You are on page 1of 33

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi

2.1.1 Anatomi Anorektal

Rektum memiliki 3 buah valvula : superior kiri, medial kanan dan inferior

kiri. 2/3 bagian distal rektum terletak di rongga pelvik dan terfiksir, sedangkan

1/3 bagian proksimal terletak dirongga abdomen dan relatif mobile. Kedua bagian

ini dipisahkan oleh peritoneum reflektum dimana bagian anterior lebih panjang

dibanding bagian posterior.

Saluran anal (anal canal) adalah bagian terakhir dari usus, berfungsi

sebagai pintu masuk ke bagian usus yang lebih proksimal; dus, dikelilingi oleh

spinkter ani (eksternal dan internal ) serta otot-otot yang mengatur pasase isi

rektum ke dunia luar. Spinkter ani eksterna terdiri dari 3 sling : atas, medial dan

depan.

Persarafan motorik spinkter ani interna berasal dari serabut saraf simpatis

(n.hypogastrikus) yang menyebabkan kontraksi usus dan serabut saraf

parasimpatis (n.splanknikus) yang menyebabkan relaksasi usus. Kedua jenis

serabut saraf ini membentuk pleksus rektalis. Sedangkan muskulus levator ani

dipersarafi oleh n.sakralis 3 dan 4. Nervus pudendalis mensarafi spinkter ani

eksterna dan m.puborektalis. Saraf simpatis tidak mempengaruhi otot rektum.

Defekasi sepenuhnya dikontrol oleh n.splanknikus (parasimpatis). Kontinensia

sepenuhnya dipengaruhi oleh n.pudendalis dan n.splanknikus pelvik (saraf

parasimpatis).

3
4

Sistem saraf enterik terutama terdiri atas dua pleksus : (1) satu pleksus

bagian luar yang terletak di antara lapisan otot longitudinal dan sirkular, disebut

pleksus mienterikus atau pleksus auerbach, dan (2) satu pleksus bagian dalam,

disebut pleksus submukosa atau pleksus meissner, yang terletak di dalam

submukosa. Pleksus mienterikus terutama mengatur pergerakan gastrointestinal,

dan pleksus submukosa terutama mengatur sekresi gastrointestinal dan aliran

darah lokal.

Pleksus mienterikus kebanyakan terdiri dari suatu rantai linier dari banyak

neuron yang saling berhubungan yang membentang disepanjang traktus

gastrointestinal. Pleksus mienterikus berperan pada pengaturan aktivitas otot

disepanjang usus karena pleksus ini membentang di sepanjang dinding usus dan

terletak diantara lapisan otot polos longitudinal dan sirkular usus. Bila pleksus ini

dirangsang, efek yang utama adalah : (1) peningkatan kontraksi tonik atau tonus

dinding usus; (2) peningkatan intensitas kontraksi ritmik; (3) sedikit peningkatan

irama kontraksi, dan (4)peningkatan kecepatan konduksi gelombang eksitatorik

disepanjang dinding usus yang menyebabkan pergerakan gelombang peristaltik

usus yang lebih cepat

Defekasi dan kontinensia adalah mekanisme yang saling terkait erat.

Kontinensia adalah kegiatan pengeluaran isi rektum secara terkontrol pada waktu

dan tempat yang diinginkan. Koordinasi pengeluaran isi rektum sangat kompleks,

namun dapat dikelompokkan atas 4 tahapan:


5

1. Tahap I.

Tahap awal ini adalah berupa propulsi isi kolon yang lebih proksimal ke

rektum, seiring dengan frekwensi peristaltik kolon dan sigmoid (2-3 kali/hari)

serta refleks gastrokolik.

2. Tahap II

Tahap ini disebut sampling reflex atau rectal-anal inhibitory reflex, yakni

upaya anorektal mengenali isi rektum dan merelaksasi spinkter ani interna secara

involunter.

3. Tahap III

Tahap ini berupa relaksasi spinkter ani eksternal secara involunter.

Relaksasi yang terjadi bukanlah relaksasi aktif, melainkan relaksasi akibat

kegagalan kontraksi spinkter itu sendiri.

4. Tahap IV.

Tahap terakhir ini berupa peninggian tekanan intra abdominal secara

volunter dengan menggunakan diafragma dan otot dinding perut, hingga defekasi

dapat terjadi.

2.2 Perkembangan dan Struktur Neuromuskular

Lapisan otot saluran cerna terdiri dari muskularis mukosa, lapisan sirkular

dalam, dan lapisan longitudinal luar. Lapisan otot polos berkembang dilapisan

mesenkim yang mengelilingi lumen usus dalam pola kraniokauda pada awal masa

gestasi, dengan lapisan otot sirkular mulai tampak di esofagus dan lambung pada

minggu ke 5 gestasi dan ileum pada pada minggu ke 8. Lapisan otot longitudinal

belum tampak sampai minggu ke-8 dan tampak di ileum pada minggu ke 10.
6

Ketebalan tiap-tiap lapisan otot meningkat selama gestasi dan setelah lahir.

Lapisan dalam otot sirkular terdiri dari suatu lapisan khusus fibroblas dan sel otot

dengan ketebalan tiga sampai delapan sel yang mengandung banyak taut antarsel..

Prekursor neurosit bermigrasi dari neural crest dan tampak diusus janin

pada arah kraniokaudal yang pertama kali terlihat pada gaster pada minggu ke 7

dan mencapai rektum pada minggu ke 12. Gangguan kongenital penyakit

hirshprung terjadi akibat kegagalan pada migrasi neurosit-neurosit ini. Migrasi

dan pematangan unsur saraf enterik juga dikendalikan oleh interaksi antara sel

neural crest dan matriks antarsel. Setelah masuk kedalam usus, neurosit

mengalami perkembangan fenotipik disertai peningkatan kompleksitas jaringan

akson dan dendrit selama gestasi dan setelah lahir. Displasia usus neuronal atau

sindrom pseudoobstruksi neuropati kongenital mungkin merupakan suatu kelainan

neurodiferensiasi.

