You are on page 1of 26

KEPANITERAAN KLINIK

STATUS ILMU PENYAKIT SARAF


FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
SMF ILMU PENYAKIT SARAF
RSPAU DR. ESNAWAN ANTARIKSA

Nama : Stella Nathania / Ferina Evangelin


NIM : 112014290 / 112015283
Pembimbing : dr. M. Rowi, Sp.S Tanda Tangan

.......................

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. SS
Umur : 38 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Status Perkawinan : Belum menikah
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Editor Film
Alamat : Pondok Kelapa VI C 2/29 Duren Sawit, Jakarta Timur
Masuk RS : 22/06/2016 (Ruang Garuda)
Keluar RS : 27/06/2016

PASIEN DATANG KE RS
 Dibawa oleh keluarga/tidak bisa berjalan/dengan alat bantu :

II. SUBJEKTIF
Autoanamnesis dan Alloanamnesis, pada tanggal: 24 Juni 2016 pukul: 07.30
Keluhan Utama:
Sakit Kepala sejak 1 minggu SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang:

1
Pasien datang ke UGD dengan keluhan sakit kepala sejak 1 minggu SMRS.
Sakit kepala berdenyut dan dirasakan terus menerus, di bagian depan kepala. Sakit
kepala dirasakan memburuk terutama pada saat malam. Pasien juga mengeluh muntah-
muntah sejak 1 minggu SMRS. Muntah 4-5 kali sehari berisi sisa makanan, tidak ada
darah, kira-kira sebanyak 1 gelas air mineral. Pasien merasa kehilangan keseimbangan
ketika berdiri, seperti sempoyongan, sejak 2 minggu SMRS. Rasa sempoyongan
tersebut awalnya tidak disertai sakit kepala. Pasien tidak mual, tidak ada demam, nafsu
makan baik, kedua tangan dan kaki dirasakan agak berat jika digerakkan. Buang air
kecil dan buang air besar tidak ada keluhan. Pasien sudah berobat ke rumah sakit 3 hari
SMRS, hanya di berikan obat anti muntah,

Riwayat Penyakit Dahulu:


Pasien tidak pernah mengalami penyakit seperti ini sebelumnya. Riwayat
kecelakaan/trauma, dan operasi di daerah kepala tidak ada. Pasien tidak pernah dirawat
di rumah sakit sebelumnya. Riwayat darah tinggi, kencing manis, kejang, asma, dan
alergi obat disangkal pasien.

Riwayat Penyakit Keluarga


Di keluarga pasien, terdapat riwayat darah tinggi dan kencing manis.

Riwayat sosial, ekonomi, pribadi


Keadaan sosial, ekonomi pasien baik. Pasien tidak memiliki kebiasaan
merokok atau minum alkohol. Pasien jarang berolahraga.

III. OBJEKTIF
1. Status Presens
Kesadaran : Compos Mentis, E:4 M:6 V:5 (GCS: 15)
Tekanan darah : 130/90 mmHg
Nadi : 71 kali/menit reguler dan kuat angkat
Pernapasan : 24 kali/menit
Suhu : 36, 2o C
Kepala : normocephali, mata: konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik,
pupil isokor 3 mm, refleks cahaya langsung +/+, refleks cahaya tidak
lansgung +/+, deviasi (-); hidung: deviasi septum (-), sekret (-), darah

2
(-); telinga: sekret (-), darah (-), membran timpani intak, tenggorokan:
benjolan (-), hiperemis (-), post nasal drip (-).
Leher : tidak terdapat perbesaran kelenjar tiroid maupun kelenjar getah
bening.
Dada : pergerakan dada simetris, tidak terdapat bagian yang tertinggal, tidak
terdapat retraksi
Jantung : BJ I-II, murni reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru : vesikuler, wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
Perut : datar, timpani, bising usus (+), normoperistaltik, hepar dan lien tidak
teraba.
Ekstremitas : Edema (-), akral hangat (+/+/+/+), CRT < 2 detik
Alat Kelamin : Tidak dilakukan pemeriksaan

2. Status Psikikus
Cara berpikir : wajar
Perasaan hati : wajar
Tingkah laku : baik
Ingatan : baik
Kecerdasan : baik

3. Status Neurologikus
A. Kepala
a. Bentuk : normocephali
b. Nyeri tekan : (-)
c. Simetris : simetris
d. Pulsasi : teraba pulsasi

B. Leher
a. Sikap : normal
b. Pergerakan : tidak terbatas
c. Kaku kuduk : (-)

C. Saraf kranial
1. N. Olfaktorius (N.I) kanan kiri
 Subjektif normal normal
 Dengan bahan tidak dilakukan tidak dilakukan

3
2. N. Optikus (N.II) kanan kiri
 Tajam penglihatan : visus: 6/6 visus: 6/6
 Lapang pandang : normal normal
 Melihat warna : normal normal
 Fundus okuli : tidak dilakukan tidak dilakukan

3. N. Okulomotorius (N.III) kanan kiri


 Sela mata: Normal Normal
 Pergerakan bulbus : Baik Baik
 Strabismus : Tidak ada Tidak ada
 Nystagmus : Tidak ada Tidak ada
 Exopthalmus : Tidak ada Tidak ada
 Bentuk pupil: Bulat, Isokor, 3 mm Bulat, Isokor, 3
mm
 Refleks terhadap sinar: (+) (+)
 Melihat kembar: tidak ada tidak ada

4. N. Trokhlearis (N.IV) Kanan Kiri


 Pergerakan mata normal normal
 Sikap bulbus normal normal
 Melihat kembar tidak ada tidak ada

5. N. Trigeminus (N.V) Kanan Kiri


 Membuka mulut sulit sulit
(tidak bisa membuka lebar) (tidak bisa membuka lebar)
 Mengunyah normal normal
 Menggigit normal normal
 Refleks kornea normal normal
 Sensibilitas sulit dinilai sulit dinilai

6. N. Abdusen (N.VI) Kanan Kiri


 Pergerakan mata ke lateral normal normal
 Sikap bulbus baik baik
 Melihat kembar tidak ada tidak ada

7. N. Facialis (N.VII) Kanan Kiri


 Mengerutkan dahi normal normal
 Menutup mata normal normal
 Memperlihatkan gigi tidak bisa tidak bisa
 Bersiul tidak bisa tidak bisa
 Perasaan lidah 1/3 anterior tidak dilakukan tidak dilakukan

