Professional Documents
Culture Documents
A.ASPEK FISIK
Pertumbuhan fisik adalahperubahan –perubahan fisik yang terjadi dan merupakan gejala
primer dalam pertumbuhan remaja. Perubahan-perubahan ini meliputi: perubahan ukuran tubuh,
perubahan proporsi tubuh, munculnya ciri-ciri kelamin utama(primer) dan ciri kelamin
kedua(skunder)
2.pertumbuhan payudara
Pada anaklaki-laki:
1.Pertumbuhan tulang-tulang
Intelegensi pada masa remaja tidak mudah diukur, karena tidak mudah terlihat perubahan
kecepatan perkembangankemampuan tersebut. Perkembangan kognitif menurut Jean Peaget
adalah sebgai berikut:
CIRI POKOK
TAHAP UMUR (tahun)
PERKEMBANGAN
Berdasarkan tindakan langkah
SENSORIMOTOR 0–2
demi langkah
Penggunaan
simbo/bahasa/tanda
PRAOPERASI 2–7
Konsep intuitif
Hipotesis
Abstrak
OPERASI FORMAL 11 ke atas Deduktif dan induktif
Logis dan probabilitas
C.ASPEK SOSIAL
Kehidupan sosial pada masa remaja ditandai oleh hal-hal sebagai berikut:
2.Anak mengalami krisis identitas, sehingga mereka ingin mencari jati diri dan teman akrab
3. Pergaulan remaja diwujudkan dalam bentuk kelompok, baik besar maupun kecil
D. ASPEK EMOSIONAL
Secara tradisional masa remaja dianggap sebagai periode “badai dan tekanan”, suatu masa
dimana ketegangan emosi meningkat akibat dari perubahan fisik dan kelenjar.
a.Usia 12 – 15 tahun
1.Pada usia ini anak cenderung banyak murung dan tidak dapat diterka. Sebagian kemurungan
sebagai akibat perubahan-perubahan biologis dalam hubungannya dengan kematangan seksual
dan sebagian lagi karena kebingungannya dalam menghadapi apakh ia masih sebagai anak-anak
atau sebagiai orang dewasa.
2. Anak mungkin bertingkah laku kasar untuk menutupi kekurangan dalam hal percaya diri
4. Remaja cenderung tidak toleran terhadap orang lain dan membenarkan pendapatnya sendiri
yang disebabkan kurangnya rasa percaya diri.
5. Siswa-siswa di SMP mulai mengamatiorang tua dan guru-guru mereka secara lebih objektif
dan mungkin menjadi marah apabila mereka ditipu dengan gaya guru yang bersikap serba tahu.
E.KARAKTERISTIK PERKEMBANGAN BAHASA
Bahasa remaja adalah bahasa yang telah berkembang. Anakremaja telah banyak belajar dari
lingkungannya dan dengan demikian bahasa remajater bentuk oleh kondisi lingkungan.
1.Munculnya bahasa pergaulan dikalangan mereka sendiri seperti bahas sandi, bahas prokem, dll
2. Pemilihan kosakata maupun nada bicara sangat dipengaruhi oleh lingkungan tempat tinggal
remaja tersebut.
2.Keyakinan moral lebih terpusat pada apa yang benar dan kurang pada apa yang salah
5. Penilaian moral secara psikologis menjadi lebih mahal dalam arti bahwa penilaian moral
merupakan bahan emosi dan menimbulkan ketegangan.
Materi Pendukung Uji Kompetensi Guru (UKG)
penilaian kinerja guru. (Permendikbud No. 57 Tahun 2012). UKG dilakukan untuk
berkelanjutan yang dilakukan secara periodik. Dengan demikian aspek yang diuji
dalam UKG adalah kompetensi pedagogik dan profesional dalam ranah kognitif.
struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran yang
diampu guru, 2) menguasai metodologi keilmuan sesuai bidang tugas yang dibebankan
berkaitan dengan UKG tersebut. (Semoga bermanfaat dan semoga Kebaikan selalu
1. Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, spiritual, sosial,
1.2 Memahami karakteristik peserta didik yang berkaitan dengan aspek fisik,
1.3 Mengidentifikasi potensi peserta didik dalam mata pelajaran yang diampu.
1.4 Mengidentifikasi bekal-ajar awal peserta didik dalam mata pelajaran yang diampu.
1.5 Mengidentifikasi kesulitan belajar peserta didik dalam mata pelajaran yang
diampu.
Indikator Esensial
Perubahan yang tampak jelas adalah perubahan fisik. Tubuh berkembang pesat
sehingga mencapai bentuk tubuh orang dewasa yang disertai dengan berkembangnya
kapasitas reproduktif.
(1) Remaja pria, Matangnya organ– organ seks yang memungkinkan remaja pria
(2) Remaja wanita, Ditandai dengan tumbuhnya rahim, vagina dan ovarium
(indung telur). Ovarium menghasilkan ovum dan mengeluarkan hormon- hormon yang
diperlukan untuk kehamilan, menstruasi dan perkembangan seks sekunder. Pada usia
11– 15 tahun, menstruasi pertama sering ditandai dengan sakit kepala, sakit
seseorang, dan bukan faktor bawaan (faktor intern) seseorang, serta tergantung
obyek tertentu (Jalaluddin, 1996:187). Menurut Darmiyati Zuchdi (1995: 57) bahwa
dalam interaksi sosial, individu membentuk pola sikap tertentu terhadap objek
yang mempengaruhi pembentukan sikap itu antara lain yaitu; pengalaman pribadi,
kebudayaan, orang lain yang dianggab penting, media massa, lembaga pendidikan
sedangkan reaksi afektif bersifat tertutup (covert). Motif sebagai daya pendorong
arah sikap negatif atau positif akan terlihat dalam tingkah-laku nyata pada diri
tertentu dapat diperkuat oleh komponen afeksi. Motif demikian biasanya akan
menjadi lebih stabil. Pada tingkat tertentu motif akan berperan sebagai central
attitude (penentu sikap) yang akhirnya akan membentuk predisposisi. Proses ini
terjadi dalam diri seseorang terutama pada tingkat usia dini. Predisposisi menurut
Mar’at (Jalaluddin, 1996: 189) merupakan sesuatu yang telah dimiliki seseorang
semenjak kecil sebagai hasil pembentukan dirinya sendiri. Dalam hubungan ini
dan tingkat pendidikan keluarga peserta didik. Status ini berhubungan erat dengan
performans peserta didik. Pengaruh status sosial ekonomi ini bekerja melalui:
kebutuhan dasar dan pengalaman, keterlibatan orangtua, dan sikap-sikap serta nilai-
nilai. Oleh karena itu, guru harus menciptakan lingkungan belajar yang aman dan
dan pola perilaku yang menjadi ciri suatu kelompok social. Factor ini mempengaruh
keberhasilan dalam sekolah melalui sikap, nilai, dan cara pandang terhadap dunia.
Sebagai bagian dari budaya, latar belakang etnik juga mempengaruhi keberhasilan
peserta didik melalui sikap dan nilai-nilai. Implikasinya, guru harus memahami
peserta didiknya dengan: (1) berusaha mempelajari kebudayaan peseta didik yang
diajarnya, dan (2) berusaha menyadarkan peserta didik terhadap nilai-nilai dan
Ada tiga kelompok ciri keberbakatan, yaitu: (1) kemampuan umum yang
tergolong tinggi, (3) komitmen terhadap tugas (task commitment) tergolong tinggi.
Lebih lanjut Yaumil (1991) menjelaskan bahwa: (1) Kemampuan umum di atas
rata-rata merujuk pada kenyataan antara lain bahwa peserta didik berbakat
memiliki perbendaharaan kata-kata yang lebih banyak dan lebih maju dibandingkan
peserta didik biasa; cepat menangkap hubungan sebab akibat; cepat memahami
prinsip dasar dari suatu konsep; seorang pengamat yang tekun dan waspada;
cepat sampai pada kesimpulan yang tepat mengenai kejadian, fakta, orang atau
benda. (2) Ciri-ciri kreativitas antara lain: menunjukkan rasa ingin tahu yang luar
biasa; menciptakan berbagai ragam dan jumlah gagasan guna memecahkan persoalan;
sering mengajukan tanggapan yang unik dan pintar; tidak terhambat mengemukakan
pendapat; berani mengambil resiko; suka mencoba; peka terhadap keindahan dan
segi-segi estetika dari lingkungannya. (3) komitmen terhadap tugas sering dikaitkan
benar-benar terlibat dalam suatu tugas; sangat tangguh dan ulet menyelesaikan
masalah; bosan menghadapi tugas rutin; mendambakan dan mengejar hasil sempurna;
lebih suka bekerja secara mandiri; sangat terikat pada nilai-nilai baik dan menjauhi
telah diyakininya.
Kecenderungan minat jabatan peserta didik dapat dikenali dari tipe
tidak semua jabatan cocok untuk semua orang. Setiap tipe kepribadian tertentu
realistik. Ciri-ciri kecenderungan ini adalah : rapi, terus terang, keras kepala,
kecenderungan ini meliputi : analitis, hati-hati, kritis, suka yang rumit, rasa
hal yang sudah ada, enggan terhadap perubahan. Ciri-cirinya : hati-hati, bertahan,
peserta didik. Ada dua cara pengumpulan informasi untuk mengidentifikasi anak
skor tes inteligensi individual, b) skor tes inteligensi kelompok, c) skor tes
ceklis perilaku, b) nominasi oleh guru, c) nominasi oleh orang tua, d) nominasi oleh
Sosial, Sains (Fisika, Biologi, dan Kimia). Untuk pengumpulan informasi melalui data
subjektif, sekolah dapat mengembangkan sendiri dengan mengacu pada konsepsi dan
Kemampuan awal dapat diambil dari nilai yang sudah didapat sebelum materi
baru diperoleh. Kemampuan awal merupakan prasyarat yang harus dimiliki siswa
dalam proses belajar. Dari berbagai penelitian terungkap bahwa lingkungan belajar
keingintahuan peserta didik, semangat untuk meneliti atau mencari sesuatu yang
peserta didik untuk mengubah pola pikir, dari mengingat informasi yang pernah
dimilikinya menjadi proses belajar yang penuh makna dan memulai perjalanan untuk
merupakan elemen esensial untuk menciptakan proses belajar menjadi sesuatu yang
bermakna.
menyaring informasi baru dan mencari makna tentang apa yang sedang dipelajari
1) Faktor Fisiologis
bagian-bagian tubuh lain. Para guru harus menyadari bahwa hal yang paling berperan
pada waktu belajar adalah kesiapan otak dan sistem syaraf dalam menerima,
disimpan.
Di samping itu, siswa yang sakit-sakitan, tidak makan pagi, kurang baik
kesulitan belajar. Untuk menghindari hal tersebut dan untuk membantu siswanya,
seorang guru hendaknya memperhatikan hal-hal yang berkait dengan kesulitan siswa
ini.
2) Faktor Sosial
Merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah jika orang tua dan
dan kecerdasan siswa sebagaimana ada yang menyatakan bahwa sekolah adalah
cerminan masyarakat dan anak adalah gambaran orang tuanya. Oleh karena itu ada
beberapa faktor penyebab kesulitan belajar yang berkait dengan sikap dan keadaan
keluarga serta masyarakat sekeliling yang kurang mendukung siswa tersebut untuk
belajar semaksimal mungkin selama mereka belajar di sekolah. Dengan cara seperti
ini, lingkungan dan sekolah akan membantu para siswa, harapan bangsa ini untuk
berkembang dan bertumbuh menjadi lebih cerdas. Siswa dengan kemampuan cukup
lagi, orang tua, guru, dan masyarakat, secara sengaja atau tidak sengaja, dapat
menyebabkan kesulitan bagi siswa. Karenanya, peran orang tua dan guru dalam
perannya dalam memotivasi para siswa untuk tetap belajar menjadi sangat
menentukan.
3) Faktor Kejiwaan
dengan kurang mendukungnya perasaan hati (emosi) siswa unutuk belajar secara
guru dapat menyebabkan siswanya lebih giat belajar, namun dapat juga
menyebabkan mereka tidak menyukai guru mata pelajaran tersebut. Oleh karena
itu, guru hendaknya jangan hanya melihat hasilnya saja, namun hendaknya
menghargai usaha keras siswa. Dengan cara seperti ini, diharapkan si siswa akan
siswanya. Tindakan tersebut dapat menjadikan seorang siswa menjadi lebih baik,
namun dapat juga menjadikan seorang siswa menjadi tidak mau lagi untuk belajar
4) Faktor Intelektual
dengan kurang sempurna atau kurang normalnya tingkat kecerdasan siswa. Para guru
harus meyakini bahwa setiap siswa mempunyai tingkat kecerdasan berbeda. Ada
siswa yang sangat sulit menghafal sesuatu, ada yang sangat lamban menguasai
materi tertentu, ada yang tidak memiliki pengetahuan prasyarat dan juga ada yang
sangat sulit membayangkan dan bernalar. Hal-hal yang disebutkan tadi dapat
menjadi faktor penyebab kesulitan belajar pada diri siswa tersebut. Di samping itu,
hal yang perlu mendapatkan perhatian adalah para siswa yang tidak memiliki
pengetahuan prasyarat.
5) Faktor Kependidikan
dengan belum mantapnya lembaga pendidikan secara umum. Guru yang selalu
meremehkan siswa, guru yang tidak bisa memotivasi siswa untuk belajar lebih giat,
guru yang membiarkan siswanya melakukan hal-hal yang salah, guru yang tidak
pernah memeriksa pekerjaan siswa, sekolah yang membiarkan para siswa bolos tanpa
ada sanksi tertentu, adalah contoh dari faktor-faktor penyebab kesulitan dan pada
Idealnya, setiap guru harus berusaha dengan sekuat tenaga untuk membantu
siswanya keluar dari setiap kesulitan yang menghimpitnya. Namun hal yang perlu
diingat, penyebab kesulitan itu dapat berbeda-beda. Ada yang karena faktor emosi
seperti pendengaran yang kurang. Untuk itu, para guru harus mampu
A. Metodologi Pembelajaran
F. Bahan Ajar
Bahan ajar adalah segala bentuk bahan berupa seperangkat materi yang
disusun secara sistematis yang digunakan untuk membantu guru/instruktur dalam
melaksanakan kegiatan pembelajaran dan memungkinkan siswa untuk belajar.
الر ِحيم
َّ الرحْ َم ِن
َّ ِْــــــــــــــــم اﷲ
ِ ِبس
I. PENDAHULUAN
Setiap siswa dapat dipastikan memiliki perilaku dan karakteristik yang cenderung berbeda.
Dalam pembelajaran, kondisi ini penting untuk diperhatikan karena dengan mengidentifikasi
kondisi awal siswa saat akan mengikuti pembelajaran dapat memberikan informasi penting untuk
guru dalam pemilihan strategi pengelolaan, yang berkaitan dengan bagaimana menata
pengajaran, khususnya komponen-komponen strategi pengajaran yang efektif dan sesuai dengan
karakteristik perseorangan siswa sehingga pembelajaran akan lebih bermakna.
Karakteristik siswa merupakan salah satu variabel dari kondisi pengajaran. Variabel ini
didefinisikan sebagai aspek-aspek atau kualitas individu siswa. Aspek-aspek berkaitan dapat
berupa bakat, minat, sikap, motivasi belajar, gaya belajar, kemampuan berpikir dan kemampuan
awal (hasil belajar) yang telah dimilikinya.
A. Apa yang dimaksud dengan kemampuan awal dan bagaimana karakteristik peserta didik ?
B. Bagaimana tujuan dan teknik untuk mengidentifikasi kemampuan awal & karakteristik peserta
didik?
C. Bagaimana contoh instrumen untuk mengidentifikasi kemampuan awal & karakteristik
peserta didik ?
III. PEMBAHASAN
A. Pengertian kemampuan awal dan karakteristik peserta didik
Peserta didik merupakan sumber daya utama dan terpenting dalam proses pendidikan. Peserta
didik bisa belajar tanpa guru. Sebaliknya, guru tidak bisa mengajar tanpa peserta didik.
Karenanya kehadiran peserta didik menjadi keniscayaan dalam proses pendidikan formal atau
pendidikan yang dilambangkan dengan menuntut interaksi antara pendidik dan peserta didik.[1]
Kemampuan awal (Entry Behavior) adalah kemampuan yang telah diperoleh siswa sebelum dia
memperoleh kemampuan terminal tertentu yang baru. Kemampuan awal menunjukkan status
pengetahuan dan keterampilan siswa sekarang untuk menuju ke status yang akan datang yang
diinginkan guru agar tercapai oleh siswa. Dengan kemampuan ini dapat ditentukan dari mana
pengajaran harus dimulai. Kemampuan terminal merupakan arah tujuan pengajaran diakhiri.
Jadi, pengajaran berlangsung dari kemampuan awal sampai ke kemampuan terminal itulah yang
menjadi tanggung jawab pengajar.[2]
Secara kodrati, manusia memiliki potensi dasar yang secara esensial membedakan manusia
dengan hewan, yaitu pikiran, perasaan, dan kehendak. Sekalipun demikian, potensi dasar yang
dimilikinya itu tidaklah sama bagi masing-masing manusia.[3] Terdapat keunikan-keunikan yang
ada pada diri manusia. Pertama, manusia berbeda dengan makhluk lain, seperti binatang ataupun
tumbuhan. Perbedaan tersebut karena kondisi psikologisnya. Kedua, baik secara fisiologis
maupun psikologis manusia bukanlah makhluk yang statis, akan tetapi makhluk yang dinamis,
makhluk yang mengalami perkembangan dan perubahan. Ia berkembang khususnya secara fisik
dari mulai ketidakmampuan dan kelemahan yang dalam segala aspek kehidupannya
membutuhkan bantuan orang lain, secara perlahan berkembang menjadi manusia yang mandiri.
Ketiga, dalam setiap perkembangannya manusia memiliki karakter yang berbeda.[4]
Esensinya tidak ada peserta didik di muka bumi ini benar-benar sama. Hal ini bermakna bahwa
masing-masing peserta didik memiliki karakteristik tersendiri. Karakteristik peserta didik adalah
totalitas kemampuan dan perilaku yang ada pada pribadi mereka sebagai hasil dari interaksi
antara pembawaan dengan lingkungan sosialnya, sehingga menentukan pola aktivitasnya dalam
mewujudkan harapan dan meraih cita-cita. Karena itu, upaya memahami perkembangan peserta
didik harus dikaitkan atau disesuaikan dengan karakteristik siswa itu sendiri. Utamanya,
pemahaman peserta didik bersifat individual, meski pemahaman atas karakteristik dominan
mereka ketika berada di dalam kelompok juga menjadi penting. Ada empat hal dominan dari
karakteristik siswa.
Karakter seseorang baik disengaja atau tidak, didapatkan dari orang lain yang sering berada di
dekatnya atau yang sering mempengaruhinya, kemudian ia mulai meniru untuk melakukannya.
Oleh karena itu, seorang anak yang masih polos sering kali akan mengikuti tingkah laku orang
tuanya atau teman mainnya, bahkan pengasuhnya. Erat kaitan dengan masalah ini, seorang
psikolog berpendapat bahwa karakter berbeda dengan kepribadian, karena kepribadian
merupakan sifat yang dibawa sejak lahir dengan kata lain kepribadian bersifat genetis.
B. Tujuan dan Teknik mengidentifikasi kemampuan awal dan karakteristik peserta didik
Identifikasi kemampuan awal dan karakteristik peserta didik adalah salah satu upaya para guru
yang dilakukan untuk memperoleh pemahaman tentang; tuntutan, bakat, minat, kebutuhan dan
kepentingan peserta didik, berkaitan dengan suatu program pembelajaran tertentu. Tahapan ini
dipandang begitu perlu mengingat banyak pertimbangan seperti; peserta didik, perkembangan
sosial, budaya, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kepentingan program
pendidikan/ pembelajaran tertentu yang akan diikuti peserta didik
Identifikasi kemampuan awal dan karakteristik peserta didik bertujuan:
a. Memperoleh informasi yang lengkap dan akurat berkenaan dengan kemampuan serta
karakteristik awal siswa sebelum mengikuti program pembelajaran tertentu.
b. Menyeleksi tuntutan, bakat, minat, kemampuan, serta kecenderungan peserta didik berkaitan
dengan pemilihan program-program pembelajaran tertentu yang akan diikuti mereka.
c. Menentukan desain program pembelajaran dan atau pelatihan tertentu yang perlu
dikembangkan sesuai dengan kemampuan awal peserta didik.
Teori Gardner, sebuah pendekatan yang relatif baru yaitu teori Kecerdasan ganda (Multiple
Intelligences), yang menyatakan bahwa sejak lahir manusia memiliki jendela kecerdasan yang
banyak. Ada delapan jendela kecerdasan menurut Gardnerd pada setiap individu yang lahir, dan
kesemuanya itu berpotensi untuk dikembangkan. Namun dalam perkembangan dan
pertumbuhannya individu hanya mampu paling banyak empat macam saja dari ke delapan jenis
kecerdasan yang dimilikinya. Kecerdasan tersebut yaitu :
Dengan teori ini maka terjadi pergeseran paradigma psikologis hierarki menjadi pandangan
psikologis diametral. Tidak ada individu yang cerdas, bodoh, sedang, genius, dan sebagainya,
yang ada hanyalah kecerdasan yang berbeda.
Untuk mengetahui kemampuan awal peserta didik, seorang pendidik dapat melakukan tes awal
(pre-test) untuk mengetahui kemampuan awal peserta didik tersebut. Tes yang diberikan dapat
berkaitan dengan materi ajar sesuai dengan panduan kurikulum. Selain itu pendidik dapat
melakukan wawancara, observasi dan memberikan kuesioner kepada peserta didik, guru yang
mengetahui kemampuan peserta didik atau calon peserta didik, serta guru yang biasa mengampu
pelajaran tersebut. Teknik untuk mengidentifikasi karakteristik siswa adalah dengan
menggunakan kuesioner, interview, observasi dan tes.[8] Latar belakang siswa juga perlu
dipertimbangkan dalam mempersiapkan materi yang akan disajikan, di antaranya yaitu faktor
akademis dan faktor sosial :
a. Faktor akademis
Faktor-faktor yang perlu menjadi kajian guru adalah jumlah siswa yang dihadapi di dalam kelas,
rasio guru dan siswa menentukan kesuksesan belajar. Di samping itu, indeks prestasi, tingkat
inteligensi siswa juga tidak kalah penting.
b. Faktor sosial
Usia kematangan (maturity) menentukan kesanggupan untuk mengikuti sebuah pembelajaran.
Demikian juga hubungan kedekatan sesama siswa dan keadaan ekonomi siswa itu sendiri
mempengaruhi pribadi siswa tersebut[9]
Hasil kegiatan mengidentifikasi kemampuan awal dan karakteristik siswa akan merupakan salah
satu dasar dalam mengembangkan sistem instruksional yang sesuai untuk siswa. Dengan
melaksanakan kegiatan tersebut, masalah heterogen siswa dalam kelas dapat diatasi, setidak-
tidaknya banyak dikurangi.
C. Contoh instrumen untuk mengidentifikasi kemampuan awal dan karakteristik peserta didik
Teknik yang paling tepat untuk mengetahui kemampuan awal siswa yaitu teknik tes. Teknik tes
ini menggunakan tes prasyarat dan tes awal (pre-requisite dan pretes). Sebelum memasuki
pelajaran sebaiknya guru membuat tes prasyarat dan tes awal, Tes prasyarat adalah tes untuk
mengetahui apakah siswa telah memiliki pengetahuan keterampilan yang diperlukan atau
disyaratkan untuk mengikuti suatu pelajaran. Sedangkan tes awal (pre test) adalah tes untuk
mengetahui seberapa jauh siswa telah memiliki pengetahuan atau keterampilan mengenai
pelajaran yang hendak diikuti. Benjamin S. Bloom melalui beberapa eksperimen membuktikan
bahwa “ untuk belajar yang bersifat kognitif apabila pengetahuan atau kecakapan pra syarat ini
tidak dipenuhi, maka betapa pun kualitas pembelajaran tinggi, maka tidak akan menolong untuk
memperoleh hasil belajar yang tinggi ”.. Hasil pre tes juga sangat berguna untuk mengetahui
seberapa jauh pengetahuan yang telah dimiliki dan sebagai perbandingan dengan hasil yang
dicapai setelah mengikuti pelajaran. Jadi kemampuan awal sangat diperlukan untuk menunjang
pemahaman siswa sebelum diberi pengetahuan baru karena kedua hal tersebut saling
berhubungan.[10]
Atau dengan menggunakan peta konsep, ternyata peta konsep juga dapat dijadikan alat untuk
mengecek pengetahuan awal yang telah dimiliki siswa sebelum mengikuti pembelajaran.
Caranya, tuliskan sebuah kata kunci utama tentang topik yang akan dipelajari hari itu di tengah-
tengah papan tulis. Misalnya "iman". Berikutnya guru meminta siswa menyebutkan atau
menuliskan konsep-konsep yang relevan (berhubungan) dengan konsep iman dan membuat
hubungan antara konsep iman dengan konsep yang disebut (ditulisnya) tadi. Seberapa
pengetahuan awal yang dimiliki siswa dapat terlihat sewaktu mereka bersama-sama membuat
peta konsep di papan tulis
Kesulitan Belajar Matematika
Matematika secara esensial merupakan proses berpikir yang melibatkan konstruksi dan
menerapkan abstraksi, serta menghubungkan jaringan ide-ide secara logis (Rutherford, 1989).
Ide-ide tersebut seringkali muncul dari kebutuhan dalam pemecahan masalah-masalah sains,
teknologi, dan kehidupan sehari-hari. Terdapat hubungan yang sangat erat antara matematika dan
sains. Sains menyediakan masalah-masalah yang perlu diselidiki dan dianalisis dengan
matematika, sementara itu matematika menyediakan alat yang berguna dalam menganalisis data.
Seringkali pola-pola abstrak yang dipelajari dalam matematika sangat berguna dalam sains.
Sains dan matematika keduanya mencoba untuk menemukan pola dan hubungan-hubungan
umum. Kebermaknaan konsep-konsep matematika tampak jelas ketika digunakan dalam
memecahkan masalah sains, teknologi dan kehidupan sehari-hari (Rutherford, 1989). Mengingat
hal ini maka dalam pembelajaran matematika di sekolah, guru harus mengaitkan pelajaran
matematika dengan mata pelajaran lainnya, teknologi, dan kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran matematika selama ini merupakan pelajaran yang berdiri sendiri (terpisah
dari mata pelajaran lainnya). Pembelajaran matematika di sekolah sangat teoretik dan mekanistik
(Sudiarta, dkk, 2005). Pembelajaran matematika hanya menekankan pada teori dan konsep-
konsep matematika tanpa disertai dengan penerapannya pada berbagai bidang yang lain seperti
ekonomi, sains, teknologi, dan kehidupan sehari-hari. Pembelajaran yang demikian
menyebabkan siswa tidak mengetahui untuk apa mereka belajar matematika. Dengan kata lain
pelajaran matematika dirasakan kurang bermakna bagi kehidupannya. Tidak jarang hal ini
menyebabkan kurangnya minat siswa terhadap matematika. Untuk membuat pembelajaran
matematika lebih bermakna bagi siswa, maka pengintegrasian mata pelajaran matematika dengan
mata pelajaran yang lain merupakan hal yang sangat penting. Salah satunya adalah dengan
mengembangkan pembelajaran matematika dan sains terpadu.
