Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Stroke merupakan salah satu penyakit otak berupa gangguan fungsi lokal dan atau
global yang muncul secara mendadak, progresif, dan cepat. Gangguan fungsi saraf
pada stroke disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non traumatik.
Gangguan saraf tersebut menimbulkan gejala antara lain: kelumpuhan wajah atau
anggota badan, bicara tidak lancar, bicara pelo (disartria), perubahan kesadaran,
gangguan penglihatan, dan lain-lain.
Menurut data WHO, setiap tahunnya diseluruh dunia sekitar 15 juta individu
mengalami stroke, 5 juta diantaranya menyebabkan kematian dan 5 juta
mengalami kecatatan permanen. Di Amerika Serikat stroke merupakan penyakit
nomor 5 penyebab mortalitas. Setiap tahun terdapat 795.000 individu yang
mengalami serangan stroke, 610.000 diantaranya merupakan kasus baru dan
185.000 merupakan kasus recurrent. Data di Indonesia menunjukkan
kecenderungan peningkatan kasus stroke baik dalam hal kematian, kejadian,
maupun kecacatan.
Stroke umumnya dibagi atas 2 jenis yaitu hemoragik (perdarahan) dan non
hemoragik (iskemik). Penelitian epidemiologi menunjukkan 82-92% kasus stroke
merupakan jenis stroke non hemoragik (iskemik). Di Indonesia kasus stroke
tertinggi pada provinsi Sulawesi Utara yaitu sebesar 1,08%, sedangkan prevalensi
di Kalimantan Timur sebesar 0,77%. Stroke menyerang usia produktif dan usia
lanjut yang berpotensi menimbulkan masalah baru dalam pembangunan kesehatan
secara nasional di kemudian hari.
9
Penanganan stroke memerlukan pengorbanan yang tidak sedikit, baik dari aspek
moril, maupun materil dari setiap keluarga yang menghadapi masalah ini. Sistem
pengobatan stroke sangat berkaitan dengan kecepatan penderita memperoleh
terapi. Hal ini berhubungan dengan kesadaran pasien untuk tiba dirumah sakit
lebih awal dan ketersediaan fasilitas transportasi cenderung masih sulit tercapai.
10
2 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Anatomi
Otak memperoleh darah melalui dua sistem yakni sistem karotis (arteri karotis
interna kanan dan kiri) dan sistem vertebral. Arteri koritis interna, setelah
memisahkan diri dari arteri karotis komunis, naik dan masuk ke rongga tengkorak
melalui kanalis karotikus, berjalan dalam sinus kavernosum, mempercabangkan
arteri oftalmika untuk nervus optikus dan retina, akhirnya bercabang dua: arteri
serebri anterior dan arteri serebri media. Untuk otak, sistem ini memberi darah
bagi lobus frontalis, parietalis dan beberapa bagian lobus temporalis. Sistem
vertebral dibentuk oleh arteri vertebralis kanan dan kiri yang berpangkal di arteri
subklavia, menuju dasar tengkorak melalui kanalis tranversalis di kolumna
vertebralis servikal, masuk rongga kranium melalui foramen magnum, lalu
mempercabangkan masing-masing sepasang arteri serebeli inferior.
Pada batas medula oblongata dan pons, keduanya bersatu arteri basilaris, dan
setelah mengeluarkan 3 kelompok cabang arteri, pada tingkat mesensefalon, arteri
basilaris berakhir sebagai sepasang cabang: arteri serebri posterior, yang melayani
darah bagi lobus oksipitalis, dan bagian medial lobus temporalis. Ke 3 pasang
arteri serebri ini bercabang-cabang menelusuri permukaan otak, dan
beranastomosis satu bagian lainnya. Cabang- cabang yang lebih kecil menembus
ke dalam jaringan otak dan juga saling berhubungan dengan cabang-cabang arteri
serebri lainya.
11
oftalmika dan arteri fasialis ke arteri maksilaris eksterna. Hubungan antara sitem
vertebral dengan arteri karotis ekterna (pembuluh darah ekstrakranial). Selain itu
masih terdapat lagi hubungan antara cabang-cabang arteri tersebut, sehingga
menurut Buskrik tak ada arteri ujung (true end arteries) dalam jaringan otak.
Darah vena dialirkan dari otak melalui 2 sistem: kelompok vena interna, yang
mengumpulkan darah ke vena Galen dan sinus rektus, dan kelompok vena
eksterna yang terletak dipermukaan hemisfer otak, dan mencurahkan darah ke
sinus sagitalis superior dan sinus-sinus basalis laterales, dan seterusnya melalui
vena-vena jugularis dicurahkan menuju ke jantung.1
12
2.1.2 Fisiologi
Sistem karotis terutama melayani kedua hemisfer otak, dan sistem
vertebrabasilaris terutama memberi darah bagi batang otak, serebelum dan bagian
posterior hemisfer. Nilai aliran darah ke otak atau cerebral blood flow (CBF)
tergantung pada tekanan perfusi otak/cerebral perfusion pressure (CPP) dan
resistensi serebrovaskular/cerebrovascular resistance (CVR). Dalam keadaan
normal dan sehat, rata-rata aliran darah otak adalah 50,9 cc/100 gram otak/menit.
Hubungan antara ketiga variabel ini dinyatakan dalam persamaan berikut:
Komponen CPP ditentukan oleh tekanan darah sistemik /mean arterial blood
pressure (MABP) dikurangi dengan tekanan intracranial/intracranial pressure
(ICP), sedangkan komponen CVR ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu tonus
pembuluh darah otak, struktur dinding pembuluh darah, viskositas darah yang
melewati pembuluh darah otak. Ambang batas aliran darah otak ada tiga, yaitu:
a. Ambang fungsional : batas aliran darah otak 50-60 cc /100 gram/menit. Bila
tidak terpenuhi akan menyebabkan terhentinya fungsi neuronal, tetapi
integritas sel-sel saraf.
13
b. Ambang aktivitas listrik otak: batas aliran darah otak sekitar 15 cc/100
gram/menit, yang bila tidak tercapai akan menyebabkan aktivitas listrik
neuronal berhenti. Ini berarti sebagian struktur intrasel telah berada dalam
proses disintegrasi.
c. Ambang kematian sel, yaitu batas aliran darah otak yang bila tidak terpenuhi
akan menyebabkan kerusakan total sel-sel otak. CBF dibawah 15 cc/100
gram/menit.
a. Keadaan pembuluh darah, dapat menyempit akibat stenosis atau ateroma atau
tersumbat oleh trombus/embolus.
b. Keadaan darah, hematokrit dan viskositas darah yang meningkat menyebabkan
vaskularisasi ke otak lebih lambat, selain itu kontraksi jantung, anemia dan
tekanan parsial CO2 dan O2 dapat mempengaruhi oksigenasi jaringan otak.
c. Tekanan darah sistemik yang memegang peranan tekanan perfusi otak.
2.2 STROKE
2.2.1 Definisi
Menurut WHO (World Health Organization) 2005 stroke adalah suatu
gangguan fungsional otak yang terjadi secara mendadak dengan tanda dan gejala
klinik baik fokal maupun global yang berlangsung lebih dari 24 jam, atau dapat
langsung menimbulkan kematian, dan semata-mata disebabkan gangguan
peredaran darah otak non traumatik.
14
2.2.2 Klasifikasi
Berdasarkan kelainan patologis, stroke dapat dibagi menjadi:
1. Stroke hemoragik
Kelompok stroke ini umumnya diakibatkan oleh aneurisma pada bifucatio dari
arteri besar pada bagian inferior permukaan otak. Seringkali kelompok ini tidak
menyebabkan kerusakan langsung pada otak dan beberapa studi menyatakan
bahwa kelompok ini tidak termasuk dalam stroke. Namun, gejala yang muncul
pada penderita yang mengalami perdarahan subrakhnoid sesuai dengan definisi
stroke dan seharusnya termasuk bagian dari stroke.
