Professional Documents
Culture Documents
Latar Belakang
Gangguan muskuloskeletal pada usia lanjut merupakan salah satu darisedemikian
banyak kasus geriatri yang lazim dijumpai di praktik sehari-hari. Pada kenyataannya,
sedikit sekali jenis kelainan muskuloskeletal yang bersifat endemis pada usia lanjut.
Tidak dapat disangkal bahwa kaum usia lanjut lebih sering menderita osteoarthritis,
osteoporosis, arthritis gout, dan berbagai patah tulang yang sering terjadi pada
lansia juga sehingga penggantian sendi melalui tindakan bedah, farmakologi,
ataupun dengan menggunakan alat bantu jalan. Untuk dapat memahami kelainan
muskuloskeletal pada kelompok usia lanjut, perubahan-perubahan seiring dengan
pertambahan usia yang timbul pada otot, tulang, persendian, jaringan ikat, dan
persarafan harus diketahui.
Pada usia lanjut dijumpai proses kehilangan massa tulang dan kandungan kalsium
tubuh, serta perlambatan remodelling dari tulang. Massa tulang akan mencapai
puncak pada pertengahan usia duapuluhan (di bawah usia 30 tahun). Penurunan
massa tulang lebih dipercepat pada wanita pasca menopause. Dengan menambah
aktivitas tubuh, dapat memperlambat proses kehilangan massa tulang, bahkan
mengembalikannya secara temporer. Tetapi, tidak terdapat bukti nyata bahwa
aktivitas yang intensif dapat mencegah secara sempurna kehilangan massa tulang
tersebut. Latihan yang teratur hanya dapat memperlambat laju kehilangan massa
tulang. Dengan demikian, hanya mereka yang mampu hidup pada usia yang sangat
lanjut yang mungkin akan menderita berbagai komplikasi dari hilangnya massa
tulang seperti osteoporosis dan fraktur.
Proses degenerasi juga terjadi pada persendian dapat dijumpai pada hampir
semua manusia usia lanjut. Namun, kenyataannya tidak sedikit dari mereka yang
berusia 30 tahun atau lebih muda juga mengalami proses tersebut pada beberapa
sendi. Faktor- faktor lain seperti predisposisi genetik, riwayat trauma pada
persendian, obesitas, nutrisi, dan overuse dapat berinteraksi secara kompleks dalam
proses degenerasi sendi. Proses degenerasi sendi cenderung mengenai sendi
tertentu dan nyeri sendi tidak selalu timbul. Oleh karena itu, dalam makalah ini akan
membahas mengenai penyakit tulang dan patah tulang pada lansia tersebut.
PENYAKIT TULANG
Penyakit tulang adalah suatu kondisi yang kerusakan kerangka dan membuat tulang
lemah dan rentan terhadap fraktur.Penyakit tulang yang paling umum adalah
osteoporosis, yang ditandai dengan rendah tulang massa dan kerusakan struktur
tulang. Osteoporosis dapat dicegah, serta didiagnosis dan diobati. Massa tulang
yang rendah ketika tulang kehilangan mineral, seperti kalsium, yang membuat
mereka kuat, dan sebagai akibatnya, tulang menjadi lemah dan fraktur dengan
mudah.(http://www.news-medical.net/health/Bone-Disease-(Indonesian).aspx).
Kelainan dan gangguan pada tulang dapat mengganggu proses gerakan yang
normal. Kelainan dan gangguan pada tulang dapat terjadi karena:
A.Kekurangan vitamin D
Vitamin D atau kalsiferol adalah vitamin yang diperlukan untuk kalsifikasi
(penulangan) pada tulang. Pada mamalia, vitamin D dapat disintesis oleh tubuh dari
provitamin D dengan bantuan ultraviolet. Kekurangan vitamin D pada anak-anak
dapat menyebabkan rakhitis, biasanya dapat terlihat pada pertumbuhannya yang
terganggu dari kaki berbentuk O atau X. sedangkan pada orang dewasa,
kekurangan kapur akan menyebabkan penyakit osteomalasia.
