You are on page 1of 19

ASUHAN KEPERAWATAN KOMUNITAS KELOMPOK KHUSUS DEWASA

DENGAN PENYAKIT HIPERTENSI DI DUSUN GENUK RW 03

KECAMATAN UNGARAN BARAT

KABUPATEN SEMARANG

Dosen Pengampu: Ns. Puji Purwaningsih, S.Kep., M.Kep.

Disusun Oleh:

Defi Puji Lestari (010114A019)

Ni Komang Suarni (010114A077)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS NGUDI WALUYO

UNGARAN

2017

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dewasa ini, perhatian terhadap penyakit tidak menular makin hari makin
meningkat, karena semakin meningkatnya frekuensi kejadiannya yang terjadi pada
masyarakat. Penyakit Tidak Menular (PTM) merupakan masalah yang sangat
substansial, mengingat pola kejadian sangat menentukan status kesehatan di suatu
daerah dan juga keberhasilan peningkatan status kesehatan di suatu negara. PTM
menyebabkan sekitar 60% kematian dan 43% kesakitan di seluruh dunia. Perubahan
pola struktur masyarakat dari agraris ke industri dan perubahan pola fertilitas gaya
hidup dan sosial ekonomi masyarakat diduga sebagai hal yang melatar belakangi
prevalensi Penyakit Tidak Menular (PTM), sehingga kejadian penyakit tidak menular
semakin bervariasi. Penyakit tidak menular merupakan penyakit kronis yang sifatnya
tidak ditularkan dari orang ke orang. Perhatian terhadap penyakit tidak menular
semakin hari semakin meningkat karena semakin meningkatnya frekuensi
kejadiannya pada masyarakat di berbagai negara termasuk indonesia. Di antaranya
penyakit yang tidak menular pada wanita adalah Kanker Payudara dan Hipertensi
(Riskesdas, 2013).
Hasil riset kesehatan dasar tahun 2013, menunjukan bahwa penyakit hipertensi
usia ˃ 18 tahun (25,8%), PJK umur ≥ 15 tahun (1,5%), gagal jantung (0,3%), gagal
ginjal kronik (0,2%), batu ginjal (0,6%), rematik (24,7%), stroke (12,1‰), cedera
semua umur (8,2%), asma (4,5%), PPOK umur ≥ 30 tahun(3,8%), Kanker (1,4‰),
diabetes melitus (2,1%), hyperthyroid umur ≥ 15 tahun berdasarkan diagnosis (0,4%),
proporsi cedera akibat transportasi darat (47,7%), laki-laki obese umur ˃ 18 tahun
(19,7%), perempuan obese (32,9%), obesitas sentral (26,6%), penyakit sendi di
indonesia berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebesar 11,9% dan berdasarkan
diagnosis dan gejala sebesar 24,7%. Sedangkan prevalensi penyakit kanker payudara
di indonesia pada tahun 2013 sebesar 0.5%. Kanker payudara merupakan keganasan yang
menyerang hampir sepertiga dari seluruh keganasan yang dijumpai pada wanita. Kanker
payudara juga merupakan penyebab kematian kedua setelah kanker leher rahim pada
wanita serta menempati insiden tertinggi dari seluruh keganasan. Setiap tahun, lebih
dari satu juta kasus baru kanker payudara didiagnosa di seluruh dunia dan hampir
400.000 orang akan meninggal akibat penyakit tersebut. Sampai tahun 2003, kanker
payudara merupakan kanker dengan insidens tertinggi No.2 di Indonesia dan terdapat
kecenderungan dari tahun ke tahun insidens ini meningkat; seperti halnya di negara
barat. Angka kejadian kanker payudara di Amerika Serikat 92/100.000 wanita
pertahun dengan mortalitas yang cukup tinggi 27/100.000 atau 18% dari kematian
yang dijumpai pada wanita. Di Indonesia berdasarkan“Pathological Based
Registration” kanker payudara mempunyai insidens relatif 11,5%. Diperkirakan di
Indonesia mempunyai insidens minimal 20.000 kasus baru pertahun, dengan
kenyataan bahwa lebih dari 50% kasus masih berada dalam stadium lanjut.
Peran perawat komunitas dalam penanganan penyakit tidak menular yaitu
memberikan keperawatan langsung (kepada individu, keluarga, kelompok),
penyuluhan pendidikan kesehatan masyarakat dalam rangka merubaha perilaku
individu, perawat sebagai konsultasi pemecahan masalah kesehatan yang dihadapi,
melaksanakan rujukan apabila penyakit tersebut memerlukan penanganan lebih lanjut.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. TEORI
A. Definisi Dewasa
Secara umum mereka yang tergolong dewasa muda (young adulthood)
ialah mereka yang berusia 20-40 tahun. (Dariyo, 2003).
Batasan usia menurut Depkes RI (2009), yaitu yang tergolong dewasa
awal adalah usia 26-35 tahun dan yang tergolong dewasa akhir adalah usia
36-45 tahun.

