You are on page 1of 31

Laboratorium Sedimentologi

2015

BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang


Batuan sedimen adalah batuan yang terbentuk dari rombakan batuan
sebelumnya yang berupa batuan beku, batuan metamorf maupun batuan sedimen dan
bisa juga berasal dari proses kimiawi dan proses organik. Batuan sedimen memiliki
ciri khusus yang bisa digunakan sebagai pembeda dari jenis batuan lain yaitu adanya
struktur berlapis yang menandakan adanya mekanisme pengendapan. Selain itu
biasanya juga pada batuan sedimen dapat ditemukan fosil-fosil.
Untuk mengamati lingkungan pengendapan lebih jelas, perlu dilakukan
pembuatan profil pada batuan sedimen, sehingga kita bisa merekonstruksi lingkunga
n pengendapan dari batuan sedimen dengan menginterpretasikan hasil deskripsi yang
disajikan dalam bentuk profil.

I.2. Maksud dan Tujuan


Pada penyusunan laporan ini dimaksudkan agar praktikan mampu
mengaplikasikan langsung ilmu yang di dapatkan di lapangan dan diperkuliahan
dalam mengamati serta menginterpretasi batuan sedimen yang tersingkap di lapangan
secara langsung. Tujuannya dari ekskursi ini kami dapat membuat profil, deskripsi
batuan, menginterpretasi lingkungan pengendapan.
I.3. Dasar Teori

I.3.1. Lingkungan Pengendapan Laut Dalam

Turbidit adalah suatu sedimen yang diendapkan oleh mekanisme arus turbid
(turbidity current), sedangkan arus turbid itu sendiri adalah suatu arus yang memilik i
suspensi sedimen dan mengalir pada dasar tubuh cairan, karena mempunyai
kerapatan yang lebih besar daripada cairan tersebut (Keunen dan Migliorini, 1950).

Endapan turbidit mempunyai karakteristik tertentu yang sekaligus dapat


dijadikan sebagai ciri pengenalnya. Namun perlu diperhatikan bahwa ciri itu bukan
hanya berdasarkan suatu sifat tunggal sehingga tidak bisa secara langsung untuk

Kelompok 5 1
Laboratorium Sedimentologi
2015

mengatakan bahwa suatu endapan adalah endapan turbidit. Hal ini mengingat bahwa
banyak struktur sedimen tersebut, yang juga berkembang pada sedimen yang bukan
turbidit (Keunen, 1964).

Karakteristik endapan turbidit pada dasarnya dapat dikelompokan ke dalam


dua bagian besar berdassarkan litologi dan struktur sedimen, yaitu:

a. Karakteristik Litologi
Terdapat perselingan tipis yang bersifat ritmis antar batuan berbutir relatif
kasar dengan batuan yang berbutir relatif halus, dengan ketebalan lapisan
beberapa milimeter sampai beberapa puluh centimeter. Umumnya
perselingan antar batupasir dan serpih. Batas atas dan bawah lapisan datar,
tanpa adanya penggerusan (scouring).
b. Pada lapisan batuan berbutir kasar memiliki pemilahan buruk dan
mengandung mineral- mineral kuarsa, feldspar, mika, glaukonit, juga
banyak didapatkan matrik lempung. Kadang-kadang dijumpai adanya fosil
rework, yang menunjukan lingkungan laut dangkal.
c. Pada beberapa lapisan batupoasir dan batulanau didapatkan adanya fragme
n tumbuhan.
d. Kontak perlapisan yang tajam, kadang berangsur menjadi endapan pelagik.
e. Pada perlapisan batuan, terlihat adanya struktur sedimen tertentu yang
menunjukan proses pengendapannya, yaitu antara lain perlapisan
bersusun, perlapisan sejajar, perlapisan bergelombang, konvolut, dengan
urut-uruta n tertentu.
f. Tak terdapat struktur sedimen yang memperlihatkan ciri endapan laut
dangkal maupun fluvial, antara lain pengerukan, silang siur, dll.
g. Sifat-sifat penunjukan arus, memperlihatkan pola aliran yang hampir
seragam saat suplai terjadi.

Karakteristik tersebut tidak selalu harus ada pada suatu endapan turbidit. Dalam
hal ini lebih merupakan suatu alternatif, mengingat bahwa suatu endapan turbidit juga

Kelompok 5 2
Laboratorium Sedimentologi
2015

dipengaruhi oleh faktor-faktor lainnya yang akan memberikan ciri yang berbeda dari
suatu tempat ke tempat lain.

Karakteristik Struktur Sedimen

Menurut Bouma (1962) dalam hal pengenalan endapan turbidit salah satu ciri
yang penting adalah struktur sedimen, karena mekanisme pengendapan arus turbid
memberikan karakteristik sedimen tertentu. Banyak klasifikasi struktur sedimen hasil
mekanisme arus turbid, salah satunya karakteristik genetik dari Selly (1969). Selly
(1969) mengelompokan struktur sedimen menjadi 3 berdasarkan proses
pembentukannya:

1. Struktur Sedimen Pre-Depositional


Merupakan struktur sedimen yang terjadi sebelum pengendapan sedimen,
yang berhubungan dengan proses erosi oleh bagian kepala (head) dari
suatu arus turbid (Middleton, 1973). Umumnya pada bidang batas antara
lapisan batupasir dan serpih. Beberapa struktur sedimen yang antara lain
flute cast, groove cast.
2. Struktur Sedimen Syn-Depositional
Struktur yang terbentuk bersamaan dengan pengendapan sedimen, dan
merupakan struktur yang penting dalam penentuan suatu endapan turbidit.
Beberapa struktur sedimen yang penting diantaranya adalah perlapisan
bersusun, perlapisan sejajar dan perlapisan bergelombang.
3. Struktur Sedimen Post-Derpositional
Struktur sedimen yang dibentuk setelah terjadi pengendapan sedimen,
yang umumnya berhubungan dengan proses deformasi. Salah satunya
struktur pembebanan.

