Professional Documents
Culture Documents
1. LANDASAN TEORI
1.1 Definisi
1.1.1 Gagal ginjal akut : suatu penyakit dimana ginjal secara tiba – tiba kehilangan
kemampuan untuk mengekskresikan sisa – sisa metabolisme. (Suriadi dan Rita
Y., 2001 : 111).
1.1.2 Gagal ginjal akut : suatu keadaan klinik dimana jumlah urin mendadak
berkurang dibawah 300 ml / m2 dalam sehari disertai gangguan fungsi ginjal
lainnya. Sering dipergunakan istilah lain untuk keadaan tersebut seperti nefrosis
toksik akut, nakrosis tubular akut, nefrosis nefron rendah dan lain sebagainya.
(Ngastiyah, 1997 : 310)
1.1.3 Gagal ginjal akut : penurunan atau penghentian fungsi ginjal secara tiba – tiba
sehingga terjadi berbagai gangguan fisiologik dalam homeustasis. (Cecily L.
Bets Linda A. Sowden, 2002)
1.2 Etiologi
1.2.1 Faktor prarenal
Semua faktor yang menyebabkan peredaran darah ke ginjal berkurang dengan
terdapatnya hipovolemia, misalnya :
a. Perdarahan karena trauma operasi.
b. Dehidrasi atau berkurangnya volume cairan ekstra seluler (dehidrasi pada
diare).
c. Berkumpulnya cairan interstisiil di suatu daerah luka ( kombustio, pasc
bedah yang cairannya berkumpul di daerah operasi, peritonitis dan proses
eksudatif lainnya yang menyebabkan hipovolemia ).
Bila faktor prarenal dapat diatasi, faal ginjal akan menjadi normal kembali, tapi
jika hipovolemia berlangsung lama, maka akan terjadi kerusakan pada
parenkim ginjal.
1.2.2 Faktor renal
Faktor ini merupakan faktor penyebab gagal ginjal akut yang terbanyak. Terjadi
kerusakan di glomerulus atau tubulus sehingga faal ginjal langsung terganggu.
Prosesnya dapat berlangsung cepat dan mendadak, atau dapat juga berlangsung
perlahan – lahan dan akhirnya mencapai stadium uremia. Kelainan di ginjal ini
dapat merupakan kelanjutan dari hipoperfusi prarenal dan iskemia kemudian
menyebabkan nekrosis jaringan ginjal.
Beberapa penyebab kelainan ini adalah :
a. Koagulasi intravaskuler, seperti pada sindrom hemolitik uremik,
renjatansepsis dan renjatan hemoragik.
b. Glomerulopati ( akut ) seperti glomerulonefritis akut pasca sreptococcoc,
lupus nefritis, penolakan akut atau krisis donor ginjal.
c. Penyakit neoplastik akut seperti leukemia, limfoma, dan tumor lain yang
langsung menginfiltrasi ginjal dan menimbulkan kerusakan.
d. Nekrosis ginjal akut misal nekrosis tubulus akut akibat renjatan dan iskemia
lama, nefrotoksin ( kloroform, sublimat, insektisida organik ),
hemoglobinuria dan mioglobinuria.
e. Pielonefrits akut ( jarang menyebabkan gagal ginjal akut ) tapi umumnya
pielonefritis kronik berulang baik sebagai penyakit primer maupun sebagai
komplikasi kelainan struktural menyebabkan kehilangan faal ginjal secara
progresif.
f. Glomerulonefritis kronik dengan kehilangan fungsi progresif.
1.2.3 Faktor pascarenal
Semua faktor pascarenal yang menyebabkan obstruksi pada saluran kemih
seperti kelainan bawaan, tumor , batu, dsb.
1.3 Patofisiologi
1.3.1 Pada gagal ginjal akut terjadi ketidakmampuan ginjal untuk memfiltrasi sisa
buangan, pengaturan cairan, dan mempertahankan keseimbangan kimia.
1.3.2 Tipe prerenal merupakan hasil dari penurunan perfusi renal yang dapat
disebabkan oleh dehidrasi, asfiksia perinatal, hipotensi, septic syok, syok
hemoragik atau obstruksi pada arteri renal, diare atau muntah, syok yang
disebabkan oleh pembedahan, luka bakar, hipoperfusi berat ( pada pembedahan
jantung ). Hal ini menimbulkan penurunan aliran darah renal dan terjadi
iskemik.
