You are on page 1of 31

BAB I

LAPORAN KASUS

REKAM MEDIK PASIEN NEUROLOGI


SMF ILMU PENYAKIT SARAF
FK UWKS/ RSUD Dr. R. SOSODORO DJATIKOESOEMO BOJONEGORO
Nama Dokter Muda : I Gusti Ngurah Putra Satria Aryawan
No. Mahasiswa : 10700217

DOKUMEN MEDIK
1.1 IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn Sukarji
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 31 tahun
Suku : Jawa
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Alamat : Sumber Agung RT20/RW05, Kecamatan Dander,
Kabupaten Bojonegoro
Tanggal pemeriksaan: 7 Juli 2014

1.2 AUTOANAMNESIS
A. KELUHAN UTAMA
Anggota gerak bawah tidak dapat digerakkan.
B. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Kedua anggota gerak bawah tidak dapat digerakkan sejak 2 hari
yang lalu. Awalnya sekitar pukul 02.00 WIB saat bangun tidur, kaki tidak
bisa digerakkan. Satu hari sebelumnya pasien merasa kakinya sedikit
lemah bahkan untuk berjalanpun pasien harus dituntun. Selain itu pasien
juga mengalami kelemahan pada tangan kanan. Sejak satu bulan
1
sebelumnya, pasien sudah tidak dapat menggenggam. Keluhan lain yang
dirasakan pasien yaitu perut sakit sejak 2 hari yang lalu. Perut terasa kaku
dan keras. Pasien tidak mual, muntah ataupun pusing. Pasien tidak bisa
buang air kecil sejak 2 hari yang lalu. Saat kencing urine hanya menetes.
Buang air besar dalam batas normal. Pasien panas sejak 2 hari yang lalu.
C. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Riwayat darah tinggi dan kencing manis disangkal
D. RIWAYAT PENGOBATAN
Pasien belum pernah berobat sebelumnya.
E. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
Keluarga tidak ada yang mengalami hal yanng serupa.

1.3 STATUS INTERNA SINGKAT


A. KEADAAN UMUM
Kesadaran : Composmentis
TD : 120/80 mmHg
Nadi : 104 X/menit
Suhu : 38,6oC
RR : 34 X/menit

B. KEPALA-LEHER
Bentuk Kepala: oval, simetris, tidak terdapat benjolan
Mata
Sclera : Icterus: -/-
Konjungtiva: Anemis: -/-
Telinga : normal
Hidung : tidak dilakukan
Mulut : tidak dilakukan
Struma : tidak ditemukan struma
JVP : normal

2
C. THORAX
Jantung
Inspeksi : normal, tidak ditemukan jejas
Palpasi : tidak ada heaves ataupun thrill
Perkusi : Ictus cordis di ICS V midclavicular line sinistra
Auskultasi : S1S2 tunggal reguler.
Paru
Inspeksi : bentuk dada normal simetris
Palpasi : pergerakan dada dan fremitus raba normal
Perkusi : sonor
Auskultasi : suara vesikuler, tanpa rhonki ataupun wheezing.

D. ABDOMEN
Hepar : SDE
Lien : SDE
Lain-lain : pasien mengalami nyeri tekan pada regio lumbal dekstra,
inguinal dekstra, dan suprapubic. BU +N, didapatkan
distensi abdomen

E. EKSTREMITAS
Superior : akral hangat +/+, edema -/-, CRT < 2 detik
Inferior : akral hangat +/+, edema -/-, CRT < 2 detik

1.4 STATUS NEUROLOGIS


A. KEADAAN UMUM
1. Kesadaran
Kualitatif : Composmentis
Kuantitatif : GCS 4-5-6
2. Pembicaraan
Disartria : tidak ditemukan
Monoton : tidak ditemukan
3
Scanning : tidak ditemukan
Afasia : tidak ditemukan
3. Kepala
Asimetri : tidak ditemukan
Sikap paksa : tidak ditemukan
Tortikolis : tidak ditemukan
Lain-lain : tidak ditemukan
4. Muka
Mask : tidak ditemukan
Myopatik : tidak ditemukan
Full moon : tidak ditemukan
Tic fascialis : tidak ditemukan
5. Gaya berjalan : spastik gait

B. PEMERIKSAAN KHUSUS NEUROLOGI


1. RANGSANGAN SELAPUT OTAK
 Kaku kuduk :+
 Brudzinski I :-
 Brudzinski II :-
 Brudzinski III :-
 Lasseque : -/-
 Kernig : -/-

2. SARAF OTAK (CRANIALIS)


 Nervus I : tidak dilakukan
 Nervus II Kanan Kiri
Visus : >3/60 >3/60
Lap. Pandang : normal normal
Refleks pupil :+ +
Melihat warna : normal normal
Funduskopi : tdl tdl
4
 Nervus III, IV, VI Kanan Kiri
Posisi bola mata : normal normal
Gerak bola mata
Nasal : normal normal
Temporal : normal normal
Atas : normal normal
Bawah : normal normal
Temporal atas : normal normal
Temporal bawah : normal normal
Eksophtalmus : tidak ditemukan
Ptosis : tidak ditemukan
Pupil Kanan Kiri
Bentuk : bulat bulat
Lebar : 3mm 3mm
Perbedaan lebar :- -
R. cahaya langsung:+ +
R. cahaya konsensual:+ +
 Nervus V Kanan Kiri
Motorik
Otot masseter : bergetar bergetar
Otot temporal : normal normal
Otot Pterygoideus : normal normal
Sensorik
I (Ophthalmic) : normal normal
II (Maxilla) : normal normal
III (mandibula) : normal normal
 Nervus VII Kanan Kiri
Waktu diam
Kerutan dahi : simetris simetris
Tinggi alis : simetris simetris
Sudut mata : simetris simetris
5
Lipatan nasolabial : simetris simetris
Waktu gerak
Mengerutkan dahi : simetris simetris
Mengangkat alis : simetris simetris
Menutup mata : simetris simetris
Mecucu/ bersiul : simetris simetris
Memperlihatkan gigi: simetris simetris
Sensorik
Pengecapan 2/3 anterior lidah: tidak dilakukan
 Nervus VIII : tidak dilakukan
 Nervus IX, X
Motorik
Suara : normal
Menelan : normal
Disartria :-
Sensorik
Pengecapan 1/3 posterior lidah: tidak dilakukan
Refleks muntah : tidak dilakukan
Ref. Pallatum mole: tidak dilakukan
 Nervus XI Kanan Kiri
Mengangkat bahu : normal normal
Memalingkan kepala:normal normal
 Nervus XII
Kedudukan lidah
Saat istirahat : ditengah-tengah (normal)
Saat dijulurkan : ditengah-tengah (normal)
Atrofi :-
Fasikulasi :-