Sam Boggs (1995) mengklasifikasikan struktur sedimen dengan


menghubungkan struktur stratifikasi dan bentuk dasar. (Table 2.2). Struktur stratifikas
i dibagi menjadi 4:

1. Bedding dan lamination

Kelompok 5 3
Laboratorium Sedimentologi
2015

2. Bedforms
3. Cross lamination
4. Irregular stratification

Struktur sedimen dibagi 4 berdasarkan proses terjadinya, yaitu:

1. Struktur yang terjadi karena proses sedimentasi


2. Struktur yasng terjadi karena adanya deformasi
3. Struktur yang terjadi karena erosi
4. Struktur yang terbentuk dari aktivitas biogenic

Umumnya struktur sedimen yang ditemukan pada endapan turbidit adalah


struktur sedimen yang terbentuk karena proses sedimentasi, terutama yang terjadi
karena proses pengendapan suspensi dan arus.

Bouma (1962) memberikan urutan ideal endapan turbidit yang dikenal dengan
Bouma Sequence, dari interval a-e. Urut-urutan endapan turbidit yang umumnya
berupa perselingan antara batupasir dan batulempung merupakan suatu satuan yang
berirama (ritmis), dimana setiap satuan merupakan hasil episode tunggal dari suatu
arus turbid. Bouma Sequence yang lengkap dibagi 5 interval, peralihan antara satu
interva l ke interval berikutnya dapat secara tajam, berangsur, atau semu, yaitu:

1. Gradded Interval (Ta)


Merupakan perlapisan bersusun dan bagian terbawah dari urut-urutan ini,
bertekstur pasir kadang-kadang sampai kerikilatau kerakal. Struktur
perlapisan ini menjadi tidak jelas atau hilang sama sekali apabila batupasir
penyusun ini terpilah baik. Tanda-tanda struktur lainnya tidak tampak.
2. Lower Interval of Parallel Lamination (Tb)
Merupakan perselingan antara batupasir dengan serpih atau batulempung,
kontak dengan interval dibawahnya umumnya secara berangsur.
3. Interval of Current Ripple Lamination (Tc)

Kelompok 5 4
Laboratorium Sedimentologi
2015

Merupakan struktur perlapisan bergelombang dan konvolut. Ketebalannya


berkisar antara 5-20 cm, mempunyai besar butir yang lebih halus daripada
kedua interval dibawahnya. (Interval Tb).
4. Upper Interval of Parallel Lamination (Td)
Merupakan lapisan sejajar, besar butir berkisar dari pasir sangat halus
sampai lempung lanauan. Interval paralel laminasi bagian atas, tersusun
perselingan antarabatupasir halus dan lempung, kadang-kadang lempung
pasirannya berkurang ke arah atas. Bidang sentuh sangat jelas.
5. Pelitic Interval (Te)
Merupakan susunan batuan bersifat lempungan dan tidak menunjuka n
struktur yang jelas ke arah tegak, material pasiran berkurang, ukuran besar
butir makin halus, cangkang foraminifera makin sering ditemukan. Bidang
sentuh dengan interval di bawahnya berangsur. Diatas lapisan ini sering
ditemukan lapisan yang bersifat lempung napalan atau yang disebut
lempung pelagik.

Urut-urutan ideal seperti diatas mungkin tak selalu didapatkan dalam lapisan,
dan umumnya dapat merupakan urut-urutan internal sebagai berikut:

1. Base cut out sequence.


Urutan interval ini merupakan urutan turbidit yang lebih utuh, sedangkan
bagian bawahnya hilang. Bagian yang hilang bisa Ta, Ta-b, Ta-c dan Ta-d.
2. Truncated sequence
Urutan interval yang hilang dari sekuen yang hilang adalah bagian atas,
yaitu: Tb-e, Tc-e, Td-e, Te. Hal ini disebabkan adanya erosi oleh arus
turbid yang kedua.
3. Truncated base cut out sequence
Urutan ini merupakan kombinasi dari kedua kelompok base cut out
sequence dan truncated sequence yaitu bagian atas dan bagian bawah bisa
saja hilang.

Kelompok 5 5
Laboratorium Sedimentologi
2015

Bouma (1962) telah membuat bentuk hipotetik kerucut tunggal dan ganda. Pada
dasarnya endapan oleh arus turbid yang besar mempunyai rangkaian yang lengkap dan
setelah pengendapan material yang kasar kecepatan berkurang dan pada saat tertentu
dimana kecepatan sangat rendah mulai terbentuk laminasi interval (Tb-e = T2). Proses
berkurangnya kecepatan dan ukuran butir sedimen berjalan terus selama pengendapan,
sehingga terbentuk rangkaian (Tc=T3), (Td-e=T4) dan (Te=T5). Berdasarkan sifat jauh
dekatnya sumber, maka endapan turbidit dapat dibagi menjadi 3 fasies, yaitu:

1. Fasies proximal,
2. Fasies intermediate, dan
3. Fasies distal.

Distal merupakan endapan turbidit yang pengendapannya relatif lebih jauh


dari sumbernya atau tidak mengandung interval a dan b. endapannya dicirikan oleh
adanya perselingan yang teratur antara batupasir dan serpih, lapisan batupasirnya
tipis-tip is dan lapisan serpihnya lebih tebal. Pengendapan yang relatif lebih dekat
dengan sumbernya disebut turbidit proximal, biasanya berbutir kasar, kadang0kadang
konglomeratan dan sedikit serpih.