1.3.3 Tipe intrarenal merupakan hasil dari kerusakan jaringan ginjal yang mungkin
disebabkan oleh nefrotoksin seperti aminoglycosides, glomerulonefritis, dan
pyelonefritis.
1.3.4 Tipe postrenal adanya obstruksi pada aliran urine. Obstruksi dapat
meningkatkan tekanan dalam ginjal yang mana dapat menurunkan fungsi renal.
Penyebabnya dapat obstruksiureteropelvic, obstruksi ureterovesical, neurogenik
bladder, posterior urethral valves, tumor atau edema.
Prerenal Renal Pasca Renal
Diare, perdarahan
Nekrosis tubular
GFR menurun menyeluruh
Beredar dalam darah BUN meningkat Kreatinin serum Ureum dalam darah meningkat
meningkat
Pencemaran Diaphoresis
Reabsorbsi sodium dari tubular
mual Keringat bersifat korosif
muntah Stimulasi sistem mekanisme renin
anoreksia Kerusakan integritas kulit
Vasokontriksi arteriole afferen
Perubahan Nutrisi 3 fase
GFR menurun lebih jauh &
mencegah kehilangan sodium yang Anuria Diuretik Pasca
Kelebihan volume lebih besar D1uretik
cairan
Aliran darah renal pusing Produksi poliuri
Edema paru muntah urin ber >
Asites haus meningkat
kusmaul
Istirahat tidur Gangguan rasa nyaman apatis dehidrasi
anemia
- Pola nafas tidak efektif kejang
- Bersihan jalan nafas tidak efektif
Perjalanan umum gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi 3 stadium (stadium I, II,
III) :
Stadium I (penurunan cadangan ginjal)
Kreatinin serum dan kadar BUN normal.
Stadium II (Insufiensi ginjal)
> 75% jaringan fungsinya rusak. BUN meningkat diatas normal
Stadium III (Uremia)
Sekitar 90 % dari massa nefron telah hancur.
Kreatinin serum dan BUN meningkat sangat menyolok.
Meskipun perjalanan klinis penyakit ginjal kronik dibagi menjadi 3 stadium,
tetapi dalam prakteknya tidak ada batas-batas yang jelas antara stadium tersebut..
1.4 Komplikasi
1.4.1 Ketidakseimbangan cairan elektrolit.
1.4.2 Ketidakseimbangan asam – basa.
1.4.3 Gagal ginjal kronik.
1.5 Manifestasi klinis
1.5.1 Oliguria, anuria jarang ditemukan kecuali jika terjadi obstruksi, edema, gelisah,
kongesti sirkulasi darah, aritmia jantung karena hiperkalemia, kejang yang
disebabkan oleh hiponatremi atau hipokalsemia takhipnea akibat asidosis
metabolik.
1.5.2 Letargi.
1.5.3 Pucat.
1.5.4 Kejang.
1.5.5 Muntah.
1.5.6 Tidak mau makan atau anoreksi.
1.5.7 Meningkatnya BUN dan kreatinin.
Secara klinis gagal ginjal akut dibagi menjadi 3 fase, yaitu :
a. Fase oliguri / anuria
Jumlah urin berkurang hingga 10 – 30 ml sehari. Pada bayi, anak – anak
berlangsung selama 3 – 5 hari. Terdapat gejala – gejala uremia ( pusing,
muntah, apatis, rasa haus, pernapasan kusmaul, anemia, kejang ),
hiperkalemi, hiperfosfatemi, hipokalsemia, hiponatremia, dan asidosis
metabolik.
b. Fase diuretik
Pada fase ini urine bertambah setiap hari hingga menjadi poliuri. Hal ini
disebabkan karena kadar ureum tinggi dalam darah ( diuresis osmotik ), faal
tubulus belum baik, pengeluaran cairan berlebihan. Terjadi hiponatremia
karena kehilangan natrium melalui tubulus yang rusak. Lamanya fase ini
berlangsung selama 2 minggu.
c. Fase penyembuhan atau fase pasca diuretik
Pada fase ini poliuria berkurang demikian juga gejala uremia. Fungsi
glomerulus dan tubulus berangsur – angsur membaik.
