You are on page 1of 22

BAB I

PENDAHULUAN

Ensefalopati adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan kelainan

fungsi otak menyeluruh yang dapat akut atau kronik, progresif atau statis.

Ensefalopati yang terjadi sejak dini dapat menyebabkan gangguan

perkembangan neurologis. Pasien dengan ensefalopati dapat mengalami

kemunduran dalam fungsi kognitif umum, prestasi akademis, fungsi

neuropsikologik dan kebiasan. Skor intelegensi pasien yang mengalami

ensefalopati juga rendah jika dibandingkan anak seusianya Dari segi prestasi

akademis, pasien akan mengalami kesulitan untuk membaca, mengeja dan

aritmatik. Sedangkan fungsi neuropsikologikal dapat menjadi hiperaktif

maupun autis.(1)

Angka kejadian ensefalopati secara umum belum banyak diteliti,

penelitian dilakukan pada masing masing jenis ensefalopati. Penelitian yang

dilakukan di London, menunjukkan bahwa angka kejadian ensefalopati

hipoksik iskemik mencapai 150 per 57 ribu kelahiran hidup atau berkisar

2,64%.(2) Sedangkan penelitian yang dilakukan di Australia Timur

menunjukkan angka yang lebih tinggi 164 per 43 ribu kelahiran hidup atau

berkisar 3,8%.(3) Diperkirakan berkisar 30% kasus ensefalopati hipoksis pada

negara maju dan naik menjadi 60% pada negara berkembang berkairtan

dengan kejadian hipoksik iskemik intrapartum.(4)

1
Tidak ada data akurat terkait dengan angka kejadian ensefalopati hepatik.

Hepatik ensefalopati yang dapat diklasifikasikan menjadi ensefalopati hepatik

murni dan ensefalopati hepatik minimal. Ensefalopati hepatik murni terjadi

pada 30-45% pasien dengan sirosis hepatis dan 10-50% pada pasien shunting

transjugular intrahepatik portosystemic. Ensefalopati hepatik minimal

biasanya terdiagnosis pada pasien sirosis hepatis dan pada pasien hipertensi

portal nonsirosis. Kejadian ensefalopati hepatik minimal dilaporkan berkisar

20-84% pada pasien sirosis.(5)

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Ensefalopati adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan

kelainan fungsi otak menyeluruh yang dapat akut atau kronik, progresif
(6)
atau statis. Ensefalopati adalah disfungsi kortikal umum yang memiliki

karakteristik perjalanan akut hingga sub akut (jam hingga beberapa hari),

secara nyata terdapat fluktuasi dari tingkat kesadaran, atensi minimal,

halusinasi dan delusi yang sering dan perubahan tingkat aktifitas


(7)
psikomotor (secara umum meingkat, akan tetapi dapat menurun).

Penggunaan istilah ensefalopati menggambarkan perubahan umum pada

fungsi otak, yang bermanifestasi pada gangguan atensi baik berupa agitasi

hiperalert hingga koma. (8)

B. ETIOLOGI

Secara klinis, diagnosis ensefalopati digunakan untuk menggambarkan

disfungsi otak difuse yang disebabkan oleh gangguan faktor sistemik,

metabolik, atau toksik.(8) Etiologi ensefalopati pada anak meliputi

penyebab infeksi, toksis (misalnya karbon monoksida, obat, timah hitam),

metabolik dan iskemik.(6)

3
C. EPIDEMIOLOGI

Angka kejadian ensefalopati secara umum belum banyak diteliti,

penelitian dilakukan pada masing masing jenis ensefalopati. Penelitian

yang dilakukan di London, menunjukkan bahwa angka kejadian

ensefalopati hipoksik iskemik mencapai 150 per 57 ribu kelahiran hidup

atau berkisar 2,64%.(2) Sedangkan penelitian yang dilakukan di Australia

Timur menunjukkan angka yang lebih u tinggi 164 per 43 ribu kelahiran

hidup atau berkisar 3,8%.(3) Diperkirakan berkisar 30% kasus ensefalopati

hipoksis pada negara maju dan naik menjadi 60% pada negara

berkembang berkairtan dengan kejadian hipoksik iskemik intrapartum.(4)

Ensefalopati terkait sepsis terjadi berkisar 9% hingga 71% pada

pasien yang menderita sepsis. Angka kejadian ensefalopati akibat timbal

juga sulit ditemukan, angka yang tersedia adalah kadar timbal dalam

serum yang lebih dari 10mcg/dL berkisar 88% pada 3 tahun terakhir.

