You are on page 1of 30

MAKALAH FARMAKOTERAPI

SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS

Disusun oleh :
Kelompok 2A
3351162013 Sriwahyuningsi D.Solang
3351162031 Felicia Cahyawati
3351162038 Rosiana Dawakan
3351162042 Neneng Iis Istiqomah
3351162076 Sinta Mustika
3351162095 Mohammad Ibnu Shaleh
3351162165 Bella Karina
3351162173 Weni Widy Astuti
3351162193 Putu Agnesia Putri Maristha

Program Studi Profesi Apoteker


Fakultas Farmasi
Universitas Jenderal Achmad Yani
Cimahi
2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala

limpahan karuniaNYa sehingga kami dapat menyeklesaikan tugas kelompok

mata kuliah Farmakoterapi dan Terminologi Medik. Pada makalah ini kami akan

membahas tentang Systemic Lupus Erythematosus (SLE) atau Lupus

Eritomatosus Sistemik.

Makalah ini ditulis dari hasil penyusunan data-data sekunder yang penulis

peroleh dari berbagai sumber yang berkaitan dengan Systemic Lupus

Erythematosus (SLE) atau Lupus Eritomatosus Sistemik. Tidak lupa penyusun

ucapkan terima kasih kepada pengajar matakuliah Farmakoterapi dan Terminolofi

Medik atas bimbingan dan arahannya dalam penulisan makalah ini. Juga kepada

rekan-rekan mahasiswa yang telah mendukung sehingga dapat diselesaikannya

makalah ini.

Penulis harap, dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi

kita semua, dalam hal ini dapat menambah wawasan kita mengenai penyakit SLE

dan penanganan untuk meningkatkan kualitas hidup pendertita SLE. Makalah ini

masih jauh dari sempurna, maka penulis mengharapkan kritik dan saran dari

pembaca demi perbaikan menuju arah yang lebih baik.

Cimahi, 10 Oktober 2016

Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ............................................................................................... i


DAFTAR ISI.............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1
I.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 1
I.3 Tujuan Penulisan ................................................................................... 2
I.4 Manfaat Penulisan ................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
II.1 Lupus Eritematosus Sistemik ............................................................... 3
II.1.1 Definisi ...................................................................................... 3
II.2.2 Klasifikasi .................................................................................. 3
II.2 Prevalensi SLE ...................................................................................... 4
II.3 Patofisiologi SLE ............................................................................... 5
II.4 Etiologi ................................................................................................. 7
II.4.1 Diagnosis .................................................................................... 8
II.4.2 Gejala ......................................................................................... 10
II.5 Faktor Resiko ........................................................................................ 11
II.6 Penatalaksanaan Terapi.............................................................................. 12
II.6.1 Terapi Non Farmakologi…………………………………… 13
II.6.2 Terapi Farmakologi..................................... ............................... 13
II.7 Interaksi Obat................................................................... ..................... 22
II.8 Terminologi Medik.............. ................................................................. 24
II.9 Studi Kasus................................................................. .......................... 24
BAB II I PENUTUP
III.1 Kesimpulan ......................................................................................... 26
III.2 Saran .................................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 27

ii
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Lupus Eritematosus Sistemik (LES) dikenal sebagai suatu penyakit
autoimun yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada sel dan jaringan.
Autoimun merupakan suatu keadaan abnormal dimana sistem imun tubuh akan
menyerang jaringan atau organ dalam tubuh itu sendiri karena sistem imun
menganggap jaringan atau organ tersebut sebagai benda asing.
Lupus berasal dari bahasa Latin yang berarti “Anjing hutan” atau
“Serigala”. Pada awalnya, penderita penyakit lupus diduga mempunyai kelainan
kulit karena timbulnya kemerahan dengan pola kupu-kupu disekitar pipi dan
hidung serta adanya bercak-bercak merah dibagian wajah dan lengan. Tetapi,
penyakit ini ternyata tidak hanya dapat menyerang kulit. Organ tubuh lain seperti
ginjal, hati, jantung, otak dan paru-paru juga dapat terinfeksi sehingga penyakit
lupus disebut dengan Lupus Eritematosus Sistemik (LES). Eritematosus artinya
kemerahan dan sistemik artinya menyebar luas keberbagai organ tubuh.
Perkembangan penyakit lupus di Indonesia meningkat tajam. Data
Yayasan Lupus Indonesia (YLI) menunjukkan bahwa jumlah penderita penyakit
Lupus di Indonesia meningkat dari 12.700 jiwa pada tahun 2012 menjadi 13.300
jiwa per April 2013. Hal ini disebabkan oleh manifestasi penyakit yang sering
terlambat diketahui sehingga berakibat pada pemberian terapi yang tidak tepat.

I.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan Lupus Eritematosus Sistemik (LES)?
2. Bagaimana patofisiologi dari penyakit Lupus Eritematosus Sistemik (LES)?
3. Bagaimana diagnosa dan gejala dari Lupus Eritematosus Sistemik (LES)?
4. Apa saja faktor resiko yang dapat memicu Lupus Eritematosus Sistemik
(LES)?
5. Bagaimana penatalaksanaan terapi untuk penyakit Lupus Eritematosus
Sistemik (LES)?

1
6. Bagaimana interaksi obat untuk penyakit Lupus Eritematosus Sistemik (LES)
dengan obat lainnya?

I.3 Tujuan Penulisan


Untuk mengetahui dan memahami penyakit Lupus Eritematosus Sistemik (LES)
secara keseluruhan dari pengertian, klasifikasi, patofisiologi, etiologi,
epidemiologi dan penatalaksanaan terapi serta untuk membantu tenaga kesehatan
dalam memberikan terapi kepada pasien penderita lupus.

I.4 Manfaat Penulisan


1. Sebagai bahan untuk menambah pengetahuan dan wawasan mengenai penyakit
Lupus Eritematosus Sistemik (LES).
2. Sebagai bahan ajar dalam perkuliahan Farmakoterapi.
3. Sebagai panduan bagi tenaga kesehatan khususnya apoteker dalam
memberikan terapi kepada pasien penderita lupus.

2
BAB II
PEMBAHASAN

II.1 Lupus Eritematosus Sistemik (LES)


II.1.1 Definisi
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan penyakit inflamasi
autoimun kronis yang belum jelas penyebabnya, memiliki sebaran gambaran
klinis yang luas serta tampilan perjalanan penyakit yang beragam(1,2). Systemic
Lupus Erythematosus (SlE) merupakan suatu penyakit autoimun yang dapat
menyebabkan terjadinya kerusakan pada sel dan jaringan.

Pada penyakit ini, sistem imun yang seharusnya melawan bakteri dan virus
justru merusak jaringannya sendiri dan hal ini menyebabkan terjadinya
peradangan. Peradangan tersebut akan menyebabkan terjadinya pembengkakkan,
nyeri, dan kerusakan jaringan. Jika lupus semakin parah, penderitanya mungkin
akan terkena gangguan pada ginjal, paru-paru, jantung, sistem saraf, dan sel
darah(3).