Mekanisme Pembentukan Endapan Turbidit

Middleton (1967) menyatakan bahwa arus turbid merupakan salah satu tipe
dari arus kerapatan (density current), dimana arus bergerak secara gaya berat, karena
adanya perbedaan kerapatan antara arus dengan cairan di sekeliingnya, yang
disebabkan oleh adanya dispersi sedimen pada suatu tempat (misalnya: muara sungai
atau delta), dimana sedimen banyak terakumulasi karena adanya faktor pemicu,
misalnya : suatu gempa bumi, tsunami,dll, mulai bergerak dan meluncur secara tiba-
tiba ke arah bawah cekungan. Saat sedimen tersebut mulai meluncur ke bawah akan
membentuk slump. Slump tersebut bergerak perlahan-lahan dan berangsur-angs ur
menjadi lebih cepat disebabkan adanya pengurangan viskositas. Selanjutnya massa
sedimen akan bergerak sampai pada lereng yang curam, maka terjadilah kenaikan
kecepatan dan pergerakan selanjutnya berubah menjadi arus turbid, sehingga butiran

Kelompok 5 6
Laboratorium Sedimentologi
2015

kasar akan terkonsentrasi pada bagian kepala arus, sedangkan yang lebih hglus di
bagian ekor. Karena pengaruh gravitasi maka arus turbid akan bergerak ke bawah
mengikuti ngarai di bawah samudera.

Pada saat mendekati daerah pengendapannya, kecepatan arus mulai berkurang


karena penurunan gravitasi akibat kemiringan lereng yang semakin landai. Dalam
kondisi seperti ini maka bagian kepala dari arus akan mengerosi lapisan dibawahnya
membentuk struktur sedimen scour mark. Sesuai dengan sifat-sifat kerapatan arus,
maka pengendapan akan terjadi sekaligus, sehingga sedimen yang diendapkan
mempunyai pemilahan yang sangat buruk. Dalam hal ini material- material yang lebih
berat akan terkumpul pada bagian depan arus turbid, sedangkan material halus akan
terperangkap bersama-sama. Endapan yang pertama terbentuk adalah batupasir
berstruktur perlapisan bersusun. Selanjutnya arus akan semakin lemah dan sedimen
yang halus akan diendapkan. Apabila kecepatan arus telah hilang, maka akan terjadi
pengendapan lempung pelagik dalam suasana suspensi yang menunjukan kondisi
lingkungan bernergi rendah.

Bouma (1962) menyimpulkan bahwa partikel-partikel sedimen bergerak tanpa bantuan


benturan atau seretan air, tetapi bergerak dibawah permukaan air yang relatif tenang (stagnant
water). Massa sedimen bisa saja tidak tercampur air secara baik sehingga mengakibatkan massa
sedimen tersebut terlalu encer untuk melengser dan
membentuk arus turbid. Sedimen yang berbutir kasar tidak menempati bagian kepala
dan apabila terendapkan massa sedimen kasar akan membentuk fluxoturbidite yaitu
endapan antara nendatan dan arus turbid (Dzulynski, dkk, 1959).
Menurut Koesoemadinata (1972) pengendapan arus turbid merupakan suatu keadaan
massa teronggok pada lereng benua, yang secara tiba-tiba dapat meluncur dengan

kecepatan tinggi bercampur dengan air, yang merupakan suatu aliran menuju laut dalam. Disini
partikel-partikel sedimen bergerak tanpa bantuan benturan /seretan air,
melainkan oleh energi inersia, dimana energi potensial diubah menjadi energi kinetik,
kemudian pengendapan terjadi segera setelah energi kinetik habis.
Middleton dan Hampton (1973) memperkenalkan istilah sedimen gravity flow untuk

Kelompok 5 7
Laboratorium Sedimentologi
2015

menerangkan mekanisme pengangkutan batupasir dan sedimen klastik kasar lainnya


dalam lingkungan laut dalam melalui pematang bawah samudra (submarine canyons).
Dalam hal ini istilah sedimen gravity flow, digunakan secara umum untuk aliran
sedimen atau campuran sedimen fluida dibawah pengaruh gaya berat. Berdasarkan
gerakan relatif antar butir dan jaraknya dari sumber, sedimen gravity flow dapat
dibedakan menjadi 4 jenis yaittu:

1. Aliran turbid (turbidity current), dimana butir-butir telah lepas sama sekali
dan masing- masing butir didukung oleh fluida (telah terinduksi menjadi
turbulen).
2. Aliran sedimen yang difluidakan (fluidized sediment flow), butir yang
lepas di dukung oleh cairan yang diperas ke atas antar butir. Butir-butir
masih bersentuhan.
3. Aliran butir (grain flow), dimana butir-butir belum lepas dan dalam
mengalir masih sering bersentuhan.
4. Aliran debris (debris flow), dimana butir-butir kasar masih didukung oleh
matriks (massa dasar) campuran sedimen yang lebih halus dan media (air)
dan masih mempunyai kekuatan. Jika butir-butir ini masih mempunya i
kekuatan dan relatif merupakan massa dan terdapat kohesi antara butir,
maka hal ini disebut slump (lengseran), sehingga masih bersifat plastis.

Mutti dan Ricci Luchi (1972), mengatakan bahwa fasies adalah suatu lapisan
atau kumpulan lapisan yang memperlihatkan karakteristik litologi, geometri dan
sedimentologi tertentu yang berbeda dengan batuan di sekitarnya. Suatu mekanis me
yang bekerja serentak pada saat yang sama. Asosiasi fasies didefinisikan sebagai
suatu kombinasi dua atau lebih fasies yang membentuk suatu tubuh batuan dalam
berbagai skala dan kombinasi. Asosiasi fasies ini mencerminkan lingkungan
pengendapan atau proses dimana fasies-fasies itu terbentuk.

Dalam menentukan fasies turbidit, Walker dan Mutti (1973) merinci pembagia
n fasies turbidit dari Mutti dan Ricci Lucci (1972).