8. N. Vestibulo-kokhlearis Kanan Kiri


(N.VIII)
 Detik arloji (+) (+)
 Suara berisik (+) (+)
 Weber tidak dilakukan tidak dilakukan
4
 Rinne tidak dilakukan tidak dilakukan
 Shwabach tidak dilakukan tidak dilakukan

9. N. Glosofaringeus (N.IX) Kanan Kiri


 Perasaan lidah 2/3 posterior Sulit dinilai sulit dinilai
 Sensibilitas sulit dinilai sulit dinilai
 Pharynx sulit dinilai sulit dinilai

10. N. Vagus (N.X) Kanan Kiri


 Arcus pharynx sulit dinilai sulit dinilai
 Bicara tidak normal (pelo) tidak normal (pelo)
 Menelan normal normal
 Nadi normal normal

11. N. Aksesorius (N.XI) Kanan Kiri


 Mengangkat bahu normal normal
 Memalingkan kepala normal normal

12. N. Hipoglossus (N.XII) Kanan Kiri


 Pergerakan lidah miring ke kanan
 Tremor lidah (-) (-)
 Artikulasi tidak jelas tidak jelas

Badan dan Anggota Gerak


1. Badan
Motorik
i. Respirasi : simetris dalam keadaan statis dan dinamis, pergerakan normal
ii. Bentuk columna vertebralis : normal
iii. Pergerakan columna vertebralis : normal

Sensibilitas Kanan Kiri


Taktil normal normal
Nyeri positif positif
Thermi tidak dilakukan tidak dilakukan
Lokalisasi normal normal

Refleks
Refleks kulit perut atas : tidak dilakukan
Refleks kulit perut bawah : tidak dilakukan
Refleks kulit perut tengah : tidak dilakukan
Refleks kremaster : tidak dilakukan

2. Anggota Gerak Atas


 Motorik Kanan Kiri
Pergerakan bebas bebas
Kekuatan 4 5
Tonus normotonus normotonus
Atrofi eutrofi eutrofi
 Sensibilitas Kanan Kiri

5
Taktil baik baik
Nyeri (+) (+)
Thermi (+) (+)
Diskriminasi (+) (+)
Lokalis (+) (+)
 Refleks Kanan Kiri
Biceps (+) (+)
Triceps (+) (+)
Tromnner-Hoffman (-) (-)

3. Anggota Gerak Bawah


 Motorik Kanan Kiri
Pergerakan bebas bebas
Kekuatan 5 5
Tonus normotonus normotonus
Atrofi eutrofi eutrofi
 Sensibilitas Kanan Kiri
Taktil baik baik
Nyeri (+) (+)
Thermi (+) (+)
Diskriminasi (+) (+)
Lokalis (+) (+)
 Refleks Kanan Kiri
Refleks Patella (+) (+)
Refleks Achilles (+) (+)
Klonus kaki (-) (-)
Babinsky (-) (-)
Tes Lasegue (-) (-)
Tes Kernig (-) (-)
Tes Brudzinki (-) (-)

Koordinasi, gait, dan keseimbangan


- Cara berjalan : Tidak dapat dilakukan
- Tes Romberg : Tidak dapat dilakukan
- Tes Telunjuk hidung : Agak lambat (Sulit)
- Tes tumit lutut : Tidak dapat dilakukan
Gerakan-gerakan abnormal
- Tremor : tidak ada
- Miokloni : tidak ada
- Khorea : tidak ada

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

6
Laboratorium
Darah lengkap (tanggal 22/6/2016)

Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan


HEMATOLOGI
Darah Rutin
Hemoglobin 15.4 g/dL L: 13,2-17,3
Hematokrit 46 % P: 40-52
Leukosit 6200 mm3 3800-10600
Trombosit 315000 mm3 150-440 ribu/mm3
KIMIA
Ureum 27 mg/dL 10-50 mg/dL
Kreatinin 0,6 mg/dL 0,9-1,3 mg/dL
Glukosa sewaktu 240 mg/dL < 120 mg/dL
IMUNOSEROLOGI
Widal
Thypi O Negatif Negatif
Para Thypi AO Negatif Negatif
Para Thypi BO Negatif Negatif
Thypi H Negatif Negatif
Para Thypi AH Negatif Negatif
Para Thypi BH Negatif Negatif
Kimia darah tanggal 23/6/2016
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Rujukan
KIMA DARAH
Profil Lemak
Kolesterol total 179 mg/dL < 200 mg/dL
Trigliserida 150 mg/dL < 200 mg/dL
Faal Ginjal
Asam Urat 5.0 mg/dl 3,6-8,2 mg/dL
Diabetes
Glukosa puasa 271 mg/dL 80-100 mg/dL
Glukosa 2 jam PP 243 mg/dL

EKG (tanggal 22/6/2016)

7
Kesan: Normal Sinus Rythm

Radiologi (tanggal 22/6/2016)


Foto Thorax
Kesan: Jantung dan paru dalam batas normal

CT-Scan Kepala (non kontras) tanggal 22/6/2016


Kesan: Gambaran oedema dengan curiga massa lobus parieto occipital kiri.
Anjuran: CT Kepala dengan kontras

8
CT-Scan Kepala (dengan kontras) tanggal 24/6/2016
Kesan:
- Multipel nodul dengan area edema fokal, dari vermis cerebellum, vertex kiri/frontalis
kiri -- suspek metastasis di otak dd: TB otak?
- Edema hemicerebri kiri

9
V. RINGKASAN
Pasien, laki-laki, usia 38 tahun datang ke RSAU dr. Esnawan Antariksa dengan
keluhan sakit kepala, berdenyut, dan terus menerus, sejak 1 minggu SMRS. Keluhan disertai
dengan muntah-muntah 4-5 kali sehari, tidak ada darah, berisi sisa makanan sebanyak 1 gelas
air mineral sejak 1 minggu SMRS. Pasien juga merasa keseimbangannya hilang ketika
berdiri, terasa sempoyongan sejak 2 minggu SMRS. Pasien tidak mual, tidak demam, tidak
ada keluhan BAK dan BAB. Tidak ada riwayat trauma atau operasi pada bagian kepala.
Riwayat penyakit serupa, darah tinggi, kencing manis, kejang, dan alergi obat disangkal
pasien. Terdapat riwayat darah tinggi dan kencing manis di keluarga. Pasien tidak merokok
ataupun minum alkohol, namun pasien jarang berolahraga.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan,
Kesadaran : Compos Mentis E:4 M:6 V:5 (GCS: 15)
Tekanan darah : 130/90 mmHg
Nadi : 84 kali/menit reguler dan kuat angkat
Pernapasan : 24 kali/menit
Suhu : 36.2oC
Didapatkan kelemahan N. VII, N. X, dan N. XII.
Kekuatan otot :
4 5
5 5
Reflex cahaya : +/+
Tes Keseimbangan; tes telunjuk hidung: sulit (agak lambat)
Pada pemeriksaan penunjang ditemukan hiperglikemia, multipel nodul dengan area
edema fokal, dari vermis cerebellum, vertex kiri/frontalis kiri, edema hemiceerebri kiri.