2. Stroke non-hemoragik
a. Trombosis serebri
Stroke trombotik yaitu stroke yang disebabkan karena adanya penyumbatan lumen
pembuluh darah otak karena proses aterosklerosis. Trombus yang terbentuk
makin lama makin menebal, sehingga aliran darah menjadi tidak lancar.
Penurunan aliran darah ini menyebabkan iskemia. Trombosis serebri adalah
obstruksi aliran darah yang terjadi pada proses oklusi satu atau lebih pembuluh
darah lokal. Hal ini mengakibatkan iskemik pada semua atau sebagian daerah
yang diperdarahi oleh arteri yang bersangkutan.
b. Emboli Serbri.
Infark iskemik dapat diakibatkan oleh emboli yang timbul dari lesi ateromatus
yang terletak pada pembuluh yang lebih distal. Gumpalan-gumpalan kecil dapat
15
terlepas dari trombus yang lebih besar dan dibawa ke tempat-tempat lain dalam
aliran darah. Bila embolus mencapai arteri yang terlalu sempit untuk dilewati dan
menjadi tersumbat, aliran darah fragmen distal akan terhenti, mengakibatkan
infark jaringan otak distal karena kurangnya nutrisi dan oksigen. Emboli
merupakan 32% dari penyebab stroke non hemoragik.
Faktor Risiko
Faktor resiko stroke ialah kelainan atau penyakit yang membuat seseorang lebih
rentan terhadap serangan stroke. Secara garis besar faktor risiko stroke dibagi atas
faktor risiko yang dapat dimodifikasi (modifiable) dan yang tidak dapat
dimodifikasi (nonmodifiable). Faktor risiko stroke yang dapat dimodifikasi
diantaranya adalah hipertensi, penyakit jantung (fibrilasi atrium), diabetes melitus,
merokok, konsumsi alkohol, hiperlipidemia, kurang aktifitas, dan stenosis arteri
karotis. Sedangkan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi antara lain usia,
jenis kelamin, ras/suku, dan faktor genetik.
Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi merupakan akibat dari gaya hidup
seseorang dan dapat dimodifikasi, yang meliputi: hipertensi, hiperlipidemia,
obesitas dan diabetes, riwayat pernah mengalami TIA, stenosis karotis, penyakit
jantung seperti atrial fibrilasi, kelainan katub jantung, gagal jantung kongestif,
16
penyakit jantung iskemik, serta pola hidup yang tidak sehat sepert konsumsi
alkohol, merokok dan kurang berolahraga.
a. Merokok
b. Hipertensi
Hipertensi merupakan faktor risiko terpenting untuk semua tipe stroke, baik
stroke iskemik maupun stroke perdarahan. Peningkatan risiko stroke terjadi
seiring dengan peningkatan tekanan darah. Walaupun tidak ada nilai pasti
korelasi antara peningkatan tekanan darah dengan risiko stroke, diperkirakan
risiko stroke meningkat 1,6 kali setiap peningkatan 10 mmHg tekanan darah
sistolik, dan sekitar 50% kejadian stroke dapat dicegah dengan pengendalian
tekanan darah. Beberapa peneliti melaporkan bahwa apabila hipertensi tidak
diturunkan pada saat serangan stroke akut dapat mengakibatkan edema otak,
namun berdasarkan penelitian dari Chamorro menunjukkan bahwa perbaikan
sempurna pada stroke iskemik dipermudah oleh adanya penurunan tekanan
darah yang cukup ketika edema otak berkembang sehingga menghasilkan
tekanan perfusi serebral yang adekuat (PERDOSSI, 2011).
c. Penyakit Jantung
17
disritmia, hipertrofi bilik kiri, penyakit katup jantung, gagal jantung kongestif.
Atrial fibrilasi (AF) merupakan gangguan irama yang banyak menyerang pria
dewasa, AF ditemukan pada 1–1,5% populasi dinegara– negara barat dan
merupakan salah satu faktor risiko independen stroke. AF dapat menyebabkan
risiko stroke atau emboli menjadi 5 kali lipat daripada pasien tanpa AF. Kejadian
stroke yang didasari oleh AF sering diikuti dengan peningkatan morbiditas,
mortalitas, dan penurunan kemampuan fungsi daripada stroke karena penyebab
yang lain. Risiko stroke karena AF meningkat jika disertai dengan beberapa faktor
lain, yaitu jika disertai usia >65 tahun, hipertensi, diabetes melitus, gagal jantung,
atau riwayat stroke sebelumnya
d. Diabetes Mellitus
Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi merupakan kelompok faktor risiko
yang ditentukan secara genetik atau berhubungan dengan fungsi tubuh yang
normal sehingga tidak dapat dimodifikasi, antara lain: usia, jenis kelamin, ras, dan
riwayat keluarga, nyeri kepala, migrain.
a. Usia
18
b. Jenis Kelamin
c. Riwayat Keluarga
Terdapat dugaan bahwa stroke dengan garis keturunan saling berkaitan. Hal
ini dikaitkan dengan adanya kelainan genetik yang mengakibatkan
peningkatann risiko terbentuknya trombus. Mutasi yang umumnya dijumpai
ialah pada F2 dan F5 yang mengatur produksi nitrit oxide (NO), metabolisme
asam arakidonat. Dalam hal ini, hipertensi, diabetes, dan cacat vaskular
menjadi faktor genetik yang berperan. Cadasil, yaitu suatu cacat pada
vaskuler merupakan faktor genetik yang paling berpengaruh.
d. Migrain
Migrain terjadi karena adanya perubahan pada vaskular otak. Pada saat
terjadinya aura terjadi penurunan dari serotonin diotak dan hal ini
menyebabkan vasokontriksi. Setelah vasokontriksi maka diikuti oleh
vasodilatasi dari pembuluh darah yang mengakibatkan munculnya keluhan
nyeri. Pada saat terjadinya vasokontriksi tersebut terjadi penurunan aliran
darah otak pada daerah tersebut akan menurun. Selain itu vasokontriksi
diyakini berkontribusi dalam hal rusaknya pembuluh darah, sehingga
mengakibatkan dan memperberat bekuan darah dan terbentuk trombus.
19
2.3.2 Patogenesis
Adanya oklusi pada arteri serebral menyebabkan jaringan otak mengalami
hipoksia dan hipoglikemia, sehingga mengganggu metabolisme dan fisiologi sel.
Gangguan vaskularisasi ke jaringan otak dalam 30 detik memberikan gambaran
datar pada pemeriksaan EEG, bila lebih dari 2 menit aktifitas jaringan otak
berhenti. Apabila oklusi jaringan otak lebih dari 5 menit maka mulai terjadi
kerusakan jaringan otak, dan bila lebih dari 9 menit dapat mengakibatkan
kematian. Pada beberapa menit awal iskemik otak melakukan kompensasi dengan
vaskularisasi kolateral dari vaskular disekitarnya, selain itu sistem saraf otonom
dari otak juga akan aktif dan mengakibatkan terjadinya vasodilatasi lokal didaerah
hipoksi. Namun, bila proses ini berlangsung lama atau bila oklusi terjadi pada
pembuluh darah besar maka kompensasi ini hanya bertahan < 5 menit.
Pada iskemia yang luas, tampak daerah yang tidak homogen akibat perbedaan
tingkat iskemia, yang terdiri dari 3 lapisan (area) yang berbeda. Pertama tampak
daerah ischemic core terlihat sangat pucat karena CBF sagat rendah. Tampak
degenerasi neuron, pelebaran pembuluh darah tanpa aliran darah. Pada daerah ini
terjadi nekrosis sel dan ditemui peningkatan asam laktet, kadar PCO2 serta
20
penurunan PO2. Kedua tampak daerah iskemik penumbra, letaknya di sekitar
ischemic core yang CBF-nya juga rendah, tetapi masih lebih tinggi daripada CBF
di ischemic core. Pada derah ini sel neuron belum mengalami nekrosis, namun
terjadi edema sel neuron, fungsi sel terhenti dan menjadi functional paralysis.
