You are on page 1of 17

BAB 1

PENDAHULUAN

Epitaksis, dari kata Yunani epistazein, didefinisikan sebgai pendarahan dari hidung.
Kasus ini merupakan kasus yang paling banyak ditangani oleh para spesialis otolarngologi.
Insidensi epistaksis secara menyeluruh sulit detentukan karena kebanyakan kasus ada kasus
yang minor, self-limiting, atau dapat diatasi dengan first aid. Kurang dari 10 persen dari
pasien yang mendapatkan rawatan, dirawat inap memerlukan intervensi pembedahan untuk
mengkontrol pendarahan.1

Hampir 60% dari populasi pada satu waktu sepanjang hidup mereka akan mengalami
suatu derajat epistaksis. Penyebab sering dari trauma atau mekanis, epistaksis bias progresif
ke sesuatu yang sulit dikontrol, pendarahan yang banyak, durasi pendarahan melebihi 1 jam
yang memerlukan bantuan medis untuk mengkontrol. Etiologi umum epistaksis termasuk
olahraga, benda asing, trauma intubasi, bedah orthognatik, bedah onkologi, malformasi
arteriovenous, dan medikasi. Dalam kasus pendarahan menetap, tatalaksana cepat dan sesuai
penting untuk mengurangkan mrbiditas dan mortilitas,2

1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Epistaksis (nasal bleeding, nosebleed, dan nasal haemorrhage) adalah pendarahan
dari fossa nasal. Sumbernya dari disrupsi mukosa nasal dan pembuluh darah. Ia umumnya
dibagi ke epistaksis anterior dan epistaksis posterior, tergantung lokasi sumber pendarahan.3
2.2 KLASIFIKASI
Epistaksis dapat diklasifikasikan dengan beberapa cara. Jika mengklasifikasi
berdasarkan distribusi umur, episktaksis dibagi ke adult epistaxis dan childhood epistaxis.
Parameter deksriptif dapat digunakan untuk klasifikasi seperti epistaksis rekuren atau
epistaksis akut/kronik. Lokasi anatomis yang menjadi sumber pendarahan juga dapat
digunakan, dan membagikan ke epistaksis anterior dan epistaksis posterior. Selain itu,
klasifikasi menurut etiologi juga sering dipakai.1,4
2.3 EPIDEMIOLOGI

Distribusi umur untuk insidensi epistaksis bersifat bimodal dengan puncak pertama pada usia
anak dan puncak kedua pada usia tua, antara umur 60-80 tahun. Jarang didapatkan pada bayi
dan di awal dewasa. Terdapat kencedurungan sedikit terhadap laki-laki ( rasio
laki:perempuan,55:45).1 Pada anak sering terjadi epistaksis anterior ringan sementara pada
usis tua sering terjadi epistaksis posterior.5

2.4 ANATOMI & FISIOLOGI


A. Anatomi

Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan
lubang hidung. Kerangka tulang terdiri dari os nasal, prosesus frontalis os maksila, dan
prosesus nasalis os frontalis. Kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang
rawan yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis
inferior, tepi anterior kartilago septum.1,2,6

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dipisahkan oleh septum nasi di
bagian tengahnya menjadi kavum nasi kanan dan kiri.Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah
dinding. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang

2
rawan. Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan dan periosteum pada
bagian tulang sedangkan di luarnya dilapisi oleh mukosa hidung.1,3,6

Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka yaitu konka inferior, media, superior,dan
suprema yang biasanya rudimenter. Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung
terdapat rongga sempit yang disebut meatus.Ada 3 meatus yaitu meatus inferior, media dan
superior. Dinding inferior rongga hidung dibentuk oleh os maksila dan palatum. Dinding
superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis.1,6

Gambar 1 : Gambaran anterior osteocartilago hidung7

Gambar 1. Gambaran lateral osteocartilago hidung7

3
Gambar 2. Gambaran septum nasi7

Vaskularisasi hidung

a. Arteri

Gambar 3 : Vaskularisasi hidung7

Suplai darah cavum nasi berasal dari sistem karotis; arteri karotis eksterna dan karotis
interna. Arteri karotis eksterna memberikan suplai darah terbanyak pada cavum nasi
melalui :1,3

1) Arteri sphenopalatina, cabang terminal arteri maksilaris yang berjalan melalui foramen
sphenopalatina yang memperdarahi septum tiga perempat posterior dan dinding lateral
hidung.

