You are on page 1of 2

MENCEGAH SUAP

Suap merupakan istilah yang lazim dikenal dimasyarakat, dan sering dikatakan bahwa suap adalah induk
dari tindak pidana korupsi. Melihat aturan perundang-undangan di Indonesia tentang tindak pidana
korupsi, mengatur beberapa perbuatan yang digolongkan sebagai tindak pidana korupsi, tetapi apabila
diperas intisari dari tindak pidana korupsi adalah suap. Dalam Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang diubah dengan Undang – Undang Nomor 20 Tahun
2001 tentang perubahan atas Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak
pidana korupsi, delik suap terdapat dalam beberapa pasal dengan perbedaan terhadap sifat melawan
hukum pada masing – masing pasalnya. Secara umum pengertian menerima suap dalam undang –
undang tersebut adalah menerima hadiah atau janji yang berhubungan dengan jabatan atau
kewenangannya, bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara. Walaupun ada juga delik suap yang
berlaku bagi orang – orang selain pegawai negeri atau penyelenggara negara, yaitu sebagaimana diatur
didalam Undang – Undang Nomor 11 tahun 1980 tentang tindak pidana suap, tetapi menyaratkan hanya
terhadap hal yang berhubungan dengan kepentingan umum.

Praktik Suap terjadi karena ada keadaan yang ditransaksikan, dimana satu pihak memiliki kewenangan
atau pengaruh, dan disisi lain memerlukan perlakuan khusus dengan menggunakan kewenangan atau
pengaruh tersebut, sehingga ditransaksikan dengan cara memberikan sesuatu. Seringkali orang
menyampaikan bahwa terjadinya suap karena adanya kesenjangan antara gaji dari pegawai negeri yang
rendah, sehingga mudah dipengaruhi oleh orang yang berkepentingan atas kewenangan yang dimiliki
oleh pegawai negeri tersebut. Pada dasarnya pegawai negeri bisa menerima suap karena adanya
kewenangan atau kekuasaan yang ada padanya, dan atas penyalahgunaan kewenangan atau kekuasaan
tersebut maka menghadapkan ada suatu imbalan. Bila dicermati, bahwa seorang pegawai negeri atau
penyelenggara negara dipandang sebagai orang yang harus membela kepentingan negara dan
masyarakat, yang untuk itu kepada dirinya diberikan kewenangan atau sebagian kekuasaan negara atas
pengurusan hak atau kewajiban negara. Dengan demikian efek dari terjadinya suap, baik secara
langsung maupun tidak langsung akan menimbulkan kerugian negara atau masyarakat yang sangat
besar, walaupun hal itu bukan bagian dari unsur delik.

Keadaan sekarang bahwa praktik suap banyak terjadi dihampir semua instansi pemerintah, baik yang
dilakukan oleh pegawai negeri tingkat bawah (staf) maupun pejabat ditingkat yang lebih atas. Praktik
suap yang sedemikian massif, meluas dan terjadi dihampir semua urusan pemerintahan membuat
masyarakat pesimis dan mengikuti praktik tersebut. Hal ini bisa kita lihat pada pertimbangan yang
digunakan pada Undang – Undang Nomor 20 tahun 2001, dengan menyatakan korupsi digolongkan
sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa (extraordinary).
Konsekuensinya dinyatakan pada Pasal 15 Undang – Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan
Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 bahwa “setiap orang yang melakukan percobaan, perbantuan,
atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana yang sama sebagaimana
dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14”. Pasal 15 tersebut menegaskan dua hal, yaitu
; pertama berlakunya permufakatan jahat untuk menjerat pelaku tindak pidana korupsi, dan
peningkatan sanksi hukuman bagi orang yang melakukan permufakatan jahat, perbantuan dan
percobaan terhadap tindak pidana korupsi. Dengan ketentuan ini mestinya membuat pembuktian
perkara tindak pidana korupsi menjadi lebih mudah, dan juga mencegah akibat yang lebih luas pada
kejahatan tindak pidana korupsi itu sendiri.

You might also like