VI. DIAGNOSIS
- Diagnosis klinik: Cephalgia, paresis N. VII, paresis N. X, paresis N. XII,
hiperglikemia
- Diagnosis topik: Hemispher parieto-occipital sinistra
- Diagnosis etiologi: Tumor Cerebri Sinistra, Diabetes Mellitus

10
- Diagnosis banding: Edema Cerebri Sinistra

VII. PENATALAKSANAAN
Non-medikamentosa: Konsul spesialis saraf dan penyakit dalam
Observasi Gula darah
Observasi TTV
Medikamentosa: Infus Ringer Laktat 500cc 20 tpm
Novalgin 3 x 1 IV
Ranitidin 2 x 1 IV
Dexamethasone 3 x 1
Metformin 2 x 500 mg p.c.
VIII. PROGNOSIS
- Ad Vitam : dubia ad bonam
- Ad Functionam : dubia ad malam
- Ad Sanationam : dubia ad bonam
TINJAUAN PUSTAKA

Pendahuluan
Tumor otak merupakan salah satu bagian dari tumor pada sistem saraf, di samping
tumor spinal dan tumor saraf perifer. Tumor otak ini dapat berupa tumor yang sifatnya primer
ataupun yang merupakan metastasis dari tumor pada organ lainnya. Tumor otak primer adalah
tumor yang tumbuh langsung dari jaringan intrakranial, baik dari otak itu sendiri, central
nervus system, maupun selaput pembungkus otak (selaput meningen). 1 Tumor otak
merupakan penyebab kematian kedua pada kasus kanker yang terjadi pada anak-anak yang
berusia dibawah 20 tahun. Tumor otak juga merupakan penyebab kematian yang kedua dari
semua kasus kanker yang terjadi pada pria berusia 20-39 tahun. Selain itu tumor otak
merupakan penyebab kematian nomor lima dari seluruh pasien kanker pada wanita yang
berusia 20-39 tahun.1
Angka kejadian tumor intrakanial berkisar antara 4,2-5,4 per 100.000 penduduk. Pada
semua autopsi yang dilakukan oleh bernat & Vincent (1987) dijumpai 2% tumor otak. Pada
anak dibawah 16 tahun, angka kejadian tumor otak adalah 2,4 per 100.000 anak. Tampaknya
angka kejadian tumor cenderung naik dengan bertambahnya umur. Tidak diketahui secara
pasti perbedaan angka kejadian menurut ras, tempat tinggal maupun iklim. 2 Kira-kira 10%
dari semua proses neoplasmatik di seluruh tubuh ditemukan pada susunan saraf dan

11
selaputnya, 8% berlokasi diruang intrakranial dan 2% di ruang kanalis spinalis. Di Amerika
didapat 35.000 kasus baru dari tumor otak setiap tahun, sedang menurut Bertelone, tumor
primer susunan saraf pusat dijumpai 10% dari seluruh penyakit neurologi yang ditemukan di
Rumah Sakit Umum. Di Indonesia data tentang tumor susunan saraf pusat belum dilaporkan.
Angka kejadian tumor otak pada anak-anak terbanyak pada dekade pertama, sedang pada
dewasa pada usia 30-70 dengan puncak usia 40-65 tahun.3 Proses neoplasmatik atau proses
malignansi di susunan saraf mencakup neoplasma saraf primer dan non-saraf atau metastatik.
Urutan frekuensi neoplasma di dalam ruang tengkorak adalah sebagai berikut: (1) glioma
(41%), (2) meningioma (17%), (3) adenoa hipofisis (13%), (4) neurilemoma (12%), (5)
neplasma metastatik dan (6) neoplasma pembuluh darah serebral.3
Tumor otak terus mengalami peningkatan insidensi selama satu dekade terakhir di
beberapa negara.Angka harapan hidup penderita tumor otak seperti glioma dipengaruhi
beberapa faktor, yaitu usia, stadium, jenis histo PA, ada atau tidaknya defisit neurologi dan
modalitas terapi. Permasalahan klinis pada tumor otak agak berbeda dengan tumor lain
karena efek yang ditimbulkannya, dan keterbatasan terapi yang dapat dilakukan. Kerusakan
pada jaringan otak secara langsung akan menyebabkan gangguan fungsional pada sistem
saraf pusat, berupa gangguan motorik, sensorik, panca indera, bahkan kemampuan kognitif.
Selain itu efek massa yang ditimbulkan tumor otak juga akan memberikan masalah serius
mengingat tumor berada dalam rongga tengkorak yang pada orang dewasa merupakan suatu
ruang tertutup dengan ukuran tetap.1

Tumor otak

Tumor otak adalah suatu lesi ekspansif yang bersifat jinak (benigna) ataupun ganas
(maligna), membentuk massa dalam ruang tengkorak kepala (intrakranial) atau di sumsum
tulang belakang (medulla spinalis). Tumor ini lebih dikenal sebagai “neoplasma intrakranial”
karena beberapa tumor bukan tumbuh dari jaringan otak (misalnya meningioma dan
lymphoma). Akan tetapi, sebagian besar tumor otak memberikan gambaran klinis,
pendekatan diagnostik dan pengobatan yang sama.1,4
Tumor atau neoplasma susunan saraf pusat dibedakan menjadi tumor primer dan
tumor sekunder atau metastatik. Tumor primer bisa timbul dari jaringan otak, meningen,
hipofisis dan selaput myelin. Tumor sekunder adalah suatu metastasis yang tumor primernya
berada di luar susunan saraf pusat, bisa berasal dari paru-paru, mamma, prostat, ginjal, tiroid
atau digestivus. Tumor ganas itu dapat pula masuk ke ruang tengkorak secara