B.Penyakit
Penyakit pada tulang manusia sangat beragam salah satu diantaranya adalah:
Fraktura
Fraktura atau patah tulang dibedakan menjadi patah tulang tertutup, patah tulang
terbuka dan fisura.
a). Patah tulang tertutup, bila tulang yang patah tidak merobek kulit.
b). Patah tulang terbuka, bila tulang yang patah merobek kulit
FRAKTUR
A. Definisi
Banyak sekali batasan yang dikemukakan oleh para ahli tentang fraktur. Fraktur
menurut Smeltzer (2002) adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan
sesuai jenis dan lainnya. Menurut Sjamsuhidayat (2005), fraktur adalah terputusnya
kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh
rudapaksa. Sementara Doenges (2000) memberikan batasan, fraktur adalah
pemisahan atau patahnya tulang. Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan
biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik (Price, 1995). Sedangkan fraktur
menurut Reeves (2001), adalah setiap retak atau patah tulang yang utuh.
Berdasarkan batasan diatas dapat disimpulkan bahwa, fraktur adalah terputusnya
kontuinuitas tulang, retak atau patahnya tulang yang utuh, yang biasanya
disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik yang ditentukan jenis dan luasnya trauma.
B. Etiologi
Fraktur disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan puntir
mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem (Smeltzer, 2002). Umumnya fraktur
disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang.
Pada orang tua, biasanya perempuan lebih sering mengalami fraktur yang
berhubungan dengan meningkatnya insiden osteoporosis yang terkait dengan
perubahan hormon pada menepause (Reeves, 2001).
C. Klasifikasi
• Fraktur tertutup
Fraktur yang tidak menyebabkan robeknya kulit atau kulit tidak ditembus oleh
fragmen tulang.
Fraktur terbuka
Fraktur dengan luka pada kulit atau membran mukosa sampai ke patahan tulang.
Derajat I : luka tembus seukuran jarum (tusukan fragmen-fragmen tulang).
Derajat II : luka lebih besar, terdapat kerusakan kulit.
Derajat III : luka lebih besar dari derajat II, bisa sampai mengenai tendon dan otot-
otot saraf tepi.
Menurut sudut patah
Fraktur transversal
Merupakan fraktur yang garis patahnya tegak lurus terhadap sumbu panjang tulang.
Fraktur oblik
Merupakan fraktur yang garis patahnya membentuk sudut terhadap tulang.
Fraktur spiral
Merupakan meluas yang mengelilingi tulang.
Menurut jumlah garis patah
• Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
• Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.
• Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang
yang sama.
Menurut lokasi terjadi yang umum pada lansia
• Fraktur Kompresi Vertebra
Suatu gejala osteoporosis yang sering dijumpai adalah penyakit punggung, akibat
fraktur kompresi vertebra. Nyeri akut pada bagian tengah sampai bagian bawah
vertebra torasikaselama aktivitas harian rutin mungkin merupakan gejala yang paling
awal terjadi. Fraktur kompresi ini dapat terjadi setelah trauma minimal, seperti
melepaskan kancing pada bagian punggung, membuka jendela, atau bahkan
merapikan tempat tidur.
Fokur dari perawatan untuk fraktur kompresi akut adalah mengurangi gejala
sesegera mungkin dengan tirah baring pada posisi apa pun yang mampu
memberikan kenyamanan maksimum. Relaksan otot, seperti panas dan analgesik
dapat digunakan jika ada indikasi. Penggunaan relaksan otot jangka pendek dalam
jumlah sedikit dapat mengurangi spasme otot yang sering menyertai fraktur-fraktur
ini.
Segera setelah rasa nyeri berkurang, klien perlu mencoba untuk bangun dari tempat
tidur secara perlahan-lahan dan dengan bantuan. Latihan yang dilakukan dengan
pengawasan untuk memperbaiki deformitas postural dan meningkatkan tonus otot
sangat bermanfaat bagi klien. Berenang, walaupun bukan merupakan latihan
menahan berat, dapat mempertahankan fleksibilitas dan mungkin merupakan cara
yang paling efektif bagi klien dengan penyakit yang telah terbentuk. Klien harus
diajarkan tentang cara mencegah ketegangan punggung dengan menghindari
gerakan berputar atau pergerakan yang kuat atau membungkuk secara mendadak.