Di samping bersifat tertutup, soal-soal yang disajikan pada kebanyakan buku juga tidak
mengaitkan matematika dengan konteks kehidupan siswa sehari-hari, sehingga pengajaran
matematika menjadi jauh dari kehidupan siswa. Dengan kata lain, pelajaran matematika menjadi
kurang bermakna. Kekurangbermaknaan pelajaran matematika bagi siswa dapat diduga sebagai
penyebab rendahnya minat dan prestasi belajar matematika siswa.
Setiap model pembelajaran yang diterapkan pada sains haruslah dapat mensinergikan
pengetahuan ilmiah, keterampilan proses, dan sikap ilmiah. Siswa akan menghargai matematika
dan sains apabila mereka merasa senang belajar matematika dan sains dalam konteks yang
menarik. Keterpaduan antara matematika dan sains, serta bahasa dan ilmu sosial lainnya yang
diwujudkan dengan pemilihan kegiatan yang kontekstual yang berkaitan dengan masalah-
masalah yang dekat dengan kehidupan siswa akan mendorong sikap positif siswa terhadap sains
dan disiplin ilmu lainnya (Peter & Gega, 2002).
Pengertian Matematika
Pengertian matematika dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia oleh tim penyusun kamus Pusat
Pembinaan dan Perkembangan Bahasa disebutkan bahwa Matematika adalah ilmu tentang
bilangan-bilangan, hubungan antara bilangan dan prosedur operasional yang digunakan dalam
penyelesaian masalah bilangan (1991:637). Dalam buku Metodek Matematika, yang diterbitkan
oleh Bagian Proyek Pengembangan Mutu Pendidikan Guru Agama Islam disebutkan bahwa
matematika merupakan suatu pengetahuan yang di peroleh melalui belajar baik yang berkenaan
dengan jumlah, ukuran-ukuran, perhitungan dan sebagainya yang dinyatakan dengan angka-
angka atau simbol- simbol tertentu (1982/1983:31).
Menurut bahasa latin Matematika berasal dari kata “manthanein atau mathema yang
berarti Pelajar atau hal yang dipelajari”. Sedangkan menurut bahasa Belanda disebut wiskunde
atau ilmu pasti Kemudian menurut istilah, Somardyono mengemukakan bahwa “Matematika
adalah produk dari pemikiran intelektual manusia.” Ciri utama Matematika adalah penalaran
deduktif, yaitu kebenaran suatu konsep atau pernyataan diperoleh sebagai akibat logis dari
kebenaran sebelumnya sehingga kaitan antar konsep atau pernyataan dalam Matematika bersifat
konsisten. Namun demikian, pembelajaran dan pemahaman konsep dapat diawali secara induktif
melalui pengalaman peristiwa nyata atau intuisi. Proses induktif-deduktif dapat digunakan untuk
mempelajari konsep Matematika. Kegiatan dapat dimulai dengan beberapa contoh atau fakta
yang teramati, membuat daftar sifat yang muncul (sebagai gejala), memperkirakan hasil baru
yang diharapkan, yang kemudian dibuktikan secara deduktif. Dengan demikian, cara belajar
induktif dan deduktif dapat digunakan dan sama-sama berperan penting dalam mempelajari
Matematika.
Penerapan cara kerja Matematika diharapkan dapat membentuk sikap kritis, kreatif,
jujur dan komunikatif pada siswa. Pembelajaran suatu pelajaran akan bermakna bagi siswa
apabila guru mengetahui tentang objek yang diajarkannya sehingga dapat mengajarkan materi
tersebut dengan penuh dinamika dan inovasi dalam proses pembelajarannya. Demikian halnya
dengan pembelajaran matematika di Sekolah Dasar, guru SD perlu memahami bagaimana
karakteristik matematika. Tidak mudah untuk mencapai kata sepakat diantara ahli matematika
untuk mendefinisikan tentang matematika akan tetapi mereka semua sepakat bahwa sasaran
dalam pembelajaran matematika tidaklah kongkret.
Matematika merupakan telaah tentang pola dan hubungan, suatu jalan atau pola berfikir,
suatu seni, suatu bahasa dan suatu alat. (Reys, 1984. Dalam Rusefendi, 1988: 2). Matematika
bukan pengetahuan tersendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri, tetapi beradanya
karena untuk membantu manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan sosial,
ekonomi dan alam. (Kline, 1973, dalam Rusefendi, 1988:2). Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa matematika merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari struktur yang abstrak dan
pola hubungan yang ada didalamnya. Ini berarti bahwa belajar matematika pada hakekatnya
adalah belajar konsep, struktur konsep dan mencari hubungan antar konsep dan strukturnya. Ciri
khas matematika yang deduktif aksiomatis ini harus diketahui oleh guru sehingga mereka dapat
membelajarkan matematika dengan tepat, mulai dari konsep-konsep sederhana sampai yang
kompleks.
Pengajaran Matematika Di SD
Metode ini digunakan agar siswa dalam belajar tidak mengalami kejenuhan. Setiap
madrasah mempunyai ciri khas lingkungan belajar, kelompok peserta didik, dan orang tua
(sebagai anggota masyarakat) yang berbeda-beda. Untuk itu para guru diharapkan mengenali hal
ini untuk bisa menetapkan strategi pembelajaran, organisasi kelas, dan pemanfaatan sumber
belajar yang efektif.
Dalam proses belajar mengajar disekolah, baik Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, maupun
Perguruan Tinggi sering kali ada dijumpai beberapa siswa/mahasiswa yang mengalami kesulitan
dalam belajar. Aktifitas belajar bagi setiap individu tidak selamanya dapat berlangsung secara
wajar. Kadang-kadang lancar, kadang- kadang tidak. Kadang-kadang dapat dengan cepat
menangkap apa yang dipelajari, kadang-kadang terasa amat sulit. Dalam hal semangat, terkadang
semangatnya tinggi, tetapi terkadang juga sulit mengadakan konsentrasi. Karena setiap individu
memang tidak ada yang sama. Perbedaan individual inilah yang menyebabkan perbedaan tingkah
laku belajar dikalangan anak didik. Dalam keadaan dimana anak didik/ siswa tidak dapat belajar
sebagaimana mestinya, itulah yang disebut kesulitan belajar (Ahmadi dan Widodo Supriyono,
2004:77). Kesulitan belajar tidak selalu disebabkan oleh faktor inteligensi yang rendah (kelainan
mental), akan tetapi juga disebabkan oleh faktor- faktor non-inteligensi. Dengan demikian, IQ
yang tinggi belum tentu menjamin keberhasilan belajar. Dengan demikian masalah kesulitan
dalam belajar itu sudah merupakan problema umum yang khas dalam proses pembelajaran
(Sabri, 1996:88).
Di setiap sekolah dalam berbagai jenis dan tingkatan pasti memiliki anak didik yang berkesulitan
belajar. Setiap kali kesulitan belajar anak didik yang satu dapat diatasi, tetapi pada waktu yang
lain muncul lagi kesulitan belajar anak didik yang lain. Warkitri dkk mengemukakan kesulitan
belajar adalah suatu gejala yang nampak pada siswa yang ditandai adanya hasil belajar rendah
dibanding dengan prestasi yang dicapai sebelumnya. Jadi, kesulitan belajar itu merupakan suatu
kondisi dalam proses belajar yang ditandai oleh adanya hambatan- hambatan tertentu dalam
mencapai hasil belajar (1990:8). M. Alisuf Sabri mengemukakan bahwa kesulitan belajar adalah
kesukaran siswa dalam menerima atau menyerap pelajaran disekolah, kesulitan belajar yang
dihadapi oleh siswa ini terjadi pada waktu mengikuti pelajaran yang disampaikan atau
ditugaskan oleh seorang Guru (1995:88).
Ada beberapa teori yang mengungkapkan pengertian belajar dengan meninjau dari
bermacam-macam sudut,diantaranya menurut Moh. Uzer Usman dan Lilis Setiawati
mengemukakan belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku atau kecakapan manusia.
Perubahan yang terjadi karena belajar dapat berupa perubahan dalam kebiasaan, kecakapan atau
dalam ketiga aspek yaitu kognitif, afektif dan psikomotor (Usman dan Lilis Setiawati, 1993:5).
Dari beberapa pendapat oleh para ahli tentang pengertian belajar yang telah
dikemukakan diatas dapat dipahami bahwa belajar merupakan suatu kegiatan atau aktifitas
seseorang melalui proses pendidikan dan latihan, sehingga menimbulkan terjadinya beberapa
perubahan dan perkembangan pada dirinya baik pengetahuan, tingkah laku, dan keterampilan
untuk menuju kearah yang lebih baik.
Dalam melakukan diagnosis diperlukan adanya prosedur yang terdiri atas langkah-
langkah tertentu yang diorentasikan pada ditemukannya kesulitan belajar jenis tertentu yang
dialami siswa. Prosedur seperti ini dikenal sebagai “diagnostik” kesulitan belajar (Syah,
1999:167). Sebelum menetapkan alternatif pemecahan masalah kesultan belajar siswa, guru
sangat dianjur untuk terlebih dahulu melakukan identifikasi (upaya mengenali gejala dengan
cermat) terhadap fenomena yang menunjukkan kemungkinan adanya kesulitan belajar yang
melanda siswa tersebut. Upaya seperti ini disebut diagnosis yang bertujuan menetapkan “jenis
penyakit” yakni jenis kesulitan belajar siswa.
Banyak langkah-langkah diagnostik yang dapat ditempuh guru antara lain yang cukup
terkenal adalah prosedur Weener dan Senf (1982) sebagaimana yang dikutip Wardani (1991)
sebagai berikut:
1. melakukan observasi kelas untuk melihat perilaku menyimpang siswa ketika
mengikuti pelajaran.
2. memeriksa penglihatan dan pendengaran siswa, khususnya yang diduga mengalami
kesulitan belajar.
3. mewawancarai orang tua/ wali siswa untuk mengetahui hal ihwal keluarga yang
mungkin menimbulkan kesulitan belajar.
4. memberikan tes diagnostik bidang kecakapan tertentu untuk mengetahui hakikat
kesulitan belajar yang dialami siswa.
5. memberikan tes kemampuan inteligensi (IQ) khususnya kepada siswa yang diduga
mengalami kesulitan belajar.
Sedangkan menurut Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono,diagnosis pun dapat berupa
hal-hal sebagai berikut:
1. Keputusan mengenai jenis- jenis kesulitan belajar anak (berat dan ringannya).
2. Keputusan mengenai faktor-faktor yang ikut menjadi penyebab kesulitanbelajar.
3. Keputusan mengenai faktor utama penyebab kesulitan belajar.
Banyak sudah para ahli yang mengemukakan faktor- faktor penyebab kesulitan belajar
dengan sudut pandang mereka masing- masing. Ada yang meninjau dari sudut intern anak didik
dan ada yang meninjau dari sudut ekstern anak didik (Djamarah, 2002:201). Menurut Muhibbin
Syah faktor-faktor anak didik meliputi gangguan atau kekurangmampuan psiko-fisik anak didik,
yaitu sebagai berikut.
1. Yang bersifat kognitif (ranah cipta), antara lain seperti rendahnya kapasitas
intelektual/inteligensi anak didik.
2. Yang bersifat afektif (ranah rasa), antara lain seperti labilnya emosi dan sikap.
3. Yang bersifat psikomotor (ranah karsa), antara lain seperti terganggunya alat- alat indera
penglihatan dan pendengaran (mata dan telinga).
Sedangkan faktor- faktor ekstern anak didik meliputi semua situasi dan kondisi
lingkungan sekitar yang tidak mendukung aktivitas belajar anak didik, sebagai berikut:
1. Lingkungan keluarga, contohnya: ketidakharmonisan hubungan antara ayah dan ibu, dan
rendahnya kehidupan ekonomi keluarga.
2. Lingkungan masyarakat, contohnya: wilayah perkampungan kumuh (slum area) dan
teman sepermainan (peer group) yang nakal.
3. Lingkungan sekolah, contohnya: kondisi dan letak gedung sekolah yang buruk, kondisi
guru serta alat- alat belajar yang berkualitas rendah.
Adapun faktor- faktor penyebab kesulitan belajar yang bersifat khusus, seperti sindrom
psikologis berupa Learning Disability (ketidakmampuan belajar). Sindrom adalah suatu gejala
yang timbul sebagai indikator adanya keabnormalan psikis yang menimbulkan kesulitan belajar
anak didik. Misalnya: disleksia yaitu ketidakmampuan dalam belajar membaca, disgrafia yaitu
ketidakmampuan menulis, diskalkulia yaitu ketidakmampuan belajar matematika.
Menurut Syaiful Bahri Djamarah dalam bukunya menjelaskan factor kesulitan belajar
dari anak didik meliputi:
Anak didik adalah subjek dalam belajar. Dialah yang merasakan langsung penderitaan
akibat kesulitan belajar. Kesulitan belajar yang dialami oleh anak didik tidak hanya bersifat
menetap, tetapi juga yang bisa dihilangkan dengan usaha- usaha tertentu (Djamarah, 2002:203).
Faktor penyebab kesulitan belajar anak didik ini adalah: a) inteligensi (IQ) yang kurang baik, b)
bakat yang kurang atau tidak sesuai dengan bahan pelajaran yang diberikan oleh guru, c) aktifitas
belajar yang kurang, lebih banyak malas daripada melakukan aktifitas belajar, d) kebiasaan
belajar yang kurang baik, belajar dengan penguasaan ilmu pengetahuan pada tingkat hafalan
tidak dengan pengertian, dan e) tidak ada motivasi dalam belajar, sehingga materi pelajaran
sukar diterima dan diserap oleh anak didik.
2. Faktor Sekolah
Sekolah adalah lembaga pendidikan formal tempat pengabdian guru dan rumah
rehabilitasi anak didik. Sebagai lembaga pendidikan yang besar tentunya sekolah juga
mempunyai dampak yang besar bagi anak didik. Kenyamanan dan ketenangan anak didik dalam
belajar sangat ditentukan oleh kondisi dan system sosial dalam menyeiakan lingkungan yang
kondusif. Bila tidak, sekolah akan ikut terlibat menimbulkan kesulitan belajar bagi anak didik.
Faktor- faktor penyebab kesulitan belajar dari sekolah seperti : a) pribadi guru yang tidak
baik, b) guru yang tidak berkualitas dalam pengambilan metode yang digunakan dalam
mengajar, c) suasana sekolah yang kurang mnyenangkan, misalnya bising karena letak sekolah
berdekatan dengan jalan raya, d) waktu sekolah dan disiplin yang kurang, dan e) perpustakaan
belum lengkap dengan buku- buku pelajarannya untuk anak didik (Djamarah, 2002:207).
Menurut Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono dalam bukunya menjelaskan bahwa
faktor penyebab kesulitan belajar meliputi:
1. Fakttor Intern
Faktor Intern, yaitu faktor yang berasal dari dalam diri manusia itu sendiri dalam hal ini
yang berasal dari dalam diri siswa sendiri yang meliputi:
a. Faktor Fisiologis
Seorang yang sakit akan mengalami kelemahan fisiknya, sehingga saraf sensoris dan
motorisnya lemah. Akibatnya rangsangan yang diterima melalui indranya tidak dapat diteruskan
ke otak. Lebih- lebih sakitnya lama, sarafnya akan bertambah lemah. Anak yang kurang sehat
juga dapat mengalami kesulitan belajar, sebab ia mudah capek, mengantuk, pusing, daya
konsentrasinya hilang kurang semangat, pikiran terganggu. Karena hal- hal tersebut maka dalam
penerimaan pelajaran pun kurang karena saraf otak tidak mampu bekerja secara optimal
memproses, mengelola, menginterpretasi dan mengorganisasi bahan pelajaran melalui indranya.
Oleh karena itu, seorang guru atau petugas diagnistik harus meneliti kadar gizi makanan dari
anak. Di samping itu, cacat tubuh dibedakan atas: a) Cacat tubuh yang ringan seperti kurang
pendengaran, kurang penglihatan dan gangguan psikomotor. b) Cacat tubuh yang tetap (serius)
seperti buta, tuli, bisu, hilang tangannya dan kakinya.
b. Faktor Psikologis
Inteligensi ialah kemampuan yang dibawa sejak lahir yang memungkinkan seseorang
berbuat sesuatu dengan cara tertentu. Dalam hubungannya dengan anak didik, hal ini sering
dikaitkan dengan berhasil tidaknya anak dalam belajar di sekolah. Anak yang IQ-nya tinggi
dapat menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi. Semakin tinggi IQ seseorang akan makin
cerdas pula. Mereka yang mempunyai IQ kurang dari 90 tergolong lemah mental (mentally
defective).Anak inilah yang mengalami kesulitan belajar. Bakat adalah kemampua potensial yang
dimiliki oleh seseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa yang akan datang. Setiap
individu mempunyai bakat yang berbeda- beda. Bakat dapat mempengaruhi tinggi rendahnya
prestasi belajar anak didik. Seseorang akan mudah mempelajari sesuatu sesuai dengan bakatnya.
Apabila seorang anak harus mempelajari bahan yang lain dari bakatnya akan cepat bosan, mudah
putus asa, tidak senang. Hal- hal tersebut akan tampak pada anak yang suka mengganggu kelas,
berbuat gaduh, tidak mau belajar sehingga nilainya rendah. Tidak adanya minat seseorang anak
terhadap suatu pelajaran akan timbul kesulitan belajar. Belajar yang tidak ada minatnya mungkin
tidak sesuai dengan bakat nya, tidak sesuai dengan kebutuhannya, tidak sesuai dengan
kecakapan, tidak sesuai dengan tipe-tipe khusus anak banyak menimbulkan problem pada
dirinya. Karena itu pelajaran pun tidak pernah terjadi proses dalam otak, akibatnya timbul
kesulitan belajar (Ahmadi dan Widodo Supriyono, 2004:83). Motivasi sebagai faktor inner
(batin) berfungsi menimbulkan, mendasari, mengarahkan perbuatan belajar. Motivasi dapat
menentukan baik tidaknya dalam mencapai tujuan sehingga semakin besar motivasinya akan
semakin besar kesuksesan belajarnya. Seorang yang besar motivasinya akan giat berusaha,
tampak gigih, tidak menyerah, giat membaca buku untuk meningkatkan prestasinya. Sebaliknya
mereka yang motivasinya lemah, tampak acuh tak acuh, mudah putus asa, perhatiannya tidak
tertuju pada pelajaran, suka mengganggu kelas, sering meninggalkan pelajaran akibatnya banyak
mengalami kesulitan belajar.
2. Fakttor Ekstern
Faktor ekstern, yaitu faktor yang berasal dari kuar diri manusia itu sendiri dalam hal ini
yang berasal dari luar diri siswa sendiri yang meliputi:
a. Fakttor Keluarga
Keluarga merupakan pusat pendidikan yang utama dan pertama. Keluarga juga
merupakan salah satu penyebab kesulitan belajar. Yang termasuk dalam faktor keluarga ini
adalah : 1) kewajiban dari orang tua adalah mendidik anaknya. Orang tua yang kurang/ tidak
memperhatikan pendidikan anaknya, mungkin acuh tak acuh, tidak memperhatikan kemajuan
belajar anak- anaknya akan menjadi penyebab kesulitan belajarnya. Hubungan antara orang tua
dengan anak juga harus harmonis. Karena hal ini juga membantu keberhasilan dalam belajar
mereka, 2) Suasana rumah yang ramai atau gaduh tidak mungkin membuat anak akan dapat
belajar dengan baik. Anak akan terganggu konsentrasinya, sehingga sukar untuk belajar. Oleh
karena itu suasana rumah harus dibuat menyenangkan, tentram, damai dan harmonis, 3) Biaya
merupakan faktor yang sangat penting bagi kelangsungan pendidikan anak. Misalnya untuk
membeli peralatan sekolah seperti buku, pensil dan lain sebagainya. Karena kurangnya biaya
maka pendidikan mereka juga akan terhambat, 4) Sekolah merupakan salah satu tempat anak-
anak dalam menuntut ilmu. Unsur- unsur yang ada didalamnya pun juga berpengaruh
dalam keberhasilan belajar siswa. Diantaranya guru, sarana/ prasarana, kondisi gedung sekolah,
kurikulum yang digunakan, waktu yang kurang disiplin (Ahmadi dan Widodo Supriyono,
2004:91).
Media massa seperti TV, bioskop, tabloid, komik sangat mempengaruhi proses belajar
anak. Semakin seringnya anak menonton TV/ bioskop, membaca komik dan lain sebagainya
membuat anak akan semakin malas untk belajar. Di samping itu, lingkungan social seperti teman
bergaul, keadaan masyarakat, pengaruhnya sangat besar dan lebih cepat masuk dalam jiwa anak.
Hal ini juga merupakan penyebab anak mengalami kesulitan belajar serta akan menghambat
proses hasil belajar anak
TEORI BELAJAR MENGAJAR DI SEKOLAH DASAR
Kegiatan belajar bagi anak usia sekolah dasar mempunyai arti dan tujuan tersendiri.
Seorang guru sekolah dasar sewajarnya memahami bahwa komponen anak merupakan komonen
terpenting dalam proses pengajaran. Prosespengajaran itu harus diciptakan atas dasar
pemahaman siapa dan bagaimana anak tumbuh dan berkembang. Kegiatan belajar mengajar yang
secara praktis dikembangkan guru disekolah dasar dituntut untuk berorientasi pada
perkembangan anak secara tepat.
Karakteristik anak usia sekolah dasar secara umum sebagaimana dikemukakan Bassett,
Jacka, dan Logan (1983) berikut ini :
1. Mereka secara alamiah memiliki rasaingin tahu yang kuat dan tertarik akan dunia sekitar yang
mengelilingi diri mereka sendiri,
2. Mereka senang bermain dan lebih suka bergembira/riang,
3. Mereka suka mengatur dirinya untuk menangani berbagai hal, mengeksplorasi suatu situasi dan
mencobakan usaha-usaha baru ,
4. Mereka biasanya tergetar penasaranya dan terdorong untuk berprestasi sebagaimana mereka
tidak suka mengalami ketidak puasan dan menolak kegagalan-kegagalan,
5. Mereka belajar secara efektif ketika mereka merasa puas dengan situasi yang terjadi,
6. Mereka belajar dengan cara bekerja, mengobservasi , berinisiatif , dan mengajar anak-anak
lainya.
Arti belajar secara tradisional, sebagai upaya menambah dan mengumpulkan sejumlah
pengetahuan. Pengertian belajar yang lebih modern diungkapkan Morgan dkk. (1986) sebagai
setiap perubahantingkah laku yang relatif tetap dan terjadi sebagai hasil latihan dan pengalaman.
Definisi yang kedua ini memuat dua unsure penting dalam belajar yaitu, pertama belajar adalah
perubahan tingkah laku dan, kedua perubahan yang terjadi karena latihan atau pengalaman.
Dalam konteks sekolah seorang anak dikatakan telah belajar apabila perubahan-
perubahan yang terjadi pada anak sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan sekolah dan masyarakat.
Jadi terhadap hal yang bersifat negative dan tidak sesuai dengan kebutuhan sekolah dan
masyarakat tidak data kita katakan belajar walaupun diperoleh dari latihan atau pengalaman.
Gagne mengemukakan lima macam kemampuan manusia yang merupakan hasil belajar
sehingga pada gilirannya membutuhkan sekian macam kondisi belajar untuk pencapaiannya.
Kelima macam kemampuan hasil belajar tersebutadalah:
1. Ketrampilan intelektual, sejumlah pengetahuan mulai dari baca tulis, hitung sampai pada
pemikiran yang rumit. Kemampuan intelektual tergantung kepada kapasitas intelektual
kecerdasan seseoranr dan kesempatan belajar yang tersedia ,
2. Strategi kognitif, mengatur cara belajar dan berfikir seseorang didalam arti seluas-luasnya,
termasuk kemampuan memecahkan masalah,
3. Informasi verbal, pengetahuan dalam arti informasi dan fakta. Kemampuan ini pada umumnya
dikenai dan tidak jarang ,
4. Ketrampilan motorik yang diperoleh di sekolah, antara lain ketrampilan menulis, mengetik,
menggunakan jangka, dan sebagainya
5. Sikap dan nilai berhubungan dengan arah serta intensitas emosional yang dimiliki seseorang,
sebagaimana dapat disimpulkan dari kecenderungan bertingkah laku terhdap orang,barang atau
kejadian.
Paham dianggap modern tentang bagaimana anak usia SD itu belajar bersifat
kontruktivistik; dipelopori oleh Jean Piaget (1896-1980), levVygotssky (1896-1934) dan Bruner
(1060-an).
1. Bagi Piaget, anak adalah seorang yang aktif, membentuk atau menyusun pengetahuan mereka
sendiri pada saat mereka menyesuaikan pikirannya sebagaimana terjadi ketika mereka
mengeksplorasi lingkungan dan kemudian tumbuh secara kognitif terhadap pemikiran-pemikiran
yang logis;
2. Bagi Vygotsky, anak itu mengkonstruksi pengetahuan mereka melalui interaksi pengajaran dan
social dengan orang dewasa (guru) asalkan orang dewasa (guru) menjembatani arti dengan
bahasa dan tanda atau symbol, yang dapat mengamati anak untuk kemudian anak itu tumbuh
kearah pemikiran yang verbal.
3. Sedangkan Bruner, anak melalui aktivitas dengan orang dewasa (guru) mengkonstruksi
pengetahuan mereka itu dalam bentuk tampilan spiral mulai dari “pre-speech”sebagaimana anak
menetapkan format, peranan dan hal-hal yang rutin yang membuatnya merasa bebas untuk
kemudian dapat terlibat dengan penggunaan bahasa yang lebih kompleks sebagaimana tersaji
dalam suatu realitas.
Membandingkan ketiga pendapat ahli tersebut, maka akan dapat dipelajari persamaan dan
perbedaanya. Persamaan ketiga pendapat ahli itu antara lain: ketiganya memandang bahwa anak
adalah seorang yang aktif, memiliki kemampuan untuk membentuk pengetahuan sendiri.
Menyangkut perbedaannya, Piaget nampaknya menekankan bahwa penciptaan
lingkungan belajar menjadi sorotan penting lingkungan yang akan menarik si anak; membuat
mereka bekerja melakukan eksplorasi dengannya. Dengan cara demikian si anak mengkonstruksi
pengetahuanya sendiri; bukan guru yang mengkonstruksi pengetahuan si anak itu. Bagi
Vygotsky, yang ditekankan adalah interaksi guru dengan si anak. Dalam hal ini guru sepatutnya
memahami dunia anak. Suatu interaksi baru dikatakan bermakna bagi anak, jika guru itu benar-
benar ia mampu menjembatani arti dari symbol=symbol atau lambang-lambang yang digunakan.