1.6 Penatalaksanaan terapeutik
1.6.1 Pencegahan terhadap situasi yang dapat menimbulkan terjadinya gagal ginjal
akut, terapi cairan pada keadaan hipovolemia ( dehidrasi, luka bakar,
perdarahan ).
1.6.2 Mengatasi gagal ginjal akut.
1.6.3 Penatalaksanaan komplikasi.
1.6.4 Penatalaksanaan cairan.
1.6.5 Pemberian manitol atau furosemid jika dalam keadaan hidrasi yang adekuat
terjadi oliguria.
1.6.6 Diet tinggi kalori dan lemak, rendah protein, kalium dan garam, jika anak tidak
dapat makan melalui mulut maka makanan diberikan melalui intravena dan zat
nutrisi yang diberikan mengandung asam amino esensial.
1.6.7 Monitoring keseimbangan cairan, pemasukan dan pengeluaran cairan atau
makanan, menimbang berat badan, monitoring nilai elektrolit darah, nilai BUN
dan nilai kreatinin.
1.6.8 Mengatasi hiperkalemia, pemberian kalsium glukonas 0,5 ml / kgbb, diberikan
intravena selama 2 – 4 menit disertai dengan monitoring EKG, pemberian
sodium bicarbonat, 2 – 3 mEq / kgbb, diberikan intravena selama 30 – 60 menit
untuk meningkatkan pH darah.
1.6.9 Pemberian glukosa 50 % dan insulin, 1 U / kg, diberikan secara intravena,
mempercepat pembentukan glikogen menyebabkan glukosa dan kalium masuk
dalam sel.
1.6.10 Pemberian resin ion perubah seperti polystyrene sodium sulfonate
(kayexalate), 1 / kgbb diberikan secara oral atau rektal yang bertujuan untuk
mengikat kalium dan mengeluarkannya dari tubuh.
1.6.11 Dialisis dilakukan jika disertai dengan tanda – tanda asidosis berat yang sudah
berlangsung lama, cara – cara lain sudah ditempuh untuk mengurangi kalium,
terlihat gejala – gejala uremik, overload sirkulasi, hipertensi, gejala gagal
jantung.
2.3 Intervensi
2.3.1 Dx. Kep. I
Tujuan : Tidak memperlihatkan tanda-tanda kelebihan cairan.
Kriteria hasil : Tidak ada edema.
Intervensi:
1) Monitor intake dan output
R/ Perlu untuk menentukan fungsi ginjal, kebutuhan penggantian cairan, dan
penurunan resiko kelebihan cairan.
2) Pertahankan pembatasan cairan
R/ Membantu menghindari periode tanpa cairan, meminimalkan kebosanan
pilihan terbatas dan menurunkan rasa kekurangan dan haus.
3) Monitor berat badan
R/ Penimbangan BB harian adalah pengawasan status cairan terbaik.
Peningkatan BB 0,5 kg/hari diduga adanya retensi cairan.
4) Monitor TD dan HB
R/ Tachycardi dan HT terjadi karena kegagalan ginjal untuk mengeluarkan
urine dan pembatasan cairan berlebihan selama mengobati hipovolemia/
hipotensi/perubahan fase oliguria gagal ginjal.
5) Kaji edema, turgor kulit, membran mukosa
R/ Edema terjadi terutama pada masa jaringan yang tergantung pada tubuh.
BB pasien dapat meningkat sampai 4,5 kg cairan sebelum edema pitting
terdeteksi. Edema periorbital dapat menunjukkan tanda perpindahan
cairan ini, karena jaringan rapuh ini mudah terdistensi oleh akumulasi
cairan walaupun minimal.
2.3.2 Dx. Kep. II
Tujuan : Pola nafas anak menjadi efektif kembali.
Kriteria hasil : Bunyi nafas bersih.
Intervensi :
1) Kaji bunyi nafas
R/ Kelebihan cairan dapat menimbulkan edema paru dibuktikan oleh
terjadinya bunyi napas tambahan.