Kelompok 5 8
Laboratorium Sedimentologi
2015

Walker dan Mutti (1973) telah mengemukakan suatu model, yaitu model kipas
laut dalam dan hubungannya dengan fasies turbidit (gb.2.9). Walker (1978) kemudian
menyederhanakan kembali klasifikasi tersebut menjadi 5 fasies, yaitu:

1. Fasies Turbidit Klasik (Classical Turbidite, CT)


Fasies ini pada umumnya terdiri dari perselingan antara batupasir dan
serpih/batulempung dengan perlapisan sejajar tanpa endapan channel.
Struktur sedimen yang sering dijumpai adalah perlapisan bersusun,
perlapisan sejajar, dan laminasi, konvolut atau a, b, c Bouma (1962),
lapisan batupasir menebal ke arah atas. Pada bagian dasar batupasir
dijumpai ha sil erosi akibat penggerusan arus turbid (sole mark) dan dapat
digunakan untuk menentukan arus turbid purba. Dicirikan oleh adanya
CCC (Clast, Convolution, Climbing ripples). Climbing ripples dan
convolut merupakan hasil dari pengendapan suspensi, sedangkan clast
merupakan hasil erosi arus turbid (Walker, 1985).
2. Fasies Batupasir masif (Massive Sandstone, MS)
Fasies ini terdiri dari batupasir masif, kadang-kadang terdapat endapan
channel, ketebalan 0,5-5 meter, struktur mangkok/dish structure. Fasies ini
berasosiasi dengan kipas laut bagian tengah dan atas.
3. Fasies Batupasir Kerakalan (Pebbly Sandstone, PS)
Fasies ini terdiri dari batupasir kasar, kerikil-kerakal, struktur sedimen
memperlihatkan perlapisan bersusun, laminasi sejajar, tebal 0,5 – 5 meter.
Berasosiasi dengan channel, penyebarannya secara lateral tidak menerus,
penipisan lapisan batupasir ke arah atas dan urutan Bouma tidak berlaku.
4. Fasies Konglomeratan (Clast Supported Conglomerate, CGL)
Fasies ini terdiri dari batupasir sangat kasar, konglomerat, dicirikan oleh
perlapisan bersusun, bentuk butir menyudut tanggung- membunda r
tanggung, pemilahan buruk, penipisan lapisan batupasir ke arah atas, tebal
1-5 m. Fasies ini berasosiasi dengan sutrafanlobes dari kipas tengah dan
kipas atas.

Kelompok 5 9
Laboratorium Sedimentologi
2015

5. Fasies Lapisan yang didukung oleh aliran debris flow dan lengseran
(Pebbly mudstone, debris flow, slump and slides, SL).
Fasies ini terdiri dari berbagai kumpulan batuan, pasir, kerikil, kerakal dan
bongkah-bongkah yang terkompaksi. Fasies ini berasosiasi dengan
lingkungan pengendapan kipas atas (upper channel fill).

Dari penelitian fasies turbidit ini, beberapa peneliti kemudian berusaha


untukmembuat suatu model kipas bawah laut, yang merupakan asosiasi dari beberapa
fasies. Model fasies adalah suatu model umum dari suatu sistem pengendapan yang
khusus (Walker, 1992). Dari model tersebut diharapkan dapat diketahui arah
pengendapan serta letak dari suatu endapan turbidit.

Model Kipas Bawah Laut Mutti dan Lucchi Mutti dan Lucchi (1972)
berdasarkan sifat fisik endapan turbidit seperti warna, komposisi, variasi besar butir,
tekstur perlapisan dan struktur sedimen, membagi fasies turbidit menjadi 7 fasies
utama, yaitu fasies A, B, C, D, E, F, dan G, dimana ketujuh fasies tersebut berasosiasi
dengan tiga lingkungan pengendapan, yaitu: lereng (slope), dibagi menjadi lereng atas
(upper slope) dan lereng bawah (lower slope); kipas (fan) dibagi menjadi kipas dalam
(inner fan), kipas tengah (middle fan) dan kipas luar (outer fan); kumpulan daratan
cekungan.

Model Kipas Bawah Laut Walker

Model kipas menurut Walker (1978) ini merupakan penyempurnaan darii


beberapa peneliti terdahulu yang terdiri dari saluran utama (fedder channel),
lereng(slope), kipas atas (upper fan), kipas tengah (middle fan) yang terdiri dari
channeled portion of suprafan lobes, kipas bawah (lower fan) dan dasar cekungan
(basin pain). Pada umumnya kipas tersebut berasosiasi dengan lima fasies turbidit
yang diajukan oleh Walker (1978).

Pada dasarnya Walker (1978) membagi kipas laut dalam 4 bagian pokok, yaitu:
1. Asosiasi Fasies Pada Lembah Pengisi

Kelompok 5 10
Laboratorium Sedimentologi
2015

Lembah pengisi merupakan alur utama dari sedimen yang membentuk lipas
laut dalam. Lembah ini memotong lereng kontinen dan dapat menerus dari
laut dalam sampai dekat pantai. Dari penyelidikan yang dilakukan umumnya
lembah pengisi berisi sedimen berukuran halus (fasies G), interkalasi lensa-
lensa tubuh batupasir dari fasies A merupakan endapan paritan (submarine
channel), interkalasi batuan yang campur aduk (fasies
F) juga sering didapatkan sisipan fasies E dan D, diperkirakan sebagai
akibat dari kenaikan atau fluktuasi muka air laut setelah zaman es.
2. Asosiasi Fasies Kipas Laut Dalam
Kipas ini dibagi menjadi 3 bagian, yaitu: kipas atas (upper fan), kipas
tengah (middle fan), dan kipas bawah (lower fan).
a. Kipas Atas (upper fan)
Kipas atas merupakan pengendapan pertama dari suatu sistem kipas laut
dalam, yang merupakan tempat dimana aliran gravitasi itu terhenti oleh
perubahan kemiringan. Oleh karena itu, seandainya aliran pekat (gravitasi
endapan ulang) ini membawa fragmen ukuran besar, maka tempat
fragmen kasar tersebut diendapkan adalah bagian ini. Fragmen kasar
dapat berupa batupasir dan konglomerat yang dapat digolongka n ke
dalam fasies A, B dan F. Bentuk lembah-lembah pada kipas atas ini
bermacam-macam, bias bersifat meander, bias juga hampir berkelok (low
sinuosity). Mungkin hal ini berhubungan dengan kemiringan dan
kecepatan arus melaluinya, ukuran kipas atas ini cukup besar dan
bervariasi tergantung besar dan kecilnya kipas itu sendiri. Lebarnya bisa
mencapai mulai dari ratusan meter sampai beberapa kilometer, dengan
kedalaman dari puluhan sampai ratusan meter. Alur-alur pada kipas atas
berukuran cukup besar. Walker (1978) memberikan model urutan macam
sedimen kipas atas ke bawah. Bagian teratas ditandai oleh fragmen aliran
(debris flow) berstruktur longsoran (slump), jika sedimennya berupa
konglomerat, maka umumnya letak semakin ke bawah pemilahannya
makin teratur, mengakibatkan bentuk lapisan