Tindakan untuk menjaga keamanan yang berhubungan dengan cara mengangkat
dan membawa barang-barang perlu dijelaskan.
• Fraktur Panggul
Klien lansia biasanya mengalami cedera ini karena jatuh. Walaupun hanya 3% dari
semua fraktur adalah fraktur panggul, tipe cedera ini diperhitungkan menimbulkan 5
sampai 20% kematian di antara lansia akibat fraktur. Fraktur panggul adalah hal
yang tidak menyenangkan karena fraktur tersebut dapat juga menyebabkan cedera
intraabdomen yang serius, seperti laserasi kolon, paralisis ileum, perdarahan
intrapelvis, dan ruptur uretra serta kandung kemih.
• Fraktur Pinggul
Walaupun fraktur tulang belakang yang mengarah pada deformitas dan fraktur
panggul menyebabkan disfungsi tubuh, tetapi fraktur pinggullah yang sangat berat
memengaruhi kualitas hidup dan menantang kemampuan bertahan hidup pada
lansia. Holbrook melaporkan bahwa 1 dari 20 pasien yang berusia lebih dari 65
tahun yang baru saja dirawat di rumah sakit mengalami penyembuhan dari fraktur
panggul. Bahkan di tangan ahli yang terbaik, 40% dari klien yang mengalami fraktur
panggul tidak dapat bertahan hidup 2 tahun setelah cedera ini. Pada pasien yang
berasal dari panti jompo, 70% tidak bertahan hidup 1 tahun, hanya sepertiga dari
pasien yang dapat bertahan hidup setelah mengalami fraktur panggul dapat kembali
ke gaya hidup dan tingkat kemandirian yang dapat dibandingkan dengan gaya hidup
dan kemandirian yang dinikmatinya sebelum mengalami cedera tersebut.
Antara 75 dan 80% dari semua fraktur tulang panggul memengaruhi wanita, dan
hampir 50% terjadi pada seseorang yang berusia 80 tahun atau lebih. Manifestasi
klinis dari fraktur tulang pinggul adalah rotasi eksternal, pemendekan ekstremitas
yang terkena, dan nyeri berat serta nyeri tekan di lokasi fraktur. Perubahan letak
akibat fraktur pada bagian leher tulang femur dapat menyebabkan gangguan serius
pada suplai darah ke kaput femur, yang dapat mengakibatkan nekrosis avaskular.
Perbaikan dengan pembedahan lebih disukai dalam menangani fraktur tulang
pinggul. Penanganan melalui pembedahan memungkinkan klien untuk bangun dari
tempat tidur lebih cepat dan mencegah komplikasi yang lebih besar yang
dihubungkan dengan imobilitas. Pada awalnya, ekstremitas yang terpengaruh untuk
sementara mungkin diimobilisasikan dengan menggunakan traksi Buck atau Russel
sampai kondisi fisik klien stabil dan pembedahan dapat dijadwalkan. Banyak yang
percaya bahwa lansia berada pada kondisi yang paling sehat segera setelah
kecelakaan sehingga operasi harus dilaksanakan secepat mungkin.
D. Manfestasi Klinis
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan
ekstermitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna (Smeltzer, 2002).
Gejala umum fraktur menurut Reeves (2001) adalah rasa sakit, pembengkakan, dan
kelainan bentuk.
Manifestasi klinis fraktur, terdiri dari:
1. Nyeri terus-menerus dan bertambah berat sampai tulang diimobilisasi. Spasme
otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk
meminimalkan gerakan antarfragmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian yang tak dapat digunakan dan cenderung
bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap rigid seperti
normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan
deformitas (terlihat maupun teraba) ekstermitas yang bisa diketahui dengan
membandingkan ekstermitas normal. Ekstermitas tak dapat berfungsi dengan baik
karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
3. Saat ekstermitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan
krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan yang lainnya. Uji
krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat.
4. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat
trauma dan pendarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi setelah
beberapa jam atau hari setelah cedera.
E. Penalaksanaan
Prinsip Penanganan Fraktur
Prinsip penangan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan pengembalian fungsi serta
kekuatan normal dengan rehabilitas (Smeltzer, 2002). Reduksi fraktur berarti
mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Metode
untukmencapai reduksi fraktur adalah dengan reduksi tertutup, traksi, dan reduksi
terbuka. Metode yang dipilih untuk mereduksi fraktur bergantung pada sifat
frakturnya.
Reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang ke posisinya
(ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual.
Selanjutnya, traksi dapat dilakukan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi.
Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi.
Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan pendekatan bedah,
fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat,
paku atau batangan logam dapat digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang
dalam posisinya sampai penyembuhan tulang solid terjadi.
Tahapan selanjutnya setelah fraktur direduksi adalah mengimobilisasi dan
mempertahankan fragmen tulang dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai
terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi interna atau eksterna.
Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin, dan
teknik gips. Sedangkan implant logam digunakan untuk fiksasi interna.
Mempertahankan dan mengembalikan fragmen tulang, dapat dilakukan
denganmempertankan reduksi dan imobilisasi. Pantau status neurovaskular, latihan
isometrik, dan memotivasi klien untuk berpartisipasi dalam memperbaiki kemandirian
fungsi dan harga diri.
Penatalaksanaan Fraktur Terbuka
Patah tulang terbuka memerlukan pertolongan segera. Penundaan waktu dalam
memberikan pertolongan akan mengakibatkan komplikasi infeksi karena adanya
pemaparan dari lingkungan luar. Waktu yang optimal untuk melaksanakan tindakan
sebelum 6-7 jam sejak kecelakaan, disebut golden period.
Pada luka derajat I biasanya tidak mengalami kerusakan kulit, sehingga penutupan
kulit dapat ditutup secara primer. Namun pada derajat II, luka lebih besar dan bila
dipaksakan menutup luka secara primer akan terjadi tegangan kulit. Hal ini akan
mengganggu sirkulasi bagian distal. Sebaiknya luka dibiarkan terbuka dan luka
ditutup setelah 5-6 hari (delayed primary suture). Untuk fiksasi tulang pada derajat II
dan III paling baik menggunakan fiksasi eksterna. Pemakaian gips masih dapat
diterima, bila peralatan tidak ada. Namun, kelemahan pemakaian gips adalah
perawatan yang lebih sulit.
Salah satu tindakan untuk fraktur terbuka yaitu dilakukan debridemen. Debridemen
bertujuan untuk membuat keadaan umum membuat keadaan luka yang kotor
menjadi bersih, sehingga secara teoritis fraktur tersebut dapat dianggap fraktur
tertutup. Namun secara praktis, hal tersebut tidak pernah tercapai. Tindakan
debridemen dilakukan dalam anestesi umum dan selalu harus disertai dengan
pencucian luka dengan air yang steril atau NaCl yang mengalir. Pencucian ini
memegang peranan penting untuk membersihkan kotoran-kotoran yang menempel
pada tulang.
Pada fraktur terbuka tidak boleh dipasang torniket, hal ini penting untuk menentukan
batas jaringan yang vital dan nekrotik. Tindakan pembedahan berupa eksisi pinggir
luka, kulit, subkutis, fasia, dan pada otot-otot nekrosis yang kotor. Fragmen tulang
yang kecil dan tidak memengaruhi stabilitas tulang dibuang. Fragmen yang cukup
besar tetap dipertahankan.