Penyakit ini terutama menyerang wanita usia reproduksi dengan angka


kematian yang cukup tinggi. Faktor genetik, imunologik dan hormonal serta
lingkungan diduga berperan dalam patofisiologi LES(4).

II.1.2 Klasifikasi
Menurut Myers S.A dan Mary HE (2001) penyakit lupus eritematosus
diklasifikasikan menjadi 4 bagian besar yaitu :
1. Chronic Cutaneous Lupus Erythematosus (CCLE) merupakan lupus yang
hanya menyerang kulit. Gejalanya adalah ruam pada leher, wajah dan kulit
kepala. CCLE dibagi lagi ke dalam 2 subtipe yaitu :
a) Discoid Lupus Erythematosus (DLE)
b) Hypertrophic Lupus Erythematosus (HLE)
2. Subacute Cutaneous Lupus Erythematosus (SCLE) merupakan lupus yang bisa
mengenai hampir semua bagian tubuh.
3. Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE) merupakan lupus yang diakibatkan
oleh pengobatan medis (obat-obatan yang memicu resiko terkena lupus). Lupus

3
yang disebabkan oleh induksi obat tertentu khususnya pada asetilator lambat
yang mempunyai gen HLA DR-4 menyebabkan asetilasi obat menjadi lambat,
obat banyak terakumulasi di tubuh sehingga memberikan kesempatan obat
untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon sebagai benda
asing oleh tubuh sehingga tubuh membentuk kompleks antibodi antinuklear
(ANA) untuk menyerang benda asing tersebut(9).
4. Neonatal Lupus Erythematosus merupakan lupus yang terjadi pada bayi yang
baru lahir. Gejalanya adalah ruam selama beberapa minggu, semenjak bayi
dilahirkan, jika kondisi semakin parah akan berbahaya bagi jantung bayi.

II.2 Prevalensi SLE


Penderita SLE diperkirakan mencapai 5 juta orang di seluruh dunia.
Prevalensi SLE di India 3 kasus per 100.000 populasi yang dilaporkan. Kejadian
SLE di United Kingdom dilaporkan sekitar 49,6 kasus per 100.000 populasi.
Prevalensi SLE di Amerika adalah 1 kasus per 1000 populasi dengan rasio
wanita:laki-laki antara (9-14):1. Belum terdapat data epidemiologi SLE yang
mencakup semua wilayah Indonesia. Data tahun 2002 di RSUP Cipto
Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1,4% kasus SLE dari total
kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam, sementara di RS
Hasan Sadikin Bandung terdapat 291 Pasien SLE atau 10.5% dari total pasien
yang berobat ke poliklinik reumatologi selama tahun 2010.
Data tahun 2005 di Indonesia angka kejadian penderita SLE di RSU
Dr.Soetomo Surabaya selama tahun 2005 sebanyak 81 orang dan prevalensi
penyakit ini menempati urutan keempat setelah osteoartitis, reumatoid artitis dan
low back pain. Penderita SLE di RSU Dr. Saiful Anwar Malang pada bulan
januari sampai dengan Agustus 2006 ada 14 orang dan 1 orang meninggal dunia.
Data penderita SLE di Indonesia pada pertengahan tahun 2010 meningkat
sebanyak 10.314 kasus dan angka ini terus meningkat pesat. Sebanyak 8 dari 10
kasus baru yang muncul terjadi pada wanita usia 15-60 tahun.
Perkembangan penyakit lupus meningkat tajam di Indonesia. Menurut
hasil penelitian Lembaga Konsumen Jakarta (LKJ), pada tahun 2009 saja, di RS
Hasan Sadikin Bandung sudah terdapat 350 orang yang terkena SLE (sistemic
lupus erythematosus).

4
Penyakit lupus menyerang hampir 90% perempuan. Di Indonesia jumlah
penderita lupus yang tercatat sebagai anggota YLI (Yayasan Lupus Indonesia)
sekitar >10.000 orang (Yayasan Lupus Indonesia, 2011). Prevalensi penyakit
inflamsi sistemik berdasar diagnosis naskes di Indonesia adalah 11,9%. Prevalensi
tertinggi di Bali 19,3%, Aceh 18,3%, jawa barat 17,5% dan Papua 15,4%
(Riskesdas, 2013).

II.3 Patofisiologi SLE(5,6)


Autoimunitas adalah suatu proses kompleks dimana system imun pasien
menyerang selnya sendiri. Pada LES, sel-T menganggap sel tubuhnya sendiri
sebagai antigen asing dan berusaha mengeluarkannya dari tubuh. Diantara
kejadian tersebut terjadi stimulasi limfosit sel B untuk menghasilkan antibodi,
suatu molekul yang dibentuk untuk menyerang antigen spesifik. Ketika antibodi
tersebut menyerang sel tubuhnya sendiri, maka disebut autoantibodi. Sel B
menghasilkan sitokin. Sitokin tertentu disebut interleukin, seperti IL 10 dan IL 6,
memegang peranan penting dalam LES yaitu dengan mengatur sekresi
autoantibodi oleh sel B.

Pada sebagian besar pasien LES antinuklear antibodi (ANA) adalah


antibodi spesifik yang menyerang nukleus dan DNA sel yang sehat. Terdapat dua
tipe ANA, yaitu anti-doule stranded DNA (anti-ds DNA) yang memegang
peranan penting pada proses autoimun dan anti-Sm antibodies yang hanya spesifik
untuk pasien LES. Dengan antigen yang spesifik, ANA membentuk kompleks
imun yang beredar dalam sirkulasi sehingga pengaturan sistem imun pada LES
terganggu yaitu berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut,
gangguan pemprosesan kompleks imun dalam hati, dan
penurunan uptake kompleks imun oleh ginjal. Sehingga menyebabkan
terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear.
Kompleks ini akan mengendap pada berbagai macam organ dan menyebabkan
terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut dan aktivasinya menghasilkan
substansi yang menyebabkan radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan
keluhan pada organ yang bersangkutan.

5
Sekitar setengah dari pasien LES memiliki antibodi antifosfolipid.
Antibodi ini menyerang fosfolipid, suatu kumpulan lemak pada membran sel.
Antifosfolipid meningkatkan resiko menggumpalnya darah, dan mungkin
berperan dalam penyempitan pembuluh darah serta rendahnya jumlah hitung
darah.

