You are on page 1of 33

LAPORAN KASUS

“CALDWEL-LUC PADA RHINOSINUSITIS DENGAN


GENERAL ANESTESI”
Disusun untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Kepaniteraan Klinik
di Bagian Ilmu Anestesiologi RS. PKU Surakarta

Diajukan Kepada :
Dr. Bambang Sutanto, Sp.An

Disusun Oleh :
M. Haidzar Fathin J510165042
Alban Ramadhan J5101650

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SURAKARTA RS. PKU SURAKARTA
2017

1
LAPORAN KASUS
“CALDWEL-LUC PADA RHINOSINUSITIS DENGAN
GENERAL ANESTESI”

Diajukan Oleh :
M. Haidzar Fathin, S.Ked J 510165042
Alban Ramadhan, S.Ked J 5101650

Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Program Pendidikan Fakultas


Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Pembimbing:
dr. Bambang Sutanto, Sp.An
(...............................)

Dipresentasikan dihadapan:
dr. Bambang Sutanto, Sp.An
(...............................)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI DAN REANIMASI


RUMAH SAKIT UMUM PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2017
B

2
BAB I

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. V
Umur : 49 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Berat Badan : 59 kg
Alamat : Surakarta
Agama : Islam
Diagnosis pre operasi : Rhinosinusitis Sinistra
Jenis pembedahan : CWL
Jenis anestesi : General Anestesi
Tanggal masuk : 25 Juli 2016
Tanggal Operasi : 27 Juli 2016
No.Rekam Medis : 5647xxxxx

II. ANAMNESIS
a. Keluhan utama: pusing dan mual-mual ± 4 bulan yang lalu
b. Riwayat Penyakit sekarang
Pasien mengeluhkan sering pusing dan mual kurang lebih 4 bulan. 3 hari
yang lalu pasien periksa ke internist. setelah beberapa hari di lakukan
perawatan pasien di konsulkan ke dokter THT.
c. Riwayat penyakit dahulu:
- Riwayat Operasi (-)
- Riwayat Penggunaan zat anestesi (-)
- Riwayat Hipertensi (-)
- Riwayat Asma (-)
- Riwayat Alergi obat dan makanan (-)
- Riwayat Diabetes mellitus (-)
- Riwayat TB paru (-)
- Riwayat Sakit Jantung (-)
d. Riwayat penyakit Keluarga-
- Riwayat Hipertensi : (-)
- Riwayat Asma (-)
- Riwayat Alergi obat dan makanan (-)
- Riwayat Diabetes mellitus (-)
- Riwayat TB Paru (-)

III. PEMERIKSAAN FISIK


Cranium : dalam batas normal.
Leher : dalam batas normal.
Telingan : DBN
Hidung : Edeme mukosa cavum nasi , Pus (+)
Thorax : SDV (-/-), Rho (-/-), Wheezing (-/-), Bunyi Jantung I-II reguler

2
Abdomen: dalam batas normal
Ekstremitas: Akral hangat pada ke empat extremitas.
Urogenital : BAK dalam batas normal.
BAB : dalam batas normal.
Genitalia : dalam batas normal

IV. PEMERIKSAAN LABORATORIUM


Pemeriksaan 25 september 2017 Nilai normal
Hematologi
Hemoglobin 12,8 11,7-15,5 g/dL
Leukosit 7,80 4800-10800/L
Hematokrit 35,50 35-47%
Eritrosit 4,58x106 3,8-5,2x106/
Trombosit 340000 150000-450000/L
Netrofil 24,9 H -
Limfosit 5,4 -
Monosit 5,4 -
MCV 64,20 80,0-99,0 fl
MCH 27,90 27,0-31,0 pg
MCHC 33,20 33,0-37,0 %
CT 1,45 1-3 menit
BT 4,20 2-8 menit
Kimia Klinik
SGOT 183 H < 31 U/L
SGPT 305 H < 32 U/L
Seroimmunologi
HbsAg Non Reaktif (-) Non Reaktif (-)

V. KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik, maka:
Diagnosis pre operatif: Sinusitis Maxilaris, hepatitis akut

Status operatif : ASA I


Jenis operasi : Caldwell- Luc (CWL)
Jenis anestesi : General Anastesi

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANESTESIA UMUM
Anestesi umum adalah bentuk anestesi yang paling sering digunakan atau
dipraktikkan yang dapat disesuaikan dengan jumlah terbesar pembedahan,
karena dengan anestesi ini jalan nafas dapat terus dipertahankan dan nafas
dapat dikontrol. (2)
Pada kasus ini anestesi yang digunakan adalah anestesi umum yaitu
hilangnya rasa sakit di seluruh tubuh disertai hilangnya kesadaran yang bersifat
sementara dan reversible yang diakibatkan oleh obat anestesi. Dalam
memberikan obat–obat pada penderita yang akan menjalani operasi maka perlu
diperhatikan tujuannya yaitu sebagai premedikasi, induksi, atau pemeliharaan.
(5)

1. Persiapan Pra Anestesi


Salah satu hal yang sangat penting dalam tindakan anestesi adalah
kunjungan pra anestesi pada pasien yang akan menjalani anestesi dan
pembedahan, baik elektif dan darurat mutlak harus dilakukan untuk
keberhasilan tindakan tersebut. Semua pasien yang masuk di bagian kebidanan
kemungkinan akan membutuhkan anestesi, baik elektif maupun emergensi.
Perlu dibuat anamnesis yang lengkap mengenai umur, paritas, usia kehamilan,
dan faktor-faktor yang mungkin menyebabkan komplikasi.(1) Pada kasus elektif

4
biasanya dilakukan satu sampai dua hari sebelum operasi sedangkan pada
kasus darurat waktu yang tersedia lebih singkat. Adapun tujuan persiapan pra
anestesi adalah untuk mempersiapkan mental dan fisik secara optimal,
merencanakan dan memilih tehnik serta obat – obat anestesi yang sesuai
dengan fisik dan kehendak pasien, menentukan status fisik penderita dengan
klasifikasi ASA (American Society Anesthesiology). (3)
1. Macam-macam teknik anestesi :
No. Teknik Resevoir bag Valve Rebreathing Soda lime
1. Open _ _ _ _
2. Semi open + + _ _
3. Semi closed + + + +
4. Closed + + + +
Keterangan :
Rebreathing ( - ) = CO2 langsung ke udara kamar.
Rebreathing ( + ) = CO 2 langsung ke udara kamar & sebagian dihisap
lagi.
Rebreathing ( + ) = CO2 dihisap lagi.
Pada kasus ini dipakai semi closed anestesi karena mempunyai
beberapa keuntungan :
1). Konsentrasi inspirasi relatif konstan.
2). Konservasi panas dan uap.
3). Menurunkan polusi kamar.
4). Menurunkan resiko ledakan dengan obat yang mudah terbakar.