G. Komplikasi
1) KomplikasiAwal
a) KerusakanArteri
Pecahnya arteri karena trauma bias ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT
menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas
yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisipada yang
sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
b) Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena
terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini
disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh
darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan pembebatan yang terlalu
kuat.
c) Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada
kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone
marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam
darah rendah yang ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi,
tachypnea, demam.
d) Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya
terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain
dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e) AvaskulerNekrosis
AvaskulerNekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ketulang rusak atau terganggu
yang bias menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s
Ischemia.
f) Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitaskapiler yang bias menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya
terjadi pada fraktur.
H. Pengkajian
1. Aktifitas atau istirahat
Tanda : Keterbatasan gerak atau kehilangan fungsi motorik pada bagian yang
terkena (dapat segera atau sekunder, akibat pembengkakan atau nyeri).
Adanya kesulitan dalam istirahat-tidur akibat dari nyeri.
2. Sirkulasi
Tanda : Hipertensi (kadang-kadang terlihat sebagai respons terhadap nyeri atau
ansietas) atau hipotensi (hipovolemia).
Takikardia (respons stress, hipovolemia).
Penurunan atau tak teraba nadi distal, pengisian kapiler lambat (capillary refill), kulit,
dan kuku pucat atau sianotik.
Pembengkakan jaringan atau massa hematoma pada sisi cedera.
3. Neurosensori
Gejala : Hilang gerak atau sensasi, spasme otot.
Kebas atau kesemutan (parestesi).
Tanda : Deformitas lokal, angulasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi, spasme
otot, kelemahan atau hilang fungsi.
Agitasi berhubungan dengan nyeri, ansietas, trauma lain.
4. Nyeri atau kenyamanan
Gejala : Nyeri berat tiba-tiba saat cedera (mungkin terlokalisasi pada area jaringan
atau kerusakan tulang, dapat berkurang pada imobilisasi), tak ada nyeri akibat
kerusakan saraf.
Spasme atau kram otot (setelah imobilisasi).
5. Keamanan
Tanda : Laserasi kulit, avulsi jaringan, perdarahan, dan perubahan warna kulit.
Pembengkakan lokal (dapat meningkat secara bertahap atau tiba-tiba).
I. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan rontgen: menentukan lokasi atau luasnya fraktur atau trauma, dan
jenis fraktur.
2. Scan tulang, tomogram, CT Scan atau MRI: memperlihatkan tingkat keparahan
fraktur, juga dapat untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
3. Arteriogram: dilakukan bila dicurigai adanya kerusakan vaskular.
4. Hitung darah lengkap: Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun
(perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada multipel trauma).
Peningkatan jumlah SDP adalah proses stress normal setelah trauma.
5. Kreatinin: trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
6. Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi multipel
atau cedera hati.
J. Diagnosis Keperawatan
Diagnosis keperawatan yang diangkat dalam masalah keperawatan fraktur, yaitu:
1. Nyeri berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang, cedera pada
jaringan lunak, stress, ansietas, alat traksi, imobilisasi.
2. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka neuromuskular.
3. Kurang perawatan diri berhubungan dengan hilangnya kemampuan menjalankan
aktivitas kehidupan sehari-hari.
K. Rencana keperawatan
Rencana asuhan keperawatan berikut ini diuraikan meliputi:
Diagnosis Keperawatan: Nyeri berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen
tulang, cedera pada jaringan lunak, stress, ansietas, alat traksi, imobilisasi.
Tindakan Keperawatan
Mandiri
1. Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring, gips, pembebat.
2. Tinggikan ekstermitas yang sakit.
3. Hindari penggunaan sprei atau bantal plastik dibawah ekstermitas dalam gips.
4. Tinggikan penutup tempat tidur, pertahankan linen terbuka pada ibu jari kaki.
5. Evaluasi nyeri; lokasi, karakteristik, intensitas (skala 0-10). Perhatikan petunjuk
nyeri nonverbal (perubahan tanda vital dan emosi atau perilaku.
6. Dorong klien untuk mengekpresikan masalah berhubungan dengan cedera.
7. Jelaskan prosedur sebelum memulai tindakan.
8. Berikan obat sebelum perawatan latihan atau aktivitas.
9. Lakukan dan awasi latihan rentang gerak pasif atau aktif.
10. Berikan alternatif tindakan kenyamanan, seperti pijatan punggung, perubahan
posisi.