Antibodi tersebut termasuk lupus antikoagulan (LAC) dan antibody


antikardiolipin (ACAs). Mungkin berupa golongan IgG, IgM, IgA yang berdiri
sendiri-sendiri ataupun kombinasi.Sekalipun dapat ditemukan pada orang normal,
namun mereka juga dihubungkan dengan sindrom antibodiantifosfolipid, dengan
gambaran berupa trombosisarteri dan/atau vena berulang, trombositopenia,
kehilanganjanin-terutamakelahiranmati, pada pertengahan kedua kehamilan.
Sindrom ini dapat terjadi sendirian atau bersamaan dengan Lupus eritematosus
sistemik atau gangguan autoimunlainnya.

Pada penyakit lupus gejala yang timbul disebabkan karena adanya reaksi
hipersensitivitas tipe II dan reaksi hipersensitivitas tipe III.

Reaksi hipersensitivitas tipe II disebut juga reaksi sitotoksik atau sitolitik,


terjadi karena dibentuknya antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang
merupakan bagian sel target. Reaksi diawali oleh reaksi antara antibodi dan
determinan antigen yang merupakan bagian dari membran sel. Istilah sitolitik
lebih tepat mengingat reaksi yang terjadi disebabkan lisis dan bukan efek toksik.
Antibodi dapat mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fcγ-R dan juga sel NK
yang dapat berperan sebagai sel efektor dan menimbulkan kerusakan melalui
ADCC. Reaksi Tipe II dapat menunjukkan berbagai manifestasi klinik. Antibodi
spesifik terhadap antigen sel dan jaringan dapat berdeposit di jaringan dan
menyebabkan jejas dengan menginduksi inflamasi lokal, atau mengganggu fungsi
sel normal. Antibodi terhadap antigen jaringan menginduksi inflamasi dengan
memanggil dan mengaktivasi leukosit. Antibodi IgG dari subkelas IgG1 dan IgG3
terikat pada reseptor Fc neutrofil dan makrofag dan mengaktivasi leukosit-
leukosit ini, menyebabkan inflamasi. IgM mengaktivasi sistem komplemen
melalui jalur klasik, menyebabkan produksi zat-zat yang dihasilkan komplemen
yang merekrut leukosit dan menginduksi inflamasi. Ketika leukosit teraktivasi di

6
situs deposit antibodi, sel-sel ini memproduksi substansi seperti intermediet
reaktif oksigen dan enzim lisosom yang merusak jaringan disekitarnya. Jika
antibodi terikat pada sel, seperti eritrosit dan platelet, sel akan teropsonisasi dan
dapat dicerna dan dihancurkan oleh fagosit penjamu.

Reaksi hipersensitifitas tipe III terjadi karena adanya reaksi antara antigen
dan antibodi yang mengendap dalam jaringa yang dapat berkembang menjadi
kerusakan pada jaringan tersebut. Reaksi ini terjadi jika antigen berada dalam
bentuk larutan dan dapat terjadi baik pada jaringan atau sirkulasi. Potensi
patogenik kompleks imun tergantung pada ukurannya. Ukuran agregat yang besar
akan mengikat komplemen dan segera dibersihkan dari peredaran darah oleh
sistem fagosit mononuklear sedang agregat yang lebih kecil ukurannya cenderung
diendapkan pada pembuluh darah. Komplek imun tersebut akan mengikat reseptor
Fc pada permukaan sel dan juga mengaktifkan komplemen sehingga C5a yang
terbentuk akan memicu respon peradangan setempat disertai peningkatan
permeabilitas pembuluh darah setempat. Peningkatan permeabilitas ini
memudahkan cairan dan sel-sel darah, khususnya netrofil, masuk ke jaringan ikat
setempat di sekitar pembuluh darah tersebut.

II.4 Etiologi
Etiologi lupus secara pasti masih belum jelas. Menurut anggapan sekarang
penyakit LES dapat ditimbulkan karena gangguan sistem imun pada sel B dan sel
T atau terdapat interaksi antara kedua sel tersebut. Hal tersebut akan
menyebabkan aktivasi sel-sel B poliklonal, akibatnya terjadi pembentukan
autoantibodi secara berlebihan. Autoantibodi adalah antibodi patologik yang
terbentuk akibat sistem imun tubuh tidak dapat membedakan antara “self” dan
“nonself”(1,2). Selain itu faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penyakit ini
adalah :(3)
1. Faktor genetik mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan
dan ekspresi penyakit SLE. Sekitar 10% – 20% pasien SLE mempunyai
kerabat dekat (first degree relative) yang menderita SLE. Angka kejadian SLE
pada saudara kembar identik (24-69%) lebih tinggi daripada saudara kembar
non-identik (2-9%).

7
2. Faktor obat terutama hydrallazine yang digunakan secara luas untuk terapi
pada hipertensi. Sindrom ini terjadi pada 6-7% penderita hipertensi, setelah
terapi selama 3 tahun dengan hydrallazine, dengan dosis 100 mg/hari (5,4%)
dan 200 mg/hari (10,4%). Tetapi tidak terjadi pada pemberian dengan dosis 50
mg/hari.
3. Virus dan bakter : Infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan
pada sistem imun dengan mekanisme menyebabkan peningkatan antibodi
antiviral sehingga mengaktivasi sel B limfosit nonspesifik yang akan memicu
terjadinya SLE(7).

II.4.1 Diagnosis
American College of Rheumatology (ACR) atau American Rheumatism
Association (ARA) menetapkan “Sebelas Kriteria Lupus”. Kriteria ini mempunyai
sensitivitas 75% dan spesifitas 95%. Diagnosa SLE dapat ditegakkan jika pada
suatu periode pengamatan ditemukan 4 atau lebih kriteria dari 11 kriteria yang
ada. Bila hanya terdapat 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka sangat
mungkin LES dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes
ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA positif dan
manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu SLE dan observasi jangka
panjang diperlukan.

Tabel 1.Kriteria ACR untuk Klasifikasi Lupus Eritematosus Sistemik(4)


No Kriteria Definisi
Eritema yang rata atau sedikit menimbul di atas
1. Malar rash permukaan kulit muka, menyerupai kupu-kupu, biasanya
tidak mengenai plikanasolabialis
Ruam berbentuk bulatan menimbul di atas permukaan
kulit dengan lapisan terkelupas disertai penyumbatan
2. Ruam diskoid
folikel. Pada lesi yang lama mungkin berbentuk jaringan
parut.
3. Fotosensitifitas Ruam kulit timbul sebagai reaksi hipersensitivitas