Sel-sel krista neuralis berasal dari bagian dorsal neural tube yang

kemudian melakukan migrasi keseluruh bagian embrio untuk membentuk

bermacam-macam struktur termasuk sistim saraf perifer, sel-sel pigmen, tulang

kepala dan wajah serta saluran saluran pembuluh darah jantung. Sel-sel yang

membentuk sistim saraf intestinal berasal dari bagian vagal krista neuralis yang

kemudian melakukan migrasi ke saluran pencernaan. Sebagian kecil sel-sel ini

berasal dari sakral krista neuralis untuk ikut membentuk sel-sel saraf dan sel-sel

glial pada kolon. Selama waktu migrasi disepanjang usus, sel-sel krista neuralis

akan melakukan proliferasi untuk mencukupi kebutuhan jumlah sel diseluruh

saluran pencernaan. Sel-sel tersebut kemudian berkelompok membentuk agregasi


7

badan sel. Kelompok-kelompok ini disebut ganglia yang tersusun atas sel-sel

ganglion yang berhubungan dengan sel bodi saraf dan sel-sel glial. Ganglia ini

kemudian membentuk dua lingkaran cincin pada stratum sirkularis otot polos

dinding usus, yang bagian dalam disebut pleksus submukosus Meissnerr dan

bagian luar disebut pleksus mienterikus Auerbach.

Secara embriologis sel-sel neuroenterik bermigrasi dari krista

neuralis menuju saluran gastrointestinal bagian atas dan selanjutnya meneruskan

kearah distal. Pada minggu ke lima kehamilan sel-sel saraf tersebut akan

mencapai esofagus, pada minggu ke tujuh mencapai mid-gut dan akhirnya

mencapai kolon pada minggu ke dua belas. Proses migrasi mula pertama menuju

ke dalam pleksus Auerbachi dan selanjutnya menuju kedalam pleksus submukosa

Meissneri. Apabila terjadi gangguan pada proses migrasi sel-sel kristaneuralis ini

maka akan menyebabkan terjadinya segmen usus yang aganglionik dan terjadilah

penyakit Hirschsprung.

2.3 Penyakit Hirschprung

2.3.1 Definisi

Penyakit hirschprung adalah suatu kelainan kongenital yang ditandai oleh

aganglionis sebagian saluran cerna.

2.3.2 Epidemiologi

Penyakit hirschprung dapat terjadi dalam 1:5000 kelahiran. Risiko

tertinggi terjadinya Penyakit hirschprung biasanya pada pasien yang mempunyai

riwayat keluarga Penyakit hirschprung dan pada pasien penderita Down


8

Syndrome.1,4 Rectosigmoid paling sering terkena sekitar 75% kasus, flexura

lienalis atau colon transversum pada 17% kasus.Anak kembar dan adanya riwayat

keturunan meningkatkan resiko terjadinya penyakit hirschsprung. Laporan

insidensi tersebut bervariasi sebesar 5 sampai 17,6% dengan 130 kali lebih tinggi

pada anak laki dan 360 kali lebih tinggi pada anak perempuan. Penyakit

hirschsprung lebih sering terjadi secara diturunkan oleh ibu aganglionosis

dibanding oleh ayah. Sebanyak 12.5% dari kembaran pasien mengalami

aganglionosis total pada colon (sindroma Zuelzer-Wilson). Salah satu laporan

menyebutkan empat keluarga dengan 22 pasangan kembar yang terkena yang

kebanyakan mengalami long segment aganglionosis.

2.3.3 Etiologi

Penyakit Hirschsprung disebabkan karena kegagalan migrasi sel-sel saraf

parasimpatis myentericus dari cephalo ke caudal. Sehingga sel ganglion selalu

tidak ditemukan dimulai dari anus dan panjangnya bervariasi keproksimal.

a) Ketiadaan sel-sel ganglion

Ketiadaan sel-sel ganglion pada lapisan submukosa (Meissner) dan

pleksus myenteric (Auerbach) pada usus bagian distal merupakan tanda patologis

untuk Hirschsprung’s disease. Okamoto dan Ueda mempostulasikan bahwa hal ini

disebabkan oleh karena kegagalan migrasi dari sel-sel neural crest vagal servikal

dari esofagus ke anus pada minggu ke 5 smpai 12 kehamilan. Teori terbaru

mengajukan bahwa neuroblasts mungkin bisa ada namun gagal unutk berkembang

menjadi ganglia dewasa yang berfungsi atau bahwa mereka mengalami hambatan

sewaktu bermigrasi atau mengalami kerusakan karena elemen-elemen didalam


9

lingkungn mikro dalam dinding usus. Faktor-faktor yang dapat mengganggu

migrasi, proliferasi, differensiasi, dan kolonisasi dari sel-sel ini mingkin terletak

pada genetik, immunologis, vascular, atau mekanisme lainnya.

b) Mutasi pada RET Proto-oncogene

Mutasi pada RET proto-oncogene,yang berlokasi pada kromosom

10q11.2, telah ditemukan dalam kaitannya dengan Hirschsprung’s disease segmen

panjang dan familial. Mutasi RET dapat menyebabkan hilangnya sinyal pada

tingkat molekular yang diperlukan dalam pertubuhan sel dan diferensiasi ganglia

enterik. Gen lainnya yang rentan untuk Hirschsprung’s disease adalah endothelin-

B receptor gene (EDNRB) yang berlokasi pada kromososm 13q22. sinyal darigen

ini diperlukan untuk perkembangan dan pematangan sel-sel neural crest yang

mempersarafi colon. Mutasi pada gen ini paling sering ditemukan pada penyakit

non-familial dan short-segment. Endothelian-3 gene baru-baru ini telah diajukan

sebagai gen yang rentan juga. Defek dari mutasi genetik ini adalah mengganggu

atau menghambat pensinyalan yang penting untuk perklembangan normal dari

sistem saraf enterik. Mutasi pada protooncogene RET adalah diwariskan dengan

pola dominan autosom dengan 50- 70% penetrasi dan ditemukan dalam sekitar

50% kasus familial dan pada hanya 15-20% kasus spordis. Mutasi pada gen

EDNRB diwariskan dengan pola pseudodominan dan ditemukan hanya pada 5%

dari kasus, biasanya yang sporadis.

c) Kelainan dalam lingkungan

Kelainan dalam lingkungan mikro pada dinding usus dapat mencegah

migrasi sel-sel neural crest normal ataupun diferensiasinya. Suatu peningkatan


10

bermakna dari antigen major histocompatibility complex (MHC) kelas 2 telah

terbukti terdapat pada segmen aganglionik dari usus pasien dengan

Hirschsprung’s disease, namun tidak ditemukan pada usus dengan ganglionik

normal pada kontrol, mengajukan suatu mekanisme autoimun pada perkembangan

penyakit ini.

d) Matriks Protein Ekstraseluler

Matriks protein ekstraseluler adalah hal penting dalam perlekatan sel dan

pergerkan dalam perkembangan tahap awal. Kadar glycoproteins laminin dan

kolagen tipe IV yang tinggi alam matriks telah ditemukan dalam segmen usus

aganglionik. Perubahan dalam lingkungan mikro ini didalam usus dapat mencegah

migrasi sel-sel normal neural crest dan memiliki peranan dalam etiologi dari

Hirschsprung’s disease.