11. Dorong penggunaan manajemen stress, seperti relaksasi progresif, latihan
napas dalam, imajinasi visualisasi, sentuhan terapeutik.
12. Identifikasi aktivitas terapeutik yang tepat untuk usia klien, kemampuan fisik, dan
penampilan pribadi.
13. Observasi adanya keluhan nyeri yang tidak biasa, tiba-tiba atau dalam, lokasi
progresif atau buruk tidak hilang dengan analgesik.
Kolaborasi
14. Lakukan kompres dingin 24-48 jam pertama sesuai kebutuhan.
15. Berikan obat sesuai order: narkotik dan analgetik non narkotik, NSAID. Berikan
narkotik sesuai order selama 3-5 hari.
16. Berikan atau awasi analgesik yang dikontrol klien.
Rasional :
1. Mengurangi nyeri dan mencegah kesalahan posisi tulang atau tegangan jaringan
yang cedera.
2. Meningkatkan aliran balik vena, mengurangi edema, dan mengurangi nyeri.
3. Meningkatkan kenyamanan karena peningkatan produksi panas dalam gips yang
kering.
4. Mempertahankan kehangatan tubuh tanpa kertidaknyamanan karena tekanan
selimut pada bagian yang sakit.
5. Memengaruhi efektifitas intervensi. Tingkat ansietas dapat memengaruhi persepsi
atau nyeri.
Kolaborasi
12. Konsul dengan ahli terapi fisik, okupasi, rehabilitasi.
13. Gunakan pelunak feses, enema, dan laksatif sesuai indikasi.
rasional :
1. Klien mungkin dibatasi oleh persepsi tentang keterbatasan fisik aktual,
memerlukan informasi atau intervensi untuk meningkatkan kemajuan kesehatan.
2. Memberikan kesempatan untuk mengeluarkan energi, memfokuskan kembali
perhatian, meningkatkan rasa kontrol harga diri, dan membantu menurunkan isolasi
sosial.
3. Meningkatkan aliran darah ke otot dan tulang untuk meningkatkan tonus otot,
mempertahankan gerak sendi, mencegah kontraktur atau atrofi, dan reabsobsi
kalsium karena tidak digunakan.
4. Kontraksi otot isometrik tanpa menekuk sendi atau menggerakkan tungkai dan
membantu mempertahankan kekuatan dan massa otot. Catatan: kontraindikasi
pada perdarahan akut atau edema.
5. Mempertahankan posisi fungsional ekstermitas tangan atau kaki, dan mencegah
komplikasi.
6. Mobilisasi dini menurunkan komplikasi tirah baring (mis. plebitis) dan
meningkatkan penyembuhan dan normalisasi fungsi organ.
7. Hipotensi postural adalah masalah umum yang menyertai tirah baring lama dan
memerlukan intervensi khusus (mis. kemiringan meja dengan peninggian secara
bertahap sampai posisi tegak).
8. Mencegah komplikasi pernapasan atau kulit, misal dekubitus, pneumonia,
ateletaksis.
9. Tirah baring, penggunaan analgesik, dan perubahan diet dapat memperlambat
peristaltik usus sehingga menyebabkan konstipasi.
10. Mempertahankan hidrasi tubuh, menurunkan risiko infeksi urenearius,
pembentukan batu, dan konstipasi.
11. Makanan kasar (serat) mencegah konstipasi. Makanan pembentuk gas dapat
menyebabkan distensi abdominal, khususnya pada adnya penurunan motilitas usus.
12. Berguna dalam membuat jadwal aktivitas klien. Klien dapat memerlukan bantuan
jangka panjang dengan gerakan, kekuatan, dan aktivitas yang mengandalkan berat
badan, juga penggunaan alat, seperti walker, kruk.
13. Meningkatkan evakuasi isi usus.
DAFTAR PUSTAKA