12
perkontinuitatum, yaitu dengan melalui foramina basis kranii, seperti misalnya pada infiltrasi
karsinoma anaplastik dari nasofaring. 4

Etiologi
Asal usul neoplasma belum banyak diketahui walaupun telah banyak penelitian yang
dilakukan. Terdapat beberapa faktor etiologi yang diperkirakan berperan dalam timbulnya
suatu neoplasma, antara lain:1,4
1. Bawaan
Meningioma, astrositoma, Sklerosis tuberose, dan neurofibroma dapat dijumpai pada
anggota-anggota sekeluarga. Sklerosis tuberose dan neurofibroma merupakan
penyakit sindrom neurokutaneus yang etiologinya tidak diketahui, yang dapat
menyebabkan abnormalitas kulit dan susunan saraf pusat yang bervariasi. Selain jenis-
jenis neoplasma tersebut di atas, tidak ada bukti-bukti yang kuat untuk mengatakan
bahwa ada faktor herediter yang memegang peranan pada pertumbuhan neoplasma
saraf.
2. Degenerasi atau perubahan neoplasmatik
Bangunan-bangunan embrional berkembang menjadi bangunan-bangunan yang
mempunyai morfologi dan fungsi yang terintegrasi dalam tubuh. Tetapi ada kalanya
sebagian dari bangunan embrional yang tertinggal itu dapat menjadi ganas, karena
pertumbuhan terus dan merusak bangunan disekitarnya. Perkembangan abnormal itu
dijumpai pada kraniofaringoma, teratoma intrakranial dan kordoma.
3. Radiasi
Efek radiasi terhadap dura memang dapat menimbulkan pertumbuhan sel dura. Sel di
dalam otak atau sel yang sudah mencapai kedewasaan, pada umumnya agak kurang
peka terhadap efek sinar radiasi di banding sel neoplasma. Maka dari itu radiasi
digunakan untuk pemberantasan pertumbuhan sel neoplasmatik. Tetapi dosis
subterapeutik dapat merangsang pertumbuhan sel mesenkimal sehingga masih banyak
penyelidik yang menekankan pada radiasi sebagai faktor etiologi neoplasma saraf.
4. Virus
Belakangan ini telah cukup banyak bukti yang terkumpul bahwa ada virus yang
berperan dalam genesisnya suatu neoplasma. Perhatian terpusat pada virus Eipstein
Barr yang disangka berperan besar dalam genesisnya “Burkitt’s lymphoma” dan pula
pada genesis karsinoma anaplastik dari nasofaring.
5. Zat-zat karsinogen
Penyelidikan tentang substansi karsinogen sudah lama dilakukan. Kini telah diakui
bahwa ada substansi-sibstansi karsinogenik, misalnya methylchloranthrone dan
nitroso-ethyl-urea.

13
6. Trauma kepala
Trauma kepala telah lama diduga sebagai salah satu faktor resiko terjadinya tumor
otak dan masih menjadi kontroversi. Beberapa penelitian menunjukkan ada hubungan
antara riwayat trauma dengan kejadian meningioma, tetapi patofisiologinya belum
sepenuhnya dimengerti. Pada penelitian prospektif yang dilakukan oleh Annegers, JF
dkk pada 3000 pasien dengan trauma kepala, tidak ditemukan adanya peningkatan
resiko trauma dengan angka kejadian tumor otak. Hasil ini sama dengan penelitian
yang dilakukan oleh Gurney JG, dkk di Amerika Serikat yaitu tidak ada hubungan
antara riwayat trauma kepala, baik oleh karena tindakan forcep atau penyebab lain,
dengan angka kejadian tumor otak pada anak. 1

Klasifikasi
Terdapat bermacam-macam klasifikasi tumor otak, baik atas dasar jaringan asal tumor
maupun atas dasar lokasi tumor. Suatu pembagian praktis dari neoplasma susunan saraf pusat
adalah sebagai berikut:
A. Glioma
1. Astrositoma
i. Astrositoma derajat 1-2
ii. Astrositoma derajat 3-4 (glioblastoma multiforme)
2. Ependimoma
i. Ependimoma derajat 1-4
3. Oligodendroglioma
4. Meduloblastoma
5. Neuroastrositoma
B. Non-glioma
1. Meningioma
2. Adeno hipofisis
3. Neurilemoma (neurofibroma)
4. Hemangioblastoma
5. Khordoma, kista parafisis (kista koloid), kista dermoid, epidermoid,
kraniofaringioma, papiloma dan pinealoma
C. Neoplasma metastatik intrakranium
Neoplasma yang dapat bermetastase ke susunan saraf pusat adalah (menurut
frekuensinya): karsinoma bronkus, mammae, ginjal, lambung, prostat dan tiroid.

Klasifikasi menurut WHO


WHO Classification of Tumors of the Central Nervous System
Tumors of Neuroepithelial Tissue
Tumors of the Cranial and Spinal Nerves
Tumors of the Meninges

14
Lymphomas and Hemopoeitic neoplasms
Germ Cell Tumors
Cysts and Tumor-like lesions
Tumors of the sellar region
Local extensions from regional tumors
Metastatic Tumors

WHO Classification of Tumors of Neuroepithelial Tissue.


1.1 Astrocytic Tumors
1.2 Oligodendroglial Tumors
1.3 Ependymal Tumors
1.4 Mixed Gliomas
1.5 Choroid Plexus Tumors
1.6 Neuroepithelial Tumors of uncertain origin
1.7 Neuronal and Mixed Neuronal-glial Tumors
1.8 Pineal parencymal Tumors
1.9 Embryonal Tumors

WHO Classification of Astrocytic Tumors


1.1 Astrocytic Tumors
1.1.1 Astrocytoma
1.1.1.1. Fibrillary
1.1.1.2. Protoplasmic
1.1.1.3. Gemistocytic
1.1.2. Anaplastic Astrocytoma
1.1.3. Glioblastoma
1.1.3.1.Giant Cell Glioblastoma
1.1.3.2. Gliosarcoma
1.1.4. Pilocytic Astrocytoma
1.1.5. Pleomorphic xanthoastrocytoma
1.1.6. Subependymal Giant Cell Astrocytoma

