You are on page 1of 64

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.Konsep Penyakit Kusta


1. Definisi
Penyakit kusta adalah suatu penyakit menular yang masih
merupakan masalah yang sangat kompleks. Masalah bukan hanya saja dari
segi medis, tetapi dari segi social, ekonomi, budaya., keamanan, konsep diri.
Kusta disebabkan karena kuman M.Leprae. nama lain kusta adalah “the
great imitator” (pemalsu yang ulung) karena manifestasi penyakitnya
menyerupai penyakit kulit atau penyakit saraf lain misalnya seperti penyakit
jamur (Widoyono, 2011)
Kusta, Lepra (Morobus Hansen) adalah penyakit infeksi kronis yang
disebabkan oleh kuman Mycobacterium Leprae yang menyerang saraf tepi
(primer)., kulit, dan jaringan tubuh lainnya, kecuali susunan saraf pusat.
Dimana Kuman penyebabnya adalah Mycobacterium Leprae yang
ditemukan oleh G.A. Hansen pada tahun 1874 di Norwegia. Mycobacterium
Leprae berbentuk hasil dengan ukuran 3-8 Um x 0,5 Um, tahan asam dan
alcohol. (Muttaqin & Sari, 2011)
Lepra yang disebut juga sebagai penyakit Hansen ini disebabkan
oleh Mycobacterium Leprae, suatu kuman tahan asam yang menimbulkan
lesi kulit, kerusakan saraf perifer dan kerusakan jaringan yang progresif
(Soedarto, 2010)
Lepra atau Kusta atau penyakit Hansen atau Morbus Hansen adalah
penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium Leprae. Penyakit ini
menyerang tubuh manusia, terutama dikulit, dan susunan saraf tepi.
Memerlukan waktu yang cukup lama dalam perjalanan penyakitnya atau
dikenal sebagai penyakit kronis. Penyakit lepra ditakuti masyarakat karena
merupakan penyakit menular, dapat mengakibatkan cacat jasmani dan
pengasingan oleh keluarga (Sasika, 2011).
Jadi dapat disimpulkan bahwa Kusta atau lepra (leprosy) atau disebut
juga Morbus Hansen merupakan penyakit menular kronis yang disebabkan

8
9

oleh bakteri Mycobacterium leprae, melalui kulit dan mukosa hidung.


Penyakit kusta terutama menyerang saraf tepi, kulit dan organ tubuh lain
kecuali susunan saraf pusat yang apabila tidak didiagnosis dan diobati
secara dini dapat menimbulkan kecacatan dan mempunyai masalah yang
cukup kompleks. Kusta juga sering disebut sebagai “the great imitator”
(pemalsu yang ulung) karena manifestasi penyakitnya menyerupai penyakit
kulit atau penyakit saraf lain misalnya seperti penyakit jamur.

2. Klasifikasi kusta
Diagnosis penyakit kusta di dasarkan pada gambaran klinis.,
bakterioskopis, hispatologis, dan serologis. Di antara ke tiganya, diagnosis
secara klinis lah yang terpenting dan sederhana. Hasil bakterioskopis
memerlukan waktu paling sedikit 15-30 menit, sedangkan hispatologik 10-14
hari. Kalau memungkinkan dapat dilakukan tes lepromin (Mitsuda). Untuk
membantu penentuan tipe, yang hasilnya baru dapat diketahui setelah 3
minggu. Penentuan tipe kriteria perlu dilakukan agar dapat menetapkanterapi
yang sesuai. Bila kuman M.Leprae masuk ke dalam tubuh seseorang, dapat
timbul gejala klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe
klinis bergantung pada system imunitas selular (SIS) penderita. Bila SIS baik
akan tampak gambaran klinis kearah tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah
meberikan gambaran lepromatosa. (Menaldi, Bramono, & Indriatmi, 2015)
Berikut klasifikasi kusta menurut beberapa ahli :
10

a. Klasifikasi kusta menurut Madrid


Tabel 1 : Klasifikasi Kusta menurut Madrid

NO JENIS CIRI
Indeterminate (I) Terdapat kelainan kulit berupa macula
berbentuk bulat yang berjumlah 1 atau 2, batas
lokasi di pantat, kaki, lengan, pipi. Permukaan
halus dan licin.
Tuberkuloid (T) Terdapat macula atau bercak tipis bulat yang
tidak teratur dengan jumlah lesi 1 atau
beberapa. Batas lokasi terdapat dipantat,
punggung, lengan, kaki, pipi. Permukaan kasar
sering dengan penyembuhan ditengah
Borderline (B) Kelainan kulit bercak agak menebal yang tidak
teratur dan tersebar. Batas lokasi sama dengan
tuberkuloid.
Sumber : (Soedarto, 2010)
b. Klasifikasi kusta menurut Ridley-Jopling
Klasifikasi ini banyak dipakai dalam bidang penelitian yang
mengelompokkan penyakit kusta menjadi 5 kelompok yakni :
Tabel 2 : klasifikasi kusta menurut Ridley-Jopling
N JENIS CIRI – CIRI
O
Tipe Lesi berupa bercak makuloanestik dan hipopigmentasi
Tuberkuloid yang terdapat di semua tempat terutama pada wajah dan
Tuberkuloid lengan , kecuali ketiak, kulit kepala, perineum dan
(TT) selangkangan. Batas lesi jelas berbeda dengan warna kulit
sekitarnya.
Tipe Gejala pada kusta tipe BT sama dengan tipe TT. Tetapi lesi
Borderline lebih kecil tidak disertai adanya kerontokan rambut atau
Tuberkuloid perubahan saraf. Hanya terjadi pembengkakan.
(BT)
Tipe Mid Pada pemeriksaan bakteriologis ditemukan beberapa hasil
Borderline dan tes lepromin memberikan hasil negatif. Lesi kulit
(BB) berbentuk tidak teratur, terdapat satelit yang mengelilingi
lesi dan distribusi lesi asimetris. Bagian tepi dari lesi tidak
dapat dibedakan dengan jelas terhadap daerah sekitarnya.
Gejala ini biasanya disertai adanya adenopati regional.
Tipe Lesi pada tipe ini berupa macula dan nodul papula yang
Borderline cenderung asimetris. Kelainan syaraf timbul pada stadium
Lepromatous lanjut. Tidak terdapat gambaran seperti yang terjadi pada
(BL) tipe lepromatous yaitu tidak disertai madarosis, keratitis,
aslserasi maupun facies leonine.
Tipe Lesi menyebar simetris, mengkilap, berwarna keabu-
Lepromatosa abuan. Tidak ada perubahan pada produksi kelenjar
(LL) keringat, hanya sedikit perubahan sensasi. Pada fase lanjut
terjadi madarosis (rontok) dan wajah benjol – benjol.
Sumber : (Soedarto, 2010)
11

c. Klasifikasi menurut Depkes RI


Tabel 3 : Klasifikasi PB dan MB menurut Depkes RI, 1999
Kelainan kulit dan hasil Tipe PB Tipe MB
pemeriksaan bakteriologis
1. Bercak (Makula)
a. Jumlah 1–5 Banyak
b. Ukuran kecil dan besar Kecil
c. Distribusi onilateran atau Bilateral, simetri
d. Permukaan bilateral asimetris
e. Batas kering dan kasar Halus, berkilat
f. Gangguan Tegas Kurang tegas
sinsibilitas Selalu ada dan jelas Biasanya tidak jelas,
g. Kehilangan jika tidak terjadi pada
kemampuan yag sudah lanjut
nerkeringat, bulu Bercak tidak Bercak masih
rontok pada bercak berkeringat, ada berkeringat bulu tidak
2. Infiltrat bulu rontok pada rontok
a. Kulit bercak
b. Membran Mukosa
(hidung tersumbat, Tidak ada Ada kadang / tidak
perdrahan dihidung) Tidak pernah ada Kadang ada
3. Nodulus
4. Penebalan syaraf

Tidak ada Kadang ada


5. Deformatis (cacat) > sering terjadfi dini Terjadi pada yang lanjut
asimetris biasanya lebih dari satu
6. Sediaan apus dan simetris
7. Ciri-ciri khusus Biasanya asimetris Terjadi pada stadium
terjadi dini lanjut
BTA Negatif (-) BTA positif (+)
Cental healing Punched out lesion (lesi
penyembuhan seperti kue donat),
ditengah nadarosis, ginekomastia,
hidung pelana, suara
sengau.
Sumber : (Soedarto, 2010)
12

d. Klasifikasi menurut WHO


Tabel 4 :Klasifikasi PB dan MB menurut WHO (1995)
Tipe PB Tipe MB
1. Lesi kulit - 1 – 5 lesi - > 5 lesi
- hipopigmentasi / - distribusi lebih
eritema simetris
- distribusi tidak - Hilangnya sensai
simentris
- hilangnya sensari
yang jelas
2. kerusakan syaraf - Harga satu cabang - Banyak cabang saraf
(menyebabkan saraf
hilangnya sensasi atau
kelemahan otot yang
dipersyarafi oleh saraf
yeng terkena)
Sumber : (Soedarto, 2010)

3. Etiologi
Kuman penyebab adalah Mycobacterium Leprae yang ditemukan oleh
G.A Hansen pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga
dapat dibiakan dalam media artifisial. M. Leprae berbentuk kuman dengan
ukuran 3-8 um, tahan asam dan alcohol serta positif-gram.
Penyebab penyakit kusta adalah bakteri M.Leprae yang berbentuk
batang dengan ukuran panjang 1-8 micron, lebar 0,2-0,5 micron, biasanya
berkelompok, da nada yang tersebar satu-satu. Hidup dalam sel, dan bersifat
tahan asam (BTA). Dimana bakteri M.Leprae ini banyak terdapat pada kulit
tangan, daun telinga, dan mukosa hidung.
Penyakit kusta bersifat menahun, karena bakteri kusta memerlukan
waktu 12-21 hari untuk membelah diri dan masa tunasnya rata – rata 2-5
tahun. Penyakit kusta dapat ditularkan kepada orang lain melalui saluran
pernapasan dan kontak kulit (Widoyono, 2011)
Penyakit kusta disebabkan oleh bakteri yang bernama Mycobacterium
Leprae. Dimana bakteri ini adalah kuman aerob, tidak membentuk spora,
berbentuk batang, dikelilingi oleh membrane sel lilin yang merupakan ciri
dari spesies mycobacterium, berukuran panjang 1 – 8 micr, lebar 0,2 – 0,5
micro biasanya berkelompok, da nada yang tersebar satu – satu, hidup dalam
sel dan bersifat tahan asam (BTA) atau gram positif, tidak mudah diwarnai,
13

namun jika diwarnai akan tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alcohol
sehingga oleh karena itu dinamakan sebagai basil “tahan asam”.
Mycobacterium Leprae belum dapat di kultur di laboratorium. Kuman ini
menular kepada manusia melalui kontak langsung dengan penderita
(keduanya harus ada lesi baik mikroskopis maupun makroskopis, dan adanya
kontak yang lama dan berulang – ulang) dan melalui pernapasan, bakteri
kusta ini mengalami proses perkembangbiakan dalam waktu 2-3 minggu,
pertahanan bakteri ini dalam tubuh manusia mampu bertahan 9 hari diluar
tubuh manusia kemudian kuman membelah dalam jangka 14-21 hari dengan
masa inkubasi rata-rata dua hingga lima tahun bahkan juga dapat memakan
waktu lebih dari 5 tahun. Setelah 5 tahun, tanda-tanda seorang penderita
penyakit kusta mulai muncul, antara lain kulit mengalami bercak putih,
merah, rasa kesemutan bagian anggota tubuh hingga tidak berfungsi
sebagaimana mestinya. Penatalaksanaan kasus yang buruk dapat
menyebabkan kusta menjadi progresi, menyebabkan kerusakan permanen
pada kulit saraf, anggota gerak, dan mata (Kemenkes, 2015)

(Gambar 1 : Kuman Micobacterium Leprae secara mikroskopis)


Sumber : (Widoyono, 2011)
14

4. Patofisiologi
Kusta dikenal dengan penyakit paling ditakuti karena deformitas atau
cacat tubuh. Kelainan kulit yang tanpa komplikasi pada penyakit kusta dapat
hanya berbentuk macula saja, infiltrate saja, atau keduanya. Haruslah berhati
– hati dan buatlah diagnosis banding dengan banyak penyakit kulit lainnya
yang hamper menyerupainya. Sebab penyakit kusta ini mendapat julukan the
greatest immitator pada ilmu penyakit kulit.
Secara inspeksi, penyakit ini mirip penyakit lain, ada tidaknya
anastesi local sangat banyak membantu penentuan diagnosis, meskipun tidak
selalu jelas. Teknik untuk menilai adanya anastesi local adalah dengan cara
menggoreskan ujung jarum suntik ke sisi tengah lesi kea rah kulit normal.
Apabila pasien tidak mengalami sensasi nyeri pada area goresan, maka tes
anastesi local dinyatakan positif. Cara menggoresnya mulai dari tengah lesi
ke arah kulit normal.
Respon pada saraf perifer akan terjadi pembesaran dan nyeri pada n.
ulnaris, n. aurikularis magnus, n. popliteal lateralis, n. tibialis posterior, n.
medianus, n. radialis, n. fasialis.
Respon kerusakan saraf ulnaris memberikan manifestasi anastesia
pada ujung jari bagian anterior kelingking dan jari manis, clawing kelingking
dan jari manis, atrofi, hipotenar, dan otot interoseus dorsalis pertama.
Respon kerusakan saraf medianus memberikan manifestasi anastesia
pada ujung jari bagian anterior, ibu jari, tulunjuk, dan jari tengah, tidak
mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari, jari telunjuk, jari tengah, dan ibu jari
kontraktur.
Respon kerusakan saraf radialis memberikan manifestasi anesthesia
dorsum menus tangan gantung (wrist drop), tidak mampu ekstensi jari – jari
atau pergelangan tangan (Muttaqin & Sari, 2011)
15

