hematologi sama dengan RAEB, tetapi blast darah tepi >5%
atau blast dalam sumsum tulang 21 – 30% atau adanya auer rod pada sel blast.

5. Chronic Myelo-Monocytic Leukemia (CMML)


Pada CMML dijumpai monositosis pada darah tepi (monosit >1.109 per liter). Dalam
darah tepi <5%, sedangkan dalam sumsum tulang sampai dengan 20%.7

6|SINDROME MIELODISPLASIA
Klasifikasi menurut WHO (2008) MDS dibagi menjadi 7 jenis:

Tabel 2.1 Klasifikasi MDS Menurut WHO

Subtipe Darah Tepi Sumsum Tulang


Refractory cytopenia with Single or bicytopenia Dysplasia in >10% of one
unileage dysplasia (RCUD) cell line, <5% blast
Refactroy anemia with ring Anemia, no blasts >15% of erytroid
sideroblasts (RARS) percursors with ring
sideroblast, erythroid
dysplasia only, <5%
blasts
Refractory cytopenia with Cytopenia, <1x109/L Dysplasia in >10% of
multilineage dysplasia monocytes cell in >2 hematopoetic
(RCMD) lineages, ±15% ring
sideroblasts, <5% blasts
Refractory anemia with Cytopenia, <2%-4% Unilineage or
excess blasts-1 (RAEB-1) blasts, <1x109/L multilineage displasia, no
monocytes Auer rods, 5%-9% blasts
Refractory anemia with Cytopenia, 5%-19% Unilineage or
excess blasts-2 (RAEB-2) blasts, <1x109/L multilineage displasia,
monocytes Auer rods, ±10-19%
blasts
MDS, unclassified (MDS- Cytopenia Unilineage dysplasia or
U) no dysplasia but
characteristic MDS
cytogenetics, >5% blasts
MDS assosiated with Anemia, platelets Unilineage erytroid
isolated del (5q) normal or increased dysplasia, isolated del
(5q), <5% blasts

7|SINDROME MIELODISPLASIA
2.5 Manifestasi Klinik

Gejala MDS sering tidak jelas dan spesifik, dan diagnosis sering dibuat
selama pemeriksaan untuk anemia, trombositopenia, atau neutropenia pada pemeriksaan
darah rutin. Jika tampak tanda – tanda dan gejala, biasanya tergantung pada jenis sel
yang terpengaruh.
Ketika eritrosit terpengaruh (situasi yang paling umum), pasien datang dengan tanda
– tanda anemia, termasuk pucat, konjungtiva anemis, takikardi, hipotensi, kelelahan,
sakit kepala, dan intoleransi latihan, atau dengan tanda dan gejala memburuknya kondisi
atau penyakit yang mendasari seperti angina pectoris, gagal jantung, atau emfisema.
Ketika trombosit yang terpengaruh, kurang dari 20% dari pasien datang dengan
gejala trombositopenia terisolasi sebagai perdarahan kecil, misalnya perdarahan mukosa,
petechie, mudah memar, epistaksis, atau perdarahan besar misalnya perdarahan
gastrointestinal, perdarahan intrakranial.
Ketika neutrofil yang terpengaruh, terjadi neutropenia terisolasi misalnya infeksi
bakteri yang sering terjadi pada pasien sistem organ yang berbeda. Infeksi merupakan
keluhan utama dari 10% kasus dan penyebab kematian dari 21% kasus. Splenomegali
dan limfodenopati jarang terjadi pada MDS. Jika terdeteksi, maka harus curiga terhadap
neoplasma myeloproliferatif atau limfoproliferatif.5

2.6 Patofisiologi

Penyebab MDS belum diketahui secara pasti, dan sulit dipisahkan dari penyebab
leukemia dan penyakit mieloproliferatif lainnya. Di ajukan sebuah hipotesis bahwa
berpengaruh faktor lingkungan, kelainan genetik dan interaksi sel menimbulkan mutasi
pada tingkat sel induk sehingga menimbulkan ketidakseimbangan proses proliferasi dan
diferensiasi. Variasi perubahan proses itu akan menyebabkan transformasi ke arah
leukemia akut, MDS atau penyakit myeloproliferatif.6
Pada MDS terjadi ketidakserasian antara proliferasi dengan diferensiasi, dimana
daya proliferasi masih cukup tetapi terjadi gangguan diferensiasi atau maturasi sehingga
terjadi hemopoesis inefektif, dengan kematian premature sel (eritroid, myeloid,
megakariosit) dalam sumsum tulang sebelum sempat dilepaskan ke darah tepi. Hal ini
berakibat terjadinya sumsum tulang hiperseluler, tetapi terjadi sitopenia pada darah tepi.6

8|SINDROME MIELODISPLASIA
Gambar 2.1 proses hematopoesis

2.7 Diagnosis

Tanda dan gejala tidak spesifik dan secara umum berhubungan dengan sitopenia
darah.