6
3. PEMERIKSAAN SISTEM MOTORIK
Kekuatan otot Kanan Kiri
Superior :3 5
Inferior :2 2
Klonus
Angkle :+
Patella :+

4. PEMERIKSAAN SISTEM SENSORIK


Eksteroseptik Tangan Kaki
Nyeri superfiscial : ±/+ -/-
Suhu panas/ dingin : tidak dilakukan
Rabaan ringan : ±/+ -/-
Proprioseptik
Getar : tidak dilakukan
Nyeri tekan : ±/+ -/-
Gerak dan posisi : normal

5. REFLEKS FISIOLOGIS
Kanan Kiri
BPR (Biceps) : ++ ++
TPR (Triceps) : ++ ++
KPR (Patella) : ++ ++
APR (Achilles) : ++ ++
BHR :-

6. REFLEKS PATOLOGIS
Kanan Kiri
Hoffman Trommer :- -
Oppenheim :+ +

7
Gordon :+ +
Schaeffer :- -
Chadock :+ +
Babinski :+ +

7. SISTEM OTONOM
BAK : retensio urine
BAB : normal
Tes Keringat :tidak dilakukan

1.5 DIAGNOSIS
Klinis : Tetraparesis UMN
Topis : Medulla spinalis setinggi cervicalis
Etiologi : Spondylosis cervicalis, Radikulopati spondylosis cervicalis,
mielopati spondylosis cervicalis

1.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Pemeriksaan laboratorium (DL) normal
2. Foto cervical AP/Lateral

Gambar I.1 Foto cervical AP/Lateral

 Alignment baik
 Trabekulasi tulang normal. Tidak tampak garis fraktur
8
 Subchondral bone layer normal
 Lipping pada corpus VC6
 Pedicle normal
 End plate superior dan inferior normal
 Spatium intervertebralis normal
 Tidak tampak soft tissue swelling
Kesimpulan: Spondylosis Cervicalis
3. Foto Thorax PA

Gambar I.2. Foto Thorax Posteroanterior

Cor : Besar dan bentuk normal


Pulmo : Tak tampak infiltrat, vascularisasi kedua paru normal.
Sinus costophrenicus kanan-kiri tajam
Kesimpulan: Jantung dan Paru-paru normal
4. Foto Thorax AP/Lateral

Gambar I.3. Foto Thorax Anteroposterior/Lateral


9
 Alignment baik
 Trabekulasi tulang normal
 Tak tampak garis fraktur pada tulang
 Corpus dan pedicle normal
 Subchondral bone layer normal
 End plate superior dan inferior normal
 Spatium intervertebralis normal
Kesimpulan: Foto thoracalis AP/Lateral tidak tampak kelainan
5. ECG
Tidak dilakukan
6. CT-Scan
Dalam proses
7. MRI
Tidak dilakukan

1.7 PENATALAKSANAAN
 Bed rest
 Inf. RL:PZ = 2:1
 Inj. Citicholin 2x1 ampul (i.v.)
 Inj. Antrain 3x1 (i.v.)
 Drip Vit. B12 1x1
 Planning jika diagnosis sudah ditegakkan adalah Konsul dr. Rehabilitasi
Medik

1.8 EDUKASI
Pasien diminta melakukan tirah baring, mengonsumsi makanan yang bergizi,
dan pasien diminta melatih gerakan sesuai dengan petunjuk yang
disampaikan oleh petugas rehabilitasi medik.

10
1.9 PROGNOSIS
Tergantung dari:
 Tingkat keparahan penyakit
 Ada tidaknya gangguan neurologi yang menyebabkan kecacatan
fisik
 Komplikasi penyakit
 Dukungan keluarga dan lingkungan

