You are on page 1of 29

SINDROM NEFROT

Oleh:
Hendra Susanto
Pembimbing :
dr. SriandayaniSp. A

SMF ILMU KESEHATAN ANAK


Rumah Sakit Mardi Waluyo
BAB 1
PENDAHULUAN

Sindrom nefrotik (SN) pada anak merupakan penyakit ginjal anak


yang paling sering ditemukan. Insidens SN pada anak dalam kepustakaan
di Amerika Serikat dan Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak
per tahun,dengan prevalensi berkisar 12 – 16 kasus per 100.000 anak.1 Di
negara berkembang insidensnya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6
per 100.000 per tahun pada anak berusia kurang dari 14 tahun. 1
Perbandingan anak laki-laki dan perempuan 2:1. Etiologi SN dibagi
3 yaitu kongenital, primer/idiopatik, dan sekunder mengikuti penyakit
sistemik, antara lain lupus eritematosus sistemik (LES), purpura Henoch
Schonlein, dan lain lain. Pada konsensus ini hanya akan dibicarakan SN
idiopatik. Pasien SN biasanya datang dengan edema palpebra atau
pretibia. Bila lebih berat akan disertai asites, efusi pleura, dan edema
genitalia. Kadang-kadang disertai oliguria dan gejala infeksi, nafsu makan
berkurang, dan diare. Bila disertai sakit perut, hati-hati terhadap
kemungkinan terjadinya peritonitis atau hipovolemia.
Dalam laporan ISKDC (International Study for Kidney Diseases in
Children), pada sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM) ditemukan 22%
dengan hematuria mikroskopik, 15-20% disertai hipertensi, dan 32%
dengan peningkatan kadar kreatinin dan ureum darah yang bersifat
sementara. Pada anak, sebagian besar (80%) SN idiopatik mempunyai
gambaran patologi anatomi kelainan minimal (SNKM). Gambaran patologi
anatomi lainnya adalah glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) 7-8%,
mesangial proliferatif difus (MPD) 2-5%, glomerulonefritis
membranoproliferatif (GNMP) 4-6%, dan nefropati membranosa (GNM)
1,5%. Pada pengobatan kortikosteroid inisial sebagian besar SNKM (94%)
mengalami remisi total (responsif), sedangkan pada GSFS 80-85% tidak
responsif (resisten steroid). Prognosis jangka panjang SNKM selama
pengamatan 20 tahun menunjukkan hanya 4-5% menjadi gagal ginjal
terminal, sedangkan pada GSFS 25% menjadi gagal ginjal terminal dalam
5 tahun dan pada sebagian besar lainnya disertai penurunan fungsi
ginjal.1
Pada berbagai Unit Kerja Koordinasi Nefrologi penelitian jangka
panjang ternyata respons terhadap pengobatan steroid lebih sering
digunakan untuk menentukan prognosis dibandingkan dengan gambaran
patologi anatomi. Oleh karena itu pada saat ini klasifikasi SN lebih
didasarkan pada respons klinik yaitu:
Sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS)
Sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Sindrom nefrotik merupakan penyakit ginjal yang paling sering dijumpai
pada anak. Sindrom nefrotik merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang
terdiri dari proteinuria masif (>40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu >2 mg/mg atau dipstik ≥2+), hipoalbuminemia
<2,5 g/dl, edema, dan dapat disertai hiperlipidemia > 200 mg/dL terkait kelainan
glomerulus akibat penyakit tertentu atau tidak diketahui).1

2.2 Epidemiologi
Sindrom nefrotik (SN) pada anak merupakan penyakit ginjal anak
yang paling sering ditemukan. Insidens SN pada anak dalam kepustakaan
di Amerika Serikat dan Inggris adalah 2-7 kasus baru per 100.000 anak
per tahun,dengan prevalensi berkisar 12 – 16 kasus per 100.000 anak.1 Di
negara berkembang insidensnya lebih tinggi. Di Indonesia dilaporkan 6
per 100.000 per tahun pada anak berusia kurang dari 14 tahun. 1

2.3 Etiologi dan Klasifikasi


Etiologi pasti dari sindrom nefrotik belum diketahui. Akhir-akhir ini sindrom
nefrotik dianggap sebagai suatu penyakit auto imunyang merupakan suatu reaksi
antigen-antibodi. Secara klinis sindrom nefrotik dibagi menjadi 2 golongan, yaitu :
a. Sindrom Nefrotik Primer atau Idiopatik
Dikatakan sindrom nefrotik primer oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer
terjadi akibat kelainan pada glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain.
Sekitar 90% anak dengan sindrom nefrotik merupakan sindrom nefrotik idiopatik.
Termasuk dalam sindrom nefrotik primer adalah sindrom nefrotik kongenital,
yaitu salah satu jenis sindrom nefrotik yang ditemukan sejak anak itu lahir atau
usia di bawah 1 tahun. Penyakit ini diturunkan secara resesif autosom atau
karena reaksi fetomaternal. Resisten terhadap semua pengobatan. Gejalanya
adalah edema pada masa neonatus. Pencangkokan ginjal pada masa neonatus
telah dicoba, tapi tidak berhasil. Prognosis buruk dan biasanya pasien meninggal
dalam bulan-bulan pertama kehidupannya .4
Kelainan histopatologik glomerulus pada sindrom nefrotik primer
dikelompokkan menurut rekomendasi dari ISKDC (International Study of Kidney
Disease in Children). Kelainan glomerulus ini sebagian besar ditegakkan melalui
pemeriksaan mikroskop cahaya, dan apabila diperlukan, disempurnakan dengan
pemeriksaan mikroskop elektron dan imunofluoresensi
Tabel di bawah ini menggambarkan klasifikasi histopatologik sindrom
nefrotik pada anak berdasarkan istilah dan terminologi menurut rekomendasi
ISKDC.