B. Penyakit Tidak Menular Pada Wanita dan Pria


Berdasarkan Riskesdas 2013 penyakit tidak menular pada pria dan
wanita dewasa, yaitu : hipertensi, PJK, gagal jantung, gagal ginjal kronik,
batu ginjal, rematik, stroke, cedera, asma, PPOK, kanker, diabetes melitus,
asam urat, hyperthyroid dan obesitas.

C. Penyakit Tidak Menular (Hipertensi)


Hipertensi atau penyakit tekanan darah tinggi merupakan salah satu
penyakit yang paling sering muncul di negara berkembang seperti Indonesia.
Seseorang dikatakan hipertensi dan berisiko mengalami masalah kesehatan
apabila setelah dilakukan beberapa kali pengukuran, nilai tekanan darah tetap
tinggi nilai tekanan darah sistolik ≥140 mmHg atau diastolik ≥90 mmHg
(Prasetyaningrum, 2014).
Hipertensi menurut World Health Organization (WHO) adalah suatu
kondisi dimana pembuluh darah memiliki tekanan darah tinggi (tekanan darah
sistolik ≥140 mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg) yang menetap
(WHO, 2015).
Hipertensi didefinisikan sebagai tekanan darah persisten dimana
tekanan sistoliknya diatas 140 mmHg dan tekanan diastolik diatas 90 mmHg.
Pada populasi lanjut usia, hipertensi didefinisikan sebagai tekanan sistolik
160 mmHg dan tekanan diastolik 90 mmHg (Sheps, 2005)
D. Klasifikasi
Secara klinis derajat hipertensi dapat dikelompokkan sesuai dengan
rekomendasi dari “The Sixth Report of The Join National Committee,
Prevention, Detection and Treatment of High Blood Pressure “ (JNC – VI,
1997) sebagai berikut :

No Kategori Sistolik(mmHg) Diastolik(mmHg


1. Optimal <120 <80
2. Normal 120 – 129 80 – 84
3. High Normal 130 – 139 85 – 89
4. Hipertensi
Grade 1 (ringan) 140 – 159 90 – 99
Grade 2 (sedang) 160 – 179 100 – 109
Grade 3 (berat) 180 – 209 100 – 119
Grade 4 (sangat berat) >210 >120

a. Klasifikasi Hipertensi berdasarkan penyebab:


1) Hipertensi essensial
Hipertensi essensial atau idiopatik adalah hipertensi tanpa kelainan
dasar patologis yang jelas. Lebih dari 90% kasus merupakan hipertensi
essensial. Penyebab hipertensi meliputi faktor genetik dan lingkungan.
Faktor genetik mempengaruhi kepekaan terhadap natrium, kepekaan
terhadap stress, reaktivitas pembuluh darah terhadap vasokontriktor,
resistensi insulin dan lain-lain. Sedangkan yang termasuk faktor lingkungan
antara lain diet, kebiasaan merokok, stress emosi, obesitas dan lain-lain.
Pada sebagian besar pasien, kenaikan berat badan yang berlebihan dan gaya
hidup tampaknya memiliki peran yang utama dalam menyebabkan
hipertensi. Kebanyakan pasien hipertensi memiliki berat badan yang
berlebih dan penelitian pada berbagai populasi menunjukkan bahwa
kenaikan berat badan yang berlebih (obesitas) memberikan risiko 65-70 %
untuk terkena hipertensi primer ( Kemenkes RI, 2014).

2) Hipertensi sekunder
Meliputi 5-10% kasus hipertensi merupakan hipertensi sekunder
dari penyakit komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan
tekanan darah. Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit
ginjal kronis atau penyakit renovaskular adalah penyebab sekunder yang
paling sering. Obat-obat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak,
dapat menyebabkan hipertensi atau memperberat hipertensi dengan
menaikkan tekanan darah ( Kemenkes RI, 2014).
b. Berdasarkan bentuk Hipertensi
Hipertensi diastolik {diastolic hypertension}, Hipertensi
campuran (sistol dan diastol yang meninggi), Hipertensi sistolik
(isolated systolic hypertension).