2. Menentukan status fisik penderita dengan klasifikasi ASA (American


Society Anesthesiology), yaitu : (4)
 ASA 1 : Pasien dalam keadaan sehat, kelainan bedah terlokalisir,
tanpa kelainan faali, biokimia dan psikiatri. Angka
mortalitas mencapai 2 %.
 ASA 2 : Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang
karena penyakit bedah maupun proses patofisiolgis.
Angka mortalitas mencapai 16 %.

5
 ASA 3 : Pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat
sehingga aktivitas harian terbatas . Angka mortalitas
mencapai 36 %.
 ASA 4 : Pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara
langsung mengancam kehidupannya dan tidak selalu
sembuh dengan operasi. Angka mortalitas mencapai 68
%.
 ASA 5 : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil.Tindakan
operasi hampir tidak ada harapan.Tidak ada harapan hidup dalam 24 jam
walaupun dioperasi atau tidak. Angka mortalitas mencapai 98 %.

b.Premedikasi Anestesi
Tujuan premedikasi bukan hanya untuk mempermudah induksi dan
mengurangi jumlah obat – obatan yang digunakan, tetapi terutama untuk
menenangkan pasien sebagai persiapan anestesi. Premedikasi anestesi adalah
pemberian obat sebelum anestesi dilakukan. Tindakan ini biasanya dilakukan
sebelum pasien dibawa ke ruang operasi. (4)
Tindakan premedikasi ini mempunyai tujuan antara lain untuk
memberikan rasa nyaman bagi pasien, membuat amnesia, memberikan
analgesia, mencegah muntah, memperlancar induksi, mengurangi jumlah obat
– obat anestesi, menekan reflek – reflek yang tidak diinginkan, mengurangi
sekresi kelenjar saluran nafas.
Obat –obat yang sering digunakan sebagai premedikasi adalah :
1. Golongan hipnotik sedatif : Barbiturat, Benzodiazepin, Transquilizer.
2. Analgetik narkotik : Morfin, Petidin, Fentanil.
3. Neuroleptik : Droperidol, Dehidrobenzoperidol.
4. Anti kolinergik : Atropin, Skopolamin.

Obat – obat premedikasi :


Sulfas Atropin

6
Sulfas atropin termasuk golongan anti kolinergik. Berguna mengurangi
sekresi lendir dan mengurangi efek bronkhial dan kardial yang berasal dari
perangsangan parasimpatis akibat obat anestesi atau tindakan operasi. Pada
dosis klinik (0,4–0,6 mg ) akan menimbulkan bradikardi yang disebabkan
perangsangan nervus Vagus. Pada dosis yang lebih besar (> 2 mg) akan
menghambat nervus Vagus sehingga terjadi takikardi. Efek lainnya yaitu
melemaskan nervus otot polos, mendepresi vagal reflek, menurunkan spasme
gastrointestinal dan mengurangi rasa mual serta muntah.
Obat ini juga dapat menimbulkan rasa kering di mulut serta penglihatan
kabur, maka lebih baik tidak diberikan pra anestesi lokal atau regional. Dalam
dosis toksik dapat menyebabkan gelisah, delirium, halusinasi, dan kebingungan
pada pasien. Tetapi hal ini dapat diatasi dengan pemberian Prostigmin 1 – 2 mg
intra vena.
Sedian : dalam bentuk Sulfat Atropin dalam ampul 0,25 mg dan 0,50 mg.
Dosis : 0,01 mg/kgBB dan 0,1 – 0,4 mg untuk anak – anak.
Pemberian : SC, IM, IV.(7)
Pethidin
Merupakan derivat fenil piperidin yang efek utamanya, depresi nafas
dan efek sentral lain. Efek analgetik timbul lebih cepat setelah pemberian sub
cutan atau intra muskular, tapi masa kerja lebih pendek. Dosis toksik
menimbulkan perangsangan SSP misal tremor, kedutan otot dan konvulsi. Pada
saluran nafas, akan menurunkan tidal volume sedang frekuensi nafas kurang
dipengaruhi sehingga efek depresi nafas tidak disadari. Secara sistemik
menimbulkan anestesi kornea dengan akibat hilangnya refleks kornea. Obat ini
juga meningkatkan kepekaan alat keseimbangan sehingga menimbulkan mual,
muntah dan pusing pada penderita yang berobat jalan. Pada penderita rawat
baring, obat ini tidak mempengaruhi sistem kardiovaskuler, tapi penderita
berobat jalan dapat timbul sinkop orthostotik karena hipotensi akibat
vasodilatasi perifer karena pelepasan histamin. (4)
Absorbsi petidin berlangsung baik pada semua cara pemberian. Pada
pemberian IV kadarnya dalam darah akan turun cepat 1-2 jam pertama. Petidin

7
dimetabolisme di hati dan dikeluarkan lewat ginjal sekitar 1/3 dosis yang
diberikan. Preparat oral dalam tablet 50 mg, parenteral dalam bentuk ampul 50
mg per cc. Dosis dewasa 50-100 mg disuntikkan SK atau IM. Jika secara IV
efek analgesiknya tercapai dalam waktu 15 menit. (4)

c. Induksi
Induksi merupakan saat dimasukkannya zat anestesi sampai tercapainya
stadium pembedahan (III) yang selanjutnya diteruskan dengan tahap
pemeliharaan anestesi untuk mempertahankan atau memperdalam stadium
anestesi setelah induksi. (4)
Macam-macam stadium anestesi :
Stadium I (analgesia) : - mulai pemberian zat anestesi sampai dengan
hilangnya kesadaran
- mengikuti perintah, rasa sakit hilang.
Stadium II ( Delirium ) : - mulai hilangnya kesadaran sampai dengan
permulaan stadium bedah.
- gerakan tidak menurut kehendak, nafas tidak
teratur, midriasis, takikardi.
Stadium III (Pembedahan) :
1. Tingkat 1 :nafas teratur spontan, miosis, bola mata tidak menurut
kehendak, nafas dada dan perut seimbang.
2. Tingkat 2 :nafas teratur spontan kurang dalam, bola mata tidak
bergerak, pupil mulai melebar, mulai relaksasi otot.
3. Tingkat 3 : nafas perut lebih dari nafas dada, relaksasi otot sempurna.
4. Tingkat 4 :nafas perut sempurna, tekanan darah menurun, midriasis
maksimal, reflek cahaya ( - )
Stadium IV. (Paralisis) : nafas perut melemah, tekanan darah tidak
terukur, denyut nadi berhenti dan
meninggal.
Pada kasus ini digunakan Propofol.
Propofol