Tabel 1. Klasifikasi kelainan glomerulus pada sindrom nefrotik primer.4


Kelainan minimal (KM)
Glomerulosklerosis (GS)
Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
Glomerulosklerosis fokal global (GSFG)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif
Glomerulonefritis kresentik (GNK)
Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP)
GNMP tipe I dengan deposit subendotelial
GNMP tipe II dengan deposit intramembran
GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial
Glomerulopati membranosa (GM)
Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)

Sindrom nefrotik primer yang banyak menyerang anak biasanya berupa


sindrom nefrotik tipe kelainan minimal. Pada dewasa prevalensi sindrom nefrotik
tipe kelainan minimal jauh lebih sedikit dibandingkan pada anak-anak et al.4
Di Indonesia gambaran histopatologik sindrom nefrotik primer agak
berbeda dengan data-data di luar negeri. Wila Wirya menemukan hanya 44.2%
tipe kelainan minimal dari 364 anak dengan sindrom nefrotik primer yang
dibiopsi, sedangkan Noer di Surabaya mendapatkan 39.7% tipe kelainan minimal
dari 401 anak dengan sindrom nefrotik primer yang dibiopsi.5
b. Sindrom Nefrotik Sekunder
Timbul sebagai akibat dari suatu penyakit sistemik atau sebagai akibat dari
berbagai sebab lain yang nyata. Penyebab yang sering dijumpai antara lain : .4
- Penyakit metabolik atau kongenital: diabetes mellitus, amiloidosis, sindrom
Alport, miksedema
- Infeksi : hepatitis B, malaria, schistosomiasis, lepra, sifilis, streptokokus, AIDS
- Toksin dan alergen: logam berat (Hg), penisillamin, probenesid, racun
serangga, bisa ular
- Penyakit sistemik bermediasi imunologik: lupus eritematosus sistemik,
purpura Henoch-Schönlein, sarkoidosis
- Neoplasma : tumor paru, penyakit Hodgkin, tumor gastrointestinal.

2.4 Patogenesis
Dinding kapiler glomerulus terdiri dari tiga struktur yang merupakan barier
yang selektif, yaitu : sel endotel dengan fenestrae, membran dasar glomerulus
yang terdiri atas jaringan matriks protein, dan sel-sel epitel khusus podosit yang
terhubung satu sama lain melalui jaringan interdigitating pada celah diafragma.
Berikut ini gambar skematis dinding kapiler glomerulus :

Gambar 1. Gambar Skematis Dinding Kapiler Glomerulus

Pada kondisi normal, protein seperti albumin (69 kd) atau protein yang
lebih besar tidak akan terfiltrasi, restrisksi ini tergantung pada integritas celah
diafragma Berikut ini gambar skematis proses filtrasi glomerulus :
Gambar 2. Gambar Skematis Proses Filtrasi Glomerulus

Pada sindrom nefrotik, terjadi perubahan morfologi podosit, dimana kaki-


kaki podosit saling berdekatan, menyatu, serta lebih pipih sehingga fungsi filtrasi
glomerulus menjadi tidak optimal. Tiga hal memberikan petunjuk penting untuk
patofisiologi utama sindrom nefrotik idiopatik antara lain :
a. Mutasi Protein Podosit
Mutasi pada beberapa protein podosit telah diidentifikasi pada pasien sindrom
nefrotik yang diturunkan.Beberapa protein tersebut antara lain dapat dilihat
pada gambar 3.
Gambar 3. Gambaran mikroskop elektron podosit pada glomerulus
normal dan sindrom nefrotik, dan mutasi pada protein podosit. 3
A: Prosesus sel podosit dipisahkan oleh celah pori-pori B: Pada sindrom
nefrotik, celah pori-pori menghilang dan prosesus sel podosit terlihat
bergabung menjadi satu C: Mutasi protein podosit 1: slit diaphragm proteins
(nephrin), 2: membrane proteins (podocin), 3: cytoskeleton (α-actinin-4, CD2-
AP), 4: extracellular matrix adhesion molecule, (β4 integrin), 5: sialylated
anionic surface proteins, 6: nuclear proteins (WT1, LMX1B, SMARCAL1),7:
basement membrane proteins (α5 chain collagen IV).

b. Adanya Faktor Plasma


Faktor plasma dapat mengubah permeabilitas glomerulus, khususnya pada
pasien dengan sindrom nefrotik resisten steroid (Eddy dan Symons, 2003).

c. Abnormalitas Respon Sel Limfosit T


Sel T diduga mensintesis faktor permeabilitas yang dapat mengubah
selektivitas glomerulus terhadap protein, sehingga terjadilah proteinuria
massif. Hipotesis lain menjelaskan bahwa sel limfosit T menghambat atau
menyebabkan down regulasi faktor penghambat permeabilitas yang pada
kondisi normal berfungsi mencegah proteinuria .3

Patofisiologi beberapa gejala dari sindrom nefrotik .1:


1. Proteinuria
Proteinuria atau albuminuria masif merupakan penyebab utama terjadinya
sindrom nefrotik, namun penyebab terjadinya proteinuria belum diketahui benar.
Salah satu teori yang dapat menjelaskan adalah hilangnya muatan negatif yang
biasanya terdapat di sepanjang endotel kapiler glomerulus dan membran basal.
Hilangnya muatan negatif tersebut menyebabkan albumin yang bermuatan
negatif tertarik keluar menembus sawar kapiler glomerulus. Terdapat
peningkatan permeabilitas membrane basalis kapiler-kapiler glomeruli, disertai
peningkatan filtrasi protein plasma dan akhirnya terjadi proteinuria. Beberapa
faktor yang turut menentukan derajat proteinuria sangat komplek, yaitu :
- Konsentrasi plasma protein
- Berat molekul protein
- Electrical charge protein
- Integritas barier membrane basalis
- Electrical charge pada filtrasi barrier
- Reabsorpsi, sekresi dan katabolisme sel tubulus
- Degradasi intratubular dan urin