Bagi Bruner yang disoroti adalah gambaran proses ikiran si anak dalam mengkonstruksi suatu
pengetahuan. Tampilanya berbentuk spiral, mulai, dari format, peranan, dan hal-hal yang rutin
(bentuk yang sederhana / pre-speech) sehingga terlibat dalam penggunaan bahasa yang lebih
kompleks sebagaimana tersaji dalam suatu realitas kehidupan.
Hal penting yang menjadi elajaran bagi kita adalah anak SD merupakan seorang yang
aktif. Seorang guru yang konstruktivis yang baik adalah mereka yang suka menyediakan
lingkungan atau bahan belajar (learning materials) yang cukup bagi anak didiknya, sebab guru
tahu bahwa anak senang mengeksplorasi lingkungan belajar. Guru akan berusaha menciptakan
sistem interaksi pengajaran dengan siapa saja anak itu berinteraksi ( guru dan temanya sendiri)
yang menjembatani arti yang diperlukan. Selanjutnya, akan diyakini guru kontruktivis itu bahwa
eksplorasi lingkungan dan interaksi yang terjadi merefleksikan pengalaman belajarsi anak
sehingga pemilihan materi atau bahan pengajaran, kegiatan guru dan peserta didik, pemilihan
sumber belajar yang akan dipakai, serta penyusunan tes, akan bertokak dari tujuan belajar yang
hendak dicapai peserta didik dalam proses pengajaran. Karena itu, kesadaran tentang tujuan-
tujuan belajar di atas, semestinya direfleksikan guru-guru sekolah dasar dalam kerangka
membantu peserta didik meletakkan dasar-dasar kehidupan kearah perkembangan sikap,
pengetahuan, ketrampilan dan daya ciptanya.
Pentingnya rumusan tujuan belajar dinyatakan secara spesifik dan eksplisit adalah:
Untuk Guru ;
1. Data memilih materi, strategi instruksional, dan sumber belajar yang sesuai untuk dipakai dalam
usaha membantu peserta didik dalam usaha belajarnya .
2. Dapat mengukur keberhasilan guru sendiri dalam pengajarannya.
Sejumlah tujuan belajar yang sewajarnya dapat diwujudkan guru dalam kegiatan belajar
anak didiknya di sekolah dasar itu yakni;
1. Menjadikan anak-anak senang, bergembira dan riang dalam belajar;
2. Memperbaiki berpikir kreatif anak-anak, sifat keingintahuan, kerja sama harga diri dan raasa
percaya diri sendiri, khususnya dalam menghadapi kehidupan akademik;
3. Mengembangkan sikap positif anak-anak dalam belajar,
4. Mengembangkan afeksi dan kepekaan terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi
dilingkungannya, khususnya perubahan yang terjadi dalam lingkungan social dan teknologi.
HAKEKAT MENGAJAR DI SEKOLAH DASAR
Salah satu pengertian mengajar bisa merupakan kegiatan menyampaikan pesan berupa
pengetahuan, ketrampilan dan penanaman sikap-sikap tertentu dari guru kepada peserta didik.
Misalnya seorang guru SD kelas 6 sedang menjelaskan pokok bahasan “rotasi bumi” dengan
menggunakan metode tanggung jawab dan, peserta didik memperhatikan dengan seksama.
Kegiatan guru tersebut dikatakan mengajar.
Kegiatan mengajar sebenarnya bukan sekedar menyangkut persoalan penyampaian
pesan-pesan dari seorang guru kepada para peserta didik. Hal itu sebenarnya menyangkut
persoalan bagaimana guru membimbing dan melatih peserta didik untuk belajar. Kegiatan
membimbing dan melatih peserta didik untuk belajar diperlukan kemampuan professional dari
guru.
Beberapa pandangan tentang mengajar dapat dikemukakan sebagai berikut;
a. Mengajar dipandang sebagai ilmu (teaching as a science), artinya terdapat landasan yang
mendasari kegiatan mengajar baik dari filsafat ilmu maupun dari teori-teori belajar mengajar,
sifatnya metodologis dan procedural.
b. Mengajar sebagai teknologi (teaching as a tecnology), yaitu penggunaan perangkat alat yang
dapat dan harus diuji secara empiris;
c. Mengajarkan sebagai suatu seni (teaching is an art), yang mengutamakan
performance/penampilan guru secara khas dan unik yang berasal dari sifat-sifat guru dan
perasaan serta nalurinya;
d. Mengejar sebagai pilihan nilai( wawasan kependidikan guru), bersumber pada pilihan nilai atau
wawasan kependidikan yang dianut guru. Wawasan tersebut terpulang pada tujuan umum
pendidikan nasional yang dapat ditelusuri kepada rumusan-rumusan yang formal maupun
kepada asumsi-asumsi konseptual pada tujuan umum pendidikn nasional yang dapat ditelusuri
kepada rumusan-rumusanyang formal maupun kepada asumsi-asumsi konseptual atau filosofinya
yang mendasar.
e. Mengajar sebagai ketrampilan (teaching is as a skill), yaitu suatu proses penggunaan
seperangkat ketrampilan secara terpadu.
Selanjutnya, T. Raka Joni (1985:3) merumuskan pengertian mengajar sebagai pencita dan
suatu sistem lingkungan yang memungkinkan terjadinya proses belajar. Sistem lingkungan ini
terdiri dari komponen-komponen yang saling mempengaruhi yaitu tujuan instruksional yang ingi
dicapai, guru dan peserta didik yang memainkan peranan senada dalam hubungan social tertentu,
materi yang diajarkan, bentuk kegiatan yang dilakukan serta sarana dan prasarana belajar
mengajar yang tersedia.
Perbuatan mengajar merupakan perbuatan yang kompleks. Davis (1971) mengungkapkan
bahwa pengertian mengajar sebagai suatu aktivitas professional yang memerlukan ketrampilan
tingkat tinggi dan mencakup pengambilan keputusan. Sebagaimana keunikan dan karakteristik
kegiatan belajar anak usia sekolah dasar, Piaget, Vygotsky, dan Bruner mengetengahkan cara-
cara yang khas bagi seorang guru dalam mendorong terjadinya proses belajar bagi mereka.
Carol (1995) menuntut penciptaanlingkungan belajar sesuai dengan tiga dimensi
perkembangan anak sekolah dasar, yaitu dimensi perkembangan fisik, dimensi perkembangan
sosial-emosional, dan dimensi perkembangan bahasa atau kognisi
1. Dilihat dari dimensi perkembangan fisik
Perkembangan fisik usia SD memang tidak sepesat pertumbuhan yang terjadi pada usia lima
tahun sebelumnya. Akan tetapi kemampuan anak dalam mengendalikan tubuhnya dan
kemampuan duduk serta merta berada dalam suatu periode waktu yang relatif lebih lama
merupakan cirri perkembangan fisik anak usia SD. Misalnya pada saat anak menghadapi sesuatu
konsep yang abstrak, aktivitas fisik akan sangat dibutuhkan. Aktivitas fisik itu akan memberikan
pengalaman nyata bagi anak untuk memahami arti suatu konsep yang abstrak.
2. Dilihat dari dimensi perkembangan sosial-emosional / moral
Perkembangan hubungan sosial-emosional dan adanya kesadaran etis normatif merupakan cirri
yang kuat nampak pada usia sekolah dasar. Kompetensi-kompetensi sosial yang positif dan
produktif akan berkembang pada usia ini, seperti kemampuan bekerja sama, kesadaran
berkompetisi, menghargai karya orang lain, toleran, kekeluargaan, dan aspek budaya lainya.
3. Dilihat dari dimensi perkembangan bahasa atau kognisi
Perkembangan kognisi pada anak usia sekolah dasar menurut Piaget berada dalam dua tahapan
dua masa transisi, yaitu masa transisi dari tahap praoperasional ke masa operasional konkrit dan
masa transisi dari tahap operasional konkrit ke tahap operasional formal.
TEORI-TEORI BELAJAR
1. Teori Gestalt
Teori ini dikemukakan oleh Koffka dan Kohler dari Jerman, yang sekarang menjadi tenar
diseluruh dunia. Hukum yang berlaku pada pengamatan adalah sama dengan hukum dalam
belajar yaitu ;
a) Gestalt mempunyai sesuatu yang melebihi jumlah unsure-unsurnya.
b) Gestalt timbul lebih dahulu dari pada bagian-bagianya.
Jadi dalam belajar yang penting adalah adanya penyesuaian pertama yaitu memperoleh response
yang tepat untuk memecahkan problem yang dihadapi.
2. Teori J.Bruner
Kata Bruner belajar tidak untuk mengubah tingkah laku seseorang tetapi untuk mengubah
kurikulum sekolah menjadi sedemikian rupa sehingga siswa dapat belajar lebih banyak dan
mudah. Sebab itu Bruner mempunyai pendapat, alangkah baiknya sekolah dapat menyediakan
kesempatan bagi siswa untuk maju cepat sesuai dengan kemampuan siswa dalam mata pelajaran
tertentu.
3. Teori Piaget
Pendapat Piaget mengenai perkembangan proses belajar pada anak-anak adalah sebagai berikut:
a) Anak mempunyai struktur mental yang berbeda dengan orang dewasa.
b) Perkembangan mental pada anak melalui tahap-tahap tertentu, menurut suatu urutanyang sama
bagi semua anak.
c) Walaupun berlangsungnya tahap-tahap perkembangan itu melalui suatu urutan tertentu tetapi
jangka waktuuntuk berlatih dari satu tahap yang lain tidaklah selalu sama pada setiap anak.
d) Perkembangan mental anak dipengaruhi oleh 4 faktor yaitu;
Kemasakan
Pengalaman
Interaksi sosial
Equiliberation (proses dari ketiga faktor diatas bersama-sama untuk
membangun dan memperbaiki srtuktur mental).
Anak usia dini memiliki karakteristik yang khas, baik secara fisik, psikis, sosial, moral dan
sebagainya. Masa kanak-kanak juga masa yang paling penting untuk hidupnya, sebab masa
kanak-kanak adalah masa pembentukan pondasi dan masa kepribadian yang akan menentukan
pengalaman anak selanjutnya. Sedemikian pentingnya usia tersebut maka memahami
karakteristik anak usia dini menjadi mutlak dan melalui pendidikan di kelas awal perkembangan
dirinya dapat dilakukan secara optimal
Anak yang berada di kelas awal SD adalah anak yang berada pada rentangan usia dini.
Masa usia dini ini merupakan masa yang pendek tetapi merupakan masa yang sangat penting
bagi kehidupan seseorang. Oleh karena itu, pada masa ini seluruh potensi yang dimiliki anak
perlu didorong sehingga akan berkembang secara optimal.
Karakteristik perkembangan anak pada kelas satu, dua dan tiga SD biasanya pertumbuhan
fisiknya telah mencapai kematangan, mereka telah mampu mengontrol tubuh dan
keseimbangannya. Mereka telah dapat melompat dengan kaki secara bergantian, dapat
mengendarai sepeda roda dua, dapat menangkap bola dan telah berkembang koordinasi tangan
dan mata untuk dapat memegang pensil maupun memegang gunting. Selain itu, perkembangan
sosial anak yang berada pada usia kelas awal SD antara lain mereka telah dapat menunjukkan
keakuannya tentang jenis kelaminnya, telah mulai berkompetisi dengan teman sebaya,
mempunyai sahabat, telah mampu berbagi, dan mandiri.
Perkembangan emosi anak usia 6-8 tahun antara lain anak telah dapat mengekspresikan
reaksi terhadap orang lain, telah dapat mengontrol emosi, sudah mampu berpisah dengan orang
tua dan telah mulai belajar tentang benar dan salah. Untuk perkembangan kecerdasannya anak
usia kelas awal SD ditunjukkan dengan kemampuannya dalam melakukan seriasi,
mengelompokkan obyek, berminat terhadap angka dan tulisan, meningkatnya perbendaharaan
kata, senang berbicara, memahami sebab akibat dan berkembangnya pemahaman terhadap ruang
dan waktu.
1. Konkrit
Konkrit mengandung makna proses belajar beranjak dari hal-hal yang konkrit yakni yang
dapat dilihat, didengar, dibaui, diraba, dan diotak atik, dengan titik penekanan pada pemanfaatan
lingkungan sebagai sumber belajar. Pemanfaatan lingkungan akan menghasilkan proses dan
hasil belajar yang lebih bermakna dan bernilai, sebab siswa dihadapkan dengan peristiwa dan
keadaan yang sebenarnya, keadaan yang alami, sehingga lebih nyata, lebih faktual, lebih
bermakna, dan kebenarannya lebih dapat dipertanggungjawabkan.
2. Integratif
Pada tahap usia sekolah dasar anak memandang sesuatu yang dipelajari sebagai suatu
keutuhan, mereka belum mampu memilah-milah konsep dari berbagai disiplin ilmu, hal ini
melukiskan cara berpikir anak yang deduktif yakni dari hal umum ke bagian demi bagian.
3. Hierarkis
Pada tahapan usia sekolah dasar, cara anak belajar berkembang secara bertahap mulai dari
hal-hal yang sederhana ke hal-hal yang lebih kompleks. Sehubungan dengan hal tersebut, maka
perlu diperhatikan mengenai urutan logis, keterkaitan antar materi, dan cakupan keluasan serta
kedalaman materi.
5. Bersifat fleksibel
Pembelajaran tematik bersifat luwes (fleksibel) dimana guru dapat mengaitkan bahan ajar
dari satu mata pelajaran dengan mata pelajaran yang lainnya, bahkan mengaitkannya dengan
kehidupan siswa dan keadaan lingkungan dimana sekolah dan siswa berada.
7. Menggunakan prinsip belajar sambil bermain dan menyenangkan, dalam proses pembelajaran
tematik tidak menjemukkan /membosankan bahkan dalam suasana bermain yang menyenangkan
mereka dapat memperoleh pengetahuan baru yang sangat utuh dan bermakna.
Ciri-ciri pembelajaran tematik terpadu adalah pembelajaran berpusat pada peserta didik,
memberikan pengalaman langsung, pemisahan antar mata pelajaran tidak nampak, konsep dari
beberapa mata pelajaran disajikan dalam satu pembelajaran, bersifat luwes, dan asil
pembelajaran dapat berkembang sesuai dengan minat dan kebutuhan peserta didik.
Pembelajaran tematik terpadu diyakini sebagai salah satu model pengajaran yang efektif. Model
pembelajaran ini mampu mewadahi dan menyentuh secara terpadu dimensi emosi, fisik, dan
akademik. Pembelajaran tematik terpadu memiliki sifat memandu peserta didik mencapai
kemampuan berpikir tingkat tinggi (higher levels of thinking) atau keterampilan berpikir dengan
mengoptimasi kecerdasan ganda (multiple thinking skills).
Peserta didik pada kelas awal berpikir dengan cara holistik (menyeluruh/satu kesatuan). Mereka
belum mampu memahami konsep secara abstrak. Manfaat pembelajaran tematik membuat
suasana kelas yang nyaman dan menyenangkan. Menggunakan kelompok kerja sama, kolaborasi,
kelompok belajar, dan strategi pemecahan konflik yang mendorong peserta didik untuk
memecahkan masalah
ONTOH PENERAPAN PENDEKATAN SCIENTIFIC
DALAM PEMBELAJARAN TEMATIK TERPADU
A. Pengantar
Memasuki Tahun 2013 akan segera diberlakukan pembelajaran Tematik Terpadu bagi peserta
didik mulai dari kelas I sampai dengan kelas VI. Pembelajaran dimaksud adalah dengan
menggunakan Tema yang akan menjadi pemersatu berbagai mata pelajaran.
Kurikulum 2013 menekankan pada dimensi pedagogik modern dalam pembelajaran, yaitu
menggunakan pendekatan ilmiah. Pendekatan ilmiah (scientific appoach) dalam pembelajaran
sebagaimana dimaksud meliputi mengamati, menanya, mencoba, mengolah, menyajikan,
menyimpulkan, dan mencipta untuk semua mata pelajaran. Untuk mata pelajaran, materi, atau
situasi tertentu, sangat mungkin pendekatan ilmiah ini tidak selalu tepat diaplikasikan secara
prosedural. Pada kondisi seperti ini, tentu saja proses pembelajaran harus tetap menerapkan nilai-
nilai atau sifat-sifat ilmiah dan menghindari nilai-nilai atau sifat-sifat nonilmiah. Pendekatan
ilmiah pembelajaran antara lain meliputi langkah-langkah pokok
1. Mengamati
2. Menanya
3. Menalar
4. Mencoba
5. Mengolah
6. Menyajikan
7. Menyimpulkan dan
8. Mengkomunikasikan
Langkah-langkah tersebut tidak selalu dilalui secara berurutan, terlebih pada pembelajaran
Tematik Terpadu, dimana pembelajarannya menggunakan Tema sebagai pemersatu. Sementara
setiap mata pelajaran memiliki karakteristik keilmuan yang antara satu dengan lainnya tidak
sama. Oleh karena itu agar pembelajaran bermakna perlu diberikan contoh-contoh agar dapat
lebih memperjelas penyajian pembelajaran dengan pendekatan scientific.
B. Pendekatan ilmiah dalam Pembelajaran Tematik Terpadu
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa pembelajaran Tematik Terpadu merupakan
suatu penyajian pembelajaran yang menyatukan beberapa mata pelajaran dengan Tema sebagai
pemersatunya. Sementara karakteristik keilmuan dari setiap materi pelajaran tidaklah sama
maka khusus untuk penyajian pembelajaran dapat disajikan langkah dalam pendekatan ilmiah
sebagai berikut:
1. Mengamati
Dalam penyajian pembelajaran, guru dan peserta didik (Kelas I Sekolah Dasar) perlu memahami
apa yang hendak dicatat, melalui kegiatan pengamatan. Mengingat peserta didik masih dalam
jenjang Sekolah Dasar, maka pengamatan akan lebih banyak menggunakan media gambar, alat
peraga yang sedapat mungkin bersifat kontekstual. Berikut contoh Tema Kegiatanku. Peserta
didik diajak mengamati gambar, kemudian mereka diajak mengidentifikasi, tentang ciri-ciri
rumah. Apakah termasuk rumah yang bersih, dan apa syaratnya atau kriterianya rumah yang
sehat. Dengan mengamati gambar, peserta didik akan dapat secara langsung dapat menceritakan
kondisi sebagaimana yang di tuntut dalam kompetensi dasar dan indikator, dan mata pelajaran
apa saja yang dapat dipadukan dengan media yang tersedia. Kegiatan apa yang harus dilakukan
dengan kondisi rumah yag diamati.
2. Menanya
Peserta didik yang masih duduk di kelas I Sekolah Dasar tidak mudah diajak bertanya jawab
apabila tidak dihadapkan dengan media yang menarik. Guru yang efektif seyogyanya mampu
menginspirasi peserta didik untuk meningkatkan dan mengembangkan ranah sikap,
keterampilan, dan pengetahuannya. Pada saat guru bertanya, pada saat itu pula dia membimbing
atau memandu peserta didiknya belajar dengan baik. Ketika guru menjawab pertanyaan peserta
didiknya, ketika itu pula dia mendorong asuhannya itu untuk menjadi penyimak dan pembelajar
yang baik.
Berbeda dengan penugasan yang menginginkan tindakan nyata, pertanyaan dimaksudkan untuk
memperoleh tanggapan verbal. Istilah “pertanyaan” tidak selalu dalam bentuk “kalimat tanya”,
melainkan juga dapat dalam bentuk pernyataan, asalkan keduanya menginginkan tanggapan
verbal. Dengan media gambar peserta didik diajak bertanya jawab kegiatan apa saja yang harus
dilakukan peserta didik agar rumah dan lingkungannya menjadi bersih dan sehat sekaligus
membedakan rumah yang bersih dan yang tidak bersih. (Eksplorasi)
Bentuk pertanyaan, misalnya: Apakah ciri-ciri rumah yang sehat?
Pada saat siswa mengamati dan menjawab pertanyaan guru, maka sudah memadukan dan
mengakomodasi mata pelajaran Bahasa Indonesia, (untuk aspek mendengarkan, dan
berbicaranya, membaca gambar serta menulis hasil identifikasi ciri-ciri rumah bersih dan sehat).
Bagi peserta didik yang masih duduk di kelas I Sekolah Dasar yang belum lancar membaca
tulisan akan diganti dengan membaca gambar. Sedangkan konten yang yang sedang dibahas
merupakan substansi dari mata pelajaran Bahasa Indonesia/di dalamnya memuat IPA. Lebih
lanjut dapat dipadukan dengan mata pelajaran Matematika tentang bangun datar dan bangun
ruang.
3. Menalar
Apabila dikaitkan dengan contoh yang disajikan diatas, maka Istilah “menalar” dalam kerangka
proses pembelajaran dengan pendekatan ilmiah yang dianut dalam Kurikulum 2013 adalah untuk
menggambarkan bahwa guru dan peserta didik merupakan pelaku aktif. Titik tekannya tentu
dalam banyak hal dan situasi peserta didik harus lebih aktif daripada guru. Penalaran adalah
proses berfikir yang logis dan sistematis atas fakta-kata empiris yang dapat diobservasi untuk
memperoleh simpulan berupa pengetahuan. Penalaran dimaksud merupakan penalaran ilmiah,
meski penalaran nonilmiah tidak selalu tidak bermanfaat.
Istilah menalar di sini merupakan padanan dari associating; bukan merupakan terjemanan dari
reasonsing, meski istilah ini juga bermakna menalar atau penalaran. Karena itu, istilah aktivitas
menalar dalam konteks pembelajaran pada Kurikulum 2013 dengan pendekatan ilmiah banyak
merujuk pada teori belajar asosiasi atau pembelajaran asosiatif. Istilah asosiasi dalam
pembelajaran merujuk pada kemamuan mengelompokkan beragam ide dan mengasosiasikan
beragam peristiwa untuk kemudian memasukannya menjadi penggalan memori. Selama
mentransfer peristiwa-peristiwa khusus ke otak, pengalaman tersimpan dalam referensi dengan
peristiwa lain. Pengalaman-pengalaman yang sudah tersimpan di memori otak berelasi dan
berinteraksi dengan pengalaman sebelumnya yang sudah tersedia. Proses itu dikenal sebagai
asosiasi atau menalar. Dari perspektif psikologi, asosiasi merujuk pada koneksi antara entitas
konseptual atau mental sebagai hasil dari kesamaan antara pikiran atau kedekatan dalam ruang
dan waktu. (Eksplorasi dan Elaborasi)
Contoh untuk kegiatan menalar ini bisa dengan gambar-gambar sebagai berikut:
Kegiatan di
Kegiatan di Kegiatan di
No Gambar lingkungan
rumah sekolah
masyarakat
1.
2.
3.
4.
5.
Peserta didik akan mengamati dan mengerjakan tugas dari guru dengan cara memberikan tanda
cek ( √ )
4. Mencoba
Untuk memperoleh hasil belajar yang nyata atau otentik, peserta didik harus mencoba atau
melakukan percobaan, terutama untuk materi atau substansi yang sesuai. Pada mata pelajaran
Bahasa Indonesia, (Kelas I SD/MI) misalnya, peserta didik harus memahami konsep-konsep IPA
yang ada di dalam Bahasa Indonesia dan kaitannya dengan kehidupan sehari-hari. Peserta didik
pun harus memiliki keterampilan proses untuk mengembangkan pengetahuan tentang alam
sekitar, serta mampu menggunakan metode ilmiah dan bersikap ilmiah untuk memecahkan
masalah-masalah yang dihadapinya sehari-hari.
Aplikasi metode eksperimen atau mencoba dimaksudkan untuk mengembangkan berbagai ranah
tujuan belajar, yaitu sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Aktivitas pembelajaran yang nyata
untuk ini adalah: (1) menentukan tema atau topik sesuai dengan kompetensi dasar menurut
tuntutan kurikulum; (2) mempelajari cara-cara penggunaan alat dan bahan yang tersedia dan
harus disediakan; (3) mempelajari dasar teoritis yang relevan dan hasil-hasil eksperimen
sebelumnya; (4) melakukan dan mengamati percobaan; (5) mencatat fenomena yang terjadi,
menganalisis, dan menyajikan data; (6) menarik simpulan atas hasil percobaan; dan (7) membuat
laporan dan mengkomunikasikan hasil percobaan. (Eksplorasi dan elaborasi)
Contoh:
Peserta didik bisa diajak berdiri di tengah lapangan untuk mencoba dan mempraktekkan apakah
bayang-bayang tubuh manusia bisa berjalan?
Dan pada pukul berapa bayang-bayang manusia menyatu dengan tubuh manusia?
5. Mengolah
Pada tahapan mengolah ini peserta didik sedapat mungkin dikondisikan belajar secara
kolaboratif. Pada pembelajaran kolaboratif kewenangan guru fungsi guru lebih bersifat direktif
atau manajer belajar, sebaliknya, peserta didiklah yang harus lebih aktif. Jika pembelajaran
kolaboratif diposisikan sebagai satu falsafah peribadi, maka ia menyentuh tentang identitas
peserta didik terutama jika mereka berhubungan atau berinteraksi dengan yang lain atau guru.
Dalam situasi kolaboratif itu, peserta didik berinteraksi dengan empati, saling menghormati, dan
menerima kekurangan atau kelebihan masing-masing. Dengan cara semacam ini akan tumbuh
rasa aman, sehingga memungkinkan peserta didik menghadapi aneka perubahan dan tuntutan
belajar secara bersama-sama. Peserta didik secara bersama-sama, saling bekerjasama, saling
membantu mengerjakan hasil tugas terkait dengan materi yang sedang dipelajari (Kegiatan
Elaborasi).
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 menyatakan bahwa Pendidikan
Nasional bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sekolah
Dasar merupakan salah satu bentuk lembaga pendidikan pada jalur pendidikan formal yang
melandasi jenjang pendidikan menengah. Sekolah Dasar bertujuan untuk meletakkan dasar
kecerdasan pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia serta keterampilan untuk hidup mandiri dan
mengikuti pendidikan lebih lanjut (Permendiknas Nomor 23 Tahun 2006).
Pendekatan ini dimaksudkan agar peserta didik tidak belajar secara parsial sehingga
pembelajaran dapat memberikan makna yang utuh pada peserta didik seperti yang tercermin
pada berbagai tema yang tersedia. Tematik terpadu disusun berdasarkan berbagai proses integrasi
yaitu integrasi intra-disipliner, inter-disipliner, multi-disipliner dan trans-disipliner.
Pembelajaran tematik merupakan salah satu model pembelajaran terpadu yang menggunakan
tema untuk mengaitkan beberapa mata pelajaran sehingga dapat memberikan pengalaman
bermakna bagi peserta didik. Pembelajaran terpadu didefinisikan sebagai pembelajaran yang
menghubungkan berbagai gagasan, konsep, keterampilan, sikap, dan nilai, baik antar mata
pelajaran maupun dalam satu mata pelajaran.Pembelajaran tematik memberi penekanan pada
pemilihan suatu tema yang spesifik yang sesuai dengan materi pelajaran, untuk mengajar satu
atau beberapa konsep yang memadukan berbagai informasi.