E. Etiologi
1. Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi
a. Keturunan
Dari hasil penelitian diungkapkan bahwa seseorang mempunyai
orang tua atau salah satunya menderita hipertendi maka orang tersebut
mempunyai resiko lebih besar untuk terkena hipertensi dari pada
orang yang kedua orang tuanya normal ( tidak menderita hipertensi).
Adanya riwayat keluarga terhadap hipertensi dan penyakit jantung
secara signifikan akan meningkatkan resiko terjadinya hipertensi pada
perempuan dibawah 65 tahun dan laki-laki dibawah 55 tahun (Julius,
2008).
b. Jenis kelamin
Faktor gender berpengaruh pada terjadinya hipertensi, dimana
pria lebih banyak yang menderita hipertensi dibandingkan wanita,
dengan rasio sekitar 2,29 untuk peningkatan tekanan darah sistolik.
Pria diduga memiliki gaya hidup yang cenderung dapat meningkatkan
tekanan darah dibandingkan dengan wanita (Depkes, 2006).
Namun, setelah memasuki manopause, prevalensi hipertensi
pada wanita meningkat. Setelah usia 65 tahun, terjadinya hipertensi
pada wanita lebih meningkat dibandingkan dengan pria yang
diakibatkan faktor hormonal. Data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar)
menyebutkan bahwa prevalensi penderita hipertensi di Indonesia lebih
besar pada perempuan (8,6%) dibandingkan laki-laki (5,8%).
Sedangkan menurut Ditjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
(2006), sampai umur 55 tahun, laki-laki lebih banyak menderita
hipertensi dibanding perempuan. Dari umur 55 sampai 74 tahun,
sedikit lebih banyak perempuan dibanding laki-laki yang
menderita hipertensi (Depkes, 2008).
c. Umur
Beberapa penelitian yang dilakukan, ternyata tebukti bahwa
semakin tinggi umur seseorang maka semakin tinggi tekanan
darahnya. Hal ini disebabkan elastisitas dinding pembuluh darah
semakin menurun dengan bertambahnya umur. Sebagian besar
hipertensi terjadi pada umur lebih dari 65 tahun. Sebelum umur 55
tahun tekanan darah pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan.
Setelah umur 65 tahun tekanan darah pada perempuan lebih tinggi
daripada laki-laki. Dengan demikian, resiko hipertensi bertambah
dengan semakin bertambahnya umur (Gray, et al. 2005).
d. Keturunan (genetik)
Riwayat keluarga dekat yang menderita hipertensi (faktor
keturunan) juga mempertinggi risiko terkena hipertensi, terutama pada
hipertensi primer (essensial). Tentunya faktor genetik ini juga
dipenggaruhi faktor-faktor lingkungan, yang kemudian menyebabkan
seorang menderita hipertensi. Faktor genetik juga berkaitan dengan
metabolisme pengaturan garam dan renin membran sel. Menurut
Davidson bila kedua orang tuanya menderita hipertensi, maka sekitar
45% akan turun ke anak-anaknya dan bila salah satu orang tuanya
yang menderita hipertensi maka sekitar 30% akan turun ke anak-
anaknya (Depkes, 2006).

2. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi


a. Merokok
Merokok dapat meningkatkan beban kerja jantung dan
menaikkan tekanan darah. Menurut penelitian, diungkapkan bahwa
merokok dapat meningkatkan tekan darah. Nikotin yang terdapat
dalam rokok sangat membahayakan kesehatan, karena nikotin dapat
meningkatkan pengumpulan darah dalam pembuluh darah dan dapat
menyebabkan pengapuran pada dinding pembuluh darah. Nikotin
bersifat toksik terhadap jaringan saraf yang menyebabkan peningkatan
tekanan darah baik sistolik maupun diastolikknya, denyut jantung
bertambah, kontraksi otot jantung seperti dipaksa, pemakaian O2
bertambah, aliran darah pada koroner meningkat dan vasokontriksi
pada pembuluh darah perifer (Gray, et al. 2005).
b. Obesitas
Kelebihan lemak tubuh, khususnya lemak abdominal erat
kaitannya dengan hipertensi. Tingginya peningkatan tekanan darah
tergantung pada besarnya penambahan berat badan. Peningkatan
resiko semakin bertambah parahnya hipertensi terjadi pada
penambahan berat badan tingkat sedang. Tetapi tidak semua obesitas
dapat terkena hipertensi. Tergantung pada masing-masing individu.
Peningkatan tekanan darah diatas nilai optimal yaitu >120/ 80 mmHg
akan meningkatkan resiko terjadinya penyakit kardiovaskuler.
c. Stres
Stress atau ketegangan jiwa (rasa tertekan, murung, rasa marah,
dendam, rasa takut dan rasa bersalah) dapat merangsang kelenjar anak
ginjal melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung berdenyut
lebih cepat serta lebih kuat, sehingga tekanan darah akan meningkat.
Jika stress berlangsung lama, tubuh akan berusaha mengadakan
penyesuaian sehingga timbul kelainan organis atau perubahaan
patologis. Gejala yang muncul dapat berupa hipertensi atau penyakit
maag. Diperkirakan, prevalensi atau kejadian hipertensi pada orang
kulit hitam di Amerika Serikat lebih tinggi dibandingkan dengan
orang kulit putih disebabkan stress atau rasa tidak puas orang kulit
hitam pada nasib mereka (Depkes, 2006).
d. Aktivitas fisik
Aktivitas fisik adalah gerakan yang dilakukan oleh otot tubuh
dan sistem penunjangnya. Selama melakukan aktivitas fisik, otot
membutuhkan energi diluar metabolisme untuk bergerak, sedangkan
jantung dan paru-paru memerlukan tambahan energi untuk
mengantarkan zat-zat gizi dan oksigen ke seluruh tubuh dan untuk
mengeluarkan sisa-sisa dari tubuh (Supariasa, 2001).
Olahraga dapat menurunkan risiko penyakit jantung koroner
melalui mekanisme penurunan denyut jantung, tekanan darah,
penurunan tonus simpatis, meningkatkan diameter arteri koroner,
sistem kolateralisasi pembuluh darah, meningkatkan HDL (High
Density Lipoprotein) dan menurunkan LDL (Low Density
Lipoprotein) darah. Melalui kegiatan olahraga, jantung dapat bekerja
secara lebih efisien. Frekuensi denyut nadi berkurang, namun
kekuatan jantung semakin kuat, penurunan kebutuhan oksigen jantung
pada intensitas tertentu, penurunan lemak badan dan berat badan serta
menurunkan tekanan darah (Cahyono, 2008).
e. Konsumsi alkohol berlebih
Pengaruh alkohol terhadap kenaikan tekanan darah telah
dibuktikan. Mekanisme peningkatan tekanan darah akibat alkohol
masih belum jelas. Namun, diduga peningkatan kadar kortisol dan
peningkatan volume sel darah merah serta kekentalan darah berperan
dalam menaikkan tekanan darah. Beberapa studi menunjukkan
hubungan langsung antara tekanan darah dan asupan alkohol
dilaporkan menimbulkan efek terhadap tekanan darah baru terlihat
apabila mengkomsumsi alkohol sekitar 2-3 gelas ukuran standar setiap
harinya (Depkes, 2006).
f. Konsumsi garam berlebih
Garam menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh karena
menarik cairan di luar sel agar tidak dikeluarkan, sehingga akan
meningkatkan volume dan tekanan darah. Pada sekitar 60% kasus
hipertensi primer (essensial) terjadi respon penurunan tekanan darah
dengan mengurangi asupan garam 3 gram atau kurang, ditemukan
tekanan darah rata-rata rendah, sedangkan pada masyarakat asupan
garam sekitar 7-8 gram tekanan rata-rata lebih tinggi (Depkes, 2006).
g. Hiperlipidemia
Kelainan metabolisme lipid (lemak) yang ditandai dengan
peningkatan kadar kolestrol total, trigliserida, kolestrol LDL atau
penurunan kadar kolestrol HDL dalam darah. Kolestrol merupakan
faktor penting dalam terjadinya aterosklerosis yang mengakibatkan
peninggian tahanan perifer pembuluh darah sehingga tekanan darah
meningkat.

F. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinik pada hipertensi dibedakan menjadi :
1. Tidak ada gejala
Tidak ada gejala yang spesifik yang dapat dihubungkan dengan
peningkatan tekanan darah, selain penentuan tekanan arteri oleh dokter
yang memeriksa. Hal ini berarti hipertensi arterial tidak akan pernah
terdiagnosa jika tekanan arteri tidak terukur.
2. Gejala yang lazim
Sering dikatakan bahwa gejala terlazim yang menyertai hipertensi
meliputi nyeri kepala dan kelelahan. Dalam kenyataannya ini merupakan
gejala terlazim yang mengenai kebanyakan pasien yang mencari
pertolongan medis. Menurut Rokhaeni ( 2001 ), manifestasi klinis
beberapa pasien yang menderita hipertensi yaitu :
a. Mengeluh sakit kepala, pusing
b. Lemas, kelelahan
c. Sesak nafas
d. Gelisah
e. Mual
f. Muntah
g. Epistaksis
h. Kesadaran menurun