Kelompok 5 11
Laboratorium Sedimentologi
2015

tersusun terbalik ke bagian atas dan berubah menjadi lapisan normal


bagian bawah.
b. Kipas tengah (middle fan)
Bagian tengah kipas laut dalam adalah yang paling menarik dan sering
diperdebatkan. Letak kipas tengah berada di bawah aliran kipas atas.
Morfologi kipas laut dalam bagian tengah berumur Resen, dapat dibagi
menjadi 2, yaitu suprafan dan suprafan lobes, disamping ketinggian dari
lautan, juga morfologi di dalamnya. Suprafan umumnya ditandai lembah
yang tidak mempunyai tanggul alam (Nomark, 1978) dimana lembah
tersebut saling menganyam (braided), sehingga dalam profil seismic
berbentuk bukit-bukit kecil. Relief ini sebenarnya merupakan bukit-bukit
dan lembah yang dapat mempunyai relief 90 meter. Lembah dapat berisi
pasir sampai kerakal (Nomark,1980), kadang-kadang dapat menunjukan
urutan Bouma (1962). Bagian suprafan sebenarnya lebih merupakan
model yang kadang-kadang di lapangan sulit untuk diterapkan. Masalah
dasar tmbuhnya model bagian ini adalah adanya urutan batuan yang
cirinya sangat menyerupai kipas luar, tetapi masih menunjukan bentuk-
bentuk torehan, dimana cirri terakhir ini menurut Walker (1978) adalah
kipas Suprafan. Asosiasi fasies kipas bagian tengah berupa tubuh-tubuh
batupasir dengan sedikit konglomerat yang berbentuk lensa yang lebih
lebar dan luas. Batupasir dan Konglomera t tergolong ke dalam fasies A,
B, dan F. Fasies-fasies itu disisipi juga oleh lapisan-lapisan sejajar dari
fasies D dan E, kadang-kadang juga fasies C. Asosiasi fasies ini berbeda
dengan asosiasi fasies yang terdapat di kipas bagian dalam, yaitu : Tubuh
batupasir dan konglomera t dimensinya kecil, geometrinya kurang
cembung ke bawah, dan adanya sisipan-sisipan perselingan dari batupasir-
batulempung.
c. Kipas Bawah (Lower Fan)
Kipas bawah terletak pada bagian luar dari system laut dalam,
Umumnya mempunyai morfologi yang datar sangat landai

Kelompok 5 12
Laboratorium Sedimentologi
2015

(Nomark,1978). Kipas bawah merupakan endapan paling akhir dari


system paket atau aliran gravitasi tersebut yang paling mungk in
mencapai bagian kipas adalah system aliran dari arus kenyang. Ukuran
yang paling mungkin di daerah kipas luar adalah berukuran halus.
Serta menunjukan urutan vertical , Bouma (1962). Asosiasi fasies
kipas bawah disusun oleh lensa-lensa butiran di dalam batulempung,
perselingan batupasir dan batulanau yang berlapis tebal. Lnesa-lensa
batupasir dari fasies B dan C, sedangkan batuan-batuan yang
mengapitnya dari fasies D. Karakteristik asosiasi fasies –fasies kipas
bagian bawah ditandai oleh: Langkanya batuan-batuan yang
diendapkan di dalamnya pasitan (channel deposit), penampang
geometrinya berbentuk lensa. Di bagian puncak sekuen, kadang-
kadang didapatkan juga endapan paritan dan amalgamasi. Sering kali
sekuennya memperlihatkan penebalan lapisan ke bagian atas.

Gambar 1. Fasies Turbidit (Walker, 1976)

Kelompok 5 13
Laboratorium Sedimentologi
2015

3. Asosiasi Fasies Lantai Cekungan


Daerah lantai cekungan adalah daerah yang tidak dipengaruhi oleh aliran
gravitasi, dan merupakan endapan asli pada bagian laut tersebut. Asosiasi
fasies lantai cekungan dicirikan oleh:
a. Asosiasi fasies D dan G
b. Perlapisan sejajar
c. Arah purba memancar
d. Homogenitas fasies dan pola perlapisan, baik ke arah lateral maupun
tegak.