5. Manifestasi Klinis
Untuk kepentingan pengobatan, pada tahun 1987 telah terjadi perubahan
klasifikasi. Yang dimaksud dengan kusta PB adalah BTA negatif pada
pemeriksaan kerokan jaringan kulit, yaitu tipe I, TT Dan BT menurut
klasifikasi Ridley-Joping
Tabel 5 : Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik kusta multibasilar
(MB)
SIFAT LEPROMATOSA ( BORDERLINE MID
LL) LEPROMATOSA BORDERLINE (
( BL) BB)
Lesi
a. Bentuk Makula Makula Plakat
Infiltrasi difus Plakat Dome – shaped
Papul Papul Punched – out
Nodus
b. Jumlah Tidak terhitung, Sukar dihitung, Dapat dihitung,
tidak ada masih kulit
Kulit sehat Ada kulit sehat Sehat jelas ada
Asimetris
c. Distribusi Simetris Hampir simetris Agak kasar, agak
berkilat
d. Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Agak jelas
Lebih jelas
e. Batas Tidak jelas Agak jelas
Tidak ada sampai Tak jelas
f. Anestesia tidak jelas
BTA
a. Lesi kulit Banyak ( ada globus Banyak Agak banyak
)
b. Sekret Banyak ( ada Biasanya negatif Negatif
hidung globus)
Tes lepromin Negatif Negatif Biasanya Negatif
Sumber : (Menaldi, Bramono, & Indriatmi, 2015)
16

Tabel 6 : gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik kusta Paussi


Basilar ( PB),
Sifat TUBERKULOID ( BORDERLINE INDETERMIN
TT) TUBERKULOID ATE ( I)
( BT)
Lesi
a. Bentuk Makula saja, Makula dibatasi Hanya makula
makula infiltrat
dibatasi infiltrat Infiltra saja
tidak ada Satu atau
b. Jumlah satu, dapat beberapa Beberapa atau beberapa
satu dengan satelit

Asimetris Masih simetris Variasi


c. Distribusi
Kering bersisik Kering bersisik Halus, agak
d. Permukaan berkilat
Jelas Jelas Dapat jelas atau
e. Batas dapat tidak jelas
Tak ada sampai
Jelas Jelas tidak jelas

f. Anestesia
BTA
a. Lesi kulit Hampir selalu Negatif atau Biasanya
negatif hanya 1+ negatif
b. Tes lepromin Positif kuat ( 3+) Positif lemah Dapat positif
lemah atau
negatif
Sumber : (Mandal, Wilkins, & Mayon-White, 2008)
Bila pada tipe – tipe tersebut disertai BTA positif, maka akan
dimasukkan ke dalam kusta MB, sedangkan kusta MB adalah semua
penderita kusta tipe BB, BL, dan LL atau apa pun klasifikasi klinisnya
dengan BTA positif, harus diobati dengan rejimen MDT – MB.
Karena pemeriksaan kerokan jaringan kulit tidak selalu tersedia di
lapangan, ada tahun 1995 WHO lebih menyederhanakan klasifikasi klinis
kusta berdasarkan hitung lesi kulit dan syaraf yang terkena. Hal ini
tercantum pada tabel berikut:
17

Tabel 7 : Bagan diagnosis klinis menurut WHO :


PB MB
1. Lesi kulit a. 1 – 5 lesi a. > 5 lesi
( makula datar, papul b. Hipopigmentasi /
yang meninggi, eritema
nodus) c. Distribusi tidak b. Distribusi lebih
simetris simetris
d. Hilangnya sensasi c. Hiangnya sensasi
yang jelas. kurang jelas
2. Kerusakan saraf ( a. Hanya satu cabang b. Banyak cabang
menyebabkan saraf saraf
hilangnya sensasi/
kelemahan otot yang
dipersarafi oleh saraf
yang terkena.
Sumber : (Menaldi, Bramono, & Indriatmi, 2015)
Untuk mengetahui adanya kerusakan fungsi saraf otonom perhatikan
ada tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas dan dapat pula tidak,
yang dipertegas menggunakan pensil tinta ( tanda gunawan). Cara
menggoresnya mulai dari tengah lesi kearah kulit normal. Bila ada gangguan,
goresan pada kulit normal akan lebih tebal bila dibandingkan dengan bagian
tengah lesi. Dapat pula diperhatikan adanya alopesia di daerah lesi, yang
kadang – kadang dapat membantu, tetapi bagi penderita yang meiliki kulit
berambut sedikit, sangat sukar menentukannya. Gangguan fungsi motoris
diperiksa dengan Voluntary Muscle Test ( VMT) .
Mengenai saraf perifer yang perlu diperhatikan ialah pembesaran,
konsistensi, ada/ tidaknya nyeri spontan dan atau tekan. Hanya beberapa saraf
superfisial yang dapat dan perlu di periksa, yaitu N. Fasialis, N.aurikularis
magnus, N. Radialis, N. Ulnalis, N. Medianus, N. Politea lateralis, dan N.
Tibialis posterior. Tampaknya mudah, tetapi memerlukan latihan dan
kebiasaan untuk memeriksanya. Bagi tipe ke arah lepromatosa kelainan saraf
biasanya bilateral dan menyeluruh, sedang bagi tipe tuberkulid, kelainan
sarafnya lebih terlokasinya mengikuti tempat lesinya.
Deformitas atau cacat kusta sesuai dengan patofisiologinya, dapat di
bagi dalam deformitas primer dan sekunder. Defornitas primer sebagai akibat
langsung oleh granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap M. Leprae,
yang mendesak dan merusaka jaringan disekitarnya, yaitu kulit, mikosa
traktus respiratorius atas, tulang – tulang jari, dan wajah. Deformitas sekunder
18

terjadi sebagai akbat adanya deformitas primer, terutama kerusakan saraf (


sensorik, motorik, otonom,) antara lain kontraktur sendi, mutilasi tangan dan
kaki (Menaldi, Bramono, & Indriatmi, 2015)
Gejala – gejala kerusakan saraf :
a. N.ulnalis
1) Anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari
manis.
2) Clawing kelingking dan jari manis
3) Atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot
lumbrikalis medial.
b. N. Medianus
1) Anastesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk
dan jari tenagh.
2) Tidak mampu aduksi ibu jari.
3) Clawing ibu jari, telunjuk dan jari tengah.
4) Ibu jari kontraktur.
5) Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral.
c. N. Radialis
1) Anastesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari
telunjuk.
2) Tangan gantung ( wrist drop )
3) Tak mampu ekstensi jari – jari atau pergelangan tangan.
d. N. Poplitea lateralis
1) Anastesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis.
2) Kaki gantung ( foot drop)
3) Kelemahan otot peroneus.
e. N. Tibialis posterior
1) Anastesia telapak kaki.
2) Claw toes.
3) Paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis.
f. N. Fasialis
1) Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus.
19

2) Cabang bukal, mandibular dan servikal menyebabkan


kehilangan eskpresi wajah dan kegagalan mengatupkan
bibir.
g. N. Trigeminus
1) Anastesia kulit wajah, kornea dan konjungtiva mata.
2) Altrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral.
Kerusakan mata pada kusta juga dapat primer dan sekunder. Primer
mengakibatkan alopesia pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak
jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan oleh rusaknya N. Fasialis yang
dapat membuat paralisis N. Orbiularis palpebrarum sebagian atau seluruhnya,
mengakibatkan logoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan
bagian – bagian mata lainnya. Secara sendiri – sendiri atau bergabung akirnya
dapat menyebabkan kebutaan.
Infiltrasi granuloma ke dalam adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar
keringat, kelenjar palit, dan folikel rambut dan mengakibatkan kulit kering
dan alopesia. Pada tipe lepromatosa dapat timbul ginekomastia akibat
gangguan keseimbangan hormonal dan oleh karena infiltrasi granuloma pada
tubulus secara skematis. Bentuk campuran mempunyai sifat campuran antar
kedua bentuk polar tersebut (Menaldi, Bramono, & Indriatmi, 2015)

6. Komplikasi
a. Ulkus neuropatik, deformitas wajah dan ekstremitas.
b. Amyloidosis sekunder pada pasien lepromatosa.
c. Ginekomastia, pembentukan jaringan parut di testis.
d. Reaksi reversal (reaksi lepra tipe I)
Disebabkan oleh peningkatan respon imunitas selular pada penyakit
borderline yang disebabkan masuknya sel – sel inflamasi ke dalam lesi yang
sudah ada. ;esi kulit menjadi membengkak dan merah; gejala neuritikdan
paralitik meningkat. Dapat terjadi anesthesia kornea.
e. Eritmia nodosum leprosum (reaksi lepra tipe II)
Disebabkan oleh vaskulitis, kemungkinan dicetuskan oleh infiltrasi
neutrofilik yang diperantai oleh TNE. Terjadi pada keadaan lepromatosa
20

dan lepromatosa borderline. Timbul nodul subkutan yang nyeri tekan


disertai dengan demam dan arthralgia. Mungkin terjadi iridosikletis dan
gejala neuritik.
f. Kecacatan
Cacat merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada Px kusta baik akibat
kerusakan fungsi saraf tepi maupun karena neuritis sewaktu terjadi reaksi
kusta.
(Mandal, Wilkins, & Mayon-White, 2008)

7. Cara Penularan
Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta multi tipe Multi
Basilar (MB) kepada orang lain dengan cara penularan langsung. Cara
penularan yang pasti belum diketahui tetapi sebagian besar para ahli
berpendapat bahwa pada penyakit kusta dapat ditularkan melalui saluran
pernafasan dan kulit. Timbulnya penyakit kusta pada seseorang
membutuhkan waktu yang relative lama, tergantung dari beberapa faktor
antara lain :
a. Faktor penyebab
Kuman kusta dapat bertahan hidup di luar tubuh manusia sekitar 1-9 hari
tergantung pada suhu atau cuaca hanya kuman yang masih utuh atau solid
yang dapat menimbulkan penularan, selain itu kuman kusta juga
mempunyai waktu pembelahan yang lam yaitu 2-3 minggu.
b. Faktor sumber penularan
Penderita kusta tipe MB dianggap sebagai satu-satunya sumber
penularan penyakit kusta meskipun kuman kusta dapat hidup di hewan
armadillo, simpanse dan telapak kaki tikus putih.Penderita tipe MB ini
apabila sudah minum obat sesuai dengan regimen WHO secara teratur
tidak menjadi sumber penularan lagi.
c. Faktor daya tahan tubuh
Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta (95%). Seseorang
dalam lingkungan tertentu termasuk dalam salah satu dari tiga kelompok
berikut, yaitu :
21

1) Manusia (host) yang mempunyai kekebalan tubuh yang tinggi


merupakan kelompok terbesar yang telah atau menjadi resisten
terhadap kuman kusta
2) Manusia (host) yang mempuyai kekebalan tubuh rendah terhadap
kuman kusta mungkin akan menderita penyakit kusta yang ringan
(PB)
3) Manusia (host) yang tidak mempunyai kekebalan terhadap kuman
kusta merupakan kelompok kecil dan mudah menderita kusta yang
stabil dan progresif.
Kuman mencapai permukaan kulit melalui volikel rambut,
kelenjar keringat, dan di duga melalui air susu ibu. Beberapa
hipotesis telah di kemukakan seperti adanya kontak dekat dan
penularan dari udara.Penyakit ini sering di percaya bahwa
penularannya disebabkan oleh kontak antara orang yang terinfeksi
dan orang yang sehat.Melalui kulit yang lecet pada bagian tubuh
yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal (Ditjen P2P,
Kemenkes RI, 2016).

8. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan bakterioskopik ( kerokan jaringan kulit)
Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu diagnosis dan
pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan mukosa hidung yang
diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam ( BTA), antara lain
dengan ZIEHL- NEELSEN. Bakterioskopik negatif pada seseorang
penderita, bukan berarti orang tersebut tidak mengandung kuman M. Leprae.
Pertama – tama harus ditentukan lesi dikulit yang diharapkan paling padat
oleh kuman, setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tempat yang akan
diambil. Mengenai jumlah lesi juga ditentukan oleh tujuannya, yaitu untuk
riset atau rutin. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin
sebaiknya minimal 4 – 6 tempat, yaitu kedua cuping telinga bagian bawah
dari 2 – 4 lesi lain yang paling aktif, berarti yang paling eritematosa dan paling
infiltratif. Pemilihan kedua cuping telinga tersebut tanpa menghiraukan ada
22

tidaknya lesi di tempat tersebut, oleh karena atas dasar pengalaman tempat
tersebut diharapkan mengandung kuman paling banyak. Perlu dilihat bahwa
setiap tempat pengambilan di tempat yang sama pada pengamatan
pengobatan untuk dibandingkan hasilnya.
Cara pengambilan bahan dengan menggunakan skapel steril. Setelah lesi
tersebut didesinfeksi kemudian dijepit antara ibu jari dan jari telunjuk agar
menjadi iskemik, sehingga kerokan jaringan mengandung sedikit mungkin
darah yang akan mengganggu gambaran sediaan. Irisan yang dibuat harus
sampai di dermis., melampaui subepidermal clear zone agar mencapai
jaringan yang diharapkan banyak mengandung sel Virchow ( sel lepra) yang
di dalamnya mngandung kuman M. Leprea. Kerokan jaringan itu dioleskan
di gelas alas, difiksasi di atas api, kemudian diwarnai dengan pewarnaan yang
klasik, yaitu Ziehl Neelsen. Untuk pewarnaan ini dapat digunakan modifikasi
Ziehl Neelsen dan cara - cara lain dengan segala kelebihan dan
kekurangannya disesuaikan dengan keadaaan setempat.
Sediaan mukosa hidung diperoleh dengan cara nose blows, terbaik
dilakukan pagi hari yang ditampung pada sehelai plastik. Perhatikan sifat dan
tubuh ( discharge) tersebut, apakah cair, serosa, bening, mukoid,
mukopurulen, purulen, ada darah atau tidak. Sediaan dapat dibuat langsung
atau plastik tersebut dilipat dan kirim ke laboratorium. Dengan kapas lidi
bahan dioleskan mereta pada gelas alas. Fiksasi harus pada hari yang sama,
pewarnaan tidak perlu pada hari yang sama.
Cara lain mengambil bahan kerokan mukosa hidung dengan alat
semacam skapel kecil tumpul atau bahan olesan dengan kapas lidi. Sebaiknya
diambil dari daerah septum nasi, selanjutnya dikerjakan seperti biasa. Sediaan
dari mukosa hidung jarang dilakukan karena :
1) Kemungkinan adanya M. Atipik.
2) M. Leprae tidak pernah positif kalau pada kulit negatif.
3) Bila diobati, hasil pemeriksaan mukosa hidung negatif lebih dulu
bila dibandingkan dengan kerokan jaringan kulit.
4) Rasa nyeri saat pemeriksaan.
23