4
2) Arteri palatina desenden memberikan cabang arteri palatina mayor, yang berjalan
melalui kanalis incisivus palatum durum dan menyuplai bagian inferoanterior septum
nasi. Sistem karotis interna melalui arteri oftalmika mempercabangkan arteri ethmoid
anterior dan posterior yang mendarahi septum dan dinding lateral superior.
Pleksus Kiessalbach terletak di bagian inferior anterior dari septum hidung, tepat di atas
vestibulum. Empat arteria yaitu arteri ethmoidalis anterior, cabang septum dari arteri labial
superior, arteri sphenopalatina cabang septal dan arteri palatina mayor, beranastomosis di sini
untuk membentuk pleksus vaskular yang disebut "pleksus kiesselbach." Daerah ini rentan
terjadi perdarahan yang diakibatkan oleh trauma kuku jari, dan merupakan tempat dimana
epistaksis sering terjadi pada anak-anak dan dewasa muda.1

Plexus Woodruff's adalah pleksus yang terletak pada inferior-posterior dari konka
inferior. Ini adalah daerah dimana epistaksis posterior sering terjadi pada orang dewasa.1,3

b. Vena

Vena ini berjalan secara vertikal ke bawah tepat di belakang columella, melintasi
bagian bawah hidung dan bergabung dengan pleksus vena pada dinding lateral hidung. Ini
merupakan daerah yang sering terjadi perdarahan vena pada orang muda.1

c. Sistem limfatik

Aliran limfatik hidung berjalan secara paralel dengan aliran vena. Aliran limfatik yang
berjalan di sepanjang vena fasialis anterior berakhir pada limfe submaksilaris 1,3

B. Fisiologi Hidung

Fungsi Respirasi

Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir. Suhu udara yang
melalui hidung diatur sehingga berkisar 370C. Fungsi pengatur suhu ini dimungkinkan oleh
banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang
luas. Partikel debu, virus, bakteri, dan jamur yang terhirup bersama udara akan disaring di
hidung oleh rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia, palut lendir. Debu dan bakteri
akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan
reflex bersin.1,7

5
Gambar 4. Gambaran aliran udara insipirasi (kiri) dan aliran udara ekspirasi (kanan)8

Fungsi Penghidu

Hidung bekerja sebagai indra penghidu dan pengecap dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum.
Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila
menarik napas dengan kuat. Fungsi hidung untuk membantu indra pengecap adalah untuk
membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan.7

Gambar 5. Pathway olfaktorius dan bulbus olfaktorius7

6
Fungsi Fonetik

Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi.
Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang, sehingga terdengar
suara sengau (rhinolalia). Terdapat 2 jenis rhinolalia yaitu rhinolalia aperta yang terjadi
akibat kelumpuhan anatomis atau kerusakan tulang di hidung dan mulut. Yang paling sering
terjadi karena stroke dan rhinolalia oklusa yang terjadi akibat sumbatan benda cair (ketika
pilek) atau padat (polip, tumor, benda asing) yang menyumbat.1,7

2.5 ETIOLOGI

Penyebab epistaksis dapat dibagi menjadi 3 yaitu penyebab lokal (misalnya trauma,
iritasi mukosa, kelainan septum, penyakit inflamasi, dan tumor), penyebab sistemik (misalnya
gangguan darah, arteriosklerosis, telangiektasis hemoragik turunan), dan penyebab idiopatik
(tidak diketahui).8

Penyebab lokal adalah penyebab paling umum; yaitu trauma wajah, benda asing,
infeksi hidung atau sinus, dan inhalasi udara kering yang berkepanjangan. Tumor dan
malformasi vaskular juga merupakan penyebab penting pendarahan hidung. Epistaksis juga
terkait dengan perforasi septum (lubang pada septum hidung).8 Penyebab epistaksis tidak
selalu mudah dikenali. Sekitar 10% pasien dengan epistaksis tidak memiliki penyebab yang
dapat dikenali bahkan setelah dilakukan evaluasi menyeluruh9