8
Propofol merupakan derivat isoprofilfenol yang digunakan untuk
induksi dan pemeliharaan anestesi umum. Propofol secara kimia tidak ada
hubungannya dengan anestesi IV lain. Pemberian IV ( 2 mg/kg BB )
menginduksi anestesi secara cepat seperti Tiopental. Anestesi dapat
dipertahankan dengan infus Propofol yang berkesinambungan dengan Opiat,
N2 dan atau anestesi inhalasi lain.(4)
Propofol menurunkan tekanan arterial sistemik, dan kembali normal
dengan intubasi trekea. Propofol tidak menimbulkan aritmia, atau iskemik otot
jantung, tidak merusak fungsi hati dan ginjal. (7)
Keuntungan Propofol, bekerja lebih cepat dari Tiopental,
mempunyai induksi yang cepat, masa pulih sadar yang cepat, sehingga berguna
pada pasien rawat jalan yang memerlukan prosedur cepat dan singkat. (7)
Sediaan :ampul atau vial 20 ml ( 200 mg ), tiap ml mengandung 10
mg Propofol.
Dosis : 1,5 – 2 mg/kgBB iv (anak)
2 – 2,5 mg/kgBB iv (dewasa)

4. Pemeliharaan
Maintenance atau pemeliharaan adalah pemberian obat untuk
mempertahankan atau memperdalam stadium anestesi setelah induksi.
Pada kasus ini menggunakan Sevofluran, N2O, dan O2.(5)
a. Sevofluran
Sevofluran (Ultane) merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih
dari anestesi lebih cepat dibanding dengan isofluran. Baunya tidak
menyengat dan tidak merangsang jalan napas, sehingga digemari untuk
induksi anestesi inhalasi disamping halotan.
Efek terhadap kardiovaskuler cukup stabil, jarang menyebabkan
aritmia. Efek terhadap sistem saraf pusat seperti isofluran dan belum ada
laporan toksik terhadap hepar. Setelah pemberian dihentikan, sevofluran
cepat dikeluarkan oleh badan.

9
Walaupun dirusak oleh sodalim namun belum ada laporan
membahayakan terhadap tubuh manusia.
b. Dinitrogen Oksida/Gas Gelak/N2O
Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau amis, dan tidak iritasi.
Mempunyai sifat anestesi yang kurang kuat, tetapi dapat melalui stadium
induksi dengan cepat, karena gas ini tidak larut dalam darah. Gas ini tidak
mempunyai relaksasi otot, oleh karena itu operasi abdomen dan ortopedi
perlu tambahan dengan zat relaksasi otot. Terhadap SSP menimbulkan
analgesi yang berarti. Depresi nafas terjadi pada masa pemulihan, hal ini
terjadi karena Dinitrogen Oksida mendesak oksigen dengan ruangan–
ruangan tubuh. Hipoksia difus dapat dicegah dengan pemberian oksigen
konsentrasi tinggi beberapa menit sebelum anestesi selesai. Penggunaan
biasanya dipakai perbandingan atau kombinasi dengan oksigen.
Perbandingan N2O : O2 adalah sebagai berikut 60% : 40 % ; 70% :
30% atau 50% : 50%. (4)

5. Obat Pelumpuh Otot (Muscle Relaxant)


Obat golongan ini menghambat transmisi neuromuscular sehingga
menimbulkan kelumpuhan pada otot rangka. Menurut mekanisme kerjanya,
obat ini dibagi menjadi 2 golongan yaitu obat penghambat secara depolarisasi
resisten, misalnya suksinil kolin, dan obat penghambat kompetitif atau non
depolarisasi , misal kurarin. Dalam anestesi umum , obat ini memudahkan
dan mengurangi cedera tindakan laringoskopi dan intubasi trakea, serta
memberi relaksasi otot yang dibutuhkan dalam pembedahan dan ventilasi
kendali. (4)
Dua golongan obat pelumpuh otot
1. Depolarisasi.
- Ada fasikulasi otot
- Berpotensiasi dengan antikolinesterase
- Tidak menunjukkan kelumpuhan bertahap pada perangsangan tunggal
atau tetanik
- Belum dapat diatasi dengan obat spesifik

10
- Kelumpuhan berkurang dengan penambahan obat pelumpuh otot non
depolarisasi dan asidosis
- Contoh: suksametonium (suksinil kolin)
2. Non depolarisasi
- Tidak ada fasikulasi otot
- Berpotensiasi dengan hipokalemia, hipotermia, obat anestetik inhalasi,
eter, halothane, enfluran, isoflurane
- Menunjukkan kelumpuhan yang bertahap pada perangsangan tunggal
atau tetanik
- Dapat diantagonis oleh antikolinesterase
- Contoh: tracrium (atrakurium besilat), pavulon (pankuronium bromida),
norkuron (pankuronium bromida), esmeron (rokuronium bromida).
1. Succynil Choline
Merupakan pelumpuh otot depolarisasi dengan mula kerja cepat,
sekitar 1 – 2 menit dan lama kerja singkat sekitar 3 – 5 menit sehingga
obat ini sering digunakan dalam tindakan intubasi trakea. Lama kerja
dapat memanjang jika kadar enzim kolinesterase berkurang, misalnya
pada penyakit hati parenkimal, kakeksia, anemia, dan hipoproteinemia.
(4)