Penyakit hirschprung yang didapat dapat terjadi pada semua usia dan bisa

disebabkan oleh : (1) Penyakit chagas (Tripanosoma secara langsung menginvasi

dinding usus dan merusak pleksus enterik); (2) Obstruksi organik usus oleh

neoplasma atau striktur inflamasi; (2) megakolon toksik yang merupakan

komplikasi dari kolitis ulerativa atau penyakit Crohn; dan (4) Gangguan

psikosomatik fungsional. Bentuk-bentuk megakolon tersebut ( kecuali penyakit

Chagas) tidak berhubungan dengan defisiensi patogen mural.

2.3.4 Patogenesis

Penyakit Hirschprung adalah suatu kelainan kongenital yang ditandai oleh

aganglionosis sebagian saluran cerna. Pleksus neuron usus berasal dari neural

crest yang bermigrasi ke dinding usus selama masa perkembangan, terutama dari
11

arah sefalik ke kaudal. Megakolon kongenital atau penyakit hirshprung terjadi jika

migrasi sel-sel neural crest terhenti disuatu titik sebelum mencapai anus atau jika

sel ganglion mengalami kematian dini. Hal ini menyebabkan terbentuknya sebuah

segmen usus yang tidak memiliki pleksus mienterikus Auerbach dan submukosa

meissner. Usus bagian distal yang tidak memiliki persarafan panjangnya

bervariasi, bergantung pada keparahan hambatan migrasi. Hilangnya koordinasi

saraf usus menyebabkan obstruksi fungsional dan dilatasi usus proksimal segmen

usus yang terkena. Segmen usus yang mengalami dilatasi mungkin memiliki

ganglion yang normal. Bagian yang mengalami kontraksi biasanya tidak memiliki

atau memiliki sedikit ganglion.

2.3.5 Morfologi

Penyakit hirschprung ditandai oleh tidak adanya sel ganglion didinding

otot dan submukosa segmen yang terkena. Kelainan ini sering mengenai daerah

rektum, dan pada variasi tertentu juga mengenai kolon bagian proksimal.

Sebagian besar kasus hanya mengenai rektum dan sigmoid (penyakit segmen-

pendek), dan seperlima kasus mengenai segmen yang lebih panjang, tetapi sangat

jarang mengenai seluruh kolon (penyakit segmen panjang).

Tidak adanya sel-sel ganglion mural kadang-kadang disertai oleh

penebalan dan hipertrofi serabut saraf tidak bermielin, yang merupakan

percabangan dari serabut preganglion lumbosakral. Proksimal dari segmen

aganglion, mulai dari kolon descenden, kolon mengalami dilatasi dan hipertrofi

yang progresif. Seiring dengan waktu, kolon proksimal yang masih memiliki
12

persarafan dapat mengalami dilatasi masif, kadang-kadang hingga berdiameter 10

hingga 20 cm (megakolon).

Jika distensi lebih dominan daripada hipertrofi, dinding kolon menjadi

sangat tipis dan mudah pecah, biasanya terjadi di dekat rektum. Mungkin terjadi

peradangan mukosa atau tukak dangkal yang disebut tukak sterkoral. Diagnoosa

pasti penyakit hirschprung dapat ditegakkan secara histologis dengan nihilnya sel

ganglion pada sampel submukosa usus yang diwarnai untuk asetilkolinesterase.

2.3.6 Tipe penyakit hirschprung

Hirschsprung dikategorikan berdasarkan seberapa banyak colon yang

terkena. Tipe Hirschsprung disease meliputi:

a. Ultra short segment

Ganglion tidak ada pada bagian yang sangat kecil dari rectum.

b. Short segment

Ganglion tidak ada pada rectum dan sebagian kecil dari colon.

c. Long segment

Ganglion tidak ada pada rectum dan sebagian besar colon.

d. Very long segment

Ganglion tidak ada pada seluruh colon dan rectum dan kadang sebagian

usus kecil.
13

Gambar 2.1. Tipe Hirschsprung Disease berdasarkan seberapa banyak colon


yang terkena
2.3.7 Diagnosis

1) Gambaran klinis

Penyakit Hirschsprung dapat kita bedakan berdasarkan usia gejala klinis

mulai terlihat:

a. Periode Neonatal.

Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran

mekonium yang terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen.

Pengeluaran meconium yang terlambat (lebih dari 24 jam pertama)

merupakan tanda klinis yang signifikan. Muntah hijau dan distensi

abdomen biasanya dapat berkurang manakala mekonium dapat

dikeluarkan segera. Sedangkan enterokolitis merupakan ancaman

komplikasi yang serius bagi penderita penyakit Hirschsprung ini, yang

dapat menyerang pada usia kapan saja, namun paling tinggi saat usia 2-4

minggu, meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1 minggu. Gejalanya

berupa diare, distensi abdomen, feces berbau busuk dan disertai demam.

Swenson mencatat hampir 1/3 kasus Hirschsprung datang dengan


14

manifestasi klinis enterokolitis, bahkan dapat pula terjadi meski telah

dilakukan kolostomi.

b. Periode anak

Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah

konstipasi kronis dan gizi buruk (failure to thrive). Dapat pula terlihat

gerakan peristaltik usus di dinding abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan

colok dubur, maka feces biasanya keluar menyemprot, konsistensi semi-

liquid dan berbau tidak sedap. Penderita biasanya buang air besar tidak

teratur, sekali dalam beberapa hari dan biasanya sulit untuk defekasi.