Pembelajaran tematik menekankan pada keterlibatan peserta didik secara aktif dalam proses
pembelajaran, sehingga peserta didik dapat memperoleh pengalaman langsung dan terlatih untuk
dapat menemukan sendiri berbagai pengetahuan yang dipelajarinya. Teori pembelajaran ini
dimotori para tokoh Psikologi Gestalt, termasuk Piaget yang menekankan bahwa pembelajaran
haruslah bermakna dan berorientasi pada kebutuhan dan perkembangan anak.
Pembelajaran tematik lebih menekankan pada penerapan konsep belajar sambil melakukan
sesuatu (learning by doing). Oleh karena itu, guru perlu mengemas atau merancang pengalaman
belajar yang akan mempengaruhi kebermaknaan belajar peserta didik. Pengalaman belajar yang
menunjukkan kaitan unsur-unsur konseptual menjadikan proses pembelajaran lebih efektif.
Kaitan konseptual antar mata pelajaran yang dipelajari akan membentuk skema, sehingga peserta
didik akan memperoleh keutuhan dan kebulatan pengetahuan. Selain itu, penerapan
pembelajaran tematik di sekolah dasar akan sangat membantu peserta didik dalam membentuk
pengetahuannya, karena sesuai dengan tahap perkembangannya peserta didik yang masih melihat
segala sesuatu sebagai satu keutuhan (holistik).
1. Pengalaman dan kegiatan belajar relevan dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan
anak usia sekolah dasar;
2. Kegiatan-kegiatan yang dipilih dalam pelaksanaan pembelajaran tematik bertolak dari
minat dan kebutuhan peserta didik;
3. Kegiatan belajar dipilih yang bermakna dan berkesan bagi peserta didik sehingga hasil
belajar dapat bertahan lebih lama;
4. Memberi penekanan pada keterampilan berpikir peserta didik;
5. Menyajikan kegiatan belajar yang bersifat pragmatis sesuai dengan permasalahan yang
sering ditemui peserta didik dalam lingkungannya; dan
6. Mengembangkan keterampilan sosial peserta didik, seperti kerjasama, toleransi,
komunikasi, dan tanggap terhadap gagasan orang lain.
Tujuan dari pembelajaran tematik adalah:
Ruang lingkup pembelajaran tematik meliputi semua KD dari semua mata pelajaran kecuali
agama. Mata pelajaran yang dimaksud adalah: Bahasa Indonesia, PPKn, Matematika, IPA, IPS,
Penjasorkes dan Seni Budaya dan Prakarya.
Model-model Keterpaduan
Dalam prosesnya, jika perencanaan tematik ini ada KD yang tidak terakomodasi oleh tema
manapun, maka ada cara lain yang dapat dilakukan yaitu dengan menggunakan dua tipe, yaitu
tematik hanya berisi satu mata pelajaran, dan tematik yang berpusat pada materi tertentu dalam
satu pelajaran. Teknik ini hanya digunakan bagi KD yang tidak dapat masuk dalam tema dan
perlu waktu khusus untuk membelajarkannya. Contoh dalam matematika dapat dilihat seperti
berikut ini :
Keunggulan model Jaring Laba-laba antara lain faktor motivasi berkembang karena adanya
pemilihan tema yang didasarkan pada minat peserta didik. Mereka dapat dengan mudah melihat
bagaimana kegiatan dan ide yang berbeda dapat saling berhubungan dan memiliki kemudahan
untuk lintas semester.
Kelemahan model ini antara lain kecenderungan untuk mengambil tema sangat dangkal sehingga
kurang bermanfaat bagi peserta didik. Selain itu seringkali guru terfokus pada kegiatan sehingga
materi atau konsep menjadi terabaikan. Perlu ada keseimbangan antara kegiatan dan
pengembangan materi pelajaran.
Model Jaring Laba-laba ini menggunakan pendekatan tematik untuk mengintegrasikan beberapa
pelajaran. Tema yang ditetapkan memberi kesempatan kepada guru untuk menemukan konsep,
keterampilan atau sikap yang akan diintegrasikan.
Langkah-langkah pembelajaran yang dapat diterapkan dengan menggunakan Model Jaring Laba-
laba (Webbed) :
1. Menentukan tema (bisa diperoleh dari hasil diskusi antar guru, diskusi dengan peserta
didik atau berdasarkan ketetapan sekolah atau ketentuan yang lain). Tema ditulis di
bagian tengah jaring.
2. Menentukan tujuan/kompetensi dasar dari beberapa mata pelajaran yang dapat dicapai
melalui tema yang dipilih. Misalnya, apabila tema cuaca yang dipilih, maka guru perlu
memikirkan apa yang dapat membantu peserta didik dalam tema tersebut untuk
memahami konsep-konsep yang ada. Kompetensi Dasar ini bisa diletakkan/ditulis di
jaring-jaring tema sesuai mata pelajaran yang ditentukan.
3. Memilih kegiatan awal untuk memperkenalkan tema secara keseluruhan. Hal ini
dilakukan agar peserta didik memiliki pengetahuan awal yang akan meningkatkan rasa
ingin tahu mereka sehingga peserta didik terdorong untuk mengajukan banyak pertanyaan
terhadap materi yang sedang dibahas. Kegiatan awal yang dapat dilakukan, misalnya
guru membacakan buku tentang cuaca atau mengajak peserta didik untuk menonton film
tentang cuaca.
4. Mendesain pembelajaran dan kegiatan yang dapat mengaitkan tema dengan kompetensi
(pengetahuan, keterampilan dan sikap) yang ingin dicapai. Contoh kegiatan seperti
peserta didik ditugaskan untuk mengamati cuaca selama satu minggu, setiap hari peserta
didik mengambil gambar yang sudah disiapkan sesuai dengan keadaan cuaca misalnya
cuaca mendung, cerah atau berawan. Setelah satu minggu berjalan, peserta didik
menghitungnya dan mengambil kesimpulan tentang cuaca dari data yang ada.
5. Menghubungkan semua kegiatan yang telah dilakukan agar peserta didik dapat melihat
dari berbagai aspek sehingga memperoleh pemahaman yang baik.
6. Kegiatan yang dapat dilakukan misalnya, mendatangkan nara sumber untuk memberi
informasi tentang cuaca atau melihat papan pajangan hasil pekerjaan peserta didik untuk
dibahas bersama. Di bawah ini disajikan contoh pajangan hasil karya peserta didik pada
tema cuaca.
Seperti yang telah disampaikan di atas bahwa pada tahun 1997, Tim Pengembang D-II PGSD
memilih tiga model untuk dikembangkan Model Jaring laba-laba, Model Terhubung dan Model
Terpadu. Kedua model ini juga digunakan guru jika dalam implementasi pembelajaran tematik
megalami kesulitan atau kendala dalam mengintegrasikan berbagai kompetensi yang ada.
Model Terhubung merupakan alternatif jika dalam mengimplementasi-kan Model Jaring Laba-
laba, guru mengalami kesulitan untuk mengintegrasikan beberapa mata pelajaran pada tema yang
telah ditentukan. Model ini mengkoneksikan beberapa konsep, beberapa keterampilan, beberapa
sikap, atau bahkan gabungan seperti keterampilan dengan sikap atau keterampilan dengan
konsep yang terdapat pada mata pelajaran tertentu. Sebagai contoh, ketika guru akan
membelajarkan pecahan, guru dapat mengkoneksikan sikap adil yang dikaitkan dengan makna
pecahan sebagai bagian dari suatu keseluruhan dan keseluruhan itu terdiri atas bagian-bagian
yang sama, dan juga dikaitkan dengan keterampilan mengerjakan operasi hitung pada pecahan.
Pecahan juga berkaitan dengan decimal, persen, dan jual beli. Ketika menjelaskan pengertian
pecahan, guru dapat mengkoneksikan konsep pecahan dengan bangun-bangun geometri. Guru
sengaja menghubungkan satu konsep dengan konsep yang lain, satu topik dengan topik yang
lain, satu keterampilan dengan keterampilan yang lain, atau tugas yang dilakukan dalam satu hari
dengan tugas yang dilakukan pada hari berikutnya, bahkan ide-ide yang dipelajari pada satu
semester berikutnya dalam satu bidang studi, serta menyeimbangkan sikap, ketrampilan dan
pengetahuan.Gambaran model keterhubungan ini dapat dilihat pada gambar/diagram di bawah
ini di mana koneksi dilakukan hanya dalam satu mata pelajaran saja yaitu pada mata pelajaran
matematika.
Keunggulan model ini antara lain peserta didik dapat memperoleh gambaran yang lebih jelas dan
luas dari konsep yang dijelaskan dan peserta didik diberi kesempatan melakukan pendalaman,
peninjauan, perbaikan dan penyerapan (asimilasi) gagasan secara bertahap.
Kelemahan model ini adalah kurang mendorong guru untuk menghubungkan konsep yang terkait
dari berbagai mata pelajaran yang ada karena terfokus pada keterkaitan konsep yang ada pada
mata pelajaran tertentu, sehingga pembelajaran secara menyeluruh.
Di bawah disajikan hasil kerja peserta didik yang merupakan hasil kegiatan yang difokuskan
pada mata pelajaran matematika.
Langkah-langkah pembelajaran dengan Model Terhubung adalah:
1. Menentukan tema atau topik yang akan dibahas dalam satu mata pelajaran, misalnya
bilangan dalam mata pelajaran matematika.
2. Menentukan pengetahuan, keterampilan, atau sikap yang akan dikoneksikan. Pemilihan
kompetensi yang akan dikoneksikan yang benar-benar dapat dalam mata pelajaran
tersebut.
Model Terpadu (Integrated) menggunakan pendekatan antar mata pelajaran. Model ini
memandang kurikulum sebagai kaleidoskop bahwa interdisiplin topic disusun meliputi konsep-
konsep yang tumpang tindih dan desain-desain dan pola-pola yang muncul. Pendekatan
keterpaduan antar topik memadukan konsep-konsep dalam matematika, sain, bahasa dan seni
serta penngetahuan sosial.
Penerapan model ini di SD, harus dapat memadukan semua aspek pembelajaran bahasa sehingga
ketrampilan membaca, menulis, mendengar, dan berbicara dikembangkan dengan rencana yang
bulat utuh.
Keunggulan model ini adalah peserta didik merasa senang dengan adanya keterkaitan dan
hubungan timbal balik antar berbagai disiplin ilmu, memperluas wawasan dan apresiasi guru,
jika dapat diterapkan dengan baik maka dapat dijadikan model pembelajaran yang ideal di
lingkungan sekolah melalui “integrated day”.
Kelemahan model ini adalah sulit mencari keterkaitan antara mata pelajaran yang satu dengan
yang lainnya, sulit mencari keterkaitan aspek keterampilan yang terkait, dan membutuhkan
kerjasama yang bagus antar tim pengajar mata pelajaran terkait tema dengan perencanaan dan
alokasi waktu mengajar yang tepat.
Model ini digunakan pada saat guru akan menyatukan beberapa kompetensi yang terlihat
‘serupa’ dari berbagai mata pelajaran. Tema akan ditemukan kemudian setelah seluruh
kompetensi dasar diintegrasikan.
1. Membaca dan memahami Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar dari seluruh mata
pelajaran.
2. Memahami Membaca baik-baik Standar Isi mata pelajaran IPS dan IPA serta mengkaji
makna dari Kompetensi Inti dan kompetensi-kompetensi dasar dari tiap mapel tersebut.
3. Mencari kompetensi-kompetensi dasar IPS dan IPA yang bisa disatukan dalam tema-
tema tertentu (dari hasil eksplorasi tema) yang relevan. Proses ini akan menghasilkan
penggolongan KD-KD dalam unit-unit tema.
4. Menuliskan tema yang telah dipilih dan susunan KD-KD IPS dan IPA yang sesuai di
bawah tema tersebut.
5. Melakukan hal yang sama untuk Standar Isi Bahasa Indonesia dan Matematika.
6. Meletakkan Kompetensi dasar yang tidak dapat dimasuk kedalam tema di bagian bawah.
Pembelajaran tematik terpadu yang diterapkan di SD dalam kurikulum 2013 berlandaskan pada
Permendikbud Nomor 65 Tahun 2013 tentang Standar Proses Pendidikan Dasar dan Menengah
yang menyebutkan, bahwa “Sesuai dengan Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi, maka
prinsip pembelajaran yang digunakan dari pembelajaran parsial menuju pembelajaran terpadu.”
Pelaksanaan Kurikulum 2013 pada SD/MI dilakukan melalui pembelajaran dengan pendekatan
tematik-terpadu dari Kelas I sampai Kelas VI.
1. Pendekatan pembelajaran tematik terpadu diberikan di sekolah dasar mulai dari kelas I
sampai dengan kelas VI.
2. Pendekatan yang dipergunakan untuk mengintegrasikan kompetensi dasar dari berbagai
mata pelajaran yaitu; intra-disipliner, inter-disipliner, multi-disipliner dan trans-disipliner.
Intra Disipliner adalah Integrasi dimensi sikap, pengetahuan dan keterampilan secara
utuh dalam setiap mata pelajaran yang integrasikan melalui tema. Inter Disipliner yaitu
menggabungkan kompetensi dasar-kompetensi dasar beberapa mata pelajaran agar terkait
satu sama lain seperti yang tergambar pada mata pelajaran IPA dan IPS yang
diintegrasikan pada berbagai mata pelajaran lain yang sesuai. Hal itu tergambar pada
Struktur Kurikulum SD untuk Kelas I-III tidak ada mata pelajaran IPA dan IPS tetapi
muatan IPA dan IPS terintegrasi ke mata pelajaran lain terutama Bahasa Indonesia. Multi
Disipliner adalah pendekatan tanpa menggabung-kan kompetensi dasar sehingga setiap
mapel masih memiliki kompetensi dasarnya sendiri. Gambaran tersebut adalah IPA dan
IPS yang berdiri sendiri di kelas IV-VI. Trans Disipliner adalah pendekatan dalam
penentuan tema yang mengaitkan berbagai kompetensi dari mata pelajaran dengan
permasalahan yang ada di sekitarnya.
3. Pembelajaran tematik terpadu disusun berdasarkan gabungan berbagai proses integrasi
berbagai kompetensi.
4. Pembelajaran tematik terpadu diperkaya dengan penempatan mata pelajaran Bahasa
Indonesia sebagai penghela/alat/media mata pelajaran lain.
5. Penilaian dilakukan dengan mengacu pada indikator masing-masing Kompetensi Dasar
dari masing-masing mata pelajaran.
Pembelajaran tematik terpadu menyajikan konsep-konsep dari berbagai mata pelajaran yang
terdapat pada Kompetensi Dasar (KD) KI-3 dan juga keterampilan yang tergambar pada KD KI-
4 dalam suatu proses pembelajaran. Implementasi KD KI-3 dan KD KI-4 diharapkan akan
mengembangkan berbagai sikap yang merupakan cerminan dari KI-1 dan KI-2. Melalui
pemahaman konsep dan keterampilan secara utuh akan membantu peserta didik dalam
memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.
Pembelajaran tematik terpadu adalah pembelajaran tepadu yang menggunakan tema untuk
mengaitkan beberapa mata pelajaran sehingga dapat memberikan pengalaman bermakna kepada
peserta didik. Tema adalah pokok pikiran atau gagasan pokok yang menjadi pokok pembicaraan
(Poerwadarminta, 1983). Penggunaan tema diharapkan akan memberikan banyak keuntungan, di
antaranya:
Secara pedagogis pembelajaran tematik berdasarkan pada eksplorasi terhadap pengetahuan dan
nilai-nilai yang dibelajarkan melalui tema sehingga peserta didik memiliki pemahaman yang
utuh. Peserta didik diposisikan sebagai pengeksplorasi sehingga mampu menemukan hubungan-
hubungan dan pola-pola yang ada di dunia nyata dalam konteks yang relevan. Pembelajaran
tematik dimaksudkan untuk mengembangkan berbagai kemampuan, keterampilan dan sikap yang
diperoleh melalui proses pembelajaran tematik terpadu ke dalam konteks dunia nyata yang di
bawa kedalam proses pembelajaran secara kreatif.
PPKN.
Mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan terdiri atas: (1) Pancasila sebagai
dasar negara dan pandangan hidup bangsa diperankan dan dimaknai sebagai entitas inti yang
menjadi sumber rujukan dan kriteria keberhasilan pencapaian tingkat kompetensi dan
pengorganisasian dari keseluruhan ruang lingkup mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan; (2) substansi dan jiwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, nilai dan semangat Bhinneka Tunggal Ika, dan komitmen Negara Kesatuan
Republik Indonesia ditempatkan sebagai bagian integral dari Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan, yang menjadi wahana psikologis-pedagogis pembangunan warganegara
Indonesia yang berkarakter Pancasila.
Di SD mata pelajaran PPKn tidak diajarkan tersendiri tetapi diintegrasikan dengan mata
pelajaran yang lain melalui pembelajaran tematik terpadu.
Bahasa Indonesia
Pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan peserta didik untuk
berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tulis,
sekaligus mengembangkan kemampuan beripikir kritis dan kreatif. Peserta didik dimungkinkan
untuk memperoleh kemampuan berbahasanya dari bertanya, menjawab, menyanggah, dan beradu
argumen dengan orang lain.
Sebagai alat ekspresi diri, bahasa Indonesia merupakan sarana untuk mengungkapkan segala
sesuatu yang ada dalam diri seseorang, baik berbentuk perasaan, pikiran, gagasan, dan keinginan
yang dimilikinya. Begitu juga digunakan untuk menyatakan dan memperkenalkan keberadaan
diri seseorang kepada orang lain dalam berbagai tempat dan situasi.
Kegiatan berbahasa Indonesia mencakup kegiatan produktif dan reseptif di dalam empat aspek
berbahasa, yakni mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Kemampuan berbahasa yang
bersifat reseptif pada hakikatnya merupakan kemampuan untuk memahami bahasa yang
dituturkan oleh pihak lain. Pemahaman terhadap bahasa yang dituturkan oleh pihak lain tersebut
dapat melalui sarana bunyi atau sarana tulisan. Pemahaman terhadap bahasa melalui sarana
bunyi merupakan kegiatan menyimak dan pemahaman terhadap bahasa penggunaan sarana
tulisan merupakan kegiatan membaca.
Kegiatan reseptif membaca dan menyimak memiliki persamaan yaitu sama-sama kegiatan dalam
memahami informasi. Perbedaan dua kemampuan tersebut yaitu terletak pada sarana yang
digunakan yaitu sarana bunyi dan sarana tulisan. Mendengarkan adalah keterampilan memahami
bahasa lisan yang bersifat reseptif. Berbicara adalah keterampilan bahasa lisan yang bersifat
produktif, baik yang interaktif, semi interaktif, dan noninteraktif. Adapun menulis adalah
keterampilan produktif dengan menggunakan tulisan. Menulis merupakan keterampilan
berbahasa yang paling rumit di antara jenis-jenis keterampilan berbahasa lainnya, karena menulis
bukanlah sekadar menyalin kata-kata dan kalimat-kalimat, melainkan juga mengembangkan dan
menuangkan pikiran-pikiran dalam suatu struktur tulisan yang teratur.
Kemampuan berpikir logis, kritis, kreatif, inovatif, dan bahkan inventif peserta didik perlu secara
sengaja dibina dan dikembangkan. Untuk melakukan hal itu, mata pelajaran bahasa Indonesia
menjadi wadah strategis. Melalui membaca, menulis, mendengarkan, dan berbicara peserta didik
dapat mengembangkan kemampuan berpikir tersebut secara terus-menerus yang akan diteruskan
juga melalui mata pelajaran yang lain. Hal itu harus benar-benar disadari semua guru BI agar
dalam menjalankan tugasnya dapat mewujudkan mata pelajaran Bahasa Indonesia sebagai wadah
pembinaan/ pengembangan kemampuan berpikir.
Matematika
Matematika dapat didefinisikan sebagai studi dengan logika yang ketat dari topik seperti
kuantitas, struktur, ruang, dan perubahan. Matematika merupakan tubuh pengetahuan yang
dibenarkan (justified) dengan argumentasi deduktif, dimulai dari aksioma-aksioma dan definisi-
definisi".
Kecakapan atau kemahiran matematika merupakan bagian dari kecakapan hidup yang harus
dimiliki siswa terutama dalam pengembangan penalaran, komunikasi, dan pemecahan masalah-
masalah yang dihadapi dalam kehidupan siswa sehari-hari. Matematika selalu digunakan dalam
segala segi kehidupan, semua bidang studi memerlukan ketrampilan matematika yang sesuai,
merupakan sarana komunikasi yang kuat, singkat dan jelas, dapat digunakan untuk menyajikan
informasi dalam berbagai cara, meningkatkan kemampuan berpikir logis, ketelitian dan
kesadaran keruangan, memberikan kepuasan terhadap usaha memecahkan masalah yang
menantang, mengembangkan kreaktivitas dan sebagai sarana untuk meningkatkan kesadaran
terhadap perkembangan budaya.
Pada struktur kurikulum SD/MI, mata pelajaran matematika dialokaskan setara 5 jam pelajaran
(1 jam pelajaran = 35 menit) di kelas I dan 6 jam pelajaran kelas II – VI per minggu, yang
sifatnya relatif karena di SD menerapkan pendekatan pembelajaran tematik-terpadu. Guru dapat
menyesuaikannya sesuai kebutuhan peserta didik dalam pencapaian kompetensi yang
diharapkan. Satuan pendidikan dapat menambah jam pelajaran per minggu sesuai dengan
kebutuhan satuan pendidikan tersebut.
Cakupan materi matematika di SD meliputi bilangan asli, bulat, dan pecahan, geometri dan
pengukuran sederhana, dan statistika sederhana serta kompetensi matematika dalam mendukung
pencapaian kompetensi lulusan SD ditekankan pada:
Menunjukkan sikap positif bermatematika: logis, kritis, cermat dan teliti, jujur,
bertanggung jawab, dan tidak mudah menyerah dalam menyelesaikan masalah, sebagai
wujud implementasi kebiasaan dalam inkuiri dan eksplorasi matematika.
Memiliki rasa ingin tahu, percaya diri, dan ketertarikan pada matematika, yang terbentuk
melalui pengalaman belajar.
Menghargai perbedaan dan dapat mengidentifikasi kemiripan dan perbedaan berbagai
sudut pandang.
Mengklasifikasi berbagai benda berdasar bentuk, warna, serta alasan pengelompokannya.
Mengidentifikasi dan menjelaskan informasi dari komponen, unsur dari benda, gambar
atau foto dalam kehidupan sehari-hari.
Menjelaskan pola bangun dalam kehidupan sehari-hari dan memberikan dugaan
kelanjutannya berdasarkan pola berulang.
Memahami efek penambahan dan pengambilan benda dari kumpulan objek, serta
memahami penjumlahan dan pengurangan bilangan asli, bulat dan pecahan.
Menggunakan diagram, gambar, ilustrasi, model konkret atau simbolik dari suatu
masalah dalam penyelesaian masalah.
Memberikan interpretasi dari sebuah sajian informasi/data.
IPA
Materi IPA di SD kelas I sd III terintegrasi dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia dan
Pendidikan Jasmani Olahraga dan Kesehatan. Pembelajaran dilakukan secara terpadu dalam
tema dengan mata pelajaran lain. Untuk SD kelas IV sd VI, IPA menjadi mata pelajaran
tersendiri namun pembelajaran dilakukan secara tematik terpadu.
Ruang lingkup materi mata pelajaran IPA SD mencakup Tubuh dan panca indra, Tumbuhan dan
hewan, Sifat dan wujud benda- benda sekitar, Alam semesta dan kenampakannya, Bentuk luar
tubuh hewan dan tumbuhan, Daur hidup makhluk hidup, Perkembangbiakan tanaman, Wujud
benda, Gaya dan gerak, Bentuk dan sumber energi dan energi alternatif, Rupa bumi dan
perubahannya, Lingkungan, alam semesta, dan sumber daya alam, Iklim dan cuaca, Rangka dan
organ tubuh manusia dan hewan, Makanan, rantai makanan, dan keseimbangan ekosistem,
Perkembangbiakan makhluk hidup, Penyesuaian diri makhluk hidup pada lingkungan, Kesehatan
dan sistem pernafasan manusia, Perubahan dan sifat benda, Hantaran panas, listrik dan magnet,
Tata surya, Campuran dan larutan.
IPS
IPS adalah mata pelajaran yang mempelajari tentang kehidupan manusia dalam berbagai dimensi
ruang dan waktu serta berbagai aktivitas kehidupannya. Mata pelajaran IPS bertujuan untuk
menghasilkan warganegara yang religius, jujur, demokratis, kreatif, kritis, senang membaca,
memiliki kemampuan belajar, rasa ingin tahu, peduli dengan lingkungan sosial dan fisik,
berkontribusi terhadap pengembangan kehidupan sosial dan budaya, serta berkomunikasi secara
produktif.
Ruang lingkup IPS terdiri atas pengetahuan, ketrampilan, nilai dan sikap yang dikembangkan
dari masyarakat dan disiplin ilmu sosial. Penguasaan keempat konten ini dilakukan dalam proses
belajar yang terintegrasi melalui proses kajian terhadap konten pengetahuan. Secara rinci, materi
IPS dirumuskan sebagai berikut:
Pengemasan materi IPS disesuaikan dengan jenjang pendidikan. Pada kelas I – III (SD/MI) IPS
sebagai bagian integral dari mata pelajaran lain yaitu bahasa Indonesia, dan PPKn yang diajarkan
secara tematik terpadu.
Mata pelajaran Seni Budaya merupakan aktivitas belajar yang menampilkan karya seni estetis,
artistik, dan kreatif yang berakar pada norma, nilai, perilaku, dan produk seni budaya bangsa.
Mata pelajaran ini bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memahami seni
dalam konteks ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni serta berperan dalam perkembangan
sejarah peradaban dan kebudayaan, baik dalam tingkat lokal, nasional, regional, maupun global.
Pembelajaran seni di tingkat pendidikan dasar dan menengah bertujuan mengembangkan
kesadaran seni dan keindahan dalam arti umum, baik dalam domain konsepsi, apresiasi, kreasi,
penyajian, maupun tujuan-tujuan psikologis-edukatif untuk pengembangan kepribadian peserta
didik secara positif. Pendidikan Seni Budaya di sekolah tidak semata-mata dimaksudkan untuk
membentuk peserta didik menjadi pelaku seni atau seniman namun lebih menitik beratkan pada
sikap dan perilaku kreatif, etis dan estetis .