8
terhadap sinar matahari, diperoleh dari anamnesis atau
pemeriksaan fisik.
Ulserasi oral atau Biasanya tidak terasa nyeri dan didapatkan dari
4.
nasofaring pemeriksaan fisik.
Artritis non erosif yang mengenai dua sendi atau lebih,
5. Artritis yang ditandai dengan adanya bengkak dan terasa nyeri
atau terdapat efusia.
a) Pleuritis  adanya riwayat nyeri pleura atau terdengar
bunyi gesekan pleura (pleuritic friction rub) pada
pemeriksaan atau ada efusi pleura.
6. Serositis
b) Perikarditis  dari EKG atau didapatkan bunyi
gesekan perikardium (pericardial friction rub) atau
ada efusi perikardium
a) Proteinuria menetap >0,5 g/hari atau pemeriksaan
proteinuria urin sewaktu >3+
7. Gangguan ginjal
b) Cellular cast  dapat berupa silinder eritrosit,
hemoglobin, granular, tubular atau campuran
a) Kejang  spontan, bukan karena obat-obatan atau
gangguan metabolisme seperti uremia, ketoasidosis
dan gangguan keseimbangan elektrolit.
8. Gangguan neurologi
b) Psikosis tanpa adanya sebab lain seperti obat-obatan
atau gangguan metabolisme seperti uremia,
ketoasidosis dan gangguan keseimbangan elektrolit.
a) Anemia hemolitik dengan retikulositosis
b) Lekopenia <4000/mm3 pada dua atau lebih
pemeriksaan
9. Gangguan hematologik c) Limfopenia <1500/mm3 pada dua atau lebih
pengukuran
d) Trombositopenia <100.000/mm3 tanpa obat-obatan
yang dapat menimbulkan trombositopenia
a) Anti-DNA  antibodi terhadap native DNA dengan
10. Gangguan imunologikb
titer yang abnormal

9
b) Anti-SM : adanya antibody terhadap antigen inti otot
polos
c) Antiphospholipid antibody positif berdasarkan pada :
(1) Kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal,
baik IgG atau IgM
(2) Antikoagulan lupus positif dengan menggunakan
metode standar
(3) Uji serologis positif semu selama minimal 6 bulan
dan dikonfirmasi oleh uji imobilisasi
Treponemapallidum atau uji fluoresensi absorbsi
antibodi treponema
Titer ANA abnormal diperiksa dengan metode
Antibodi Antinuclear imunofluoresensi atau cara lain yang setara, yang
11.
(ANA) positif dilakukan pada waktu yang sama atau adanya sindroma
lupus karena obat

II.4.2 Gejala
Penderita Lupus Eritematosus Sistemik (LES) 90% adalah pada wanita
periode usia muda hingga dewasa dan ras negroid memiliki resiko tiga kali lipat
menderita SLE dibanding dengan ras lain. Gejala yang umum pada SLE, antara
lain:(1)

No Manifestasi Gejala
 Kelelahan
 Penurunan berat badan
 Demam tidak disertai menggigil
1. Konstitusional
 Lain-lain  rambut rontok, hilangnya nafsu makan,
bengkak, mual, muntah, dan perbesaran kelenjar getah
bening
 Nyeri otot (mialgia)
2. Muskuloskeletal  Nyeri sendi (artralgia)
 Inflamasi sendi

10
 Reaksi Fotosensitivitas
 Lesi diskoid
3. Kulit  Fenomena Raynaud’s
 Butterfly Rash
 Eritema atau depigmentasi pada bibir
 Pneumonitis
 Emboli paru
4. Paru-paru
 Pendarahan paru
 Shrinking Lung Syndrome.
 Miokarditis
5. Kardiovaskular  Perikarditis
 Endokarditis
6. Ginjal Adanya infeksi pada ginjal dan peningkatan serum kreatinin
 Mual
 Nyeri abdomen
7. Gastrointestinal
 Pendarahan usus (vaskulitis)
 Inflamatory bowel disease (IBS)
 Epilepsi
8. Sistem Saraf Pusat  Psikosis
 Hemiparesis
 Anemia
Hematologik
9.  Leukopenia
 Trombositopenia
10. Limfatik Limfadenopati

II.5 Faktor Resiko


1. Faktor genetik mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan
dan ekspresi penyakit SLE. Sekitar 10% – 20% pasien SLE mempunyai
kerabat dekat (first degree relative) yang menderita SLE. Angka kejadian SLE
pada saudara kembar identik (24-69%) lebih tinggi daripada saudara kembar
non-identik (2-9%).

11
2. Faktor obat terutama hydrallazine yang digunakan secara luas untuk terapi
pada hipertensi. Sindrom ini terjadi pada 6-7% penderita hipertensi, setelah
terapi selama 3 tahun dengan hydrallazine, dengan dosis 100 mg/hari (5,4%)
dan 200 mg/hari (10,4%). Tetapi tidak terjadi pada pemberian dengan dosis 50
mg/hari.
3. Jenis kelamin : Penyakit lupus lebih banyak terjadi pada wanita (11,6%)
dibanding pria (2,8%). Hal ini diperkirakan terjadi karena sel imun menyerang
kromosom X dan pada wanita terdapat 2 kromosom X sehingga resiko
terjadinya lupus lebih besar pada wanita.
4. Faktor lingkungan : Radiasi sinar ultraviolet dapat juga sebagai faktor
pencetus LES atau penyebab kekambuhan pada perjalanan penyakit ini di mana
dapat ditemukan antibodi terhadap radiasi ultraviolet. sinar UV dapat
mengubah struktur DNA di daerah yang terpapar sehingga menyebabkan
perubahan sistem imun di daerah tersebut serta menginduksi apoptosis dari sel
keratonosit.
5. Faktor makanan : Makanan seperti wijen (alfafa sprouts) yang mengandung
asam amino L-cannavine dapat mengurangi respon dari sel limfosit T dan B
sehingga dapat menyebabkan SLE(7).
6. Faktor lain : Infeksi virus dan bakteri juga menyebabkan perubahan pada
sistem imun dengan mekanisme menyebabkan peningkatan antibodi antiviral
sehingga mengaktivasi sel B limfosit nonspesifik yang akan memicu terjadinya
SLE(7).

II.6 Penatalaksanaan Terapi(8)


Tujuan umum yang ingin dicapai dalam terapi penyakit LES, yaitu sebagai berikut :
1. Menurunkan aktivitas penyakit seringan mungkin, yaitu
a. Mengurangi inflamasi jaringan yang disebabkan oleh penyakit.
b. Menekan abnormalitas sistem imun yang bertanggungjawab terhadap inflamasi
jaringan
2. Untuk mencapai kualitas hidup yang optimal.
3. Meminimalisasi terjadinya komplikasi.