Dimana kadar yang lebih dari 10mcg/dL pada darah dapat menyebabkan

ensefalopati pada anak.(9) Prevalensi asam valproat menginduksi keadaan

hiperamonia adalah berkisar 35-45%.(10)

Tidak ada data akurat terkait dengan angka kejadian ensefalopati

hepatik. Hepatik ensefalopati yang dapat diklasifikasikan menjadi

ensefalopati hepatik murni dan ensefalopati hepatik minimal. Ensefalopati

hepatik murni terjadi pada 30-45% pasien dengan sirosis hepatis dan 10-

50% pada pasien shunting transjugular intrahepatik portosystemic.

4
Ensefalopati hepatik minimal biasanya terdiagnosis pada pasien sirosis

hepatis dan pada pasien hipertensi portal nonsirosis. Kejadian ensefalopati

hepatik minimal dilaporkan berkisar 20-84% pada pasien sirosis.(5)

D. KLASIFIKASI

1. Ensefalopati akibat infeksi

a. Definisi. Infeksi sistem saraf pusat termasuk didalamnya meningitis,

meningoensefalitis, ensefalitis, empiema subdural atau epidural dan abses otak.

Virus dan bakteri menyebabkan meningitis, infeksi jamur dapat terjadi pada

pasien yang menjalani transplantasi dan pada pasien yang mengalami

imunosupresi.(6) Ensefalitis dan ensefalopati harus dapat dibedakan, dimana pada

ensefalopati terjadi kerusakan fungsi otak tanpa adanya proses inflamasi langsung

di dalam parenkim otak.(11) Neonatus tidak selalu memberikan gejala ubun ubun

besar yang menonjol. Pasien dapat menunjukkan gejala ensefalopati global seperti

koma atau status epileptikus. Diagnosis dan pengobatan awal dengan antibiotik

atau antiviral yang sesuai menjadi penting.(6)

Ensefalopati yang disebabkan oleh infeksi sistemik adalah keadaan yang paling

sulit dibedakan dengan ensefalitis. Perbedaan yang dapat diidentifikasi antara

ensefalopati dan ensefalitis pada umumnya dapat dilihat pada tabel berikut.(12)

5
Disfungsi serebral difuse ataupun multifokal yang diinduksi oleh respons

sistemik terhadap infeksi tanpa bukti klinis maupun laboratoris adanya infeksi

otak secara langsung disebut dengan ensefalopati sepsis.(13, 14)

b. Patogenesis. Patogenesis ensefalopati sepsis masih belum jelas. Beberapa

kemungkinan diajukan sebagai penyebab adanya kerusakan otak selama sepsis

berat yaitu efek endotoksin dan mediator inflamasi, disfungsi sawar darah otak

dan kerusakan cairan serebro spinal, perubahan asam amino dan neurotransmiter,

apoptosis, stres oksidatif dan eksitotoksisitas, akan tetapi hipotesis yang paling

dipercaya adalah moltifaktorial.(13)

c. Gejala Klinis. Ensefalopati sepsis pada umumnya terjadi awal sepsis berat dan

menyebabkan gagal multiorgan. Keadaan klinis yang paling sering ditimbulkan

adalah penurunan tingkat kesadaran dari mulai penurunan kewaspadaan ringan

hingga tak berespon dan koma. Status konfusional fluktuatif, inatensi dan

kebiasaan yang tidak sesuai juga terkadang timbul pada pasien ensefalopati

ringan. Pada kasus yang lebih berat dapat menimbulkan delirium, agitasi dan

6
deteriorasi kesadaran dan koma. Gejala motorik jarang terjadi pada ensefalopati

sespsis, dan banyak terjadi pada ensefalopati metabolik, misalnya asteriksis,

mioklonus dan tremor. Pada ensefalopati sepsis yang mungkin timbul adalah

berupa rigiditas paratonik, merupakan resisten yang tergantung pada kecepatan

menjadi gerakan pasif. Kejang juga dapat timbul pada ensefalopati septik, tetapi

tidak umum, disfungsi saraf kranial dan lateralisasi jarang terjadi dan harus dapat