2. Hipoalbuminemia
Plasma mengandung macam-macam protein, sebagian besar menempati
ruangan ekstra vaskular. Plasma terutama terdiri dari albumin yang berat molekul
69 kd. Hepar memiliki peranan penting untuk sintesis protein bila tubuh
kehilangan sejumlah protein, baik renal maupun non renal. Mekanisme
kompensasi dari hepar untuk meningkatkan sintesis albumin, terutama untuk
mempertahankan komposisi protein dalam ruangan ekstra vaskular dan intra
vaskular.
Walaupun sintesis albumin meningkat dalam hepar, selalu terdapat
hipoalbuminemia pada setiap sindrom nefrotik. Keadaan hipoalbuminemia ini
mungkin disebabkan beberapa faktor, diantaranya :
- Kehilangan sejumlah protein dari tubuh melalui urin (prooteinuria) dan usus
(protein losing enteropathy)
- Katabolisme albumin, pemasukan protein berkurang karena nafsu makan
menurun dan mual-mual
- Utilisasi asam amino yang menyertai penurunan faal ginjal
Bila kompensasi sintesis albumin dalam hepar tidak adekuat, plasma
albumin menurun, keadaan hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia ini akan diikuti
oleh hipovolemia yang mungkin menyebabkan uremia pre-renal dan tidak jarang
terjadi oligouric acute renal failure. Penurunan faal ginjal ini akan mengurangi
filtrasi natrium Na+ dari glomerulus (glomerular sodium filtration) tetapi keadaan
hipoalbuminemia ini akan bertindak untuk mencegah resorpsi natrium Na+
kedalam kapiler-kapiler peritubular. Resorpsi natrium na+ secara peasif
sepanjang Loop of Henle bersamaan dengan resorpsi ion Cl- secara aktif
sebagai akibat rangsangan dari keadaan hipovolemia. Retensi natrium dan air
H2O yang berhubungan dengan system rennin-angiotensin-aldosteron (RAA)
dapat terjadi bila sindrom nefrotik ini telah memperlihatkan tanda-tanda
aldosteronisme sekunder. Retensi natrium dan air pada keadaan ini
(aldosteronisme) dapat dikeluarkan dari tubuh dengan pemberian takaran tinggi
diuretik yang mengandung antagonis aldosteron.

3. Sembab
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik dari kapiler-
kapiler glomeruli, diikuti langsung oleh difusi cairan kejaringan interstisial, klinis
dinamakan sembab. Penurunan tekanan onkotik mungkin disertai penurunan
volume plasma dan hipovolemia. Hipovolemia menyebabkan retensi Na dan air.
Proteinuria masih menyebabkan hipoalbuminemia dan penurunan
tekanan onkotik dari kapiler-kapiler glomeruli dan akhirnya terjadi sembab.
Mekanisme sembab dari sindrom nefrotik dapat melalui jalur berikut :
a. Jalur langsung/direk
Penurunan tekanan onkotik dari kapiler glomerulus dapat langsung
menyebabkan difusi cairan ke dalam jaringan interstisial dan dinamakan sembab.
b. Jalur tidak langsung/indirek
Penurunan tekanan onkotik dari kepiler glomerulus dapat menyebabkan
penurunan volume darah yang menimbulkan konsekuensi berikut:
- Aktivasi system rennin angiotensin aldosteron
- Kenaikan plasma rennin dan angiotensin akan menyebabkan rangsangan
kelenjar adrenal untuk sekresi hormone aldosteron. Kenaikan konsentrasi
hormone aldosteron akan mempengaruhi sel-sel tubulus ginjal untuk
mengabsorbsi ion natrium sehingga ekskresi ion natrium menurun.
- Kenaikan aktivasi saraf simpatetik dan circulating cathecolamines.
- Kenaikan aktivasi saraf simpatetik dan konsentrasi katekolamin,
menyebabkan tahanan atau resistensi vaskuler glomerulus meningkat.
Kenaikan tahanan vaskuler renal ini dapat diperberat oleh kenaikan plasma
rennin dan angiotensin.

4. Hiperkolesterolemia
Kolesterol serum, very low density lipoprotein (VLDL), low density
lipoprotein (LDL), trigliserida meningkat sedangkan high density lipoprotein (HDL)
dapat meningkat, normal atau menurun. Hal ini disebabkan peningkatan sintesis
lipid di hepar dan penurunan katabolisme di perifer (penurunan pengeluaran
lipoprotein, VLDL, kilomikron dan intermediate density lipoprotein dari darah).
Peningkatan sintesis lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan albumin serum
dan penurunan tekanan onkotik.

2.5 Gejala Klinis


Apapun tipe sindrom nefrotik, manifestasi klinik utama adalah sembab,
yang tampak pada sekitar 95% anak dengan sindrom nefrotik. Seringkali sembab
timbul secara lambat sehingga keluarga mengira sang anak bertambah gemuk.
Pada fase awal sembab sering bersifat intermiten; biasanya awalnya tampak
pada daerah-daerah yang mempunyai resistensi jaringan yang rendah (misal,
daerah periorbita, skrotum atau labia). Akhirnya sembab menjadi menyeluruh
dan masif .1
Sembab berpindah dengan perubahan posisi, sering tampak sebagai
sembab muka pada pagi hari waktu bangun tidur, dan kemudian menjadi
bengkak pada ekstremitas bawah pada siang harinya. Bengkak bersifat lunak,
meninggalkan bekas bila ditekan (pitting edema). Pada penderita dengan
sembab hebat, kulit menjadi lebih tipis dan mengalami oozing. Sembab biasanya
tampak lebih hebat pada pasien SNKM dibandingkan pasien-pasien GSFS atau
GNMP. Hal tersebut disebabkan karena proteinuria dan hipoproteinemia lebih
hebat pada pasien SNKM .2
Gangguan gastrointestinal sering timbul dalam perjalanan penyakit
sindrom nefrotik. Diare sering dialami pasien dengan sembab masif yang
disebabkan sembab mukosa usus. Hepatomegali disebabkan sintesis albumin
yang meningkat, atau edema atau keduanya. Pada beberapa pasien, nyeri perut
yang kadang-kadang berat, dapat terjadi pada sindrom nefrotik yang sedang
kambuh karena sembab dinding perut atau pembengkakan hati. Nafsu makan
menurun karena edema. Anoreksia dan terbuangnya protein mengakibatkan
malnutrisi berat terutama pada pasien sindrom nefrotik resisten-steroid. Asites
berat dapat menimbulkan hernia umbilikalis dan prolaps ani.2
Oleh karena adanya distensi abdomen baik disertai efusi pleura atau
tidak, maka pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi
gawat. Keadaan ini dapat diatasi dengan pemberian infus albumin dan diuretik.
Anak sering mengalami gangguan psikososial, seperti halnya pada penyakit
berat dan kronik umumnya yang merupakan stres nonspesifik terhadap anak
yang sedang berkembang dan keluarganya. Kecemasan dan merasa bersalah
merupakan respons emosional, tidak saja pada orang tua pasien, namun juga
dialami oleh anak sendiri. Kecemasan orang tua serta perawatan yang terlalu
sering dan lama menyebabkan perkembangan dunia sosial anak menjadi
terganggu
Hipertensi dapat dijumpai pada semua tipe sindrom nefrotik. Penelitian
International Study of Kidney Disease in Children (SKDC) menunjukkan 30%
pasien SNKM mempunyai tekanan sistolik dan diastolik lebih dari 90th persentil
umur .