11
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 PENDAHULUAN
Cedera medulla spinalis merupakan salah satu penyebab utama
disabilitas neurologis akibat trauma. Insiden cedera medulla spinalis di
dunia diperkirakan 40 kasus per juta setiap tahunnya. Angka insiden di
Amerika Serikat kurang lebih 11.000 kasus baru setiap tahunnya dan 4000
kasus yang tidak dapat bertahan sewaktu mencapai rumah sakit (Mardjono,
1994)
Cedera columna vertebralis, dengan atau tanpa defisit neurologis,
harus selalu dicari dan disingkirkan pada penderita dengan cedera multipel.
Daerah cervicalis merupakan segmen vertebra yang sering terjadi cedera
akibat kecelakaan kendaraan, khususnya mereka yang tidak memakai alat
pengaman bahu dan sabuk pengaman (Greenberg, 1997). Level cedera yang
paling sering adalah C4, C5 (tersering), dan C6, sedangkan level untuk
paraplegi adalah thoracolumbar junction (T12) (Duus, 1996).
Trauma dapat mencederai segala bagian dari columna spinalis, namun
sehubungan dengan sifat anatomis-fisiologis masing-masing segmen
vertebra, maka ada bagian tertentu yang mempunyai risiko lebih tinggi
daripada yang lain terhadap salah satu tipe cedera spinal. Sebagai contoh
antara lain leher yang bersifat lebih mobil dan merupakan penggabung antar
dua bagian tubuh yang besar cenderung terlibat pada sebagian besar cedera
spinal tertutup.
Penyakit medulla spinalis dapat terjadi akibat berbagai macam proses
patologi termasuk trauma. Tanpa memandang patogenesisnya, yang dapat
menyebabkan kerusakan yang signifikan pada fungsi motorik, sensorik atau
otonom. Defisit neurologis pada cedera spinal dapat terjadi karena memar
(kontusio) atau kompresi (fraktur, dislokasi, luksasi, hematom) sehingga
menyebabkan gangguan yang permanen; atau dapat juga hanya karena
12
edema temporer (komosio) yang menimbulkan gangguan sementara dan
kemudian pulih (PERDOSSI, 2006)
Angka mortalitas trauma medulla spinalis diperkirakan 48% dalam 24
jam pertama, dan lebih kurang 80% meninggal ditempat kejadian, ini
disebabkan vertebra cervicalis yang memiliki resiko trauma yang paling
besar, dengan level tersering C5, diikuti C4, C6 , dan kemudian T12, L1 dan
T10 (PERDOSSI, 2006).
Cedera medulla spinalis akut tulang belakang merupakan penyebab
yang paling sering dari kecacatan dan kelemahan setelah trauma, karena
alasan ini, evaluasi dan pengobatan pada cedera tulang belakang, spinal cord
dan nerve roots memerlukan pendekatan yang terintegrasi. Diagnosa dini,
preservasi fungsi spinal cord dan pemeliharaan aligment dan stabilitas
merupakan kunci keberhasilan manajemen (Japardi, 2002).

2.2 ANATOMI
Columna Vertebralis
Columna vertebralis membentuk struktur dasar batang badan.
Columna vertebralis terdiri dari 33-34 vertebrae dan diskus intervertebralis.
Vertebrae dibagi atas 7 vertebrae cervicalis, 12 vertebrae thoracalis, 5
vertebrae lumbalis, 5 vertebrae sacralis dan 4-5 vertebrae coxygeae.
Vertebrae sacralis bergabung membentuk sacrum dan vertebrae coxygeus
bersatu membentuk coxygeus. Oleh karena itu vertebrae sacralis dan
coxygeae merupakan vertebrae palsu, sedangkan yang lain adalah vertebrae
sejati (Platzer, 1997).
Bila dilihat dari samping, columna vertebralis sedikit berbentuk S,
tulang belakang cervicalis konveks (cembung) ke ventral, tulang belakang
thoracalis konkaf (cekung) ke ventral, dan tulang belakang lumbalis
konveks (cembung) ke ventral dengan lengkung yang berakhir di sudut
lumbosakral. Konveksitas ventral kadang - kadang dianggap sebagai
lordosis normal dan konveksitas dorsal sebagai kifosis normal.

13
Gambar II.1. Columna vertebralis anterior, posterior, and lateral view

Lengkung pelvis (sacrum dan coxygeus) konkaf ke bawah dan ventral


dari sudut lumbosakral ke ujung coxygeae. Tulang belakang pada orang
dewasa sering sedikit terpilin menurut sumbu panjangnya, keadaan ini
dinamakan skoliosis normal (DeGroot, 1997).
Denis mengemukakan konsep kolum (Collum Concept) yang
digunakan untuk mengevaluasi stabilitas spinal yang terdiri dari tiga kolum
yaitu :
1. Kolum anterior, yaitu ligamentum longitudinal anterior dan 2/3 anterior
annulus dan korpus vertebra
2. Kolum Media, yaitu 1/3 anulus dan korpus vertebra serta lig.
longitudinal posterior.

14
3. Kolum posterior, yaitu arkus neuralis posterior, prosesus spinosus dan
prosesus artikularis yang secara keseluruhan disatukan oleh lig.
Kapsuler.
Jika 2 dari 3 kolum rusak, maka dikatakan tidak stabil.

Medulla Spinalis
Sumsum tulang belakang (medulla spinalis, atau mielon) merupakan
suatu massa jaringan saraf yang berbentuk silinder memanjang dan
menempati dua pertiga bagian atas kanal spinal orang dewasa di dalam
columna vertebralis. Panjang normal sumsum tulang belakang orang dewasa
42-45 cm dan bagian ujung atas dari sumsum tulang belakang ini
dilanjutkan dengan batang otak. Konus medullaris merupakan ujung distal
(inferior) dari sumsum tulang belakang yang berbentuk kerucut; filum
terminale membentang dari ujung konus dan melekat pada bagian distal
kantong dura. Filum terminale terdiri dari pia dan serabut-serabut glia dan
seringkali mengandung suatu vena.

Gambar II.2. Posisi medulla spinalis dalam canalis vertebralis

Sumsum tulang belakang dibagi menjadi kira-kira 30 segmen : 8


segmen cervicalis (C), 12 segmen torakal (T), 5 segmen lumbal (L), 5

15
segmen sacral (S), dan beberapa segmen coxygeal (Co) yang kecil, yang
sesuai dengan perlekatan dari kelompok-kelompok akar saraf. Masing-
masing segmen bervariasi dalam panjangnya; di bagian thorakal tengah,
panjang segmen kurang lebih dua kali panjang dari segmen cervicalis atau
bagian atas lumbal. Di dalam sumsum tulang belakang sendiri tidak
ditemukan adanya batas-batas yang tegas di antara segmen-segmen tersebut.
Medulla spinalis terletak di dalam canalis vertebralis columna
vertebralis dan dibungkus oleh tiga meninges : durameter, arachnoid, dan
piameter. Perlindungan lebih lanjut dilakukan oleh cairan serebrospinal
yang mengelilingi medulla spinalis di dalam ruang subarachnoid.