12
II.6.1 Terapi Non Farmakologi
1. Edukasi
Pada dasarnya pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan
dukungandari sekitarnya dengan maksud agar dapat hidup mandiri. Perlu
dijelaskan akan perjalanan penyakit dan kompleksitasnya. Pasien memerlukan
pengetahuanakan masalah aktivitas fisik, mengurangi atau mencegah. Pasien
harus memperhatikan bila mengalami infeksi. Perlu pengaturan diet agar tidak
kelebihan berat badan, osteoporosis atau terjadi dislipidemia. Diperlukan
informasi akan pengawasan berbagai fungsi organ, baik berkaitan dengan
aktivitas penyakit ataupun akibat pemakaian obat-obatan.
2. Rehabilitasi
Gejala yang muncul pada penderita penyakit LES dapat bervariasi,
berbeda-beda pada tiap pasien karena penyakit ini sangat tergantung pada
keadaan sistem imun tiap individu, oleh sebab itu terapi untuk mengatasi
penyakit ini pun berbeda-beda tiap pasien. Terapi optimal yang dapat diberikan
untuk penderita LES adalah dengan memberikan edukasi dan dukungan melalui
terapi non farmakologi. Berikut ini adalah beberapa hal yang dapat dilakukan
untuk meningkatkan kualitas hidup penderita LES :
a) Meminimalkan paparan faktor pencetus, seperti kelelahan, papaan sinar
matahari secara langsung, stress, infeksi, obat-obatan pemicu SLE, usahakan
aktivitas banyak disore hari.
Note : Paparan sinar matahari yang harus dihindari adalah sinar matahari
antara pukul 09.00-15.00, sebab pasien LES umumnya mengalami
fotosensitivitas. Sebagai tindakan pencegahan pasien dianjurkan
menggunakan krim pelindung sinar matahari (sunscreen), menggunakan baju
lengan panjang, topi, dan payung.
b) Menjaga kondisi tubuh (makan-makanan sehat dan teratur, serta olahraga).
c) Melindungi sendi dari benturan
d) Menghentikan kebiasaan merokok karena hydrazine dalam asap rokok dapat
memicu terjadinya lupus.

II.6.2 Terapi Farmakologi


Terapi farmakologi melalui penggunaan obat-obatan biasanya sering diberikan
untuk menekan respon sistem imun dan inflamasi. Pemilihan obat yang diberikan
tergantung pada tingkat dan keparahan penyakit.

13
Upaya pengobatan ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup dengan
mempertimbangkan untung rugi dari suatu regimen pengobatan.
Penatalaksaan medikamentosa, yaitu :

Pemantauan
Jenis obat Dosis Jenis Toksisitas Evaluasi awal
Klinis Laboratorik
OAINS Tergantung Perdarahan saluran Darah rutin, GIT Darah rutin, kreatinin,
OAINS cerna, hepatotoksisk, kreatinin, utin, AST/ALT setiap 6
sakit kepala, hipertensi, AST/ALT bulan
aseptik meningitis,
nefrotoksik.
Kortikosteroid Tergantung Cushingoid, hipertensi, Gula darah, Tekanan Glukosa
derajat SLE dislipidemia, profil lipid, darah
osteonekrosis, tekanan darah
hiperglisemia, katarak,
osteoporosis.
Klorokuin 250 mg/hari Retinopati Evaluasi mata, Funduskopi
(3,5-4 mg/kg keluhan GIT, rash, G6PD pada dan
BB/hr) mialgia, sakit pasien berisiko lapangan
pandang
mata setiap
3-6
bulan

Azatioprin 50-150 mg Mielosupresif, Darah tepi Gejala Darah tepi lengkap


per hari, hepatotoksik, lengkap, mielosupresi Setiap 1-2 minggu
dosis gangguan kreatinin, AST f dan selanjutnya
terbagi 1-3, limfoproliferatif / ALT 1-3 bulan interval.
tergantung AST tiap tahun
berat badan.

Siklofosfamid Per oral: 50- Mielosupresif, Darah tepi Gejala Darah tepi lengkap
150 mg per gangguan lengkap, mielosupresi dan urin lengkap
hari. limfoproliferatif, hitung jenis f, tiap bulan, sitologi
IV: 500-750 keganasan, leukosit, urin hematuria urin dan pap smear
mg/m2 imunosupresi, lengkap. dan tiap tahun seumur
dalam sistitis infertilitas. hidup.
Dextrose hemoragik,
250 ml, infertlitas
infus sekunder
selama 1
jam.

Metotreksat 7.5 – 20 mg Mielosupresif, Darah tepi Gejala Darah tepi lengkap


/ minggu, fibrosis hepatik, lengkap, foto mielosupresi terutama hitung
dosis sirosis, infiltrat toraks, serologi f, trombosit tiap
tunggal pulmonal dan hepatitis B dan sesak nafas, 4-8 minggu, AST /
atau terbagi fibrosis. C pada pasien mual ALT dan albumin
3. Dapat risiko tinggi, dan muntah, tiap 4-8 minggu,
diberikan AST, fungsi ulkus urin lengkap dan
pula hati , kreatinin. mulut. kreatinin.
melalui

14
injeksi.
Siklosporin A 2.5–5 mg/kg Pembengkakan, Darah tepi Gejala Kretinin, LFT,
BB, atau nyeri gusi, lengkap, hipersensiti Darah tepi lengkap.
sekitar 100 peningkatan kreatinin, urin fi tas
– 400 mg tekanan darah, lengkap, LFT. terhadap
per peningkatan castor oil
hari dalam pertumbuhan (bila obat
2 dosis, rambut, diberikan
tergantung gangguan fungsi injeksi),
berat badan. ginjal, nafsu tekanan
makan menurun, darah, fungsi
tremor. hati
dan ginjal.
Mikofenolat 1000 – 2.000 Mual, diare, Darah tepi Gejala Darah tepi lengkap
mofetil mg dalam 2 leukopenia. lengkap, fese gastrointesti terutama leukosit
dosis. lengkap. nal dan hitung
seperti mual, jenisnya.
muntah.

A. Kortikosteroid
Kortikosteroid (KS) digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien dengan SLE.
Meski dihubungkan dengan munculnya banyak laporan efek samping, KS tetap
merupakan obat yang banyak dipakai sebagai antiinflamasi dan imunosupresi. Dosis KS
yang digunakan juga bervariasi. Untuk meminimalkan masalah interpretasi dari
pembagian ini maka dilakukanlah standarisasi berdasarkan patofisiologi dan
farmakokinetiknya.

Mekanisme Kerja Kortikosteroid

a. Antiinflamasi melalui hambatan enzim fosfolipase yang mengubah fosfolipid menjadi


asam arakidonat sehingga tidak terbentuk mediator -mediator inflamasi seperti
leukotrien, prostasiklin, prostaglandin, dan tromboksan-A2 serta menghambat
melekatnya sel pada endotelial terjadinya inflamasi dan meningkatkan influks
neutrofil sehingga mengurangi jumlah sel yang bermigrasi ke tempat terjadinya
inflamasi.
b. Imunomodulator dari kortikosteroid dilakukan dengan mengganggu siklus sel pada
tahap aktivasi sel limfosit, menghambat fungsi dari makrofag jaringan dan APCs lain
sehingga mengurangi kemampuan sel tersebut dalam merespon antigen, membunuh
mikroorganisme, dan memproduksi interleukin-1, TNF-α, metaloproteinase, dan
aktivator plasminogen.