menyingkirkan penyebab lain yang mungkin. (13)

d. Diagnosis. Diagnosis ensefalopati sepsis secara klinis tergantung pada

penyingkiran penyebab lain yang mungkin dari deteriorisasi otak (metabolik atau

struktural). EEG merupakan merupakan salah satu pemeriksaan penunjang yang

sensitif dan dapat menunjukkan abnormalitas walaupun pemeriksaan neurologis

normal. Pola EEG yang dapat ditemukan pada ensefalopati sepsis adalah normal

EEG, eksesif theta, predominan delta, gelombang triphasik, supresi. Pemeriksaan

EEG pada ensefalopati septik ini tidak spesifik, karena juga dapat ditemukan pada

pengaruh sedasi dan kerusakan metabolik. CT Scan kepala tidak ditemukan

kelainan, akan tetapi dilakukan pemeriksaan untuk menyingkirkan adanya

kerusakan otak yang disebabkan oleh hipoksik/iskemik. Perkembangannya adalah

penggunaan biomarker untuk mendeteksi adanya ensefalopati septik, yaitu S100B

dan NSE. S100B adalah protein yang terikat oleh kalsium yang dihasilkan oleh

sistem saraf pusat, terutama oleh sel astroglial. S100B akan meningkat pada

serum dan cairan serebro spinal setelah terjadi cedera otak. NSE adalah enzim

glikolitik intrasitoplasmik enolase, yang dapat ditemukan pada sel saraf dan

7
jaringan neuroendokrin dan meningkat pada sirkulasi darah setelah meningkatnya

kematian sel saraf.(13)

e. Penatalaksanaan. Pengobatan ensefalopati septik secara khusus masih belum

ada, penanganannya dilakukan dengan penanganan sepsis pada umumnya.(13)

Dibutuhkan terapi suportif seperti menjaga suhu lingkungan yang hangat,

memberi pengobatan simptomatik seperti muntah, anemia dan demam. Kemudian

dilakukan pemberian antibiotik untuk penanganan definitif selama kurang lebih

14 hari.(13)

2. Ensefalopati akibat toksis

Ensefalopati yang diinduksi obat.

a. Definisi. Ensefalopati nonsirosis hiperamonia merupakan salah satu komplikasi

dari pemberian asam valproat, tanpa disertai adanya penyakit liver primer

sebelumnya.(10)

b. Gejala Klinis. Biasanya kasus asimptomatik dan disertai adanya peningkatan

ringan enzim liver serum. Secara klinis pasien dapat menunjukkan keadaan

dimana tejadi disfungsi kognitif dalam beberapa derajat. Gejala dapat dimulai

pada 2 minggu awal setelah terapi dimulai hingga berkisar 3-5 tahun

berikutnya.(10)

c. Patogenesis. Asam valproat dapat juga menginduksi hepatotoksisitas dengan

mekanisme yang menyerupai hiperamonia hepatik dengan adanya gejala

neurologis. Pada beberapa kasus hal ini berkaitan dengan defisensi enzim siklus

urea, ornithine transcarbamilase, dengan outcome yang jelek. Intake asam

8
valproat, yang merupakan asam lemak, dapat menginduksi hiperamonia dengan

cara metabolisme nya dalam hati, yang menghasilkan metabolit toksik yang dapat

menghambat carbamoyl phosphate synthetase, yang merupakan reaksi enzimatik

pertama pada siklus urea, yang dapat mencegah ekskresi ammonia. Asam valproat

juga menurunkan level kreatinin dengan meningkatkan ekskresi dalam bentuk

kompleks asam valproat-kartinin. Defisiensi kartinin mengurangi fungsi

mitokondria, dengan menghambat siklus urea dalam hati.(10)

d. Etiologi. Anti konvulsan lainnya yang dapat berefek seperti asam valproat

adalah fenobarbital dan phenytoin. Fenobarbital dan phenitoin meningkatkan

kadar ammonia pada pasien yang mengkonsumsi asam valproat secara bersamaan.