2.6 PATOFISIOLOGI
Perdarahan biasanya terjadi saat mukosa terkikis dan pembuluh darah menjadi
terbuka dan kemudian pecah. Lebih dari 90% perdarahan terjadi di anterior dan timbul dari
daerah Little, di mana pleksus Kiesselbach terbentuk di septum. Pleksus Kiesselbach adalah
tempat pembuluh darah dari ICA (arteri anterior dan posterior etmoidal) dan ECA
(sphenopalatine dan cabang arteri maksilaris internal) bertemu. Pendarahan kapiler atau vena
ini menghasilkan cairan konstan, dan bukan kerna aliran darah arterial. Perdarahan anterior
juga bisa berasal dari anterior turbinate inferior. Darah posterior muncul lebih jauh ke
belakang di rongga hidung, biasanya lebih banyak, dan sering berasal dari arteri (misalnya,
dari cabang arteri sphenopalatine di rongga hidung posterior atau nasofaring). Sumber
posterior menghadirkan risiko kompromi jalan nafas yang lebih besar, aspirasi darah, dan
kesulitan mengendalikan perdarahan.9

7
2.7 DIAGNOSIS
1. Anamnesis.
Mengontrol perdarahan yang signifikan atau menjaga dari ketidakstabilan
hemodinamik harus selalu didahulukan sebelum mendapatkan anamnesis yang tepat.
Tanyakan pertanyaan spesifik tentang tingkat keparahan, frekuensi, dan durasi. Tentukan
apakah perdarahan terjadi setelah olahraga atau saat tidur atau adakah iya berhubungan
dengan migrain. Tentukan apakah hematemesis atau melena telah terjadi karena
perdarahan posterior pada khususnya bisa terjadi dengan cara ini.

Tanyakan tentang faktor pemicu serta penghambatan dan metode yang digunakan
untuk menghentikan pendarahan. Sebagian besar mimisan dilaporkan sebagai kejadian
spontan dan sering dikaitkan dengan trauma hidung atau trauma lainnya; Oleh karena itu,
harus selidiki berbagai kemungkinan pemicunya. Benda asing yang dimasukkan ke dalam
hidung akan bisa menyebabkan epistaksis, namun pendarahannya mungkin relatif lebih
kurang dan disertai dengan bau busuk atau bersifat purulen jika benda asing dan
pendarahannya tidak ditangani.
Selain mendapatkan riwayat faktor pemicu dan kemungkinan penyebabnya, riwayat
kesehatan umum mengenai kondisi medis haruslah ditanyakan. Ditanyakan juga riwayat
pengobatan saat ini, serta kebiasaan merokok dan minum alkohol. Tanyakan tentang
riwayat epistaksis sebelumnya, ada tdaknya penyakit hipertensi, penyakit hati atau
sistemik lainnya, adakah pasien mudah memar, atau pernah tidak mempunyai riwayat
perdarahan berkepanjangan setelah prosedur bedah minor. Riwayat mimisan berulang
yang sering terjadi, memar yang mudah, atau episode pendarahan lainnya harus membuat
dokter curiga terhadap penyebab sistemik dan merupakan indikasi untuk segera dilakukan
pemeriksaan hematologi. Selain itu, dapatkan riwayat keluarga tentang gangguan
pendarahan atau leukemia.

Anak-anak dengan epistaksis berat mungkin lebih memerlukan kauterisasi hidung,


terlebih lagi jika disertai penyakit koagulopati yang mendasari, adanya riwayat
perdarahan keluarga dan adanya penyakit anemia. Meskipun tidak sering, anak-anak
dengan gangguan perdarahan (misalnya penyakit von Willebrand) kadang-kadang dapat
memiliki profil koagulasi normal. Lebih dari 1 sampel mungkin diperlukan untuk
memperhatikan kelainan akibat variabilitas biologis. Penggunaan obat-obatan terutama
aspirin, NSAID, warfarin, heparin, ticlopidine, dan dipyridamole harus didokumentasikan,