Gambar 2.2 Gambaran klinis pasien dengan Hirschsprung


Disease

2) Pemeriksaan Radiologi

a. Foto polos abdomen (BNO)

Neonatus cenderung menampilkan gambaran obstruksi usus letak rendah.

Daerah pelvis terlihat kosong tanpa udara. Gambaran obstruksi usus letak rendah
15

dapat ditemukan penyakit lain dengan sindrom obstruksi usus letak rendah, seperti

atresia ileum, sindrom sumbatan mekonium, atau sepsis, termasuk diantaranya

enterokolitis nekrotikans neonatal. Foto polos abdomen dapat menyingkirkan

diagnosis lain seperti peritonitis intrauterine ataupun perforasi gaster. Pada foto

polos abdomen neonatus, distensi usus halus dan distensi usus besar tidak selalu

mudah dibedakan. Pada pasien bayi dan anak gambaran distensi kolon dan

gambaran masa feses lebih jelas dapat terlihat. Selain itu, gambaran foto polos

juga menunjukan distensi usus karena adanya gas. Enterokolitis pada penyakit

hirschprung dapat didiagnosis dengan foto polos abdomen yang ditandai dengan

adanya kontur irregular dari kolon yang berdilatasi yang disebabkan oleh oedem,

spasme, ulserase dari dinding intestinal. Perubahan tersebut dapat terlihat jelas

dengan barium enema.

Sulit untuk membedakan antara distensi kolon dengan distensi pada usus

kecil jika hanya melalui foto polos abdomen. Oleh karena itu, harus dilakukan

pemeriksaan radiologi lanjutan untuk mendiagnosa penyakit ini. Pemeriksaan

dengan barium enema adalah pemeriksaan yang terbaik untuk melihat obstruksi

yang disebabkan oleh penyakit Hirschsprung ini.


16

Gambar 2.3 Foto polos abdomen pada noenatus dengan penyakit


hirschprung
b. Pemeriksaan barium enema

Pemeriksaan barium enema pada HD sangat tergantung pada teknik

pemeriksaan, yaitu: 1). kateter lunak dimasukkan lewat anus kedalam rectum

sampai ujung kateter terletak persis di atas sfingter anal (tidak lebih 2,5 cm).

Kateter tidak perlu dioles dengan pelicin, balon kateter tidak usah dipasang dan

kateter difiksasi dengan cara kedua pantat saling dirapatkan atau kateter diplester

pada paha atau bokong. Ukuran kateter no.8 untuk neonatus dan no.10 untuk anak

lebih 1 tahun. 2). Bahan kontras yang digunakan larutan barium enema dengan

pengenceran 30% dengan cairan NaCl fisiologis. Kontras dimasukkan melalui

kateter dengan menggunakan spuit 5-10 ml. 3). Pada posisi pronasi kontras

barium dimasukkan dengan kontrol fluoroskopi, kemudian posisi pasien dirubah

menjadi lateral atau oblique. Bila rectosigmoid terisi kontras dan zona transitional

telah terlihat, maka larutan barium tidak dimasukkan lagi. Kateter dilepas dan

dibuat foto ulang (foto pasca evaluasi). Pasca evaluasi rectosigmoid kembali

kebentuk semula tak terpengaruh tekanan larutan barium yang dimasukkan. Hati-

hati memasukkan larutan barium karena pengisian yang terlalu banyak dan
17

tekanan yang terlalu kuat akan menyebabkan segmen distal colon teregang dan

menghilangkan zona transitional yang seharusnya diperlihatkan pada foto.

Terdapat beberapa tanda atau gambaran yang khas pada kasus HD pada

pemeriksaan barium enema yang penting, yaitu: 1). zona transitional (sering pada

rectosigmoid), biasanya ditemukan pada periode pertama kehidupan. Gambaran

ini paling jelas pada posisi lateral. Terdapat 3 jenis gambaran zona transitional

yang dijumpai pada foto barium enema (abrupt: perubahan mendadak; cone:

bentuk seperti corong atau kerucut; funnel: seperti cerobong). 2). adanya segmen

aganglionik dengan kontraksi yang tampak irreguler 3). penebalan dan nodularitas

bagian mukosa pada colon bagian proksimal zona transitional. 4) perlambatan

evakuasi barium. Campuran antara fecal material dengan bahan kontras (mottled

sign) 5). perbandingan kaliber rectosigmoid kurang dari 1 . Dengan cara

mengukur diameter terlebar rectum dan dibandingkan dengan diameter terlebar

colon sigmoid. Batas rectum bagian proksimal setinggi sacral 3. Disebut HD bila

rectosigmoid index kurang dari 1. 5). penyempitan segmen bagian distal seperti

kontraksi muskuler. 6). spasme daerah yang aganglionik. 7). gambaran mukosa

coble stone, bergerigi dan ireguler

Pemeriksaan yang merupakan standar dalam menegakkan diagnosa

Hirschsprung adalah barium enema. Apabila dari foto barium enema tidak terlihat

tanda-tanda khas penyakit Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto

retensi barium, yakni foto setelah 24-48 jam barium dibiarkan membaur dengan

feces. Gambaran khasnya adalah terlihatnya barium yang membaur dengan feces

kearah proksimal kolon. Sedangkan pada penderita yang bukan Hirschsprung


18

namun disertai dengan obstipasi kronis, maka barium terlihat menggumpal di

daereah rectum dan sigmoid.

Gambar 2.4 Pemeriksaan barium enema menunjukkan zona transisi.


Zona ini merupakan transisi dari dilatasi usus yang biasanya diinervasi
normal.