I.3.2. Geologi Regional

I.3.2.1. Fisiografi Regional Pegunungan Selatan


Secara umum, fisiografi Jawa Tengah bagian selatan-timur yang meliputi
kawasan Gunungapi Merapi, Yogyakarta, Surakarta dan Pegununga n Selatan
dapat dibagi menjadi dua zona, yaitu Zona Solo dan Zona Pegununga n Selatan
(Bemmelen, 1949). Zona Solo merupakan bagian dari Zona Depresi Tengah
(Central Depression Zone) Pulau Jawa. Zona ini ditempati oleh kerucut G.
Merapi (± 2.968 m). Kaki selatan-timur gunungapi tersebut merupakan dataran
Yogyakarta-Surakarta ( ± 100 m sampai 150 m) yang tersusun oleh endapan
aluvium asal G. Merapi. Di sebelah barat Zona Pegunungan Selatan, dataran
Yogyakarta menerus hingga pantai selatan Pulau Jawa, yang melebar dari P.
Parangtritis hingga K. Progo. Aliran sungai utama di bagian barat adalah K.
Progo dan K. Opak, sedangkan di sebelah timur ialah K. Dengkeng yang
merupakan anak sungai Bengawan Solo (Bronto dan Hartono, 2001).
Satuan perbukitan terdapat di selatan Klaten, yaitu Perbukitan Jiwo.
Perbukitan ini mempunyai kelerengan antara 40 – 150 dan beda tinggi 125 – 264
m. Beberapa puncak tertinggi di Perbukitan Jiwo adalah G. Jabalkat (± 264
m) di Perbukitan Jiwo bagian barat dan G. Konang (lk. 257 m) di Perbukitan
Jiwo bagian timur. Kedua perbukitan tersebut dipisahkan oleh aliran K.
Dengkeng. Perbukitan Jiwo tersusun oleh batuan Pra-Tersier hingga Tersier

Kelompok 5 14
Laboratorium Sedimentologi
2015

(Surono dkk, 1992). Fisiografi daerah Jawa Timur (van Bemmelen 1949)
Geologi Jawa timur dibagi atas beberapa zona, menurut van Bemmelen jawa
timur dibagi atas 4 bagian antara lain:
a. Zona Pegunungan Selatan Jawa (Southern Mountains): batuan
pembentuknya terdiri atas siliklastik, volkaniklastik, volkanik, dan batuan
karbonat.
b. Zona Gunung Api Kuarter (Quartenary Volcanoes): merupakan gunung
aktif
c. Zona Kendeng (Kendeng Zone): batuan pembentuknya terdiri atas
Sekuen dari volkanogenik dan sedimen pelagik.
d. Zona Rembang (Rembang Zone): batuan pembentuknya terdiri atas
endapan laut dangkal, sedimen klastik, dan batuan karbonat.

Gambar 2. Sketsa peta fisiografi sebagian Pulau Jawa dan Madura


(modifikasi dari van Bemmelen, 1949). (Sumber:
www.geoenviron.blogspot.com/2011/11)
Zona Pegunungan Selatan dibatasi oleh Dataran Yogyakarta-Surakarta di
sebelah barat dan utara, sedangkan di sebelah timur oleh Waduk Gajahmungk ur,
Wonogiri dan di sebelah selatan oleh Lautan India. Di sebelah barat, antara

Kelompok 5 15
Laboratorium Sedimentologi
2015

Pegunungan Selatan dan Dataran Yogyakarta dibatasi oleh aliran K. Opak, sedangkan di bagian utara
berupa gawir Baturagung. Bentuk Pegunungan Selatan ini hampir membujur barat-timur sepanjang lk.
50 km dan ke arah utara-selatan mempunyai lebar lk. 40 km (Bronto dan Hartono, 2001). Zona
Pegunungan Selatan dapat dibagi menjadi
tiga subzona, yaitu Subzona Baturagung, Subzona Wonosari dan Subzona Gunung
Sewu (Harsolumekso dkk., 1997 dalam Bronto dan Hartono, 2001). Subzona
Baturagung terutama terletak di bagian utara, namunmembentang dari barat (tinggia n

G. Sudimoro, ± 507 m, antara Imogiri-Patuk), utara (G. Baturagung, ± 828 m), hingga
ke sebelah timur (G. Gajahmungkur, ± 737 m). Di bagian timur ini, Subzona
Baturagung membentuk tinggian agak terpisah, yaitu G. Panggung (± 706 m) dan G.
Gajahmungkur (± 737 m). Subzona Baturagung ini membentuk relief paling kasar
dengan sudut lereng antara 100 – 300 dan beda tinggi 200-700 meter serta hampir
seluruhnya tersusun oleh batuan asal gunungapi.
Subzona Wonosari merupakan dataran tinggi (± 190 m) yang terletak di bagian
tengah Zona Pegunungan Selatan, yaitu di daerah Wonosari dan sekitarnya. Dataran ini
dibatasi oleh Subzona Baturagung di sebelah barat dan utara, sedangkan di sebelah
selatan dan timur berbatasan dengan Subzona Gunung Sewu. Aliran sungai utama di
daerah ini adalah K. Oyo yang mengalir ke barat dan menyatu dengan K. Opak Sebagai
endapan permukaan di daerah ini adalah lempung hitam dan endapan danau purba,
sedangkan batuan dasarnya adalah batugamping. Subzona Gunung Sewu merupakan
perbukitan dengan bentang alam karts, yaitu bentang alam dengan bukit-bukit
batugamping membentuk banyak kerucut dengan ketinggian beberapa puluh meter.
Di antara bukit-bukit ini dijumpai telaga, luweng (sink holes) dan di bawah
permukaan terdapat gua batugamping serta aliran sungai bawah tanah. Bentang alam
karts ini membentang dari pantai Parangtritis di bagian barat hingga Pacitan di sebelah
timur. Zona Pegunungan Selatan di Jawa Timur pada umumnya merupakan blok yang
terangkat dan miring ke arah selatan. Batas utaranya ditandai escarpment yang cukup
kompleks. Lebar maksimum Pegunungan Selatan ini 55 km di sebelah selatan
Surakarta, sedangkan sebelah selatan Blitar hanya 25 km. Diantara Parangtritis dan
Pacitan merupakan tipe karts (kapur) yang disebut Pegunungan Seribu atau Gunung