WHO classification of Cerebral Gliomas

15
Grade I : Circumscribed Astrocytomas: Pilocytic Astrocytoma/ PXA /Subependymal
Giant Cell Astrocytoma

WHO Classification of Diffuse Cerebral Gliomas


Grade II : low-grade
Grade III: Anaplastic
Grade IV: Glioblastoma

Gejala klinis
Pembagian tumor dalam kelompok benigna dan maligna tidak berlaku secara mutlak
bagi tumor intrakanial, oleh karena tumor yang benigna secara histologik dapat menduduki
tempat yang vital sehingga menimbulkan kematian dalam waktu singkat. Oleh karena itu
maka tepatlah pendirian para ahli yang mengatakan bahwa setiap tumor serebri haruslah
dianggap “ganas secara klinis”.4,5
Gambaran klinik ditentukan oleh lokasi tumor dan peningkatan tekanan intrakanial.
Tanda penting dari tumor otak ialah adanya gejala neurologis yang progresif. Progresifitas ini
bergantung pada lokasi, kecepatan pertumbuhan tumor dan edema di sekitarnya. Gambaran
klinik tumor intrakranial dapat dibagi dalam: 1,5,6
1. Gejala umum tekanan intrakranial yang meninggi
a. Nyeri kepala
b. Muntah
c. Kejang fokal
d. Gangguan mental
2. Tanda-tanda fisis diagnostik
a. Papiledema
b. Pada anak-anak tekanan intrakranial yang meningkat dapat menimbulkan
diastase sutura kranii
c. Bradikardi dan irama dan frekuensi pernafasan berubah
d. Penipisan (destruksi) atau penebalan (hyperostosis) tulang tengkorak
3. Gejala-gejala fokal
Gejala spesifik tumor otak yang berhubungan dengan lokasi:
 Lobus frontal
Menimbulkan gejala perubahan kepribadian dengan fungsi intelektual yang
menurun, dengan konfabulasi dan Witzelsucht (suka membadut). Bila tumor
menekan jaras motorik menimbulkan hemiparese kontra lateral, kejang fokal.
Bila menekan permukaan media dapat menyebabkan inkontinentia. Bila tumor

16
terletak pada basis frontal menimbulkan sindrom foster kennedy. Pada lobus
dominan menimbulkan gejala afasia
 Lobus parietal
Dapat menimbulkan gejala modalitas sensori kortikal hemianopsi homonym.
Bila terletak dekat area motorik dapat timbul kejang fokal dan pada girus
angularis menimbulkan gejala sindrom gerstmann’s
 Lobus temporal
Akan menimbulkan gejala hemianopsi, bangkitan psikomotor, yang didahului
dengan aura atau halusinasi. Bila letak tumor lebih dalam menimbulkan gejala
afasia dan hemiparese. Pada tumor yang terletak sekitar basal ganglia dapat
diketemukan gejala choreoathetosis, parkinsonism.
 Lobus oksipital
Menimbulkan bangkitan kejang yang dahului dengan gangguan penglihatan.
Gangguan penglihatan yang permulaan bersifat quadranopia berkembang
menjadi hemianopsia, objekagnosia. Tumor lobus oksipitalis biasanya
menimbulkan rasa nyeri dibelakang kepala, hemianopsia, agnosia visual dan
aleksia.
 Tumor di ventrikel ke III
Tumor biasanya bertangkai sehingga pada pergerakan kepala menimbulkan
obstruksi dari cairan serebrospinal dan terjadi peninggian tekanan intrakranial
mendadak, pasen tiba-tiba nyeri kepala, penglihatan kabur, dan penurunan
kesadaran
 Tumor di cerebello pontin angle
Tersering berasal dari N VIII yaitu acustic neurinoma. Dapat dibedakan
dengan tumor jenis lain karena gejala awalnya berupa gangguan fungsi
pendengaran. Gejala lain timbul bila tumor telah membesar dan keluar dari
daerah pontin angel
 Tumor Hipotalamus
Menyebabkan gejala peningkatan TIK akibat oklusi dari foramen Monroe.
Gangguan fungsi hipotalamus menyebabkan gejala: gangguan perkembangan
seksuil pada anak-anak, amenorrhoe,dwarfism, gangguan cairan dan elektrolit,
bangkitan
 Tumor di cerebelum

17
Umumnya didapat gangguan berjalan dan gejala TTIK akan cepat erjadi
disertai dengan papil udem. Nyeri kepala khas didaerah oksipital yang
menjalar keleher dan spasme dari otot-otot servikal
4. Tanda lokalisatorik yang menyesatkan
a. Kelumpuhan N. IV
b. Kelumpuhan N.III
c. Babinski yang positif di kedua sisi
d. Gangguan mental
e. Gangguan endokrin
f. ensefalomalasi
5. Gangguan kesadaran akibat tekanan intrakranial yang meninggi
Proses desak ruang tidak saja memenuhi rongga tengkorak yang merupakan
runag yang tertutup, akan tetapi proses neoplasmatik sendiri dapat menimbulkan
perdarahan setempat. Selain itu, jaringan otak menjadi edema akibat penimbunan
katabolit disekitar jaringan neoplasma atau karena penekanan pada vena.
Tekanan intrakranial yang meningkat secara progresif menimbulkan gangguan
kesadaran dan manifestasi disfungsi batang otak yang dinamakan:
a. Sindrom unkus atau sindrom kompresi diensefalon ke lateral
b. Sindrom kompresi sentral rostrokaudal terhadap batang otak, dan
c. Herniasi serebelum di foramen magnum

Pemeriksaan penunjang
Apabila kita telah mengambil kesimpulan bahwa telah terjadi proses desak ruang
intrakranium (dapat tumor, abses, atau hematoma) maka pemeriksaan lanjut yang dapat kita
lakukan adalah sebagai berikut:5,6
1. Foto kepala
Foto kepala sekurang-kurangnya dari 2 arah yakni AP dan lateral. Hal yang
diharapkan dapat terlihat adalah :
 Pelebaran sutura; terjadi pada anak, makin muda usia anak makin cepat serta
makin lebar sutura. Sutura sagital dan koronal adalah yang paling mudah
melebar.
 Impressiones digitate; terjadi bila peningkatan TIK sudah lama, sehingga
gambaran kranium tampak “aspek berawan”
 Pelebaran fossa hipofisis dan destruksi endositosis, dapat timbul oleh
meningioma
 Pengapuran terutama pada glioma, pinealoma
2. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI dengan gadolinium adalah pemeriksaan penunjang pilihan dalam
menegakkan diagnosis tumor otak. MRI dengan kontras lebih sensitif dibandingkan