2.6 Diagnosis
Diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan berdasarkan 4 gejala klinis yang
khas, yaitu :
1. Proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau rasio
protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik ≥ 2+)
2. Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL
3. Edema
4. Dapat disertai hiperkolesterolemia > 200 mg/dL

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain :


1. Urinalisis. Biakan urin hanya dilakukan bila didapatkan gejala klinis yang
mengarah kepada infeksi saluran kemih.
2. Protein urin kuantitatif, dapat menggunakan urin 24 jam atau rasio
protein/kreatinin pada urin pertama pagi hari
3. Pemeriksaan darah
- Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit, trombosit,
hematokrit, LED)
- Albumin dan kolesterol serum
- Ureum, kreatinin serta klirens kreatinin dengan cara klasik atau dengan
rumus Schwartz
- Kadar komplemen C3; bila dicurigai lupus eritematosus sistemik,
emeriksaan ditambah dengan komplemen C4, ANA (anti nuclear
antibody), dan anti ds-DNA

Biopsi ginjal tidak diperlukan pada sebagian besar anak dengan sindrom
nefrotik. Lebih dari 80% anak dengan sindrom nefrotik adalah sindrom nefrotik
kelainan minimal dengan cirri khasnya berupa histology ginjal yang normal pada
pemeriksaamn mikroskopis. Sisanya berupa GFS, 7%, GNMes, 5%, GNMP, 7%.
Dan GNM, 1-2%. Pasien yang menunjukkan gambaran klinis dan laboratorium
yang tidak sesuai dengan gejala kelainan minimal, sebaiknya dilakukan biopsi
ginjal sebelum terapi steroid. Biopsi ginjal umunya tidak dilakukan pada sindrom
nefrotik yang sering kambuh atau dependen steroid selama masih sensitif steroid

2.7 Penatalaksanaan
Anak dengan manifestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di
rumah sakit dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi
pengaturan diit, penanggulangan edema, memulai pengobatan steroid, dan
edukasi orangtua (Trihono et al., 2008).
Sebelum pengobatan steroid dimulai, dilakukan pemeriksaan-
pemeriksaan berikut: (Trihono et al., 2008)
a. Pengukuran berat badan dan tinggi badan
b. Pengukuran tekanan darah
c. Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik, seperti
lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-Schonlein
d. Mencari fokus infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun cacingan. Setiap infeksi
perlu dieradikasi lebih dahulu sebelum terapi steroid dimulai.
e. Melakukan uji Mantoux. Bila hasilnya positif diberikan profilaksis INH selama 6
bulan bersama steroid, dan bila ditemukan tuberkulosis diberikan obat
antituberkulosis (OAT)
Perawatan di rumah sakit pada SN relaps hanya dilakukan bila terdapat
edema anasarka yang berat atau disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal
ginjal, atau syok. Tirah baring tidak perlu dipaksakan dan aktivitas fisik
disesuaikan dengan kemampuan pasien. Bila edema tidak berat, anak boleh
sekolah (Trihono et al., 2008).

DIETETIK
Pemberian diit tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena
akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme
protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi diit
rendah protein akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan
hambatan pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diit protein normal sesuai
dengan RDA (Recommended Daily Allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. Diit
rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema
(Trihono et al., 2008).
DIURETIK
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan
loop diuretic seperti furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan
dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diuretik hemat kalium) 2-4
mg/kgbb/hari. Sebelum pemberian diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan
hipovolemia. Pada pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan
pemantauan elektrolit kalium dan natrium darah.
Berikut ini algoritma pemberian diuretic pada kasus sidrom nefrotik :

Gambar 4. Algortima Pemberian Diuretik 1


Bila pemberian diuretik tidak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi
karena hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/dL), dapat diberikan infus
albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk menarik cairan
dari jaringan interstisial dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2
mg/kgbb. Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma 20
ml/kgbb/hari secara pelan-pelan 10 tetes/menit untuk mencegah terjadinya
komplikasi dekompensasi jantung. Bila diperlukan, suspensi albumin dapat
diberikan selang-sehari untuk memberi kesempatan pergeseran cairan dan
mencegah overload cairan. Bila asites sedemikian berat sehingga mengganggu
pernapasan dapat dilakukan pungsi asites berulang (Trihono et al., 2008).

IMUNISASI
Pasien SN yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid >2
mg/kgbb/ hari atau total >20 mg/hari, selama lebih dari 14 hari, merupakan
pasien imunokompromais. Pasien SN dalam keadaan ini dan dalam 6 minggu
setelah obat dihentikan hanya boleh diberikan vaksin virus mati, seperti IPV
(Inactivated Polio Vaccine). Setelah penghentian prednison selama 6 minggu
dapat diberikan vaksin virus hidup, seperti polio oral, campak, MMR, varisela.
Semua anak dengan SN sangat dianjurkan untuk mendapat imunisasi terhadap
infeksi pneumokokus dan varisela.

TERAPI KORTIKOSTEROID
Pada SN idiopatik, kortikosteroid merupakan pengobatan awal, kecuali
bila ada kontraindikasi. Jenis steroid yang diberikan adalah prednison atau
prednisolon. Untuk menggambarkan respons terapi terhadap steroid pada anak
dengan sindrom nefrotik digunakan istilah-istilah seperti tercantum pada tabel
berikut:

Tabel 2. Istilah yang Menggambarkan Respons Terapi Steroid pada Anak


dengan Sindrom Nefrotik (Noer, 2002)
Istilah Keterangan
Remisi Proteinuria negatif atau proteinuria < 4 mg/m2/jam
selama 3 hari berturut-turut
Relaps Proteinuria ≥ 2 + atau proteinuria > 40 mg/m2/jam
selama 3 hari berturut-turut, dimana sebelumnya
pernah mengalami remisi
Relaps tidak sering Kambuh < 2 kali dalam masa 6 bulan, atau < 4 kali
dalam periode 12 bulan
Relaps sering Kambuh ≥ 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah
respons awal, atau ≥ 4 kali kambuh pada setiap
periode 12 bulan
Responsif-steroid Remisi tercapai hanya dengan terapi steroid saja
Dependen-steroid Terjadi 2 kali kambuh berturut-turut selama masa
tapering terapi steroid, atau dalam waktu 14 hari
setelah terapi steroid dihentikan
Resisten-steroid Gagal mencapai remisi meskipun telah diberikan
terapi prednison 60 mg/m2/hari selama 4 minggu
Responder lambat Remisi terjadi setelah 4 minggu terapi prednison
60 mg/m2/hari tanpa tambahan terapi lain
Nonresponder awal Resisten-steroid sejak terapi awal
Nonresponder lambat Resisten-steroid terjadi pada pasien yang
sebelumnya responsif-steroid