G. Patofisiologi
Mekanisme yang mengontrol kontriksi dan relaksasi pembuluh darah
terletak di pusat vasomotor pada medula di otak. Dari pusat vasomotor ini
bermula jaras saraf simpatis yang berlanjut ke bawah ke korda spinalis dan
keluar dari kolumna medula spinalis ke ganglia simpatis di toraks dan
abdomen. Rangsangan pusat vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls
yang bergerak ke bawah melalui saraf simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik
ini, neuron preganglion melepaskan asetilkolin yang akan merangsang serabut
saraf pascaganglion ke pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya
norpinefrin mengakibatkan kontriksi pembuluh darah (Brunner, 2002).
Berbagai faktor seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi
respon pembuluh darah terhadap rangsangan vasokontriktor. Individu dengan
hipertensi sangat sensitif terhadap norpinefrin, meskipun tidak diketahui
dengan jelas mengapa hal tersebut bisa terjadi (Corwin, 2005). Pada saat
bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah sebagai
respon rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang mengakibatkan
tambahan aktivitas vasokontriksi. Korteks adrenal mengsekresikan kortisol
dan steroid lainnya yang dapat memperkuat respon vasokontriktor pembuluh
darah. Vasokontriksi yang mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal
dapat menyebabkan pelepasan renin. Renin merangsang pembentukkan
angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II, suatu
vasokontriktor kuat, yang pada gilirannya merangsang sekresi aldosteron oleh
korteks adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh
tubulus ginjal sehingga menyebabkan peningkatan volume intravaskuler.
Semua faktor tersebut cenderung mencetuskan keadaan hipertensi (Brunner,
2002).
Perubahaan struktural dan fungsional pada sistem pembuluh darah
perifer bertanggung jawab pada perubahaan tekanan darah yang terjadi pada
lanjut usia. Perubahaan tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya elastisitas
jaringan ikat dan penurunan dalam relaksasi otot polos pembuluh darah yang
menyebabkan penurunan distensi dan daya regang pembuluh darah. Akibat
hal tersebut, aorta dan arteri besar mengalami penurunan kemampuan dalam
mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh jantung (volume
sekuncup) sehingga mengakibatkan penurunan curah jantung dan peningkatan
tahanan perifer (Corwin, 2005).

H. Komplikasi
Menurut Elisabeth J Corwin komplikasi hipertensi terdiri dari stroke,
infark miokard, gagal ginjal, ensefalopati (kerusakan otak) dan pregnancy-
included hypertension (PIH) (Corwin, 2005).
1. Stroke
Stroke adalah gangguan fungsional otak fokal maupun global
akut, lebih dari 24 jam yang berasal dari gangguan aliran darah
otak dan bukan disebabkan oleh gangguan peredaran darah. Stroke
dengan defisit neurologik yang terjadi tiba-tiba dapat disebabkan
oleh iskemia atau perdarahan otak. Stroke iskemik disebabkan oleh
oklusifokal pembuluh darah yang menyebabkan turunnya suplai
oksigen dan glukosa ke bagian otak yang mengalami oklusi
(Hacke, 2003).
Stroke dapat timbul akibat pendarahan tekanan tinggi di otak
atau akibat embolus yang terlepas dari pembuluh otak yang
terpajan tekanan tinggi. Stroke dapat terjadi pada hipertensi kronik
apabila arteri-arteri yang memperdarahi otak mengalami hipertrofi
dan menebal, sehingga aliran darah ke daerah-daerah yang
diperdarahi berkurang. Arteri-arteri otak yang mengalami
arterosklerosis dapat melemah sehingga meningkatkan
kemungkinan terbentuknya anurisma (Corwin, 2005).
2. Infark miokardium
Infark miokard dapat terjadi apabila arteri koroner yang
arterosklerotik tidak dapat mensuplai cukup oksigen ke
miokardium atau apabila terbentuk trombus yang menyumbat
aliran darah melalui pembuluh tersebut. Akibat hipertensi kronik
dan hipertensi ventrikel, maka kebutuhan oksigen miokardium
mungkin tidak dapat dipenuhi dan dapat terjadi iskemia jantung
yang menyebabkan infark. Demikian juga, hipertrofi dapat
menimbulkan perubahaan-perubahan waktu hantaran listrik
melintasi ventrikel sehingga terjadi distritmia, hipoksia jantung dan
peningkatan risiko pembentukan bekuan (Corwin, 2005).
3. Gagal ginjal
Gagal ginjal merupakan suatu keadaan klinis kerusakan ginjal
yang progresif dan irreversible dari berbagai penyebab, salah
satunya pada bagian yang menuju ke kardiovaskular. Mekanisme
terjadinya hipertensi pada gagal ginjal kronik oleh karena
penimbunan garam dan air atau sistem renin angiotensin aldosteron
(RAA). Menurut Arief mansjoer (2001) hipertensi berisiko 4 kali
lebih besar terhadap kejadian gagal ginjal bila dibandingkan
dengan orang yang tidak mengalami hipertensi (Mansjoer, 2001).
4. Ensefalopati (Kerusakan otak)
Ensefalopati (Kerusakan otak) dapat terjadi terutama pada
hipertensi maligna (hipertensi yang meningkat cepat). Tekanan
yang sangat tinggi pada kelainan ini menyebabkan peningkatan
tekanan kapiler dan mendorong ke dalam ruang intersitium
diseluruh susunan saraf pusat. Neuron-neuron disekitarnya kolaps
yang dapat menyebabkan ketulian, kebutaan dan tak jarang juga
koma serta kematian mendadak. Keterikatan antara kerusakan otak
dengan hipertensi, bahwa hipertensi berisiko 4 kali terhadap
kerusakan otak dibandingkan dengan orang yang tidak menderita
hipertensi (Corwin, 2005).