Gambar II.3. Struktur Medulla Spinalis

Medulla spinalis terdiri dari inti dalam yang berupa substansia grisea
yang dikelilingi oleh bagian luar berupa substansia alba. Medulla spinalis

16
berasal dari bagian caudal dari medulla oblongata pada foramen magnum.
Pada orang dewasa biasanya berakhir pada batas tulang L-1 sebagai konus
medullaris. Di bawah level ini terdapat cauda equina, yang lebih tahan
terhadap trauma. Dari banyak traktus medulla spinalis hanya 3 yang dapat
diperiksa secara klinis: (1) Traktus Kortikospinalis, (2) Traktus
Spinotalamikus, (3) Kolum posterior. Tiap traktus terdapat 1 pasang yang
dapat mengalami kerusakan pada satu sisi atau kedua sisi medulla spinalis.

Gambar II.4. Medulla Spinalis dengan nervus spinalis

Traktus kortikospinalis terdapat pada daerah segmen posterolateral


medulla spinalis dan fungsinya adalah mengontrol kekuatan motoris pada
sisi yang sama pada tubuh dan dapat diuji dengan kontraksi otot volunteer
atau respon involunter terhadap stimulus nyeri.
Traktus spinotalamikus pada daerah anterolateral dari medulla spinalis
mengtransmisikan rasa nyeri dan temperatur dari sisi yang
berlawanan dari tubuh. Secara umum dapat dilakukan test dengan pin
17
prick dan raba halus. Kolum posterior membawa propioseptif, vibrasi dan
sensasi raba halus dari sisi yang sama dari tubuh, dan kolum ini diuji dengan
rasa posisi pada jari atau vibrasi dengan menggunakan garpu tala.
Menurut Committee on Trauma of the American College of Surgeon
tahun 1997, bila tidak terdapat fungsi, baik motoris maupun sensoris
dibawah level, ini dikenal sebagai complete spinal cord injury (cedera
medulla spinalis komplit). Bila masih terdapat fungsi motoris atau sensoris,
ini disebut sebagai incomplete injury dan prognosis untuk penyembuhan
adalah lebih baik. Sparing dari sensasi di daerah perianal (sacral sparing)
mungkin hanya satu-satunya tanda fungsi yang tertinggal. Sacral sparing
disenstrasikan dengan masih adanya persepsi sensoris di daerah perianal dan
atau kontraksi volunter sfinkter rektal.

Tabel II.1. Kategori kelompok otot per regio anggota gerak


Region Muscle Groups Myotomes
Upper cervical region Shoulder abduction, elbow C5-C7
flexion, elbow extension
Lower cervical region Wrist flexion, wrist extension, C8-Th1
extension of fingers, flexion of
fingers, spreading of fingers,
abduction
of thumb, adduction of thumb,
and opposition of thumb
Upper lumbosacral region Hip flexion, hip adduction, knee L1-L3
extension, hip extension, hip
abduction
Lower lumbosacral region Knee flexion, plantar flexion of
foot, flexion of toes, L4-S1
dorsiflexion of foot, extension
of toes

2.3 DEFINISI
Tetraparesis merupakan kelemahan otot yang mengenai keempat
ekstremitas (dorland, 1998). Tetraparesis juga diistilahkan juga sebagai
quadriparese, yang keduanya merupakan parese dari keempat
ekstremitas.”Tetra” dari bahasa yunani sedangkan “quadra” dari bahasa

18
latin. Tetraparesis adalah kelumpuhan/kelemahan yang disebabkan oleh
penyakit atau trauma pada manusia yang menyebabkan hilangnya sebagian
fungsi motorik pada keempat anggota gerak, dengan kelumpuhan/
kelemahan lengan lebih atau sama hebatnya dibandingkan dengan tungkai.
Hal ini diakibatkan oleh adanya kerusakan otak, kerusakan tulang belakang
pada tingkat tertinggi (khususnya pada vertebra cervikalis), kerusakan
sistem saraf perifer, kerusakan neuromuscular atau penyakit otot.
Kerusakan diketahui karena adanya lesi yang menyebabkan hilangnya
fungsi motorik pada keempat anggota gerak, yaitu lengan dan tungkai.
Penyebab khas pada kerusakan ini adalah trauma (seperti tabrakan mobil,
jatuh atau sport injury) atau karena penyakit (seperti mielitis transversal,
polio, atau spina bifida).

2.4 ETIOLOGI
Tabel II.2. Penyebab umun dari tetraparesis
Myelopati nekrotikans
Prolapsed disc (HNP cervicalis)
Spondilitistuberkulosa
Spondylosis cervicalis(athritis degeneratif)
ALS
Cervical radiculopathy
Poliomyelitis