Pada salah satu penelitian, penambahan toporimate, inhibitor siklus urea lainnya,

pada penggunaan asam valproat, mempercepat terjadinya ensefalopati pada pasien

asimtomatis. Beberapa obat lainnya yang dapat menyebabkan keadaan

hiperamonia, yang mungkin dapat merusak siklus urea atau meningkatkan

produksi ammonia renal ke dalam sirkulasi. Obat tersebut antara lain glysin yang

digunakan selama reseksi prostat transuretra, yang menstimulasi produksi

ammonia, selain itu carbamazepin, ribavirine, sulfadiazine dengan pirimetamin

dan salisilat sosis tinggi.(10)

e. Penatalaksanaan. Pengobatan utama pada ensefalopati yang diinduksi oleh

penggunaan asam valproat adalah dengan menghindari konsumsi asam valproat,

yang dapat memberikan perbaikan utuh dalam waktu beberapa hari. Suplementasi

1carnitine juga menunjukkan penurunan gejala toksisitas yang diinduksi asam

valproat.(10)

9
Ensefalopati akibat timbal.

a. Definisi. Penggunaan timbal banyak digunakan dalam kehidupan sehari hari.

Timbal digunakan untuk alat masak, pipa, dan barang pecah belah lainnya. Bentuk

intoksikasi timbal dapat menyebabkan kebutaan, kolik, nyeri persendian, dan

bentuk terparah berupa ensefalopati.(9)

b. Patofisiologi. Anak-anak lebih sensitif terhadap intoksikasi timbal dibandingkan

pada dewasa karena berbagai sebab. Eksposure pada anak anak sangat dipengaruhi

oleh kebiasaan pica. Pada saluran pencernaan anak juga mengabsorbsi timbal lebih

cepat dibandingkan pada dewasa dan sistem saraf pusat pada anah lebih mudah

diserang agen toksik dibandingkan dengan sistem saraf pusat matur.(15)

Timbal dapat melewati sawar darah otak, ditransmisikan melalui plasenta dan air

susu.(16) Timbal menimbulkan mekanisme toksisitasnya melalui ikatan kuat dengan

kelompok sulfhidril pada protein dan enzim. Ikatan ini akan menimbulkan toksik

pada beberapa sistem enzim.(15)

c. Diagnosis. Di Amerika kadar normal timbal dalam darah adalah kurang dari

5mcg/dL, dan mencapai kadar toksik pada kadar lebih dari 10mcg/dL, khususnya

pada anak anak. Kadar protophyrin digunakan sebagai alat diagnostik pada toksisitias

timbal karena enzim yang berdasarkan heme yang disebabkan oleh timbal.

Peningkatan protopirin seiring dengan peningkatan kadar timbal pada serum.

Peningkatan protrofirin terjadi pada 6-8 minggu setelah paparan dan nilai normal dari

protophirin adalah kurang dari 35 mcq/dL.(16)

d. Gejala klinis. Pada keadaan akut ensefalopati pasien dapat mengeluhkan nyeri

kepala, muntah, ataksia, kejang, paralisisi, stumor dan koma. Pada ensefalopati

kronik, pasien dapat kehilangan memori, ketidaknormalan

10
kebiasaan, depresi, ataksia, kejang, kebingungan dan kehilangan persepsi sensorik.

Selain itu toksisitas timbal dapat menyebabkan gangguan dalam belajar, pengurangan

IQ dan perburukan kebiasaan. (16)

e. Penatalaksanaan. Terapi farmakologik dengan chelating agent tidak memperbaiki

kerusakan neurokognitif pada anak karena toksisitas timbal. Terapi farmakologis

yang dapat digunakan antara lain dimercaprol 25mg/kgBB/hari, Calsium disodium

ethylenediammine tetraacetic acid (CaNa2 EDTA) dengan dosis 50mg/kgBB/hari

drip dengan NaCl atau D5%, Succimer dengan dosis 10mg/kgBB/8jam selama 5 hari

atau D-penicillamin 10-15mg/kgBB selama 4-12 minggu.(16)

3. Ensefalopati akibat metabolik

a. Definisi dan Klasifikasi. Ensefalopati dengan masalah metabolik sebagai

dasarnya merupakan masalah baik bagi neonates maupun anak, dengan outcome

fungsional bergantung pada waktu dan intervensi yang hati hati. Ensefalopati

metabolik adalah pengertian umum keadaan klinis yang ditandai dengan :

1) Penurunan kesadaran sedang sampai berat

2) Gangguan neuropsikoatrik: kejang, lateralisasi

3) Kelainan fungsi neurotransmitter otak

4) Tanpa di sertai tanda tanda infeksi bakteri yang jelas.