2) Bila sesak, posisikan kepala lebih tinggi, pemberian oksigen dan latihan
nafas dalam
R/ Meningkatkan lapang paru.
2.3.3 Dx. Kep. III
Tujuan : Anak menunjukkan BB yang sesuai dan ada nafsu makan
serta dapat menyelesaikan makanan sesuai diit.
Kriteria hasil : Klien menghabiskan porsi diitnya.
Intervensi :
1) Timbang BB tiap hari
R/ Px. puasa/katabolik akan secara normal kehilangan 0,2 – 0,5 kg/hari.
Perubahan kelebihan 0,5 kg dapat menunjukkan perpindahan
keseimbangan cairan.
2) Kaji pola makan anak dan pembatasan makanan
R/ Memberikan Px. tindakan terkontrol dalam pembatasan diit.
3) Jelaskan tentang diit yang diberikan dan alasannya
R/ Pengetahuan Px./keluarganya tentang diit yang diberikan membuat
klien/keluarga lebih kooperatif.
2.3.4 Dx. Kep. IV
Tujuan : Anak dan keluarga akan memahami proses penyakit,
prognosis dan pengobatan yang diberikan.
Kriteria hasil : Pengetahuan klien dan keluarga meningkat dan kooperatif
terhadap tindakan keperawatan.
Intervensi:
1) Kaji tingkat pamahaman anak dan keluarga tentang proses penyakit,
prognosis dan pengobatan.
R/ Memberikan dasar pengetahuan dimana Px./keluarga dapat membuat
pilihan informasi.
2.3.5 Dx. Kep. V
Tujuan : Kebutuhan istirahat terpenuhi
Kriteria hasil : Klien dapat beristirahat dengan tenang
Intervensi :
1) Temani dan bantu bila anak muntah.
R/ Dengan ditemani dan dibantu pada saat muntah akan menghilangkan
kegelisahan dan kecemasan anak.
2) Batasi aktivitas fisik dan hindarkan anak dari stress emosional (menangis,
sedih, bercanda berlebihan).
R/ Pembatasan aktivitas fisik dan stress emosional penting untuk
menghindarkan adanya penyebab serangan batuk.
3) Anjurkan keluarga memberikan lingkungan yang tenang.
R/ Lingkungan yang tenang merupakan sebagian dari terapi suportif yang
memberikan rasa aman dan nyaman bagi pasien.
2.3.6 Dx. Kep. VI
Tujuan : Bersihan jalan nafas efektif, pola nafas dan pertukaran gas
efektif.
Kriteria hasil : Suara nafas vesikuler.
Intervensi :
1) Lakukan auskultasi suara 2 – 4 jam sekali.
R/ Mengetahui obstruksi pada saluran nafas dan menifestasinya pada
suara nafas.
2) Berikan posisi kepala lebih tinggi dari posisi badan dan kaki
R/ Penurunan diafragma dapat membantu ekspansi paru maskimal.
3) Ubah posisi klien tiap 2 jam.
R/ Posisi klien yang tetap secara terus menerus dapat mengakibatkan
akumulasi sekret dan cairan pada lobus yang berada dibagian bawah.
4) Monitor tanda vital tiap 4 jam.
R/ Peningkatan frekwensi nafas mengindikasi tingkat keparahan.
2.3.7 Dx. Kep. VII
Tujuan : Meningkatkan derajat rasa nyaman klien.
Kriteria hasil : Klien terlihat rileks, dapat tidur dan beristirahat.
Intervensi :
1) Biarkan pasien mengambil posisi yang nyaman pada waktu tidur atau duduk
di kursi. Tingkatkan istirahat di tempat tidur.
R/ Tirah baring mungkin diperlukan sampai perbaikan objektif dan
subjektif didapat.
2) Dorong penggunaan tekhnik manajemen sterss, misalnya relaksasi.
R/ Meningkatkan relaksasi, meningkatkan rasa kontrol dan mungkin
meningkatkan kemampuan koping.
3) Libatkan dalam aktivitas atau latihan yang direncanakan sesuai petunjuk.