Terapi Inisial
Terapi inisial pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa
kontraindikasi steroid sesuai dengan anjuran ISKDC adalah diberikan prednison
60 mg/m2 LPB/hari atau 2 mg/kgbb/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis
terbagi, untuk menginduksi remisi. Dosis prednison dihitung sesuai dengan berat
badan ideal (berat badan terhadap tinggi badan). Prednison dosis penuh (full
dose) inisial diberikan selama 4 minggu. Bila terjadi remisi dalam 4 minggu
pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 40 mg/m2 LPB (2/3
dosis awal) atau 1,5 mg/kgbb/hari, secara alternating (selang sehari), 1 x sehari
setelah makan pagi. Bila setelah 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh, tidak
terjadi remisi, pasien dinyatakan sebagai resisten steroid.

Gambar 5. Pengobatan Inisial Kortikosteroid


Pengobatan Sindrom Nefrotik Relaps
Skema pengobatan relaps dapat dilihat pada Gambar 3, yaitu diberikan
prednison dosis penuh sampai remisi (maksimal 4 minggu) dilanjutkan dengan
dosis alternating selama 4 minggu. Pada pasien SN remisi yang mengalami
proteinuria kembali ≥ ++ tetapi tanpa edema, sebelum pemberian prednison,
dicari lebih dahulu pemicunya, biasanya infeksi saluran nafas atas. Bila terdapat
infeksi diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila kemudian proteinuria menghilang
tidak perlu diberikan pengobatan relaps. Bila sejak awal ditemukan proteinuria ≥
++ disertai edema, maka diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan prednison mulai
diberikan.
Gambar 6. Pengobatan Sindrom Nefrotik Relaps (Trihono et al., 2008)
Keterangan : Pengobatan SN relaps  prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai
remisi (maksimal 4 minggu) kemudian dilanjutkan dengan prednison intermittent atau
alternating (AD) 40 mg/m2 LPB/hari selama 4 minggu.

Pengobatan Sindrom Nefrotik Relaps Sering atau Dependen Steroid


Terdapat 4 opsi pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid:
1. Pemberian steroid jangka panjang
2. Pemberian levamisol
3. Pengobatan dengan sitostatik
4. Pengobatan dengan siklosporin, atau mikofenolat mofetil (opsi terakhir)
Selain itu, perlu dicari fokus infeksi seperti tuberkulosis, infeksi di gigi,
radang telinga tengah, atau kecacingan. Faktor resiko relaps adalah onset
penyakit pada umur kurang dari 13 tahun, relaps terjadi pada 6 bulan pertama,
dan remisi lambat pada episode awal (Noer, 2002).

1. Steroid Jangka Panjang


Pada anak yang telah dinyatakan relaps sering atau dependen steroid,
setelah remisi dengan prednison dosis penuh, diteruskan dengan steroid dosis
1,5 mg/kgbb secara alternating. Dosis ini kemudian diturunkan perlahan/bertahap
0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu. Penurunan dosis tersebut dilakukan sampai dosis
terkecil yang tidak menimbulkan relaps yaitu antara 0,1 – 0,5 mg/kgbb
alternating. Dosis ini disebut dosis threshold dan dapat dipertahankan selama 6-
12 bulan, kemudian dicoba dihentikan. Umumnya anak usia sekolah dapat
bertoleransi dengan prednison 0,5 mg/kgbb, sedangkan anak usia pra sekolah
sampai 1 mg/kgbb secara alternating.
Bila relaps terjadi pada dosis prednison antara 0,1 – 0,5 mg/kgbb
alternating, maka relaps tersebut diterapi dengan prednison 1 mg/kgbb dalam
dosis terbagi, diberikan setiap hari sampai terjadi remisi. Setelah remisi maka
prednison diturunkan menjadi 0,8 mg/kgbb diberikan secara alternating,
kemudian diturunkan 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu, sampai satu tahap (0,2
mg/kgbb) di atas dosis prednison pada saat terjadi relaps yang sebelumnya atau
relaps yang terakhir.
Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/kgbb alternating,
tetapi < 1,0 mg/kgbb alternating tanpa efek samping yang berat, dapat dicoba
dikombinasikan dengan levamisol selang sehari 2,5 mg/kgbb selama 4-12 bulan,
atau langsung diberikan siklofosfamid (CPA).

2. Levamisol
Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent.13 Levamisol
diberikan dengan dosis 2,5 mg/kgbb dosis tunggal, selang sehari, selama 4-12
bulan. Efek samping levamisol adalah mual, muntah, hepatotoksik, vasculitic
rash, dan neutropenia yang reversibel.

3. Sitostatika
Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan SN anak
adalah siklofosfamid (CPA) atau klorambusil. Siklofosfamid dapat diberikan
peroral dengan dosis 2-3 mg/kgbb/hari dalam dosis tunggal maupun secara
intravena atau puls. CPA puls diberikan dengan dosis 500 – 750 mg/m2 LPB,
yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA
puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian
CPA puls adalah 6 bulan). Efek samping CPA adalah mual, muntah, depresi
sumsum tulang, alopesia, sistitis hemoragik, azospermia, dan dalam jangka
panjang dapat menyebabkan keganasan. Oleh karena itu perlu pemantauan
pemeriksaan darah tepi yaitu kadar hemoglobin, leukosit, trombosit, setiap 1-2 x
seminggu. Bila jumlah leukosit <3000/uL, hemoglobin <8 g/dL, hitung trombosit
<100.000/uL, obat dihentikan sementara dan diteruskan kembali setelah leukosit
>5.000/uL, hemoglobin >8 g/dL, trombosit >100.000/uL.
Efek toksisitas CPA pada gonad dan keganasan terjadi bila dosis total
kumulatif mencapai ≥200-300 mg/kgbb. Pemberian CPA oral selama 3 bulan
mempunyai dosis total 180 mg/kgbb, dan dosis ini aman bagi anak. Klorambusil
diberikan dengan dosis 0,2 – 0,3 mg/kg bb/hari selama 8 minggu.
Pengobatan klorambusil pada SNSS sangat terbatas karena efek toksik berupa
kejang dan infeksi.