Komplikasi dan efek samping dari obat ini adalah bradikardi,


bradiaritma dan asistole, takikardi dan takiaritmia, peningkatan tekanan
intra okuler, hiperkalemi dan nyeri otot fasikulasi. (3)
Obat ini tersedia dalam flacon berisi bubuk 100 mg dan 50 mg.
Pengenceran dengan garam fisiologis / aquabidest steril 5 atau 25 ml
sehingga membentuk larutan 2% sebagai pelumpuh otot jangka pendek.
Dosis untuk inhalasi 1 – 2 mg / kgBB. (7)
2. Atrakurium besilat (Tracrium)
Merupakan obat pelumpuh otot non depolarisasi yang relative
baru dengan struktur benzilisoquinolin yang berasal dari tanaman
Leontice Leontopeltatum.
Keunggulan atracurium adalah :

11
- metabolisme terjadi di dalam darah
- tidak mempunyai efek kumulasi pada pemberian berulang
- tidak menyebabkan perubahan fungsi kardiovaskular yang
bermakna
Kemasan dibuat dalam ampul berisi 5 ml yang mengandung 50
mg atrakurium besilat. Stabilitas larutan sangat bergantung penyimpanan
pada suhu dingin dan perlindungan terhadap penyinaran. (4)
Dosis intubasi : 0,5 - 0,6 mg / Kg BB / IV
Dosis relaksasi otot : 0,5 – 0,6 mg / Kg BB / IV
Dosis pemeliharaan : 0,1 – 0,2 mg / Kg BB / IV

6. Analgetik
Ketorolac
Ketorolac dapat diberikan secara oral, intramuskuler, atau intravena.
Setelah suntikan intramuscular atau intravena efek analgesinya dicapai dalam
30 menit, maksimal setelah 1-2 jam dengan lama kerja sekitar 4-6 jam dan
penggunaannya dibatasi untuk 5 hari.
Cara kerja ketorolac ialah menghambat sintesis prostaglandin di
perifer tanpa mengganggu reseptor opioid di system saraf pusar. Seperti
NSAID lain tidak dianjurkan digunakan untuk wanita hamil, menghilangkan
nyeri persalinan, wanita sedang menyusui, usia lanjut, anak usia < 4 tahun,
gangguan perdarahan dan bedah tonsilektomi.
Sifat analgetik ketorolac setara dengan opioid, yaitu 30 mg ketorolac
= 12 mg morfin = 100 mg pethidin, sedangkan sifat antipiretik dan
antiinflamasinya rendah. Ketorolac dapat digunakan secara bersamaan
dengan opioid.
Dosis awal 10-30 mg dan dapat diulang setiap 4-6 jam sesuai
kebutuhan. Untuk pasien normal dosis sehari dibatasi maksimal 90 mg dan
untuk berat < 50 kg, manula atau gangguan faal ginjal dibatasi maksimal 60
mg.
Sediaan : dalam ampul 5mg / 5ml

12
Pemberian : IM atau IV (2)

7. Intubasi Trakea
Merupakan suatu tindakan memasukkan pipa khusus ke dalam
trakea, sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah di monitor
dan dikendalikan.
Tindakan intubasi trakea ini bertujuan untuk :
1. Mempermudah pemberian anestesi.
2. Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas dan demi kelancaran
pernafasan.
3. Mencegah kemungkinan aspirasi lambung.
4. Mempermudah penghisapan sekret trakheobronkial.
5. Untuk pemakaian ventilasi yang lama.
6. Mengatasi obstruksi laring akut. (4)

8. Terapi Cairan
Dalam suatu tindakan operasi terapi cairan harus diperhatikan
dengan serius, terapi cairan perioperatif bertujuan untuk :
1. Mencukupi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama
operasi.
2. Replacement dan dapat untuk tindakan emergency pemberian obat. (6)

Pemberian cairan operasi dibagi : (7)


1. Pra operasi
Pada pasien pra operasi dapat terjadi defisit cairan yang
diakibatkan karena kurang makan, puasa, muntah, penghisapan isi
lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga seperti pada ileus
obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain – lain. Kebutuhan cairan
untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kgBB / jam. Bila terjadi
dehidrasi ringan maka diperlukan cairan sebanyak 2% BB, dehidrasi

13
sedang perlu cairan sebanyak 5% BB, dan dehidrasi berat sebesar 7%
BB. Setiap kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan bertambah 10 –
15 %.
2. Selama operasi
Selama tindakan operasi ini dapat terjadi kehilangan cairan
karena proses operasi. Kebutuhan cairan pada dewasa untuk operasi
ringan 4ml/kgBB/jam, sedang 6ml/kgBB/ jam, berat 8 ml/kgBB/jam.
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari
10% EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid sebanyak 3
kali volume darah yang hilang. Apabila perdarahan lebih dari 10 %
maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma / koloid / dekstran
dengan dosis 1 – 2 kali darah yang hilang. Sedangkan apabila terjadi
perdarahan lebih dari 20% akan dipertimbangkan untuk dilakukannya
transfusi.
3. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit
cairan selama operasi ditambah kebutuhan sehari – hari pasien.

9. Pemulihan
Pasca anetesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan
anestesi yang biasanya dilakukan diruang pulih sadar atau recovery room yaitu
ruangan untuk observasi pasien pasa operasi atau anestesi. Ruang pulih sadar
adalah batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih
memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi
atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena operasi
atau pengaruh anestesinya.1
Di ruang pulih sadar dimonitor jalan nafasnya apakah bebas atau tidak,
ventilasinya cukup atau tidak, dan sirkulasinya sudah baik ataukah tidak. Selain
obstruksi jalan nafas karena lidah yang jatuh ke belakang atau karena spasme
laring, pasca bedah dini juga dapat terjadi muntah yang dapat menyebabkan
aspirasi.1

14
Monitor kesadaran merupakan hal yang penting karena selama pasien
belum sadar dapat terjadi gangguan jalan nafas. Tidak sadar yang
berkepanjangan adalah akibat dari pengaruh sisa obat anestesi, hipotermi, atau
hipoksia, dan hiperkarbi. Hipoksia dan hiperkarbi terjadi pada pasien dengan
gangguan jalan nafas dan ventilasi. Menggigil yang terjadi pasca bedah adalah
akibat efek vasodilatasi obat anestesi. Menggigil akan menambah beban
jantung dan sangat berbahaya pada pasien dangan penyakit jantung.4