Diagnosis radiologi sangat sulit untuk tipe aganglionik yang long segmen,

sering seluruh colon. Tidak ada zona transisi pada sebagian besar kasus dan kolon

mungkin terlihat normal/dari semula pendek/mungkin mikrokolon. Yang paling

mungkin berkembang dari hari hingga minggu. Pada neonatus dengan gejala ileus

obstruksi yang tidak dapat dijelaska. Biopsi rectal sebaiknya dilakukan. Penyakit

hirschsprung harus dipikirkan pada semua neonatus dengan berbagai bentuk

perforasi spontan dari usus besar/kecil atau semua anak kecil dengan appendicitis

selama 1 tahun.
19

Pada orang dewasa yang menderita penyakit ini, biasanya lesi hanya terbatas pada

bagian sigmoid kolon atau rektum. Pemeriksaan yang dilakukan pada penderita

dewasa itu hampir sama seperti dengan pemeriksaan yang dilakukan ke atas bayi,

iaitu dengan pemeriksaan barium enema. Dalam suatu studi, didapatkan

pemeriksaan dengan CT scan juga bermanfaat untuk menentukan letak zona

transisi dari penyakit ini. Hasil gambaran CT scan yang didapatkan juga sesuai

dengan hasil pemeriksaan histopatologis pada biopsi rektum.

Gambar 2.5 Gambaran penyakit Hirschsprung dengan segmen aganglionik


di bagian atas rektum pada seorang pria muda berusia 19 tahun. AC = ascending
colon, DC = descending colon. Segmen kolon yang lain dalam batas normal.

c. Foto retensi barium

Retensi barium 24-48 jam setelah pengambilan foto barium enema

merupakan hal yang penting pada penyakit hirscprung, khusunya pada masa

neonatus. Foto retensi barium dilakukan dengan cara melakukan pemeriksaan foto

polos abdomen untuk melihat retensi barium. Gambaran yang terlihat yaitu
20

barium membaur dengan feses ke arah proksimal di dalam kolon berganglion

normal. Retensi barium dengan obtipasi kronik yang bukan disebabkan penyakit

hirschprung terlihat semakin ke distal, menggumpal di daerah rektum dan

sigmoid. Foto retensi barium dilakukan apabila pada foto enema barium ataupun

yang dibuat pasca-evakuasi barium tidak terlihat tanda penyakit hirschprung.

Apabila terdapat jumlah retensi barium yang cukup signifikan di kolon, hal ini

juga meningkatkan kecurigaan penyakit hirschprung walaupun zona transisi tidak

terlihat.

Gambar 2.6 Foto retensi barium 24 jam menunjukan rettensi barium


dengan zona transisi pada fleksura splenik pada bayi berumur 10 hari.

3) Pemeriksaan Anorectal Manometry

Pada individu normal, distensi pada ampula rectum menyebabkan

relaksasi sfingter internal anal. Efek ini dipicu oleh saraf intrinsik pada jaringan

rectal, absensi/kelainan pada saraf internal ini ditemukan pada pasien yang

terdiagnosis penyakit Hirschsprung. Proses relaksasi ini bisa diduplikasi ke dalam

laboratorium motilitas dengan menggunakan metode yang disebut anorectal


21

manometry. Selama anorektal manometri, balon fleksibel didekatkan pada sfingter

anal. Normalnya pada saat balon dari posisi kembang didekatkan pada sfingter

anal, tekanan dari balon akan menyebabkan sfingter anal relaksasi, mirip seperti

distensi pada ampula rectum manusia. Namun pada pasien dengan penyakit

Hirschsprung sfingter anal tidak bereaksi terhadap tekanan pada balon. Pada bayi

baru lahir, keakuratan anorektal manometri dapat mencapai 100%.

Beberapa hasil manometri anorektal yang spesifik bagi penyakit

Hirschsprung adalah : (1) Hiperaktivitas pada segmen yang dilatasi; (2) Tidak

didapati kontraksi peristaltik yang terkoordinasi pada segmen usus aganglionik.

Motilitas usus normal digantikan oleh kontraksi yang tidak terkoordinasi dengan

intensitas dan kurun waktu yang berbeda-beda. (3) Refleks inhibisi antara rektum

dan sfingter anal internal tidak berkembang. Tidak dijumpai relaksasi spinkter

interna setelah distensi rektum akibat desakan feses. Tidak dijumpai relaksasi

spontan.

4) Pemeriksaan Biopsy rectal

Merupakan “gold standard” untuk mendiagnosis penyakit hirschprung.

Pada bayi baru lahir metode ini dapat dilakukan dengan morbiditas minimal

karena menggunakan suction khusus untuk biopsy rectum. Untuk pengambilan

sample biasanya diambil 2 cm diatas linea dentate dan juga mengambil sample

yang normal jadi dari yang normal ganglion hingga yang aganglionik. Metode ini

biasanya harus menggunakan anestesi umum karena contoh yang diambil pada

mukosa rectal lebih tebal.


22

Jika biopsi menunjukkan adanya ganglion, penyakit Hirschsprung tidak

terbukti. Jika tidak terdapat sel-sel ganglion pada jaringan contoh, biopsi

fullthickness biopsi diperlukan untuk mengkonfirmasi penyakit Hirschsprung.

Pada biopsi full-thickness lebih banyak jaringan dari lapisan yang lebih dalam

dikeluarkan secara bedah untuk kemudian diperiksa di bawah mikroskop. Tidak

adanya sel-sel ganglion menunjukkan penyakit Hirschsprung.

Gambar 2.7 pewarnaan acetilkolin pada biopsi rektal penyakit hirschprung


menunjukkan ketiadaan sel ganglion
2.3.8 Diagnosis Banding

Kegagalan bayi cukup bulan yang sihat mengeluarkan mekonium pada

waktu 24 jam pertama setelah lahir dapat dicurigai adanya obstruksi pada usus

bayi tersebut. Diagnosis banding untuk obtsruksi usus besar adalah seperti

penyakit Hirschprung sendiri dan beberapa penyakit lain seperti malformasi

anorektal dan Meconium Plug syndrome. Untuk membedakan ketiga jenis

penyakit ini, maka harus dilakukan pemeriksaan radiologi yang tepat. Pada foto
23

polos penderita dengan kelainan Meconium Plug syndrome, tampak distensi

daripada bagian usus kecil dan usus besar yang mengisi seluruh bagian abdomen,

namun tidak terlihat air fluid level. Sementara pada pemeriksaan barium enema,

akan tampak gambaran meconium plug. Pemeriksaan ini dikatakan memiliki efek

terapeutik apabila mekonium keluar dengan sendirinya setelah beberapa waktu

kemudian. Pada sebagian bayi, stimulasi pada bagian rektum dengan

menggunakan termometer rektal, pemeriksaan rectal touché, dan pemberian saline

enema biasanya akan menginduksi keluarnya mekonium terebut. Bagaimanapun,

bayi dengan kelainan organik seperti penyakit Hirschsprung ini juga terkadang

akan mengeluarkan meconium plug dan selanjutnya akan menjadi normal untuk

sementara. Oleh karena ini, harus dilakukan observasi secara terus menerus untuk

bayi yang meskipun telah mengeluarkan meconium plug mereka. Apabila gejala

obstruksi menetap, maka pemeriksaan lebih lanjut harus dilakukan.