Mata pelajaran Seni Budaya di tingkat pendidikan dasar sangat kontekstual dan diajarkan secara
konkret, utuh, serta menyeluruh mencakup semua aspek (seni rupa, seni musik, seni tari dan
prakarya), melalui pendekatan tematik. Untuk itu para pendidik seni harus memiliki wawasan
yang baik tentang eksistensi seni budaya yang hidup dalam konteks lingkungan sehari-hari di
mana ia tinggal, maupun pengenalan budaya lokal, agar peserta didik mengenal, menyenangi dan
akhirnya mempelajari. Dengan demikian pembelajaran seni budaya dan prakarya di SD harus
dapat; “Memanfaatkan lingkungan sebagai kegiatan apresiasi dan kreasi seni”.
Ruang lingkup materi untuk seni budaya dan prakaraya di SD/MI mencakup: gambar ekspresif,
mozaik, karya relief, lagu dan elemen musik, musik ritmis, gerak anggota tubuh, meniru gerak,
kerajinan dari bahan alam, produk rekayasa, pengolahan makanan, cerita warisan budaya,
gambar dekoratif, montase, kolase, karya tiga dimensi, lagu wajib, lagu permainan, lagu daerah,
alat musik ritmis dan melodis, gerak tari bertema, penyajian tari daerah, kerajinan dari bahan
alam dan buatan (anyaman, teknik meronce, fungsi pakai, teknik ikat celup, dan asesoris),
tanaman sayuran, karya rekayasa sederhana bergerak dengan angin dan tali, cerita rakyat, bahasa
daerah, gambar ilustrasi, topeng, patung, lagu anak-anak, lagu daerah, lagu wajib, musik
ansambel, gerak tari bertema, Penyajian tari bertema, kerajinan dari bahan tali temali, bahan
keras, batik, dan teknik jahit, apotik hidup dan merawat hewan peliharaan, olahan pangan bahan
makanan umbi-umbian dan olahan non pangan sampah organik atau anorganik , cerita secara
lisan dan tulisan unsur-unsur budaya daerah, bahasa daerah, pameran dan pertunjukan karya seni.
Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan pada hakikatnya adalah proses pendidikan yang
memanfaatkan aktivitas fisik untuk menghasilkan perubahan holistik dalam kualitas individu,
baik dalam hal fisik, mental, serta emosional. Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan
memperlakukan anak sebagai sebuah kesatuan utuh, makhluk total, daripada hanya
menganggapnya sebagai seseorang yang terpisah kualitas fisik dan mentalnya.
Karakteristik Perkembangan Gerak Anak Usia SD, pada usia antara 7-8 tahun, anak sedang
memasuki perkembangan gerak dasar dan memasuki tahap awal perkembangan gerak spesifik.
Karakteristik awal perkembangan gerak spesifik dapat diidentifikasi dengan makin sempurnanya
kemampuan melakukan berbagai kemampuan gerak dasar yang menuntut kemampuan
koordinasi dan keseimbangan agak kompleks. Oleh karenanya, keterampilan gerak yang dimiliki
anak telah dapat diorientasikan pada berbagai bentuk, jenis dan tingkat permainan yang lebih
kompleks.
Pada anak berusia antara 9 s.d 10 tahun, anak telah dapat mengunjukkerjakan rangkaian gerak
yang mutipleks-kompleks dengan tingkat koordinasi yang makin baik. Kualitas kemampuan
pada tahap ini dipengaruhi oleh ketepatan rekayasa dan stimulasi lingkungan yang diberikan
kepada anak pada usia sebelumnya. Pada tahap ini, anak laki-laki dan perempuan telah
memasuki masa awal masa adolense. Dengan pengaruh perkembangan hormonal pada usia ini,
mereka akan mengalami pertumbuhan fisik dan perkembangan fungsi motorik yang sangat cepat.
Ruang lingkup materi mata pelajaran pendidikan jasmani, olahraga dan kesehatan adalah sebagai
berikut:
Pola Gerak Dasar, meliputi: a). pola gerak dasar lokomotor atau gerakan berpindah
tempat, misalnya; berjalan, berlari, melompat, berguling, mencongklak, b) pola gerak
non-lokomotor atau bergerak di tempat, misalnya; membungkuk, meregang, berputar,
mengayun, mengelak, berhenti, c). Pola gerak manipulatif atau mengendalikan/
mengontrol objek, misalnya; melempar bola, menangkap bola, memukul bola
menggunakan tongkat, menendang bola.
Aktivitas Permainan dan Olahraga termasuk tradisional, misalnya; rounders, kasti,
softball, atletik sepak bola, bola voli, bola basket, bola tangan, sepak takraw, tenis meja,
bulutangkis, silat, karate. Kegiatan ini bertujuan untuk memupuk kecenderungan alami
anak untuk bermain melalui kegiatan bermain informal dan meningkatkan pengembangan
keterampilan dasar, kesempatan untuk interaksi sosial. Menerapkannya dalam kegiatan
informal dalam kompetisi dengan orang. Juga untuk mengembangkan keterampilan dan
memahami dari konsep-konsep kerja sama tim, serangan, pertahanan dan penggunaan
ruang dalam bentuk eksperimen/eksplorasi untukmengembangkan keterampilan dan
pemahaman.
Aktivitas Kebugaran, meliputi pengembangan komponen keburan berkaitan dengan
kesehatan, terdiri dari; daya tahan (aerobik dan anaerobik), kekuatan, kelenturan,
komposisi tubuh, dan pengembangan komponen kebugaran berkaitan dengan
keterampilan, terdiri dari; kecepatan, kelincahan, keseimbangan, dan koordinasi.
Aktivitas Senam dan Gerak Ritmik, meliputi senam lantai, senam alat, apresiasi terhadap
kualitas estetika dan artistik dari gerakan, tarian kreatif dan rakyat. Konsep gerak
berkaitan eksplorasi gerak dengan tubuh dalam ruang, dinamika perubahan gerakan dan
implikasi dari bergerak di kaitannya dengan apakah orang lain dan/nya lingkungannya
sendiri.
Aktivitas Air, memuat kompetensi dan kepercayaan diri saat peserta didik berada di
dekat, di bawah dan di atas air. Memberikan kesempatan unik untuk pengajaran gaya-
gaya renang (punggung, bebas, dada, dan kupu-kupu) dan juga penyediaan peluang untuk
kesenangan bermain di air dan aspek lain dari olahraga air termasuk pertolongan dalam
olahraga air.
Kesehatan, meliputi; kebersihan diri sendiri dan lingkungan, makanan dan minuman
sehat, penanggulangan cidera ringan, kebersihan alat reproduksi, penyakit menular,
menghidari diri dari bahaya narkoba, psikotropika, seks bebas, P3K, dan bahaya
HIV/AIDS.
Perencanaan Pembelajaran
Mengkaji Silabus
Dalam rangka pelaksanaan pembelajaran tematik terpadu, pendidik perlu melakukan pengkajian
terhadap silabus yang telah disiapkan sebelum mengembangkannya menjadi RPP yang akan
digunakan dalam kegiatan di sekolah. Kegiatan pengkajian silabus bertujuan untuk mengetahui
antara lain keterkaitan antara sub tema dengan kompetensi mata pelajaran yang akan
dibelajarkan dan kegiatan pembelajaran yang dikembangkan. Melalui kegiatan pengkajian
silabus ini diharapkan guru juga memperoleh beberapa informasi, antara lain: (1) ketersediaan
tema dan sub tema, (2) persebaran kompetensi dasar pada tema (pemetaan), dan (3)
pengembangan indikator pada setiap tema (jaringan indikator pada tema.
Pendidik perlu melakukan persebaran seluruh Kompetensi Dasar dari setiap mata pelajaran pada
tema yang tersedia, sehingga tidak ada kompetensi dasar yang tertinggal. Jika dari hasil
pemetaan terdapat KD yang belum masuk dalam silabus, guru dapat menambahkannya. Contoh
format yang dapat digunakan adalah:
Berdasarkan format pemetaan Pendidik dapat mengembangkan indikator untuk setiap sub tema
yang akan dilaksanakan. Hal ini perlu dilakukan untuk melihat keterkaitan antar mata pelajaran.
Cara yang dapat dilakukan adalah dengan mengembangkan indikator pada jaringan indikator.
contoh jaringan indikator pada sub tema seperti berikut:
Mengembangkan RPP
RPP merupakan rencana kegiatan pembelajaran tatap muka untuk satu pertemuan (satu hari).
RPP dikembangkan dari silabus dengan memperhatikan buku peserta didik dan buku guru yang
sudah disiapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
RPP disusun secara lengkap dan sistematis agar pembelajaran berlangsung secara interaktif,
inspiratif, menyenangkan, menantang, efisien, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi
aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai
dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
Setiap RPP harus memuat secara utuh memuat kompetensi sikap spiritual (KD dari KI-1),
sosial (KD dari KI-2), pengetahuan (KD dari KI-3), dan keterampilan (KD dari KI-4).
Memperhatikan perbedaan individual peserta didik misalnya kemampuanawal, tingkat
intelektual, bakat, potensi, minat, motivasi belajar, kemampuansosial, emosi, gaya
belajar, kebutuhan khusus, kecepatan belajar, latar belakang budaya, norma, nilai,
dan/atau lingkungan peserta didik.
Mendorong anak untuk berpartisipasi secara aktif.
Menggunakan prinsip berpusat pada peserta didik untuk mendorong semangat belajar,
motivasi, minat, kreativitas, inisiatif, inspirasi, inovasi dan kemandirian.
Mengembangkan budaya membaca, menulis dan berhitung.
Memberi umpan balik dan tindak lanjut untuk keperluan penguatan, pengayaan dan
remedial.
Menekankan adanya keterkaitan dan keterpaduan antara KD, materi pembelajaran,
kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian kompetensi, penilaian, dan sumber belajar
dalam satu keutuhan pengalaman belajar.
Mengakomodasi pembelajaran tematik-terpadu, keterpaduan lintas mata pelajaran, lintas
aspek belajar, dan keragaman budaya.
Menekankan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi secara integratif,
sistematis, dan efektif sesuai dengan situasi dan kondisi.
Komponen RPP terdiri atas:
Pada setiap KD dikembangkan indikator atau penanda. Indikator untuk KD yang diturunkan dari
KI-1 dan KI-2 dirumuskan dalam bentuk perilaku umum yang bermuatan nilai dan sikap yang
gejalanya dapat diamati. Indikator untuk KD yang diturunkan dari KI-3 dan KI-4 dirumuskan
dalam bentuk perilaku spesifik yang dapat diamati dan terukur. Pada kegiatan inti, kelima
pengalaman belajar tidak harus muncul seluruhnya dalam satu pertemuan tetapi dapat
dilanjutkan pada pertemuan berikutnya, tergantung cakupan muatan pembelajaran.
Memilah dan memilih Kompetensi Dasar Mata pelajaran pada Silabus yang dapat
dipadukan dalam tema tertentu untuk satu hari. b. Memilah dan memilih kegiatan-
kegiatan di dalam silabus yang sesuai dengan KD.
Kegiatan dalam silabus yang disiapkan untuk 3 atau 4 minggu (tergantung dengan
tema/subtema) perlu dipilah menjadi kegiatan untuk satu minggu, kemudian dipilah dan
dipilih lagi untuk kegiatan satu hari.
Dalam memilah dan memilih kegiatan dari silabus, guru perlu memperhatikan keterkaitan
antara berbagai kegiatan dari beberapa mata pelajaran yang akan diintegrasikan sehingga
pembelajaran berlangsung sesuai dengan alur.
Menentukan Indikator pencapaian kompetensi berdasarkan kegiatan di silabus yang
sudah dipilih.
Di dalam menyusun RPP, selain menggunakan silabus, guru bisa menggunakan buku teks
pelajaran dan buku guru serta hasil analisis KD dengan tema yang telah dilakukan.
Di dalam menyusun RPP, guru harus memperhatikan alokasi waktu untuk setiap kegiatan
dan kedalaman kompetensi yang diharapkan.
Apabila kompetensi yang akan diberikan dalam suatu tema memerlukan kemampuan
prasyarat yang belum pernah diajarkan, guru perlu mengajarkan kompetensi prasyarat
terlebih dahulu.
Pelaksanaan Pembelajaran
Pelaksanaan pembelajaran tematik terpadu setiap hari dilakukan dengan menggunakan tiga
tahapan yaitu kegiatan pendahuluan, inti dan penutup.
Berpusat pada peserta didik. Pembelajaran tematik berpusat pada peserta didik (student
centered), hal ini sesuai dengan pendekatan belajar modern yang lebih banyak
menempatkan peserta didik sebagai subjek belajar sedangkan guru lebih banyak berperan
sebagai fasilitator.
Bersifat fleksibel. Pembelajaran tematik bersifat luwes. Guru dapat mengaitkan materi
dari satu mata pelajaran dengan mata pelajaran yang lainnya, bahkan mengaitkannya
dengan keadaan lingkungan di mana sekolah dan peserta didik berada.
Pembelajaran sesuai dengan minat dan kebutuhan peserta didik. Peserta didik diberi
kesempatan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki sesuai dengan minat dan
kebutuhannya.
Menggunakan prinsip belajar yang menyenangkan. Suasana dalam pembelajaran
diupayakan berlangsung secara menyenangkan. Menyenangkan bisa dibangun dengan
berbagai kegiatan yang bisa mengakomodasi kegemaran peserta didik, misal bermain
teka-teki, tebak kata, bernyanyi lagu anak-anak, menari atau kegiatan lain yang disepakati
bersama dengan peserta didik. Menyenangkan tidak dimaksudkan banyak tertawa atau
banyak bernyanyi. Menyenangkan lebih dimaksudkan ‘mengasyikan’.
Pembelajaran peserta didik aktif. Peserta didik terlibat baik fisik maupun mental dalam
proses pembelajaran sejak perencanaan hingga evaluasi pembelajaran.
Pendekatan pembelajaran
Pembelajaran tematik terpadu perlu memperhatikan pendekatan, strategi, model dan metode
pembelajaran. Pendekatan dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap
proses pembelajaran. Pendekatan yang berpusat pada pendidik menurunkan strategi
pembelajaran langsung (direct instruction), pembelajaran deduktif atau pembelajaran ekspositori.
Sedangkan, pendekatan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik menurunkan strategi
pembelajaran discovery dan inkuiri serta strategi pembelajaran induktif (Sanjaya, 2008:127).
Strategi suatu seni menggunakan kecakapan dan sumber daya untuk mencapai sasarannya
melalui hubungan yang efektif dengan lingkungan dan kondisi yang paling menguntungkan.
Model pembelajaran adalah rencana (pola) yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum,
merancang bahan-bahan pengajaran dan membimbing pengajaran. Sedangkan Metode
merupakan jabaran dari pendekatan. Satu pendekatan dapat dijabarkan ke dalam berbagai
metode. Metode adalah prosedur pembelajaran yang difokuskan ke pencapaian tujuan.
Dalam kegiatan mengamati (observing) peserta didik menangkap fenomena dan/atau informasi
tentang benda, manusia, alam, kegiatan, dan gagasan melalui proses pengindraan seketika
dan/atau pengindraan bertujuan. Misalnya: melihat, mendengar, menyimak, meraba, membaca,
memanipulasi.
Kegiatan menanya mendorong Peserta didik mengajukan pertanyaan dari yang bersifat faktual
sampai ke yang bersifat hipotesis, diawali dengan bimbingan guru sampai bersifat mandiri
(menjadi suatu kebasaan) untuk menggali informasi dan/atau makna sesuatu melalui proses
bertanya dialektis (dialectical questioning) dengan mengajukan sejumlah pertanyaan pelacak
(probing question), misalnya mengajukan pertanyaan: Apa, Dimana, Siapa, Kapan, Mengapa,
Bagaimana, Berapa, dan seterusnya.
Kegiatan mengasosiasi/menalar menekankan aktivitas belajar bagi Peserta didik untuk
melakukan proses pemahaman (comprehension) untuk memperoleh/ mendapatkan makna/
pengertian tentang fakta, gejala, kegiatan, gagasan, nilai dll (acquiring and integrating
knowledge) melalui kegiatan: membedakan, membandingkan, menganalisis data dalam bentuk
membuat kategori, menentukan hubungan data/ kategori,menyimpulkan dari hasil analisis data
dll dimulai dari unstructured – unistructure – multi structure – complicated structure.
Dalam melaksanakan kegiatan dengan pendekatan saintifik tersebut, pendidik perlu menyiapkan
berbagai kegiatan yang sesuai dengan karakteristik anak usia SD. Gambaran perkembangan anak
usia SD untuk aspek fisik khususnya pada dimensi tinggi dan berat badan pada umumnya
menurut F.A.Hadis, pertumbuhan fisik anak usia SD cenderung lebih lambat dan konsisten bila
dibandingkan dengan masa usia dini. Rata- rata anak usia SD mengalami penambahan berat
badan sekitar 2,5 - 3,5 kg dan penambahan tinggi badan 5 – 7 cm per tahun. Sedangkan untuk
perkembangan kemampuan motorik pada umumnya:
1. Ketangkasan anak meningkat,
2. Dapat bermain sepeda,
3. Sudah mengetahui kanan dan kiri,
4. Mulai membaca dengan lancar
5. Peningkatan minat pada bidang spiritual.
6. Kecepatan dan kehalusan aktivitas motorik meningkat
7. Mampu menggunakan peralatan rumah tangga
Senang Bergerak. Berbeda dengan orang dewasa yang betah duduk berjam-jam, anak-
anak usia SD lebih senang bergerak. Anak-anak usia ini dapat duduk dengan tenang
maksimal sekitar 30 menit.
Senang Bermain. Dunia anak memang dunia bermain yang penuh kegembiraan,
demikian juga dengan anak-anak usia sekolah dasar, mereka masih sangat senang
bermain. Apalagi anak-anak SD kelas rendah.
Senang Melakukan Sesuatu Secara Langsung. Anak-anak usia SD akan lebih mudah
memahami pelajaran yang diberikan guru jika ia dapat mempraktikkan sendiri secara
langsung pelajaran tersebut.
Senang Bekerja dalam Kelompok. Pada usia SD, anak-anak mulai intens bersosialisi.
Pergaulan dengan kelompok sebaya, akan membuat anak usia SD bisa belajar banyak hal,
misalnya setia kawan, bekerja sama, dan bersaing secara sehat.
Berdasarkan karakteristik anak kelas awal tersebut, maka pendidik perlu menyiapkan berbagai
aktivitas/ kegiatan yang cocok dan sesuai. Berbagai kegiatan yang dapat dilakukan sesuai dengan
tahapan perkembangan anak kelas awal (kelas I-III) adalah:
Anak mengenali sesuatu berdasarkan apa yang didengarnya karena itu guru dapat
membacakan teks atau cerita.
Anak usia 7 tahun adalah pendengar yang baik, sehingga guru memberi kesempatan
kepada anak untuk mendengarkan.
Anak usia 8 tahun “suka bekerjasama”, guru dapat memberikan tugas untuk melakukan
kegiatan berkelompok.
Anak usia 9 tahun mempunyai ciri “sedikit berimajinasi” oleh karena itu dalam kegiatan
mengamati, guru perlu mendorong anak untuk mampu berimajinasi.
Guru memberi kesempatan dan menyiapkan kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan anak
di luar ruang bersama teman dan sendiri di dalam ruang.
Guru menyiapkan kegiatan yang mendorong anak untuk bergerak secara terarah untuk
mengasah keterampilannya.
Anak perlu diberi kesempatan mengasah keterampilan fisiknya sehingga dapat
mengembangkan kemampuan motorik kasarnya misalnya melalui berbagai kegiatan
berjalan, berlari, melompat, melempar dan untuk motorik halusnya dengan memberi
kesempatan anak untuk menulis, menggambar, menggunting.
Guru memberi kesempatan anak untuk melakukan kegiatan sendiri secara aktif tanpa
diberi contoh.
Untuk anak usia 8 tahun guru dapat menyiapkan berbagai kegiatan yang mendorong anak
untuk berbicara secara aktif karena mereka suka melebih-lebihkan dalam bicara.
Memberi kesempatan kepada anak untuk menjadi pembicara misalnya menyampaikan
hasil kegiatannya, memberi komentar terhadap sesuatu dan sebagainya.
Memberi kesempatan anak untuk melakukan diskusi atau kegiatan tanya jawab
berpasangan karena pada umumnya mereka juga suka berdialog atau melakukan
percakapan berpasangan.
Guru menyiapkan kegiatan yang mendorong anak untuk berkata-kata yang sifatnya
deskriptif misalnya menceritakan pengalaman yang dialaminya.
Guru perlu menyiapkan kegiatan yang mendorong anak unuk berbicara secara aktif
bahkan saat bicara anak usia ini dapat melebih-lebihkan dalam bicaranya dan
perkembangan kosakatanya sangat cepat.
Mendorong anak untuk melaporkan hasil kerjanya secara lisan karena pada umumnya
mereka adalah pembicara yang baik dam mempunyai perkembangan kosakata yang
cepat.
Untuk anak kelas awal guru dapat mendorong anak mengkomunikasikannya dalam
berbagai bentuk gambar lengkap (misal gambar manusia sudah dapat lengkap), mewarnai
gambar dengan warna natural/alami menyerupai warna aslinya.
Guru perlu sering memperingatkan anak usia awal untuk lebih teliti dalam mengerjakan
tugas karena pada umumnya mereka bergerak cepat dan bekerja dengan tergesa-gesa,
karena mereka penuh dengan energi.
Guru perlu menyiapkan berbagai kegiatan yang dilakukan tidak hanya di dalam ruang
tetapi juga di luar ruang karena anak usia ini perlu pelepasan energi secara fisik (kegiatan
di luar ruangan).
Guru perlu mengatur kegiatan yang belum memerlukan konsentrasi yang lama karena
anak usia ini konsentrasinya masih terbatas.
Guru perlu menyiapkan kegiatan yang menyenangkan karena pada usia ini perkembangan
sosialnya masih sangat baik dan penuh dengan humor.
Guru perlu menyiapkan kegiatan yang memungkinkan anak untuk bekerjasama
khususnya dengan teman yang sejenis.
Batasan atau aturan perlu ditata sedemikian rupa karena anak masih bermasalah dengan
aturan dan batasan-batasan.
Guru perlu menyiapkan berbagai kegiatan yang menghasilkan sesuatu karena pada usia
ini mereka senang menghasilkan karya.
Guru juga menyiapkan kegiatan-kegiatan yang berbentuk operasional konkret karena
pada masa ini mereka masih bermasalah dengan kondisi abstrak.
Anak usia ini bukanlah pendengar yang baik karena pada saat mendengarkan ia akan
dipenuhi pula dengan gagasan sehingga terkadang tidak ingat apa yang telah
dikatakannya.
Mendorong anak mengungkapkan secara deskriptif, misalnya menceritakan pengalaman
yang dialaminya.
Menyiapkan berbagai kegiatan yang sifatnya eksplorasi misalnya mencari fakta dalam
kamus, menyelidiki lingkungan, untuk dapat mengenal dunia yang lebih luas bukan
hanya yang dekat dengan dirinya.
Pengelolaan Kelas
Keberhasilan pembelajaran tematik terpadu tergantung pula pada lingkungan kelas yang
diciptakan yang dapat mendorong peserta didik untuk belajar dan menjadi tempat belajar yang
nyaman, aman, dan menyenangkan. Penataan lingkungan kelas bisa berupa pengaturan peserta
didik dan ruang kelas. Pengaturan tersebut mencakup pengaturan meja-kursi peserta didik,
penataan sumber dan alat bantu belajar, dan penataan pajangan hasil karya peserta didik.
Pengorganisasian atau pengaturan peserta didik dapat dilakukan dalam bentuk klasikal,
kelompok dan individual.
Mobilitas, memudahkan peserta didik untuk bergerak dari satu pojok ke pojok lain,
Aksesibilitas, memudahkan peserta didik mengakses sumber dan alat bantu belajar,
Interaksi, memudahkan peserta didik untuk berinteraksi dengan sesama teman atau
pendidiknya, dan
Variasi kegiatan, memudahkan peserta didik melakukan berbagai kegiatan yang beragam,
misal berdiskusi, melakukan percobaan, dan presentasi.
Ruang kelas juga dapat dilengkapi dengan Pusat belajar (‘learning centre’). Pusat belajar ini
dapat ditempatkan di pojok kelas. Pusat belajar ini dapat berisi beraneka ragam sesuai dengan
kebutuhan dan dapat diubah dari waktu ke waktu. Fungsi Pusat Belajar dapat menjadi tempat
bagi anak yang sudah menyelesaikan kegiatan sehingga tidak mengganggu teman lainnya.
Contoh pusat belajar yang dapat disesiakan misalnya pojok dengan rak yang diisi beberapa buku.
Pusat belajar ini suatu saat dapat diubah menjadi pojok matematika, yang dapat digunakan oleh
peserta didik untuk melakukan berbagai kegiatan atau menggunakan sebagai media yang
berhubungan dengan matematika. Kegiatan di tempat ini peserta didik dapat mengerjakan tugas
atau bereksperimen dengan matematika. Sumber atau media belajar dapat diletakkan pada rak,
meja, atau kotak – kotak yang diberi label sehingga mudah ditemukan saat dibutuhkan.
Karya anak juga dapat dipajangkan. Pajangan diganti secara rutin sesuai dengan tema yang
sedang digunakan. Contoh pada waktu pelaksanaan tema “Tumbuhan”, kelas dapat dirancang
dengan nuansa taman bunga dengan menghiasi berbagai macam bunga-bunga yang digantung di
jendela atau di langit-langit kelas. Pajangan disusun dengan memperhatikan estetika dan berada
dalam jangkauan pandang/sentuh peserta didik sehingga dapat digunakan sebagai sumber belajar
oleh peserta didik.
MODEL PEMBELAJARAN
Model, suatu struktur secara konseptual yang telah berhasil dikembangkan dalam suatu bidang,
dan sekarang diterapkan, terutama untuk membimbing penelitian dan berpikir dalam bidang lain,
biasanya dalam bidang yang belum begitu berkembang, (Marx, 1976). Model adalah kerangka
konseptual yang dipakai sebagai pedoman dalam melakukan suatu kegiatan.
Model pembelajaran merupakan suatu kerangka konseptual yang melukiskan prosedur secara
sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu
dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam
merencanakan dan melaksanakan aktivitas pembelajaran, (Winataputra, 1996). Model
pembelajaran berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pembelajar
dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas pembelajaran.
Berikut ini akan dibahas beberapa model pembelajaran dari sekian model yang telah banyak
dikembangkan, antara lain: Model Pembelajaran Langsung, Model Pembelajaran Kooperatif,
Pembelajaran Kontekstual, Model Pembelajaran Penemuan Terbimbing, Problem Based
Learning.
Proses pembelajaran langsung adalah proses pendidikan di mana peserta didik mengembangkan
pengetahuan, kemampuan berpikir dan keterampilan psikomotorik melalui interaksi langsung
dengan sumber belajar yang dirancang dalam silabus dan RPP berupa kegiatan-kegiatan
pembelajaran. Dalam pembelajaran langsung tersebut peserta didik melakukan kegiatan belajar
mengamati, menanya, mengumpulkan informasi, mengasosiasi atau menganalisis, dan
mengkomunikasikan apa yang sudah ditemukannya dalam kegiatan analisis. Proses pembelajaran
langsung menghasilkan pengetahuan dan keterampilan langsung atau yang disebut dengan
instructional effect.