M. Leprae tergolong BTA, akan tampak merah pada sediaan.


Dibedakan bentuk batang utuh ( solid), batang terputus ( fragmented), dan
butiran ( granular). Bentuk solid adalah kuman hidup, sedang fragmented dan
granular merupakan bentuk mati. Secara teori penting untuk membedakan
antara bentuk solid dan non solid, berarti membedakan antara yang hidup dan
yang mati, sebab bentuk yang hidup dan yang mati, sebab bentuk yang hidup
dan yang lebih berbahaya, karena dapat berkembangbiak dan dapat
menularkan ke orang lain. Dalam praktek sukar sekali menentukan solid dan
non solid, oleh karena dipengaruhi oleh banyak macam faktor.
Sejak pengambilan bahan kerokan jaringan sampai selesai menjadi
sediaan, perlengkapan laboratorium, siapa yang mengerjakan, yang melihat
dan yang menginterprestasikan sediaan, akan menentukan mutu hasil
bakterioskopik. Meskipun sudah ada ketentuan / patokan solid dan non solid,
intrepestasi yang melihat itulah yang dapat menimbulkan perbedaan.
Andaikata ada satu persediaan dilihat oleh dua atau beberapa orang, besar
kemungkinan akan menimbulkan hasil yang berbeda antara satu dengan yang
lain. Hal ini menyebabkan suatu institut terkenal dan termasuk tertua di dunia
tidak berani membedakan antar solid dan non solid. Contoh lain antara dua
tokoh dunia lepra yaitu SHEPARD dan REES. Mereka selalu berbeda
intrepretasi hasil pengamatan sediaan yang sama antara solid dan on solid.
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan non solid pada sebuah
sediaan dinyatakan dengan indeks Bakteri ( IB) dengan nilai dari 0 – 6+
menurut RIDLEY. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang ( LP).
1 + bila 1- 10 BTA dalam 100 LP
2 + bila 1- 10 BTA dalam 10 LP
3 + bila 1- 10 BTA rata – rata dalam 1 LP
4 + bila 11 – 100 BTA rata – rata dalam 1 LP
5 + bila 101 – 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP
6 + bila > 1000 BTA rata – rata dalam 1 LP
Pemeriksaan dengan menggunakan mikroskop cahaya dengan minyak
emersi pada pembesaran lensa obyektif 100x. IB seseorang adalah IB rata
– rata semua lesi yang dibuat sediaan.
24

Indeks morfologi ( IM) adalah persentase bentuk solid dibandingkan


dengan jumlah solid dan non solid.
Rumus :
Jumlah solid x 100% = .....%
Jumlah solid + non solid
Syarat perhitungan :
1) Jumlah minimal kuman tipe lesi 100 BTA
2) IB 1+ tidak perlu dibuat IM – nya, karena untuk mendapat 100 BTA
harus mencari dalam 1000 samapi 10.000 lapangan.
3) Mulai dari IB 3 + harus dihitung IM- nya, sebab dengan IB 3 +
maksimum harus dicari dalam 100 lapangan.

Tabel 8 : Contoh perhitungan IB dan IM


Tempat IB Solid Non IM
pengambilan solid
Telinga kiri 4+ 9 91 9%
Telinga kanan 3+ 8 92 8%
Ujung jari 1+ 0 5 0
tangan kiri
Ujung jari 2+ 1 22 ½%
tangan kanan
Lesi 1 3+ 7 93 7%
Lesi 2 5+ 8 92 8%
18 33 395

IB penderita : 18 : 6 = 3+
IM penderita : 33 : ( 33 + 395) = ..... %

b. Pemeriksaan histopatologik
Makrofak dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah
ada yang mempunyai nama khusus, antara lain sel kupffer dari hati, sel
alveolar dari paru, sel glia dari otak, dan yang dari kulit disebut histiosit.
Salah satu tugas makrofag adalah melakukan fagositosis. Kalau ada kuman
( m. Leprae), masuk, akibatnya akan bergantung pada Sistem Imunitas
Seluler ( SIS) orang itu. Apabila SIS – nya tinggi, makrofag akan mampu
memfagosit M. Leprae. Datangnya histiosis ke tempat kuman disebabkan
25

karena proses imunologik dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau


berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag akan berubah
bentuk menjadi sel epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang
di sebut tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan
cacat. Pada penderita dengan SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat
mengahnsurkan M. Leprae yang sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan
tempat berkembang biak dan disebut sel Virchow atau sel lepra atau sel
busa dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan.
Granuloma adalah akumulasi makrofag dan atau derivet – derivetnya.
Gambaran histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan
saraf yang lebih nyata, tidak ada kuman atau hanya sedikit dan non solid.
Pada tipe lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermal
clear zone) yaitu suatu daerah langsung di bawah epidermis yang
jaringannya tidak patologik. Didapati sel Virchow dengan banyak kuman,
pada tipe borderline, terdapat campuran unsur – unsur tersebut.
Tabel 9 : karakteristik berbagai tipe kusta menurut klasifikasi Ridle-
Joping
TIPE
TT BT BB BL LL
TT Ti BT BB BL Li LL
Reaksi lempromin 3+ 2+
Stabilitas ++ +
imunologik
Reaksi borderline -
ENL - -
Kuman dalam - -
hidung
Kuman dalam 0 0-1+
granuloma
Sel epiteloid + +
Sel datia langhans +++ ++
Globi - -
Sel busa(sel - -
virchow)
Limfosit +++ +++
Infiltrasi zona sub + +
epidermal
Kerusakan saraf ++ +++
Sumber : (Menaldi, Bramono, & Indriatmi, 2015)
26

c. Pemeriksaan Serologik
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi
pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. Leprae. Antibodi yang
terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap m. Leprae, yaitu antibodi anti
phenolic glycolipid – 1 ( PGL – 1) dan antibodi antiprotein 16 Kd serta 35
Kd. Sedangkan antibodi lain antibodi anti – lipoarabinomanan ( LAM)
yang juga dihasilkan oleh kuman M. Tuberculosis.
Kegunaan pemeriksaan serologik ini adalah membantu diagnosis
kusta yang meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas.
Disamping itu dapat membantu menentukan kusta subklinis, karena tidak
didapati lesi kulit, misalnya pada nerakontak serumah.
Macam – macam pemeriksaan serologik kusta adalah :
a. Uji MLPA ( Mycobacterium Leprae Particle Aglutination )
b. Uji ELISA ( Enzyme Linked Immunosorbent Assay )
c. ML dipstick test ( Mycobacterium leprae dipstick )
d. ML flow test (Mycobacterium leprae flow test )
(Menaldi, Bramono, & Indriatmi, 2015)

9. Penatalaksanaan
a. Mengenal MDT (Multy Drug Therapy)
Kemoterapi Kusta dimulai pada tahun 1949 dengan DDS sebagai obat
tunggal (monoterapi DDS). DDS harus diminum selama 3-5 tahun untuk
PB, sedangkan untuk MB 5-10 tahun, bahkan seumur hidup. Kekurangan
monoterapi DDS adalah terjadinya resistensi, timbulnya kuman persisters
serta terjadinya pasien defaulter. Pada tahun 1964 ditemukan resistensi
terhadap DDS. Oleh sebab itu pada tahun 1982 WHO merekomendasikan
pengobatan kusta dengan Multy Drug Therapy (MDT) untuk kusta tipe PB
Maupun MB.
b. Tujuan Pengobatan MDT
1) Memutuskan mata rantai penularan
2) Mencegah resistensi obat.
3) Memperpendek masa pengobatan.
27

4) Meningkatkan keteraturan berobat.


5) Mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat
yang sudah ada sebelum pengobatan.
Dengan matinya kuman maka sumber penularan dari
pasien, terutama tipe MB ke orang lain terputus. Cacat yang sudah
terjadi sebelum pengobatan tidak dapat diperbaiki dengan MDT.
Bila pasien kusta tidak minum obat secara teratur, maka
kuman kusta dapat menjadi resisten/kebal terhadap MDT, sehingga
gejala penyakit menetap bahkan memburuk. Gejala baru dapat
timbul pada kulit dan saraf.
c. Regimen Pengobatan MDT
Multy Drug Therapy (MDT) adalah kombinasi dua atau
lebih obat antikusta. Salah satunya rifampisin sebagai anti kusta
yang bersifat bakterisidal kuat sedangkan obat anti kusta lain
bersifat bakteriostatik.
Berikut ini merupakan kelompok orang yang
membutuhkan MDT (Multy Drug Therapy) :
1) Relaps
2) Masuk kembali setelah default (dapat PB maupun MB)
3) Pindahan (pindah masuk)
4) Ganti klasifikasi / tipe.
Regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan yang
direkomendasikan oleh WHO. Regimen tersebut adalah sebagai
berikut :
a) Pasien Pausibasiler (PB)
DEWASA :
Pengobatan bulanan : hari pertama (obat diminum di depan
petugas) :
1) 2 kapsul rifampisin @300 mg (600mg)
2) 1 tablet dapson/DDS 100mg
Pengobatan harian, hari ke 2-28 :
1) 1 tablet dapson/DDS 100mg.
28

Satu blister untuk satu bulan. Dibutuhkan enam blister yang


diminum selama 6-9 bulan.
ANAK (UMUR 10-15 TAHUN)
Pengobatan bulanan : hari pertama (obat diminum di depan
petugas) :
1) 2 kapsul rifampisin 150 mg dan 300 mg
2) 1 tablet dapson / DDS 50 mg.
Pengobatan harian : hari ke 2-28 :
1) 1 tablet dapson / DDS 50 mg.
Satu blister untuk satu bulan. Dibutuhkan 6 blister untuk
diminum 6-9 bulan.
b) Pasien Multibasiler (MB)
DEWASA
Pengobatan bulanan : hari pertama (obat diminum di depan
petugas) :
1) 2 kapsul rifampisin @300 mg (600 mg)
2) 3 tablet lampren @100 mg (300 mg)
3) 1 table t dapson / DDS 100 mg
Pengobatan harian : hari ke 2-28 :
1) 1 tablet lampren 50 mg
2) 1 tablet dapson /DDS 100 mg
Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 12 blister yang diminum
selama 12-18 bulan.
ANAK (UMUR 10-15 TAHUN)
Pengobatan bulanan : hari pertama (obat diminum di depan
petugas) :
1) 2 kapsul rifampisin 150 mg dan 300 mg
2) 3 tablet lampren @50 mg (150 mg)
3) 1 tablet dapson / DDS 50 mg
Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 12 blister yang diminum
selama 12-18 bulan.
Dosis anak disesuaikan dengan berat badan :
29

a) Rifampisin : 10-15 mg/kgBB


b) Dapson : 1-2 mg/kgBB
c) Lapren : 1 mg/kgBB

Tabel 10 : Pedoman praktis untuk dosis MDT bagi pasien kusta


TIPE PB
10-15 >15
JENIS OBAT <5 TH 5-9 TH KET
TH TH
Minum
300 450 600
Rifampisin di depan
mg/bln mg/bln mg/bln
petugas
Berdasarkan Minum
25 50 100
berat badan di depan
mg/bln mg/bln mg/bln
DDS petugas
25 50 100 Minum
mg/hari mg/hari mg/hari dirumah
*sesuaikan dosis bagi anak – anak yang lebih kecil dari 10 tahun.
Misalnya dapson 25 mg/hari dan rifampisin 300 mg/bulan
(dewasa)

Tabel 11 : Pedoman praktis untuk dosis MDT bagi pasien kusta


TIPE MB
JENIS 10-15
<5 TH 5-9 TH >15 TH KET
OBAT TH
Minum
300 450 600
Rifampisin didepan
mg/bln mg/bln mg/bln
petugas
Minum
50 100
25 mg/bln didepan
mg/bln mg/bln
Dapson petugas
Berdasar
50 100 Minum
kan berat 25 mg/bln
mg/bln mg/bln di rumah
badan
Minum
100 150 300
di depn
mg/bln mg/bln mg/bln
petugas
Lampren
50 mg
50 mg 2x 50 mg per Minum
setiap 2
seminggu hari dirumah
hari
*sesuaikan dosis bagi anak-anak yang lebih kecil dari 10 tahun. Misalnya
dapson 25mg/hari dan rifampisin 300mg/bln (diawasi). Lampren 50 mg 2
kali seminggu dan lampren 100mg/bulan (diawasi).
30

c) Sediaan Dan Sifat Obat


MDT tersedia dalam bentuk blister. Ada 4 macam blister untuk PB
dan MB dewasa serta PB dan MB anak.
1. Obat MDT terdiri atas :
a. DDS (Dapson)
1) Singkatan dari Diamino Diphenyl Sulphane
2) Sediaan berbentuk tablet warna putih 50 mg dan 100 mg
3) Bersifat bakteriostatik yaitu menghambat pertumbuhan kuman
kusta.
4) Dosis dewasa 100 mg/hari, anak 50 mg/hari (umur 10-15
tahun)
b. Lampren (B663) juga disebut klofazimin
1) Sediaan berbentuk kapsul lunak 50 mg dan 100 mg. warna
coklat.
2) Bersifat bakteriostatik, bakterisisdal lemah, dan antiinflamasi
3) Cara pemberian secara oral, diminum sesudah makan untuk
menghindari gangguan gastrointestinal.
c. Rifampisin
1) Sediaan berbentuk kapsul 150 mg, 300 mg, dan 450 mg.
2) Bersifat bakterisidal : 99% kuman kusta mati dalam 1 kali
pemberian.
3) Cara pemberian secara oral, diminum setengah jam sebelum
makan, agar penyerapan lebih baik.
31