1. Anemia : kelelahan kronik, sesak napas, rasa menggigil, dan kadang nyeri dada.
2. Neutropenia : meningkatnya risiko infeksi.

9|SINDROME MIELODISPLASIA
3. Trombositopenia : mudah untuk berdarah dan ekimosis, hemorragic subkutaneus
pada purpura dan ptechie.
Dengan adanya penurunan berat badan perlu diwaspadai mieloproliferatif daripada
mielodisplasia. Anak dengan syndrom down lebih cenderung terkena MDS. Apabila dari
hasil lab sering ditemukan pada MDS adalah sitopenia darah, hematopoesis inefektif,
diseritropoesis, disgranulopoesis, dismegakaropoesis, dan peningkatan mieloblast. Cara
terbaik untuk mendiagnosa displasia adalah dengan pewarnaan khusus dan morfologi
pada aspirasi sumsum dan darah tepi.

Tabel 2.2 Abnormalitas Morfologi pada Penderita MDS (List, 2009)

Jenis sel Apusan darah tepi Sumsum tulang


Eritroid Ovalomakrosit Eritropoesis megaloblastoid
Eliptosit Nuclear budding
Akantosit Ringed sideroblast
Stomatosit Internuclear bridging
Teardrops Karioeksis
Normoblas Fragmen nuclei
Basophilic stippling Vakuolisasi sitoplasma
Howel-jolly bodies Multinuklearitas
Mieloid Anomali pseudo-pelger- Defektif granulasi
huet
Hipogranulasi Hambatan maturasi pada tingkat
mielosit
Nuclear sticks Peningkatan bentuk monositoid
Hipersegmentasi Lokasi abnormal perkusor
imatur
Ring – shaped nuclei
Auer rods
Megakariosit Giant platelets Mikromegakariosit
Trombosit Hipogranulasi nukleus kecil
hipogranuler/agranuler multipel

10 | S I N D R O M E M I E L O D I S P L A S I A
Pada pemeriksaan laboratorium :
1. Darah tepi
Pansitopenia sering ditemukan. Eritrosit biasanya makrositik atau dimorfik tetapi
kadnag-kadang hipokrom, mungkin ditemukan normoblas. Hitung retikulosit rendah.
Jumlah granulosit seringkali menurun dan memperlihatkan tidak adanya granulasi.
Kelainan pelger (inti tunggal atau berlobus dua) sering ditemukan. Pada kasus yang
memiliki prognosis buruk, ditemukan mieloblas dengan jumlah yang bervariasi
dalam darah.

2. Sumsum Tulang
Selularitas biasanya meningkat. Sideroblast cincin dapat ditemukan pada kelima tipe
French-American-British (FAB) tetapi secara definisi mencakup >15% normoblas
pada anemia refrakter dengan sideroblas cincin. Ditemukan normoblas berinti
banyak dan gambaran diseritropoesis. Perkusor granulosit memperlihatkan adanya
gangguan granulasi primer dan sekunder dan sering ditemukan sel – sel yang sulit
diidentifikasi apakah sebagai mielosit agranular, monosit, atau premonosit. Biopsi
sumsum tulang memperlihatkan fibrosisi pada 10% kasus.

2.8 Penatalaksanaan

Tujuan pengobatan adalah mengontrol gejala, meningkatkan kualitas hidup,


meningkatkan survival, dan mengurangi transformasi gejala AML.

1. Pada sindrom mielodisplastik risiko rendah


Pasien yang memiliki jumlah sel blas <5% dalam sumsum tulang
didefinisikan sebagai penderita sindrom mielodisplasia risiko rendah. Sehingga
ditangani dengan konservatif dengan transfusi eritrosit, trombosit, atau pemberian
antibiotik sesuai keperluan. Upaya memperbaiki fungsi sumsum tulang dengan
faktor pertumbuhan hematopoetik sedang dilakukan. Eritropoietin dosis tinggi dapat
meningkatkan konsentrasi Hb sehingga transfusi tidak perlu dilakukan. Untuk
jangka panjang penimbunan besi tranfusi berulang harus diatasi dengan chelasi besi
setelah mendapat transfusi 30-50 unit. Pada pasien usia muda kadang transplantasi
alogenik dapat memberikan kesembuhan permanen.