8
karena ini tidak hanya menjadi faktor predisposisi epistaksis namun juga membuat
pengobatan menjadi lebih sulit. 9
2. Pemeriksaan Fisis
Inspeksi rongga hidung di bawah visualisasi langsung adalah sangat penting
Pencahayaan yang memadai dengan spekulum hidung ukuran yang tepat diperlukan.
Bayonet forsep hidung sangat berguna dalam mengambil darah bergumpal dan dalam
penempatan tampon. Setiap rongga anterior, posterior, dan superior pada hidung perlu
diperiksa dan setiap nare dilavasedengan air garam hangat sehingga akan memungkinkan
visualisasi pendarahan yang lebih baik dan juga akan mempercepat aktivasi kaskade
faktor pembekuan.. Vasokonstriktor yang diberikan secara lokal dapat membantu dalam
visualisasi dan mengontrol pendarahan hidung. Sebagai alternatif, oxymetazoline, bahan
aktif dalam semprotan dekongestan hidung, memiliki kemampuan vasokonstriksi yang
luar biasa.10
Untuk memeriksa hidung, petugas kesehatan akan menempatkan obat ke dalam
lubang hidung (biasanya dengan bola kapas) untuk konstriksi pembuluh darah di area itu.
Obat anti nyeri dapat diberikan untuk membuat pemeriksaan kurang menyakitkan. Obat
yang menyempitkan pembuluh darah akan mengecilkan jaringan hidung dan bahkan bisa
membuat pendarahan terkendali sehingga membuat pemeriksaan lebih mudah dilihat
sehingga membantu mengidentifikasi lokasi pendarahan dengan tepat. Alat logam yang
disebut spekulum hidung kemudian dimasukkan ke dalam lubang hidung untuk
memvisualisasikan bagian dalam hidung. Diagnosis mimisan posterior biasanya
dilakukan saat usaha untuk mengendalikan perdarahan dengan ukuran tampon yang
digunakan untuk mimisan di anterior telah gagal, atau bila sumber anterior tidak
teridentifikasi. Namun, untuk mencari sumber mimisan posterior adalah tidak mungkin.
Temuan lain yang menunjukkan adanya mimisan posterior termasuk perdarahan berat
dari kedua lubang hidung atau penglihatan pengeringan darah di bagian belakang
tenggorokan.11
3. Laboratorium

Tes laboratorium biasanya tidak diperlukan. Untuk mimisan yang parah,


bagaimanapun, jumlah darah dapat diperiksa untuk menilai tingkat kehilangan darah.
Bagi individu dengan gangguan pembekuan darah atau untuk mereka yang memakai obat
pengencer darah, tes darah tambahan juga dapat diminta Jika ada kekhawatiran tentang

9
keganasan atau penyebab mimisan lainnya yang kurang umum, tes darah dan/atau studi
pencitraan lebih lanjut dapat dipertimbangkan.11

2.8 PENATALAKSANAAN

1.Dalam kasus epistaksis, penting untuk diketahui:

a) Onset. Trauma kuku atau trauma spontan.


b) Durasi dan frekuensi perdarahan.
c) Jumlah kehilangan darah.
d) Sisi hidung dari tempat pendarahan .
e) Apakah pendarahan bersifat anterior atau posterior.
f) Riwayat yang sama dalam keluarga.
g) Riwayat penyakit medis yang diketahui (hipertensi, leukemia, penyakit katup mitral,
sirosis dan nefritis).
h) Riwayat asupan obat (analgesik, antikoagulan, dll).12

2.Pertolongan pertama13

Prinsip penatalaksanaan epistaksis ialah perbaiki keadaan umum, cari sumber


pendarahan, hentikan perdarahan, cari faktor penyebab untuk mencegah berulangnya
perdarahan. Bila pasien datang dengan epistaksis perhatikan keadaan umumnya, nadi,
pernapasan serta tekanan darahnya. Bila ada kelainan atasi terlebih dahulu misalnya dengan
memasang infus. Jalan napas dapat tersumbat ileh darah atau bekuan darah perlu dibersihkan
atau diisap.

Biasanya, pendarahan terjadi dari daerah Little dan Bisa dengan mudah dikontrol
dengan mencubit hidung dengan jempol dan telunjuk sekitar 5 menit. Ini memampatkan
pembuluh darah dari daerah Little. Dalam metode Trotter pasien dibuat untuk duduk,
bersandar sedikit ke depan di atas baskom untuk meludahkan darah dan bernapas diam-diam
dari mulut. Kompres dingin dapat dilakukan pada hidung untuk menyebabkan refleks
vasokonstriksi.13

3. Menghentikan pendarahan

a. Perdarahan anterior

10
Perdarahan anterior seringkali berasal dari pleksus kisselbach di septum bagian depan.
Apabila tidak berhenti dengan sendirinya, perdarahan anterior, terutama pada anak , dapat
dicoba dihentikan dengan menekan hidung dari luar selama 10-15 menit, seringkali berhasil.
Bila sumber perdarahan dapat terlihat, tempat asal perdarahan dikaustik dengan larutan nitras
argenti (AgNO3) 25-30%. Sesudahnya area tersebut diberi krim antibiotic.