Gannguan metabolik yang biasa terjadi adalah disfungsi hepar, disfungsi renal,

dan gangguan metabolik. Gannguan yang paling sering terjadi adalah disfungsi

hepar, sehingga yang dibahas dalam referat kali ini adalah ensefalopati hepatic.

Terdapat tiga varian ensefalopati metabolik pada anak, dua varian pertama sangat

berhubungan. Kerusakan genetik dari metabolisme dapat menimbulkan bayi

11
dengan ensefalopati yang berat dari hanya hiperammonemia saja. Ketika

kerusakan metabolik terjadi setelah beberapa bulan hingga tahun kemudian,

derajat insufisiensi hepar dapat mempersulit kerusakan metabolik tersebut. Pada

hepatitis akut maupun fulminan karena beberapa etiologi (misalnya infeksi, obat,

toksik) peningkatan ammonia serum mungkin hanya sedang tapi faktor lain yang

berkontribusi terjadinya ensefalopati yang dapat terjadi dalam beberapa hari. Varian

ke tiga, ensefalopati berat dihasilkan oleh ketoasidosis diabetik. Edema serebral yang

sangat berkaitan dengan ketoasidosis diabetik. (17)

b. Patofisiologi. Perlu ditekankan bahwa patofisiologi ensefalopati hepatik pada

anak sangat berbeda dengan yang terjadi pada dewasa dimana selalu terdapat

penyakit hati kronik dan sirosis. Pada anak kerusakan hepar terjadi secara akut.

Penyebab ensefalopati hepatik pada anak bervariasi dari virus hepatitis, hingga

kerusakan metabolisme sejak lahir, sebaliknya pada dewasa, penyakit hepar yang

disebabkan oleh alkohol lebih banyak terjadi. Selain itu pada anak edema serebral

merupakan komplikasi yang penting yang dapat ditemukan pada stadium awal.(18)

Terdapat empat teori terjadinya kerusakan saraf pada hepatitis fulminan,

akumulasi dari ammonia, kesalahan neurotransmiter yang berada pada otak, ligan

yang tidak normal pada reseptor γ amino butyric acid benzodiazepine (GABA-

BDZ), deposit mangan pada ganglia basalis.(18)

c. Gejala Klinis

Derajat gangguan status mental pada ensefalopati diklasifikasikan berdasarkan

kriteria West Haven, berkisar dari gangguan pola tidur hingga perubahan fungsi

kognitif dan koma dalam. (19)

12
Tabel 3. Gejala Klinis ensefalopati hepatik(19)

Penilaian tingkat kesadaran lain yang bisa digunakan secara lebih objektif adalah

Glasgow Coma Scale (GCS), akan tetapi tidak khusus mengukur ensefalopati

hepatik.(19)

d. Penatalaksaan. Pengobatan yang banyak dilakukan pada pasien dengan

ensefalopati hepatik adalah perawatan suportif, identifikasi dan pengobatan

terhadap faktor yang mempercepat, mereduksi produk nitrogen oleh usus dan

identifikasi pasien yang membutuhkan terapi jangka panjang.

e. Pencegahan

Untuk mencegah terjadinya ensefalopati metabolic adalah terutama dengan

member pengobatan sesegera mungkin jika ditemui adanya gangguan di hati.

Selain itu bila memiliki penyakit hati sebelumnya, sebaiknya memeriksakan rutin

untuk mencegah terjadinya enefalopati.(18)

13
f. Prognosis

Ensefalopati hepatic merupakan penyakit hati stadium terminal dnegan tanda

prognostic yang jelek dan mengindikasikan tingkat survival yang pendek. Pada

penelitian yang telah dilakukan menunjukkan 42% dapat bertahan hidup dalam

waktu satu tahun, sedangkan 23% yang dapat bertahan hingga tiga tahun.