Ciri-ciri model pembelajaran langsung antara lain:
Untuk menuntaskan materi belajar, siswa belajar dalam kelompok secara kooperatif
Kelompok dibentuk dari siswa-siswa yang memiliki kemampuan heterogen
Jika dalam kelas terdiri dari beberapa ras, suku, budaya, jenis kelamin yang berbeda,
maka diupayakan agar tiap kelompok berbaur
Penghargaan lebih diutamakan pada kerja kelompok daripada perorangan
Tujuan :
Pembelajaran Kontekstual mengasumsikan bahwa secara natural pikiran mencari makna konteks
sesuai dengan situasi nyata lingkungan seseorang melalui pencarian hubungan masuk akal dan
bermanfaat. Melalui pemaduan materi yang dipelajari dengan pengalaman keseharian siswa akan
menghasilkan dasar-dasar pengetahuan yang mendalam. Siswa akan mampu menggunakan
pengetahuannya untuk menyelesaikan masalah-masalah baru dan belum pernah dihadapinya
dengan peningkatan pengalaman dan pengetahuannya. Siswa diharapkan dapat membangun
pengetahuannya yang akan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dengan memadukan materi
pelajaran yang telah diterimanya di sekolah.
Dalam Pembelajaran Kontekstual, ada delapan komponen yang harus ditempuh, yaitu:
Pembelajaran kontekstual merupakan konsep belajar yang membantu para guru mengaitkan
antara materi yang diajarkannya dengan situasi nyata siswa dan mendorong siswa membuat
hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka
sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran berlangsung
alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari
guru kepada siswa. Proses pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil.
Dari konsep tersebut ada tiga hal yang harus kita pahami. Pertama, Pembelajaran Kontekstual
menekankan kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi. Artinya, proses belajar
diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung. Proses belajar dalam konteks
Pembelajaran Kontekstual tidak mengharapkan agar siswa hanya menerima pelajaran, tetapi
yang diutamakan adalah proses mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran.
Kedua, Pembelajaran Kontekstual mendorong agar siswa dapat menemukan hubungan antara
materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata. Artinya, siswa dituntut untuk dapat
menangkap hubungan antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini
sangat penting sebab dengan dapat mengkorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan
nyata, materi yang dipelajarinya itu akan bermakna secara fungsional dan tertanam erat dalam
memori siswa sehingga tidak akan mudah terlupakan.
Kaitkan setiap mata pelajaran dengan seorang tokoh yang sukses dalam menerapkan mata
pelajaran tersebut.
Kisahkan terlebih dahulu riwayat hidup sang tokoh atau temukan cara-cara sukses yang
ditempuh sang tokoh dalam menerapkan ilmu yang dimilikinya.
Rumuskan dan tunjukkan manfaat yang jelas dan spesifik kepada anak didik berkaitan
dengan ilmu (mata pelajaran) yang diajarkan kepada mereka.
Upayakan agar ilmu-ilmu yang dipelajari di sekolah dapat memotivasi anak didik untuk
mengulang dan mengaitkannya dengan kehidupan keseharian mereka.
Berikan kebebasan kepada setiap anak didik untuk mengkonstruksi ilmu yang
diterimanya secara subjektif sehingga anak didik dapat menemukan sendiri cara belajar
alamiah yang cocok dengan dirinya.
Galilah kekayaan emosi yang ada pada diri setiap anak didik dan biarkan mereka
mengekspresikannya dengan bebas.
Bimbing mereka untuk menggunakan emosi dalam setiap pembelajaran sehingga anak
didik penuh arti (tidak sia-sia dalam belajar di sekolah).
Discovery Learning adalah proses belajar yang di dalamnya tidak disajikan suatu konsep dalam
bentuk jadi (final), tetapi siswa dituntut untuk mengorganisasi sendiri cara belajarnya dalam
menemukan konsep. Sebagaimana pendapat Bruner, bahwa: “Discovery Learning can be defined
as the learning that takes place when the student is not presented with subject matter in the final
form, but rather is required to organize it him self” (Lefancois dalam Emetembun, 1986:103).
Dasar ide Bruner ialah pendapat dari Piaget yang menyatakan bahwa anak harus berperan aktif
dalam belajar di kelas.
Bruner memakai metode yang disebutnya Discovery Learning, di mana murid mengorganisasi
bahan yang dipelajari dengan suatu bentuk akhir (Dalyono, 1996:41). Metode Discovery
Learning adalah memahami konsep, arti, dan hubungan, melalui proses intuitif untuk akhirnya
sampai kepada suatu kesimpulan (Budiningsih, 2005:43). Discovery terjadi bila individu terlibat,
terutama dalam penggunaan proses mentalnya untuk menemukan beberapa konsep dan prinsip.
Discovery dilakukan melalui observasi, klasifikasi, pengukuran, prediksi, penentuan dan inferi.
Proses tersebut disebut cognitive process sedangkan discovery itu sendiri adalah the mental
process of assimilatig conceps and principles in the mind (Robert B. Sund dalam Malik,
2001:219).
Dalam Konsep Belajar, sesungguhnya metode Discovery Learning merupakan pembentukan
kategori-kategori atau konsep-konsep, yang dapat memungkinkan terjadinya generalisasi.
Sebagaimana teori Bruner tentang kategorisasi yang nampak dalam Discovery, bahwa Discovery
adalah pembentukan kategori-kategori, atau lebih sering disebut sistem-sistem coding.
Pembentukan kategori-kategori dan sistem-sistem coding dirumuskan demikian dalam arti relasi-
relasi (similaritas & difference) yang terjadi diantara obyek-obyek dan kejadian-kejadian
(events). Bruner memandang bahwa suatu konsep atau kategorisasi memiliki lima unsur, dan
siswa dikatakan memahami suatu konsep apabila mengetahui semua unsur dari konsep itu,
meliputi:
Nama;
Contoh-contoh baik yang positif maupun yang negatif;
Karakteristik, baik yang pokok maupun tidak;
Rentangan karakteristik;
Kaidah (Budiningsih, 2005:43).
Bruner menjelaskan bahwa pembentukan konsep merupakan dua kegiatan mengkategori yang
berbeda yang menuntut proses berpikir yang berbeda pula. Seluruh kegiatan mengkategori
meliputi mengidentifikasi dan menempatkan contoh-contoh (obyek-obyek atau peristiwa-
peristiwa) ke dalam kelas dengan menggunakan dasar kriteria tertentu.
Di dalam proses belajar, Bruner mementingkan partisipasi aktif dari tiap siswa, dan mengenal
dengan baik adanya perbedaan kemampuan. Untuk menunjang proses belajar perlu lingkungan
memfasilitasi rasa ingin tahu siswa pada tahap eksplorasi. Lingkungan ini dinamakan Discovery
Learning Environment, yaitu lingkungan dimana siswa dapat melakukan eksplorasi, penemuan-
penemuan baru yang belum dikenal atau pengertian yang mirip dengan yang sudah diketahui.
Lingkungan seperti ini bertujuan agar siswa dalam proses belajar dapat berjalan dengan baik dan
lebih kreatif. Untuk memfasilitasi proses belajar yang baik dan kreatif harus berdasarkan pada
manipulasi bahan pelajaran sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif siswa. Manipulasi
bahan pelajaran bertujuan untuk memfasilitasi kemampuan siswa dalam berpikir
(merepresentasikan apa yang dipahami) sesuai dengan tingkat perkembangannya.
Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan
oleh bagaimana cara lingkungan, yaitu: enactive, iconic, dan symbolic. Tahap enaktive,
seseorang melakukan aktivitas-aktivitas dalam upaya untuk memahami lingkungan sekitarnya,
artinya, dalam memahami dunia sekitarnya anak menggunakan pengetahuan motorik, misalnya
melalui gigitan, sentuhan, pegangan, dan sebagainya. Tahap iconic, seseorang memahami objek-
objek atau dunianya melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Maksudnya, dalam
memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan
perbandingan (komparasi). Tahap symbolic, seseorang telah mampu memiliki ide-ide atau
gagasan-gagasan abstrak yang sangat dipengaruhi oleh kemampuannya dalam berbahasa dan
logika. Dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui simbol-simbol bahasa, logika,
matematika, dan sebagainya.
Merumuskan masalah yang akan diberikan kepada siswa dengan data secukupnya.
Perumusaannya harus jelas dan hilangkan pernyataan yang multi tafsir
Berdasarkan data yang diberikan guru, siswa menyusun, memproses, mengorganisir, dan
menganlisis data tersebut. Dalam hal ini bimbingan guru dapat diberikan sejauh yang
diperlukan saja bimbingan lebih mengarah kepada langkah yang hendak dituju, melalui
pertanyaan-pertanyaan.
Siswa menyusun prakiraan dari hasil analisis yang dilakukannya
Bila dipandang perlu, prakiraan yang telah dibuat siswa tersebut hendaknya diperiksa
oleh guru. Hal ini penting dilakukan untuk meyakinkan kebenaran prakiraan siswa,
sehingga akan menuju arah yang hendak dicapai.
Apabila telah diperoleh kepastian tentang kebenaran prakiraan tersebut, maka verbalisasi
prakiraan sebaiknya disrahkan juga kepada siswa untuk menyusunnya. Disamping itu
perlu diingat pula bahwa induksi tidak menjamin 100% kebenaran prakiraan.
Sesudah siswa menemukan apa yang dicari, hendaknya guru menyediakan soal latihan
atau soal tambahan untuk memeriksa apakah hasil penemuan itu benar.
Berbagai pengembang menyatakan bahwa ciri utama model pembelajaran berdasarkan masalah
ini dalam Trianto (2007 : 68) adalah:
Mengingat bahwa masing-masing peserta didik memiliki gaya belajar yang berbeda, maka
Pembelajaran Berbasis Proyek memberikan kesempatan kepada para peserta didik untuk
menggali konten (materi) dengan menggunakan berbagai cara yang bermakna bagi dirinya, dan
melakukan eksperimen secara kolaboratif. Pembelajaran Berbasis Proyek merupakan investigasi
mendalam tentang sebuah topik dunia nyata, hal ini akan berharga bagi atensi dan usaha peserta
didik.
Pembelajaran Berbasis Proyek memerlukan banyak waktu yang harus disediakan untuk
menyelesaikan permasalahan yang komplek.
Banyak orang tua peserta didik yang merasa dirugikan, karena menambah biaya untuk
memasuki system baru.
Banyak instruktur merasa nyaman dengan kelas tradisional ,dimana instruktur memegang
peran utama di kelas. Ini merupakan suatu transisi yang sulit, terutama bagi instruktur
yang kurang atau tidak menguasai teknologi.
Banyaknya peralatan yang harus disediakan, sehingga kebutuhan listrik bertambah.
Untuk itu disarankan menggunakan team teaching dalam proses pembelajaran, dan akan lebih
menarik lagi jika suasana ruang belajar tidak monoton, beberapa contoh perubahan lay-out ruang
kelas, seperti: traditional class (teori), discussion group (pembuatan konsep dan pembagian tugas
kelompok), lab tables (saat mengerjakan tugas mandiri), circle (presentasi). Buatlah suasana
belajar menyenangkan, bahkan saat diskusi dapat dilakukan di taman, artinya belajar tidak harus
dilakukan di dalam ruang kelas.
PENILAIAN
Penilaian merupakan proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk mengukur
pencapaian hasil belajar peserta didik. Tujuan penilaian adalah:
1. Memberikan umpan balik mengenai kemajuan belajar peserta didik dalam kaitannya
dengan kompetensi-kompetensinya selama proses belajar-mengajar, dan
2. Memberikan informasi kepada para guru dan orang tua mengenai capaian kompetensi
peserta didik.
Hakikat pembelajaran tematik terpadu adalah pembelajaran lintas disiplin yang menghubungkan
berbagai gagasan, konsep, keterampilan, sikap, dan nilai, baik antar mata pelajaran maupun
dalam satu mata pelajaran. Karakteristik pembelajaran seperti itu menuntut penilaian yang
holistic dan menyeluruh. Guru harus yakin bahwa semua peserta didik memperoleh kesempatan
untuk memperlihatkan hasil melalui Proses pembelajaran tematik yang mencakup semua aspek
pembelajaran baik sikap, pengetahuan dan keterampilan. Oleh karena itu, penilaian yang tepat
adalah penilaian otentik yang dilakukan dengan menggunakan berbagai cara dan guru harus
mencari informasi dari berbagai sumber.
Prinsip-prinsip penilaian dalam pembelajaran tematik sama dengan prinsip yang harus dijadikan
landasan dalam pembelajaran terpadu, yaitu prinsip utuh dan menyeluruh, berkesinambunagn,
dan objektif. Disamping itu penilaian harus berbasis unjukkerja murid (proses dan produk),
melibatkan murid, memuat refleksi diri murid, menggunakan penilaian non konvensional
(penelitian alternative), memberi umpan balik kepada guru dan murid, memperhatikan dampak
pengiring pembelajaran (misalnya pendidikan karakter), dan sistematis. Penilaian berbasis
kinerja menuntut murid berpartisipasi aktif, pembelajarannya memuat sejumlah tugas, dan murid
berusaha untuk dapat mencapat tujuan pembelajaran. Dengan perkataan lain murid harus dapat
mendemontrasikan kemampuannya sesuai dengan target pembelajaran. Penilaian berbasis kinerja
adalah suatu prosedur penugasan kepada murid untuk mengumpulkan informasi sejauhmana
murid telah belajar.
Laporan penilaian yang memuat diskripsi umum ditulis dalam bentuk narasi meliputi aspek:
Sikap Spiritual. (Diisi oleh guru dengan kalimat positif tentang aspek menerima,
menjalankan dan menghargai ajaran agama yang dianutnya, aspek menunjukkan perilaku
jujur, disiplin, tanggungjawab, santun, peduli, percaya diri, dan cinta tanah air)
Sikap Sosial. (Diisi oleh guru dengan kalimat positif tentang aspek kemampuan mengurus
diri sendiri, rasa keingintahuan, ketepatan melaksanakan tugas, menyelesaikan masalah
bersama dengan benar, sikap percaya diri, menjalankan norma).
Pengetahuan. (Diisi oleh guru dengan kalimat positif tentang aspek mengingat dan
memahami kompetensi per mata pelajaran).
Keterampilan. (Diisi oleh guru dengan kalimat positif tentang aspek melaporkan tugas
yang diberikan, aktif bergaul bersama teman dan guru, menghasilkan karya yang estetis,
menjalankan kegiatan sesuai dengan minat dan bakat, kemampuan menanya dengan
bahasa yang jelas, logis dan sistematis).
MEDIA DAN SUMBER BELAJAR
Alat peraga juga sangat membantu pelaksanaan pembelajaran dalam rangka pencapaian
kompetensi berkaitan dengan keterampilan dan pengetahuan. Alat peraga dapat buatan pabrik,
buatan, guru, maupun buatan peserta didik. Bahan-bahan dasar berupa kayu, kaca, barang-barang
bekas, dsb dapat dimanfaatkan untuk membuat alat peraga maupun media belajar. Pembuatan
media maupun alat peraga oleh guru memerlukan kreatifitas.
Pada implementasi Kurikulum 2013, pemerintah telah menyiapkan buku teks untuk peserta didik
yang dilengkapi dengan buku guru. Materi dalam buku yang tersedia bersifat minimal, jika
dalam pemanfaatan memerlukan pengembangan, guru dapat menambahkannya disesuaikan
dengan kebutuhan dan karakteristik sekolah dan daerah.
Budaya sekolah adalah tradisi, nilai, norma dan kebijakan yang menjadi acuan dan keyakinan
suatu sekolah yang dikembangkan dan digunakan bersama melalui kepemimpinan kepala
sekolah (Fisher, D, 2012). Budaya sekolah mengatur dan mengikat hubungan antara pimpinan
dengan guru, antarguru, guru dan peserta didik, guru-orang tua dan masyarakat sebagai
kepedulian dan komitmen untuk meningkatkan keberhasilan belajar peserta didik.
Wujud budaya belajar dalam suatu kelompok kehidupan dapat dilihat pada dua kategori
bentuk.Pertama, perwujudan budaya belajar yang bersifat abstrak yaitu konsekuensi dari cara
pandang budaya belajar sebagai sistem pengetahuan yang diyakini oleh individu atau kelompok
tertentu sebagai pedoman dalam belajar. Perwujudan budaya belajar yang abstrak berada dalam
sistem gagasan atau ide yang bersifat abstrak akan tetapi beroperasi.Kedua, perwujudan budaya
yang bersifat kongkrit. Perwujudan budaya belajar secara konkrit dapat dilihat dalam bentuk;
Perilaku belajar
Ungkapan bahasa dalam belajar; dan
Hasil belajar berupa material. Budaya belajar dalam bentuk perilaku tampak dalam
interaksi sosial. Perilaku belajar individu atau kelompok yang berlatar belakang status
sosial tertentu mencerminkan pola budaya belajarnya.Perwujudan perilaku belajar
individu atau kelompok sosial dapat juga dilihat dari kondisi resmi dan tidak resmi juga.
Perbedaan dalam kondisi mencerminkan adanya nilai, norma dan aturan yang berbeda.
Bahasa adalah salah satu perwujudan budaya belajar secara kongkrit pada individu atau
kelompok sosial. Kekurangan dalam menggunakan bahasa sedikit banyak akan
menghambat percepatan dalam merealisasikan dan mengembangkan budaya belajar.
Hasil belajar berupa material menjadikan perwujudan konkret dari sistem budaya belajar
individu atau kelompok sosial. Hasil belajar tidak saja berbentuk benda melainkan
keterampilan yang mengarahkan pada keterampilan hidup (life skill).
Di dalam Kurikulum 2013 perkembangan konsep pembelajaran telah mencapai pengertian dari
pembelajaran sebagai suatu sistem, dimana dalam pengertian ini cakupannya sangat luas, dilihat
dari berbagai aspek yang dapat terlibat dalam proses pembelajaran, tidak hanya adanya interaksi
antara seorang pendidik dan peserta didik saja, serta model pembelajaran yang dikembangkan
dalam Kurikulum 2013 ini, yaitu model behavioristik yang lebih menitikberatkan pada aspek
afektif dari peserta didik yang disebabkan karena perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang semakin canggih, yang menyebabkan peserta didik mengesampingkan aspek afektif,
sehingga dalam Kurikulum 2013 ini, yang ingin lebih ditonjolkan adalah aspek afektifnya,
supaya generasi penerus bangsa mewarisi budaya-budaya Indonesia yang ramah dan berakhlak
mulia. Dalam kerangka menciptakan budaya belajar sejarah yang baik maka seorang guru
sejarah tidak hanya mampu berinteraksi dengan baik dengan sesam guru, peserta didik, orang tua
dan masyarakat, tetapi juga dapat dijadikan suri tauladan bagi peserta didiknya.
Budaya sekolah adalah sesuatu yang dikembangkan, diarahkan kembali (reshaping), dan
diperkaya agar mampu meningkatkan kinerja dan akuntabilitas sekolah. Untuk itu diperlukan
adanya:
1. Persamaan pengertian mengenai apa yang disebut dengan budaya sekolah dan apa
komponen budaya sekolah yang dikembangkan dan dijadikan unggulan.
2. Menentukan kriteria keberhasilan proses pelaksanaan budaya sekolah dan hasil dari
budaya sekolah yang dikembangkan.
3. Menentukan alat ukur keberhasilan dan cara penilaian keberhasilan.
1. Merumuskan secara jelas peran dan tugas kepala sekolah, guru, komite sekolah, dan
orangtua peserta didik.
2. Mengembangkan mekanisme komunikasi antarkomponen yang disebutkan di atas.
3. Berbagi informasi mengenai pencapaian dan keberhasilan sekolah melalui koran/majalah
dinding sekolah, website, dan selebaran serta bentuk lainnya.
Tugas utama guru adalah berusaha mengembangkan segenap potensi peserta didiknya secara
optimal, agar mereka dapat mandiri dan berkembang menjadi manusia-manusia yang cerdas,
baik cerdas secara fisik, intelektual, sosial, emosional, moral dan spiritual. Sebagai konsekuensi
logis dari tugas yang diembannya, guru senantiasa berinteraksi dan berkomunikasi dengan
peserta didiknya. Dalam konteks tugas, hubungan diantara keduanya adalah hubungan
profesional, yang diikat oleh kode etik. Berikut ini disajikan nilai-nilai dasar dan operasional
yang membingkai sikap dan perilaku etik guru dalam berhubungan dengan peserta didik,
sebagaimana tertuang dalam rumusan Kode Etik Guru Indonesia (KEGI):
Dalam budaya Indonesia, hubungan guru dengan peserta didik sesungguhnya tidak hanya terjadi
pada saat sedang melaksanakan tugas atau selama berlangsungnya pemberian pelayanan
pendidikan. Meski seorang guru sedang dalam keadaan tidak menjalankan tugas, atau sudah
lama meninggalkan tugas (purna bhakti), hubungan dengan peserta didiknya (mantan peserta
didik) relatif masih terjaga. Bahkan di kalangan masyarakat tertentu masih terbangun “sikap
patuh pada guru” (dalam bahasa psikologi, guru hadir sebagai “reference group”).
Meski secara formal, tidak lagi menjalankantugas-tugas keguruannya, tetapi hubungan batiniah
antara guru dengan peserta didiknya masih relatif kuat, dan sang peserta didik pun tetap berusaha
menjalankan segala sesuatu yang diajarkan gurunya. Dalam keseharian kita melihat
kecenderungan seorang guru ketika bertemu dengan peserta didiknya yang sudah sekian lama
tidak bertemu. Pada umumnya, sang guru akan tetap menampilkan sikap dan perilaku
keguruannya, meski dalam wujud yang berbeda dengan semasa masih dalam asuhannya.
Dukungan dan kasih sayang akan dia tunjukkan. Aneka nasihat, petatah-petitih akan meluncur
dari mulutnya.
Begitu juga dengan sang peserta didik, sekalipun dia sudah meraih kesuksesan hidup yang jauh
melampaui dari gurunya, baik dalam jabatan, kekayaan atau ilmu pengetahuan, dalam hati
kecilnya akan terselip rasa hormat, yang diekspresikan dalam berbagai bentuk, misalnya:
senyuman, sapaan, cium tangan, menganggukkan kepala, hingga memberi kado tertentu yang
sudah pasti bukan dihitung dari nilai uangnya. Inilah salah satu kebahagian seorang guru, ketika
masih bisa sempat menyaksikan putera-puteri didiknya meraih kesuksesan hidup. Rasa hormat
dari para peserta didiknya itu bukan muncul secara otomatis tetapi justru terbangun dari sikap
dan perilaku profesional yang ditampilkan sang guru ketika masih bertugas memberikan
pelayanan pendidikan kepada putera-puteri didiknya.
Orangtua adalah orang yang telah melahirkan kita atau orang yang mempunyai pertalian darah.
Orangtua juga merupakan public figure yang pertama menjadi contoh bagi anak-anak. Karena
pendidikan pertama yang didapatkan anak-anak adalah dari orangtuanya. Orangtua dan guru
adalah satu tim dalam pendidikan anak, untuk itu keduanya perlu menjalin hubungan baik. Bagi
anak-anak yang sudah masuk sekolah, waktunya lebih banyak dihabiskan bersama para guru
daripada dengan orangtua. Kedengarannya mungkin agak mengejutkan, tapi memang begitulah
kenyataannya. Ketika orangtua pulang dari tempat bekerja, anak-anak biasanya juga baru tiba
dari mengikuti kegiatan setelah jam sekolah. Hanya tersisa waktu beberapa jam saja untuk
makan malam bersama, menyelesaikan pekerjaan rumah dan mungkin menghadiri acara anak-
anak, setelah itu semuanya tidur.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar terjalin hubungan baik antara orangtua dan guru
dengan orangtua peserta didik;
Guru dan orangtua peserta didik, sama-sama menginginkan yang terbaik untuk pendidikan anak-
anak. Jika Anda mendengar kabar yang buruk tentang guru, apakah ia galak, jahat, atau tidak
obyektif, maka tetap pertahankan hubungan baik Anda dengan sang guru. Cari tahu masalah
yang sebenarnya dengan menghubungi guru itu secara sopan. Jangan mengeluarkan kata-kata
yang buruk mengenai guru di depan anak Anda. Tetap fokus terhadap masalah yang dihadapi,
jadikan itu latihan bagi Anak bersikap terbuka. Berkaitan dengan hubungan antara guru dan
orangtua, dalam kode etik guru telah disebutkan tentang hal tersebut, yaitu dalam pasal 6 (Nilai-
Nilai Dasar dan Nilai-nilai Operasional) bagian 2 tentang; Hubungan Guru dengan
Orangtua/wali Peserta didik:
Guru berusaha membina hubungan kerjasama yang efektif dan efisien dengan
Orangtua/Wali peserta didik dalam melaksanakan proses pendidikan,
Guru memberikan informasi kepada orangtua/wali secara jujur dan objektif mengenai
perkembangan peserta didik,
Guru merahasiakan informasi setiap peserta didik kepada orang lain yang bukan
orangtua/ walinya,
Guru memotivasi orangtua/wali peserta didik untuk beradaptasi dan berpatisipasi dalam
memajukan dan meningkatkan kualitas pendidikan,
Guru berkomunikasi secara baik dengan orangtua/wali peserta didik mengenai kondisi
dan kemajuan peserta didik dan proses kependidikan pada umumnya.
Guru menjunjung tinggi hak orangtua/wali peserta didik untuk berkonsultasi dengannya
berkaitan dengan kesejahteraan kemajuan, dan cita-cita anak atau anak-anak akan
pendidikan,
Guru tidak boleh melakukan hubungan dan tindakan profesional dengan orangtua/wali
peserta didik untuk memperoleh keuntungan-keuntungan pribadi.
Guru perlu memelihara hubungan baik dengan masyarakat yang lebih luas untuk kepentingan
pendidikan,misalnyamengadakan kerjasama dengan tokoh masyarakat tertentu yang berorientasi
pada peningkatan mutu pembelajaran mata pelajaran yang diampunya. Beberapa hal yang
hendaknya dilakukan guru dalam hubungannya dengan masyarakat;
Keteladanan Guru
Dalam dunia pendidikan pada umumnya dan dalam pembelajaran pada khususnya, keteladanan
sangat diperlukan dan memiliki makna yang sangat tinggi. Dengan demikian, keberhasilan pada
dunia pendidikan, khususnya keberhasilan pembelajaran yang dilakukan seorang guru salah
satunya juga ditentukan oleh seberapa besar keteladanan yang diberikan pendidik dan tenaga
kependidikan. Pada usia anak-anak (sebelum anak memasuki perguruan tinggi) masih sangat
labil dan mencari-cari figur yang akan ditiru oleh anak didik yang sesuai dengan kondisi diri
masing-masing. Dalam kondisi sebagaimana dikemukakan, nampak bahwa karakter anak didik
pada tahap awal sangat dipengaruhi oleh bagaimana kondisi lingkungan yang ada.Untuk dapat
memberikan kontribusi yang dapat membentuk karakter anak didik sebagaimana yang
diharapkan bersama, maka seluruh pendidik dan tenaga kependidikan yang ada harus
menciptakan suasana lingkungan yang kondusif. Pendidik dan tenaga kependidikan harus
memberikan dan menciptakan kondisi lingkungan yang mendukung harapan kita semua kepada
anak didik. Ingin kita bentuk seperti apa anak didik kita, maka seperti keinginan kita itulah
lingkungan harus dibentuk oleh pendidik dan tenaga kependidikan. Lingkungan yang dibentuk
oleh pendidik dan tenaga kependidikan tidak dapat bertentangan (tolak belakang) dengan
harapan kita.