15
Indikasi Pemberian Kortikosteroid

Pembagian dosis KS membantu kita dalam menatalaksana kasus rematik. Dosis rendah
sampai sedang digunakan pada SLE yang relatif tenang. Dosis sedang sampai tinggi
berguna untuk SLE yang aktif. Dosis sangat tinggi dan terapi pulse diberikan untuk krisis
akut yang berat seperti pada vaskulitis luas, nephritis lupus, lupus cerebral.

Efek Samping Kortikosteroid

Efek samping kortikosteroid tergantung kepada dosis dan waktu, dengan meminimalkan
jumlah KS, akan meminimalkan juga risiko efek samping. Efek samping yang sering
ditemui pada pemakaian kortikosteroid dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Sistem Efek samping


Skeletal Osteoporosis, osteonekrosis, miopati
Gastrointestinal Penyakit ulkus peptikum (kombinasi dengan OAINS),
Pankreatitis, Perlemakan
hati

Immunologi Predisposisi infeksi, menekan hipersensitifitas tipe lambat

Kardiovaskular Retensi cairan, hipertensi, meningkatkan aterosklerosis, aritmia

Ocular Glaukoma, katarak

Kutaneous Atrofi kulit, striae, ekimosis, penyembuhan luka terganggu,


jerawat, buff alo hump
Endokrin Penampilan cushingoid, diabetes melitus, perubahan
metabolisme lipid,
perubahan nafsu makan dan meningkatnya berat badan,
gangguan elektrolitSupresi HPA(hypothalamic ptuitary
adrenal) aksis, supresi hormon gonad
Tingkah laku Insomnia, psikosis, instabilitas emosional, efek kognitif

B. NSAID
Merupakan terapi utama untuk manifestasi SLE yang ringan termasuk salisilat dan
NSAID yang lain. NSAID memiliki efek antipiretik, antiinflamasi, dan analgesik.
NSAID dapat dibedakan menjadi nonselektif COX inhibitor dan selektif COX-2 inhibitor.

Mekanisme Kerja

16
a. Nonselektif COX inhibitor menghambat enzim COX-1 dan COX-2 serta memblok
asam arakidonat. COX-2 muncul ketika terdapat rangsangan dari mediator inflamasi
termasuk interleukin, interferon, serta tumor necrosing factor sedangkan COX-1
merupakan enzim yang berperan pada fungsi homeostasis tubuh seperti produksi
prostaglandin untuk melindungi lambung serta keseimbangan hemodinamik dari
ginjal.
COX-1 terdapat pada mukosa lambung, sel endotelial vaskular, platelet, dan
tubulus collecting renal. Celecoxib merupakan inhibitor selektif COX-2 yang memiliki
efektivitas seperti inhibitor COX non selektif, tapi kejadian perforasi lambung dan
perdarahan menurun hingga 50%.

Pemberian terapi pada pasien SLE dilakukan selama 1 sampai 2 minggu untuk
mengevaluasi efikasi NSAID. Jika NSAID yang digunakan tidak efektif dan
menimbulkan efek samping maka dipilih NSAID yang lain dengan periode 1 sampai 2
minggu. Penggunaan lebih dari satu NSAID tidak meningkatkan efikasi tetapi malah
meningkatkan efek samping toksisitasnya sehingga tidak direkomendasikan. Apabila
terapi NSAID gagal maka dapat digunakan imunosupresan seperti kortikosteroid atau
antimalaria tergantung dari manifestasi yang muncul.

C. Siklofospamid
Digunakan untuk pengobatan penyakit yang berat dan merupakan obat sitotoksik
bahan pengalkilasi.

17
Mekanisme Kerja

Obat ini bekerja dengan mengganggu proliferasi sel, aktivitas mitotik, diferensiasi
dan fungsi sel. Mereka juga menghambat pembentukan DNA yang menyebabkan
kematian sel B, sel T, dan neutrofil yang berperan dalam inflamasi. Menekan sel limfosit
B dan menyebabkan penekanan secara langsung pembentukan antibodi (Ig G) sehingga
mengurangi reaksi inflamasi. Terapi dosis tinggi dapat berfungsi sebagai imunosupresan
yang meningkatkan resiko terjadinya neutropenia dan infeksi. Oleh karena itu dilakukan
monitoring secara rutin terhadap WBC, hematokrit, dan platelet.

Siklofosfamid juga menurunkan proteinuria, antibodi DNA, serum kreatinin dan


meningkatkan kadar komplemen (C3) sehingga dapat mengatasi lupus nefritis.
Penggunaan siklofosfamid yang dikombinasi dengan steroid dosis tinggi pada penderita
lupus nefritis yang refrakter menunjukkan penurunan progesivitas end-stage dari penyakit
ginjal dan mengurangi dosis steroid.

D. Azatioprin
Azatioprin digunakan pada pengobatan pasien SLE apabila pasien mengalami intoleran
siklofosfamid.

Mekanisme Kerja

Mekanisme kerja azatioprin yaitu menurunkan limfosit sel B dan sel T dalam
sirkulasi, sintesis IgM dan IgG, sekresi IL-2, serta gangguan ribonukleotida adenin dan
guanin melalui supresi sintesis asam inosinat. Pada penggunaannya dapat dikombinasikan
dengan steroid. Azathioprin menurunkan jumlah Sel T, sel B sehingga menghambat
imunitas seluler dan humoral, menekan pembentukan atoantibodi dan menghmabta
sintesis prostaglandin. Berbeda dengan siklofosfamid, azathioprin tidak digunakan
sebagai obat tunggal pada terapi lupus nefritis, namun memberikan hasil baik bila
digunakan sebagai sparing agent terhadap steroid maupun siklofosfamid.

18
Pasien dengan terapi azatioprin harus dimonitor toksisitas limforetikuler atau
hemopoitik setiap 2 minggu pada 3 bulan pertama terapi sambil dilakukan penyesuaian
dosis. Selain itu juga dilakukan monitoring fungsi hati setiap 6 bulan. Azatioprin diserap
baik di saluran cerna dan dimetabolisme menjadi merkaptopurin. Efek imunosupresan
dari azatioprin muncul dalam beberapa hari sampai beberapa minggu dan masih berlanjut
ketika obat sudah dihentikan. Tidak ada hubungan antara konsentrasi dalam serum
dengan efetivitas atau toksisitasnya.

E. Mikofenolat Mofetil
Mikofenolat mofetil (mofetil mycophenolate, MMF) merupakan imunosupresan
yang dapat menginhibisi proliferasi limfosit B dan T. MMF sudah digunakan untuk
mengatasi reaksi penolakan pada transplantasi ginjal dan dalam pengobatan penyakit
autoimmun, termasuk glomerulonefritis, nefritis lupus,dan nefropati membranosa
idiopatik.