2.5 PATOFISIOLOGI
Pada columna vertebralis terdapat nervus spinalis, yaitu nervus
cervicalis, thoracal, lumbal, dan sacral. Kelumpuhan berpengaruh pada
nervus spinalis dari cervicalis dan lumbosakral dapat menyebabkan
kelemahan/kelumpuhan pada keempat anggota gerak. Wilayah ini penting,
jika terjadi kerusakan pada daerah ini maka akan berpengaruh pada otot,
organ, dan sensorik yang dipersarafinya.
Ada dua tipe lesi, yaitu lesi komplit dan inkomplit. Lesi komplit dapat
menyebabkan kehilangan kontrol otot dan sensorik secara total dari bagian
dibawah lesi, sedangkan lesi inkomplit mungkin hanya terjadi kelumpuhan
otot ringan (parese) dan atau mungkin kerusakan sensorik. Lesi pada UMN
19
dapat menyebabkan parese spastic sedangkan lesi pada LMN menyebabkan
parese flacsid.
Tiap lesi di medulla spinalis yang merusak daerah jaras kortikospinal
lateral menimbulkan kelumpuhan Upper Motor Neuron (UMN) pada otot-
otot bagian tubuh yang terletak di bawah tingkat lesi. Lesi transversal
medulla spinalis pada tingkat cervicalis, misalnya C5 mengakibatkan
kelumpuhan Upper Motor Neuron (UMN) pada otot-otot tubuh yang berada
dibawah C5, yaitu sebagian otot-otot kedua lengan yang berasal yang
berasal dari miotom C6 sampai miotom C8, lalu otot-otot thoraks dan
abdomen serta segenap otot kedua tungkai yang mengakibatkan
kelumpuhan parsial dan defisit neurologi yang tidak masif di seluruh tubuh.
Lesi yang terletak di medulla spinalis tersebut maka akan menyebabkan
kelemahan/kelumpuhan keempat anggota gerak yang disebut tetraparesis
spastik.
Lesi transversal yang merusak segmen C5 ke bawah itu tidak saja
memutuskan jaras kortikospinal lateral, melainkan ikut memotong segenap
lintasan asendens dan desendens lain. Disamping itu kelompok motoneuron
yang berada didalam segmen C5 kebawah ikut rusak. Ini berarti bahwa pada
tingkat lesi kelumpuhan itu bersifat Lower Motor Neuron (LMN) dan
dibawah tingkat lesi bersifat Upper Motor Neuron (UMN). Dibawah ini
kelumpuhan Lower Motor Neuron (LMN) akan diuraikan menurut
komponen-komponen Lower Motor Neuron (LMN)
Motoneuron-motoneuron berkelompok di kornu anterius dan dapat
mengalami gangguan secara selektif atau terlibat dalam satu lesi bersama
dengan bangunan disekitarnya, sehingga di dalam klinik dikenal sindrom
lesi di kornu anterius. Lesi ini biasanya disebabkan karena adanya infeksi,
misalnya poliomielitis. Pada umumnya motoneuron-motoneuron yang rusak
didaerah intumesensia cervicalis dan lumbalis sehingga kelumpuhan LMN
adalah anggota gerak.
Kerusakan pada radiks ventralis (dan dorsalis) yang reversibel dan
menyeluruh dapat terjadi. Kerusakan itu merupakan perwujudan reaksi
20
imunopatologik. Walaupun segenap radiks (ventralis/dorsalis) terkena,
namun yang berada di intumesensia cervicalis dan lumbosacralis paling
berat mengalami kerusakan. Karena daerah ini yang mengurus anggota
gerak atas dan bawah. Pada umumnya bermula dibagian distal tungkai
kemudian bergerak ke bagian proksimalnya. Kelumpuhannya meluas ke
bagian tubuh atas, terutama otot-otot kedua lengan. Kelainan fungsional
sistem saraf tepi dapat disebabkan kelainan pada saraf di sumsum tulang
belakang atau kelainan sepanjang saraf tepi sendiri. Salah satu penyakit
dengan lesi utama pada neuron saraf perifer adalah polineuropati.
Lesi di otot dapat berupa kerusakan struktural pada serabut otot atau
selnya yang disebabkan infeksi, intoksikasi eksogen/endogen, dan
degenerasi herediter. Karena serabut otot rusak, kontraktilitasnya hilang dan
otot tidak dapat melakukan tugasnya. Penyakit di otot bisa berupa miopati
dan distrofi, dapat menyebabkan kelemahan di keempat anggota gerak
biasanya bagian proksimal lebih lemah dibanding distalnya. Pada penderita
distrofia musculorum enzim kreatinin fosfokinase dalam jumlah yang besar,
sebelum terdapat manifestasi dini kadar enzim ini di dalam serum sudah
jelas meningkat. Akan tetapi mengapa enzim ini dapat beredar didalam
darah tepi masih belum diketahui.
Di samping kelainan pada sistem enzim, secara klinis juga dapat
ditentukan kelaian morfologik pada otot. Jauh sebelum tenaga otot
berkurang sudah terlihat banyak sel lemak (liposit) menyusup diantara sel-
sel serabut otot. Ketika kelemahan otot menjadi nyata, terdapat
pembengkakan dan nekrosis-nekrosis serabut otot. Seluruh endoplasma
serabut otot ternyata menjadi lemak. Otot-otot yang terkena ada yang
membesar dan sebagian mengecil. Pembesaran tersebut bukan karena
bertambahnya jumlah serabut otot melainkan karena degenerasi lemak.
Central cord syndrome (CCS) biasanya terjadi setelah trauma
hiperekstensi. Sering terjadi pada individu di usia pertengahan dengan
spondylosis cervicalis. Predileksi lesi yang paling sering adalah medulla
spinalis segmen cervicalis, terutama pada vertebra C4-C6. Sebagian kasus
21
tidak ditandai oleh adanya kerusakan tulang. Mekanisme terjadinya cedera
adalah akibat penjepitan medulla spinalis oleh ligamentum flavum di
posterior dan kompresi osteofit atau material diskus dari anterior. Bagian
medulla spinalis yang paling rentan adalah bagian dengan vaskularisasi
yang paling banyak yaitu bagian sentral. Pada Central Cord Syndrome,
bagian yang paling menderita gaya trauma dapat mengalami nekrosis
traumatika yang permanen. Edema yang ditimbulkan dapat meluas sampai
1-2 segmen di bawah dan di atas titik pusat cedera.
Gambaran khas Central Cord Syndrome adalah kelemahan yang lebih
prominen pada ekstremitas atas (tipe LMN) dibanding ektremitas bawah
(tipe UMN). Pemulihan fungsi ekstremitas bawah biasanya lebih cepat,
sementara pada ekstremitas atas (terutama tangan dan jari) sangat sering
dijumpai disabilitas neurologik permanen. Hal ini terutama disebabkan
karena pusat cedera paling sering adalah setinggi VC4-VC5 dengan
kerusakan paling hebat di medulla spinalis C6 dengan ciri LMN. Gambaran
klinik dapat bervariasi, pada beberapa kasus dilaporkan disabilitas permanen
yang unilateral neurologis lokalis pada pasien cedera medulla spinalis
mengacu pada panduan dari American Spinal Injury Association/ AISA.