Tabel 1. Steward Scoring System


Kriteria Skor
Kesadaran Bangun 2
Respon terhadap stimuli 1
Tak ada respon 0
Jalan nafas Batuk atas perintah 2
Mempertahankan jalan nafas dengan baik 1
Perlu bantuan untuk mempertahankan 0
Gerakan Menggerakkan anggota badan dengan tujuan 2
Gerakan tanpa maksud 1
Tidak bergerak 0

Tabel 2. Robertson Scoring System


Kriteria Skor
Kesadaran Sadar penuh, mata terbuka, berbicara 4
Tertidur ringan, sekali-kali mata terbuka 3
Mata terbuka atas perintah atau respons bila 2
dipanggil namanya
Respon terhadap cubitan telinga 1
Tak ada respon 0
Jalan nafas Membuka mulut dan atau batuk atas perintah 3
Tak ada batuk volunter, jalan nafas bebas 2
tanpa bantuan
Obtruksi jalan nafas bila leher fleksi tetapi 1

15
tanpa bantuan ekstensi
Tanpa bantuan terjadi obstruksi 0
Aktivitas Mengangkat tangan dengan perintah 2
Gerakan tak berarti 1
Tak bergerak 0
Tabel 3. Aldrette Scoring System
Kriteria Recovery score
in 15 30 45 60 out
Aktivitas Dapat 4 anggota 2 2 2 2 2 2
bergerak gerak
volunter 2 anggota 1 1 1 1 1 1

atau atas gerak


0 anggota 0 0 0 0 0 0
perintah
gerak
Respirasi Mampu benafas dan batuk 2 2 2 2 2 2
secara bebas
Dyspnea, nafas dangkal 1 1 1 1 1 1
atau terbatas
Apnea 0 0 0 0 0 0
Tensi Pre Tensi ± 20 2 2 2 2 2 2
op…mmHg mmHg preop
Sirkulasi Tensi ± 20-50 1 1 1 1 1 1
mmHg preop
Tensi ± 50 0 0 0 0 0 0
mmHg preop
Kesadaran Sadar Penuh 2 2 2 2 2 2
Bangun waktu dipanggil 1 1 1 1 1 1
Tidak ada respon 0 0 0 0 0 0
Warna Normal 2 2 2 2 2 2
Pucat kelabu 1 1 1 1 1 1
kulit
Sianotik 0 0 0 0 0 0

Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari
komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya.

16
LAPORAN ANESTESI

A. Pre Operatif
 Informed Consent (+)
 Puasa (+) selama 10 jam
 Tidak ada gigi goyang atau pemakaian gigi palsu
 IV line terpasang dengan infus RL 500 cc
 Keadaan Umum : Tampak Sakit Ringan
 Kesadaran : Compos Mentis
 Tanda vital
Tekanan darah : 150/80 mmHg
Nadi : 112 x/menit
RR : 22 x/menit
Suhu : 36,8 0C
B. Premedikasi anestesi
Tidak dilakukan
C. Pemantauan Selama Anestesi
Melakukan monitoring terus menerus tentang keadaan pasien yaitu reaksi
pasien terhadap pemberian obat anestesi khususnya terhadap fungsi
pernapasan dan jantung.
Kardiovaskular : Nadi setiap 5 menit
Tekanan darah setiap 5 menit
Respirasi : Inspeksi pernapasan spontan pada pasien
Saturasi oksigen
Cairan : Monitoring input cairan

D. Monitoring Tindakan Operasi :


Jam Tindakan Tekanan Nadi Saturasi
Darah (x/menit) O2 (%)
(mmHg)
10.00  Pasien masuk ke kamar operasi, 120/90 91 100
dan dipindahkan ke meja
operasi
 Pemasangan monitoring
tekanan darah, nadi, saturasi

17
O2
 Infus RL terpasang pada
tangan kanan
 Premedikasi : tidak di lakukan
10.05  Obat induksi dimasukkan 120/90 90 100
secara iv:
o Propofol 100 mg
o Atracurium 2,5 mg
o Petidin 50 mg
Kemudian mengecek apakah
refleks bulu mata masih ada
atau sudah hilang.
 Jika tidak ada, lalu dilakukan
tindakan face mask dengan
sungkup No.3, dan diberikan:
o O2 : 3 L
o N2O : 2 L
o Sevoflurane : 1 vol %
10.10  Dilakukan tindakan 130/80 80 100
pemasangan endotracheal tube
No. 7,0 dengan bantuan
laringoskop kemudian fiksasi.
 Kedua mata pasien ditutup
dengan kassa
 Pernafasan spontan
10.15  Operasi dimulai 110/80 80 100
 Melakukan tindakan CWL
pada maxilla kiri
10.20  Kondisi terkontrol 120/80 82 100
10.25  Kondisi terkontrol 120/80 81 100
10.40  Kondisi terkontrol 135/90 98 100
 Tekanan darah dan Nadi
mengalami kenaikan
 Diberikan Atracurium
10.45  Kondisi terkontrol 120/80 81 100
 Diberikan Asam Tranexamat
1000mg/1 ml iv
 Ondancentron 4mg i.v

18
10.50  Kondisi terkontrol 110/80 80 99
11.15  Kondisi terkontrol 120/80 86 100
 Dilakukan penggantian infus
RL 500 cc
11.20  Operasi selesai 120/80 80 99
 Melakukan ekstubasi
 Memasang goedel (oral
airway) , dilakukan suction ,
dan pelepasan endotracheal
tube
 Gas N2O dan isoflurane
dimatikan, dan gas O2
dinaikkan menjadi 5 vol %
(Oksigenisasi) dengan
menggunakan face mask.
 Gas 02 dihentikan
 Pelepasan alat monitoring
(saturasi dan tensimeter).
 Pasien dipindahkan ke ruang
recovery room. Selanjutnya
dilakukan pemasangan alat
monitoring di recovery room
 Pasien dapat dibangunkan dan
memonitoring keadaan pasien.