I. Pemeriksaan Diagnostik
a) Hemoglobin / hematokrit Untuk mengkaji hubungan dari sel – sel
terhadap volume cairan ( viskositas ) dan dapat mengindikasikan factor –
factor resiko seperti hiperkoagulabilitas, anemia.
b) Glukosa Hiperglikemi ( diabetes mellitus adalah pencetus hipertensi )
dapat diakibatkan oleh peningkatan katekolamin ( meningkatkan
hipertensi ).
c) Kalium serum Hipokalemia dapat megindikasikan adanya aldosteron
utama ( penyebab ) atau menjadi efek samping terapi diuretik.
d) Kalsium serum Peningkatan kadar kalsium serum dapat menyebabkan
hipertensi.
e) Kolesterol dan trigliserid serum Peningkatan kadar dapat
mengindikasikan pencetus untuk / adanya pembentukan plak
ateromatosa ( efek kardiovaskuler ).
f) Pemeriksaan tiroid Hipertiroidisme dapat menimbulkan vasokonstriksi
dan hipertensi.
g) Kadar aldosteron urin/serum Untuk mengkaji aldosteronisme primer
(penyebab).
h) Urinalisa Darah, protein, glukosa mengisyaratkan disfungsi ginjal dan
atau adanya diabetes.
i) Asam urat Hiperurisemia telah menjadi implikasi faktor resiko hipertensi.
j) Steroid urin Kenaiakn dapat mengindikasikan hiperadrenalisme.
k) Foto dada Menunjukkan obstruksi kalsifikasi pada area katub, perbesaran
jantung.
l) CT scan Untuk mengkaji tumor serebral, ensefalopati.
m) EKG Dapat menunjukkan pembesaran jantung, pola regangan, gangguan
konduksi, peninggian gelombang P adalah salah satu tanda dini penyakit
jantung hipertensi