Pengembangan kurikulum adalah sebuah proses yang merencanakan, menghasilkan suatu alat
yang lebih baik dengan didasarkan pada hasil penilaian terhadap kurikulum yang telah berlaku,
sehingga dapat memberikan kondisi belajar mengajar yang baik. Dengan kata lain
pengembangan kurikulum adalah kegiatan untuk menghasilkan kurikulum baru melalui langkah-
langkah penyusunan kurikulum atas dasar hasil penilaian yang dilakukan selama periode waktu
tertentu.
Pada umumnya ahli kurikulum memandang kegiatan pengembnagn kurikulum sebagai suatu
proses yang kontinu, merupakan suatu siklus yang menyangkut beberapa kurikulum yaitu
komponen tujuan, bahan, kegiatan dan evaluasi.
Oemar Hamalik (2001) membagi prinsip pengembangan kurikulum menjadi delapan macam,
antara lain:
Pengembngan kurikulum diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu, yang bertitik tolak dari
tujuan pendidikan Nasional. Tujuan kurikulum merupakan penjabaran dan upaya untuk
mencapai tujuan satuan dan jenjang pendidikan tertentu. Tujuan kurikulum mengadung aspek-
aspek pengetahuan, ketrampilan, sikap dan nilai. Yang selanjutnya menumbuhkan perubahan
tingkah laku peserta didik yang mencakup tiga aspek tersebut dan bertalian dengan aspek-aspek
yang terkandung dalam tujuan pendidikan nasional.
pengembanga kurikulum yang meliputi tujuan, isi dan system penyampaian harus relevan
(sesuai) dengan kebutuhan dan keadaan masyarakat, tingkat perkembangan dan kebutuhan siswa,
serta serasi dengan perkembnagan ilmu pengetahuan dan tegnologi.
Prinsip Fleksibilitas
Kurikulum yang luwes mudah disesuaikan, diubah, dilengkapi atau dikurangi berdasarkan
tuntutan dan keadaan ekosistem dan kemampuan setempat, jadi tidak statis atau kaku. Misalnya
dalam suatu kurikulum disediakan program pendidikan ketrampilan industri dan pertanian.
Pelaksanaaan di kota, karena tidak tersedianya lahan pertanian., maka yang dialaksanakan
program ketrampilan pendidikn industri. Sebaliknya, pelaksanaan di desa ditekankan pada
program ketrampilan pertanian. Dalam hal ini lingkungan sekitar, keadaaan masyarakat, dan
ketersediaan tenaga dan peralatan menjadi faktor pertimbangan dalam rangka pelaksanaan
kurikulum.
Prinsip Kontiunitas
Prinsip Keseimbangan
Prinsip Keterpaduan
Prinsip Mutu
Pengembangan kurikulum berorientasi pada pendidikan mutu, yang berarti bahwa pelaksanaan
pembelajaran yang bermutu ditentukan oleh derajat mutu guru, kegiatan belajar mengajar,
peralatan,/media yang bermutu. Hasil pendidikan yang bermutu diukur berdasarkan kriteria
tujuan pendidikan nasional yang diaharapkan.
Pada dasarnya strategi dan pendekatan adalah berbeda, perbedaan terletak pada jangkauan
(cakupan) bahasannya. Hal ini berarti bahwa strategi lebih sempit dari pendekatan. Strategi pada
dasarnya adalah siasat yang ditetapkan untuk untuk memecahkan suatu masalah, sedangakan
pendekatan lebih menekankan usaha dan penerapan langkah-langkah atau cara kerja dengan
menerapkan suatu strategi dan beberapa methode yang tepat, yang dijalankan sesuai dengan
langkah-langkah yang sistematik untuk memperolah hasil kerja yng lebih baik.
Jadi pendekatan pengembangan kurikulum adalah cara kerja dengan menerapkan strategi dan
methode yang tepat dengan mengikuti langkah-lngkah pengembangan yang sistematis untuk
menghasilkan kurikulum yang lebih baik, ada berbagai macam pendekatan yang dapat digunakan
dalam pengembangan kurikulum yaitu:
Dilihat dari sisi pengembang kurikulum (guru), kurikulum mempunyai fungsi sebagai
berikut : (a) fungsi preventif, yaitu mencegah kesalahan para pengembang kurikulum terutama
dalam melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan rencana kurikulum, (b) fungsi korektif, yaitu
mengoreksi dan membetulkan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh pengembang kurikulum
dalam melaksanakan kurikulum, dan (c) fungsi konstruktif, yaitu memberikan arah yang jelas
bagi para pelaksana dan pengembang kurikulum untuk membangun kurikulum yang lebih baik
lagi pada masa yang akan datang. Sementara, Hilda Taba (1962) mengemukakan terdapat tiga
fungsi kurikulum, yaitu (a) sebagai transmisi, yaitu mewariskan nilai-nilai kebudayaan, (b)
sebagai transformasi, yaitu melakukan perubahan atau rekonstruksi sosial, dan (c) sebagai
pengembangan individu.
Dilihat dari sisi peserta didik, Alexander Inglis dalam bukunya Principle of Secondary
Education mengemukakan beberapa fungsi kurikulum, sebagai berikut : (a) fungsi penyesuaian
(the adjustive or adaptive function), yaitu membantu peserta didik untuk menyesuaikan diri
dengan lingkungannya secara menyeluruh; (b) fungsi pengintegrasian (the integrating function),
yaitu membentuk pribadi-pribadi yang terintegrasi, sehingga mampu bermasyarakat; (c) fungsi
perbedaan (the differentiating function), yaitu membantu memberikan pelayanan terhadap
perbedaan-perbedaan individual dalam masyarakat; (d) fungsi persiapan (the propaedeutic
function), yaitu mempersiapkan peserta didik untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang
lebih tinggi; (e) fungsi pemilihan (the selective function), yaitu memberikan kesempatan kepada
peserta untuk memilih program-program pembelajaran secara selektif sesuai dengan
kemampuan, minat dan kebutuhannya; dan (f) fungsi diagnostik (the diagnostic function), yaitu
membantu peserta didik untuk memahami dirinya sehingga dapat mengembangkan semua
potensi yang dimilikinya
Fungsi kurikulum dapat juga ditinjau dalam berbagai perspektif, antara lain :
1. Fungsi kurikulum dalam rangka mencapai tujuan pendidikan
Fungsi kurikulum merupakan alat untuk mencapai tujuan pendidikan, yaitu alat untuk
membentuk manusia seutuhnya sesuai dengan visi, misi, dan tujuan pendidikan nasional,
termasuk berbagai tingkatan tujuan pendidikan yang ada dibawahnya. Kurikulum sebagai alat
dapat diwujudkan dalam bentuk program, yaitu kegiatan dan pengalaman belajar yang harus
dilaksanakan oleh guru dan peserta didik dalam proses pembelajaran. Program tersebut harus
dirancang secara sistematis, logis, terencana, dan sesuai dengan kebutuhan, sehingga dapat
dijadikan acuan bagi guru dan peserta didik dalam melaksanakan proses pembelajaran yang
efektif dan efisien.
2. Fungsi kurikulum bagi kepala sekolah.
Fungsi kurikulum bagi kepala sekolah merupakan pedoman untuk mengatur dan membimbing
kegiatan sehari-hari di sekolah, baik kegiatan intra kurikuler, ekstra kurikuler maupun ko-
kurikuler. Pengaturan kegiatan ini penting agar tidak terjadi tumpang tindih, seperti jenis
program pendidikan apa yang sedang dan akan dilaksanakan, bagaimana prosedur pelaksanaan
program pendidikan, siapa orang yang bertanggung jawab dan melaksanakan program
pendidikan, kapan dan dimana program pendidikan akan dilaksanakan. Bagi kepala sekolah,
kurikulum merupakan barometer keberhasilan program pendidikan di sekolah yang
dipimpinnya. Kepala sekolah dituntut untuk menguasai administrasi kurikulum dan mengontrol
kegiatan-kegiatan pembelajaran yang dilaksanakan agar sesuai dengan kurikulum yang berlaku.
Disinilah pentingnya pemerintah melibatkan kepala sekolah dalam merancang kurikulum,
termasuk sosialisasi kurikulum baru.
3. Fungsi kurikulum bagi setiap jenjang pendidikan.
Sering kita mendengar, bahwa perguruan tinggi mengeluh tentang mutu lulusan SLTA yang
kurang memadai. Para guru di SLTA memberikan alasan, karena terdapat kelemahan pada
lulusan SMP. Guru SMTP tidak mau menerimanya begitu saja, akhirnya melemparkan
kelemahan itu kepada SD. Guru-guru di SD inilah yang menjadi tumpuan masalah. Tindakan
saling melemparkan kekurangan atau kesalahan bukan merupakan solusi yang terbaik, karena
dapat menimbulkan persoalan yang semakin meruncing. Salah satu jalan keluarnya ialah setiap
jenjang pendidikan harus sama-sama saling menyesuaikan dan mempelajari kurikulum pada
sekolah-sekolah yang ada di bawah atau di atasnya. Jadikanlah kurikulum SD sebagai dasar
pertimbangan untuk mengembangkan kurikulum SMP, dan kurikulum SMP sebagai bahan
pertimbangan pengembangan kurikulum di SMA. Begitulah seterusnya sampai di perguruan
tinggi. Melalui cara seperti itu, maka kesinambungan kurikulum pada semua jenjang pendidikan
akan semakin jelas. Bagi sekolah yang berada diatasnya, kurikulum merupakan pengembangan
atau lanjutan dari pendidikan sebelumnya.
Dengan demikian, fungsi kurikulum bagi setiap jenjang pendidikan ialah (a) fungsi
kesinambungan, yaitu sekolah pada tingkat yang lebih atas harus mengetahui dan memahami
kurikulum sekolah yang dibawahnya, sehingga dapat dilakukan penyesuaian kurikulum, (b)
fungsi penyiapan tenaga, yaitu bilamana sekolah tertentu diberi wewenang mempersiapkan
tenaga-tenaga terampil, maka sekolah tersebut perlu mempelajari apa yang diperlukan oleh
tenaga terampil, baik mengenai kemampuan akademik, kecakapan atau keterampilan,
kepribadian maupun hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan sosial.
4. Fungsi kurikulum bagi guru
Dalam praktik, guru merupakan ujung tombak pengembangan kurikulum sekaligus sebagai
pelaksana kurikulum di lapangan. Guru juga sebagai faktor kunci (key factor) dalam
keberhasilan suatu kurikulum. Bagaimanapun baiknya suatu kurikulum disusun, pada akhirnya
akan sangat bergantung dengan kemampuan guru di lapangan. Efektifitas suatu kurikulum tidak
akan tercapai, jika guru tidak dapat memahami dan melaksanakan kurikulum dengan baik
sebagai pedoman dalam proses pembelajaran. Artinya, guru tidak hanya berfungsi sebagai
pengembang kurikulum, tetapi juga sebagai pelaksana kurikulum.
Guru betul-betul dituntut untuk selalu meningkatkan kompetensinya sesuai dengan
perkembangan kurikulum itu sendiri, perkembangan IPTEK, perkembangan masyarakat,
perkembangan psikologi belajar, dan perkembangan ilmu pendidikan. Guru harus memiliki
kompetensi profesional, kompetensi pedagogik, kompetensi personal, dan kemampuan sosial
secara seimbang dan terpadu. Bagi guru, memahami kurikulum merupakan suatu hal yang
mutlak dan harga mati. Segala sesuatu yang dikerjakan oleh guru dan disampaikan kepada
peserta didik harus sesuai dengan tuntutan kurikulum yang berlaku. Guru dengan kurikulum
tidak bisa dipisahkan, tetapi harus merupakan satu kesatuan yang utuh sehingga menjadi satu
raga.
5. Fungsi kurikulum bagi pengawas (supervisor)
Bagi para pengawas, fungsi kurikulum dapat dijadikan sebagai pedoman, patokan, atau ukuran
dalam membimbing kegiatan guru di sekolah. Kurikulum dapat digunakan pengawas untuk
menetapkan hal-hal apa saja yang memerlukan penyempurnaan atau perbaikan dalam usaha
pengembangan kurikulum dan peningkatan mutu pendidikan. Para pengawas harus bersikap dan
bertindak secara profesional dalam membimbing kegiatan guru di sekolah. Pengawas juga perlu
mencari data dan informasi mengenai faktor pendukung dan penghambat implementasi
kurikulum dalam hubungannya dengan peningkatan mutu guru, kelengkapan sarana pendidikan,
pemantapan sistem administrasi, bimbingan dan konseling, keefektifan penggunaan
perpustakaan, dan lain-lain. Implikasinya adalah pengawas harus menguasai kurikulum yang
berlaku agar dapat memberikan bimbingan secara professional kepada guru-guru, terutama
dalam pengembangan program pembelajaran dan implementasinya.
6. Fungsi kurikulum bagi masyarakat
Bagi masyarakat, kurikulum dapat memberikan pencerahan dan perluasan wawasan pengetahuan
dalam berbagai bidang kehidupan. Melalui kurikulum, masyarakat dapat mengetahui apakah
pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai-nilai yang dibutuhkannya relevan atau tidak dengan
kurikulum suatu sekolah. Masyarakat yang cerdas dan dinamis akan selalu (a) memberikan
bantuan, baik moril maupun materil dalam pelaksanaan kurikulum suatu sekolah, (b)
memberikan saran-saran, usul atau pendapat sesuai dengan keperluan-keperluan yang paling
mendesak untuk dipertimbangkan dalam kurikulum sekolah, dan (c) berperan serta secara aktif,
baik langsung maupun tidak langsung. Orang tua juga perlu memahami kurikulum dengan baik,
sehingga dapat memberikan bantuan kepada putra-putrinya. Fungsi kurikulum bagi orang tua
dapat dijadikan bahan untuk memberikan bantuan, bimbingan, dan fasilitas lainnya guna
mencapai hasil belajar yang lebih optimal. Bantuan dan bimbingan yang tidak didasarkan atas
kurikulum yang berlaku, dapat merugikan anak, sekolah, masyarakat dan orang tua itu sendiri.
7. Fungsi kurikulum bagi pemakai lulusan
Instansi atau perusahaan manapun yang mempergunakan tenaga kerja lulusan suatu lembaga
pendidikan tentu menginginkan tenaga kerja yang bermutu tinggi dan mampu berkompetisi agar
dapat meningkatkan produktifitasnya. Biasanya, para pemakai lulusan selalu melakukan seleksi
yang ketat dalam penerimaan calon tenaga kerja. Seleksi dalam bentuk apa pun tidak akan
membawa arti apa-apa jika instansi tersebut tidak mempelajari terlebih dahulu kurikulum yang
telah ditempuh oleh para calon tenaga kerja tersebut. Bagaimanapun, kadar pengetahuan,
keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang dimiliki calon tenaga kerja, merupakan produk dari
kurikulum yang ditempuhnya. Para pemakai lulusan harus mengenal kurikulum yang telah
ditempuh calon tenaga kerja. Studi kurikulum akan banyak membantu pemakai lulusan dalam
menyeleksi calon tenaga kerja yang handal, enerjik, disiplin, bertanggung jawab, jujur, ulet, tepat
dan kualifaid.
Peranan Kurikulum
Menurut Oemar Hamalik (1990) terdapat tiga jenis peranan kurikulum yang dinilai
sangat penting, yaitu “peranan konservatif, peranan kritis dan evaluatif, dan peranan kreatif”.
Peranan konservatif, yaitu peranan kurikulum untuk mewariskan, mentransmisikan dan
menafsirkan nilai-nilai sosial dan budaya masa lampau yang tetap eksis dalam masyarakat. Nilai-
nilai tersebut tentu merupakan nilai-nilai positif dan bermanfaat bagi pertumbuhan dan
perkembangan peserta didik di masa yang akan datang. Sekolah sebagai pranata sosial harus
dapat mempengaruhi dan membimbing tingkah laku peserta didik sesuai dengan visi, misi dan
tujuan pendidikan nasional.
Peranan kritis dan evaluatif, yaitu peranan kurikulum untuk menilai dan memilih nilai-
nilai sosial-budaya yang akan diwariskan kepada peserta didik berdasarkan kriteria tertentu.
Asumsinya adalah nilai-nilai sosial-budaya yang ada dalam masyarakat akan selalu berubah dan
berkembang. Perubahan dan perkembangan nilai-nilai tersebut belum tentu relevan dengan
karakteristik budaya bangsa kita, yaitu bangsa Indonesia. Nilai-nilai yang tidak relevan tentu
harus dibuang dan diganti dengan nilai-nilai budaya baru yang positif dan bermanfaat. Disinilah
peranan kritis dan evaluatif kurikulum sangat diutamakan. Jangan sampai peserta didik kita
terkontaminasi oleh nilai-nilai budaya asing yang bertentangan dengan Pancasila.
Peranan kreatif, yaitu peranan kurikulum untuk menciptakan dan menyusun kegiatan-
kegiatan yang kreatif dan konstruktif sesuai dengan perkembangan peserta didik dan kebutuhan
masyarakat. Kurikulum harus dapat mengembangkan semua potensi yang dimiliki peserta didik
melalui berbagai kegiatan dan pengalaman belajar yang kreatif, efektif, dan kondusif. Kurikulum
harus dapat merangsang pola berpikir dan pola bertindak peserta didik untuk menciptakan
sesuatu yang baru, sehingga bermanfaat bagi dirinya, keluarga, bangsa dan Negara
PENGEMBANGAN KOMPETENSI PEDAGOGIK DAN PROFESIONAL
GURU
Guru Profesional
Guru profesional adalah guru yang memiliki kemampuan mengorganisasikan lingkungan
belajar yang produktif. Kata “profesi” secara terminologi diartikan suatu pekerjaan yang
mempersyaratkan pendidikan tinggi bagi pelakunya dengan titik tekan pada pekerjaan mental,
bukan pekerjaan manual. Kamampuan mental yang dimaksudkan di sini adalah ada persyaratan
pengetahuan teoritis sebagai instrumen untuk melakukan perbuatan praktis.
Profesionalisme berasal dari kata bahasa Inggris professionalism yang secara leksikal
berarti sifat profesional. Profesionalisasi merupakan proses peningkatan kualifikasi atau
kemampuan para anggota penyandang suatu profesi untuk mencapai kriteria standar ideal dari
penampilan atau perbuatan yang diinginkan oleh profesinya itu. Profesionalisasi mengandung
makna dua dimensi utama, yaitu peningkatan status dan peningkatan kemampuan praktis.
Peningkatan status dan peningkatan kemampuan praktis ini harus sejalan dengan tuntutan tugas
yang diemban sebagai guru.
Dari sudut penghampiran sosiologi, Vollmer & Mills mengemukakan bahwa profesi
menunjuk kepada suatu kelompok pekerjaan dari jenis yang ideal, yang sesungguhnya tidak ada
di dalam kenyataan atau tidak pernah akan tercapai, akan tetapi menyediakan suatu model status
pekerjaan yang bisa diperoleh, bila pekerjaan itu telah mencapai profesionalisasi secara penuh.
Kata profesional berarti sering diartikan sifat yang ditampilkan oleh seorang penyandang profesi,
berikut implikasinya dikaitkan dengan kebutuhan hidupnya. Dalam UU No. 14 tahun 2005, kata
profesional diartikan sebagai pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi
sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang
memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
Djojonegoro (1998) menyatakan bahwa profesionalisme dalam suatu jabatan ditentukan
oleh tiga faktor penting.
1. Memiliki keahlian khusus yang dipersiapkan oleh program pendidikan keahlian atau spesialisasi
2. Kemampuan untuk memperbaiki kemampuan (keterampilan dan keahlian khusus yang dikuasai)
3. Penghasilan yang memadai sebagai imbalan terhadap keahlian khusus yang dimilikinya.
Untuk itu jabatan guru sebagai profesi seharusnya mendapat perlindungan hukum untuk
menjamin agar pelaksanannya tidak merugikan pelbagai pihak yang membutuhkan jasa guru
secara profesional, dengan memberikan penghargaan finansial dan non finansial yang layak bagi
sebuah profesi. Profesi guru merupakan bidang pekerjaan yang dilaksanakan berdasarkan prinsip
khusus. Di dalam UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen disebutkan bahwa prinsip-
prinsip profesi guru adalah sebagai berikut:
1. memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme;
2. memiliki komitmen unutk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak
mulia;
3. memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas;
4. memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugas;
5. memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan;
6. memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja;
7. memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan
belajar sepanjang hayat;
8. memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan; dan
9. memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan
dengan tugas keprofesionalan guru.
Sebagi tenaga profesional, guru dituntut memvalidasi ilmunya, baik melalui belajar
sendiri maupun melalui program pembinaan dan pengembangan yang dilembagakan oleh
pemerintah atau masyarakat. Pembinaan merupakan upaya peningkatan profesionalisme guru
yang dapat dilakukan melalui kegiatan seminar, pelatihan, dan pendidikan. Pembinaan guru
dilakukan dalam kerangka pembinaan profesi dan karier. Pembinaan profesi guru meliputi
pembinaan kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan
kompetensi sosial. Pembinaan karier meliputi penugasan, kenaikan pangkat, dan promosi.
Syarat suatu profesi adalah seperti berikut ini.
9. Memanfaatkan hasil penilaian dan 9.1 Menggunakan informasi hasil penilaian dan evaluasi untuk
evaluasi untuk kepentingan menentukan ketuntasan belajar.
pembelajaran. 9.2 Menggunakan informasi hasil penilaian dan evaluasi untuk
merancang program remedial dan pengayaan.
9.3 Mengkomunikasikan hasil penilaian dan evaluasi kepada
pemangku kepentingan.
9.4 Memanfaatkan informasi hasil penilaian dan evaluasi
pembelajaran untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.
10 Melakukan tindakan reflektif untuk 10.1 Melakukan refleksi terhadap pembelajaran yang telah
peningkatan kualitas pembelajaran. dilaksanakan.
10.2 Memanfaatkan hasil refleksi untuk perbaikan dan
pengembangan lima mata pelajaran SD/MI.
10.3 Melakukan penelitian tindakan kelas untuk meningkatkan
kualitas pembelajaran lima mata pelajaran SD/MI.
Kompetensi Profesional
20 Menguasai materi, Bahasa Indonesia
struktur, konsep, dan pola pikir 20.1 Memahami hakikat bahasa dan pemerolehan bahasa.
keilmuan yang mendukung mata 20.2 Memahami kedudukan, fungsi, dan ragam bahasa Indonesia.
pelajaran yang diampu. 20.3 Menguasai dasar-dasar dan kaidah bahasa Indonesia sebagai
rujukan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
20.4 Memiliki keterampilan berbahasa Indonesia (menyimak,
berbicara, membaca, dan menulis)
20.5 Memahami teori dan genre sastra Indonesia.
20.6 Mampu mengapresiasi karya sastra Indonesia, secara reseptif
dan produktif.
Matematika
20.7 Menguasai pengetahuan konseptual dan prosedural serta
keterkaitan keduanya dalam konteks materi aritmatika,
aljabar, geometri, trigonometri, pengukuran, statistika, dan
logika matematika.
20.8 Mampu menggunakan matematisasi horizontal dan vertikal
untuk menyelesaikan masalah matematika dan masalah
dalam dunia nyata.
20.9 Mampu menggunakan pengetahuan konseptual, prosedural,
dan keterkaitan keduanya dalam pemecahan masalah
matematika, serta. penerapannya dalam kehidupan sehari-
hari.
20.10 Mampu menggunakan alat peraga, alat ukur, alat hitung, dan
piranti lunak komputer.
IPA
20.11 Mampu melakukan observasi gejala alam baik secara
langsung maupun tidak langsung.
20.12 Memanfaatkan konsep-konsep dan hukum-hukum ilmu
pengetahuan alam dalam berbagai situasi kehidupan sehari-
hari.
20.13 Memahami struktur ilmu pengetahuan alam, termasuk
hubungan fungsional antarkonsep, yang berhubungan dengan
mata pelajaran IPA.
IPS
20.14 Menguasai materi keilmuan yang meliputi dimensi
pengetahuan, nilai, dan keterampilan IPS.
20.15 Mengembangkan materi, struktur, dan konsep keilmuan IPS.
PKn
20.18 Menguasai materi keilmuan yang meliputi dimensi
pengetahuan, sikap, nilai, dan perilaku yang mendukung
kegiatan pembelajaran PKn.
20.19 Menguasai konsep dan prinsip kepribadian nasional dan
demokrasi konstitusional Indonesia, semangat kebangsaan dan
cinta tanah air serta bela negara.
20.20 Menguasai konsep dan prinsip perlindungan, pemajuan
HAM, serta penegakan hukum secara adil dan benar.
Menguasai konsep, prinsip, nilai, moral, dan norma
20.21 kewarganegaraan Indonesia yang demokratis dalam konteks
kewargaan negara dan dunia.
21 Menguasai standar kompetensi dan 21.1 Memahami standar kompetensi lima mata pelajaran SD/MI.
kompetensi dasar mata Memahami kompetensi dasar lima mata pelajaran SD/MI.
pelajaran/bidang pengembangan 21.2
yang diampu. 21.3 Memahami tujuan pembelajaran lima mata pelajaran SD/MI.
22 Mengembangkan materi pem- 22.1 Memilih materi lima mata pelajaran SD/MI yang sesuai
belajaran yang diampu secara dengan tingkat perkembangan peserta didik.
kreatif. 22.2 Mengolah materi lima mata pelajaran SD/MI secara integratif
dan kreatif sesuai dengan tingkat perkembangan peserta didik.
23 Mengembangkan keprofesionalan 23.1 Melakukan refleksi terhadap kinerja sendiri secara\ terus
secara berkelanjutan dengan menerus.
melakukan tindakan reflektif. 23.2 Memanfaatkan hasil refleksi dalam rangka peningkatan
keprofesionalan.
23.3 Melakukan penelitian tindakan kelas untuk
peningkatan keprofesionalan.
23.4 Mengikuti kemajuan zaman dengan belajar dari berbagai
sumber.
24 Memanfaatkan teknologi informasi 24.1 Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi dalam
dan komunikasi untuk berkomuni- berkomunikasi.
kasi dan mengembangkan diri. 24.2 Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk
pengembangan diri.