19
PEMANTAUAN STATUS FISIOLOGIS

10.00 10.30 11.00 11.20


Jam 1 2 3
180

160

140 atracurium

120

100

80

60

40

20
RL
(Ringer laktat)

Keterangan :
: Tekanan darah
: Nadi
: Saturasi Oksigen

E. POST OPERATIF

20
- Pasien masuk ruang pemulihan dan setelah itu dibawa ke Bangsal
Kenanga
- Observasi tanda- tanda vital dalam batas normal
Kesadaran : Compos Mentis
TD : 110/80 mmHg
Nadi : 80x/min
Saturasi : 99%
- Penilaian pemulihan kesadaran (Aldrete Score)

Skor
Variabel Item Skor
Pasien
Gerak ke-4 anggota gerak atas perintah 2
Aktivitas Gerak ke-2 anggota gerak atas perintah 1 2
Tidak respon 0
Dapat bernapas dalam dan batuk 2
Respirasi Dispnea, hipoventilasi 1 2
Apnea 0
Perubahan < 20 % TD sistol preoperasi 2
Sirkulasi Perubahan 20-50 % TD sistol preoperasi 1 2
Perubahan .> 50 % TD sistol preoperasi 0
Sadar penuh 2
Kesadaran Dapat dibangunkan 1 1
Tidak respon 0
Merah 2
Warna kulit Pucat 1 2
Sianotik 0
Skor Total 9
≥ 9 : Pindah dari unit perawatan pasca anestesi
≥ 8 : Dipindahkan ke ruang perawatan bangsal
≥ 5 : dipindahkan ke ruang perawatan intensif (ICU)
Pada pasien ini didapatkan nilai aldrete skor 9, pasien dipindahkan ke
ruang perawatan bangsal untuk dilakukan observasi lebih lanjut.

Pasca Bedah di Recovery Room (RR)


Recovery Room

21
 Masuk jam : 11.25
 Pulang jam : 11.55
Keadaan Umum : Baik
Respon Kesadaran : Terjaga
Status mental : Sadar Penuh
Jalan nafas : Nasal
Pernafasan : Teratur
Terapi Oksigen : Nasal Canul
Sirkulasi anggota badan : Merah muda
Kulit : Hangat
Posisi Pasien : Supinasi
Nadi : Teratur
Infus : RL
Tanda Vital
 TD : 120/70 mmHg
 Nadi : 80 x/menit
 RR : 20 x/menit
 SaO2 : 99 %
 TB : 160 cm
 BB : 59 kg
Instruksi Post Operasi Dengan General Anestesi
 Sadar penuh, mual muntah (-), boleh makan dan minum.
 Awasi tanda-tanda vital sampai stabil, O2 2 L/menit, infuse
RL 20 tpm.
 24 jam pertama post operasi pasien tidur supinasi.
 Terapi lain sesuai dokter operator.
 Terapi analgesic :
Inj.Ketorolac 3 x 30 mg iv bila nyeri.

22
BAB III
PEMBAHASAN

1. Pre Operasi
Sebelum dilakukan tindakan operasi sangat penting untuk dilakukan
persiapan pre operasi terlebih dahulu untuk mengurangi terjadinya
kecelakaan anastesi. Kunjungan terhadap pasien sebelum pasien dibedah
harus dilakukan sehingga dapat mengetahui adanya kelainan diluar kelainan
yang akan di operasi, menentukan jenis operasi yang akan di gunakan,
melihat kelainan yang berhubungan dengan anestesi seperti adanya riwayat
hipertensi, asma, alergi, atau decompensasi cordis. Selain itu, dengan
menggetahui keadaan pasien secara keseluruhan, dokter anastesi bisa
menentukan cara anastesi dan pilihan obat yang tepat untuk pasien.
Kunjungan pre operasi pada pasien juga bisa menghindari kejadian salah
identitas atau salah operasi. pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
laboratorium Yang berhubungan. Evaluasi tersebut juga harus dilengkapi
klasifikasi status fisik pasien berdasarkan skala ASA. Operasi yang efektif
dan anastesi lebih bauk tidak dilanjutkan sampai pasien mencapai kondisi
medis optimal. Selanjutnya dokter anastesi harus menjelaskan dan
mendiskusikan kepada pasien tentang manajemen anestesi yang akan
dilakukan, hal ini tercermin dalam inform consent. Dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik maupun penunjang pada pasien ini tidak memiliki
kelainan organic, psikiatri amupun sistemik selain penyakit yang akan
dioperasi, maka status anestesi pasien adalah ASA 1.
History taking bisa dimulai dengan menanyakan adanya riwayat
alergi pada makanan, obat, dan aglergi (maninfestasi dispneu atau skin rash).
Riwayat penyakit sekang dan dahulu harus lebih digali lagi. Riwayat operasi
dan anastesi sebelumnya bisa menunjukkan komplikasi anestesi bila ada.
Pemeriksaan fisik dan history taking melengkapi satu sama lain.
Pemeriksaan fisik dapat membantu mendeteksi abnormalitas yang meuncul

23
pada history taking, sedangkan history taking membantu memfoskuskan
pemeriksaan pada sistem organ tertentu yang harus diperiksa dengan teliti.
Pentingnya pemeriksaan airway tidak boleh diremehkan.
Pemeriksaan gigi geligi, tindakan buka mulut, lidaht relative besar, leher
pendek dan kuku sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan
dalam melakukan intubasi. Kesesuaian masker untuk anastesi yang jelek
harus sudah diperkirakan pada pasien dengan abnormalitas wajah yang
signifikan.
Pemeriksaan laboratorium rutin tidak direkomendasikan pada
pasien yang sehat dan asimtomatik bila history taking dan pemerikssan fisik
gagal mendeteksi adanya abnormalitas. Namun, karena legitimasi hukum
banyak dokter yang tetap memeriksa kadar hematokrit atau hemoglobin,
urinalisis, serum elektrolit, tes koagulasi, elektrokardiogram, dan foto polos
toraks pada semua pasien. Klasifikasi status fisik ASA diklasifikasikan
menjadi 5 kategori, kalsifikasi status fisik ASA tetap berguna dalam
perencanaan manajemen anastesi, terutama teknik monitoring.
Klasifikasi status fisik ASA
Kelas I : Pasien sehat tanpa kelainan organic, biokimia, atau
psikiatri.
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang,
tanpa limitasi aktivitas sehari-hari.
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, yang membatasi
aktivitas normal.
Kelas IV : Pasien dengan penyakit berat yang mengancam nyawa dan
memerlukan terapi intensif, dengan limitasi serius pada
aktivitas sehari-hari.
Kelas V : Pasien sekarat yang akan meninggal dalam 24 jam,
dengan atau tanpa pembedahan.

24
Masukan Oral

Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi


lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama
pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua
pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi harus dipantangkan
dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesi.
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-
4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi anestesi.
Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum
obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anesthesia.