Diagnosis banding kelainan ini antara lain mekonium ileus akibat penyakit

fibrokistik, atresia ileum, atresia rekti, malrotasi, duplikasi intestinal dan sindrom

pseudo obstruksi intestinal. Banyak kelainan-kelainan yang menyerupai penyakit

Hirschsprung akan tetapi pada pemeriksaan patologi anatomi ternyata didapatkan

sel-sel ganglion. Kelainan-kelainan tersebut antara lain Intestinal neuronal

dysplasia, hypoganglionosis, Immature ganglia, Absence of argyrophyl plexus,

Internal sphincter achalasia dan kelainan-kelainan otot polos.

a. Neuropati viscera

Berbagai gangguan dapat memengaruhi pleksus submukosa dan

mienterikus usus, hal ini mungkin terbatas disalah satu bagian usus atau meluas
24

sehingga mengenai seluruh saluran cerna. Gejala berkaitan dengan panjang

saluran cerna yang terkena dan letak saluran tersebut.

Sekarang diakui bahwa gangguan motilitas dapat disebabkan oleh penyakit

selain aganglionosis kolon atau rektum. Penyakit- penyakit ini secara kolektif

disebut sebagai penyakit pseudo- hirscghprung dan dapat timbul akibat penyakit

pada lapisan otot polos atau saraf GI.

b. Hipoganglionosis

Hipoganglionosis adalah gangguan kongenital atau didapat dengan jumlah

neuron mienterikus berkurang. Bentuk kongenital diperkirakan terjadi akibat

mekanisme yang mirip dengan proses yang menimbulkan aganglionik, sedangkan

penyakit didapat kemungkinan disebabkan oleh proses toksik atau autoimun yang

menyerang neutrofil. Hasil akhir dari mekanisme rtersebut adalah deplesi neuron.

Penyakit ini dapat mengenai segala usia. Gambaran klinis mungkin tidak terbatas

pada konstipasi.

Hipoganglionis secara primer adalah kelainan pleksus mienterikus, dan

untuk mendiagnosisnya diperlukan biopsi full-thickness. Riwayat alamiah

hipoganglionosis bervariasi sesuai dengan etiologinya.

c. Displasia neuron usus

Displasia neuron usus memiliki insiden <5% dibandingkan dengan

penyakit hirschprung. Penyakit ini dapat berdifat lokal atau diseminata, dan

terdapat dua tipe displasia (1) tipe A, dengan terdapatnya aplasia simpatis,

hiperplasia pleksus mienterikus, dan sering peradangan kolon; (2) tipe B, dengan

pleksus submukosa lebih sering terkena dan tidak terdapat aplasia simpatis.
25

Tipe B sering memberikan gambaran klinis yang tidak dapat dibedakan

dari penyakit hirschprung, namun perjalanan penyakit bersifat jinak dan terapi

konservatif menyebabkan resolusi spontan penyakit. Selain timbul secara

tersendiri, displasia neuron usus tipe B sering timbul bersamaan dengan penyakit

hirschprung dan mungkin merupakan penyebab berlanjutnya gejala setelah

pembedahan. Penyakit ini juga dijumpai pada neoplasia endokrin multiple tipe 2B

yang menyebabkan ganglioneuromatosis khas pada usus.

Penyakit hirshprung pada pasien yang lebih tua dapat dibedakan dari kasus

lain yang menyebabkan distensi abdomen dan konstipasi kronik.

Gambar 2.8 Perbedaan gejala dan tanda pada konstipasi fungsional dan
penyakit Hirschsprung
26

2.3.9 Tatalaksana

1) Preoperatif

a. Diet

Pada periode preoperatif, neonatus dengan penyakit hirschprung terutama

menderita gizi buruk disebabkan buruknya pemberian makanan dan keadaan

kesehatan yang disebabkan oleh obstuksi gastrointestinal. Sebagian besar

memerlukan resulsitasi cairan dan nutrisi parenteral. Meskipun demikian bayi

dengan HD yang didiagnosis melalui suction rectal biopsy danpat diberikan

larutan rehidrasi oral sebanyak 15 mL/ kg tiap 3 jam selama dilatasi rectal

preoperative dan irigasi rektal.

b. Teapi Farmakologi

Terapi farmakologik pada bayi dan anak-anak dengan penyakit

hirschprung dimaksudkan untuk mempersiapkan usus atau untuk terapi

komplikasinya. Untuk mempersiapkan usus adalah dengan dekompresi rectum

dan kolon melalui serangkaian pemeriksaan dan pemasangan irigasi tuba rectal

dalam 24-48 jam sebelum pembedahan. Antibiotik oral dan intravena diberikan

dalam beberapa jam sebelum pembedahan.

2) Operatif

Tindakan operatif tergantung pada jenis segmen yang terkena.

a. Tindakan Bedah Sementara

Tindakan bedah sementara pada penderita penyakit Hirschsprung adalah

berupa kolostomi pada usus yang memiliki ganglion normal paling distal.

Tindakan ini dimaksudkan guna menghilangkan obstruksi usus dan mencegah


27

enterokolitis sebagai salah satu komplikasi yang berbahaya. Manfaat lain dari

kolostomi adalah menurunkan angka kematian pada saat dilakukan tindakan

bedah definitif dan mengecilkan kaliber usus pada penderita penyakit

Hirschsprung yang telah besar sehingga memungkinkan dilakukan anastomosis.

c. Tindakan Bedah Definitif

1. Prosedur Swenson

Orvar swenson dan Bill (1948) adalah yang mula-mula

memperkenalkan operasi tarik terobos (pull-through) sebagai tindakan

bedah definitif pada penyakit Hirschsprung. Pada dasarnya, operasi

yang dilakukan adalah rektosigmoidektomi dengan preservasi spinkter

ani. Dengan meninggalkan 2-3 cm rektum distal dari linea dentata,

sebenarnya adalah meninggalkan daerah aganglionik, sehingga dalam

pengamatan pasca operasi masih sering dijumpai spasme rektum yang

ditinggalkan. Oleh sebab itu Swenson memperbaiki metode operasinya

(tahun 1964) dengan melakukan spinkterektomi posterior, yaitu

dengan hanya menyisakan 2 cm rektum bagian anterior dan 0,5-1 cm

rektum posterior.