Bila dengan cara ini perdarahan masih terus berlangsung, maka perlu dilakukan
pemasangan tampon anterior yang dibuat dari kapas atau kasa yang diberi pelumas vaselin
atau salep antibiotic. Pemakaian pelumas ini agar tampon mudah dimasukkan dan tidak
menimbulkan perdarahan baru saat dimasukkan atau dicabut. Tampon dipertahankan selama
2 X 24 jam, harus dikeluarkan untuk mencegah infeksi hidung. Selama 2 hari ini dilakukan
pemeriksaan penunjang untuk mencari faktor penyebab epistaksis. Bila pendarahan masih
belum berhenti dipasang tampon baru.13

Gambar 6. Metode tampon anterior. A) Tampon secara vertikal . B) Tampon secara


horizontal12

b. Perdarahan Posterior

Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi sebab biasanya perdarahan hebat
dan sulit dicari sumbernya dengan pemeriksaan rinoskopi anterior.
Untuk menanggulangi perdarahan posterior dilakukan pemasangan tampon Bellocq.
Tampon Bellocq berbentuk bulat/kubus dengan diameter 3 cm dan terbuat dari kasa. Pada
tampon terikat tiga utas benang, 2 utas di satu sisi dan satu buah pada sisi yang berlawanan.
Kontraindikasi tampon posterior adalah adanya trauma fasial.
Untuk memasang tampon posterior pada perdarahan satu sisi, digunakan bantuan
kateter karet yang dimasukkan dari lubang hidung sampai tampak orofaring, lalu ditarik

11
keluar dari mulut. Pada ujung kateter ini diikatkan 2 benang tampon Bellocq tadi, kemudian
kateter ditarik kembali melalui lubang hidung sampai benang keluar dan dapat ditarik.
Tampon perlu didorong dengan bantuan jari telunjuk agar dapat melewati palatum molle
masuk ke nasofaring. Bila masih ada perdarahan, maka dapat ditambahkan tampon anterior
ke dalam kavum nasi. Kedua benang yang keluar dari hidung diikat pada sebuah gulungan
kain kasa di depan nares anterior, supaya tampon yang terletak di nasofaring tetap di
tempatnya. Benang lain yang keluar dari mulut dikaitkan secara longgar pada pipi pasien
yang berguna untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari. Hati-hati
mencabut tampon karena dapat menyebabkan laserasi mukosa.

Gambar 7; Tampon bellocq : Head & Neck Surgery - Otolaryngology, 4th Edition13

Bila perdarahan berat dari kedua sisi, misalnya pada kasus angiofibroma, digunakan
bantuan dua kateter masing-masing melalui kavum nasi kanan dan kiri dan tampon posterior
terpasang ditengah-tengah nasofaring.
Selain pemakaian tampon posterior, dapat pula digunakan tampon balon. Tampon
balon lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan pemasangan tampon posterior
konvensional tetapi kurang berhasil dalam mengontrol epistaksis posterior. Ada dua jenis
tampon balon, yaitu: kateter Foley dan tampon balon yang dirancang khusus. Setelah bekuan
darah dari hidung dibersihkan, tentukan asal perdarahan. Kemudian lakukan anestesi topikal
yang ditambahkan vasokonstriktor. Kateter Foley no. 12 - 16 F diletakkan disepanjang dasar
hidung sampai balon terlihat di nasofaring. Kemudian balon diisi dengan 10 -20 cc larutan
salin dan kateter Foley ditarik kearah anterior sehingga balon menutup rongga hidung
posterior. Jika dorongan terlalu kuat pada palatum mole atau bila terasa sakit yang

12
mengganggu, kurangi tekanan pada balon. Selanjutnya dipasang tampon anterior dan kateter
difiksasi dengan mengunakan kain kasa yang dilekatkan pada cuping hidung. Apabila tampon
balon ini gagal mengontrol perdarahan, maka dilakukan pemasangan tampon posterior.14