Tabel II.3. Rekomendasi AISA untuk pemeriksaan neurologi lokal (Motorik)


Otot (asal inervasi) Fungsi

M. deltoideus dan biceps brachii Abduksi bahu dan fleksi siku


(C5)
M. extensor carpi radialis longus dan Ekstensi pergelangan tangan
brevis
(C6)
M. flexor carpi radialis (C7) Fleksi pergelangan tangan
M. flexor digitorum superfisialis dan Fleksi jari-jari tangan
profunda (C8)
M. interosseus palmaris (T1) Abduksi jari-jari tangan
M. illiopsoas (L2) Fleksi panggul
M. quadricep femoris (L3) Ekstensi lutut
M. tibialis anterior (L4) Dorsofleksi kaki
M. extensor hallucis longus (L5) Ekstensi ibu jari kaki
M. gastrocnemius-soleus (S1) Plantarfleksi kaki
22
Menurut American Spinal Injury Association (ASIA), klasifikasi
tingkat dan keparahan trauma medulla spinalis yang merupakan modifikasi
dari Frankle, yaitu sebagai berikut :
A. Komplit : tidak ada fungsi motorik ataupun sensorik yang
terpelihara pada segmen sacral S4-S5.
B. Inkomplit : tidak ada fungsi motorik, tetapi ada fungsi sensorik
yang terpelihara dibawah level neurologic, hingga
segmen sacral S4-S5.
C. Inkomplit : Fungsi motorik terpelihara di bawah level
neurologic, dan sebagian besar otot kunci di bawah
level neurologik mempunyai kekuatan kurang dari 3
D. Inkomplit : Fungsi motorik terpelihara di bawah level
neurologic dan sebagian besar otot kunci di bawah
level neurologic mempunyai kekuatan lebih besar
atau sama dengan 3
E. Normal : Fungsi motorik maupun sensorik normal.

2.6 GEJALA KLINIS


Tetraparesis spastik
Tetraparesis spastik terjadi karena kerusakan yang mengenai upper
motor neuron (UMN), sehingga menyebabkan peningkatan tonus otot atau
hipertoni. Sindroma Upper motorneuron yang dijumpai pada kerusakan
sistem piramidalis, mempunyai gejala: lumpuh, hipertoni, hiperrefleksi dan
klonus, serta peningkatan refleks patologis (Lumbantobing, 2011).
Tetraparesis flaksid
Tetraparesis flaksid terjadi karena kerusakan yang mengenai lower
motor neuron (LMN), sehingga menyebabkan penurunan tonus atot atau
hipotoni. Sindroma lower motorneuron mempunyai gejala: lumpuh, atoni,
atrofi dan arefleksi. Sindroma ini didapatkan pada kerusakan di neuron

23
motorik, neuraksis neuron motorik, Neuromuscular junction, dan otot
(Lumbantobing, 2011).

Spondylosis cervicalis menyebabkan terjadinya penyempitan canalis


spinalis di daerah cervicalis dan menekan nerve root dari saraf spinalis
sehingga menimbulkan gannguan/ kelainan fungsi daripada saraf spinalis
dibawahnya. Gejala yang dapat menggambarkan tejadinya penekanan pada
medulla spinalis maupun kerusakan pada nerve root dari saraf spinalis
antara lain:
 Perubahan cara berjalan
 Penderita berjalan goyah dan pergerakan kaki menjadi kaku
 Nyeri pada leher
 Abnormalitas refleks
 Gangguan sensorik dan kelemahan pada lengan, tangan, tungkai, dan
kaki
 Kehilangan kontrol dari kandung kemih atau usus atau retensio urine.

2.7 FAKTOR RESIKO


Beberapa faktor resiko untuk terjadinya spondylosis cervicalis antara
lain penuaan dan kausa pada tulang belakang setinggi cervicalis. Adapun
trauma berulang seperti beban aksial berlebih juga dapat menjadi faktor
resiko terjadinya spondylosis cervicalis.