2. Prosedur Duhamel

Prosedur ini diperkenalkan Duhamel tahun 1956 untuk

mengatasi kesulitan diseksi pelvik pada prosedur Swenson. Prinsip

dasar prosedur ini adalah menarik kolon proksimal yang ganglionik ke

arah anal melalui bagian posterior rektum yang aganglionik,

menyatukan dinding posterior rektum yang aganglionik dengan


28

dinding anterior kolon proksimal yang ganglionik sehingga

membentuk rongga baru dengan anastomose end to side Prosedur

Duhamel asli memiliki beberapa kelemahan, diantaranya

sering terjadi stenosis, inkontinensia dan pembentukan fekaloma di

dalam puntung rektum yang ditinggalkan apabila terlalu panjang. Oleh

sebab itu dilakukan beberapa modifikasi prosedur Duhamel,

diantaranya :

1.Modifikasi Grob (1959) : Anastomose dengan pemasangan 2 buah

klem melalui sayatan endoanal setinggi 1,5-2,5 cm, untuk mencegah

inkontinensia;

2. Modifikasi Talbert dan Ravitch: Modifikasi berupa pemakaian

stapler untuk melakukan anastomose side to side yang panjang;

3. Modifikasi Ikeda: Ikeda membuat klem khusus untuk melakukan

anastomose, yang terjadi setelah 6-8 hari kemudian;

4. Modifikasi Adang: Pada modifikasi ini, kolon yang ditarik

transanal dibiarkan prolaps sementara. Anastomose dikerjakan

secara tidak langsung, yakni pada hari ke-7-14 pasca bedah dengan

memotong kolon yang prolaps dan pemasangan 2 buah klem; kedua

klem dilepas 5 hari berikutnya. Pemasangan klem disini lebih dititik

beratkan pada fungsi hemostasis.

3. Prosedur Soave

Prosedur ini sebenarnya pertama sekali diperkenalkan Rehbein tahun

1959 untuk tindakan bedah pada malformasi anorektal letak tinggi.


29

Namun oleh Soave tahun 1966 diperkenalkan untuk tindakan bedah

definitif Hirschsprung.

Tujuan utama dari prosedur Soave ini adalah membuang mukosa

rektum yang aganglionik, kemudian menarik terobos kolon proksimal

yang ganglionik masuk kedalam lumen rektum yang telah dikupas

tersebut.

4. Prosedur Rehbein

Prosedur ini tidak lain berupa deep anterior resection, dimana

dilakukan anastomose end to end antara usus aganglionik dengan

rektum pada level otot levator ani (2-3 cm diatas anal verge),

menggunakan jahitan 1 lapis yang dikerjakan intraabdominal

ekstraperitoneal. Pasca operasi, sangat penting melakukan businasi

secara rutin guna mencegah stenosis.

3) Post operatif

Pada awal periode post operatif sesudah PERPT (Primary Endorectal

pull-through), pemberian makanan peroral dimulai sedangkan pada bentuk short

segmen, tipikal, dan long segmen dapat dilakukan kolostomi terlebih dahulu dan

beberapa bulan kemudian baru dilakukan operasi definitif dengan metode Pull

Though Soave, Duhamel maupun Swenson. Apabila keadaan memungkinkan,

dapat dilakukan Pull Though satu tahap tanpa kolostomi sesegera mungkin untuk

memfasilitasi adaptasi usus dan penyembuhan anastomosis. Pemberian makanan

rata-rata dimulai pada hari kedua sesudah operasi dan pemberian nutisi enteral

secara penuh dimulai pada pertengahan hari ke empat pada pasien yang sering
30

muntah pada pemberian makanan. Intolerasi protein dapat terjadi selama periode

ini dan memerlukan perubahan formula. ASI tidak dikurangi atau dihentikan.

2.3.10 Komplikasi

Secara garis besarnya, komplikasi pasca tindakan bedah penyakit

Hirschsprung dapat digolongkan atas kebocoran anastomose, stenosis,

enterokolitis dan gangguan fungsi spinkter. Sedangkan tujuan utama dari setiap

operasi definitif pull-through adalah menyelesaikan secara tuntas

penyakit Hirschsprung, dimana penderita mampu menguasai dengan baik fungsi

spinkter ani dan kontinen. Beberapa hal dicatat sebagai faktor predisposisi

terjadinya penyulit pasca operasi, diantaranya : usia muda saat operasi, kondisi

umum penderita saat operasi, prosedur bedah yang digunakan, keterampilan dan

pengalaman dokter bedah, jenis dan cara pemberian antibiotik serta perawatan

pasaca bedah.

Kebocoran anastomose pasca operasi dapat disebabkan oleh

ketegangan yang berlebihan pada garis anastomose, vaskularisasi yang tidak

adekuat pada kedua tepi sayatan ujung usus, infeksi dan abses sekitar anastomose

serta trauma colok dubur atau businasi pasca operasi yang dikerjakan terlalu dini

dan tidak hati-hati. Menurut pengamatan Swenson sendiri, diperoleh angka

2,5 – 5 %, sedangkan apabila dikerjakan oleh ahli bedah lain dengan prosedur

Swenson diperoleh angka yang lebih tinggi. Kartono mendapatkan angka

kebocoran anastomese hingga 7,7% dengan menggunakan prosedur Swenson,

sedangkan apabila dikerjakan dengan prosedur Duhamel modifikasi hasilnya

sangat baik dengan tak satu kasuspun mengalami kebocoran. Manifestasi klinis
31

yang terjadi akibat kebocoran anastomose ini beragam, mulai dari abses rongga

pelvik, abses intraabdominal, peritonitis, sepsis dan kematian. Apabila dijumpai

tandatanda dini kebocoran, segera dibuat kolostomi di segmen proksimal. Stenosis

yang terjadi pasca operasi tarik terobos dapat disebabkan oleh gangguan

penyembuhan luka di daerah anastomose, serta prosedur bedah yang

dipergunakan. Stenosis sirkuler biasanya disebabkan komplikasi prosedur

Swenson atau Rehbein, stenosis posterior berbentuk oval akibat prosedur

Duhamel sedangkan bila stenosis memanjang biasanya akibat prosedur Soave.