4. Siklosporin (CyA)
Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau
sitostatik dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan dosis 4-5 mg/kgbb/hari
(100-150 mg/m2 LPB). Dosis tersebut dapat mempertahankan kadar siklosporin
darah berkisar antara 150-250 ng/mL. Pada SN relaps sering atau dependen
steroid, CyA dapat menimbulkan dan mempertahankan remisi, sehingga
pemberian steroid dapat dikurangi atau dihentikan, tetapi bila CyA dihentikan,
biasanya akan relaps kembali (dependen siklosporin). Efek samping dan
pemantauan pemberian CyA dapat dilihat pada bagian penjelasan SN resisten
steroid.

5. Mikofenolat mofetil (mycophenolate mofetil = MMF)


Pada SNSS yang tidak memberikan respons dengan levamisol atau
sitostatik dapat diberikan MMF. MMF diberikan dengan dosis 800 – 1200 mg/m2
LPB atau 25-30 mg/kgbb bersamaan dengan penurunan dosis steroid selama 12
- 24 bulan. Efek samping MMF adalah nyeri abdomen, diare, leukopenia.

Protokol pengobatan sindrom nefrotik relaps :

Gambar 7. Pengobatan Sindrom Nefrotik Relaps Sering dengan CPA Oral


(Trihono et al., 2008)
Keterangan : Prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu)
kemudian dilanjutkan dengan prednison intermittent atau alternating (AD) 40 mg/m2
LPB/hari dan siklofosfamid 2-3 mg/kgbb/hari, per oral, dosis tunggal selama 8 minggu
Gambar 8. Pengobatan Sindrom Nefrotik Dependen Steroid
(Trihono et al., 2008)
Keterangan :
Prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu), kemudian
dilanjutkan dengan siklofosfamid puls dengan dosis 500-750 mg/m2 LPB diberikan
melalui infus satu kali sebulan selama 6 bulan dan prednison intermittent atau alternating
(AD) 40 mg/m2 LPB/hari selama 12 minggu. Kemudian prednison ditapering-off dengan
dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1
bulan (lama tapering off 2 bulan).
atau
Prednison dosis penuh (FD) setiap hari sampai remisi (maksimal 4 minggu), kemudian
dilanjutkan dengan siklofosfamid oral 2-3 mg/kgbb/hari dosis tunggal selama 12 minggu
dan prednison alternating (AD) 40 mg/m2 LPB/hari selama 12 minggu. Kemudian
prednison ditapering-off dengan dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1 bulan, dilanjutkan dengan
0,5 mg/kgbb/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2 bulan).
Berikut ini ringkasan tatalaksana anak dengan SN relaps sering atau
dependen steroid :
Gambar 9. Diagram Pengobatan Sindrom Nefrotik SN Relaps Sering atau
Dependen Steroid (Trihono et al., 2008)
Keterangan :
1. Pengobatan steroid jangka panjang
2. Langsung diberi CPA
3. Sesudah prednison jangka panjang, dilanjutkan dengan CPA
4. Sesudah jangka panjang dan levamisol, dilanjutkan dengan CPA

Pengobatan Sindrom Nefrotik dengan Kontraindikasi Steroid


Bila didapatkan gejala atau tanda yang merupakan kontraindikasi steroid,
seperti tekanan darah tinggi, peningkatan ureum dan atau kreatinin, infeksi berat,
maka dapat diberikan sitostatik CPA oral maupun CPA puls. Siklofosfamid dapat
diberikan per oral dengan dosis 2-3 mg/kg bb/hari dosis tunggal, maupun secara
intravena (CPA puls). CPA oral diberikan selama 8 minggu. CPA puls diberikan
dengan dosis 500 – 750 mg/m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCL
0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis, dengan
interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan) (Trihono et al.,
2008).

Pengobatan Sindrom Nefrotik Resisten Steroid


Pengobatan SN resisten steroid (SNRS) sampai sekarang belum
memuaskan. Pada pasien SNRS sebelum dimulai pengobatan sebaiknya
dilakukan biopsi ginjal untuk melihat gambaran patologi anatomi, karena
gambaran patologi anatomi mempengaruhi prognosis.

1. Siklofosfamid (CPA)
Pemberian CPA oral pada SN resisten steroid dilaporkan dapat
menimbulkan remisi. Pada SN resisten steroid yang mengalami remisi dengan
pemberian CPA, bila terjadi relaps dapat dicoba pemberian prednison lagi karena
SN yang resisten steroid dapat menjadi sensitif kembali. Namun bila pada
pemberian steroid dosis penuh tidak terjadi remisi (terjadi resisten steroid) atau
menjadi dependen steroid kembali, dapat diberikan siklosporin.

2. Siklosporin (CyA)
Pada SN resisten steroid, CyA dilaporkan dapat menimbulkan remisi total
sebanyak 20% pada 60 pasien dan remisi parsial pada 13%.18 Efek samping
CyA adalah hipertensi, hiperkalemia, hipertrikosis, hipertrofi gingiva, dan juga
bersifat nefrotoksik yaitu menimbulkan lesi tubulointerstisial. Oleh karena itu pada
pemakaian CyA perlu pemantauan terhadap :
- Kadar CyA dalam darah: dipertahankan antara 150-250 nanogram/mL
- Kadar kreatinin darah berkala
- Biopsi ginjal setiap 2 tahun3.
Penggunaan CyA pada SN resisten steroid telah banyak dilaporkan
dalam literatur, tetapi karena harga obat yang mahal maka pemakaian CyA
jarang atau sangat selektif.

3. Metilprednisolon puls
Mendoza dkk. (1990) melaporkan pengobatan SNRS dengan metil
prednisolon puls selama 82 minggu + prednison oral dan siklofosfamid atau
klorambusil 8-12 minggu. Metilprednisolon dosis 30 mg/kgbb (maksimum 1000
mg) dilarutkan dalam 50-100 mL glukosa 5%, diberikan dalam 2-4 jam.