Gambar 2 : Kemasan (Blister MDT)


Sumber : (Ditjen P2P, 2012)

d) Pasien Dengan Keadaan Khusus


a. Hamil dan menyusui : regimen MDT aman untuk ibu hamil dan
anaknya.
b. Tuberculosis : bila seseorang menderita TB dan kusta, maka
pengobatan antituberkulosis dan MDT dapat diberikan
bersamaan, dengan dosis rifampisin sesuai dosis untuk
tuberculosis.
1) Untuk pasien TB yang menderita kusta tipe PB
Untuk pengobatan kusta cukup ditambahkan dapson
100mg, karena rifampisin sudah diperoleh dari obat
TB.lama pengobatan tetap sesuai dengan jangka waktu
pengobtan TB.
2) Untuk pasien TB yang menderita kusta tipe MB
Pengobatan kusta cukup dengan dapson dan lampren
karena rifampisisn sudah diperoleh dari obat TB. Lama
pengobatan tetap disesuaikan dengan jangka waktu
32

pengobatan MB. Jika pengobatan TB sudah selesai maka


pengobatan kusta kembali sesuai dengan blister MDT.
3) Untuk pasien PB yang alergi terhadap dapson, dapson dapat
diganti dengan lampren.
4) Untuk pasien MB yang alergi terhadap dapson, pengobatan
hanya dengan dua macam obat saja. Yaitu rifampisin dan
lampren sesuai dosis dan jangka waktu pengobatan MB.

e) Efek Samping Dan Penanganannya


Walaupun berdasarkan pengalaman, pasien kusta jarang
mengalami efek samping obat – obatan kusta yang diberikan, namun
petugas perlu mengetahui efek samping berbagai obat kusta yang
digunakan, agar dapat memberikan penjelasan yang tepat kepada
pasien dan bertindak secara tepat apabila menghadapi keadaan
tersebut.
Secara lengkap efek samping MDT dan penanganannya diuraikan
sebagai berikut :
1. Rifampisin
Jarang menimbulkan efek samping karena hanya diberikan
sekali sebulan.
a. Gangguan fungsi hati dan ginjal. Pada umumnya dengan
pemberian rifampisin 600 mg/bln aman bagi hati dan atau
fungsi ginjal (kecuali ada tanda – tanda penyakit
sebelumnya). Apabila timbul gejala gangguan fungsi hati
dan atau ginjal, pengobatan MDT dibehentikan
sementara.dan dapat dilanjutkan kembali bila fungsi hai dan
atau ginjal sudah normal. Rujuk pasien bila gangguan
fungsi hati dan atau ginjal menetap/berat.
b. Timbul kelainan / erupsi kulit.
c. Gangguan pencernaan misalnya rasa nyeri, mual, muntah,
dan diare.
33

d. Gejala seperti flu (flu like syndrome) misalnya demam,


menggigil, dan sakit tulang. Dapt diberikan penanganan
simptomatik.
e. Perubahan warna urin menjadi merah. Ini hanya
berlangsung sementara. Pasien perlu diberitahukan kepada
agar tidak kaget.
2. Dapson
Sindrom Dapson (SD)/sindrom sulfon / sindrom
hipersensitivitas dapson / five weeks dermatitis adalah suatu
reaksi hipersensitivitas yang berbeda dengan efek samping
maupun efek toksik dari dapson. Hal ini terjadi tidak
tergantung dosis.
Factor resiko antara lain alergi sulfon, anemia hemolitik,
defisiensi enzim Glucose 6 Phospate Dehidrogenase (G6PD,
riwayat sianosis pada diri atau keluarga, pasien dengan
hepatitis B.
Kriteria diagnosis SD (syndrome Dapson) pada pasien kusta
adalah gejala timbul dalam 8 minggu setelah pemberian
dapson, dan menghilang dengan penghentian dapson. Gejala
disebabkan oleh obat lain yang diberikan bersamaan dengan
dapson, bukan merupakan reaksi kusta, dan tidak ada penyakit
lain yang dapat memberikan gejala serupa.
Syndrome Dapson biasanya terjadi dalam 3 sampai 6minggu
setelah pemberian dapson. Dapat timbul dalam 2-6 jam
pemberian dapson jika telah ada pajanan dapson sebelumnya.
Syndrome dapson dapat pula terjadi setelah 1-2 minggu
setelah dapson dihentikan. Hal tersebut disebabkan karena
retensi dapson di jaringan dan sirkulasi enterohepatik.
Penatalaksanaan berupa penghentian Syndrome
Dapson harus segera dilakukan. Syndrome dapson mereda
spontan setelah penghentian dapson. Pengobatan suportif
misalnya keseimbangan cairan dan elektrolit, suhu, nutrisi,
34

perawatan lesi kulit, serta penanganan sepsis penting dalam


tatlakasana suyndrome dapson. Dan tranfusi darah diperlukan
pada kasus anemia berat.
Pemberian kortikosteroid sistemik dianjurkan bila ada
keterlibatan organ atau terjadi lesi di mukosa walaupun tanpa
keterlibatan organ dalam. Lapering off kortikosteroid sistemik
dilakukan selama lebih dari 1 bulan karena dapson bertahan di
jaringan sampai 35 hari., akibat adanya sirkulasi enterohepatik
dan ikatan protein. Prednisone diberikan 60 mg/hari (0,8-2
mg/kgBB) selama 5 hari, lalu perlahan – lahan diturunkan 10
mg tiap 5 hari, selama satu bulan. Antibiotic tidak membantu,
kecuali bila terdapat tanda infeksi yang jelas. Misalnya
selulitis dan sepsis. Pada pasien yang tidak dapat diberikan
kortikosteroid sistemik, dapat diberikan terapi alternative.
Misalnya metotreksat, azatioprin, siklosporin, dan
hidrokloroguin. Penyakit dapat terkontrol dalam waktu 3-4
minggu pada sebagian besar pasien.
Pada pasien kusta terapi MDT tanpa dapson dapat
dilanjutkan setelah syndrome dapson mereda. Pasien MB
melanjutkan terapi dengan rifampisin dan klofazimin.
Sedangkan pasien PB mendapatkan rifampisin dan klofazimin,
sebagai pengganti dapson.
Terapi alternative yang dapat diberikan berupa :
a. Rifampisin 600 mg/bln, ofloksasin 400 mg/bln,
minosiklin 100 mg/bln selama 24 bulan.
b. Klofazimin 50 mg/hari, ofloksasin 400 mg/hari dan
minosiklin 100 mg/hari selama 6 bulan dilanjutkan
dengan klofazimin 50 mg/hari, ofloksasin 400 mg/hari,
minosiklin 100 mg/hari selama 18 bulan.
c. Rifampisin 600 mg/bln, klofazimin 50 mg/hari,
minosiklin 100 mg/bln selama 12 bulan.
35

d. Rifampisin 600 mg/bln, klofazimin 50 mg/hari,


prothionamid 250 mg/hari selama 12 bulan.
Prognosis umumnya baik. Namun terdapat beberapa
laporan adanya kematian pada penderita Syndrom dapson.
Terdapat laporan komplikasi hemoragik pulmonal yang fatal,
sedangkan penelitian lain melaporkan kematian akibat
komplikasi pneumonia. Selain itu ditemukan kematian akibat
gagal hati atau koma hepatic.
3. Lampren
Dosis yang dipakai pada regimen MDT sangat jarang
menimbulkan efek samping yang berat, antara lain :
a. Gangguan saluran cerna
Mual, muntah, nyeri perut dan diare. Nyeri perut terjadi karena
endapan Kristal lampren dalam usus halus menyebabkan
terjadinya inflamasi di ujung usus halus, jika berat, lampren
sebaiknya dihentikan dan dapat dimulai kembali setelah gejala
membaik.
b. Hiperpigmentasi kuit dan mukosa (perubahan warna kulit
menjadi kecoklatan), kering, iktiosis, pruritus, erupsi
akneiformis, ruam pada kulit, dan reaksi fotosensitivitas. Akan
menghilang 6-12 bulan setelah lampren dihentikan.
c. Kulit dan mukosa kering. Dapat disertai berkurangnya
keringat dan air mata. sebaiknya pasien diberitahukan bahwa
hal ini juga akan menghilang setelah pengobatan selesai.
d. Lain – lain : perubahan warna keringat, dahak dan urin, serta
aritmia karena hypokalemia.
Penanganan efek samping lampren :
Efek samping lampren biasanya dapat ditolerir sehingga
pengobatan tidak perlu dihentikan. Pada kasus kelebihan
dosis, bilas lambung (dengan arang aktif atau dengan
merangsang muntah.
36

Tabel 12 : Efek samping obat MDT dan penanganannya secara ringkas


NAMA
NO MASALAH PENANGANAN
OBAT
Ringan :
Reassurance
(menenagkan penderita
1. Air seni berwarna merah Rifampisisin
dengan penjelasan yang
benar) Konseling
Perubahan warna kulit
2. Clofazimin Konseling
menjadi coklat
Semua obat (3 Obat diminum bersama
3. Masalah gastrointestinal obat dalam dengan makanan (atau
MDT) setelah makan)
Berikan tablet Fe dan
4. Anemia Dapson
asam folat.
Serius :
1. Ruam kulit yang gatal Dapson Hentikan dapson, rujuk.
Dapson atau Hentikan keduanya,
2. Alergi urtikaria
rifampisin rujuk
Hentikan rifampisisn,
3. Icterus (kuning) Rifampisin
rujuk
Shock, purpura, gagal Hentikan rifampisin,
4. Rifampisin
ginjal. rujuk
Sumber : (Menaldi, Bramono, & Indriatmi, 2015).

B. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan
suatu proses pengumpulan data yang sistematis dari berbagai sumber untuk
mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien. Tahap pengkajian
merupakan dasar utama dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai
dengan kebutuhan individu (klien). Oleh karena itu pengkajian yang benar,
akurat, lengkap, dan sesuai dengan kenyataan sangat penting dalam
merumuskan suatu diagnosis keperawatan dan dalam memberikan asuhan
keperawatan sesuai dengan respons individu, sebagaimana yang telah
ditentukan dalam standar praktik keperawatan dari American Nursing
Association (ANA) (Nursalam, 2008).
Pengkajian terdiri dari pengumpulan informasi subjektif dan objektif
(mis., tanda vital, wawancara pasien atau keluarga, pemeriksaan fisik) dan
peninjauan informasi riwayat pasien pada rekam medik. Perawat juga
mengumpulkan informasi tentang kekuatan (untuk mengidentifikasi peluang
37

promosi kesehatan) dan resiko (area yang perawat dapat mencegah atau
potensi masalah yang dapat ditunda). Perawat ahli dapat dengan cepat
mengidentifikasi kelompok karakteristik klinis dari data pengkajian dan
diagnosa keperawatan. Perawat pemula mengambil proses yang lebih
berurutan dalam menentukan diagnosis keperawatan yang tepat (NANDA,
2015).
a. Data Umum
Identitas Pasien
1. Usia : Kaji secara lengkap tentang umur, penyakit kusta dapat
menyerang semua usia. Mulai dari anak-anak, dewasa, dan lansia
(Rahariyani, 2008).
2. Jenis kelamin : Lebih banyak pada laki-laki daripada perempuan
rasio pria dan wanita 2,3:1,0 (Rahariyani, 2008).
3. Jenis pekerjaan
b. Pengkajian 13 Domain NANDA
1) Health Promotion
a) Kesehatan Umum
Alasan masuk rumah sakit/keluhan utama : Pasien
sering dating ke tempat pelayanan kesehatan dengan keluhan
adanya bercak putih yang tidak terasa atau dating dengan
keluhan kontraktur pada jari – jari (Rahariyani, 2008).
b) Vital sign, meliputi :
(a) Tekanan darah
(b) Nadi
(c) Suhu
(d) Respirasi
c) GCS (Glasgow Coma Scale), meliputi :
(a) E (Eye)
(b) V (Verbal)
(c) M (Motorik)
(d) Pupil : Isokor/Anisokor
(e) Reflek cahaya : +(-)/+(-)
38