11 | S I N D R O M E M I E L O D I S P L A S I A
Perlu diperhatikan pada pasien yang memerlukan banyak transfusi RBC
adalah level serum feritin yang dapat berakibat disfungsi organ dan harus dikontrol
<1000mcg/L. Dan ada 2 macam chelasi besi seperti deferoxamine IV dan
deferasirox per oral. Pada kasus yang jarang, deferasirox dapat menyebabkan gagal
ginjal dan hati yang berakhir pada kematian.

2. Pada sindrom mielodisplasia risiko tinggi


Pada pasien yang memiliki jumlah sel blast >5% dalam sumsum tulang dapat
diberi beberapa terapi.
a. Perawatan suportif umum diberikan sesuai dengan pasien usia tua dengan
masalah medis mayor. Transfusi eritrosit dan trombosit, terapi antibiotik dan
obat antijamur diberikan sesuai kebutuhan.
b. Kemoterapi agen tunggal hidroksiurea, etopasid, merkaptopurin, azasitidin,
atau sitosin arabinosida dosis rendah dapat diberikan dengan sedikit manfaat
pada pasien CMML atau anemia refrakter dengan kelebihan sel blast (RAEB)
atau RAEB dalam transformasi dengan jumlah leukosit dalam darah yang
tinggi.
c. Kemoterapi intensif seperti pada AML. Kombinasi fludarabin dengan sitosin
arabinosida (ara-C) dosis tinggi dengan faktor pembentuk koloni granulosit
dapat sangat bermanfaat untuk mencapai remisi pada MDS.
d. Transplantasi sel induk. Pasien berusia lebih muda ( <50-55 tahun) dengan
saudara laki-laki atau perempuan yang HLA nya sesuai atau donor yang tidak
berkerabat tetapi sesuai HLA nya. SCT memberikan prospek kesembuhan
yang lengkap dan biasanya dilakukan pada MDS tanpa mencapai remisi
lengkap dengan kemoterapi sebelumnya, walaupun pada kasus risiko tinggi
dapat dicoba kemoterapi awal untuk mengurangi proporsi sel blast dan risiko
kambuhnya MDS. SCT biasanya dapat dilaksanakan pada sebagian kecil
pasien karena umunya pasien MDS berusia tua.

2.9 Prognosis

Indikator bonam : orang yang lebih muda, hitung leukosit dan trombosit yang
normal atau sedikit berkurang, blast yang terdapat dalam sumsum <20% dan tidak ada
blast didarah, tidak ada batang Auer, adanya cincin sideroblas, normal kariotip atau

12 | S I N D R O M E M I E L O D I S P L A S I A
mixed tanpa abnormalitas kromosom komplek dan kultur sumsum invitro dengan pola
pertumbuhan non leukemia.
Indikator malam : umur menengah, neutropenia dan trombositopenia parah. Blas
yang terdapat dalam sumsum 20-29% atau blas didalam darah. Terdapat batang auer,
tidak terdapat cincin sideroblas, penempatan abnormal dan prekusor granulosit imatur
dalam sumsum tulang atau kebanyakan kariotip abnormal atau kompleks kromosom
sumsum abnormal dan terdapat pola pertumbuhan leukemik pada kultur sumsum invitro.

13 | S I N D R O M E M I E L O D I S P L A S I A
DAFTAR PUSTAKA

1. Steensma DP 2007 The Spectrum of Moleculer Aberrations in myelodisplasiasynromes;


in the Shadow of Acute Myeloid Leukemia Hematologica (9):723-727
2. Rami SK and John HB.2009. What is ‘WHO?’: Myelodisplasia Syndrome Classifications
and Prognosis American Society Of Clinical Oncology:413:9
3. Epling – Burnette JM, Flandrin G et al 2001. Myelodiaplasiasyndromes. LARC Press:63-7
4. Kasper et al (2005). Harisons Principles of Internal Medicine 16th Edition. New York.:MC
Graw-Hill:64.
5. Brazi A and Sekkeres MA 2010. Myelodiaplasiasyndrome: A Practical Approach to
diagnosis and treatment. Cleveland Clinical Journal Of Medicine 77(1):37-44.
6. Uwe P. Michelle M and Gerhard E. 2007. The Pathogenesis of Myelodiaplasiasyndromes
(MDS). Cancer Treatment Review (33);s53-s58.

14 | S I N D R O M E M I E L O D I S P L A S I A

You might also like