4. Obat imunosupresif lain


Obat imunosupresif lain yang dilaporkan telah digunakan pada SNRS
adalah vinkristin, takrolimus, dan mikofenolat mofetil. Karena laporan dalam
literatur yang masih sporadik dan tidak dilakukan dengan studi kontrol, maka
obat ini belum direkomendasi di Indonesia .
Gambar 9. Diagram Pengobatan Sindrom Nefrotik Resisten Steroid
(Trihono et al., 2008)
Keterangan:
• Sitostatik oral: siklofosfamid 2-3 mg/kgbb/hari dosis tunggal selama 3-6 bulan
• Prednison alternating dosis 40 mg/m2LPB/hari selama pemberian siklofosfamid oral.
Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1 bulan,
dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2 bulan).
atau
• Siklofosfamid puls dengan dosis 500-750 mg/m2 LPB diberikan melalui infus satu kali
sebulan selama 6 bulan yang dapat dilanjutkan tergantung keadaan pasien.
• Prednison alternating dosis 40 mg/m2LPB/hari selama pemberian siklofosfamid puls (6
bulan). Kemudian prednison ditapering-off dengan dosis 1 mg/kgbb/hari selama 1 bulan,
dilanjutkan dengan 0,5 mg/kgbb/hari selama 1 bulan (lama tapering off 2 bulan).

Pemberian Obat Non-Imunosupresif Untuk Mengurangi Proteiuria


Angiotensin converting enzyme inhibitor (ACEI) dan angiotensin receptor
blocker (ARB) telah banyak digunakan untuk mengurangi proteinuria. Cara kerja
kedua obat ini dalam menurunkan ekskresi protein di urin melalui penurunan
tekanan hidrostatik dan mengubah permeabilitas glomerulus. ACEI juga
mempunyai efek renoprotektor melalui penurunan sintesis transforming growth
factor (TGF)-β1 dan plasminogen activator inhibitor (PAI)-1, keduanya
merupakan sitokin penting yang berperan dalam terjadinya glomerulosklerosis.
Pada SNSS relaps, kadar TGF-β1 urin sama tinggi dengan kadarnya pada
SNRS, berarti anak dengan SNSS relaps sering maupun dependen steroid
mempunyai risiko untuk terjadi glomerulosklerosis yang sama dengan SNRS.23
Dalam kepustakaan dilaporkan bahwa pemberian kombinasi ACEI dan ARB
memberikan hasil penurunan proteinuria lebih banyak.
Pada anak dengan SNSS relaps sering, dependen steroid dan SNRS
dianjurkan untuk diberikan ACEI saja atau dikombinasikan dengan ARB,
bersamaan dengan steroid atau imunosupresan lain. Jenis obat ini yang bisa
digunakan adalah:

- Golongan ACEI: kaptopril 0.3 mg/kgbb diberikan 3 x sehari, enalapril 0.5


mg/kgbb/hari dibagi 2 dosis,26 lisinopril 0,1 mg/kgbb dosis tunggal
- Golongan ARB: losartan 0,75 mg/kgbb dosis tunggal

2.8 Komplikasi
Komplikasi medis dari sindrom nefrotik dapat berpotensi serius.
Komplikasi ini dapat dibagi menjadi dua sub kelompok utama : komplikasi akut
yang berkaitan dengan keadaan nefrotik, terutama infeksi dan penyakit
tromboemboli, dan gejala sisa jangka panjang sindrom nefrotik dan pengobatan,
terutama efek pada tulang, pertumbuhan, dan sistem kardiovaskular. Sebuah
aspek penting yang ketiga adalah dampak psikologis dan tuntutan sosial pada
anak yang mengalami sindrom nefrotik, dan keluarga mereka .

a. Komplikasi Infeksi
Infeksi berat, khususnya selulitis dan peritonitis bakteri spontan dapat
menjadi komplikasi sindrom nefrotik. Ketahanan terhadap infeksi bakteri
bergantung pada berbagai faktor predisposisi. Kerusakan pada proses
opsonisasi bergantung pada komplemen dapat memperlambat proses klirens
mikroorganisme yang berkapsul, khususnya Streptococcus pneumonia.
Vaksinasi pneumokokus disarankan bagi pasien dengan sindromnefrotik.
Sebagian besar anak-anak dengan sindrom nefrotik idiopatikterserang
virus varicella non-immune, sehingga diperlukan perlakuan khusus agar
terhindar dari paparan virus varicella.Terapi profilaksis denganimun globulin
varicella zoster disarankan untuk pasien non-imun yang mendapatkan
perawatan imunosupresif. Apabila terjadi serangan remisi, imunisasi dengan
vaksin varisela dapat diberikan karena aman dan efektif, meskipun dosis
tambahan diperlukan untuk mencapai imunitas penuh. Penggunaan asiklovir
oral dapat mencegah infeksi varisela berat pada pasien yang mengkonsumsi
obat kortikosteroid.
b. Komplikasi Tromboembolik
Pasien nefrotik memiliki resiko yang signifikan terjadinya trombosis.
Meskipun angka resiko lebih kecil dari pada dewasa, kejadian thrombosis
dapat menjadi komplikasi yang hebat.Terdapat berbagai faktor yang memicu
disregulasi dari koagulasi pada pasien sindrom nefrotik, antara lain
peningkatan sintesis faktor pembekuan (fibrinogen, II, V, VII, VIII, IX, X, XII),
antikoagulan (antithrombin III) yang keluar melalui urine, abnormalitas platelet
( thrombositosis, peningkatan agregabilitas), hiperviskositas, dan hiperlipemia.
Meskipun demikian tidak ada satu tes laboratorium pun yang dapat
memprediksi resiko pasti trombosis. Faktor yang dapat meningkatkan resiko
thrombosis antara lain penggunaan diuretik, terapi kortikosteroid, imobilisasi,
dan adanyain-dwelling kateter. Apabila diketahui terdapat klot pada anak
dengan nefrotik sindrom, pemeriksaan abnormalitas koagulasi dapat
dilakukan.
Obat-obatan anti koagulan profilaksis tidak disarankan karena memiliki
resiko yang tinggi. Meski demikian, setelah diketahui adanya clot dan telah
mendapatkan terapi, penggunaan warfarin profilaksis disarankan selama 6
bulan dan selama terjadi relaps. Pemasangan kateter intravena harus
dihindari, namun amat penting, sehingga pemberian antikoagulan profilaksis
dapat dipertimbangkan.LMWH merupakan agen alternatif, namun
membutuhkan antithrombin III agar dapat efektif. Aspirin dapat berguna
sebagai antikoagulan, khususnya pada trombositosis berat.