(f) Ukuran pupil : Normal / Midriasis / Pin point / Meiosis/


Lainnya : .....
(g) Gangguan motorik : Parese / Plegi / Tremor
(h) Gangguan sensorik : Pelo / Aphasia / Confusion /
Gelisah / Kejang
d) Riwayat Penyakit Sekarang
Pada saat melakukan anamnesis pada pasien, kaji kapan lesi
atau kontraktur tersebut timbul, sudah berapa lama
timbulnya, dan bagaimana proses perubahannya, baik warna
kulit, maupun keluhan lainnya. Pada beberapa kasus
ditemukan keluhan gatal, nyeri, panas, atau rasa tebal. Kaji
juga apakah klien pernah menjalani pemeriksaan,
laboratorium. Ini penting untuk mengetahui apakah klien
pernah menderita penyakit tertentu sebelumnya. Pernahkah
klien memakai obat kulit yang dioles atau diminum? Pada
beberapa kasus, reaksi obat juga dapat menimbulkan
perubahan warna kulit dan reaksi alergi yang lain. Perlu juga
ditanyakan apakah keluhan ini pertama kali dirasakan. Jika
sudah pernah, obat apa yang pernah diderita (Rahariyani,
2008).
e) Genogram
Genogram adalah garis keturunan klien yang dilihat dari tiga
generasi ke atas dari keluarga klien.
f) Riwayat Penyakit Dahulu
Salah satu factor penyebab penyakit kusta adalah daya tahan
tubuh yang menurun. Akibatnya, M.Leprae dapat masuk ke
dalam tubuh. Oleh karena itu, perlu dikaji adakah riwayat
penyakit kronis atau penyakit lain yang pernah diderita
(Rahariyani, 2008)
g) Riwayat Pengobatan
Kaji klien pernah melakukan pengobatan atau belum.
Dikatakan tidak patuh minum obat jika penderita datang sesuai
39

jadwal tetapi tidak meminum obatnya atau datang tidak sesuai


jadwal dan tidak meminum obatnya atau datang tidak sesuai
jadwal tetapi meminum obatnya (Depkes RI, 2006 : 42).
h) Kemampuan Mengontrol Kesehatan
i) Faktor Sosial Ekonomi
Paling sering terjadi pada daerah dengan social ekonomi yang
rendah dan insidennya meningkat pada daerah
tropis/subtropics (Muttaqin & Sari, 2011)
2) Nutrion
Pengkajian nutrisi pada pasien kusta meliputi pengkajian status
gizi berkaitan erat dengan system imun (Rahariyani, 2008).
Dimana pengkajian tersebut meliputi :
a) A (Antropometri), meliputi :
(1) BB biasanya
(2) Lingkar perut
(3) Lingkar kepala
(4) Lingkar dada
(5) Lingkar lengan atas
(6) IMT
b) B (Biochemical) :
(1) Pemeriksaan bakterioskopik
Digunakan untuk membantu diagnosis dan pengamatan
pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan mukosa hidung
yang diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan
asam ( BTA), antara lain dengan ZIEHL- NEELSEN.
Bakterioskopik negatif pada seseorang penderita, bukan
berarti orang tersebut tidak mengandung kuman M.
Leprae.
(2) Pemeriksaan histopatologi (jaringan sel abnormal)
Diagnosis penyakit kusta biasanya dapat dibuat
berdasarkan pemeriksaan klinis secara teliti dan
pemeriksaan bakterioskopis. Pada sebagian kecil kasus
40

bila diagnosis masih meragukan, pemeriksaan


histopatologis dapat membantu. Pemeriksaan ini sangat
membantu khususnya pada anak-anak bila pemeriksaan
saraf sensoris sulit dilakukan, juga pada lesi dini contohnya
pada tipe indeterminate, serta untuk menentukan tipe yang
tepat.
(3) Pemeriksaan serologik
Kegagalan pembiakan dan isolasi kuman M.leprae
mengakibatkan diagnosis serologic merupakan alternative
yang paling diharapkan . beberapa test yang banyak
digunakan untuk mendiagnosis kusta adalah :
(a) Uji MLPA ( Mycobacterium Leprae Particle
Aglutination )
(b) Uji ELISA ( Enzyme Linked Immunosorbent Assay )
(c) ML dipstick test ( Mycobacterium leprae dipstick )
(d) ML flow test (Mycobacterium leprae flow test )
C (Clinical) :
(1) Rambut
Kuantitas tipis (banyak yang rontok karena kekurangan
nutrisi dan buruknya sirkulasi), lebat pada rambut alis dan
bulu mata terjadi kerontokan (Rahariyani, 2008).
(2) Kulit
Perubahan pada permukaan kulit terkadang timbul ruam
dan biasanya dapat ditemukan adanya macula
hipopigmentasi / hiperpigmentasi dan eritematosa dengan
batas yang kurang jelas atau jelas tergantung pada tipe
kusta yang di derita (Rahariyani, 2008).
41

c) D (Diet) : meliputi nafsu, jenis, frekuensi makanan yang


diberikan selama di rumah sakit. Pada pasien kusta, diet yang
tepat adalah makanan yang dapat menjada system imun tubuh
penderita dengan gizi seimbang (Rahariyani, 2008).
d) E (Energy) : meliputi kemampuan klien dalam beraktifitas
selama perawatan. Penderita kusta yang kekurangan gizi akan
memiliki energy yang kecil untuk beraktivitas karena
kurangnya cadangan energy yang diperoleh dari pembakaran
nutrisi (Mubarak, Indrawati, & Susanto, 2015).
e) F (Factor) : meliputi penyebab masalah nutrisi : (kemampuan
menelan, mengunyah, dll).
f) Penilaian Status Gizi (berdasarkan IMT)
Rumus IMT = Berat badan (kg)
Tinggi badan (m) x tinggi badan (m)
3) Elimination and Change
a) Sistem urinary.
Pola pembuangan urine, kelainan kandung kemih, pola urine,
distensi kandung kemih atau retensi urine. Distensi abdomen
(distensi kandung kemih berlebihan).
b) Sistem gastrointestinal
c) Sistem integument
Sistem Integument : turgor kulit <3 detik menandakan gejala
dehidrasi
4) Activity/Rest
a) Istirahat/tidur
Insomnia : Terjadi pada saat pasien mengalami gangguan
psikologis karena klien merasa terganggu dengan adanya
penyakitnya, klien tidak dapat beraktivitas dengan bebas
(Jitowiyono, 2012).
b) Aktivitas
(1) Pekerjaan : kebutuhan bekerja pada pasien kusta dengan
ketidakpatuhan minum obat yang mengakibatkan
42

deformitas atau kecacatan, maka aktivitas dan kemampuan


klien dalam menjalankan kegiatan sehari – hari dapat
terganggu (Rahariyani, 2008).
(2) Bantuan ADL : pada pasien kusta dengan ketidakpatuhan
minum obat yang mengakibatkan deformitas atau
kecacatan akan sangat membutuhkan bantuan dalam ADL
(Rahariyani, 2008).
(3) Kekuatan otot : pada pasien kusta terjadi penurunan
kekuatan otot ekstremitas karena kerusakan pada saraf
perifer yang menyebabkan adanya gejala neuritis
(peradangan pada saraf yang ditandai dengan kepekaan
berlebih terhadap nyeri, sentuhan atau rangsangan sensorik
lainnya., anesthesia (gangguan sensibilitas berupa mati
rasa), paralysis (lumpuh layuh), paresis (kehilangan
kemampuan menggerakkan bagian anggota gerak) pada
otot dan ulkus neurotrofikum (Abata, 2013).
c) Perception/Cognition
Pengetahuan pasien mengenai penyakit kusta dipengaruhi oleh
banyak factor, salah satunya adalah factor ekonomi yang
menghambat seseorang untuk mendapatkan informasi lebih
banyak mengenai penyakit kusta (Kemenkes, 2015).
d) Self perception
Kusta terkenal sebagai penyakit yang menakutkan dan
menjijikan yang disebabkan adanya deformitas atau kecacatan
yang ditimbulkan. Oleh karena itu perlu dikaji konsep diri
klien tentang kondisinya (Rahariyani, 2008).
e) Role Relationship
Pada pasien kusta mengalami deformitas atau kecacatan akibat
ketidakpatuhan minum obat, memungkinkan terjadi gangguan
pada gambaran diri klien yang akan mempengaruhi hubungan
klien dengan masyarakat sekitar klien (Rahariyani, 2008).
43

f) Sexuality
Pada klien kusta kemungkinan akan mengalami gangguan
pada system reproduksi karena setelah menyerang saraf tepi
kusta dapat menyerang system reproduksi pada laki – laki
yaitu testis (Abata, 2013).
g) Coping/Stress Tolerance
Kusta terkenal sebagai penyakit yang menakutkan dan
menjijikan. Ini disebabkan adanya deformitas atau kecacatan
yang ditimbulkan. Oleh karena itu, perlu dikaji bagaimana
konsep diri klien dan respons masyarakat di sekitar klien
(Rahariyani, 2008)
h) Life Principles
Pada klien kusta perlu dikaji tentang keyakinan klien terhadap
Tuhan untuk menilai koping pasien terhadap kondisinya saat
ini ( (Muttaqin & Sari, 2011)
i) Safety/Protection
(1) Alergi : Adakah alergi terhadap obat atau makanan.
(2) Penyakit autoimun
(3) Tanda infeksi
(4) Gangguan thermoregulasi : adakah peningkatan atau
penurunan suhu tubuh pada pasien.
(5) Gangguan/resiko (komplikasi immobilisasi, jatuh,
aspirasi, disfungsi neurovaskuler peripheral, kondisi
hipertensi, perdarahan, hipoglikemia, sindrome disuse,
gaya hidup yang tetap).
j) Comfort
Pada klien kusta yang terjadi kerusakan pada saraf perifer yang
menyebabkan kecacatan yang manifestasi klinis awalnya
jarang menimbulkan rasa nyeri (Muttaqin & Sari, 2011)
k) Growth/Development
Kusta dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan karena
terjadinya deformitas atau kecacatan (Kemenkes, 2015)
44

2. Diagnosis Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan respon
manusia (status kesehatan atau resiko perubahan pola) dari individu atau
kelompok dimana perawat secara akunbilitas dapat mengidentifikasi dan
memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga status kesehatan,
menurunkan, membatasi, mencegah dan mengubah (Nursalam, 2008).
Diagnosa yang dapat muncul pada pasien kusta adalah sebagai berikut:
a. Ketidakpatuhan berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang
pengobatan
b. Hambatan mobilitas fisik Berhubungan dengan Penurunan syaraf
motorik (Kekuatan Otot)
c. Nyeri (akut/kronis) Berhubungan dengan proses inflamasi jaringan.
d. Kerusakan integritas kulit Berhubungan dengan lesi dan proses
inflamasi.
e. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan dan
kehilangan fungsi tubuh.
f. Defisiensi Pengetahuan Berhubungan dengan Kurang informasi
terhadap penyakit.
g. Resiko infeksi Berhubungan dengan Kerusakan pada kulit,
Pertahanan tubuh menurun (NANDA International, 2015 ;
Rahariyani, 2008)

3. Intervensi keperawatan
Adalah tindakan yang dirancang untuk membantu klien dalam beralih dari
tingkat kesehatan saat ini ketingkat yang diinginkan dalah hasil yang
diharapkan
45

Tabel 13 : Intervensi keperawatan


NO DIAGNOSA NOC NIC
1 Ketidakpatuhan Setelah dilakukan tindakan Konseling :
minum obat keperawatan diharapkan
1. Bangun hubungan
berhubungan dengan klien dapat : terapeutik yang
kurang pengetahuan Orientasi kesehatan : didasarkan pada rasa
tentang pengobatan 1. Klien dan keluarga saling percaya
Definisi : dapat menjelaskan2. Tunjukkan empati,
Adalah perilaku proses terjadinya kehangatan dan
individu dan atau penyakit, penyebab, dan ketulusan
pemberi asuhan resiko jika tidak diobati
3. Tetapkan tujuan
yang tidak sesuai 2. Membuat persepsi konseling
dengan rencana bahwa kesehatan adalah 4. Identifikasi factor
promosi kesehatan prioritas utama penyebab
atau terapeutik ketidaefektifan
yang di tetapkan MMAS-8(Morisky penatalaksanaan
oleh individu (dan MedicationAdherence program terapeutik
atau keluarga dan Scale) : 5. Jelaskan tentang
atau komunitas) 1 Tingkat kepatuhan klien penyebab penyakit,
serta professional menjadi tinggi proses penyakit, dan
pelayanan resiko yang terjadi
kesehatan perilaku jika tidak diobati.
pemberi asuhan 6. Beri penyuluhan
atau individu yang tentang perawatan
tidak mematuhi penderita kusta
ketetapan, rencana sebelum pengobatan.
promosi kesehatan 7. Sediakan informasi
atau terapeutik factual sesuai
secara keseluruhan kebutuhan
atau sebagian dapat 8. Identifikasi adanya
menyebabkan hasil perbedaan antara
akhir yang tidak pandangan pasien
efektif atau terhadap penyakit
sebagian tidak yang diderita dengan
efektif secara pandangan tim
klinis. kesehatan
Batasan karakteristik : 9. Tentukan bagaimana
1. Eksaserbasi perilaku keluarga
gejala dalam
2. Gagal mencapai mempengaruhi
hasil pasien dalam minum
3. Komplikasi obat
terkait 10. Gunakan alat
perkembangan pengkajian
4. Mengingkari Perilaku patuh : pengobatan Management perilaku
perjanjian yang disarankan 1. Gunakan suara
5. Perilaku tidak 1. Klien menyatakan bicara yang lembut
taat pemahaman tentang dan rendah
Faktor yang perilaku sehat yang 2. Jangan memojokkan
berhubungan : diperlukan untuk pasien
46

System mempercepat proses 3. Berikan pasien


kesehatan penyembuhannnya. terhadap perilakunya
1. Hambatan 2. Mengkonsumsi semua sendiri
hubungan klie / obat sesuai dengan 4. Gunakan
penyedia interval yang ditentukan pengulangan
layanan 3. Minum obat sesuai kesehatan rutin yang
kesehatan dosis konsisten sebagai
2. Ketidakcukupan 4. Memantau efek yang alat untuk
akses terhadap berlawanan dari obat menetapkan rutinitas
perawatan tersebut.
3. Ketidakcukupan 5. Berikan obat sesuai
reimbursmen kebutuhan
penyedia
layanan
kesehatan
4. Ketidakefektifa
n komunikasi
penyedia
layanan
kesehatan
5. Ketidaknyaman
an asuhan
6. Ketidaksinambu
ngan layanan
kesehatan
7. Kurang cakupan
asuransi
kesehatan
8. Kurang
kepuasan
terhadap asuhan
9. Kurang
ketrampilan
penyuluhan
penyedia
layanan
kesehatan
10. Kurang tindak
lanjut ke
penyedia
layanan
kesehatan
11. Merasakan
kredibilitas
layanan
kesehatan
rendah.
Rencana
pelayanan
kesehatan
1. Durasi
pengobatan
47