2.8 DIAGNOSIS
Diagnosis dibuat berdasarkan pada riwayat gejala, pemeriksaan fisik,
dan hasil pemeriksaan penunjang diagnostik jika dianggap perlu, seperti
rontgen, CT-scan, dan MRI.
PEMERIKSAAN FISIK
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesulitan dalam menggerakkan
anggota gerak badan (pada keempat ekstremitas), perubahan refleks
fisiologi (jika refleks fisiologi mengalami peningkatan merupakan gejala
24
dari lesi UMN, jika refleks mengalami penurunan merupakan gejala dari lesi
LMN), perubahan tonus otot (jika spastik merupakan gejala dari lesi UMN,
jika flaksid merupakan gejala dari lesi LMN), dan perhatikan apakah
terdapat fasikuasi atau tidak.
1. Tetraparesis Spastik
Tetraparesis ini disebabkan karena lesi bilateral atau transversal di
medulla spinalis setinggi cervicalis. Tetraparesis spastik akut yang
terjadi secara serentak dapat disebabkan oleh dislokasi/ fraktur cervical
akibat trauma atau lesi vaskular. Tetraparesis spastik subakut terjadi
akibat proses imunologi (mielopati nekrotikans). Sedangkan
Tetraparesis spastik subkronis terjadi oleh karena adanya spondilitis
tuberkulosis, spondylosis cervicalis, tumor spinal, atau abses epidural.
Tetraparesis spastik pada anak umumnya merupakan gejala dari
cerebral palsy atau manifestasi herediter yang menyertai
keterbelakangan mental. Tetraparesis spastik kronis biasanya disebabkan
oleh amiotropic lateral sclerosis (ALS).
Kelumpuhan spastik pada anggota gerak kedua sisi selalu disertai
dengan defisit sensorik dibawah lesi, kecuali pada Tetraparesis spastik
oleh karena cerebral palsy. Sebagian besar dari tetraparesis kelompok ini
disertai dengan gangguan miksi dan defekasi. Bahkan tidak jarang
retensio urine mendahului manifestasi kelumpuhan anggota gerak kedua
sisi.
2. Tetraparesis Flaksid
Kelumpuhan keempat ekstremitas memperlihatkan gejala LMN
disebabkan lesi bilateral dibagian susunan saraf tepi. Tidak ada
gangguan sensoris pada tubuh yang jelas. Gangguan miksi tidak selalu
mengiringi kelumpuhan.
3. Polineuropati Bilateral
Penyakit yang tergolong kelompok ini meliputi:
A. Polineuropati bilateral oleh karena proses imunologik. Kelemahan
otot-otot tungkai merupakan keluhan utamanya. Tidak lama
25
kemudian timbul parastesia. Pada mulanya dirasakan pada kedua
kaki, kemudian kedua tungkai dan diikuti kelemahan pada anggota
gerak atas. Gejala awal dapat disertai dengan retensio urine.
Sementara tremor dan ataksi hanya sebagai manifestasi klinis.
B. Polineuropati bilateral oleh karena defisiensi makanan dan
autotoksik. Kelemahan otot anggota gerak dapat berkembang
sedikit demi sedikit dan disertai dengan gangguan sensibilitas.
Keluhannya berupa letih-lemah pada kedua tungkai. Kadang
disertai parastesia atau distesia pada telapak kaki.
4. Tetraparesis akibat Polimiositis
Kelemahan keempat ekstremitas dapat disebabkan oleh
polimiositis. Kelemahan otot dapat disertai mialgia atau tanpa rasa nyeri
sama sekali.
5. Tetraparesis akibat Miopatia Bilateral
Ada 3 jenis miopati yang sering dijumpai, meliputi:
A. Miopati akibat penggunaan krotikosteroid jangka panjang. Penderita
mempunyai keluhan khas yaitu tidak dapat mengangkat badannya
untuk sikap berdiri dari sikap duduk atau dari sikap sujud. Karena
penggunaan steroid jangka panjang dapat dihubungkan dengan
kelemahan otot proksimal kedua tungkai.
B. Polimiopati akibat tirotoksikosis. Pasien mengeluh berdebar-debar
dan mengalami susah saat menaiki tangga. Ditandai dengan
kelemahan otot proksimal tungkai. pasien juga mengeluh
kelemahan lengan, bahkan tidak mampu untuk menyisir rambut.
C. Miopati yang bersifat paralisis periodik. Kelemahan sampai
kelumpuhan mutlak pada keempat ekstremitas secara periodik dan
khas.
6. Tetraparesis akibat Distrofia
Awal mula munculnya sama seperti penyakit herediter, yaitu
sejak kecil. Penderita susah menjaga keseimbangan sehingga mudah
jatuh. Cara bangun ‘memanjat tungkainya dengan tangan’ yang khas.
26
7. Tetraparesis akibat Miastenia
Miastenia Gravis. Terdapat paralisis okular (diplopia) dan
paralisis palatum mole (sengau). Atrofi otot dapat ditemukan pada
permulaan timbulnya gejala, namun tidak akan semakin memburuk.

PEMERIKSAAN RADIOLOGI
Pada pemeriksaan radiologi dapat dilakukan foto rontgen, yaitu foto
cervical proyeksi AP/Lateral untuk melihat apakah terdapat trauma pada
regio vertebra cervicalis. Foto polos cervicalis merupakan pemeriksaan
radiologi yang paling sering dilakukan untuk menentukan diagnosis
daripada spondylosis cervicalis. Foto polos dapat membantu untuk menilai
alignment tulang.
Jika pasien memiliki riwayat trauma medulla spinalis dapat disarankan
CT-scan atau MRI yang dapat menunjukkan hasil yang lebih detail daripada
foto rontgen. MRI dapat menunjukkan lokasi penyempitan canalis
cervicalis, beratnya penekanan, dan penyebaran saraf yang terlibat trauma.
MRI merupakan prosedur non—invasif dan bebas radiasi dengan pencitraan
yang sangat baik untuk menilai kondisi medulla spinalis dan ruang
subarachnoid.

2.9 PENATALAKSANAAN
PENANGANAN KASUS RINGAN
 Memakai collar neck untuk membantu pembatasan pergerakan leher dan
mengurangi iritasi saraf.
 Minum obat penghilang rasa sakit (analgetika)
 Melakukan latihan fisik sesuai dengan instruksi oleh ahli terapi fisik
untuk meregangkan leher dan bahu, termasuk juga latihan berjalan.
PENANGANAN KASUS YANG LEBIH SERIUS
 Traksi leher untuk mengurangi tekanan pada medulla spinalis maupun
pada nerve root dari saraf spinalis.
27
 Modifikasi latihan dengan istirahat berselang.
 Minum obat analgetika atau muscle relaxan.
 Injeksi kortikosteroid disekitar diskus dan saraf spinalis. Injeksi ini
dikombinasikan dengan obat anesthesi lokal untuk mengurangi rasa
nyeri dan peradangan.
 Rawat inap untuk dapat mengevaluasi rasa nyeri.
OPERASI
 Tindakan operatif akan dilakukan jika pengobatan konservatif gagal atau
jika terdapat tanda-tanda dan gejala neurologis seperti kelemahan di
lengan atau kaki yang semakin memburuk. Prosedur pembedahan akan
tergantung pada kondisi yang mendasari, seperti penonjolan tulang atau
stenosis tulang belakng.