Penanganan yang paling efektif untuk setiap jenis perdarahan adalah dengan meligasi
pembuluh darah yang ruptur pada bagian proksimal sumber perdarahan dengan segera. Tetapi
kenyataannya sulit untuk mengidentifikasi sumber perdarahan yang tepat pada epistaksis
yang berat atau persisten. Ada beberapa pendekatan ligasi arteri yang mensuplai darah ke
mukosa hidung.
4. Ligasi pembuluh darah

a.Ligasi Arteri Karotis Eksterna

Apabila pendarahan berasal dari luar sistem karotis dan tindakan konservatif gagal dilakukan,
ligasi arteri karotis eksternal yang berasal dari atasnya arteri tiroid superior harus dilakukan.
Hal ini dihindari hari ini kerana mendukung embolisasi atau ligasi lebih cabang perifer arteri
sphenopalatine.12

b. Ligasi Arteri Maksillaris

Ligasi arteri ini dilakukan pada epistaksis posterior yang tiodak terkendali. Pendekatannya
adalah melalui operasi Caldwell-Luc. Dinding posterior sinus maksila diangkat dan arteri
rahang atas atau cabangnya diblokir dengan klip Prosedur ini sekarang digantikan oleh ligasi
arteri spinalopalatine transnasal.12
c. Ligasi arteri Etmoidalis
Dalam perdarahan anterosuperior diatas turbinate tengah, pendarahan yangtidak dikontrol
dengan tampon anterior,dan arteri etmoid posterior, ligase pada area ini dapat dilakukan.
Pembuluh darah ini terdapat pada dinding medial dari orbit dengan insisi eksternal
etmoid(Lynch).12
5. Angiografi dan Embolisasi
Penggunaan embolisasi untuk epistaksis (primer dan traumatik), lebih memudahkan
dibandingkan dengan ligasi a. maksila interna oleh karena terjadinya obliterasidibagian distal
arteri. Komplikasi embolisasi mencakup paralisis fasial dan hemiplegi. Rasa nyeri pada
wajah dan trismus juga sering dijumpai. Beberapa material telah digunakan untuk embolisasi
tetapi absorbable gelatin spongemerupakan zat yang paling sering digunakan. Walaupun
tekhnik ini masih kontroversi, ada kesepakatan bahwa embolisasi pada penanganan epistaksis

13
dilakukan bila terapi lainnya gagal dan apabila ada kontraindikasi untuk operasi. Agar
epistaksis tidak berulang kembali, pasien diedukasi untuk tidak menggoyang-goyangkan atau
menggosok-gosok hidung dan tetap menjaga letak kepala agar lebih tinggi dari jantung.12

Gambar 8. Alur penatalaksanaan Epistaksis

2.9 KOMPLIKASI DAN PENCEGAHAN

Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksisnya ataupun tindakan dalam
menanggulangi epistaksisnya.

Akibat dari perdarahan yang hebat dapat terjadi aspirasi darah ke dalam saluran napas
bawah, selain itu dapat ula menyebabkan anemia, syok. Turunnya tekanan darah secara
mendadak dapat bmenimbulkan hipotensi, hipoksia, iskemik serebrl sehingga dapat
megakibatkan kematian.

14
Akibat dari pembuluh darah yang terbuka lama dapat mengakibatkan infeksi yang lama
kelamaan dapat memperburuk kondisi pasien. Olehnya, diperllukan pemakaian antibiotik.

Pemasangan tampon dapat menyebabkan terjadinya rinosinusitis, otitis media,


septikemia. Oleh karena itu, harus selalu diberikan antibiotik pada setiap pemasangan tampon
hidung, dan setelah 2-3 hari tampon harus dicabut. Bila perdarahan masih berlanjut dapat
dilakukan tindakan pemasanagan tampon yang baru.

Selain itu, dapat pula terjadi hemotimpanum sebagai akibat dari mengalirna darah
melalui tuba eustachius, dan air mata berdarah (bloodytears), akibat mengalirnya darah secara
retrograd melalui duktus nasolakrimalis.