Terapi Cairan

Terapi cairan perioperatif termasuk penggantian defisit cairan sebelumnya,


kebutuhan maintenance dan luka operasi seperti pendarahan. Dengan tidak adanya
intake oral, defisit cairan dan elektrolit bisa terjadi cepat karena terjadinya
pembentukan urin, sekresi gastrointestinal, keringat dan insensible losses yang
terus menerus dari kulit dan paru. Kebutuhan maintenance normal dapat
diperkirakan. Kebutuhan maintenance normal dapat diperkirakan dari tabel
dibawah :

Kebutuhan Cairan Selama Operasi


Jenis Operasi Kebutuhan Cairan Selama Operasi
Ringan 4 cc/kgBB/jam
Sedang 6 cc/kgBB/jam
Berat 8 cc/kgBB/jam
Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan mengalami
deficit cairan karena durasi puasa. Defisit bisa dihitung dengan mengalikan
kebutuhan cairan maintenance dengan waktu puasa.

Penggantian Cairan Selama Puasa

25
 50 % selama jam I operasi
 25 % selama jam II operasi
 25 % selama jam III operasi

Premedikasi

Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi


dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anesthesia
diantaranya:
• Meredakan kecemasan dan ketakutan
• Memperlancar induksi anesthesia
• Mengurangi sekresi kelenjar ludan dan bronkus
• Meminimalkan jumlah obat anestetik
• Mengurangi mual muntah pasca bedah
• Menciptakan amnesia
• Mengurangi isi cairan lambung
• Mengurangi reflek yang membahayakan

NB: Pada Pasien ini tidak di berikan diberikan obat premedikasi

2. Durante Operasi

Pemakaian Obat Anestesi

Pada kasus ini induksi anestesi menggunakan propofol ( 2,6 –


diisopropylphenol ) merupakan derivat fenol yang banyak digunakan sebagai
anastesia intravena. Propofol digunakan untuk induksi dan pemeliharaan dalam
anastesia umum, pada pasien dewasa dan pasien anak – anak usia lebih dari 3
tahun. Dengan dosis 200mg (20ml). Mekanisme kerjanya berlangsung di reseptor
GABA – A (Gamma Amino Butired Acid) pada sistem saraf pusat. Dosis induksi
menyebabkan pasien tidak sadar, dimana dalam dosis yang kecil dapat
menimbulkan efek sedasi, tanpa disetai efek analgetik, pada pemberian dosis

26
induksi (2mg /kgBB) pemulihan kesadaran berlangsung cepat. Propofol bisa
mempotensiasi Nondepolarizing neuromuscular blocking agents (NMBA) yang
juga digunakan pada kasus ini. Penggunaan propofol bersamaan dengan fentany
dapat meningkatkan konsentrasi fentanyl. Namun pada kasus ini analgetik yang
digunakan adalah petidin. Beberapa klinisi memberikan midazolam dengan
jumlah kecil (misal 30µg/kg) sebelum induksi dengan propofol, karena mereka
percaya bahwa kombinasi tersebut mempunyai efek sinergis (onset lebih cepat
dan kebutuhan dosis total menjadi turun).

Pada general anestesi dibutuhkan kadar obat anestesi yang adekuat yang
bisa dicapai dengan cepat di otak dan perlu di pertahankan kadarnya selama waktu
yang dibutuhkan untuk operasi. Hal ini merupakan konsep yang sama baik pada
anestesi yang dicapai dengan anestesi inhalasi, obat intravena, atau keduanya.
Pada kasus ini maintenance anestesi diberikan dengan anestesi inhalasi. Obat
anestesi inhalasi yang dipakai adalah Sevoflurane. Sevoflurane tidak memiliki
kontraindikasi khusus. Sevofluran juga dapat mempotensiasi NMBA

Pada kasus ini jenis anestesi yang digunakan adalah general anestesi
dengan intubasi. Sebelum dilakukan intubasi diperlukan muscle relaxant sehingga
proses intubasi lebih mudah dilakukan. Untuk itu digunakan Atracurium sebagai
pelumpuh otot, atracurium merupakan neuromuscular blocking agent yang sangat
selektif dan kompetitif (non-depolarising) dengan lama kerja sedang. Non-
depolarising agent bekerja antagonis terhadap neurotransmitter asetilkolin melalui
ikatan reseptor site pada motor-end-plate. Atracurium dapat digunakan pada
berbagai tindakan bedah dan untuk memfasilitasi ventilasi terkendali. Atracurium
tidak mempunyai efek langsung terhadap tekanan intraocular, dan karena itu dapat
digunakan pada bedah opthalmik. Atracurium berfungsi sebagai adjuvant terhadap
anestesi umum agar intubasi trakea dapat dilakukan dan untuk relaksasi otot
rangka selama proses pembedahan atau ventilasi terkendali, serta untuk

27
memfasilitasi ventilasi mekanik pada pasien Intensive Care Unit (ICU). Dosis
yang dianjurkan : 0,3-0,6 mg/kg (tergantung durasi blokade penuh yang
dibutuhkan) dan akan memberikan relaksasi yang memadai selama 15-35 menit.
Intubasi endotrakea biasanya sudah dapat dilakukan dalam 90 detik setelah injeksi
intravena 0,5-0,6 mg/kg. Blokade penuh dapat diperpanjang dengan dosis
tambahan sebesar 0,1-0,2 mg/kg sesuai kebutuhan

Secara teoritis, pemberian 10–15% dosis intubasi muscle relaksan 5 menit


sebelum induksi akan menempati cukup reseptor sehingga paralisis akan cepat
mengikuti ketika keseimbangan relaxant sudah diberikan.

Setelah intubasi, paralisis otot mungkin perlu diteruskan untuk


memfasilitasi operasi misal operasi abdominal atau untuk manajemen anestesi
atau untuk kebutuhan mengontrol ventilasi. Dosis maintenance bisa dicapai
dengan intermittent bolus atau continuous infusion, diberikan dengan monitor
menggunakn nerve stimulator atau tanda klinis (usaha atau gerakan nafas
spontan). Pada kasus ini atracurium diulang setelah ± 45 menit pemberian
atracurium yang pertama karena operasi masih dalam proses, sehigga intubasi
masih tetap dipertahankan (supaya ventilasi terkontrol).