18
CT-scan dalam mengidentifikasi suatu lesi dan batas abnormal suatu tumor glioma.
Pada pemeriksaan menggunakan MRI tidak terjadi paparan radiasi dan bahan kontras
yag diinjeksikan, gadolinium, dapat memasuki sawar darah otak sehingga dapat
memperlihatkan batas antara perluasan tumor, edema otak dan bagian otak yang
normal.
Karakteristik gambaran tumor astrositoma pada MRI berupa massa yang difus,
tidak meluas dan tidak dikelilingi oleh edema otak, kecuali pada astrositoma maligna
dimana gambaran khasnya adalah berupa massa dengan perluasan yang ireguler dan
tampak seperti cincin, lesi juga dikelilingi oleh edema otak. Suatu tumor kista akan
tampak sebagai area homogen. Tumor glioma grade rendah akan tampak sebagai
gambaran hipodens pada MRI atau bisa juga isodens.
Pemeriksaan penunjang MRI tidak bisa dilakukan pada pasien-pasien yang
menggunakan pacemaker, paramagnetic aneurysma clips, benda asing lain di tubuh
yang terbuat dari metal, atau alat-alat magnetik lain di dalam rongga atau kranium.
MRI juga sulit dilakukan pada pasien yang memiliki klaustrofobia.5
3. C.A.T (Computed Axial Tomography/CT scan)
Gambaran CT Scan pada tumor otak, umumnya tampak sebagai lesi abnormal
berupa massa yang mendorong struktur otak disekitarnya. Biasanya tumor otak
dikelilingi jaringan udem yang terlihat jelas karena densitasnya lebih rendah. Adanya
kalsifikasi, perdarahan atau invasi mudah dibedakan dengan jaringan sekitarnya
karena sifatnya yang hiperdens. Beberapa jenis tumor akan terlihat lebih nyata bila
pada waktu pemeriksaan CT Scan disertai dengan pemberian zat kontras. Setelah
pemberian kontras, akan terlihat kontras enhancement dimana tumor mungkin terlihat
sebagai daerah hiperdens. Kelemahan CT Scan yaitu kurang mengetahui adanya
tumor yang berpenampang < 1,5 cm dan yang terletak pada basis kranii.3,5
4. Elektro-ensefalografi (EEG)
Biasanya dikerjakan kalau ada kejang-kejang. Dapat mendeteksi kira-kira 70%
tumor supratentorial, sedangkan untuk tumor infratentorial hanya sedikit
kegunaannya. EEG berguna untuk membedakan apakah kejang disebabkan oleh
proses metabolik atau suatu tumor lokal. Perekaman EEG di atas suatu tumor dapat
memperlihatkan gelombang delta (0,5-4 siklus per detik).
5. Ekoensefalografi
Dapat diperoleh informasi mengenai suatu proses desak ruang intrakranial
yang menimbulkan pergeseran ventrikel lateralis dan ventrikel III; dan adanya
penggeseran struktur garis tangah (midline). Misalnya bila terdapat suatu peranjakan

19
ke kiri (> 3 mm) maka dapatlah disimpulkan bahwa terdapat suatu proses desak ruang
di dalam rongga tengkorak di sisi kanan. 3,5
6. Angiografi
Dapat memperlihatkan kelainan arsitektur pembuluh darah di sekitar tumor,
dan penting untuk membedakan malformasi pembuluh darah dengan neoplasma.
Dalam klinik, angiografi hanya dilakukan bila ada rencana untuk tindakan bedah
saraf.
7. Ventrikulografi
Tumor serebri merupakan suatu kontraindikasi untuk melakukan lumbal
pungsi. Bila melakukan ventrikulografi maka kita terlebih dahulu membuat suatu
lubang trefin (trephin-opening) di daerah oksipital, satu di sisi kanan dan satu di sisi
kiri. Melalui lubang trefin ini lantas dilakukan pungsi kornu oksipitalis vntrikulus
lateralis. Melalui pemeriksaan ini dapat diketahui apakah suatu tumor terletak di
bawah atau dia atas tentorium.
Bahan untuk pemeriksaan PA didapat bila tumor dapat diangkat seluruhnya atau
sebagian. Mungkin pula material itu didapat dengan “needle biopsy”. Untuk
mengenyampingkan kemungkinan tumor sekunder maka hendaknya paru, mammae, tiroid,
prostat, ginjal, dan traktus digestivus penderita diperiksa dengan teliti.3,5

Diagnosa banding
Gejala yang paling sering dari tumor otak adalah peningkatan tekanan intrakranial,
kejang dan tanda defisit neurologik fokal yang progresif. Setiap proses desak ruang di otak
dapat menimbulkan gejala di atas, sehingga agak sukar membedakan tumor otak dengan
beberapa hal berikut: 1,4,5
a. Infeksi: abses intraserebral, meningitis kronis, tuberkuloma
b. Non infeksi: epidural hematom, hipertensi intrakranial benigna, trauma primer otak,
multiple sklerosis
c. Penyakit degeneratif: stroke hemoragik, stroke infark, alzeimer
d. Penyakit kongenital: hidrosefalus

Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
Pengobatan medikamentosa terdiri dari obat non-sitistatika dan sitostatika.
a. Non-sitostatika
Langkah pertama pada pengobatan metastasis tumor otak (MTO) ialah
pemberian kortikosteroid yang bertujuan untuk memberantas edema otak.