2.10 KOMPLIKASI
Spondylosis cervicalis merupakan penyebab paling umum dari
disfungsi saraf spinalis pada orang dewasa yang lebih tua. Pada sejumlah
kecil kasus, spondylosis cervicalis dapat memampatkan satu atau lebih saraf
tulang belakang - sebuah kondisi yang disebut radikulopati cervicalis. Taji
tulang dan penyimpangan lain yang disebabkan oleh spondylosis cervicalis
juga dapat mengurangi diameter kanal yang saraf tulang belakang. Ketika
saluran spinalis menyempit ke titik yang menyebabkan cedera tulang
belakang, kondisi yang dihasilkan disebut sebagai myelopathy cervicalis.
Kedua radikulopati cervicalis dan myelopathy cervicalis dapat
mengakibatkan cacat permanen. Selain itu, skoliosis merupakan komplikasi
yang paling sering ditemukan pada penderita nyeri punggung bawah karena
Spondylosis. Hal ini terjadi karena pasien selalu memposisikan tubuhnya
kearah yang lebih nyaman tanpa mempedulikan sikap tubuh normal. Hal ini
didukung oleh ketegangan otot pada sisi vertebra yang sakit.

28
2.11 PENCEGAHAN
Ada beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk dapat mencegah terjadinya
spondylosis cervicalis, yaitu:
 Hindari aktivitas dengan resiko benturan keras (pilih olah raga yang
mengandalkan peregangan dan kelenturan).
 Lakukan latihan yang dapat meningkatkan kekuatan, kelenturan dan
jangkauan gerak otot leher.
 Hindari kegiatan yang dapat menyebabkan terjadinya ketegangan leher
seperti halnya mempertahankan posisi kepala dalam waktu lama,
misalnya menonton TV atau bekerja di depan komputer, ataupun
mengemudi.
 Konsumsi makanan yang sehat dan bergizi, hindari rokok yang dapat
meningkatkan resiko terjadinya spondylosis.

29
BAB III
KESIMPULAN

Tetraparesis juga diistilahkan juga sebagai quadriparese, yang keduanya


merupakan parese dari keempat ekstremitas.”Tetra” dari bahasa yunani sedangkan
“quadra” dari bahasa latin. Tetraparesis adalah kelumpuhan/kelemahan yang
disebabkan oleh penyakit atau trauma pada manusia yang menyebabkan
hilangnya sebagian fungsi motorik pada keempat anggota gerak.
Pada kasus ini, Tetraparesis pada pasien disebabkan oleh Spondylosis
cervicalis(athritis degeneratif). Gejala yang dapat menggambarkan tejadinya
penekanan pada medulla spinalis maupun kerusakan pada nerve root dari saraf
spinalis antara lain: Perubahan cara berjalan, Penderita berjalan goyah dan
pergerakan kaki menjadi kaku, Nyeri pada leher, Abnormalitas refleks, Gangguan
sensorik dan kelemahan pada lengan, tangan, tungkai, dan kaki, serta Kehilangan
kontrol dari kandung kemih atau usus atau retensio urine.
Beberapa faktor resiko untuk terjadinya spondylosis cervicalis antara lain
penuaan dan kausa pada tulang belakang setinggi cervicalis. Adapun trauma
berulang seperti beban aksial berlebih juga dapat menjadi faktor resiko terjadinya
spondylosis cervicalis.
Pemeriksaan yang digunakan untuk menentukan diagnosis spondylosis
cervicalis adalah foto rontgen, selain itu dapat digunakan metode MRI sebagai
modalitas diagnosis karena MRI membantu untuk menunjukkan lokasi
peneyempitan canalis spinalis, beratnya penekanan dan penyebaran nerve root
yang terlibat.
Pengobatan pada spondylosis cervicalis berupa tindakan konservatif, jika
pengobatan konservatif gagal atau jika terdapat tanda-tanda dan gejala neurologis
seperti kelemahan di lengan dan atau kaki yang semakin memburuk maka perlu
dilakukan tindakan pembedahan.

30
DAFTAR PUSTAKA

Committee on Trauma of the American College of Surgeon. Advanced Trauma


Life Support (ATLS), program untuk dokter. 1997: 237-57.
Duus P., Sistem motorik. Dalam : Suwono JW (editor), Diagnosis Topik
Neurologi, anatomi,fisiologi, tanda, gejala. EGC 1996: 31-73.
Greenberg M.S, Handbook of Neurosurgery, Spine Injuries, Fouth edition,
Greenberg Graphic, Florida 1997: 754-83.
Japardi I., Cervical Injury, Fakultas Bagian Bedah USU digital Library, 2002
Kamus saku kedokteran Dorland/ alih bahasa, Poopy Kumala ... [et al.] ; copy
editor edisi bahasa Indonesia, Dyah Nuswantari. – ed. 25. – Jakarta : EGC,
1998.
Lumbantobing, S.M., Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2011; 87.
Mardjono M, Sidharta P, Pemeriksaan Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat
1994: 20-113.
PERDOSSI, Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan TGrauma
Spinal, PERDOSSI, FKUI/RSCM, 2006 : 19-29
Platzer W., Atlas Berwarna & Teks Anatomi Manusia Sistem Lokomotor
Muskuloskeletal & Topografi, Jilid I, edisi 6, 1997; 36-39.

31

You might also like