2. Hambatan
finansial
3. Intensitas
pengobatan
4. Kompleksitas
regimen
pengobatan
5. Pengobatan
berbiaya tinggi
Individual
1. Harapan tidak
sesuai dengan
fase
perkembangan
2. Keyakinan
kesehatan tidak
sesuai dengan
rencana
3. Kurang
dukungan social
4. Kurang
ketrampilan
untuk
melakukan
pengobatan
5. Kurang
motivasi
6. Kurang
pengetahuan
tentang
pengobatan
7. Nilai spiritual
tidak sesuai
dengan rencana
8. Nilai – nilai
tidak sesuai
dengan rencana
9. Pengaruh
kebudayaan

2 Hambatan Mobilitas Setelah dilakukan tindakan Exercise therapy: Joint


Fisik Berhubungan keperawatan diharapkan Mobility
dengan Penurunan klien dapat : 1. Tentukan
syaraf motorik 1. Latihan gerak : (Joint keterbatasan
(Kekuatan Otot). Movement), dengan gerakan yang
Definisi : indikator : dapat
Keterbatasan pada a. Jari-jari tangan mempengaruhi
pergerakan fisik kanan: jari-jari fungsi sendi
tubuh atau satu atau tangan kanan dan 2. Berkolaborasi
lebih ektremitas kiri melakukan dengan terapi
gerakan fleksi, fisik dalam
48

secara mandiri dan ekstensi, mengembangka


terarah. hiperekstensi, n dan
Batasan Karakteristik: abduksi dan adduksi melaksanakan
1. Penurunan jari. program latihan
waktu reaksi b. Ibu jari kanan dan 3. Tentukan
2. Kesulitan kiri: ibu jari kanan tingkat motivasi
membolak-balik dan kiri melakukan pasien untuk
posisi gerakan fleksi, menjaga atau
3. Melakukan ekstensi, mengembalikan
aktivitas lain abduksi,adduksi, gerakan
sebagai dan oposisi. bersama.
pengganti c. Pergelangan tangan 4. Jelaskan kepada
pergerakan kanan dan kiri: pasien atau
(mis.meningkat pergelangan tangan keluarga tujuan
kan perhatian kiri dan kanan dan rencana
pada aktivitas melakukan gerakan latihan
orang lain, fleksi dan ekstensi. 5. Melindungi
mengendalikan d. Pergelangan kaki pasien dari
perilaku, focus kanan: pergelangan trauma selama
pada kaki kanan dan kiri latihan
ketunadayaan/a melakukan gerakan 6. Membantu
ktivitas sebelum fleksi plantar dan pasien untuk
sakit) ekstensi dorsal. memposisikan
4. Dispnea setelah 2.Pergelangan kaki gerakan tubuh secara
beraktivitas sendi optimal pada
5. Perubahan cara Indikator: gerakan sendi
berjalan a. Pembelokan aktif atau pasif
6. Gerakan punggung 7. Mendorong
bergetar sedikit demi pasien untuk
7. Keterbatasan sedikit 20 latihan secara
kemampuan derajat® aktif dan teratur
melakukan b. Pemblokan 8. Membantu
keterampilan plantar 45 melakukan
motorik halus derajat® latihan pasif
yang hanya c. Inverse 30 atau pasien
melibatkan derajat® melakukan
bagian-bagian d. Eversi 20 latihan aktif
tubuh tertentu derajat® sendiri
saja, dan e. Pemutaran ® 9. Anjurkan pasien
dilakukan otot- f. Pembelokan atau keluarga
otot kecil punggung 20 bagaimana cara
kemampuan ini derajat(L) melakukan cara
dilakukan g. Pembelokan latihan pasif
secara plantar 45 dengan bantuan
cermat.(contohn derajat(L) 10. Sebelum
ya: Jari-jari h. Pembalikan 30 memulai
tangan kanan, derajat(L) gerakan
jari-jari tangan i. Eversion 20 anjurkan pasien
kiri jepit dengan derajat(L) memvisualisasik
menggunakan j. Pemutaran(L) an gerakan
kertas di antara 3.Pergerakan sendi siku sendiri
jari manis dan Indikator: 11. Membantu
jari kelingking gerakan secara
49

8. Keterbatasan a. Perluasaan 0 teratur dan


kemampuan derajat® berirama
melakukan b. Flexion 160 12. Menganjurkan
keterampilan derajat® pasien untuk
motorik kasar c. Supinasi 90 duduk ditempat
yang derajat® tidur, disisi
membutuhkan d. Pronasi 90 tempat tidur atau
koordinasi derajat® dikursi
sebagian besar e. Perpanjangan 0 13. Tentukan hasil
bagian derajat® pencapaian
tubuh.(contohny f. Lengkungan tujuan
a:berjalan,berlar 160 derajat(L) 14. Memotivasi
i,gerakan g. Supinasi 90 pasien untuk
telungkup) derajat(L) melakukan
9. Keterbatasan h. Pronasi 90 latihan secara
rentang derajat(L) berulang
pergerakan 4.Ambulasi
sendi yang Indikator:
membutuhkan a. Menanggung berat
koordinasi badan
sebagian besar b. Berjalan dengan
sendi. gaya berjalan
(contohnya: efektif
gerakan rahang, c. Berjalan sampai
gerakan leher, langkah
gerakan tulang d. Berjalan disekitar
belakang) ruangan
10. Tremor akibat e. Menyesuaikan
pergerakan dengan tekstur
11. Ketidakstabilan permukaan yang
postur berbeda
12. Pergerakan f. Berjalan disekitar
lambat hambataan
13. Pergerakan g. Berjalan dengan
tidak kecepataan yang
terkoordinasi moderat
Faktor yang
berhubungan :
1. Intoleransiakti
vitas
2. Perubahan
metabolisme
seluler
3. Ansietas
4. Indeks masa
tubuh diatas
perentil ke-75
sesuai usia
5. Gangguan
koknitif
6. Konstraktur
7. Kepercayaan
budaya
50

tentang
aktivitas
sesuai usia
8. Fisik tidak
bugar
9. Penurunan
ketahanan
tubuh
10. Penurunan
kendali otot
11. Penurunan
massa otot
12. Malnutrisi
13. Gangguan
muskuloskelet
al
14. Gangguan
neuromuskula
r, Nyeri
15. Agens obat
16. Penurunan
kekuatan otot
17. Kurang
pengetahuan
tentang
aktivitas fisik
18. Keadaan mood
depresif
19. Keterlambatan
perkembangan
20. Ketidaknyama
nan
21. Disuse, kaku
sendi
22. Kurang
dukungan
lingkungan
(mis.fisik atau
sosial)
23. Keterbatasank
etahanan
kardiovaskular
24. Kerusakan
integritas
struktur tulang
25. Program
pembatasan
gerak
26. Keengganan
memulai
pergerakan
27. Gaya hidup
monoton
51

Kerusakan integritas Setelah dilakukan tindakan Pressure Management


kulit Berhubungan keperawatan diharapakan 1. Anjurkan pasien
dengan Lesi dan proses klien dapat: untuk
inflamasi. menggunakan
Definisi: (Tissue integrity: Skin and pakaian yang
Perubahan/Ganggu Mucous) longgar
an epidermis Kriteria Hasil: 2. Jaga kebersihan
dan/atau dermis 1. Integritas kulit kulit agar tetap
Batasan Karakteristik : lembab bersih dan
1. Keruskan 2. Tidak ada lesi lembab
lapisan kulit 3. Adanya 3. Monitor kulit
(dermis) pertumbuhan akan adanya
2. Gangguan rambut di kulit kemerahan
permukaan 4. Sensasi rangsangan 4. Memandikan
kulit(Epidermi terasa pasien dengan
s) 5. Ketebalan kulit sabun dan air
3. Invasi stuktur normal hangat
tubuh 6. Temperatur normal 5. Oleskan lotion
Faktor yang atau minyak
berhubungan : /baby oil pada
Internal: daerah yang
perubahan tertekan
pigmentasi, 6. Menahan diri
perubahan dari memberi
turgor, tekanan kepada
penurunan pihak tubuh
immunologi, yang terkena
gangguan
sirkulasi
Eksternal:
Kelembapan,Z
at
Kimia,Radiasi,
hipertermia,
hipotermia

Defisiensi pengetahuan Setelah dilakukan tindakan Teaching : Disease


Berhubungan dengan keperawatan diharapkan process
kurangnya informasi klien: 1. Berikan
terhadap penyakit. 1. Disease process penilaian
Definisi: a) Effect of disease tentang tingkat
Ketiadaan atau b) Sign and sympions pengetahuan
defisiensi informasi of disease pasien tentang
kognitif yang c) Specific disease proses penyakit
berkaitan dengan process 2. Jelaskan
topik tertentu patofisiologi
Batasan karakteristik : dari penyakit
1. Perilaku dan bagaimana
Hiperbola hal ini
2. Ketidakakurat berhubungan
an mengikuti dengan anatomi
perintah dan
52

3. Ketidakakurat fisiologi,dengan
an mengikuti cara tepat
tes 3. Gambarkan
4. Perilaku tidak tanda dan gejala
tepat yang biasa
(mis.,hysteria, muncul pada
bermusuhan,a penyakit,
gitasi,apatis) dengan cara
5. Pengungkapan tepat
masalah 4. Gambarkan
Faktor yang proses penyakit,
berhubungan: dengan cara
1. Keterbatasan yang tepat
kognitif 5. Identifikasi
2. Salah kemungkinan
interpretasi penyebab,
informasi dengan cara
3. Kurang yang tepat
pajanan 6. Sediakan
4. Kurang minat informasi pada
dalam belajar pasien tentang
5. Kurang dapat kondisi,dengan
mengingat cara yang tepat
6. Tidak fameliar
dengan sumber
informasi

5. Implementasi
Adalah pelaksanaan dari rencana/intervensi keperawatan untuk mencapai
tujuan yang spesifik. Tahap implementasi dimulai setelah intervensi
keperawatan disusun dan ditujukan pada perawat untuk membantu klien
dalam mencapai tujuan yang diharapkan (Nursalam, 2008)
6. Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses
keperawatan yang menandakan keberhasilan dari diagnosa keperawatan,
intervensi keperawatan dan implementasi keperawatan (Nursalam, 2008)
53

C. Konsep Masalah Ketidakpatuhan Minum Obat MDT


1. Definisi ketidakpatuhan
Adalah perilaku individu dan atau pemberi asuhan yang tidak sesuai
dengan rencana promosi kesehatan atau terapeutik yang di tetapkan oleh
individu (dan atau keluarga dan atau komunitas) serta professional
pelayanan kesehatan perilaku pemberi asuhan atau individu yang tidak
mematuhi ketetapan, rencana promosi kesehatan atau terapeutik secara
keseluruhan atau sebagian dapat menyebabkan hasil akhir yang tidak efektif
atau sebagian tidak efektif secara klinis.

2. Batasan karakteristik
a. Eksaserbasi gejala
b. Gagal mencapai hasil
c. Komplikasi terkait perkembangan
d. Mengingkari perjanjian
e. Perilaku tidak taat

3. Faktor yang berhubungan


System kesehatan
a. Hambatan hubungan klie / penyedia layanan kesehatan
b. Ketidakcukupan akses terhadap perawatan
c. Ketidakcukupan reimbursmen penyedia layanan kesehatan
d. Ketidakefektifan komunikasi penyedia layanan kesehatan
e. Ketidaknyamanan asuhan
f. Ketidaksinambungan layanan kesehatan
g. Kurang cakupan asuransi kesehatan
h. Kurang kepuasan terhadap asuhan
i. Kurang ketrampilan penyuluhan penyedia layanan kesehatan
j. Kurang tindak lanjut ke penyedia layanan kesehatan
k. Merasakan kredibilitas layanan kesehatan rendah
54

Rencana pelayanan kesehatan


a. Durasi pengobatan
b. Hambatan finansial
c. Intensitas pengobatan
d. Kompleksitas regimen pengobatan
e. Pengobatan berbiaya tinggi
Individual
a. Harapan tidak sesuai dengan fase perkembangan
b. Keyakinan kesehatan tidak sesuai dengan rencana
c. Kurang dukungan social
d. Kurang ketrampilan untuk melakukan pengobatan
e. Kurang motivasi
f. Kurang pengetahuan tentang pengobatan
g. Nilai spiritual tidak sesuai dengan rencana
h. Nilai – nilai tidak sesuai dengan rencana
i. Pengaruh kebudayaan

4. Faktor – Faktor Yang Mendukung Kepatuhan


Ada beberapa faktor yang mendukung sikap patuh menurut
(Notoatmodjo, 2010) diantaranya :
a. Pendidikan
Pendidikan adalah suatu kegiatan, usaha manusia meningkatkan
kepribadian atau proses perubahan perilaku menuju kedewasaan dan
penyempurnaan kehidupan manusia dengan jalan membina dan
mengembangkan potensi kepribadiannya, yang berupa rohani (cipta, rasa,
karsa) dan jasmani. Domain pendidikan dapat diukur dari
1) Pengetahuan terhadap pendidikan yang diberikan (knowledge).
2) Sikap atau tanggapan terhadap materi pendidikan yang diberikan
(attitude).
3) Praktek atau tindakan sehubungan dengan materi pendidikan yang
diberikan.
55

b. Akomodasi
Suatu usaha harus dilakukan untuk memahami ciri kepribadian pasien
yang dapat mempengaruhi kepatuhan. Pasien yang mandiri harus
dilibatkan secara aktif dalam program pengobatan.
c. Modifikasi faktor lingkungan dan sosial.
Membangun dukungan sosial dari keluarga dan teman – teman sangat
penting, kelompok pendukung dapat dibentuk untuk membantu
memahami kepatuhan terhadap program pengobatan.
d. Perubahan model terapi
Program pengobatan dapat dibuat sesederhana mungkin dan pasien
terlibat aktif dalam pembuatan program tersebut.
e. Meningkatkan interaksi profesional kesehatan dengan pasien.
Suatu hal yang penting untuk memberikan umpan balik pada pasien
setelah memperoleh informasi diagnosa.( Notoatmodjo, 2010).