Pada daerah ini PO2 rendah, PCO2 tinggi dan asam laktat meningkat. Jaringan
iskemik penumbra struktur neuron masih hidup dan reversibel, namun bila
iskemik tidak ditangai dengan tepat akan terjadi desintegrasi elemen seluler dan
membran sel dan menyebabkan apoptosis. Penumbra merupakan sasaran terapi
stroke karena masih mungkin diselamatkan dengan resusitasi dan manajemen
yang tepat. Ketiga, daerah disekeliling penumbra yang kemerahan dan edema.
Pembuluh darah mengalami dilatasi maksimal, PCO2 dan PO2 tinggi, dan
kolateral maksimal. Pada daerah ini CBF sangat tinggi sehingga disebut sebagai
daerah dengan perfusi berlebihan (luxury perfusion).
Selain itu penurunan oksigen dan glukosa akan merangsang sel melakukan
metabolisme annaerob. Metabolisme ini akan meyebabkan peningkatan kadar
asam laktat dan peningkatan kadar H+ sehingga terjadi perubahan pH sel neuron
menjadi asidosis. Rentetan patologis ini juga akan menyebabkan edema serebral
21
yang akan meningkatkan resistensi vaskular akibat penekanan serebral. Resistensi
vaskular akan menyebabkan perburukan perfusi sehingga iskemik akan meluas.
22
Gambar 2.2 Oklusi vaskuler yang menyebakan iskemik jaringan otak
23
Evaluasi gejala dan klinik stroke akut meliputi:
a. Pemeriksaan vital sign yaitu respirasi, sirkulasi, oksimetri, dan suhu tubuh.
b. Pemeriksaan kepala dan leher (misalnya cedera kepala akibat jatuh saat
kejang, bruit karotis, dan tanda-tanda distensi vena jugular pada gagal jantung
kongestif). Pemeriksaan torak (jantung dan paru), abdomen, kulit dan
ekstremitas.
c. Pemeriksaan neurologis dan skala stroke. Pemeriksaan neurologis terutama
pemeriksaan saraf kranialis, rangsang selaput otak, sistem motorik, sikap dan
cara jalan refleks, koordinasi, sensorik dan fungsi kognitif. Skala stroke yang
dianjurkan saat ini adalah NIHSS (National Institutes of Health Stroke Scale)
Gejala stroke yang muncul berbeda satu dengan yang lain, hal ini berhubungan
dengan daerah vaskularisasi yang tersumbat.
24
1. Stroke arteri serebral media
Gejala yang muncul pada oklusi arteri serebri media umumnya berupa:
Hemiparese kontralateral
Hipestesia kontralateral
Hemiasnopia Ipsilateral
Afasia sensorik atau sensorik, jika lesi mengenai hemisfer yang dominan
Agnosia
Gaze preference searah dengan lesi
Penurunan atau kehilangan sensasi pada pemberian stimulasi ganda
menunjukkan adanya lesi pada sisi yang tidak dominan.
Oklusi pada arteri serebral anterior terutama akan mempengaruhi fungsi lobus
frontal. Gejala stroke pada arteri ini terdiri dari:
1. Disinhibisi dan preservasi bicara
2. Munculnya refleks primitif (misal: refleks menggenggam, sucking reflex)
3. Perubahan status mental
4. Kelemahan kontralateral
5. Defisit sensorik kotralateral
6. Gait apraxia
7. Inkontinensia urin
Oklusi pada arteri sebral posterior lebih sering mengalami gangguan penglihatan
dan pola pikir. Manifestasi dari stroke ini berupa:
1. Agnosia visual
2. Perubahan status mental
3. Gangguan memori
25
4. Kontralateral homonimus hemianopia
5. Buta kortikal
Sangat sulit melokalisasi oklusi pada arteri vertebrobasiler, hal ini karena
sumbatan pada arteri ini mempunyai variasi gangguan yang luas baik pada nervus
kranialis, serebellum, dan defisit batang otak dan bahkan gejala yang muncul
kadang tidak khas. Gejala yang muncul berupa: nistagmus, vertigo, diplopia,
defisit lapangan padang, disfagia, disartria, hipestesia fasial, sinkop dan ataxia.
Ciri khas dari stroke pada arteri serebri posterior ialah adanya defisit neurologis
nervus cranialis sesisi dengan lesi dan defisit motorik kontralateral. Hal ini
berbeda dengan dengan stroke anterior, yang mempunyai gejala defisit neurologis
nerrvus cranial dan motorik yang unilateral.
Stroke Lakunar
Stroke lakunar adalah stroke yang terjadi pada pembuluh-pembuluh darah kecil
yang ada di otak. Terjadi pada sekitar 20% kasus dari seluruh stroke. Stroke
lakunar ini disebabkan oleh adanya sebuah lesi/luka yang kecil, berbatas jelas
berukuran kurang lebih 1,5 cm yang biasanya terletak di daerah subkortikal,
kapsula interna, batang otak, dan serebelum. Stroke lakunar ini berkaitan kuat
dengan hipertensi dan juga dihubungkan dengan perubahan mikrovaskular yang
timbul karena hipertensi kronis dan diabetes mellitus. Penyumbatan pada
pembuluh darah kecil ini biasanya tidak memberikan dampak stroke yang parah.
Gambar 2.3 Gambaran stroke lakunar pada pemeriksaan CT Scan, MRI FLAIR
dan MRI tanpa kontras
26
Gejala neurologi yang timbul tergantung dari letak oklusi dan secara umum dapat
dirangkum dalam tabel berikut:
27
A.Serebri Hemiplegia sementara, Gangguan lapang pandang bagian
posterior berganti dengan pola gerak sentral, prosopagnosia, aleksia
chorea pada tangan,
hipestesia atau anestesia
terutama pada tangan
Pembuluh Darah Kecil
Lacunar infark Gangguan motorik murni,
gangguan sensorik murni,
hemiparesis ataksik, sindrom
clumsy hand
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik sebelum dilakukannya CT-scan dapat
dilakukan penegakkan diagnosis berdasarkan sistem skoring:
HASIL SSS
Pemeriksaan darah rutin diperlukan sebagai dasar alanalisa dan mungkin juga
menunjukkan faktor resiko stroke seperti polisitemia, trombositosis,
trombositopenia, dan leukemia). Pemeriksaan ini pun dapat menunjukkan
kemungkinan penyakit yang sedang diderita saat ini seperti anemia.
29
Pemeriksaan kimia darah dilakukan untuk mengeliminasi kelainan yang memiliki
gejala mirip dengan stroke (hipoglikemia, hiponatremia) atau dapat pula
menunjukkan penyakit yang diderita pasien saat ini (diabetes, gangguan ginjal).
Pemeriksaan koagulasi dapat menunjukkan kemungkinan koagulopati pada
pasien. Selain itu, pemeriksaan ini juga berguna jika digunakan terapi trombolitik
dan antikoagulan. Biomarker jantung juga penting karena eratnya hubungan
antara stroke dengan penyakit jantung koroner. Penelitian lain juga
mengindikasikan adanya hubungan anatara peningkatan enzim jantung dengan
hasil yang buruk dari stroke.
Pemeriksaan Pencitraan
CT Scan Kepala
Adanya perubahan hasil CT scan pada infark serebri akut harus dipahami. Setelah
6-12 jam setelah stroke terbentuk daerah hipodense regional yang menandakan
terjadinya edema di otak. Jika setelah 3 jam terdapat daerah hipodense yang luas
di otak maka diperlukan pertimbangan ulang mengenai waktu terjadinya stroke.
