You are on page 1of 9

TUGAS TUTORIAL

BLOK 18

KELOMPOK TUTORIAL 1

A.A.A. Lie Lhianna M.P (H1a013001)

Aditya Agung Pratama (H1a013002)

Ahia Zakira Rosmala (H1a013001)

Dimas Adi Soewignyo (H1a013018)

Lalu Muhammad Kamal Abdurrosid (H1a013034)

Mimin Kurniati (H1a013039)

Ratu Missa Qurani (H1a013054)

Silmina Alifiya (H1a013059)

Baiq Zulhaeni A.L (H1a012012)

Yaumil Agisna Sari (H1a012063)

Lalu Sayidiman Huzaif (H1a011039)

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MATARAM
TUGAS

1. Mekanisme terjadinya gatal saat malam hari pada Dermatitis Atopik


2. Mekanisme terjadinya gatal saat berkeringat pada Dermatitis Atopik
3. Tata Laksana Dermatitis Atopi
4. Tata Laksana Skabies

1. MEKANISME TERJADINYA GATAL SAAT MALAM HARI PADA


DERMATITIS ATOPIK
Gatal nokturnal merupakan keluhan yang sering dialami pasien, baik pada
penyakit kulit ataupun penyakit sistemik. Beberapa penyakit inflamasi kulit yang
sering menyebabkan gatal nocturnal antara lain psoriasis, dermatitis atopic dan
urtikaria idiopatik kronik. Selain itu, penyakit kulit kutaneus seperti lichen simplex
chronic dan scabies juga dapat menyebabkan keluhan ini. Gatal nokturnal pada
penyakit sistemik umumnya terjadi pada penyakit gagal ginjal kronis dan gangguan
hematopoietik. Keluhan gatal nocturnal ini akan menyebabkan banyak gangguan,
salah satunya adalah gangguan tidur yang selanjutnya dapat menurunkan kualitas
aktivitas. Gatal nocturnal ini juga dihubungkan dengan kejadian depresi, agitasi,
perubahan perilaku makan dan sulit berkonsentrasi.
Mekanisme yang mendasari terjadinya gatal nocturnal sebenarnya belum
diketahui secara jelas. Namun terdapat beberapa teori yang diduga menjadi penyebab
dari keluhan tersebut. Salah satu teori tersebut adalah adanya hubungan antara gatal
nocturnal dengan irama sirkadian yang berhubungan dengan temperature kulit dan
trans-epidermal water loss (TEWL). Berdasarkan irama sirkadian, akan terjadi
perubahan pada TEWL, dimana pada malam hari TEWL akan meningkat secara
signifikan dan menurun pada pagi hari. Peningkatan TEWL ini diduga dapat
mempengaruhi fungsi pertahanan dari lapisan epidermal kulit, dimana pertahanan
epidermis tidak akan berfungsi secara optimal. Hal ini akan memungkinkan
masuknya agen-agen iritan dan penyebab gatal ke dalam epidermis kulit yang
kemudian akan mencetuskan rasa gatal nocturnal. Selain itu, TEWL juga
dihubungkan dengan peningkatan intensitas gatal (pasien dengan dermatitis atopik)
dan kerusakan pada stratum korneum sebagai respon terhadap aseton dan air pada
percobaan murine.

Sumber: Patel, T., Shiuji, Y dan Yosipovitch, G., 2007. Nocturnal Itch: Why Do We Itch
At Night?. [pdf]. available at:
<http://www.medicaljournals.se/acta/content/?doi=10.2340/00015555-0280&html=1>

2. MEKANISME TERJADINYA GATAL SAAT BERKERINGAT PADA


DERMATITIS ATOPIK

Umumnya rasa gatal diawali oleh berbagai macam stimulus, seperti suhu dan
stimulus emosional. Hal tersebut adalah tanda yang khas dan merupakan faktor penyebab
paling banyak terjadinya gatal pada dermatitis atopik. Mekanisme keringat yang
menginduksi terjadinya pruritus (gatal) masih harus diekplorasi, tetapi terdapat bukti
bahwa asetilkolin berperan pada gatal yang timbul saat berkeringat. Asetilkolin yang
menginduksi kelenjar keringat ekrin, ditemukan meningkat kadarnya pada kulit pasien
dermatitis atopik, dan akhirnya menimbulkan rasa gatal.