Pemasangan tampon posterior dapat menyebabkan laserasi palatum molle jika benang
yang dikeluarkan dari mulut terlalu ketat dilekatkan pada pipi. Kateter balon atau tampon
balon tidak boleh dipompa terlalu keras karena dapat menyebabkan nekrosis mukosa hidung
atau septum.13

2.10 MENCEGAH PENDARAHAN BERULANG

Setelah perdarahan untuk Sementara dapat diatasi dengan pemasangan


tampon,selanjutnya perlu dicari penyebabnya. Perlu dilakukan pemeriksaan laboratorium
darah lengkap , pemeriksaan fungsi hepar dan ginjal , gula darah , hemostasis. Pemeriksaan
foto polos atau CT scan sinus bila dicurigai ada sinusitis. Konsul ke penyakit dalam atau
kesehatan anak bila dicurigai ada kelainan sistemik.

2.11.PROGNOSIS
Untuk kebanyakan populasi, epistaksis adalah suatu gangguan. Gangguan ini
memerlukan perawatan yang lama terutama pada populasi usia lanjut. Epistaksis tidak dapat
menyebabkan kematian tapi komplikasi dari epistaksis itu sendiri seperti hipovolemi akibat
perdarahan massive dapat mengancam jiwa. 13
Untuk prognosis, epistaksis dapat dilihat berdasarkan etiologinya. Misalnya pasien
yang mengalami epistaksis akibat uadara kering atau trauma minor, dapat berhenti dengan
cepat dan tidak memeliki efek jangka panjang. Tetapi pada pasien yang memiliki penyakit
sistemik seperti gangguan koagulasi, lebih rentan untuk mengalami epistaksis berulang dan
memerlukan perawatn jangka lama. 13

15
DAFTAR PUSTAKA

1. S Musheer Hussain MBBS MSc (Manc) FRCS (Ed & Eng) FRCS (ORL-HNS) FRCP
(Ed). (eds) Logan’s Turner Diseases of Ear, Nose and Throat; Head and Neck Surgery,
11th Edition,. United States of America, Taylor & Francis Group, LLC, 2016.
2. Kucik, C. J., & Clennory, T. Management of Epistaxis. Management of Epistaxis, 71(2),
305-311 ( 2005). Retrieved December 22, 2017, from https://www.aafp.org/
3. M. Anniko, M. Bernal-Sprekelsen, V. Bonkowsky, P. Bradley, S. Iurato (eds)
Otorhinolaryngology, Head and Neck Surgery. London, Springer, 2015.
4. Harold Ludman & Patrick J Bradley (eds) ABC of Ear, Nose and Throat, 6th Edition,.
United Kingdom, Wiley-Blackwell, 2013.
5. Mohan Bansal. Diseases of Ear, Nose and Throat; Head and Neck Surgery, 1st Edition,.
New Delhi, Jaypee Brothers Medical Publishers (P) LTD, 2013
6. Mohamad Maqbool & Suhail Maqbool. Textbook of Ear, Nose and Throat; Head and
Neck Surgery,11th Edition,. New Delhi, Jaypee Brothers Medical Publishers (P) LTD,
2007
7. (Lt Col) BS Tuli, Isha Preet Tuli, Amandeep Singh & Navneet Kaur Tuli. Textbook of
Ear, Nose and Throat; Head and Neck Surgery,2nd Edition,. New Delhi, Jaypee Brothers
Medical Publishers (P) LTD, 2013
8. D Suh, J & Garg, R. Epistaxis.USA: American Rhinologic Association;2011. Available
from: http://care.american-rhinologic.org/epistaxis
9. Nguyen, QA. Epistaxis. California: emedicine;2015. Available from
https://emedicine.medscape.com/article/863220-overview#a5
10. Viehweg, TL & Hudson, JW. Epistaxis: Diagnosis and Treatment. USA: American
Association of Oral and Maxillofacial Surgeons; 2006. Available from
http://www.hkmacme.org/course/2009BW09-05-00/GM%20CS_Sep.pdf
11. Doerr, S. Nosebleeds. Available from
https://www.emedicinehealth.com/nosebleeds/page6_em.htm
12. PL Dhingra,Shruti.,dkk. Disease of ear,nose and throat & head and neck surgery. Reed
Elsevier India Private Limited(2014).hal 176-180
13. Munir, delfitri, dkk.. Epistaksis. Sumatera Utara; Departemen Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok, Bedah Kepala Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara (2006).hal 131-136

16
14. Schlosser RJ. Clinical practice. Epistaxis. N Engl J Med. 2009 Feb 19. 360(8): 784-9.

17

You might also like