Tanda lain terjadinya stroke non hemoragik adalah adanya insular ribbon sign,
hiperdense MCA (oklusi MCA), asimetris sulkus, dan hilangnya perberdaan gray-
white matter.3
30
CT perfusion merupakan modalitas baru yang berguna untuk mengidentifikasi
daerah awal terjadinya iskemik. Dengan melanjutkan pemeriksaan scan setelah
kontras, perfusi dari region otak dapat diukur. Adanya hipoatenuasi menunjukkan
terjadinya iskemik di daerah tersebut.3
Gambar 2.2 Gambaran CT Scan tanpa kontras (kiri) dan dengan kontras/CTA
(kanan) pada pasien stroke iskemik
31
sedikit serta waktu pemeriksaan yang agak panjang. Protokol MRI memiliki
banyak kegunaan untuk pada stroke akut.
Untuk evaluasi lebih lanjut dapat digunakan USG. Jika dicurigai stenosis atau
oklusi arteri karotis maka dapat dilakukan pemeriksaan dupleks karotis. USG
transkranial dopler berguna untuk mengevaluasi anatomi vaskuler proksimal lebih
lanjut termasuk di antaranya MCA, arteri karotis intrakranial, dan arteri
vertebrobasiler. Pemeriksaan ECG (ekhokardiografi) dilakukan pada semua
pasien dengan stroke non hemoragik yang dicurigai mengalami emboli
kardiogenik. Transesofageal ECG diperlukan untuk mendeteksi diseksi aorta
thorasik. Selain itu, modalitas ini juga lebih akurat untuk mengidentifikasi trombi
pada atrium kiri. Modalitas lain yang juga berguna untuk mendeteksi kelainan
jantung adalah EKG dan foto thoraks.
1. Stroke Hemoragik
Walaupun pemeriksaan CT Scan merupakan pemeriksaan yang dilakukan
untuk membedakan antara stroke iskemik dan strok hemoragik, dijumpainya
beberapa klinis berikut dapat meningkatkan kecurigaan pada stroke hemoragik
yaitu: koma, kaku kuduk, kejang yang diikuti dengan defisit neurologik,
tekanan darah diastolik >110, muntah, sakit kepala. Ditemukannya bruit
servikal pada pemeriksaan fisik lebih mengarahkan pada stroke iskemik.
32
2. Kejang
3. Infeksi sistem saraf pusat meningoesefalitis)
4. Tumor otak
5. Gangguan metabolik seperti hipoglikemia dan hiponatremia
6. Acute Disseminated Encephalomyelitis (ADEM)
2.3.7 Penatalaksanaan
Penatalaksaan Umum Diruang Gawat Darurat
Masalah utama pada keadaan stroke yaitu adalah kegagalan dalam pemasokan
oksigen dan energi pada jaringan tertentu di otak. Dengan demikian harus
dipastikan agar tidak terjadi hipoksemia sistemik dan hipotensi, dan jika hal
tersebut ditemui maka harus segera ditangani agar tidak memperberat keadaan
kerusakan sel. Pemeriksaan jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi sangat penting
dilakukan secara konstan bahkan dilakukan sebelum pasien sampai ke rumah
sakit.
Hipoksia merupakan keadaan yang sering terjadi pada penderita stroke. Penyebab
yang paling umum dari hipoksia ialah obstruksi parsial dari saluran nafas,
hipoventilasi, aspirasi, atelektasis, dan pneumonia. Pasien dengan penurunan
kesadaran atau disfungsi batang otak mempunyai risiko gangguan pernafasan
akibat gangguan mobilitas dari orofaring dan hilangnya refleks proteksi.
b. Perbaiki jalan nafas dengan memposisikan kepala semi ekstensi, dan bila
pasien tidak sadar perlu dipertimbangkan pemasangan oropharyng tube.
Berikan bantuan ventilasi pada pasien yang mengalami penurunan
kesadaran atau disfungsi bulbar dengan gangguan jalan napas.
33
c. Intubasi ETT (Endo Tracheal Tube) atau LMA (Laryngeal Mask Airway)
diperlukan pada pasien dengan hipoksia (p02 <60 mmHg atau pCO2 >50
mmHg), atau syok, atau pada pasien yang berisiko untuk terjadi aspirasi.
d. Pipa endotrakeal diusahakan terpasang tidak lebih dari 2 minggu. Jika pipa
terpasang lebih dari 2 rninggu, maka dianjurkan dilakukan trakeostomi.
2. Stabilisasi Hemodinamik
Hipertensi
Penurunan tekanan darah pada stroke akut harus dilakukan secara hati-hati dengan
mempertimbangkan beberapa kondisi pasien. Pada pasien stroke iskemik akut
secara umum apabila tekanan darah sistolik (TDS) >220 mmHg atau tekanan
darah diastolic (TDD) >120 mmHg maka tekanan darah diturunkan sekitar 15%
MAP dalam 24 jam pertama. Pada pasien stroke iskemik akut yang akan diberi
terapi trombolitik (rtPA), tekanan darah diturunkan hingga TDS <185 mmHg dan
TDD <110 mmHg, dan tekanan darah ini dipantau selama 24 jam setelah
pemberian rtPA. Obat antihipertensi yang digunakan adalah labetalol, nitropaste,
nitroprusid, nikardipin, atau diltiazem intravena, obat hidralasin dan nitroprusid
sebaiknya tidak digunakan karena mengakibatkan peningkatan tekanan
intrakranial. Penanganan nyeri termasuk upaya penting dalam penurunan tekanan
darah.
Penurunan tekanan darah pada stroke akut dapat dipertimbangkan hingga lebih
rendah dari target di atas pada kondisi tertentu yang mengancam target organ
lainnya, misalnya diseksi aorta, infark miokard akut, edema paru, gagal ginjal akut
dan ensefalopati hipertensif. Target penurunan tersebut adalah 15-25% pada jam
pertama, dan TDS 160/90 mmHg dalam 6 jam pertama. Penurunan tekanan darah
juga dilakukan bila TDS >180 mmHg atau MAP >130 mmHg disertai dengan
34
gejala dan tanda peningkatan tekanan intracranial, dengan menggunakan obat
antihipertensi intravena secara kontinu atau intermiten dengan pemantauan
tekanan perfusi serebral ≥60 mmHg.
Hipotensi
Penggunaan obat vasopresor intravena dapat diberikan bila tekanan darah sistolik
<120 mmHg dan cairan sudah mencukupi dan disesuaikan dengan efek samping
yang akan ditimbulkan seperti takikardia. Obat-obat vasopressor yang dapat
digunakan antara lain, fenilephrin, dopamine, dan norepinefrin. Pemberian obat-
obat tersebut dilakukan secara titrasi diawali dengan dosis kecil dan dipertahankan
pada tekanan darah optimal, yaitu TDS berkisar 140 mmHg pada kondisi akut
stroke.
35
hari-hari pertama setelah serangan stroke. Perlu dilakukan pemantauan TIK
dengan memasang monitor TIK terutama pada pasien dengan GCS <9 dan
penderita yang mengalami penurunan kesadaran disertai tanda-tanda peningkatan
TIK. Sasaran terapi adalah TIK kurang dari 20 mmHg dan CPP >70 mmHg.
b. Hindari keadaan hipertermia dan jaga agar tetap berada dalam keadaan
normovolernia
36
h. Tindakan bedah dekompresif dapat dilakukan pada keadaan iskemik
sereberal yang menimbulkan efek massa.
4. Pengendalian Kejang
Kejang pada pasien stroke dapat terjadi karena iskemik jaringan, perubahan
struktur intrakranial, dan perubahan ion pada jaringan serebrum dan serebellum.
Penanganan kejang berupa diazepam bolus lambat intravena 5-20 mg dan diikuti
oleh fenitoin, loading dose 15-20 mg/kg bolus dengan kecepatan maksimum 50
mg/menit. Bila setelah pemberian fenitoin kejang belum teratasi, maka pederita
perlu dirawat di ICU. Tidak dianjurkan pemberian antikonvulsan profilaksis pada
penderita stroke iskemik tanpa kejang tidak dianjurkan.