c. Penyakit Kardiovaskular
Berbagai faktor dapat meningkatkan perhatian sekuel kardiovaskular
pada anak dengan nefrotik sindrom dalam jangka waktu yang lama, antara
lain paparan terhadap kortikosteroid, hiperlipidemia, stresoksidatif, hipertensi,
hiperkoagulabilitas, dan anemia. Resiko kardiovaskular pada anak dengan
sindrom nefrotik berkaca pada penelitian kasus sindrom nefrotik pada
dewasa. Pada dewasa pasien dengan sindrom nefrotik memiliki resiko
terserang penyakit jantung koroner. Akan tetapi penelitian tentang adanya
penyakit jantung yang disebabkan oleh sindrom nefrotik masih
terdapatkontroversi, khususnya karena penyakit ginjal pada sebagian besar
anak dapat diatasi.

d. Komplikasi Medis yang Lain


Meskipun secara teoritis terdapat resiko penurunan kepadata ntulang
padapenggunaan kortikosteroid, prevalensi penyakit tulang pada anak dengan
sindrom nefrotik masih belum jelas.Selain Steroid, terdapat faktor lain yang
berpotensi menyebabkan penyakit tulang pada sindrom nefrotik. Protein
pengikat vitamin D yang keluar dalam urin dapat menyebabkan defisiensi
vitamin D, dan hiperparatiroid sekunder pada sebagian kecil kasus.Komplikasi
medis lain yang mungkin terjadi antara lain efek toksik obat, hipotiroidisme,
dan gagal ginjal akut.

2.9 Prognosis
Prognosis tergantung pada kausa sindrom nefrotik. Pada kasus anak,
prognosis adalah sangat baik kerana minimal change disease (MCD)
memberikan respon yang sangat baik pada terapi steroid dan tidak
menyebabkan terjadi gagal ginjal (chronic renal failure). Tetapi untuk penyebab
lain seperti focal segmental glomerulosclerosis (FSG) sering menyebabkan
terjadi end stage renal disease (ESRD). Faktor – faktor lain yang memperberat
lagi sindroma nefrotik adalah level protenuria, control tekanan darah dan fungsi
ginjal.
Prognosis umumnya baik kecuali pada keadaan-keadaan teretnrtu
sebagai berikut :
- Menderita untuk pertamakalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas 6
tahun
- Jenis kelamin laki-laki
- Disertai oleh hipertensi
- Disertai hematuria
- Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder
- Gambaran histopatologik bukan kelainan minimal
- Pengobatan yang terlambat, diberikan setelah 6 bulan dari timbulnyaa
gambaran klinis
Pada umumnya sebagian besar (+80%) sindrom nefrotik primer memberi
respons yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira
50% di antaranya akan relapse berulang dan sekitar 10% tidak memberi respons
lagi dengan pengobatan steroid.

2.10 Alur Rujukan


Keadaan-keadaan ini merupakan indikasi untuk merujuk pasien kepada
ahli nefrologi anak:

1. Awitan sindrom nefrotik pada usia di bawah 1 tahun, riwayat penyakit


sindrom nefrotik di dalam keluarga
2. Sindrom nefrotik dengan hipertensi, hematuria nyata persisten, penurunan
fungsi ginjal, atau disertai gejala ekstrarenal, seperti artritis, serositis, atau
lesi di kulit
3. Sindrom nefrotik dengan komplikasi edema refrakter, trombosis, infeksi
berat, toksik steroid
4. Sindrom nefrotik resisten steroid
5. Sindrom nefrotik relaps sering atau dependen steroid
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
 Sindrom nefrotik merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang
terdiri dari proteinuria masif, hipoalbuminemia, edema, dan dapat disertai
hiperlipidemia.
 Etiologi sindrom nefrotik dibagi menjadi tiga, yaitu kongenital,
glomerulopati primer/idiopatik, dan sekunder akibat penyakit sistemik.
 Gejala klinis sindrom nefrotik yang khas adalah pitting edema akibat
proteinuria dan hipoproteinemia. Gejala lain berupa komplikasi seperti
asites, efusi pleura, edema anasarka. Hipertensi juga dapat dijumpai
pada semua tipe sindrom nefrotik.
 Diagnosis sindrom nefrotik ditegakkan berdasarkan 4 hal, yaitu :
1. proteinuria masif (> 40 mg/m2 LPB/jam atau 50 mg/kg/hari atau
rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipstik ≥
2+)
2. Hipoalbuminemia < 2,5 g/dL
3. Edema
4. Dapat disertai hiperkolesterolemia > 200 mg/dL
 Penatalaksanaan pasien dengan sindrom nefrotik meliputi pengaturan
diit, penanggulangan edema, pengobatan steroid, dan edukasi orangtua.

3.2 Saran
Pada penulisan tinjauan pustaka sindrom nefrotik selanjutnya disarankan
untuk membahas sejauh mana kompetensi dokter umum dalam penatalaksanaan
sindrom nefrotik pada anak.
DAFTAR PUSTAKA

1.http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2013/12/Pustaka_Unpad_
Konsensus_-Tatalaksana_-Sindroma_-Nefrotik.pdf.pdf
2.Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editors. Sindrom Nefrotik.
Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi-2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI pp. 381-426.

3.Eddy, AA dan Symons, JM. 2012 Nephrotic syndrome in childhood. THE


LANCET , vol 362, hal. 629-639.

4. Kliegman, Behrman, Jenson, Stanton. 2007. Nephrotic Syndrome. Nelson


Textbook of Pediatric 18th ed. Saunders. Philadelphia. Chapter 527.

5. Daniel Bernstein .2014.ed ke-3.Ilmu Kesehatan anak untuk Mahasiswa


Kedokteran.hal 440.

5. Wila Wirya IGN: Penelitian beberapa aspek klinis dan patologi anatomis
sindrom nefrotik primer pada anak di Indonesia. Disertasi, FKUI. Jakarta 14
Oktober 2013.

You might also like