Untuk mengurangi perdarahan maka pasien diberikan asam traneksamat,


atau vit K.
 Asam tranexamat 50 mg/ml adalah obat golongan antifibrinolitik yang
bekerja mengurangi perdarahan dengan cara menghambat aktivasi
plasminogen menjadi plasmin pada cascade pembekuan darah. Karena
plasmin berfungsi mendegradasi fibrin, maka asam tranexamat bekerja
menghambat degradasi fibrin, yang berujung pada meingkatnya aktivitas
pembekuan darah.
 Vitamin K 10 mg/ml (1 ml) merupakan ko-faktor pembekuan darah.
Faktor pembeku darah yang dipengaruhi oleh vitamin K adalah faktor II,

28
VII, IX dan X. Vitamin K diperlukan oleh pasien dengan gangguan fungsi
hati.
3. Maintenance Anestesi
Pada pasien ini digunakan rumatan inhalasi menggunakan campuran N20
2L/menit dan O2 3L/menit ditambah dengan Sevofluran 1%.
Nitrogen Monoksida merupakan gas yang tidak berwarna, tidak berbau, tidak
berasa dan lebih berat daripada udara. Gas ini tidak mudah terbakar. Tetapi bila
dikombinasi dengan zat anestetik yang mudah terbakar akan memudahkan
terjadinya ledakan, misalnya campuran eter dan N20.
Nitrogen monoksida sukar larut dalam darah dan merupakan anestetik yang
kurang kuat sehingga lebih sering digunakan dalam rumatan. Gas ini memeiliki
efek analgesik yang baik. Dengan inhalasi 20% N20 dalam oksigen efeknya
seperti 15 mg morfin. N20 diekskresikan dalam bentuk utuh melalui paru-paru
dan sebagian kecil melalui kulit.
Sevofluran adalah suatu obat anestesi umum inhalasi derivat eter dengan
kelarutan adlam darah yang lebih rendah dari halotan, enfluran dan isofluran.
Rendahnya kelarutan serta tidak adanya bau yang menyengat menyebabkan
induksi inhalasi berjalan dengan cepat dan mulus, juga kelarutan dalam darah
yang rendah menyebabkan pemulihan berjalan dengan cepat. Dibandingkan
dengan desfluran, Sevofluran mempunyai MAC yang lebih rendah (2,05). Tidak
ada iritasi saluran nafas, sehingga induksi berjalan lancar. Kejadian iritasi saluran
nafas serta kelarutan lebih rendah daripada halotan, sehingga induksi inhalasi baik
untuk dewasa akan lebih cepat dengan sevofluran daripada dengan halotan.
Bangun dari anestesi, pemulihan fungsi psikomotor, kognitif, orientasi lebih cepat
dengan sevofluran daripada dengan halotan. Sevofluran didegradasi oleh soda
lime membentuk suatu haloalken yang bersifat toksik pada ginjal tikus, tetapi efek
tersebut tidak dapat terlihat pada manusia. Aman digunakan untuk operasi bedah
saraf, pasien dengan kelainan serebral, bedah sesar, psien dengan risiko
miokardial iskhemia, penyakit hepar dan penyakit ginjal.
Terapi Cairan

29
Terapi cairan intravena dapat terdiri dari infus kristaloid, koloid, atau
kombinasi keduanya. Cairan kristaloid adalah cairan dengan ion low
molecular weight (garam) dengan atau tanpa glukosa, sedangkan cairan
koloid juga mengandung zat-zat high molecular weight seperti protein atau
glukosa polimer besar. Cairan koloid menjaga tekanan onkotik koloid plasma
dan untuk sebagian besar intravaskular, sedangkan cairan kristaloid cepat
menyeimbangkan dengan dan mendistribusikan seluruh ruang cairan
ekstraseluler.
Karena kebanyakan kehilangan cairan intraoperatif adalah isotonik,
cairan jenis replacement yang umumnya digunakan. Cairan yang paling umum
digunakan adalah larutan Ringer laktat. Meskipun sedikit hipotonik,
menyediakan sekitar 100 mL free water per liter dan cenderung untuk
menurunkan natrium serum 130 mEq/L, Ringer laktat umumnya memiliki
efek yang paling sedikit pada komposisi cairan ekstraseluler danmerupakan
menjadi cairan yang paling fisiologis ketika volume besar diperlukan.
Kehilangan darah durante operasi biasanya digantikan dengan cairan kristaloid
sebanyak 3 hingga empat kali jumlah volume darah yang hilang.

BAB IV

30
KESIMPULAN

Tindakan anestesia yang dilakukan pada operasi Caldwel-Luc (CWL)


dilakukan dengan tehnik General Anestesi. Masalah anestesi yang perlu
diperhatikan terhadap pasien adalah perdarahan intra dan post operatif, nyeri post
operatif yang hebat. Maka dari itu perlu standar pemantauan dasar operatif yang
bertujuan untuk meningkatkan kualitas penatalaksanaan pasien selama operasi
berangsung dengan teratur dan kontinyu selama pemberian anestesia-anelgesia,
jalan nafas, oksigenasi, ventilasi, dan sirkulasi dan suhu tubuh selalu dievaluasi,
serta di berikan pengelolaan pasca operatif yang dikelola dikamar pulih atau unit
perawatan pasca anestesi (Recovery Room, atau Post Anestesia Care Unit).

DAFTAR PUSTAKA

31
1. Barash, P. G., Cullen, B. F., Stoelting, R. K., Cahalan, M. K., Stock, M. C.
2009. Handbook of Clinical Anesthesia. 6th edition. USA: Lippincott
Williams & Wilkins.

2. Hines, R. L., Marschall, K. E. 2008. Stoelting’s Anethesia and Co-existing


Disease. 5th edition. New York: Elsevier.

3. Latief, S. A., Suryadi, K. A., Dachlan M. R. 2009. Petunjuk Praktis


Anestesiologi. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Bagian Anestesiologi dan
Terapi Intensif FKUI.

4. Miller, R. D., Erikkson, L. I., Fleisher, L. A., Wiener, J. P., Young W. L.


2009. Miller’s Anesthesia. 7th Edition. New York: Elsevier.

5. Morgan, G. E., Mikhail, M. S., Murray, M. J. 2006. Clinical


Anesthesiology. 4th Edition. USA: McGraw-Hill Companies, Inc.

32

You might also like