4. Ensefalopati akibat iskemik

a. Definisi. Ensefalopati hipoksik iskemik merupakan penyebab cedera permanen

yang penting pada sel sistem saraf pusat yang mengakibatkan kematian neonatus

atau nantinya, jejas dapat bermanifestasi sebagai palsi serebral atau defisiensi

mental.(6)

b. Patofisiologi. Hipoksia merujuk pada kadar oksigen arteria yang kurang dari

normal, dan iskemia merujuk pada aliran darah ke sel atau organ tidak mencukupi

untuk mempertahankan fungsi normalnya. Penyebab terjadinya keadaan hipoksia

dapat dibagi menjadi dua yaitu saat di dalam kandungan dan setelah dilahirkan.

Penyebab saat di dalam kandungan terdiri dari(6):

1) Oksigenasi darah ibu yang tidak mencukupi akibat hipoventilasi selama

anestesi, penyakit jantung sianosis, gagal pernapasan, atau keracunan karbon

monoksida

2) Tekanan darah ibu yang rendah akibat hipotensi yang dapat merupakan

komplikasi anestesi spinal atau akibat kompresi vena kaca dan aorta pada uterus

gravid

14
3) Relaksasi uterus tidak cukup memberikan pengisian plasenta akibat adanya

tetani uterus yang disebabkan oleh pemberian oksitosin berlebihan

4) Pemisahan plasenta premature

5) Sirkulasi darah melalui tali pusat terhalang akibat adanya kompresi atau

pembentukan simpul pada tali pusat

6) vasokonstriksi pembuluh darah uterus oleh kokain

7) insufisiensi plasenta karena berbagai sebab, termasuk toksemia dan pasca

maturitas.

Hipoksia yang tejadi sesudah lahir, dapat merupakan akibat dari (6):

1) Anemia cukup berat, yang sampai menurunkan kandungan oksigen darah ke

tingkat kritis, akibat perdarahan berat atau penyakit hemolitik

2) Syok cukup berat, yang sampai mengganggu pengangkutan oksigen ke sel sel

vital, akibat perdarahan adrenal, perdarahan intraventrikular, infeksi yang

berlebihan atau kehilangan darah yang masif.

3) Kurangnya saturasi oksigen arteria disebabkan gagal terjadinya pernapasan

yang adekuat pada pasca lahir, akibat cacat, nekrosis atau jejas pada otak

4) Kegagalan oksigenasi sejumlah darah yang adekuat akibat adanya bentuk

penyakit jantung kongenital sianosis atau defisiensi fungsi paru yang berat.

c. Gejala Klinis Secara khas, ensefalopati hipoksia iskemik pada neonatus

memiliki karakteristik edema serebral, nekrosis kortikal, dan keterlibatan ganglia

basalis, sedangkan pada neonatus preterm, memiliki karakteristik periventrikular

15
leukomalasia. Kedua lesi dapat menyebabkan atropi kortikal, retardasi mental dan

kuadriplegi atau diplegi spastika.(20)

Sesudah lahir, kombinasi hipoksia janin kronis dan jejas hipoksik iskemik

mengakibatkan neuropatologi spesifik sesuai umur kehamilan. Bayi cukup bulan

memperlihatkan nekrosis neuron korteks (nantinya atrofi korteks) dan jejas

iskemia parasagital. Bayi preterm memperagakan LPV (nantinya diplegia spastik),

status marmoratus ganglia basalis, dan PIV. Bayi cukup bulan, lebih sering dari

pada bayi preter, memperlihatkan infark korteks setempat atau multifocal yang

menghasilkan kejang kejang setempat (fokal) dan hemiplegia. Perangsangan asam

amino dapat memainkan peranan penting dalam pathogenesis asfiksia jejas otak.(6)

Gejala klinis dan karakteristik ensefalopati hipoksik iskemik sangat bermacam

macam bergantung pada beratnya cedera yang ditimbulkan. Pucat, sianosis,

apnea, frekuensi denyut jantung lambat dan tidak memberikan respons terhadap

rangsangan merupakan beberapa tanda umum terjadinya ensefalopati hipoksik

iskemik. Neonatus dengan ensefalopati hipoksik iskemik derajat keparahan 3

biasanya hipotonus, walaupun awalnya terlihat hipertonus dan kewaspadaan yang

meningkat sesaat setelah dilahirkan. Seiring berkembangnya edema serebral,

fungsi otak menurun, depresi kortikal menyebabkan koma, dan depresi batang

otak menyebabkan apneu. Seiring berkembangnya edema serebri, akan terjadi

kejang yang dimulai saat 12-24 jam setelah lahir. Neonatus juga tidak memiliki

tanda respirasi spontan, hipotonus, dan menurun atau tidak adanya reflek

tendon.(20)