J. Penatalaksanaan
Berdasarkan Depkes (2006), penatalaksanaan pada hipertensi adalah
sebagai berikut :
a. Pengendalian faktor risiko
Pengendalian faktor risiko penyakit jantung koroner yang dapat saling
berpengaruh terhadap terjadinya hipertensi, hanya terbatas pada faktor risiko
yang dapat diubah, dengan usaha-usaha sebagai berikut :
1) Mengatasi obesitas/ menurunkan kelebihan berat badan
Obesitas bukanlah penyebab hipertensi. Akan tetapi prevalensi
hipertensi pada obesitas jauh lebih besar. Risiko relatif untuk menderita
hipertensi pada orang-orang gemuk 5 kali lebih tinggi dibandingkan
dengan sesorang yang badannya normal. Sedangkan, pada penderita
hipertensi ditemukan sekitar 20-33% memiliki berat badan lebih
(overweight). Dengan demikian, obesitas harus dikendalikan dengan
menurunkan berat badan. Beberapa studi menunjukkan bahwa seseorang
yang mempunyai kelebihan berat badan lebih dari 20% dan hiperkolestrol
mempunyai risiko yang lebih besar terkena hipertensi.
2) Mengurangi asupan garam didalam tubuh
Nasehat pengurangan garam harus memperhatikan kebiasaan
makan penderita. Pengurangan asupan garam secara drastis akan sulit
dirasakan. Batasi sampai dengan kurang dari 5 gram (1 sendok teh) per
hari pada saat memasak.
3) Ciptakan keadaan rileks
Berbagai cara relaksasi seperti meditasi, yoga atau hipnosis dapat
mengontrol sistem saraf yang akan menurunkan tekanan darah.
4) Melakukan olahraga teratur
Berolahraga seperti senam aerobik atau jalan cepat selama 30-45
menit sebanyak 3-4 kali dalam seminggu, diharapkan dapat menambah
kebugaran dan memperbaiki metabolisme tubuh yang akhirnya mengontrol
tekanan darah.
5) Berhenti merokok
Merokok dapat menambah kekakuan pembuluh darah sehingga
dapat memperburuk hipertensi. Zat-zat kimia beracun seperti nikotin dan
karbon monoksida yang dihisap melalui rokok yang masuk ke dalam aliran
darah dapat merusak jaringan endotel pembuluh darah arteri yang
mengakibatkan proses arterosklerosis dan peningkatan tekanan darah.
Merokok juga dapat meningkatkan denyut jantung dan kebutuhan oksigen
untuk disuplai ke otot-otot jantung. Merokok pada penderita tekanan darah
tinggi semakin meningkatkan risiko kerusakan pada pembuluh darah
arteri.
6) Mengurangi komsumsi alkohol
Hindari komsumsi alkohol berlebihan Laki-laki : Tidak lebih dari 2
gelas per hari dan wanita : Tidak lebih dari 1 gelas per hari
b. Terapi Farmakologis
Penatalaksanaan penyakit hipertensi bertujuan untuk mengendalikan
angka kesakitan dan kematian akibat penyakit hipertensi dengan cara
seminimal mungkin menurunkan gangguan terhadap kualitas hidup penderita.
Pengobatan hipertensi dimulai dengan obat tunggal, masa kerja yang panjang
sekali sehari dan dosis dititrasi. Obat berikutnya mungkin dapat ditambahkan
selama beberapa bulan perjalanan terapi. Pemilihan obat atau kombinasi yang
cocok bergantung pada keparahan penyakit dan respon penderita terhadap obat
antihipertensi.
a) Diuretik
Diuretik bekerja meningkatkan ekskresi natrium, air dan klorida
sehingga menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler. Akibatnya
terjadi penurunan curah jantung dan tekanan darah. Selain mekanisme
tersebut, beberapa diuretik juga menurunkan resistensi perifer sehingga
menambah efek hipotensinya. Efek ini diduga akibat penurunan natrium di
ruang interstisial dan di dalam sel otot polos pembuluh darah yang
selanjutnya menghambat influks kalsium. Hal ini terlihat jelas pada
diuretik tertentu seperti golongan tiazid yang menunjukkan efek hipotensif
pada dosis kecil sebelum timbulnya diuresis yang nyata. Pada pemberian
kronik curah jantung akan kembali normal, namun efek hipotensif masih
tetap ada. Efek ini diduga akibat penurunan resistensi perifer (Nafrialdi,
2007).
a) Golongan Tiazid
Terdapat beberapa obat yang termasuk golongan tiazid antara
lain hidroklorotiazid, bendroflumetiazid, klorotiazid dan diuretik lain
yang memiliki gugus aryl-sulfonamida. Obat golongan ini bekerja
dengan menghambat transport bersama (symport) Na-Cl di tubulus
distal ginjal, sehingga ekskresi Na+ dan Cl- meningkat (Nafrialdi,
2007).
b) Diuretik Kuat (Loop Diuretics, Ceiling Diuretics)
Diuretik kuat bekerja di ansa Henle asenden bagian epitel tebal
dengan cara menghambat kotransport Na+, K+, Cl-, menghambat
resorpsi air dan elektrolit. Mula kerjanya lebih cepat dan efek
diuretiknya lebih kuat daripada golongan tiazid. Oleh karena itu
diuretik ini jarang digunakan sebagai antihipertensi, kecuali pada
pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau gagal jantung (Nafrialdi,
2007).
c) Diuretik Hemat Kalium
Amilorid, triamteren dan spironolakton merupakan diuretik
lemah. Penggunaannya terutama dalam kombinasi dengan diuretik lain
untuk mencegah hipokalemia (Nafrialdi, 2007).
2) Penghambat Adrenergik
a) Penghambat Adrenoreseptor Beta (β-Bloker)
Beta bloker memblok beta-adrenoreseptor. Reseptor ini
diklasifikasikan menjadi reseptor beta-1 dan beta-2. Reseptor beta-1
terutama terdapat pada jantung sedangkan reseptor beta-2 banyak
ditemukan di paru-paru, pembuluh darah perifer dan otot lurik.
Reseptor beta-2 juga dapat ditemukan di jantung, sedangkan reseptor
beta-1 dapat dijumpai pada ginjal. Reseptor beta juga dapat ditemukan
di otak (Nafrialdi, 2007).
b) Penghambat Adrenoresptor Alfa (α-Bloker)
Hanya alfa-bloker yang selektif menghambat reseptor alfa-1 (α
1) yang digunakan sebagai antihipertensi. Alfa-bloker non selektif
kurang efektif sebagai antihipertensi karena hambatan reseptor alfa-2
(α 2) di ujung saraf adrenergik akan meningkatkan penglepasan
norefineprin dan meningkatkan aktivitas simpatis (Nafrialdi, 2007).
3) Vasodilator
Obat ini bekerja langsung pada pembuluh darah dengan relaksasi
otot polos (otot pembuluh darah) yang menurunkan resistensi dan karena
itu mengurangi tekanan darah. Obat-obat ini menyebabkan stimulasi
refleks jantung, menyebabkan gejala berpacu dari kontraksi miokard yang
meningkat, nadi dan komsumsi oksigen. Efek tersebut dapat menimbulkan
angina pectoris, infark miokard atau gagal jantung pada orang-orang yang
mempunyai predisposisi. Vasodilator juga meningkatkan renin plasma,
menyebabkan resistensi natrium dan air. Efek samping yang tidak
diharapkan ini dapat dihambat oleh penggunaan bersama diuretika dan
penyekat-β (Nafrialdi, 2007).
4) Penghambat Angiotensin Converting Enzyme (ACE-Inhibitor)
Angiotensin converting enzym inhibitor (ACE-Inhibitor)
menghambat secara kompetitif pembentukan angiotensin II dari prekusor
angitensin I yang inaktif, yang terdapat pada pembuluh darah, ginjal,
jantung, kelenjar adrenal dan otak. Selain itu, degradasi bradikinin juga
dihambat sehingga kadar bradikinin dalam darah meningkat dan berperan
dalam efek vasodilatasi ACE-Inhibitor. Vasodilatasi secara langsung akan
menurunkan tekanan darah, sedangkan berkurangnya aldosteron akan
menyebabkan ekskresi air dan natrium (Nafrialdi, 2007).
5) Antagonis Reseptor Angiotensin II (Angiotensin Receptor Blocker, ARB)
Reseptor Angiotensin II terdiri dari dua kelompok besar yaitu AT1
(Angiotensin I) dan AT2 (Angiotensin II). Reseptor AT1 terdapat terutama
di otot polos pembuluh darah dan otot jantung. Selain itu terdapat juga di
ginjal, otak dan kelenjar adrenal. Reseptor AT1 memperantarai semua efek
fisiologis ATII terutama yang berperan dalam homeostatis kardiovaskular.
Reseptor AT2 terdapat di medula adrenal dan mungkin juga di SSP,
hingga saat ini fungsinya belum jelas (Nafrialdi, 2007).
6) Antagonis Kalsium (Calcium Channel Blocker (CCB)
Antagonis kalsium bekerja dengan menghambat influks ion
kalsium ke dalam sel miokard, sel-sel dalam sistem konduksi jantung dan
sel-sel otot polos pembuluh darah. Efek ini akan menurunkan kontraktilitas
jantung, menekan pembentukan dan propagasi impuls elektrik dalam
jantung dan memacu aktivitas vasodilatasi, interferensi dengan kontriksi
otot polos pembuluh darah. Semua hal di atas adalah proses yang
bergantung pada ion kalsium (Nafrialdi, 2007).
7) Penghambat Simpatis
Golongan obat ini bekerja dengan menghambat aktifitas saraf
simpatis (saraf yang bekerja saat kita beraktivitas). Contoh obat yang
termasuk dalam golongan penghambat simpatetik adalah metildopa,
klonidin dan reserpin. Efek samping yang dijumpai adalah anemia
hemolitik (kekurangan sel darah merah karena pecahnya sel darah merah),
gangguan fungsi hati dan terkadang menyebabkan penyakit hati kronis.
Obat ini jarang digunakan (Depkes, 2006).
DAFTAR PUSTAKA