Pada 1 jam pertama sejak onset serangan stroke sepertiga dari penderita umumnya
mengalami fase hipertemia (37,5oC). Hipertermia yang terjadi mungkin akibat
dari stroke, atau mungkin akibat dari komplikasi yang terjadi seperti pneumonia,
sepsis, atau infeksi saluran kemih. Peningkatan suhu dapat meningkatkan
metabolisme sehingga meningkatkan kebutuhan oksigen 10% setiap
peningkatan10C, hal ini dapat memperburuk keadaan pasien. Oleh karena itu
demam harus diobati dengan memberikan antipiretika seperti asetaminofen 650
mg bila suhu lebih dari 38,50C dan atasi penyebabnya. Pada pasien febris atau
berisiko terjadi infeksi, harus dilakukan kultur dan hapusan (trakea, darah dan
urin) dan diberikan antibiotik. Jika memakai kateter ventrikuler, analisa cairan
serebrospinal harus dilakukan untuk mendeteksi meningitis. Jika didapatkan
meningitis, maka segera diikuti terapi antibiotik.
a. Hipoglikemia
Hipoglikemia jarang terjadi pada stroke iskemik akut, dan bila terjadi umumna
berhubungan dengan penggunaan obat antidiabetes. Pada keadaan hipiglikemia
yang berat dapat terjadi gejala yang mirip dengan stroke dan dapat menyebabkan
kejang. Gejala tersebut dapat segera teratasi bila hipoglikemia diterapi dengan
37
tepat. Bila keadaan ini terus berlangsung maka dapat menyebabkan kerusakan
jaringan otak secara permanen. Oleh karena itu pada pasien stroke iskemik akut
pemeriksaan kadar gua darah harus segera dilakukan, dan bila nilainya dibawah
60 mg/dL maka harus segera dikoreksi denga menggunakan dektrose 50% sebesar
25 mL bolus secara perlahan. Cairan glukosa oral dapat menjadi pilihan alternatif
dalam penanganan hipoglikemia pada stroke namun hal ini akan membutuhkan
waktu yang lebih lama dalam menaikkan kadar gula darah, dan merupakan
kontraindikasi pada penderita stroke dengan disfagia.
b. Hiperglikemia
Nilai efikasi dan keamanan besarnya nilai penurunan kadar glukosa darah pada
fase akut stroke iskemik masih dalam penelitian. Perlu adanya pertimbangan
berupa pengurangan intake sumber glukosa, pemeriksaan laboratorium, dan
kemungkinan munculnya hipoglikemia selama terapi hiperglikemia. American
Diabetes Association merekkomendasikan kadar gula darah berada dalam range
140-180 mg/dL pada semua penderita yang sedang dirawat dirumah sakit.
38
Penatalaksaan Umum Diruang Rawat
Pemantauan secara terus menerus terhadap status neurologis, nadi, tekanan darah,
suhu tubuh, dan saturasi oksigen dianjurkan dalam 72 jam, pada pasien dengan
defisit neurologis yang nyata.
1. Kecukupan Cairan
Jaga homeostatis agar tetap dalam keadaan euvolemia, tekanan darah sentral
dipertahankan 5-13 mmHg. Pada umumnya, kebutuhan cairan 30 ml/kgBB/hari
(parenteral maupun enteral). Balans cairan diperhitungkan dengan mengukur
produksi urin sehari ditambah dengan pengeluaran cairan yang tidak dirasakan
(produksi urin sehari ditambah 500 ml untuk kehilangan cairan yang tidak tampak
dan ditambah lagi 300 ml setiap peningkatan 10C pada penderita febris). Hindari
penggunaan cairan hipotonik atau dekstrose kecuali pada keadaan hipoglikemia.
Elektrolit (natrium, kalium, kalsium dan magnesium) dan keadaan asidosis atau
alkalosis harus dikoreksi bila terjadi kekurangan sampai tercapai nilai normal.
2. Nutrisi
Nutrisi enteral paling lambat sudah harus diberikan dalam 48 jam, nutrisi oral
hanya boleh diberikan setelah hasil tes fungsi menelan baik. Bila terdapat
gangguan menelan atau kesadaran menurun makanan, nutrisi diberikan melalui
nasogastric tube (NGT). Pantau kecukupan nutrisi, apabila nutrisi enteral belum
mencukupi, dukungan nutrisi boleh diberikan secara parenteral.
39
3. Pencegahan dan Penanganan Komplikasi
Penatalaksanaan lainnya diberikan sesuai dengan gejala dan indikasi yang ada
pada pasien tersebut, diataranya berupa terapi psikologi bila gelisah, analgetik,
antiemetik, H2 antagonis dan sebagainya.
1. Fibrinolitik Intravena
40
terapi ini memberikan keuntungan referpusi dari lisisnya trombus dan perbaikan
sel serebral secara bermakna. Fibrinolitik merupakan rekomendasi yang kuat
diberikan sesegera mungkin setelah diagnosis stroke iskemik akut ditegakkan
(awitan 3 jam pada pemberian intravena dalam 6 jam pemebrian intraarterial).
1. Kriteria inklusi
2. Kriteria eksklusi
a) Usia>80 tahun
b) Defisit neurologi yang ringan dan cepat membaik atau perburukan defisit
neurologi yang berat
c) Gambaran perdarahan intrakranial pada CT Scan
d) Riwayat trauma kepala atau stroke dalam 3 bulan terakhir
e) Infark multilobar (gambaran hipodens > 1/3 hemisfer serebri
f) Kejang pada saat onset stroke
g) Kejang dengan gejala sisa kelainan neurologis post iktal
h) Riwayat stroke atau cedera kepala berat dalam 3 bulan sebelumnya
i) Perdarahan aktif atau trauma akut (fraktur) pada pemeriksaan fisik
j) Riwayat pembedahan mayor atau trauma berat dalam 2 minggu sebelumnya
k) Riwayat perdarahan traktus gastrointestinal atau urinarius dalam 3 minggu
sebelumnya
l) Tekanan darah sistolik > 185 mmHg, diastolik >110 mmHg
m) Glukosa darah <50 mg/dl atau > 400 mg/dl
n) Gejala perdarahan subarcahnoid
41
o) Pungsi arteri pada tempat yang tidak dapat dikompresi atau pungsi lumbal
dalam 1 minggu sebelumnya
p) Jumlah platelet <100.000/mm3
q) Mendapat terapi heparin dalam 48 jam yang berhubungan dengan
peningkatan aPTT
r) Gambaran klinis adanya perikarditis pascainfark miokard
s) Infark miokard dalam 3 bulan sebelumnya
t) Wanita hamil
u) Tidak sedang mengkonsumsi antikoagulan oral atau bila sedang dalam
terapi antikoagulan hendaklah INR < 1,7.
a) Infus 0,9 mg/kg (dosis maksimal 90 mg) diberikan selama 60 menit, 10%
dari dosis awal tersebut dibolus dalam rentang waktu >1 menit
b) Masukkan pasien dalam perawatan ICU atau unit stroke agar dilakukan
monitoring ketat
c) Jika pasien mengalami nyeri kepala hebat, akut hipertensi, nausea, muntah
atau mengalami perburukan status neurologis, hentikan pemberian infus
rTPA (jika sedang berlangsung) dan segera lakukan pemeriksaan CT Scan
d) Selama pemberian sampai dengan 2 jam setelah pemberian rTPA intravena
lakukan monitoring tekanan darah setiap 15 menit, setelah itu sampai 6 jam
setelah pemberian rTPA intravena lakukan peniliain setiap 30 menit,
kemudian monitoring ditunkan setiap jam sampai 24 jam awal.
e) Monitoring ditingkatkan bila TDS >180 mmHg atau TDD >105mmHg.
Berikan terapi antihiprtensi untuk mempertahankan tekanan darah dibawah
nilai tersebut.
f) Tunda pemasangan NGT, kateter urine atau kateter tekananan intrakranial
jika keadaan pasien masih terkendali
g) Lakukan pemeriksaan CT Scan atau MRI dalam 24 jam setelah pemberian
rTPA intravena sebelum memulai pemberian anticoagulans atau agen
antiplatelet.