16
Tabel 4. Gejala klinis ensefalopati hipoksik iskemik pada neonatus(20)

d. Penatalaksanaan. Pencegahan dan pengobatan nantinya diarahkan pada

keadaan dasar yang menyebabkannya, kematian dan ketidakmampuan kadang

kadang dapat dicegah melalui pengobatan terhadap gejala yang timbul dengan

memberikan oksigen atau pernafasan buatan dan koreksi disfungsi multiorgan

terkait.(6)

Edema otak dapat timbul pada 24 jam berikutnya dan mengakibatkan depresi

batang otak yang berat. Selama waktu ini dapat terjadi aktivitas kejang yang

mungkin berat dan kejang ini refrakter terjadap dosis biasa antikonvulsi.

Lorazepam (0,05-0,1 mg/kgBB, iv) dapat digunakan selama kejang akut,

sedangkan untuk mensupresi kejang secara terus menerus mungkin memerlukan

dosis pembebanan i.v. 20-25mg/kgBB fenobarbital atau 20mg/kgBB fenitoin.

Walaupun sebagian besar kejang sering merupakan akibat dari ensefalopati

hipoksik iskemik, kejang pada bayi baru lahir yang mengalami asfiksia dapat juga

17
disebabkan oleh hipokalsemi atau hipoglikemia.(6) Pada keadaan hipoksik iskemik

terjadi turunnya suhu berkisar 20C. Terapi hipotermia lebih bermaksud pada

resusitasi dibandingkan dnegan neuroprotektor. Pada bayi dengan respon minimal

pada resusitasi konvensional, ditempatkan pada tempat berisi air dingin berkisar

23-300C, dan didiamkan hinggan ia menangis.

e. Prognosis. Pasien yang dapat hidup dengan ensefalopati hipoksik iskemik

stadium 3 memiliki insidensi kejang yang tinggi dan mengalami kecacatan yang

serius terutama pada perkembangan sarafnya, Prognosis dari asfiksia berat juga

tergantung pada cedera pada sistem organ lain.(20)

5. Ensefalopati lainnya

Serebral Palsi

a. Definisi. Serebral palsi adalah ensefalopati statis yang mungkin didefinisikan

sebagai kelainan postur dan gerakan non progresif, sering disertai dengan epilepsy

dan ketidak normalan bicara, penglihatan, dan kecerdasan akibat dari cacat atau

lesi otak yang sedang berkembang. CP

merupakan suatu kelainan yang lazim dan diperkirakan prevalensi berkisar

2/1.000 populasi.(6)

b. Epidemiologi dan Etiologi. Collaborative Perinatal Object, melaporkan

bahwa angka prevalensi CP berkisar 4/1.000 bayi lahir hidup. Asfiksia lahir

merupakan penyebab CP yang tidak lazim, lagi pula kehamilan yang beresiko

inggi membuahkan anak yang normal secara neurologis. Meskipun CP tidak dapat

dikenali penyebabnya pada sebagian besar kasus, sejumlah besar anak yang

mengalami CP juga menderta anomali congenital di luar sistem saraf pusat, yang

18
dapat menempatkan mereka pada resiko tinggi terjadinya asfiksia pada periode

perinatal.(6)

c. Gejala Klinis. CP dapat diklasifikasikan dengan gambaran cacat motorik dalam

kaitannya dengan kategori fisiologis, topografis dan etiologis dan kapasitas

fungsional. (6)

Klasifikasi fisiologis mengenali kelainan motorik utama, sedang toksonomi

topografis menunjukkan keterlibatan tungkai. CP juga lazim disertai dengan

spectrum kecacatan perkembangan, termasuk retardasi mental, epilepsi dan

kelainan penglihatan, pendengaran, bicara, kognitif, dan perilaku. Cacat motorik

meungkin merupakan masalah anak yang paling ringan.(6)

E. DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis ensefalopati adalah masing masing jenis ensefalopati (iskemik,

metabolik, toksik dan septik) selain itu ensefalopati juga harus dibedakan dengan:

19
1. Ensefalitis

2. Perdarahan intracranial

3. Edema serebri

F. KOMPLIKASI

Ensefalopati merupakan komplikasi dari beberapa keadaan yang mendasarinya

seperti iskemia, metabolic, toksik maupun septik. Keadaan yang bisa timbul bila

ensefalopati terjadi adalah ganguan perkembangan, bahkan hingga kematian.