20
Pengaruh kortikosteroid terutama dapat dilihat pada keadaankeadaan seperti
nyeri kepala yang hebat, defisit motorik, afasia dan kesadaran yang menurun.
Mekanisme kerja kortikosteroid belum diketahui secara jelas. Beberapa
hipotesis yang dikemukakan: meningkatkan transportasi dan resorbsi cairan
serta memperbaiki permeabilitas pembuluh darah; di samping itu mempunyai
efek onkolitik terhadap MTO. Perbaikan sudah ada dalam 24-48 jam. Jenis
kortikosteroid yang dipilih yaitu glukokortikoid; yang paling banyak dipakai
ialah deksametason, selain itu dapat diberikan prednison atau prednisolon.
Dosis deksametason yang biasa dipakai 0,25-1 mg/kgBB/hari, dibagi
dalam 4-6 kali pemberian secara intravena, intramuscular atau per os. Selain
kortikosteroid, dapat juga diberikan zat-zat hiperosmolar, antara lain: manitol
20%, 1-2 gram/kgBB dalam waktu 15-30 menit melalui infus atau intravena.
Dapat juga diberikan gliserol 5% per os 1 gram/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali
pemberian. Kalau perlu dapat diberikan antikonvulsan.
b. Sitostatika
Ada 13 faktor yang mempengaruhi hasil sitostatika terhadap tumor otak,
yaitu: cara pemberiannya, ikatan protein, aliran darah, permeabilitas vaskuler,
volume rongga ekstraseluler, distribusi obat ke dalam lingkungan tumor, sifat-
sifat molekuler obat, kinetik sel tumor, metabolisme dan ekskresi, brain sink
effect, dan reaksi otak terhadap tumor dan obat. Obat antitumor yang sering
dipakai terhadap tumor otak antara lain :7
• Methotrexate
Methotrexate bekerja dengan menghambat metabolisme DNA.
Methotrexate diberikan intratekal atau intraventrikuler karena obat ini tidak
dapat menembus sawar darah otak.
• 1,3 Bis(2-chloroethyl)-1-nitrosourea (BCNU) dan 1-(2-chloroethyl)-3-cy
clohexy/-1 -n itro sourea (CCNU).
Kerjanya menghambat pembentukan DNA. Keduanya larut dalam
lemak dan dapat menembus sawar darah otak. BCNU diberikan intravena,
CCNU per os. Kombinasi dengan radioterapi memberikan efek sinergistik
terhadap MTO. Obat-obat antineoplasma yang lain masih dalam taraf
percobaan, dan pada umumnya hasilnya tidak memuaskan.
• Temozolomide
Temozolomide adalah agen alkylating generasi kedua imidazotetrazine
yang merupakan obat kemoterapi baru yang dapat masuk ke dalam cairan
serebrospinal dan tidak perlu diaktivasi melalui metabolisme hepar. Obat ini
mampu didistrubusikan ke semua jaringan termasuk otak sehingga efektif

21
melawan berbagai jenis kanker seperti melanoma metastasis, glioblastoma
multiforme, dan tumor solid lainnya.
Temozolomide bisa ditoleransi dengan baik dengan efek
myelosuppresi minimal dan tanpa efek toksik dalam darah sehingga efek
samping berupa mual-muntah dapat diatasi dengan antiemetik biasa. Stabilitas
dan solubilitas yang baik membuat temozolomide dapat didistribusikan ke
semua jaringan dengan bioavailabilitas kira-kira 100%.
Efeks samping temozolomide biasanya berupa mual dan muntah ringan
sampai sedang yang dapat hilang sendiri atau dapat diatasi dengan pemberian
obat antiemetic biasa. Insiden mual dan muntah berat hanya terjadi pada kira-
kira 4% kasus. Untuk mencegah efek samping tersebut maka temozolomide
dapat diberikan satu jam sebelum makan. Kontraindikasi pemberian
temozolomide adalah pada orang yang hipersensitif terhadap kandungan obat
tersebut, pasien yang menderita penyakit myelosupresi berat, serta ibu hamil
dan menyusui karena temozolomide bersifat teratogenik dan fetotoksik.5,7
Temozolomide telah disahkan sebagai terapi medikamentosa pasien
dewasa dengan astrositoma anaplastik (glioblastoma multiforme) yang sulit
disembuhkan di Amerika Serikat dan di Eropa.

2. Tindakan pembedahan
Indikasi eksisi pada MTO apabila tumor soliter, terletak supratentorial dan
aktivitas tumor primernya sudah tidak ada atau tinggal sedikit. Metastasis
infratentorial biasanya tidak dibedah karena mortalitas operasinya sangat tinggi.
Tindakan operasi lain yang dapat dianjurkan sesuai dengan keperluan ialah:
pengangkatan sebagian, biopsi, dekompresi dan pembuatan shunt (bypass) untuk
melancarkan aliran likuor. Suatu tumor supratentorial dapat diangkat melalui suatu
kraniotomi. Pada suatu tumor infratentorial usaha ini dilakukan melalui suatu
kraniektomi.1,4
Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan suatu pembedahan tumor
otak yakni: diagnosis yang tepat, rinci dan seksama, perencanaan dan persiapan pra
bedah yang lengkap, teknik neuroanastesi yang baik, kecermatan dan keterampilan
dalam pengangkatan tumor, serta perawatan pasca bedah yang baik, Berbagai cara dan
teknik operasi dengan menggunakan kemajuan teknologi seperti mikroskop, sinar
laser, ultrasound aspirator, bipolar coagulator, realtime ultrasound yang membantu
ahli bedah saraf mengeluarkan massa tumor otak dengan aman.

3. Radioterapi

22
Biasanya dilakukan setelah eksisi total atau parsial terhadap tumor yang
radiosensitif. Kriteria tumor yang radiosensitif, terdiri atas sel yang undifferentiated,
terdapat banyak gambaran mitosis, banyak vaskularisasi terutama terdiri atas kapiler
halus, dan jumlah substansi intersel sedikit atau hampir tidak ada.
Tumor diterapi melalui radioterapi konvensional dengan radiasi total sebesar
5000-6000 cGy tiap fraksi dalam beberapa arah. Kegunaan dari radioterapi ini
didasarkan pada alasan bahwa sel-sel normal lebih mampu memperbaiki kerusakan
subletal dibandingkan sel-sel tumor dengan dosis tersebut. Radioterapi akan lebih
efisien jika dikombinasikan dengan kemoterapi intensif.1,4
Radioterapi diberikan juga pada MTO apabila lesinya multipel, atau lesi yang
soliter tapi tumor primer di tempat lain dalam tubuh masih aktif. Tujuan radioterapi di
sini sebagai pengobatan paliatif (mengurangi nyeri kepala, perbaikan fungsi motorik,
gangguan bicara dan lain-lain).
4. Kemoterapi 4
Jika tumor tersebut tidak dapat disembuhkan dengan pembedahan, kemoterapi
tetap diperlukan sebagai terapi tambahan dengan metode yang beragam. Pada tumor-
tumor tertentu seperti meduloblastoma dan astrositoma stadium tinggi yang meluas ke
batang otak, terapi tambahan berupa kemoterapi dan regimen radioterapi dapat
membantu sebagai terapi paliatif.
Yang ideal adalah bila tumor itu dapat diangkat secara menyeluruh. Bila hal
ini tidak mungkin maka sebanyak mungkin tumor diangkat. Bila tumor itu tidak dapat
diangkat maka akan dilakukan dekompresi. Untuk mengurangi tekanan
intrakranialdapat pula dipasang suatu “ventrikulocaval shunt”. Suatu pembedahan
kemudian disusul dengan suatu terapi sinar atau kimia.