Sumber :

Reitamo, S., Thomas, A.L., Martin, S. 2008. Textbook Of Atopic Dermatitis. Page 123.
Available at:
https://books.google.co.id/books?id=9b3LBQAAQBAJ&printsec=frontcover#v=onepage
&q&f=false

Terdapat sumber lain dari Rudikoff, et al yang menyebutkan keterkaitan antara


asetilkolin dengan keluhan gatal pada dermatitis atopic. Sebelumnya telah disebutkan
bahwa terjadi peningkatan jumlah asetilkolin pada penderita dermatitis atopic. Asetilkolin
merupakan neurotransmitter utama yang mengaktifkan kelenjar keringat melalui reseptor
muskarinik. Menariknya, pruritus (gatal) bagian dari pasien dermatitis atopik, berkaitan
dengan keringat, sebuah respon dibawah kontrol otonom. Keratinosit mengekspresikan
reseptor muskarinik yang akan mensintesis, menyimpan, dan mendegradasi asetilkolin.

Sumber :

Rudikoff, D., Cohen, S.R., & Scheinfeld, N. 2014. Atopic Dermatitis and Eczematous
Disorders. Page 99. Available at:
https://books.google.co.id/books?id=rIJcAgAAQBAJ&printsec=frontcover&hl=id#v=on
epage&q&f=false

3. TATA LAKSANA DERMATITIS ATOPIK

Kongres Konsensus Internasional Dermatitis Atopik ke II di New Orleans, 2002,


telah menyepakati pedoman terbaru terapi DA, dengan memperhatikan :

1. Efektifitas obat sistemik yang aman, untuk mengurangi rasa gatal, reaksi alergik dan
inflamasi. Sebagai terapi sistemik diberikan antihistamin (generasi sedative atau non-
sedatif sesuai kebutuhan) dan kortikosteroid. Pemberian kortikosteroid sistemik bukan
merupakan hal yang rutin, tetapi digunakan terutama pada kasus yang lebih berat/parah
dengan memperhatikan efek samping jangka panjang.
2. Jenis terapi topical, berupa :
- Kortikosteroid (sebagai anti inflamasi, anti pruritus, dan imunosupresif)
- Pelembab; untuk mengatasi gagguan sawar kulit
- Obat penghambat kalsineurin (pimekrolimus atau tacrolimus)
3. Kualitas kehidupan dan tumbuh kembang anak

Pemilihan obat topical pada bayi dan anak, sama dengan dewasa, yakni pelembab,
kortikosteroid, dan obat-obat penghambat kalsineurin (pimekrolimus atau tacrolimus).

a. Pelembab

Fungsinya untuk memulikan disfungsi sawar kulit. Beberapa jenis pelembab: 1)


humektan (gliserin dan propilen glikol), 2) natural moisturizing factor (urea 10% dalam
euserin hidrosa), 3) emolien (lanolin 10%, petrolatum, minyak tumbuhan dan sintetis), 4)
protein rejuvenators (asam amino), 5) bahan lipofilik (asam lemak esensiel, fosfolipid,
dan seramid).

Pelembab digunakan teratur sebanyak 2 kali sehari, setelah mandi, walaupun tidak ada
gejala DA.

b. Kortikosteroid topikal

Untuk bayi dan anak dianjurkan pemilihan kortikosteroid golongan VII-IV. Pada DA fase
bayi/anak yang ringan dapat dimulai dengan kortikosteroid golongan VII, misalnya
hidrokortison krim 1-2 ½ %, metilprednisolon atau flumetason. Pada DA sedang, dapat
digunakan kortikosteroid golongan VI (desonid, triamsinolon asetonoid, prednikarbat,
hidrokortison butirat, flusinolon asetonoid). Bila kondisi DA lebih parah, dapat
digunakan kortikosteroid golongan V (flutikason, betametason 17 valerat atau golongan
IV, yaitu mometason furoat (MF), atau aklometason). Walaupun MF tergolong
kortikosteroid potensi sedang, namun hasil penelitian klinis membuktikan bahwa MF
tidak mengakibatkan efek atrofogenik atau hanya minimal. Dalam keadaan tertentu,
kortikosteroid topical potensi kuat dapat digunakan secara singkat (1-2minggu). Bila DA
sudah teratasi segera diganti dengan potensi sedang atau lemah.
Efek samping kortikosteroid sistemik pada anak terutama supresi aksis hipotalamus-
pituitri-korteks adrenal (HPA) dan atrofi kulit.

c. Obat penghambat kalsineurin (pimekrolimus dan tacrolimus)

Kortikosteroid topical merupakan obat pilihan utama DA, namun terdapat efek samping
yang timbul jika digunakan untuk jangka panjang. Sesuai dengan konsep terapi ICCAD
II, pelembab diberikan walaupun tanpa gejala DA. Untuk mengatasi pruritus dan
inflamasi diberikan antihistamin sistemik, kortikosteroid topical dan inhibitor kalsineurin,
diantaranya pimekrolimus dan tacrolimus.