20
DAFTAR PUSTAKA
1. Handel MV, Swaab H, De Vries LS, Jongmans MJ. Long term cognitive and
behavioral consequences of neonatal encephalopathy following perinatal
asphyxia: a review. European Journal Pediatric. 2007;166: 645-654.

2. Evans K, Rigby AS, Hamilton P, Titchner N, Hall DM. The relationship


between neonatal encephalopathy and cerebral palsy: a cohort study. J Obstet
Gynaecol. 2001;21: 114–20.

3. Badawi N, Kurinczuk JJ, Keogh JM, Alessandri LM, O'Sullivan F, Burton PR,
et al. Intrapartum risk factors for newborn encephalopathy: the Western Australia
case–control study. Br Med J .1998;317: 1554–8.

4. Kurinczuk JJ, White-Koning M, Badawi N. Epidemiology of neonatal


encephalopathy and hypoksic ischemic encephalopathy. Early Human
Development. 2010;86: 329-338.

5. Benedeto-Stojanov D, Stojanov D. Minimal Hepatik Encephalopaty. In: Editor


Team Faculty of Medicine University of Nis Serbia. Miscellanea on
Encephalopaties—A Second Look. Europe: InTech. 2010.

6. DiCarlo JV, Frankel LR. Neurologic Stabilization. In: Behrman RE, Kliegman
RM, Jenson HB. (eds.) Nelson TextBook of Pediatrics. 17th ed. Philadelphia:
Saunders An Imprint of Elsevier Science. 2004.

7. Atri A, Milligan TA, Reddy KC, Kayser AS. Encephalopathy: Approch to


Diagnosis and Care. Neurology. 2008;12: 1-2.

8. Lewis SL. Encephalopaty dalam Emergency Neurology. USA: Spingerlink;


2012. p283-294.

9. Chandran L, Catalado R. Lead Poisoning: Basic and New Developments.


Pediatrics in Review. 2010;31(10):399-407.

10. Laish I, Ari ZB. Noncirrhotic hyperammonaemic encephalopathy. Journal of


The International Association for Study of The Liver. 2011; 1259-1270.

21
11. Tunkel AR, Glaser CA, Bloch KC, Sejvar JJ, Marra CM, Roose KL. et al. The
Management of Encephalitis: Clinical Practice Guidelines by the Infectious
Diseases Society of America. CID.2008;47(1): 303-327.

12. Kennedy PGE. Viral Encephalitis: Cause, Differential Diagnosis and


Management. Journal of Neurology Neurosurgery Psychiatry. 2004;75: i10-i15

13. Cotena S, Piazza O. Sepsis Associated Encephalopathy. Traditional Medicine.


2012;2(3): 20-27.

14. Papadopoulus MC, Cavies DC, Moss RF, Tighe D, Bennett ED.
Encephalopathy. Critical Care Medicine. 2000; 28(8): 3019-3024.

15. Olympio KPK, Goncalves C. Neurotoxicity and aggressiveness triggered by


low level lead in children: a review. Panam American Journal Public Health.
2009; 26(3): 266- 275.

16. Karii SK, Saper RB, Kales SN. Lead Encephalopathy Due to Traditional
Medicines. Curr Drug Saf. 2008;3(1): 54-59.

17. McCandless, D.W. Metabolic Encephalopathy. USA: Spinger Science. 2007.

18. Arya R, Gulati S, Deopujari S, Management of hepatik encephalopathy in


children. Postgraduation Medical Journal. 2010;86: 34-41.

19. Cash WJ, Mcconville P, Mcdermott E, Mccormick PA, Callender ME,


McDougal NI. Current concept in the assessment and treatment of Hepatik
Encephalopathy. Q J Med. 2010;103: 9-16.

20. Gowen CW. Assessment of the Mother, Fetus and Newborn. In: Kliegman
RM, Marcdante KJ, Jenson HB, Behrman RE. (eds.) Essential of Pediatrics. 5th
ed. Philadelphia: Saunders An Imprint of Elsevier Science. 2007.

22

You might also like