Keempat kompetensi (kepribadian, pedagogik, profesional, dan sosial) tersebut dalam
praktiknya merupakan suatu kesatuan yang utuh. Pemilahan menjadi empat ini, semata-mata
untuk kemudahan memahaminya. Kompetensi profesional sebenarnya merupakan “payung”,
karena telah mencakup semua kompetensi lainnya. Sedangkan penguasaan materi ajar secara
luas dan mendalam lebih tepat disebut dengan penguasaan sumber bahan ajar (disciplinary
content) atau sering disebut bidang studi keahlian. Hal ini mengacu pandangan yang
menyebutkan bahwa sebagai guru yang berkompeten memiliki (1) pemahaman terhadap
karakteristik peserta didik, (2) penguasaan bidang studi, baik dari sisi keilmuan maupun
kependidikan, (3) kemampuan penyelenggaraan pembelajaran yang mendidik, dan (4) kemauan
dan kemampuan mengembangkan profesionalitas dan kepribadian secara berkelanjutan.
Latar belakang yang mempengaruhi kompetensi guru dapat dipilah menjadi 2 yaitu:
• faktor internal guru seperti: pendidikan, gender, golongan/pangkat, pengalaman kerja, motivasi,
kecerdasan, aspirasi, dll
• faktor eksternal seperti: kebijakan sekolah, penetapkan beban tugas guru (tugas pokok maupun
tambahan), penataran yang pernah dan perlu diikuti, pengesahan angka kredit kenaikan
pangkat/golongan, iklim/budaya sekolah, jumlah dan kualitas siswa yang dilayani, dukungan dan
kerjasama teman sejawat serta stake holder yang lain.
Penerbitan sertifikat profesi bagi guru adalah untuk keprofesiannya, tetapi pembayaran
tunjangan profesi adalah berdasarkan atas kinerjanya. Kriteria kinerja akan dijadikan indikator
untuk melakukan pembayaran tunjangan profesi guru; Dapat digunakan untuk mengevaluasi
kemampuan profesional guru bagi yang telah mendapatkan sertifikat profesi. Jadi kinerjanya itu
walaupun memenuhi 24 jam tatap muka, tetapi harus dilihat indikator kinerja yang sekarang
sedang dikerjakan.
Penilaian kinerja guru akan terus dilaksanakan, rencananya akan ada asesor yang ke sekolah.
Guru yang sudah mendapatkan tunjangan sertifikasi akan segera dimonitoring melalui penilaian
kinerja. Guru harus menyiapkan dokumen mengajar, minimal yang memuat KD, RPP, dan nilai
ulangan harian analisis hasil evaluasi, remedial dan pengayaan yang sesuai dengan permen 22,
permen 41, permen 20 tentang guru.
Bagi guru yang tidak benar dalam memberikan informasi sertifikasi, maka akan di-
monitoring, khususnya yang jam mengajarnya kurang dari 24 jam. Dalam permen no 39 thn
2009 dikatakan guru yang bertugas pada satuan pendidikan harus minimal 24 jam tatap muka
sesuai dengan kewenangannya. Guru melaksanakan 8 standar kompetensi pendidikan. Guru
harus selalu menyiapkan minimal 1 KD, 1 RPP, dan 1 nilai ulangan harian; Ulangan harian:
ulangan yg mewakili 1 RPP. Penilaian kinerja guru terdiri dari dimensi kepribadian, sosial,
penyusunan RPP, pelak-sanaan pembelajaran, pelaksanaan membuka dan menutup pelajaran,
variasi stimulus pembelajaran, dan keterampilan bertanya. Asesor bisa saja meminta 3 guru, 3
siswa, 2 karyawan, dan 1 orang kepala sekolah untuk mengisi kuesioner penilaian kinerja 1
orang guru. Oleh karena itu, diperlukan pengembangan profesional guru berkelanjutan.
1. Setiap aktivitas CPD adalah bagian dari sebuah rencana jangka panjang yang koheren
yang memberi kesempatan pada peserta CPD untuk menerapkan apa yang mereka
pelajari, mengevaluasi dampak pada praktek pembelajaran mereka, mengembangkan
praktek-praktek mereka.
2. CPD direncanakan dengan visi yang jelas tentang praktik-praktik yang efektif atau yang
dikembangkan. Visi dipahami bersama oleh semua pemangku kepentingan CPD dan oleh
Pimpinan dan Staf Pendukung CPD.
3. CPD memungkinkan peserta untuk mengbangkan keterampilan, pengetahuan, dan
pemahaman yang praktis, relevan, dan dapat diterapkan pada peran atau karir saat ini dan
masa depan.
4. CPD harus disiapkan oleh orang berpengalaman, berkeakhlian, dan berketerampilan.
5. CPD didasarkan pada bukti-bukti terbaik yang tersedia tentang praktik pembelajaran.
6. CPD mempertimbangkan pengetahuan dan pengalaman peserta.
7. CPD ditunjang oleh pembinaan atau mentoring oleh teman sejawat yang berpengalaman
baik dari dalam sekolah itu sendiri maupun dari luar.
8. CPD dapat menggunakan hasil observasi kelas sebagai dasar pengembangan fokus CPD
dan dampak CPD.
9. CPD merupakan pemodelan pembelajaran efektif dan pemodelan strategi pembelajaran.
10. CPD memunculkan secara terus menerus rasa ingin tahu dan kemampuan problem
solving dalam kehidupan sehari-hari di sekolah.
11. Dampak CDP pada proses pembelajaran terus menerus dievaluasi, dan hasil evaluasi ini
mengarahkan pengembangan aktivitas profesional secara terus menerus.
Alternatif Pengembangan Kompetensi Pedagogik dan Profesional Guru SD/MI
Pembinaan dan pengembangan profesi dan karir guru, termasuk juga tenaga
kependidikan pada umumnya, dilaksanakan melalui berbagai strategi dalam bentuk pendidikan
dan pelatihan (diklat) maupun bukan diklat, antara lain seperti berikut ini.
1. Pendidikan dan pelatihan
a. In-house training (IHT). Pelatihan dalam bentuk IHT adalah pelatihan yang dilaksanakan secara
internal di kelompok kerja guru, sekolah atau tempat lain yang ditetapkan untuk
menyelenggarakan pelatihan. Strategi pembinaan melalui IHT dilakukan berdasarkan pemikiran
bahwa sebagian kemampuan dalam meningkatkan kompetensi dan karir guru tidak harus
dilakukan secara eksternal, tetapi dapat dilakukan oleh guru yang memiliki kompetensi yang
belum dimiliki oleh guru lain, dengan strategi ini diharapkan dapat lebih menghemat waktu dan
biaya.
b. Program magang. Program magang adalah pelatihan yang dilaksanakan di dunia kerja atau
industri yang relevan dalam rangka meningkatkan kompetensi profesional guru. Program
magang ini diperuntukkan bagi guru dan dapat dilakukan selama periode tertentu, misalnya,
magang di sekolah tertentu untuk belajar manajemen kelas atau manajemen sekolah yang efektif.
Program magang dipilih sebagai alternatif pembinaan dengan alasan bahwa keterampilan tertentu
yang memerlukan pengalaman nyata.
c. Kemitraan sekolah. Pelatihan melalui kemitraan sekolah dapat dilaksanakan antara sekolah yang
baik dengan yang kurang baik, antara sekolah negeri dengan sekolah swasta, dan sebagainya.
Jadi, pelaksanaannya dapat dilakukan di sekolah atau di tempat mitra sekolah. Pembinaan lewat
mitra sekolah diperlukan dengan alasan bahwa beberapa keunikan atau kelebihan yang dimiliki
mitra, misalnya, di bidang manajemen sekolah atau manajemen kelas.
d. Belajar jarak jauh. Pelatihan melalui belajar jarak jauh dapat dilaksanakan tanpa menghadirkan
instruktur dan peserta pelatihan dalam satu tempat tertentu, melainkan dengan sistem pelatihan
melalui internet dan sejenisnya. Pembinaan lewat belajar jarak jauh dilakukan dengan
pertimbangan bahwa tidak semua guru terutama di daerah terpencil dapat mengikuti pelatihan di
tempat-tempat pembinaan yang ditunjuk seperti di ibu kota kabupaten atau di provinsi.
e. Pelatihan berjenjang dan pelatihan khusus. Pelatihan jenis ini dilaksanakan di lembaga-lembaga
pelatihan yang diberi wewenang, dimana program disusun secara berjenjang mulai dari jenjang
dasar, menengah, lanjut dan tinggi. Jenjang pelatihan disusun berdasarkan tingkat kesulitan dan
jenis kompetensi. Pelatihan khusus (spesialisasi) disediakan berdasarkan kebutuhan khusus atau
disebabkan adanya perkembangan baru dalam keilmuan tertentu.
f. Kursus singkat di perguruan tinggi atau lembaga pendidikan lainnya. Kursus singkat
dimaksudkan untuk melatih meningkatkan kemampuan guru dalam beberapa kemampuan seperti
kemampuan melakukan penelitian tindakan kelas, menyusun karya ilmiah, merencanakan,
melaksanakan dan mengevaluasi pembelajaran, dan lain-lain sebagainya.
g. Pembinaan internal oleh sekolah. Pembinaan internal ini dilaksanakan oleh kepala sekolah dan
guru-guru yang memiliki kewenangan membina, melalui rapat dinas, rotasi tugas mengajar,
pemberian tugas-tugas internal tambahan, diskusi dengan rekan sejawat dan sejenisnya.
h. Pendidikan lanjut. Pembinaan profesi guru melalui pendidikan lanjut juga merupakan alternatif
bagi peningkatan kualifikasi dan kompetensi guru. Pengikutsertaan guru dalam pendidikan lanjut
ini dapat dilaksanakan dengan memberikan tugas belajar baik di dalam maupun di luar negeri
bagi guru yang berprestasi. Pelaksanaan pendidikan lanjut ini akan menghasilkan guru-guru
pembina yang dapat membantu guru-guru lain dalam upaya pengembangan profesi.
2. Kegiatan selain pendidikan dan pelatihan
a. Diskusi masalah-masalah pendidikan. Diskusi ini diselenggarakan secara berkala dengan topik
diskusi sesuai dengan masalah yang dialami di sekolah. Melalui diskusi berkala diharapkan para
guru dapat memecahkan masalah yang dihadapi berkaitan dengan proses pembelajaran di
sekolah ataupun masalah peningkatan kompetensi dan pengembangan karirnya.
b. Seminar. Pengikutsertaan guru di dalam kegiatan seminar dan pembinaan publikasi ilmiah juga
dapat menjadi model pembinaan berkelanjutan bagi peningkatan keprofesian guru. Kegiatan ini
memberikan peluang kepada guru untuk berinteraksi secara ilmiah dengan kolega seprofesinya
berkaitan dengan hal-hal terkini dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan.
c. Workshop. Workshop dilakukan untuk menghasilkan produk yang bermanfaat bagi
pembelajaran, peningkatan kompetensi maupun pengembangan karirnya. Workshop dapat
dilakukan misalnya dalam kegiatan menyusun KTSP, analisis kurikulum, pengembangan silabus,
penulisan RPP, dan sebagainya.
d. Penelitian. Penelitian dapat dilakukan guru dalam bentuk penelitian tindakan kelas, penelitian
eksperimen ataupun jenis yang lain dalam rangka peningkatan mutu pembelajaran.
e. Penulisan buku/bahan ajar. Bahan ajar yang ditulis guru dapat berbentuk diktat, buku pelajaran
ataupun buku dalam bidang pendidikan.
f. Pembuatan media pembelajaran. Media pembelajaran yang dibuat guru dapat berbentuk alat
peraga, alat praktikum sederhana, maupun bahan ajar elektronik atau animasi pembelajaran.
g. Pembuatan karya teknologi/karya seni. Karya teknologi/seni yang dibuat guru dapat berupa
karya yang bermanfaat untuk masyarakat atau kegiatan pendidikan serta karya seni yang
memiliki nilai estetika yang diakui oleh masyarakat.
Dalam pertumbuhan kecendrungan pendidik harus mengembangkan kompetensi pedagogik
dan profesionalnya secara mandiri, yang diperlukan adalah:
1. Memberikan peluang yang lebih banyak kepada guru meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan pedagogis; pemahaman budaya dan faktor-faktor psikologis yang
mempengaruhi belajar siswa, dan dengan asumsi yang lebih besar, dan meningkatkan
tanggung jawab mengembangkan kurikulum, penilaian, dan berkolaborasi antar guru
dengan dukkungn teknologi.
2. Memberi lebih banyak waktu agar guru mengembangkan sikap baru, melakukan
penilaian, berdiskusi, merenung, menilai, mencoba pendekatan baru dan meng-
integrasikan mereka ke dalam pelaksanaan tugas sehari-hari, dan menyediakan waktu
untuk merencanakan pengembangan profesi mereka sendiri.
3. Pengembangan profesi yang lebih mengutamakan perbaikan kerja melalui penelitian
untuk menyempurnakan pekerjaan sehari-hari yang lebih efektif, memusatkan kegiatan
pada aktivitas guru pada tingkat satuan pendidikan.
4. Menyediakan Pembina yang professional yang dapat membimbing dan membantu
mereka dalam meningkatkan kinerja mengajar mereka, mereka juga meningkatkan
kompetensi profesional diri mereka sendiri.
5. Melasakanan kegiatan refleksi, sehingga monitoring proses perlu dilaksanakan secara
efektif. Monitoring dapat diintegrasikan dalam sistem evaluasi diri sekolah. Dengan
pengembangan sistem monitoring dan evaluasi diri proses belajar yang berkembang
efektif maka tingkat kepercayaan guru pada diri mereka sendiri dalam mengajar, siswa,
belajar, dan mengajar terus dapat ditumbuhkan.
6. Mengintegrasikan guru dalam jaringan teknologi informasi dan komunikasi.
7. Memantau apa yang guru lain lakukan dan guru lain hasilkan terbukti dapat
meningkatkan pendidik lebih termotivtasi untuk berkesplorasi dan berinovasi dalam
menyempurnakan pekerjaannya. Oleh karena itu meningkatkan kolaborasi guru dengan
sekolah-sekolah yang baik di dalam negeri maupun dalam level internasional merupkan
langkah yang patut mendapat pertimbangan yang serius dari para pemegang kebijakan
pendidikan.
a. Strategis: kegiatan yg tepat dg beaya murah, tenaga sedikit, sarana terjangkau tetapi
menghasilkan yg optimal
b. Berdampak triple dan berkelanjutan: selesainya satu kegiatan berpengaruh terhadap
banyak fihak dan melahirkan serangkaian kegiatan lanjut
c. Partisipatif: sejak awal melibatkan banyak fihak kunci dan diikuti dan didukung sampai
akhir
d. Bergaung/bergema: Kegiatan itu didengar dan memberi efek bagi banyak fihak
e. Masuk/terkait dengan jaringan/program yang sudah ada.
Penutup
Guru profesional sesungguhnya adalah guru yang di dalam melaksanakan tugas pokok
dan fungsinya bersifat otonom, menguasai kompetensi secara komprehensif, dan daya intelektual
tinggi. Kata otonom mengandung makna, bahwa guru profesional adalah mereka yang secara
profesional dapat melaksanakan tugas dengan pendekatan bebas dari intervensi kekuasaan atau
birokrasi pendidikan. Dengan demikian, guru harus menjadi profesional sungguhan untuk bisa
tumbuh secara madani.
Guru profesional pun memiliki daya juang dan energi untuk mereduksi secara kuat
munculnya kuasa birokrasi pendidikan, kepala sekolah, dan pengawas sekolah atas hak dan
kewajibannya. Mereka pun bebas berafiliasi ke dalam organisasi sebagai wahana perjuangan,
pengembangan profesi, dan penegakan independensi sebagai “pekerja” yang memiliki atasan
langsung. Guru profesional adalah mereka yang memiliki kemandirian tinggi ketika berhadapan
birokrasi pendidikan dan pusat-pusat kekuasaan lainnya. Mereka memiliki ruang gerak yang
bebas sebagai wahana bagi keterlibatannya di bidang pendidikan dan pembelajaran,
pengembangan profesi, pengabdian kepada masyarakat, dan kegiatan penunjang lainnya. Dengan
demikian, dari sisi kepribadian mereka tumbuh menjalani profesionalisasinya. Guru profesional
memiliki arena khusus untuk berbagi minat, tujuan, dan nilai-nilai profesional serta kemanusiaan
mereka. Dengan sikap dan sifat semacam itu, guru profesional memiliki kemampuan untuk
selalu mengembangkan kompetensi pedagogik dan profesional dengan melakukan
profesionalisasi-diri, memotivasi-diri, memiliki disiplin-diri, mengevaluasi-diri, taat asas pada
kode etik, memiliki kesadaran-diri, melakukan hubungan-efektif, berempati tinggi, dan menjadi
pembelajar yang terus melakukan pengembangan-diri.***
Beberapa Contoh Tema Pengembangan Kompetensi Pedagogik
1. Memahami karakteristik anak usia remaja dalam penggalan kelompok usia 15-18 tahun:
a. Karakteristik: fisik, social, emosional, dan intelektual anak usia remaja
b. pengumpulan dan menganalisis data tentang karakteristik anak usia remaja melalui berbagai
teknik yang relevan untuk pendidikan dan pengajaran
c. penerapan cara-cara memahami perilaku anak usia remaja merancang kegiatan yang mendorong
peserta didik berperilaku sesuai dengan tingkat perkembangannya.
2. Memahami karakteristik anak usia remaja yang membutuhkan penanganan secara
khusus (penyimpangan dari kondisi ideal):
a. perilaku anak yang memiliki kelainan fisik, gangguan sosial-emosional, dan intelektual
berdasarkan data yang dikumpulkan dan upaya pendidikannnya
b. karakteristik peserta didik berbakat/memiliki kecerdasar di atas normal dan upaya pendidikan
dan pengajarannya
c. berbagai faktor penyebab masalah psikologis anak usia remaja dengan penangannya melalui
berbagai teknik yang relevan
b. memeberikan bantuan/bimbingan kepada anak usia remaja yang mengalami masalah sosial-
psikologis
c. mengembangkan kegiatan pengayaan bagi anak berbakat
d. mengidentifikasi kasus-kasus peserta didik yang memerlukan layanan khusus.
3. Memahami latar belakang keluarga dan masyarakat untuk menetapkan kebutuhan bela-
jar remaja dalam konteks kebhinnekaan budaya
a. Studi latar belakang keluarga dan atau lingkungan siswa untuk lebih memahami kebutuhan
belajar remaja
b. Melakukan survey terhadap lingkungan keluarga peserta didik dan masyarakat
c. Merancang kegiatan-kegiatan yang mencerminkan kebhinnekaan budaya.
4. Peningkatan kemampuan mengembangkan potensi peserta didik usia remaja
a. Mengkaji konsep-konsep psikologi pendidikan yang berkaitan dengan pengembangan potensi
peserta didik
b. Mengembangkan kegiatan yang dapat meningkatkan potensi peserta didik secara optimal, baik
berupa kegiatan pengayaan maupun remedial.
5. Meningkatkan penguasaan prinsip-prinsip dasar pembelajaran yang mendidik
a. Mengkaji landasan filosofis, psikologis, sosial serta landasan lainnya yang mendasari
pembelajaran di SD/MI
b. Mengkaji prinsip-prinsip pendidikan bagi pembelajaran anak usia remaja, termasuk anak yang
berkaitan dengan kelainan yang disandang dan/atau kesulitan belajar yang dihadapi
c. Mengkaji berbagai model pembelajaran inovatif yang berpusat pada peserta didik SD/MI
d. Mengembangkan berbagai pendekatan, strategi, metode, dan teknik pembelajaran yang
mendidik, termasuk untuk peserta didik yang membutuhkan penanganan khusus
e. Loka karya penggunaan berbagai pendekatan, strategi, metode, dan teknik pembelajaran yang
mendidik, termasuk untuk peserta didik yang mengalami kesulitan belajar.
6. Meningkatkan kemampuan mengembangkan kurikulum SD/MI dan pembelajaran secara
kreatif dan inovatif
a. Mengkaji prinsip-prinsip perencanaan kurikulum (KTSP)
b. Mengembangkan berbagai inovasi pembelajaran SD/MI
c. Mengembangkan kurikulum SD/MI sesuai dengan tuntutan situasi zaman dan kebutuhan peserta
didik
d. Mengembangkan materi mata pelajaran sesuai bidang ilmu guru dengan pendekatan kontekstual,
integratif, dan fungsional
e. Mengembangkan berbagai jenis bahan ajar dan atau media pembelajaran yang mendorong
keterlibatan peserta didik secara optima
Kompetensi Pedagogis Guru
Pedagogis merupakan suatu kajian tentang pendidikan anak, berasal dari kata Yunani
“paedos”, yang berarti anak laki-laki, dan “agogos” artinya mengantar, membimbing (Sadulloh,
U. 2011: 2). Selanjutnya dikatakan pedagogis secara harafiah berarti pembantu anak laki-laki
pada zaman Yunani kuno yang pekerjaannya mengantarkan anak majikannya ke sekolah.
Kemudian secara kiasan pedagogis ialah seorang ahli yang membimbing anak ke arah tujuan
(dalam Sadulloh, U. 2011:2) pedagogis adalah ilmu yang mempelajari masalah membimbing
anak ke arah tujuan tertentu, yaitu supaya ia kelak “mampu secara mandiri menyelesaikan tugas
hidupnya”. Pedagogis merupakan suatu teori dan kajian yang secara teliti, kritis dan obyektif
Guru merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses
melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat (UU RI, No. 20 Tahun 2003, Bab IX,
Pasal 39 Ayat 2e). Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan
anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah (UU RI, No.
keseluruhan, yang harus mendapat perhatian sentral, pertama dan utama. Figur yang satu ini akan
senantiasa menjadi sorotan yang strategis ketika berbicara masalah pendidikan, karena guru
selalu terkait dengan komponen manapun dalam sistem pendidikan. Guru juga sangat
menentukan keberhasilan peserta didik, terutama dalam kaitanya dengan proses belajar
mengajar. Guru merupakan komponen yang paling berpengaruh terhadap tercapainya proses dan
hasil pendidikan yang berkualitas. Oleh karena itu, upaya perbaikan apapun yang dilakukan untk
meningkatkan kualitas pendidikan tidak akan memberikan sumbangan yang signifikan tanpa
didukung oleh guru yang profesional dan berkualitas. Dengan kata lain, perbaikan pendidikan
selalu berhadapan dengan murid yang memerlukan pengetahuan, keterampilan, dan sikap utama
untuk menghadapi hidupnya di masa depan. Idealnya pemerintah, asosiasi pendidikan dan guru,
serta satuan pendidikan memfasilitasi guru untuk mengembangkan kemampuan bersifat kognitif
berupa pengertian dan pengetahuan, afektif berupa sikap dan nilai, maupun performansi berupa
Tidak kompetennya seorang guru dalam penyampaian bahan ajar secara tidak langsung akan
berpengaruh terhadap proses dan hasil pembelajaran. Karena proses pembelajaran tidak hanya
dapat tercapai dengan keberanian, melainkan faktor utamanya adalah kompetensi yang ada
Dalam pembelajaran diperlukan adanya metode mengajar yang efektif. Agar menjadi efektif,
pengajaran harus lebih jauh dari sekadar menyampaikan isi pelajaran dengan gaya ceramah saja,
tetapi juga mengajar secara interaktif yaitu adanya interaksi antara guru dan siswa sangat
diperlukan dalam belajar mengajar. Dalam berbagai studi, di antaranya di England dan Wales
menunjukkan bahwa secara keseluruhan pengajaran interaktif merupakan salah satu faktor yang
berhubungan paling kuat dengan hasil belajar siswa (Reynolds D. dan Muijs, D, 2008: 66-67).
Kualitas pembelajaran sebagaimana yang dikehendaki di atas, dapat dilihat dari sisi proses
maupun hasil. Dari sisi proses, pembelajaran dikatakan berhasil atau berkualitas apabila seluruh
atau sebagian besar anak didik terlibat aktif dalam proses pembelajaran, di samping
menunjukkan gairah yang tinggi, semangat belajar yang besar serta percaya diri yang memadai.
Sedangkan dari sisi hasil, pembelajaran dikatakan berhasil apabila terjadi perubahan positif pada
peserta didik. Demikian pula halnya dengan efektif dan bermaknanya sebuah pembelajaran,
dapat dikatakan menemukan keberhasilan apabila memberikan keberhasilan pada sisi siswa
Dalam meningkatkan mutu kinerja guru memiliki kewajiban untuk memenuhi mutu materi
pelajaran, mengelola proses pembelajaran agar meningkatkan minat siswa untuk belajar baik
melalui peningkatan kemampuan individu dalam kerja sama kelompok. Potensi diri siswa
dikembangkan melalui kerja sama. Menggunakan teknologi sesuai dengan tingkat perkembangan
siswa dan kemampuan sekolah menyediakan sarananya dalam rangka meningkatkan mutu
dunia.
2. Indikator Kompetensi Pedagogik
Slamet (dalam Sagala, 2011: 31) menjelaskan Pedagogis terdiri dari Sub-kompetensi :
(a) Berkontribusi dalam pengembangan KTSP yang terkait dengan mata pelajaran yang
diajarkan; (b) Mengembangkan silabus mata pelajaran berdasarkan Standar Kompetensi (SK)
dan Kompetensi Dasar (KD); (c) Merencanakan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP); (d)
Merancang manajemen pembelajaran dan manajemen kelas; (e) Melaksanakan pembelajaran
yang pro perubahan (aktif, kreatif, inovatif, eksperimentatif, efektif, dan menyenangkan); (f)
Menilai hasil belajar peserta didik secara otentik; (g) Membimbing peserta didik dalam berbagai
aspek; (h) Mengembangkan profesionalisme diri sebagai guru.
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan guru haruslah memiliki kualitas yang mumpuni
untuk melakukan tupoksinya. Mengajar di kelas dilakukan oleh individu yang mampu menguasai
Menurut Badan Standar Nasional Pendidikan (2006: 88), yang termasuk di dalam
Kemampuan dalam pengelolaan peserta didik yang meliputi: (a) Pemahaman wawasan atau
landasan kependidikan; (b) Pemahaman tentang peserta didik; (c) pengembangan
kurikulum/silabus; (d) perancangan pembelajaran; (e) Pelaksanaan pembelajaran yang mendidik
dan dialogis; (f) Evaluasi hasil belajar; dan (g) Pengembangan peserta didik untuk
mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
a) Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, sosial, kultural, emosional dan
intelektual.
i) Memahami karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, spiritual, sosial, kultural,
emosional dan intelektual.
ii) Mengidentifikasi potensi peserta didik dalam mata pelajaran yang diampu.
iii) Mengidentifikasi bekal-ajar awal peserta didik dalam mata pelajaran yang diampu.
iv) Mengidentifikasi kesulitan belajar peserta didik dalam mata pelajaran yang di ampu.