Corwin E. 2005. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.


Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2006. Profil Kesehatan 2005. Jakarta.
Depkes, 2010. Hipertensi penyebab kematian nomor tiga. (Online).
http://depkes.go.id/index.php/berita/press-release/810-hipertansi-penyebabkematian-
nomor-tiga.html, diakses tanggal 28 November 2017.
Gray, et al., 2005, Hipertensi. Lecturer Notes Kardiologi, Edisi ke-4, Jakarta:
Erlangga
Kemenkes, RI. 2014. INFODATIN. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan
RI. HIPERTENSI. Jakarta.
Kementrian Kesehatan RI. 2010. (diakses pada tanggal 26 November 2017). Marrelli.
2008. Buku Saku Dokumentasi Keperawatan Ed. III. Jakarta: EGC.
Nafrialdi. 2009. Antihipertensi. Sulistia Gan Gunawan (ed). Farmakologi dan Terapi
Edisi Balai Penerbit FKUI. Jakarta.

Prasetyaningrum Y.I. 2014. Hipertensi bukan untuk Ditakuti. Jakarta: Fmedia.


Sheps, S. G. (2005). Mayo clinic hipertensi; mengatasi tekanan darah tinggi.
Jakarta:Intisari Mediatama.
Supariasa, dkk. 2001. Penilaian Status Gizi. Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
WHO. 2015. Q&As on Hypertension. (diakses pada 26 November 2017)

You might also like