F. Metotrexate
Merupakan antagonis folat yang menghambat dihidrofolat reduktase. Bila
digunakan dalam dosis pada penyakit rematik lebih sedikit dan berguna dalam
imunomodulator. Metotrexat diberikan secara oral atau subkutan dengan penambahan
asam folat. Obat ini relatif aman dan ditoleransi dengan baik dalam pengobatan SLE,
terutama pada pasien SLE dengan manifestasi kutaneus dan muskuloskeletal. Monitoring

19
fungsi ginjal sangat penting, kontrasepsi yang baik harus diberikan pada wanita produktif
untuk mencegah efek teratotoksisitas.

Pengobatan SLE Berdasarkan Aktivitas Penyakitnya.

1. Pengobatan SLE Ringan


Pilar pengobatan pada SLE ringan dijalankan secara bersamaan dan
berkesinambungan serta ditekankan pada beberapa hal yang penting agar tujuan di
atas tercapai, yaitu:

Obat-obatan

Penghilang nyeri seperti paracetamol 3 x 500 mg, bila diperlukan.

a. Obat anti inflamasi non steroidal (NSAID), sesuai panduan diagnosis dan
pengelolaan nyeri dan inflamasi.
b. Glukokortikoid topikal untuk mengatasi ruam
c. Klorokuin basa 3,5-4,0 mg/kg BB/hari (150-300 mg/hari) (1 tablet klorokuin250
mg mengandung 150 mg klorokuin basa) catatan periksa mata pada saat awal
akan pemberian dan dilanjutkan setiap 3 bulan, sementara hidroksiklorokuin
dosis 5- 6,5 mg/kg BB/ hari (200-400 mg/hari) dan periksamata setiap 6-12
bulan.
d. Kortikosteroid dosis rendah seperti prednison < 10 mg / hari atau yang setara.
e. Tabir surya: Gunakan tabir surya topikal dengan sun protection factor sekurang-
kurangnya 15 (SPF 15)

2. Pengobatan SLE Sedang


Pilar penatalaksanaan SLE sedang sama seperti pada SLE ringan kecuali pada
pengobatan. Pada SLE sedang diperlukan beberapa rejimen obat-obatan tertentuserta
mengikuti protokol pengobatan yang telah ada.

3. Pengobatan SLE Berat atau Mengancam Nyawa


Pilar pengobatan sama seperti pada SLE ringan kecuali pada penggunaan obat-
obatannya. Pada SLE berat atau yang mengancam nyawa diperlukan obat-obatan
sebagaimana tercantum di bawah ini.
a. Glukokortikoid Dosis Tinggi
Lupus nefritis, serebritis atau trombositopenia: 40 – 60 mg / hari (1
mg/kgBB)prednison atau yang setara selama 4-6 minggu yang kemudian

20
diturunkan secarabertahap, dengan didahului pemberian metilprednisolon intra
vena 500 mg sampai 1 g/ hari selama 3 hari bertutut-turut.34,35
b. Obat Imunosupresan atau Sitotoksik
Terdapat beberapa obat kelompok imunosupresan / sitotoksik yang
biasadigunakan pada SLE, yaitu azatioprin, siklofosfamid, metotreksat,
siklosporin,mikofenolat mofetil.Pada keadaan tertentu seperti lupus nefritis, lupus
serebritis, perdarahan paru atausitopenia, seringkali diberikan gabungan antara
kortikosteroid dan imunosupresan /sitotoksik karena memberikan hasil
pengobatan yang lebih baik.

ALGORTIMA TERAPI SLE (SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATHOSUS)

Ketetangan :

TR tidak respon, RS respon sebagian, RP respon penuh

KS adalah kortikosteroid setara prednison, MP metilprednisolon, AZA azatioprin,


OAINS obat anti inflamasi steroid, CYC siklofosfamid, NPSLE neuropsikiatri SLE.

21
II.7 Interaksi Obat
Zat Aktif Berinteraksi dengan Efek

Aspirin Antasid Efek aspirin dapat berkurang

Antikoagulan Kerja antikoagulan dapat meningkat

Kortikosteroid Efek aspirin dapat berkurang. Kombinasi ini


juga meningkatkan resiko perdarahan
lambung.

Metotreksat Meningkatkan kerja metoteksat, sehingga


menyebabkan efek samping yang merugikan
akibat terlalu banyak metotreksat

Probenesid Kerja probenesid dapat berkurang

Sulfinpirazon Kerja sulfinpirazon dapat berkurang

Vitamin C Kerja Vitamin C berkurang

Zat Aktif Berinteraksi dengan Efek

Kortikosteroid Antasid Absorpsi prednisolon menurun dengan


adanya dosis besar antasid

Barbiturat, fenitoin, Efek kortikosteroid berkurang


rifampisin

ß-bloker Penggunaan kedua obat ini secara


bersamaan menyebabkan hiperkalemia

Diuretik thiazida Meningkatkan ekskresi kalium

Agonis ß –adrenergik Meningkatkan efek hipokalemia

Anti inflamasi non steroid Meningkatkan pendarahan gastrointestinal


(aspirin / salisilat) dan ulser

22
Antikoagulan Menyebabkan pendarahan hebat

Kontrasepsi oral / progesteron Meningkatkan kadar serum kortikosteroid

Siklosporin Menurunkan ekskresi kortikosteroid

Siklofosfamid Dosis tunggal prednison dapat menurunkan


efek siklofosfamid tapi penggunaan jangka
panjang dapat meningkatkkan efeknya.

Zat hipoglikemia Berlawanan efeknya dengan kortikosteroid

Metotreksat Meningkatkan toksisitas metotreksat

Zat Aktif Berinteraksi dengan Efek

Azatioprin Inhibitor ACE (kaptopril, Pengunaan secara bersamaan


enalapril) menyebabkan anemia atau leukopenia

Alopurinol Meningkatkan efek azatioprin


/merkaptopurin

Kotrimoksazol/ trimetoprim Meningkatkan toksisitas hematologi pada


pasien transplantasi ginjal

Siklofosfamid Pengunaan secara bersamaan


menyebabkan kerusakan hati

Siklofosfamid Alopurinol Penggunaan secara bersamaan


menyebabkan depresi sumsum tulang yang
serius

Benzodiazepin Meningkatkan toksisitas siklofosfamid

Kloramfenikol Menurunkan efek siklofosfamid

Kortikosteroid Dosis tunggal prednison menurunkan efek


siklofosfamid, tapi pengunaan prednison
jangka panjang meningkatkan efeknya.