R/ Meningkatkan relaksasi, mengurangi tegangan otot / spasme
memudahkan untuk ikut serta dalam dalam terapi.
2.3.8 Dx. Kep. VIII
Tujuan : Klien tidak menunjukkan tanda-tanda adanya kerusakan
integritas kulit.
Kriteria hasil : Mempertahankan kulit utuh / kulit tidak pecah-pecah.
Intervensi :
1) Inspeksi kulit terhadap perubahan warna dan turgor kulit.
R/ Menandakan area sirkulasi buruk/kerusakan yang dapat menimbulkan
decubitus atau infeksi.
2) Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit.
R/ Mendeteksi adanya dehidrasi/hidrasi berlebihan yang mempengaruhi
sirkulasi dan integritas pada tingkat seluler.
3) Inspeksi area tergantung terhadap edema.
R/ Jaringan edema lebih cenderung rusak atau robek.
4) Ubah posisi dengan sering, beri bantalan pada tonjolan tulang.
R/ Menurunkan tekanan pada edema.
5) Pertahankan linen tetap kering.
R/ Menurunkan iritasi dermal dan resiko kerusakan kulit
6) Anjurkan menggunakan pakaian katun longgar.
R/ Mencegah iritasi dermal langsung dan meningkatkan evaporasi lembab
pada kulit.
2.3.9 Dx. Kep. IX
Tujuan : Perfusi jaringan perifer tetap adekuat.
Kriteria hasil :
Suhu ekstremitas hangat, tidak lembab, warna merah muda.
Ekstremitas tidak nyeri, tidak ada pembengkakan.
Turgor kembali dalam 1 detik.
Intervensi :
1) Kaji dan cacat tanda-tanda vital (kualitas dan frekuensi nadi, tensi, capilarry
refill).
R/ Tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui penurunan perfusi
jaringan.
2) Kaji dan catat sirkulasi pada ekstremitas (suhu, kelembaban dan warna).
R/ Suhu dingin, warna pucat dan ekstremitas menunjukkan sirkulasi
darah kurang adekuat.
3) Nilai kemungkinan kematian jaringan ekstremitas lebih awal dapat berguna
untuk mencegah kematian jaringan.
R/ Jaringan edema lebih cenderung rusak atau robek.
2.4 Pelaksanaan
2.4.1 Mempertahankan keseimbangan cairan
2.4.2 Menjaga fungsi pernapasan
2.4.3 Memberikan stimulus untuk meningkatkan nafsu makan
2.4.4 Menciptakan metode komunikasi yang dapat dipahami oleh klien dan keluarga.
2.4.5 Mempertahankan suhu tubuh dalam batas normal
2.4.6 Menciptakan lingkungan yang kondusif bagi klien untuk memenuhi kebutuhan
istirahat tidurnya.
2.4.7 Mempertahankan keefektifan bersihan jalan nafas
2.4.8 Memberikan suasana dan posisi yang nyaman bagi klien.
2.4.9 Mempertahankan agar tidak terjadi kerusakan integritas kulit.
2.4.10 Memantau terjadinya tanda-tanda perubahan perfungsi jaringan.
2.5 Evaluasi
2.5.1 Suhu tubuh 365 - 372 C
2.5.2 Adanya minat dan selera makan
2.5.3 Porsi makan sesuai dengan kebutuhan
2.5.4 Klien tidak sesak
2.5.5 Orang tua mengerti tentang penyakit anaknya
2.5.6 Kebutuhan istirahat tidur terpenuhi
2.5.7 Bersihan jalan nafas efektif
2.5.8 Klien menyatakan merasa nyaman
2.5.9 Tidak terjadi kerusakan integritas kulit
2.5.10 Perfusi jaringan adekuat
DAFTAR PUSTAKA
Cecily L. Bets Linda A. Sowden, 2002, Buku Saku Keperawatan Pediatrik, EGC :
Jakarta.
Ngastiyah, 1997, Perawatan Anak Sakit, EGC: Jakarta.
Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak, FKUI, 2002, Ilmu Kesehatan Anak, Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FKUI: Jakarta.
Suriadi dan Yuliani, Rita, 2001, Asuhan Keperawatan pada Anak, Edisi I, Fajar
Interpratama: Jakarta.