42
Pemberian terapi rTPA intravena umumnya diberikan dalam rentang waktu <3
jam sejak onset stroke (dihitung sejak terakhir kali pasien ditemui dalam keadaan
sadar dan tidak mengalami defisit neurologis). Penelitian mennunjukkan
pemberian rTPA pada renang waktu < 90 menit dari onset mempunyai luaran
yang lebih baik dibandingkan pada rentang menit 91-180 setelah onset.
2. Antikoagulan
3. Anti Platelet
43
Pasien dengan stroke iskemik atau TIA yang tidak mendapat terapi antikoagulan
harus diberikan antiplatelet seperti aspirin (80-325mg) atau clopidogrel 75 mg,
atau terapi kombinasi aspirin dosis rendah 25 mg dengan extended release
dypiridamole 200 mg. American Stroke Association (ASA) merekomendasikan
pemberian clopidogrel diawali dengan bolus 300-600 mg kemudian diikuti
dengan pemberian dosis harian 75 mg/hari.
4. Intervensi Endovaskular
44
ketat. Luaran yang baik dari terapi ini berhubungan dengan seberapa cepat terapi
tersebut diberikan sejak onset terjadi. Terapi fibrinolisis intraarterial hanya dapat
diberikan oleh dokter yang berpengalaman dan mempunyai akses yang cepat
untuk pemeriksaan angiografi serebral.
Agen Neuroprotektif
Tujuan dari neuroprotektif lebih mengarah pada pemberian efek langsung pada
jaringan otak untuk menyelamatkan atau menunda infark pada daerah penumbra,
dibandingkan perbaikan reperfusi jaringan. Agen farmakologikal bekerja dengan
mencegah efek dari pengeluaran asam amino seperti glutamat, masuknya kalsium
kedalam sel, kerusakan akibat radikal bebas, pengaktifan protease diintraselular,
apoptosis, reaksi inflamasi dan untuk memperbaiki membran.
Citicolin
Pada pasien stroke iskemik obat statin dan inhibitor HMG-CoA reductase
berfungsi sebagai bahan yang memperkuat neuroprotektif pada jaringan otak
45
dengan memperbaiki fungsi endotelial, vaskularisasi serebral, dan mengurangi
inflamasi. Penderita yang tidak diberikan terapi statin lebih cenderung mengalami
perburukan bahkan meningkatkan kematia. Waktu terbaik pemberian statin pada
penderita stroke ialah kurang dari 6 jam dari onset.
2.3.8 Prognosis
Penelitian Farmingham dan Rochester menemukan tingkat mortalitas stroke
iskemik paling tinggi terjadi setelah 30 hari dari onsett. Tingkat mortalitas pada
rentang 30 hari sejak onset sebesar 19%, sedangkan tingkat survival dalam 1
tahun pertama sebesar 77%.
Prognosis stroke sangat dipengaruhi oleh berat ringannya penyakit dan penyulit
yang terjadi selama perjalanan penyakit dan perawatan pasien, antara lain infeksi
nosokomial berupa pneumonia dan infeksi saluran kemih. Faktor-faktor yang
umumnya mempengaruhi prognosis stroke:
a. Faktor neurologi: lokasi lesi, jenis dan luas lesi.
b. Faktor umum : umur, hipertensi, penyakit jantung, hiperglikemi.
c. Faktor komplikasi: jantung, infeksi, emboli paru, kejang, stroke berulang,
multi infark.
Skore National Institutes of Health Stroke Scale (NIHSS) dapat digunakan sebagai
alat prediktor risiko mortalitas pada awal kejadian dan memprediksi lokasi
penyumbatan vaskularisasi serebri.
46
(perintah buka-tutup Mengikuti 1 perintah dengan tepat (1)
mata, dan pegang dan Salah (2)
melepaskan tangan).
2 Gerakan mata konjugat Normal (0)
horisontal [GAZE] Abnormal pada satu mata (1)
Abnormal pada kedua mata (2)
3 Lapang pandang pada Tak ada gangguan visual (0)
tes konfrontasi Hemianopia parsial (1)
Hemianopia komplit (2)
Hemianopia bilateral (3)
4. Kelumpuhan wajah Normal atau simetris (0)
(menunjukkan gigi, Minor (nasolabial datar, asimetris saat (1)
mengangkat alis dan senyum)
menutup mata) Parsial (paralisis wajah bawah total atau (2)
hampir total)
Komplit satu atau kedua sisi (tidak ada (3)
pergerakan wajah atas dan bawah)
5a. Motorik lengan kanan Tidak ada kelumpuhan (0)
(angkat lengan 900 bila Jatuh sebelum 10 detik (1)
pasien duduk, angkat Tidak dapat diluruskan secara penuh (2)
450 bila posisi supine) Tidak dapat menahan gravitasi
Tidak ada gerakan (3)
(4)
5b. Motorik lengan kiri Tidak ada kelumpuhan (0)
(angkat lengan 900 bila Jatuh sebelum 10 detik (1)
pasien duduk, angkat Tidak dapat diluruskan secara penuh (2)
450 bila posisi supine) Tidak dapat menahan gravitasi (3)
Tidak ada gerakan (4)
6a. Motorik tungkai kanan Tidak ada kelumpuhan (0)
Jatuh setelah 5 detik, (1)
Melawan gravitasi, jatuh setelah 5 detik (2)
Tidak dapat melawan gravitasi (3)
47
Tidak ada gerakan (4)
6b. Motorik tungkai kiri Tidak ada kelumpuhan (0)
Jatuh setelah 5 detik, (1)
Melawan gravitasi, jatuh setelah 5 detik (2)
Tidak dapat melawan gravitasi (3)
Tidak ada gerakan (4)
7. Ataksia ekstremitas Tak ada (0)
Pada salah satu ekstremitas (1)
Pada kedua ekstremitas (2)
8. Gangguan Sensorik Normal (0)
(wajah, lengan dan Ringan-sedang (sadar ada rangsangan (1)
tungkai ditusuk dengan sensoris, terasa seperti tumpul)
jarum) Berat (kehilangan sensoris total, tidak (2)
menyadari disentuh)
9. Afasia Tak ada afasia (0)
Afasia ringan –sedang (1)
Afasia berat (2)
Bisu (3)
10. Disartria Normal (0)
Disatria ringan–sedang (masih dapat (1)
dipahami)
Distartria berat atau bisu (2)
Hambatan berbicara karena intubasi (9)
11. Neglect/inattention Normal (0)
(diberikan modalitas Ringan (kehilangan 1 modalitas sensoris) (1)
sensoris: visual, taktil, Hebat (kehilangan >1 modalitas sensoris) (2)
auditori, spasial)
TOTAL SKOR NIHSS
Interpretasi dari NIHSS yaitu: skor >25 sangat berat, 14-25 berat, 5-14 sedang,
dan < 5 ringan.
48
3 BAB III
RIWAYAT PENYAKIT
3.1 ANAMNESIS
Automentesis √ Heteroanamsesis
49
Pada saat kejadian pasien tidak mengalami pingsan,
muntah, dan kejang. Keluhan ini baru pertama kali
dikeluhkan. BAB dan BAK normal.
Pasien baru pertama kali mengalami hal yang seperti ini. Namun sejak 1 minggu
SMRS pasien mengeluhkan tidak bisa tidur karena merasa seluruh badan tidak
enak dan kepala terasa nyeri. Nyeri dada, kelemahan anggota gerak badan, dan
bicara pelo pada saat itu disangkal. Riwayat penyakit jantung, diabetes, dan
kolesterol, migrain dan riwayat alergi disangkal.
Pasien mengaku tidak ada keluarga yang mengalami hal yang serupa dengan
pasien. Riwayat darah tinggi, kencing manis, dan sakit jantung pada keluarga
disangkal oleh pasien.