5. Faktor yang mempengaruhi kepatuhan


Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan adalah segala
sesuatu yang dapat berpengaruh positif sehingga penderita tidak mampu lagi
mempertahankan kepatuhanya, sampai menjadi kurang patuh dan tidak patuh.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan diantaranya :
a. Pemahaman tentang instruksi
Tidak seorang pun mematuhi instruksi jika dirinya salah paham tentang
instruksi yang diberikan padanya. Kadang kadang hal ini disebabkan oleh
kegagalan profesional kesalahan dalam memberikan informasi lengkap,
penggunaan istilah-istilah medis dan memberikan banyak instruksi yang
harus diingat oleh penderita. Instruksi minum obat, reaksi yang akan
timbul dan kapan penderita harus datang kembali sudah diberikan oleh
tenaga kesehatan yang bertugas pada saat pertama kali pasien
memeriksakan diri.
Penderita kusta diharuskan datang ke Poli Kusta Donorojo untuk
mengambil obat selama satu bulan sekali. Saat pengambilan obat penderita
akan dilakukan observasi terkait reaksi obat dan perkembangan penyakit
56

yang dideritanya. Apabila penderita tidak datang tepat tanggal ataupun


melebihi tanggal sesuai tanggal registrasi penderita maka penderita dapat
dikatakan tidak patuh ataupun tidak memahami instruksi yang diberikan.
b. Tingkat pendidikan.
Tingkat pendidikan pasien dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang
bahwa pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif yang
diperoleh secara mandiri, lewat tahapan-tahapan tertentu. Gunarso (1990
dalam Suparyanto, 2010) mengemukakan bahwa semakin tua umur
seseorang maka proses perkembangan mentalnya bertambah baik, akan
tetapi pada umur – umur tertentu, bertambahnya proses perkembangan
mental ini tidak secepat ketika berusia belasan tahun, dengan demikian
dapat disimpulkan faktor umur akan mempengaruhi tingkat pengetahuan
seseorang yang akan mengalami puncaknya pada umur – umur tertentu
dan akan menurun kemampuan penerimaan atau mengingat sesuatu seiring
dengan usia semakin lanjut. Hal ini menunjang dengan adanya tingkat
pendidikan yang rendah. Lanjut usia sebagai kelompok usia yang telah
lanjut mengalami kemunduran daya ingat, sehingga terkadang tidak dapat
mencerna kepatuhan untuk diet rendah garam dengan sempurna, namun
hanya berkeinginan untuk menuruti keinginannya yaitu makan dengan
rasa yang diinginkannya.
c. Kesakitan dan pengobatan.
Perilaku kepatuhan lebih rendah untuk penyakit kronis (karena tidak ada
akibat buruk yang segera dirasakan atau resiko yang jelas), saran mengenai
gaya hidup dan kebiasaan lama, pengobatan yang kompleks, pengobatan
dengan efek samping, perilaku yang tidak pantas sering terabaikan.
Pengobatan kusta harus dilakukan secara rutin selama masa pengobatan
yaitu 6-12 bulan. Penderita kusta harus minum obat sesuai dengan tipe
kusta yang diderita setiap hari sampai dikatakan RFT (Release From
Treatemen).
57

d. Keyakinan, sikap dan kepribadian.


Kepribadian antara orang yang patuh dengan orang yang gagal berbeda.
Orang yang tidak patuh adalah orang yang mengalami depresi, ansietas,
sangat memperhatikan kesehatannya, memiliki kekuatan ego yang lebih
lemah dan memiliki kehidupan sosial yang lebih, memusatkan perhatian
kepada dirinya sendiri. Kekuatan ego yang lebih ditandai dengan
kurangnya penguasaan terhadap lingkunganya.
e. Dukungan Keluarga
Dukungan keluarga dapat menjadi faktor yang dapat berpengaruh dalam
menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta menentukan
program pengobatan yang akan mereka terima. Keluarga juga memberi
dukungan dan membuat keputusan mengenai perawatan anggota keluarga
yang sakit. Derajat dimana seseorang terisolasi dari pendampingan orang
lain, isolasi sosial, secara negatif berhubungan dengan kepatuhan.
Di dalam leaflet pengobatan deteksi dini kusta dari Unit Rehabilitasi Kusta
Rumah Sakit Kelet keluarga sangat berperan dalam kesembuhan pasien
kusta. Selama masa pengobatan r pasien diawasi oleh petugas minum obat
(PMO) yaitu keluarga pasien yang diberikan edukasi sebelumnya tentang
cara pengobatan penyakit kusta.
f. Tingkat ekonomi
Tingkat ekonomi merupakan kemampuan finansial untuk memenuhi
segala kebutuhan hidup, akan tetapi ada kalanya seseorang yang sudah
pensiun dan tidak bekerja namun biasanya ada sumber keuangan lain yang
bisa digunakan untuk membiayai semua program pengobatan dan
perawatan sehingga belum tentu tingkat ekonomi menengah ke bawah
akan mengalami ketidakpatuhan dan sebaliknya tingkat ekonomi baik
tidak terjadi ketidakpatuhan.
g. Dukungan sosial
Dukungan sosial dalam bentuk dukungan emosional dari anggota keluarga
teman, waktu, dan uang merupakan faktor penting dalam. Keluarga dan
teman dapat membantu mengurangi ansietas yang disebabkan oleh
penyakit tertentu, mereka dapat menghilangkan godaan pada
58

ketidakpatuhan dan mereka seringkali dapat menjadi kelompok


pendukung untuk mencapai kepatuhan. Dukungan sosial nampaknya
efektif di negara seperti Indonesia yang memiliki status sosial lebih kuat,
dibandingkan dengan negara-negara barat (Carpenito, 2009)

6. Teori Perilaku
Kepatuhan merupakan suatu perilaku dalam bentuk respon atau reaksi
terhadap stimulus atau rangsangan dari luar organisme. Dalam memberikan
respon sangat bergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain. Green
(1980, dalam Notoatmodjo, 2012) menjabarkan bahwa perilaku seseorang
dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu predisposisi, faktor pemungkin, dan faktor
penguat. Ketika faktor tersebut akan diuraikan sebagai berikut:
b. Faktor-faktor predisposisi (Predisposing factors)
Faktor predisposisi merupakan faktor anteseden terhadap perilaku yang
menjadi dasar atau motivasi perilaku. Faktor predisposisi dalam arti
umum juga dapat dimaksud sebagai prefelensi pribadi yang dibawa
seseorang atau kelompok kedalam suatu pengalaman belajar. Prefelensi
ini mungkin mendukung atau menghambat perilaku sehat. Faktor
predisposisi melingkupi sikap, keyakinan, nilai-nilai, dan persepsi yang
berhubungan dengan motivasi individu atau kelompok untuk melakukan
suatu tindakan. Selain itu status sosial-ekonomi, umur, dan jenis kelamin
juga merupakan faktor predisposisi. Demikian juga tingkat pendidikan
dan tingkat pengetahuan, termasuk kedalam faktor ini.
c. Faktor Pemungkin (enabling factors)
Faktor ini merupakan faktor antedesenden terhadap perilaku yang
memungkinkan aspirasi terlaksana. Termasuk didalamnya adalah
kemampuan dan sumber daya yang dibutuhkan untuk melakukan suatu
perilaku. Faktor-faktor pemungkin ini melingkupi pelayanan kesehatan
(termasuk didalamnya biaya, jarak, ketersediaan transportasi, waktu
pelayanan dan keterampilan petugas).
59

d. Faktor-faktor Penguat (Reinforcing factors)


Faktor penguat merupakan faktor yang datang sesudah perilaku dalam
memberikan ganjaran atau hukuman atas perilaku dan berperan dalam
menetapkan dan atau lenyapnya perilaku tersebut. Termasuk dalam faktor
ini adalah manfaat sosial dan manfaat fisik serta ganjaran nyata atau tidak
nyata yang pernah diterima oleh pihak lain. Sumber dari faktor penguat
dapat berasal dari tenaga kesehatan, kawan, keluarga, atau pimpinan.
Faktor penguat bisa positif dan negatif tergantung pada sikap dan perilaku
orang lain yang berkaitan. (Arikunto, 2010)

7. Penatalaksanaan Ketidakpatuhan minum obat


a. Pengawas Menelan Obat (PMO)
Pengawas Menelan Obat (PMO) adalah seseorang yang membantu
pemantauan pasien selama masa pengobatan hingga sembuh. Pasien
memerlukan pemantauan secara ketat dan rutin untuk melihat reaksi
terhadap obat yang diberikan dan untuk mengetahui efek samping
pengobatan. Untuk mendapatkan kepatuhan yang tinggi dalam
pengobatan diperlukan soerang PMO untuk memantau pengobatan dan
mengingatkan pemeriksaan yang harus dilakukan (Ditjen P2P, 2012).
Menurut (Rositawati, 2015) menyebutkan bahwa Pengawas
Menelan Obat (PMO) adalah seseorang yang ditunjuk dan dipercaya
untuk mengawasi dan memantau penderita dalam meminum obat secara
teraturdan tuntas. PMO bisa berasal dari keluarga, tetangga, kader, tokoh
masyarakat, atau petugas kesehatan. Adapun peran PMO adalah sebagai
berikut :
(1) Memastikan klien menelan obat sesuai aturan sejak awal hingga
sembuh.
(2) Mendampingi pasien pada saat kunjungan ke puskesmas dan
memberikan dukungan moral kepada pasien agar dapat menjalani
pengobatan secara tuntas dan teratur.
(3) Mengingatkan pasien datang ke puskesmas untuk mendapatkan
pengobatan.
60

(4) Menemukan dan mengenali gejala efek samping obat dan


menghubungi unit pelayanan kesehatan.
(5) Memberikan penyuluhan kepada klien atau orang yang tinggal
serumah tentang penyakit kusta (Ditjen P2P, 2012).
b. Self-Care Group / Program Kelompok Perawatan Diri / KPD
Program pengendalian penyakit kusta dapat berjalan dengan efektigf jika
dilakukan melaui pendekatan terintegrasi. Salah satunya adalah dengan
diadakannya Self-Care Group / Program Kelompok Perawatan Diri /
KPD Karena pendekatan tersebut dapat memberikan kesetaraan dan
jangkauan pelayanan yang lebih luas kepada orang yang saat ini sedang
mengidap kusta, atau yang pernah mengalami kusta yang sudah RFT
(Release From Treatment. Keuntungan KPD tidak hanya meningkatkan
jangkauan pengobatan, tetapi juga mengurangi deskriminasi yang
dihadapi pengidap kusta (Ditjen P2P, 2012)
c. Konseling
Menurut (Martodihardjo, 2007) Konseling kusta merupakan diskusi
antar klien atau penderita kusta dengan paramedia yang bertindak
sebagai konselor, yang bertujuan mencegah penularan penyakit dan
memberikan dukungan baik secara langsung maupun tidak langsung
terhadap penderita kusta. Bedanya dengan penyuluhan, bahwa pada
penyuluhan melibatkan masyarakat atau kelompok orang dengan tujuan
untuk menghilangkan leprofobi atau stigma negative tentang kusta.
Sedangkan konseling kusta merupakan proses penyuluhan yang hanya
melibatkan penderita kusta yang tujuannya salah satu tujuannya
duiharapkan mampu memperbaiki perilaku dan diharapkan mandiri
dalam pengobatan kustanya, mereka yang memerlukan konseling
terutama pada :
(1) Semua penderita baru kusta
(2) Penderita kusta yang belum atau tidak mau berobat
(3) Penderita yang berobat tidak teratur
(4) Penderita dengan komplikasi (Martodihardjo, 2007).
61

Tujuan konseling kusta secara umum :


(1) Menyediakan dukungan psikologis
(2) Mencegah penularan penyakit kusta
(3) Memperbaiki kualitas hidup penderita kusta
(4) Dan memastikan pengobatan MDT sedini mungkin
(Martodihardjo, 2007).
d. Promosi Pengendalian penyakit Kusta
Adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat melalui
pembelajaran dari, dan oleh bersama masyarakat agar mereka dapat
menolong dirinya sendiri dalam upaya pengendalian penyakit kusta serta
mengembangkan kegiatan yang bersumber daya masyarakat sesuai social
budaya setempat dan di dukung oleh kegiatan relevan untuk
pengendalian penyakit kusta. Dalam hal ini bisa digunakan leaflet saat
penyuluhan, dan juga poster yang bisa ditempelkan di dinding rumah
yang tujuannya tidak hanya pasien saja yang mampu merubah perilaku
ketidakpatuhan, tetapi juga untuk keluarga diharapkan juga ikut
berkontribusi untuk memberikan dukungan, dan mengingatkan pasien
kusta untuk selalu patuh terhadap obat sesuai aturannya (Ditjen P2P,
2012)