23
Insulin Penggunaan secara bersamaan
menyebabkan hipoglikemia akut

Antikoagulan (warfarin) Meningkatkan efek warfarin, yang kadang


disertai pendarahan

II.8 Terminologi Medik


1. Apoptosis : kematian sel terprogram
2. Antigen : zat yang merangsang respon imun
3. Terapi modalitas : terapi untuk mengurangi keluhan atau gejala
4. Artritis : Peradangan pada sendi
5. Serositis : Peradangan pada paru-paru
6. Serebritis : Peradangan pada otak besar atau cerebrum
7. Mielitis : Peradangan pada sumsum tulang belakang
8. Vaskulitis : Peradangan pada pembuluh darah

II.9 Studi Kasus


Seorang wanita berumur 45 tahun dengan disorientasi akut yang sangat parah
sehingga ia tidak bisa mengurus dirinya sendiri (seperti memakai baju maupun
mandi). Wanita tersebut memiliki gejala cepat lelah, demam berkepanjangan, dan
bercak merah pada wajah. Pada pemeriksaan sistem saraf tidak ditemukan adanya
kelainan, dan pada pemeriksaan laboratorium, termasuk pemeriksaan urin, hasil
yang didapatkan adalah normal. Hasil dari pemeriksaan NMR, terdapat tiga lobus
frontal dengan penampakan yang karakteristik. Dari hasil laboratorium, pasien
tersebut didiagnosis mengidap systemic lupus erythematosus (SLE) dengan data
pada sebagai berikut :

Antinuclear antibody (ANA) Positive, 1/40

Antineutrophil cytoplasmic antibodies Negative

DNA binding High, 91% (normal <30%)

DNA antibodies (IgG) Positive on Crithidia Iuciliae (titre 1/120)

24
Serum IgG 14.5g/l (NR 6.0-12.0)

C3 0.54g/l (NR 0.65-1.25)

C4 0.03g/l (NR 0.2-0.5)

Terapi Non Farmakologi


Penderita dianjurkan menghindari stress
Penderita disarankan mengurangi beban kerja yang berlebihan
Penderita dianjurkan menghindari pemakaian obat tertentu
Hindari kontak sinar matahari secara langsung terutama pada jam 8 pagi
hingga 3 sore.
Kurangi asupan lemak untuk menigkatkan penyerapan kalsium.
Hindari sumber radikal bebas dan konsumsi antioksidan dalam jumlah
memadai
Kurangi berat badan
Minum sekurang-kurangnya 1,5-2 L air/hari.

Terapi Farmakologi
Untuk pengobatan pada kasus SLE ini digunakan prednisolone. Prednisolone
merupakan golongan kortikosteroid, yang memiliki efek glukokortikoid dan
mineralokortikoid. Kortikosteroid mempunyai mekanisme kerja sebagai
antiinflamasi melalui hambatan enzim fosfolipase yang mengubah fosfolipid
menjadi asam arakidonat sehingga tidak terbentuk mediator – mediator inflamasi
seperti leukotrien, prostasiklin, prostaglandin, dan tromboksan-A2 serta
menghambat melekatnya sel pada endotelial terjadinya inflamasi dan
meningkatkan influks neutrofil sehingga mengurangi jumlah sel yang bermigrasi
ke tempat terjadinya inflamasi. Sedangkan efek imunosupresan dari kortikosteroid
dilakukan dengan mengganggu siklus sel pada tahap aktivasi sel limfosit,
menghambat fungsi dari makrofag jaringan dan APCs lain sehingga mengurangi
kemampuan sel tersebut dalam merespon antigen, membunuh mikroorganisme,
dan memproduksi interleukin-1, TNF-α, metaloproteinase, dan aktivator
plasminogen.

25
BAB III
PENUTUP
IV.1 Kesimpulan
1. Systemic Lupus Erythematosus (SlE) merupakan suatu penyakit autoimun
yang dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada sel dan jaringan.
2. Penyakit lupus diklasifikasin menjadi Chronic Cutaneous Lupus
Erythematosus (CCLE), Subacute Cutaneous Lupus Erythematosus (SCLE),
Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE), dan Neonatal Lupus
Erythematosus.
3. Faktor resiko dari penyakit lupus diantaranya genetik, jenis kelamin,
lingkungan (sinar UV), makanan (wijen), Virus (Epstein-Barr), Obat dan stres.
4. Penegakan diagnosa SLE didapatkan jika pada suatu periode pengamatan
ditemukan 4 atau lebih kriteria dari 11 kriteria yang ada (Kriteria menurut
ACR)
5. Tujuan pengobatan lupus adalah untuk mengurangi gejala yang timbul serta
untuk meningkatkan kualitas hidup pasien
6. Pengobatan lupus dapat dilakukan dengan terapi non farmakologi yang berupa
edukasi dan konseling serta rehabilitasi serta terdapat terapi farmakologi
dengan obat antiinflamasi non steroid, kortikosteroid, obat anti malaria, obat
imunosupresan atau sitotoksik (metotreksat) dan obat lain yang dapat
mengurangi gejala yang timbul.

IV.2 Saran
Penyakit SLE dapat didiagnosa lebih awal dengan memperhatikan 11 gejala yang
diberikan oleh ACR. Jika penyakit SLE dapat didiagnosa lebih awal, pasien akan
lebih cepat mendapatkan penanganan. Untuk pasien yang telah menderita lupus
pengobatan harus terus dilanjutkan untu mencegah terjadinya kekambuhan.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Tutuncu ZN, Kalunian KC, The Definition and Clasification Of Systemic


Lupus Erythemathosus. In: Wallace DJ, Hahn BH, Editors. Duboi’ Lupus
Erythemathosus.7th ed. Philadelhia. Lippincott. William and Wilkins; 2007: 16-
19.

2. Hochberg MC, Updating The American College of Rheumatologi revised


criteria for the classification of system lupus Erythemathosus. Arthrituis rheum
1997: 40:1725.

3. Sukmana, Nanang. Penatalaksanaan SLE pada Berbagai Target Organ. Cermin


Dunia Kedokteran 2005:142:27-30

4. Tassiulas IO, Boumpas DT, Clinical features and treatment of SLE In:
Firestein GS, Budd RC, Harris ED, Mcinnes IB, Ruddy S, Sergent JS, Editors.
Kelleys Texbook of Rheumatology. 8 th ed. Philadelhia. WB Saunders
Elsevier. 2009: 1263-1300.

5. Subowo. Imunologi Klinik: Hipersensitivitas. 2nded. Jakarta: Sagung Seto;


2010.p. 31-84.

6. Kumar, Abbas, Fausto, Aster. Robbns and Cotran: Disease of The Immune
System. 8thed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2010. p. 198-201, 204-5.

7. Joe. Systemic Lupus Eritematosus (SLE) atau Lupus Eritmatosus Sistemik


(LES). 2009. (http://perawattegal.wordpress.com/2009/09/01/systemic-lupus-
erytematosus-sle-atau-lupus-eritematosus-sistemik-les/, diakses tanggal 10
Oktober 2016).

8. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Diagnosis dan pengelolaan lupus


eritematosus sistemik: Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011.

9. Herfindal. E.T., 2000, Therapeutics Drug and Disease Management, Seventh


Edition, Dick R, Gourley, Lippincott Williams & Wilkins.

27

You might also like