Manifestasi yang terjadi dapat berupa kecipirit, distensi abdomen, enterokolitis

hingga fistula perianal. Tindakan yang dapat dilakukan bervariasi, tergantung

penyebab stenosis, mulai dari businasi hingga spinkterektomi posterior.

Enterokolitis merupakan komplikasi yang paling berbahaya, dan dapat berakibat

kematian. Swenson mencatat angka 16,4% dan kematian akibat enterokolitis

mencapai 1,2%. Kartono mendapatkan angka 14,5% dan 18,5% masing-masing

untuk prosedur Duhamel modifikasi dan Swenson. Sedangkan angka kematiannya

adalah 3,1% untuk prosedur Swenson dan 4,8% untuk prosedur Duhamel

modifikasi. Tindakan yang dapat dilakukan pada penderita dengan tanda-tanda

enterokolitis adalah segera melakukan resusitasi cairan dan elektrolit, pemasangan

pipa rektal untuk dekompresi, melakukan wash out dengan cairan fisiologis 2-3

kali perhari serta pemberian antibiotika yang tepat. Sedangkan untuk koreksi

bedahnya tergantung penyebab / prosedur operasi yang telah dikerjakan. Prosedur

Swenson biasanya disebabkan spinkter ani terlalu ketat sehingga perlu

spinkterektomi posterior. Sedangkan pada prosedur Duhamel modifikasi,


32

penyebab enterokolitis biasanya adalah pemotongan septum yang tidak sempurna

sehingga perlu dilakukan pemotongan ulang yang lebih panjang. Sedangkan

fungsi spinkter ani pasca bedah yang merupakan pokok bahasan utama dari

penelitian ini dapat dikatakan sebagai parameter utama keberhasilan operasi tarik

terobos, disamping komplikasi utama yang disebutkan diatas. Namun hingga saat

ini, belum ada suatu parameter atau skala yang diterima universal untuk menilai

fungsi anorektal ini. Fecal soiling merupakan parameter yang sering dipakai

peneliti terdahulu untuk menilai fungsi anorektal pasca operasi, meskipun secara

teoritis hal tersebut tidaklah sama. Jika memakai prosedur Swenson asli (I), maka

kita melakukan reseksi rektum 2 cm diatas anal verge, yang tentunya tidak sama

struktur anatominya antara neonati dan anak yang sudah agak besar. Pada anak

yang sudah agak besar, pemotongan 2 cm dari anal verge dapat mencederai

spinkter ani interna sehingga inkontinensia dapat terjadi. Oleh sebab itu Swenson

menganjurkan pemotongan rektum pada level yang berbeda: 2 cm di anterior dan

0,5-1 cm di posterior (Swenson II). Disamping itu penyebab lain Fecal soiling

pada prosedur Swenson disebabkan oleh stenosis sirkuler yang terjadi.

Pemotongan rektum yang terlalu tinggi memang dapat menyelamatkan fungsi

spinkter ani, namun menyebabkan obstipasi berulang. Hal ini terlihat pada

prosedur Rehbein dimana reseksi dan anastomose kolorektal dilakukan

intraabdominal, memberikan hasil kontinensia yang sangat memuaskan namun

tinggi angka obstipasi sehingga kurang disukai ahli bedah. Sedangkan prosedur

Duhamel modifikasi merupakan prosedur yang paling logis dalam mengatasi

masalah inkontinensia dan obstipasi. Pemotongan rektum 2 cm dari anal verge


33

pada ½ lingkaran posterior tidak akan mencederai spinkter ani interna, sedangkan

mengatasi sisa kolon aganglionik yang terlalu panjang adalah dengan membelah

septum sepanjang mungkin. Hal ini dapat menerangkan mengapa dengan prosedur

Duhamel modifikasi, diperoleh angka stenosis, Fecal soiling dan obstipasi kronik

yang rendah . Namun Fecal soiling tidaklah sama dengan inkontinensia. Kartono

mengusulkan pembagian inkontinensia atas: Fecal soiling , kontinensia kurang,

inkontinensia dan obstipasi berulang. Kriteria tersebut bersifat subjektif dan

bersifat non skala sehingga sulit dipergunakan dalam menilai keberhasilan operasi

tarik terobos. Sedangkan Hekkinen mengusulkan 7 parameter objektif untuk

menilai fungsi anorektal dengan masing-masing memiliki skor. Dikatakan normal

apabila skor 14, kontinensia baik apabila skor 10– 13, kontinensia sedang jika

skor antara 5–9, sedangkan inkontinensia apabila skor sama dengan atau kecil dari

4.
34

Gambar 2.9 Sistem Skoring Fungsi Anorektal Menurut Hekkinen

2.3.11 Prognosis

Terdapat perbedaan hasil yang didapatkan pada pasien setelah melalui

proses perbaikan penyakit Hirschsprung secara definitif. Beberapa peneliti

melaporkan tingkat kepuasan tinggi, sementara yang lain melaporkan kejadian

yang signifikan dalam konstipasi dan inkontinensia. Prognosis penyakit

hirschprung yang diterapi dengan pembedahan umumnya memuaskan, sebagian

besar penderita berhasil mengeluarkan tinja. Belum ada penelitian prospektif yang

membandingkan antara masing-masing jenis operasi yang dilakukan. Kurang

lebih 1% dari pasien dengan penyakit Hirschsprung membutuhkan kolostomi

permanen untuk memperbaiki inkontinensia. Umumnya, dalam 10 tahun follow

up lebih dari 90% pasien yang mendapat tindakan pembedahan mengalami


35

penyembuhan. Kematian akibat komplikasi dari tindakan pembedahan pada bayi

sekitar 20%.

You might also like