8. Kuesioner Kepatuhan MMAS-8 (Morisky Medication Adherence Scale)


Pengukuran tingkat kepatuhan pada responden dilakukan
menggunakan MMAS-8 (Morisky Medication Adherence Scale). MMAS
adalah alat penilaian dari WHO yang sudah tervalidasi dan kerap digunakan
untuk menilai tingkat kepatuhan pasien terhadap pengobatannya. MMAS-8
adalah hasil revisi dari MMAS-4, dimana MMAS-8 memiliki sensitifitas dan
spesifitas yang lebih tinggi yaitu 93% sensitifitas dan 53% spesifitas.
Sensitifitas 93% mengindikasikan bahwa skala tersebut cukup baik
digunakan untuk mengidentifikasi pasien dengan tingkat kepatuhan rendah,
sedangkan spesifitas 53% menunjukkan bahwa skala tersebut memiliki
kemampuan yang cukup dalam mengidentifikasi pasien yang tidak memiliki
62

masalah kepatuhan terhadap pengobatan (Williams, Vorgers, Kataoka, 2008


; Adisa, Fakeye 2010).
Kuisioner MMAS-8 ini dipilih karena murah dan mudah digunakan
dalam pelayanan kesehatan. MMAS-8 terdiri dari 8 pertanyaan dengan
jawaban ya dan tidak. Skor penilaian MMAS-8 dibagi menjadi 3 kategori,
yaitu kepatuhan rendah dengan nilai lebih dari 2, kepatuhan sedang dengan
nilai 1-2 , dan kepatuhan tinggi dengan nilai 0. Akan tetapi, kelemahan
penilaian melalui kuisioner ini adalah jawaban yang diberikan oleh pasien
bersifat subjektif dan belum tentu sesuai dengan kondisi sebenarnya, seperti
pasien berbohong sehingga dapat memberikan hasil yang lebih tinggi dari
sebenarnya (Williams, Vorgers, Kataoka, 2008 ; Adisa, Fakeye 2010)

9. Lembar Observasi Harian


Observasi dalam hal ini, peneliti melakukan pengamatan dengan melihat
kartu berobat responden dan melakukan crosscheck dengan memberikan
lembar observasi harian untuk melihat jumlah obat yang tersisa. Hasil
obsevasi dikatakan patuh jika pasien meminum obat sesuai dosis dan sisa
obat sesuai hitungannya (Ulfah, 2011).
63

Lampiran 1

KONSELING KEPATUHAN OBAT

Jenis konseling : Konseling kepatuhan obat


Tujuan : Agar penderita memahami jenis, cara dan proses
pengobatanagar tidak terjadi kegagalan pengobatan
karena timbul resistensi. Disamping itu, untuk
mengurangi beban psikologis yang membuat klien
merasa sakit, cacat dan tidak berdaya guna.
Isi : a. Manfaat obat dan efek sampingnya
a. Resiko ketidakpatuhan.
b. Ketetapaan jadwal.
c. Jenis obat dan tempat mencari yang terjangkau.
d. Pengidentifikasian factor pendukung dan
penghambat kepatuha minum obat
(Martodihardjo, 2007).
64

Lampiran 2

SATUAN ACARA PENYULUHAN


(SAP)

Pertemuan ke : 1 (satu)
Waktu pertemuan : 30 menit
Pokok bahasan : Kusta
Sasaran : Klien dan Keluarga penderita kusta
Tempat :
Penyuluh : Risa Sri Rahayu

A. Latar Belakang

Penyakit kusta atau lepra (leprosy) merupakan penyakit yang


menyebabkan kerusakan pada kulit, saraf-saraf, anggota gerak, dan mata
penderitanya. Pada tahap tertentu, kusta bisa menyebabkan kemunduran
mental, koma, bahkan kematian.
Kusta disebabkan oleh Mycrobacterium leprae dan Mycrobacterium
lepromatosis. Paparan kedua bakteri ini akan menimbulkan gejala awal kusta,
misalnya ada bercak putih seperti panu di kulit, adanya bintil kemerahan,
benjolan pada wajah, serta pada kasus tertentu bisa menyebabkan rambut
rontok.
Gejala yang cenderung ringan ini sering kali diabaikan oleh pasien
sehingga penyakit telanjur menyebar dan semakin sulit disembuhkan. Gejala
kemudian akan berlanjut menyerang saraf. Anggota tubuh akan merasa
kesemutan atau kaku. Bahkan tak jarang penderita kusta bisa mengalami
kelumpuhan.
Kusta, atau yang juga dikenal dengan penyakit Hansen--penemu
Mycrobacterium leprae bernama Gerhard Armauer Hansen, umumnya
65

menyerang negara-negara berkembang. Indonesia menduduki peringkat ketiga


sebagai penderita kusta terbanyak, di bawah India dan Brasil.
Jumlah penderita kusta di Indonesia masih cukup tinggi dan terus
mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya. Tahun 2012, jumlah
penderita kusta terdaftar sebanyak 23.169 kasus dan jumlah kecacatan tingkat
dua di antara penderita baru sebanyak 2.025 orang atau 10,11 persen. Jika
dibandingkan tahun 2011, terjadi peningkatan dengan jumlah penderita kusta
mencapai 20.023 kasus.
Hingga saat ini, kusta masih menjadi momok yang mendera dunia.
Meski obat kusta sudah ditemukan sejak tahun 1940-an dan berkembang pada
tahun 1980-an, masa penyembuhan yang cukup lama sering kali membuat
pasien justru kebal terhadap obatnya.
Belum diketahuinya penularan kusta juga turut menjadi masalah besar.
Namun rata-rata penderita kusta diketahui terkena penyakit ini lantaran
melakukan kontak jangka panjang dengan penderita kusta lainnya.

B. Tujuan
1. Tujuan Instruksional Umum
Setelah mengikuti kegiatan penyuluhan selama 25 menit,
diharapkan keluarga dapat menginformasikan dan mengetahui tentang
pencegahan kusta sehingga dapat menjaga kesehatan dan lingkungan
sekitar.
2. Tujuan Instruksional Khusus
Setelah dilakukan pembelajaran selama 25 menit, diharapkan
keluarga mampu untuk :
a. Menjelaskan pengertian kusta
b. Menjelaskan penyebab kusta
c. Menyebutkan tanda dan gejala kusta
d. Menyebutkan jenis-jenis kusta
e. Menjelaskan penularan kusta
f. Menjelaskan penatalaksanaan kusta
C. Metode
66

1. Ceramah
2. Tanya jawab
3. Diskusi dengan klien

D. Media
1. Leaflet

E. Kegiatan Penyuluhan
Kegiatan Media dan Alat
Tahap Pengajar Kegiatan Penyuluhan

Pembukaan 1. Memberi salam Menjawab salam Leaflet, lembar


(5 menit) 2. Perkenalan balik
3. Menjelaskan cakupan Mendengarkan
materi pada pertemuan
kali ini Mendengarkan
4. Menjelaskan TIU dan
TIK pembelajaran Menjawab
5. Menanyakan sepengetahuan
pengetahuan tentang tentang kusta
kusta

Penyajian 1. Menjelaskan pengertian Memperhatikan Leaflet, lembar


(15 menit) kusta. penjelasan yang balik
2. Menjelaskan penyebab disampaikan oleh
penyaji
kusta.
3. Menjelaskan cara
penularan kusta.
4. Menyebutkan tanda-
tanda kusta.
5. Menjelaskan bahaya
kusta.
6. Menjelaskan
Bertanya
penatalaksanaan kusta
7. Memberikan
kesempatan untuk
bertanya
Penutup 1. Melakukan evaluasi Memperhatikan Leaflet, lembar
(5 menit) dengan memberikan balik
pertanyaan pada
audience tentang kusta.
Memperhatikan
2. Menyimpulkan materi Mendengarkan
67

3. Menyampaikan RTL Menjawab salam


4. Salam penutup

F. Evaluasi Lisan
1. Jelaskan pengertian kusta?
2. Apakah penyebab kusta?
3. Sebutkan tanda dan gejala kusta?
4. Bagaimana cara penularan kusta?
5. Bagaimana cara pengobatan kusta?

G. Jawaban
1. Kusta adalah penyakit menular, menahun yang disebabkan oleh kuman
kusta (Mycobacterium leprae) yang menyerang kulit, saraf tepi dan
jaringan tubuh lainnya
2. Kusta disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae
3. Tanda dan gejala kusta adalah terdapat kelainan kulit berupa bercak putih
seperti panu ataupun bercak kemerahan yang kurang rasa/hilang rasa, tidak
gatal, tidak sakit, tidak tumbuh bulu, dan tidak keluar keringat.
4. Kusta menular dari penderita kusta tipe basah yang tidak diobati ke orang
lain melalui pernafasan dan kontak kulit yang lama dan terus menerus
5. a. Kusta kering (PB) diobati dengan MDT (multidrug therapy) selama 6-9
bulan, obat diminum setiap hari.

b. Kusta basah (MB) diobati dengan MDT (multidrug therapy selama 12-
18 bulan, obat diminum setiap hari.

c. Setiap pasien dengan hasil kerokan jaringan kulit positif (BTA positif),
tanpa melihat klasifikasi klinis harus diberi pengobatan kusta MB
68

H. Materi
(1) Pengertian
Kusta adalah penyakit menular, menahun yang disebabkan oleh
kuman kusta (Mycobacterium leprae) yang menyerang kulit, saraf tepi dan
jaringan tubuh lainnya.
Kusta bukan penyakit keturunan, dan bukan pula disebabkan oleh
kutukan, guna-guna, dosa ataupun makanan. Ini anggapan yang salah di
masyarakat sehingga penderita menjadi terlambat berobat dan
menyebabkan cacat.
Kusta adalah penyakit yang menular melalui pernafasan dan kontak
kulit yang lama dan terus menerus dengan penderita kusta MB yang tidak
diobati. Masa inkubasi kuman kusta adalah 2-5 tahun.
(2) Klasifikasi
Kusta kering (pausi basiler)
(a) Ada 1-5 bercak
(b) Kerokan jaringan kulit negatif (tidak terdeteksi Mycobacterium
leprae)
Kusta basah (multi basiler)
(a) Lebih dari 5 bercak
(b) Kerokan jaringan kulit positif (BTA positif)
(3) Manifestasi Klinis
Pada awalnya penderita kusta tidak merasa terganggu, hanya
terdapat kelainan kulit berupa bercak putih seperti panu ataupun bercak
kemerahan yang kurang rasa/hilang rasa, tidak gatal, tidak sakit, tidak
tumbuh bulu, dan tidak keluar keringat.
Pada keadaan lanjut dan tidak mendapatkan pengobatan yang tepat
penyakit kusta dapat menyebabkan kecacatan.
(4) Cara Penularan
Cara penularan penyakit kusta dapat melalui saluran nafas dan kulit.
Penyakit kusta tidak hanya dirtularkan oleh manusia tetapi juga binatang
seperti armandillo, monyet dan mangabey. Mycobacterium leprae hidup
pada suhu rendah. Bagian tubuh manusia yang memiliki suhu rendah yaitu
69

mata, saluran nafas bagian atas, otot, tulang, testis, saraf perifer dan kulit.
Kemudian akan menimbulkan tanda dan gejala pada apenderitanya.
(5) Penatalaksanaan
(a) Kusta kering (PB) diobati dengan MDT (multidrug therapy) selama 6-
9 bulan, obat diminum setiap hari.
(b) Kusta basah (MB) diobati dengan MDT (multidrug therapy selama
12-18 bulan, obat diminum setiap hari.
(c) Setiap pasien dengan hasil kerokan jaringan kulit positif (BTA
positif), tanpa melihat klasifikasi klinis harus diberi pengobatan kusta
MB

I. Daftar Pustaka
Kandun, I Nyoman. 2006. Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit
kusta. Jakarta : Depkes RI
McDougal, A. Colin. 2005. Atlas Kusta. Tokyo : Sasakawa Memorial Health
Foundation
70

Lampiran 3

Kuesioner Kepatuhan MMAS-8 (Morisky Medication Adherence Scale)


NO PERTANYAAN JAWABAN SKOR
PASIEN (YA=1
YA TIDAK TIDAK
=0)
1. Pernahkah Anda lupa minum obat ?
2. Selain lupa, mungkin Anda tidak minum
obat karena alasan lain. Dalam 2 minggu
terakhir, apakah Anda pernah tidak
minum obat? Mengapa?
3. Pernahkah Anda mengurangi atau
berhenti minum obat tanpa
sepengetahuan dokter karena Anda
merasa obat yang diberikan membuat
keadaan Anda menjadi lebih buruk?
4. Pernahkah Anda lupa membawa obat
ketika bepergian ?
5. Apakah Anda masih meminum obat
Anda kemarin?
6. Apakah Anda berhenti minum obat
ketika Anda merasa gejala yang dialami
telah teratasi?
7. Meminum obat setiap hari merupakan
sesuatu ketidaknyamanan untuk
beberapa orang. Apakah Anda merasa
terganggu harus minum obat setiap hari?
8. Berapa sering Anda lupa minum obat? A= 0
a. Tidak Pernah B-E=
b. Sesekali 1
c. Kadang - kadang
d. Biasanya
e. Selalu
Ket :
Selalu : 7 kali dalam seminggu
Biasanya : 4-6 kali dalam
seminggu
Kadang- kadang : 2-3 kali dalam
seminggu
Sesekali : 1 kali dalam seminggu
Tidak Pernah : Tidak pernah lupa
TOTAL SCORE
Skor >2 = Kepatuhan Rendah
Skor 1 atau 2 = Kepatuhan Sedang
Skor 0 = Kepatuhan Tinggi
71

Lampiran 4

LEMBAR OBSERVASI KEPATUHAN OBAT HARIAN

Nama Responden : :
Umur :
Jenis kelamin :
Nama obat :
Waktu minum obat :

Hari /
tanggal
Nama Pagi Sisa Pagi Sisa Pagi Sisa Pagi Sisa Pagi Sisa Pagi Sisa Pagi Sisa
obat obat obat obat obat obat obat obat

You might also like