50
3.2.2 Gizi:
Depan Belakang
Inspeksi Simetris fusiformis Simetris fusiformis
Palpasi SF : stem fremitus ka=ki SF : stem fremitus ka=ki
Perkusi Sonor Sonor
51
Auskultasi SP: vesikuler SP: vesikuler
ST: - ST: -
Jantung
a) Inspeksi : Tampak iktus kordis ± 1cm di lateral mmidclavicularis sinistra
b) Palpasi : Iktus kordis teraba kuat ± 1cm di lateral mmidclavicularis sinistra
c) Perkusi :Batas atas : ICS 2 midclavikularis sinistra
kanan : ICS 4 sternalis dekstra
kiri : ICS 5 midclavicularis 1 cm lateral
i. Abdomen
a) Inspeksi : simetris
b) Palpasi : soepel, H/L/R: -/-/-, nyeri tekan epigastrium (-),
undulasi (-) abdominal jugular reflux (-)
c) Perkusi : timpani, pekak hati (+), pekak beralih(-), abdominal jugular
reflux (-)
d) Auskultasi: Peristaltik (+) normal , double sound (-)
j. Punggung
k. Ekstremitas:
52
Gerakan abnormal : Tidak ada
53
- Deviasi conjugate : (-) (-)
- Fenomena doll’s eye : (+) (+)
- Strabismus : (-) (-)
5. Nervus VII
Motorik Kanan Kiri
- Mimik : asimetris
- Kerut kening : (+) (+)
- Menutup mata : (+) (+)
- Meniup sekuatnya : (+) bocor
- Memperlihatkan gigi : asimetris sudut mulut tertarik ke
kiri
Sensorik
- Pengecapan 2/3 depan lidah : dbn dbn
- Produksi kelenjar ludah : dbn dbn
54
Vestibularis
- Nistagmus : - -
- Reaksi kalori : tdp tdp
7. Nervus IX, X
Pallatum molle : Arcus pharynx kiri lebih rendah/tertinggal
Uvula : tertarik ke kanan
Disfagia : (-)
Disartria : (+)
Disfonia : (+)
Reflex muntah : tdp
Pengecapan 1/3 belakang lidah : dbn
9. Nervus XII
Lidah
- Tremor : (-)
- Atrofi : (-)
- Fasikulasi : (-)
Ujung lidah sewaktu istirahat : mencong ke kanan
Ujung lidah sewaktu dijulurkan : mencong ke kiri
M. Sternocleidomastoideus : kontraksi +/-
M. Trapezeus
- Saat istirahat : Simetris
- Saat bahu digerakkan : Asimetris, kelemahan pada bahu kiri
55
3.3.3 Pemeriksaan Motorik
1. Tremor : -
2. Chorea : -
3. Balismus : -
Tidak ditemukan saat dilakukan pemeriksaan
56
3.3.5 Sistem Koordinasi
57
EKG
58
Head CT Scan
Kesan:
59
RESUME DATA DASAR
2. ANAMNESIS :
Lemah pada badan selebah kiri terjadi secara tiba-tiba. Hal ini dialami 1 hari SMRS pada saat
bangun dari tempat tidur, pasien merasakan badan lemah dan terjatuh kearah kiri saat. Keluhan ini
baru pertama kali dikeluhkan. Os juga mengeluhkan bicaranya menjadi pelo dan wajah sebelah kiri
terjatuh (lemah). Riwayat sering konsumsi kopi dan sebgai perokok pasif. Riwayat: hipertensi namun
tidak teratur kontrol.
3. PEMERIKSAAN FISIK :
Abdomen : dbn
4. Status Neurologis
60
- Nervus Kranialis :
N.C VII : hemiparese tipe sentral (S)
N.C IX-X : Hemiparese (S)
N.C XI : hemiparese (S)
N.C XII : hemiparese (S)
- Pemeriksaan Motorik : Kanan kiri
R. Fisiologis : ++ ++
R. Patologis : (-) (-)
Tonus : normal hipotonus
5555 1111
Kekuatan otot : 5555 2222
5. Pemeriksaan Penunjang
61
RENCANA AWAL
Rencana yang akan dilakukan masing-masing masalah (meliputi rencana untuk diagnosa, penatalaksanaan
dan edukasi)
Monitoring
62
Follow Up
P
Tanggal S O A
Therapy Monitoring
29-7-2017 Kelemahan badan Sens : compos mentis - Hemiplegia S e.c Susp SNH - Bed rest - Vital sign
sebelah kiri TD : 180/100 mmHg dd Susp - Head up 300 - Muntah
Pelo HR : 61x/I, reg, t/v SH - O2 3 lpm NC (k/p) - Nyeri kepala
TD meningkat cukup dd SOL - IVFD RL 30 tpm - Nyeri dada
Bahu susah diangkat RR : 20x/i - HT Urgency - Inj. Citicolin 500 mg dalam - Test menelan
EKG T inverted lateral T : 360C - OMI Lateral NaCl 0,9% Pz Bag 28
SpO2: 97%. tpm/12 jam
- Inj. Ranitidin 50mg/12 jam
Rgsg. Meningeal (-) - Atovastatin 1x20 mg
N.C: hemiparese (S) - Pro Head CT Scan
pada: NC VII: tipe
sentral, N.C IX-XII
K.Motorik
5 1
5 2
63
30-7-2017 Kelemahan badan Sens : compos mentis - Hemiplegia S e.c SNH - Bed rest - Vital sign
sebelah kiri TD : 150/80 mmHg (secondary attack) –H-3 - Head up 300 - Muntah
Pelo HR : 66x/I, reg, t/v - HT grade I - IVFD RL 20 tpm - Nyeri kepala
TD meningkat cukup - OMI Lateral - Inj. Citicolin 500 mg dalam - Nyeri dada
Bahu susah diangkat RR : 20x/i NaCl 0,9% Pz Bag 28
T : 370C tpm/12 jam
Test menelan (+) SpO2: 98%. - Inj. Ranitidin 50mg/12 jam
Hasil CT Scan: - Atovastatin 1x20 mg
Infark serebri (S) Rgsg. Meningeal (-) - Aspilet 1x80 mg
Infark pons (D) N.C: hemiparese (S)
EKG: T inverted lateral pada: NC VII: tipe
sentral, N.C IX-XII
K.Motorik
5 1
5 2
64
31-7-2017 Kelemahan badan Sens : compos mentis - Hemiplegia S e.c SNH - Citicolin 1x 500 mg
sebelah kiri TD : 130/80 mmHg (secondary attack)- H-4 - Ranitidin 2x150mg
Bicara pelo HR : 63x/I, reg, t/v - OMI Lateral - Atovastatin 1x20 mg
Bahu susah diangkat cukup - Aspilet 1x80 mg
RR : 20x/i - Fisioterapi
T : 370C - Boleh Pulang
SpO2: 98%.
65
Kesimpulan dan Prognosis
Ny. Manyela 56 tahun menderita hemiplegia sinisitra e.c SNH (secondary attack)+hipertensi+ OMI lateral
Prognosis :
66
4 BAB IV
PEMBAHASAN
Menurut WHO stroke merupakan suatu gangguan fungsional otak yang terjadi
secara mendadak dengan tanda dan gejala klinik baik fokal maupun global yang
berlangsung lebih dari 24 jam, atau dapat langsung menimbulkan kematian, dan
semata-mata disebabkan gangguan peredaran darah otak non traumatik. Faktro
risiko.
Pada pemeriksaan fisik dijumpai adanya defisit neurologis pada N.C VII sinistra
tipe sentral, NC IX-XII sinistra, dan kelemahan kekuatan motorik pada
ekstremitas sebelah kiri. Tidak dijumpai adanya rangsangan meningeal
membantu menyingkirkan diagnosis banding meningoensefalitis dan stroke
hemoragik tipe PSA. Selain itu pemeriksaan penunjang berupa darah rutin, kadar
gula darah sewaktu yang normal mengarahkan kemungkinan penyebab defisit
neurologs yang dialami pasien tidak disebabkan oleh kelainan metabolik dan
infeksi.