Prognosis
Prognosisnya tergantung jenis tumor spesifik. Berdasarkan data di Negara-negara
maju, dengan diagnosis dini dan juga penanganan yang tepat melalui pembedahan dilanjutkan
dengan radioterapi, angka ketahanan hidup 5 tahun (5 years survival) berkisar 50-60% dan
angka ketahanan hidup 10 tahun (10 years survival) berkisar 30-40%. Beberapa hal yang
merupakan prognosis buruk tumor otak metastase adalah usia lanjut, gejala-gejala muncul
kurang dari 1 minggu, dan adanya penurunan kesadaran. 4,6

23
PEMBAHASAN KASUS

Tumor otak adalah neoplasma yang lebih dikenal dengan tumor intrakranial. Tumor
otak bisa primer dan bisa merupakan metastasis dari suatu neoplasma di tempat lain. pada
kasus ini seorang pasien laki-laki umur 38 tahun datang ke RSAU Esnawan Antariksa
dikeluhkan mengalami sakit kepala, berdenyut, dan terus menerus, sejak 1 minggu SMRS.
Keluhan disertai dengan muntah-muntah 4-5 kali sehari, tidak ada darah, berisi sisa makanan
sebanyak 1 gelas air mineral sejak 1 minggu SMRS. Dua minggu sebelumnya pasien merasa
keseimbangannya hilang ketika berdiri, terasa sempoyongan. Pasien tidak mual, tidak
demam, tidak ada keluhan BAK dan BAB. Tidak ada riwayat trauma atau operasi pada
bagian kepala. Riwayat penyakit serupa, darah tinggi, kencing manis, kejang, dan alergi obat
disangkal pasien. Terdapat riwayat darah tinggi dan kencing manis di keluarga. Pasien tidak
merokok ataupun minum alkohol, namun pasien jarang berolahraga. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan kelemahan nervus VII, nervus X, dan nervus XII serta kelemahan pada reflex

24
ekstremitas atas dextra. Pada pemeriksaan penunjang ditemukan hiperglikemia, multipel
nodul dengan area edema fokal, dari vermis cerebellum, vertex kiri/frontalis kiri, edema
hemicerebri kiri.
Keluhan nyeri kepala pada pasien ini kemungkinan disebabkan oleh peningkatan
tekanan intrakranial otak oleh karena tumor intrakranial yang dialaminya. Nyeri kepala
merupakan gejala dini tumor intrakranial pada kira-kira 20% dari para penderita. Nyeri
biasanya paling berat dipagi hari karena selama tidur malam PCO2 serebral meningkat
sehingga mengakibatkan peningkatan aliran darah otak yang demikian meningkatkan tekanan
intrakranial. Pada pasien ini keluhan nyeri kepala yang dirasakan semakin berat pada pagi
hari disangkal.
Gejala hemiparesis biasanya merupakan tanda lokalisatorik tumor di daerah
presentral. Gejala seperti hemiparesis, monoparesis, afasia bisa merupakan tanda-tanda
lokalisatorik atau simptomp fokal dari suatu tumor, tetapi bilamana tekanan intrakranial
sudah cukup tinggi dan membangkitkan gejala dan tanda tersebut, maka hemiparesis atau
gejala lain yang bangkit atau baru muncul tidak mempunyai arti lokalisatorik. Oleh karena
tumor otak yang dialami pasien berada di daerah oksipitalis maka dapat disimpulkan bahwa
gejala hemiparesis yang dialami oleh pasien juga disebabkan oleh peningkatan tekanan
intrakranial yang cukup tinggi sehingga terjadi pendesakan pada area presentralis yang
merupakan area motorik.
Peningkatan tekanan intrakranial ini juga akhirnya dapat menyebabkan penurunan
kesadaran. Proses desak ruang suatu tumor hingga menyebabkan penurunan kesadaran
merupakan proses yang kompleks dimana manifestasinya berupa a) Sindrom unkus atau
sindrom kompresi diensefalon ke lateral, b) Sindrom kompresi sentral rostrokaudal terhadap
batang otak, dan c) Herniasi serebelum di foramen magnum.
Penatalaksanaan pada pasien ini adalah pertama dengan medikamentosa yang
bertujuan untuk menurunkan tekanan intrakranial pasien. Prognosis pasien dengan tumor otak
metastase pada umumnya adalah buruk. Dengan penanganan yang baik maka persentase
angka ketahahan hidup diharapkan dapat meningkat. Pada umumnya pasien dengan tumor
otak metastase single memiliki prognosis yang lebih baik dari pada tumor otak metastase
multiple. Usia juga menentukan prognosis dimana usia lanjut biasanya memiliki prognosis
yang kurang baik dibanding usia muda. Jadi prognosis pasien ini adalah dubia, dimana seperti
yang telah disebutkan dalam tinjauan pustaka beberapa hal yang merupakan prognosis buruk
tumor otak metastase adalah usia lanjut, gejala-gejala muncul kurang dari 1 minggu, dan
adanya penurunan kesadaran.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. American Brain Tumor Association (ABTA). 2012. About Brain Tumors a Primer for
Patients and Caregivers. Chicago : ABTA. Pp. 76 – 78.
2. Japardi, Iskandar. 2002. Tekanan Tinggi Intrakranial. USU digital library; Sumatera
Utara.
3. Mardjono M dan Sidharta P. 2009. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat. Hlm
390-402.
4. Deangelis, Lisa M. 2001. Brain tumor. N Engl J Med, Vol. 344, No. 2
5. Harsono. 2008. Buku Ajar Neurologi Klinis. Gajah Mada University Press; Yogyakarta.
Hal 201-207
6. Oemiati R, Rahajeng E, dan Kristanto A Y. 2011. Prevalensi tumor dan beberapa faktor
yang mempengaruhinya di Indonesia. Buletin Penelitian Kesehatan. 39(4): 190 – 204.
7. Ostrom QT, Gittleman H, Farah P,et al. CBTRUS statistical report: Primary brain and
central nervous system tumors diagnosed in the United States in 2006-2010. Neuro
Oncol 2013; 15: Suppl 2: ii1-ii56.

26

You might also like