Kelompok 5 16
Laboratorium Sedimentologi
2015

Sewu, dengan luas kurang lebih 1400 km2 (Lehmann. 1939). Sedangkan antara
Pacitan dan Popoh selain tersusun oleh batugamping (limestone) juga tersusun oleh
batuan hasil aktifitas vulkanis berkomposisi asam-basa antara lain granit, andesit dan
dasit (Van Bemmelen,1949).
Zona Pegunungan Selatan di Jawa Timur pada umumnya merupakan blok
yang terangkat dan miring ke arah selatan. Batas utaranya ditandai escarpment yang
cukup kompleks. Lebar maksimum Pegunungan Selatan ini 55 km di sebelah selatan
Surakarta, sedangkan sebelah selatan Blitar hanya 25 km. Diantara Parangtritis dan
Pacitan merupakan tipe karts (kapur) yang disebut Pegunungan Seribu atau Gunung
Sewu, dengan luas kurang lebih 1400 km2 (Lehmann. 1939). Sedangkan antara
Pacitan dan Popoh selain tersusun oleh batugamping (limestone) juga tersusun oleh
batuan hasil aktifitas vulkanis berkomposisi asam-basa antara lain granit, andesit dan
dasit (Van Bemmelen,1949).
I.3.2.2. Geomorfologi Regional Pegunungan Selatan
Satuan perbukitan terdapat di selatan Klaten, yaitu Perbukitan Jiwo.
Perbukitan ini mempunyai kelerengan antara 40 – 150 dan beda tinggi 125 – 264 m.
Beberapa puncak tertinggi di Perbukitan Jiwo adalah G. Jabalkat (± 264 m) di
Perbukitan Jiwo bagian barat dan G. Konang (lk. 257 m) di Perbukitan Jiwo bagian
timur. Kedua perbukitan tersebut dipisahkan oleh aliran K. Dengkeng. Perbukitan
Jiwo tersusun oleh batuan Pra-Tersier hingga Tersier (Surono dkk, 1992).
Perbukitan Jiwo, Bayat merupakan in layer dari batuan Pra-tersier dan Tersier di
sekitar endapan Kuarter, terutama terdiri dari endapan fluvio-volkanik dari Gunung
Merapi. Ketinggian rata-rata dari perbukitan ini adalah 400 meter di atas muka laut,
sehingga tergolong perbukitan rendah. Perbukitan Jiwo dibagi menjadi dua, yaitu bagian
barat dan bagian timur. Perbukitan Jiwo Barat memanjang dengan arah utara – selatan,
puncak-puncaknya adalah Jabalkat, Kebo, Merak, Cakaran, Budo, Sari, dan Tugu, di
bagian paling utara membelok ke barat yaitu Perbukitan Kampak. Perbukitan Jiwo Timur
memanjang dengan arah barat – timur, puncak-puncaknya adalah Konang, Pendul, Temas,
dengan percabangan ke utara berupa puncak Jokotuo dan Bawak.

Kelompok 5 17
Laboratorium Sedimentologi
2015

Perbukitan Jiwo Barat dan Timur dipisahkan oleh Sungai Dengkeng yang
memotong daerah perbukitan secara anteseden. Sungai Dengkeng ini mengeringka n
rawa menjadi dataran rendah akibat air dari Gunung Merapi tertahan oleh Pegununga
n Selatan. Genangan air ini mengendapkan di sebelah utara berupa pasir dari lahar, di
sebelah selatan berupa lempung hitam.
I.3.2.3. Stratigrafi Regional Pegunungan Selatan Bagian Barat
Pegunungan Selatan bagian barat secara umum tersusun oleh batuan sedimen
volkaniklastik dan batuan karbonat. Batuan volkanoklastiknya sebagian besar
terbentuk oleh pengendapan gaya berat (gravity depositional processes) yang
menghasilkan endapan kurang lebih setebal 4000 m. Hampir seluruh batuan sedimen
tersebut mempunyai kemiringan ke selatan. Urutan stratigrafi penyusun Pegununga n
Selatan bagian barat dari tua ke muda adalah:
Formasi Wungkal-Gamping
Formasi Kebo - butak
Formasi Semilir
Formasi Nglanggran
Formasi Sambipitu
Formasi Wonosari
Endapan Kuarter

Kelompok 5 18
Laboratorium Sedimentologi
2015

Gambar 3. Stratigrafi Pegunungan Selatan Mennurut berbagai Ahli (Sumber:


http://fadi11fdf.blogspot.co.id/2013/05/geologi-regional-pegunungan-selatan.html)

Formasi Kebo – Butak


Formasi ini secara umum terdiri dari konglomerat, batupasir dan batulemp ung
yang menunjukkan kenampakkan pengendapan arus turbid maupun pengendapan gaya
berat yang lain. Di bagian bawah yang oleh Bothe disebut sebagai Kebo beds, tersusun
atas perselang – selingan antara batupasir, batulanau dan batulempung yang khas
menunjukkan struktur turbidit, dengan perselingan batupasir konglomeratan yang
mengandung klastika lempung. Di bagian bawah ini diterobos oleh sill batuan beku.
Di bagian atas dari formasi ini disebut sebagai anggota Butak, tersusun oleh
perulangan batupasir konglomeratan yang bergradasi menjadi lempung atau lana u,

Kelompok 5 19
Laboratorium Sedimentologi
2015

ketebalan dari formasi ini kurang lebih 800 m. urutan batuan yang membentuk Kebo
Butak ini ditafsirkan terbentuk pada lingkungan lower submarine fan dengan
beberapa interupsi pengendapan tipe mid fan (Raharjo, 1983), yang terbentuk pada
akhir Oligosen (N2-N3) (Sumarso & Ismoyowati, van Gorsel et al.,1987).

I.4. Pencapaian Lokasi

A
B

Keterangan: Gambar 4. Plotting Lokasi Penelitian

A : Universitas Pembangunan Nasional “VETERAN” Yogyakarta


B : Lokasi Penelitian

Untuk mencapai lokasi, penempuh membutuhkan waktu kurang lebih 1 jam 30 menit
dari Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta dengan kondisi jalan
yang cukup ramai. Penyusun berangkat dengan menggunakan sepeda motor dengan
rata-rata kecepatan 60 km/jam. Dari gerbang Timur UPN menuju ke arah Prambanan,
dan melewati Jalan Yogya-Solo kemudian nanti ada jalan di sebelah Tenggara sebrang
pabrik gula. Mengikuti jalan hingga tiba di wisata Curug Tegalrejo.