Secara garis besar faktor risiko stroke dibagi atas faktor risiko yang dapat
dimodifikasi (modifiable) dan yang tidak dapat dimodifikasi (nonmodifiable).
Faktor risiko stroke yang dapat dimodifikasi diantaranya adalah hipertensi,
penyakit jantung (fibrilasi atrium), diabetes melitus, merokok, konsumsi alkohol,
hiperlipidemia, kurang aktifitas, dan stenosis arteri karotis. Sedangkan faktor
67
risiko yang tidak dapat dimodifikasi antara lain usia, jenis kelamin (laki-
laki>perempuan), ras/suku, dan faktor genetik.
Dari anamnesis juga diperoleh faktor resiko stroke seperti hipertensi yang tidak
terkontrol, perokok pasif dan pola hidup tidak sehat berupa sering konsumsi
makanan berlemak. Selain itu, pada pemeriksaan fisik dijumpai batas jantung
relatif meningkat. Hal ini dikonfirmasi dari EKG dengan hasil berupa kesan LVH.
Pada pemeriksaan EKG juga dijumpai adanya OMI lateral, hal ini meningkatkan
risiko terjadinya stroke iskemik.
Hasil SSS -5
Nilai SSS pada pasien = -5 (< -1), oleh karena itu jenis stroke yang dialami
pasien kemungkinan besar stroke non hemoragik
68
Konfirmasi diagnosis stroke iskemik ditegakkan setelah dilakukan pemeriksaan
gold standar berupa pemeriksaan CT Scan. Pada pemeriksaan ini dijumpai adanya
lesi hipodens pada daerah hemiserebri sinistra dan daerah pons dextra dan tidak
dijumpai adanya massa (tumor) maupun perdarahan.
Masalah utama pada keadaan stroke yaitu adalah kegagalan dalam pemasokan
oksigen dan energi pada jaringan tertentu di otak. Dengan demikian harus
dipastikan agar tidak terjadi hipoksemia sistemik dan hipotensi, dan jika hal
tersebut ditemui maka harus segera ditangani agar tidak memperberat keadaan
kerusakan sel. Pemeriksaan jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi sangat penting
dilakukan secara konstan bahkan dilakukan sebelum pasien sampai ke rumah
sakit.
Pasien datang ke rumah sakit 1 hari setelah onset stroke (dihitung saat pasien
terakhir kali dijumpai sadar) oleh karena itu pasien tidak memenuhi kriteria
inklusi pemberian rTPA intravena sehingga terapi ini tidak diberikan. Pemberian
terapi spesifik rTPA intravena dan antikoagulan (UFH dan LMWH) juga tidak
diberikan karena meningkatkan risiko perdarahan pada terapi stroke akut.
Sementara itu pemberian antikoagulan ini juga tidak mengurangi perburukan
neurologis akut pasien dan tidak mengurangi risiko kejadian stroke recurrent,
kecuali pada pasien stroke kardioemboli (misalnya: atrial fibrilasi).
69
dypiridamole 200 mg. Aspirin bekerja dengan menghambat jalur siklooksigenase
sehingga menurunkan sintesis dan mengurangi lepasnya senyawa yang
mendorong adhesi seperti tromboxan A2. Pemberian aspirin dalam 48 jam setelah
onset dapat menurunkan mortalitas dan efek negatif lainnya. Pemberian terapi
kombinasi aspirin dan clopidogrel dikontraindikasikan pada penderita yang tidak
dapat diberikan antikoagulan karena mempunyai risiko perdarahan dengan
pemberian warfarin.
70
Pasien menyangkal adanya keluhan serupa pada periode sebelum serangan
terakhir. Namun pada pemeriksaan CT Scan di jumpai 2 bagian infar dengan
lokasi yang berbeda. Pada stroke gejala yang tampak sangat beragam mulai dari
penurunan kekuatan motorik, ganngguan koordinasi, gangguan menghitung dan
sebagainya.
Prognosis ad vitam pada kasus ini ad bonam, hal ini dipengaruhi oleh keadaan
pasien pada saat datang yang masih dalam keadaan umum yang baik, skor NIHSS
pasien adalah 8 (sedang) dan luas lesi yang kecil. Prognosis ad fungsionam dubia
ad malam dikarenakan sangat tergantung dari kecepatan mendapatkan terapi,
ketelatenan pasien dalam menjalani fisioterapi. Walaupun luas lesi kecil namun
perbaikan fungsi motoris pasien selama dirawat tidak signifikan. Selain itu
kesadaran pasien untuk berobat masih rendah, hal ini ditunjukkan kecenderungan
pasien menunda pemeriksaan dan pengobatan ke dokter
Prognosis sanationam dubia ad malam dikarenakan stroke yang dialami pasien
saat masuk rumah sakit ialah stroke serangan kedua atau sudah berulang, maka
kemungkinan stroke berulang sangat tinggi. Adanya faktor resiko hipertensi dan
OMI membutuhkan kesadaran dan perhatian dari pasien untuk mengontrolnya,
sehingga kejadian stroke ulagan dapat dicegah.
71
5 BAB V
KESIMPULAN
Stroke adalah suatu gangguan fungsional otak yang terjadi secara mendadak
dengan tanda dan gejala klinik baik fokal maupun global yang berlangsung lebih
dari 24 jam, atau dapat langsung menimbulkan kematian, dan semata-mata
disebabkan gangguan peredaran darah otak non traumatik. Stroke diklasifikasikan
menjadi stroke hemoragik dan nonhemoragik (iskemik). Sebesar 82-92% kasus
stroke merupakan jenis stroke iskemik. Stroke iskemik terjadi karena adanya
oklusi vaskular serebral. Lokasi oklusi mempengaruhi gambaran klinis yang
muncul pada pasien dan juga prognosis kesembuhan.
Pada kasus ini seorang perempuan berumur 56 tahun didiagnosa stroke iskemik
scondary acttack berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
neurologis dan pemeriksaan penunjang. Hasil anamnesis didapatkan pasien datang
dengan keluhan kelemahan anggota gerak kiri secara tiba-tiba, yang dialami 1 hari
SMRS saat pasien bangun dari tempat tidur. Os juga mengeluhkan bicaranya
menjadi pelo dan wajah sebelah kiri terjatuh (lemah). Tidak dijumpai adanya
keluhan sakit kepala hebat, muntah, penurunan kesadaran, demam dan riwayat
trauma. Pasien menyangkal adanya keluhan serupa pada periode sebelum
serangan terakhir. Namun pada pemeriksaan CT Scan di jumpai 2 bagian infar
dengan lokasi yang berbeda. Pada stroke gejala yang tampak sangat beragam
mulai dari penurunan kekuatan motorik, ganngguan koordinasi, gangguan
menghitung dan sebagainya. Pasien mempunyai faktor risiko utama yaitu riwayat
hipertensi yang tidak terkontrol, riwayat perokok pasif.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien adalah CT Scan kepala, foto
toraks, ekokardiografi (ECG), pemeriksaan darah rutin, KGD adrandom,
HDL/LDL, dan pemmeriksaan faal ginjal. Pemeriksaan EKG menunjukkan
adanya OMI Lateral dan LVH yang muncul karena hipertensi yang tidak
terkontrol. Hasil CT scan didapati infark di pada serebri sinistra dan pada pons
dextra.
72
Penatalaksaan yang diberikan pada pasien berupa penilaian penatalaksaan ABC
(airway, breathing, and circulation). Setelah dipastikan ABC adekuat, terapi
dilanjutkan dengan bed rest, Head up 300, O2 3 lpm NC (k/p), IVFD RL 30 tpm,
injeksi ranitidin 50mg/12 jam, atovastatin 1x20 mg, drip citicolin 500 mg dalam
NaCl 0,9% Pz Bag 28 tpm/12 jam, aspilet 1x80 mg dan fisioterapi.
73