Tacrolimus adalah golongan penghambat kalsineurin yang bekerja pada sel T, sel
langerhansm sel mast, dan sel keratinosit. Krim tacrolimus 0,03% dan 0,1% aman
digunakan pada usia 2-15 tahun dalam jangka pendek atau panjang secara bergantian.
Krim tacrolimus tidak menimbulkan efek atrofi kulit, namun efek samping yag pernah
dilaporkan berupa nefrotoksik dan hipertensi.

Pimekrolimus termasuk golongan askomisin makroalaktam, sebagai penghambat sitokin


infkamasi dari sel mast yan teraktivasi. Selain itu, juga mencegah pelepasan mediator
inflamasi. Tacrolimus dan pimekrolimus tidak memiliki efek antiproliferasi dan tidka
mengganggu immunosurveilance. Pengobatan jangka panjang denga pimekrolimus lebih
aman dibandingkan dengan pengobatan konvensional.

Pengobatan sistemik
Terkadang terapi sistemik diperlukan pada DA anak. Antihistamin sistemik ampu
mengurangi rasa gatal sehingga mengurangi frekuensi garukan yang dapar memperburuk
penyakit. Antihistamin yang bersifat sedative, misalnya klorfeniramin maleat,
hidroksisin) lebih efektif mengurangi rasa gatal dibandingkan dengan non-sedatif
(loratadin, ceterizin, terfenadin, feksofenadin). Walaupun demikian, antihistamin
nonsedatif memiliki keunggulan, yakni dapat mencegah migrasi sel inflamasi.
Pemberian seterizin pada bayi atopic selama 18 bulan mampu mencegah bayi dengan DA
bekembang menjadi pengidap asma (allergic march).
Obat imunosupresi pada DA anak
Obat imunosupres sistemik pada DA, merupaka pilihan terakhir. Penggunaan
kortikosteroid jangka panjang umumnya menyebabkan efek ketergantungan dan
penekanan siklus HPA. Penggunaan kortikosteroid sistemik dibatasi pada kasus akut dan
berat, serta diberikan unu jangka waktu singkat.
Pemberian siklosporin A pada DA anak rekalsitrans pernah diteliti. Pengobatan
dengan dosis 5 mg/kg/hari memberika hasil yang baik, namun DA dapat kembali kambuh
bila dosis diturunkan.

Sumber :
Menaldi S.L.S.W., Bramono K., Indriatmi W. 2016. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Ed. ketujuh, cetakan kedua. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Hal 179-181

4. TATA LAKSANA SKABIES

Syarat untuk obat yang ideal adalah :

1. Harus efektif terhadap semua stadium tungau


2. Harus tidak menimbulkan iritasi dan tidak toksis
3. Tidak berbau atau kotor serta tidak merusak atau mewarnai pakaian
4. Mudah diperoleh dan harganya murah

Cara pengobatan ialah seluruh anggota keluarga harus diobati (termasuk penderita
yang hiposensitasi)

Jenis obat topikal :

1. Belerang endap (sulfur presipitatum) dengan kadar 4-20% dalam bentuk salep atau krim.
Preparat ini karena tidak efektif terhadap stadium telur, maka penggunaan dilakukan
selama 3 hari berturut-turut. Kekurangan yang lain ialah berbau dan mengotori pakaian
serta kadang-kadang menimbulkan iritasi. Dapat dipakai pada bayi berumur kurang dari 2
tahun.
2. Emulsi benzil-benzoas (20-25%), efektif terhadap semua stadium, diberikan setiap
malam selama 3 hari. Obat ini sulit diperoleh, sering memberi iritasi, dan kadang-kadang
makin gatal dan panas setelah dipakai.
3. Gama benzena heksa klorida (gemeksan = gammexane) kadarnya 1% dalam krim atau
losio, termasuk obat pilihan karena efektif terhadap semua stadium, mudah digunakan,
dan jarang memberi iritasi. Obat ini tidak dianjurkan pada anak dibawah 6 tahun dan ibu
hamil karena toksik terhadap susunan saraf pusat. Pemberian cukup sekali, kecuali jika
masih ada gejala, diulangi seminggu kemudian.
4. Krotamiton 10% dalam krim atau losio juga merupakan obat pilihan, mempunyai dua
efek sebagai antiskabies dan antigatal. Harus diajuhkan dari mata, mulut, dan uretra.
5. Permetrin dengan kadar 5% dalam krim, efektivitas sama, aplikasi hanya sekali, dan
dibersihkan dengan mandi setelah 8-10 jam. Pegobatan diulangi setelah seminggu. Tidak
dianjurkan pada bayi di bawah umur 2 bulan.

Di luar negeri dianjurkan pemakaian ivermectin (200 µg/kg) per oral, terutama pasien
yang persisten atau resisten terhadap permetrin.

Sumber :
Menaldi S.L.S.W., Bramono K., Indriatmi W. 2016. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Ed. ketujuh, cetakan kedua. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Hal 140.

You might also like