Kelompok 5 20
Laboratorium Sedimentologi
2015

BAB II

METODOLOGI

II.1. Metodologi Penelitian

Tinjauan Pustaka

Pengamatan di Lapangan

Pengambilan Data

Deskripsi Batuan Azimuth, Strike, Dip, Slope

Handspeciment

Pendeskripsian

Pembuatan Profil dan

Kelompok 5 21
Laboratorium Sedimentologi
2015

II.2. Alat dan Bahan


Penyusun menggunakan alat sebagai alat bantu penggambilan sampel dan
gambar, pencatatan data, penentuan arah dan azimuth, parameter, dan pengamatan
terhadap mineral secara makroskopis, berikut alat-alat yang digunakan:

No. Nama Jumlah


1 Kompas Geologi Satu buah
2 Palu Geologi Satu buah
3 Plastik Sampel Limapuluh buah
4 Parameter Dua buah
5 Kamera Satu buah
6 Papan Jalan Satu buah
7 Kertas HVS ukuran A4 Duapuluh lembar
8 Buku Lapangan Tiga buah
9 Lup Tiga buah
10 Komparator Batuan Sedimen Tiga buah
11 Meteran Satu buah
12 HCl Satu botol
Tabel 1. Alat dan Bahan

Kelompok 5 22
Laboratorium Sedimentologi
2015

II.5. PETA GEOLOGI

Gambar 5. Peta Geologi Yogyakarta


(Sumber: Jurnal berjudul Litostratigrafi dan sedimentasi Formasi Kebo dan Formasi Butak di
Pegunungan Baturagung, Jawa Tengah Bagian Selatan, oleh Surono, Halaman 3)

Singakapan terletak pada daerah yang diberi kotak diatas. Pada peta geologi, daerah
tersebut masuk dalam Formasi Kebo-butak.

Kelompok 5 23
Laboratorium Sedimentologi
2015

BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

III. 1. Litologi dan Struktur Sedimen Penciri

Secara keseluruhan, pada lintasan yang diukur didapatkan litologi


berupa batulanau, batulempung, perselingan pasir dengan lanau, dan breksi.
Untuk struktur sedimen yang khas pada litologi batuan yang ditemukan yaitu:
1. Gradded Bedding

Foto 1. Struktur Gradded Bedding


o
Azimuth: N 228 E
Deskripsi:
Sandstone, Grey, granular - medium Sand (4 - 0.5 mm), Subrounded, Poorly
Sorted, Matrix supported, Composed by
F: Lithic Andesit,
M: very fine Sand,
C: Silica Graded
Bedding.

Kelompok 5 24
Laboratorium Sedimentologi
2015

2. Wavy Lamination

Foto 2. Struktur Wavy Lamination


o
Azimuth: N 227 E
Deskripsi:
Sandstone, Grey, Coarse sand (1 - 2 mm), Angular, Poorly Sorted,
Matrix supported,
Composed by
Fragme: Lithic (Andesit),
Matrix: fine Sand,
Cement: Silica
Wavy Lamination.

Kelompok 5 25
Laboratorium Sedimentologi
2015

3. Paralel Lamination

Foto 3. Struktur Paralel Lamination


o
Azimuth: N 230 E

Deskripsi:
Siltstone, Grey, Silt (0.06 - 0.004 mm),
Paralel lamination.

Kelompok 5 26
Laboratorium Sedimentologi
2015

4. Stratified

Foto 4. Struktur Stratified


o
Azimuth: N 185 E
Deskripsi:
Sandstone, Grey, medium sand (0.25 - 0.5 mm), Rounded,
Well Sorted, Matrix supported, Composed by

F: Lithic (Andesit),
M: fine Sand,
C: Silica,
Stratified.

Kelompok 5 27
Laboratorium Sedimentologi
2015

Foto 5. Bentang Alam


o
Azimuth: N 230 E

Kelompok 5 28
Laboratorium Sedimentologi
2015

III. 2. Model Lingkungan Pengendapan

Gambar 6. Model Lingkungan Pengendapan


Berdasarkan dari hasil analisis profil diperoleh lingkungan pengendapan pada
Suprafan lobes on mid fan. Karena berdasarkan hasil interpretasi, diperoleh litofas ie s
menurut Walker (1973), yaitu: CT: Classical Turbidites, MS: Massive sandstone, dan
CGL: Conglomerates.

Kelompok 5 29
Laboratorium Sedimentologi
2015

III. 3. Sketsa Lintasan

Kelompok 5 30
Laboratorium Sedimentologi
2015

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

IV. 1. Kesimpulan
Dari hasil analisis profil, didapatkan:
1. Pada daerah telitian, batuannya di dominasi oleh batupasir dan batulanau
yang tidak bereaksi saat ditetesi oleh HCl.
2. Terdapat perselingan antara batupasir dan batulanau.
3. Struktur sedimen graded bedding, wavy lamination, parallel lamination dan
stratified.
4. Litofasies menurut Walker (1973) CT: Classical Turbidites, MS: Massive
sandstone, dan CGL: Conglomerates dan berdasarkan Mutti (1992) diperoleh
F7: Fine Grained Facies F7, F8: Fined Grained Facies F8 dan F9a:
Fined Grained Facies F9a
5. Lingkungan Pengendapan yaitu Suprafan Lobes on Mid Fan (Smooth-
channeled)
IV. 2. Saran
Sebaiknya ada bimbingan beberapa hari sebelum dilakukan ekskursi sehingga
praktikan tidak kebingungan pada saat di lapangan. Assisten harusnya berada tidak
jauh dari praktikan, sehingga ketika praktikan mengalami kesulitan tidak kesusahan
dalam mencari narasumber.
Dan sebaiknya lintasannya tidak perlu terlalu panjang agar bisa lebih melatih
kepekaan dalam memperhatikan struktur batuan sedimen.

Kelompok 5 31

You might also like