Professional Documents
Culture Documents
TINJAUAN PUSTAKA
8
9
2. Klasifikasi kusta
Diagnosis penyakit kusta di dasarkan pada gambaran klinis.,
bakterioskopis, hispatologis, dan serologis. Di antara ke tiganya, diagnosis
secara klinis lah yang terpenting dan sederhana. Hasil bakterioskopis
memerlukan waktu paling sedikit 15-30 menit, sedangkan hispatologik 10-14
hari. Kalau memungkinkan dapat dilakukan tes lepromin (Mitsuda). Untuk
membantu penentuan tipe, yang hasilnya baru dapat diketahui setelah 3
minggu. Penentuan tipe kriteria perlu dilakukan agar dapat menetapkanterapi
yang sesuai. Bila kuman M.Leprae masuk ke dalam tubuh seseorang, dapat
timbul gejala klinis sesuai dengan kerentanan orang tersebut. Bentuk tipe
klinis bergantung pada system imunitas selular (SIS) penderita. Bila SIS baik
akan tampak gambaran klinis kearah tuberkuloid, sebaliknya SIS rendah
meberikan gambaran lepromatosa. (Menaldi, Bramono, & Indriatmi, 2015)
Berikut klasifikasi kusta menurut beberapa ahli :
10
NO JENIS CIRI
Indeterminate (I) Terdapat kelainan kulit berupa macula
berbentuk bulat yang berjumlah 1 atau 2, batas
lokasi di pantat, kaki, lengan, pipi. Permukaan
halus dan licin.
Tuberkuloid (T) Terdapat macula atau bercak tipis bulat yang
tidak teratur dengan jumlah lesi 1 atau
beberapa. Batas lokasi terdapat dipantat,
punggung, lengan, kaki, pipi. Permukaan kasar
sering dengan penyembuhan ditengah
Borderline (B) Kelainan kulit bercak agak menebal yang tidak
teratur dan tersebar. Batas lokasi sama dengan
tuberkuloid.
Sumber : (Soedarto, 2010)
b. Klasifikasi kusta menurut Ridley-Jopling
Klasifikasi ini banyak dipakai dalam bidang penelitian yang
mengelompokkan penyakit kusta menjadi 5 kelompok yakni :
Tabel 2 : klasifikasi kusta menurut Ridley-Jopling
N JENIS CIRI – CIRI
O
Tipe Lesi berupa bercak makuloanestik dan hipopigmentasi
Tuberkuloid yang terdapat di semua tempat terutama pada wajah dan
Tuberkuloid lengan , kecuali ketiak, kulit kepala, perineum dan
(TT) selangkangan. Batas lesi jelas berbeda dengan warna kulit
sekitarnya.
Tipe Gejala pada kusta tipe BT sama dengan tipe TT. Tetapi lesi
Borderline lebih kecil tidak disertai adanya kerontokan rambut atau
Tuberkuloid perubahan saraf. Hanya terjadi pembengkakan.
(BT)
Tipe Mid Pada pemeriksaan bakteriologis ditemukan beberapa hasil
Borderline dan tes lepromin memberikan hasil negatif. Lesi kulit
(BB) berbentuk tidak teratur, terdapat satelit yang mengelilingi
lesi dan distribusi lesi asimetris. Bagian tepi dari lesi tidak
dapat dibedakan dengan jelas terhadap daerah sekitarnya.
Gejala ini biasanya disertai adanya adenopati regional.
Tipe Lesi pada tipe ini berupa macula dan nodul papula yang
Borderline cenderung asimetris. Kelainan syaraf timbul pada stadium
Lepromatous lanjut. Tidak terdapat gambaran seperti yang terjadi pada
(BL) tipe lepromatous yaitu tidak disertai madarosis, keratitis,
aslserasi maupun facies leonine.
Tipe Lesi menyebar simetris, mengkilap, berwarna keabu-
Lepromatosa abuan. Tidak ada perubahan pada produksi kelenjar
(LL) keringat, hanya sedikit perubahan sensasi. Pada fase lanjut
terjadi madarosis (rontok) dan wajah benjol – benjol.
Sumber : (Soedarto, 2010)
11
3. Etiologi
Kuman penyebab adalah Mycobacterium Leprae yang ditemukan oleh
G.A Hansen pada tahun 1874 di Norwegia, yang sampai sekarang belum juga
dapat dibiakan dalam media artifisial. M. Leprae berbentuk kuman dengan
ukuran 3-8 um, tahan asam dan alcohol serta positif-gram.
Penyebab penyakit kusta adalah bakteri M.Leprae yang berbentuk
batang dengan ukuran panjang 1-8 micron, lebar 0,2-0,5 micron, biasanya
berkelompok, da nada yang tersebar satu-satu. Hidup dalam sel, dan bersifat
tahan asam (BTA). Dimana bakteri M.Leprae ini banyak terdapat pada kulit
tangan, daun telinga, dan mukosa hidung.
Penyakit kusta bersifat menahun, karena bakteri kusta memerlukan
waktu 12-21 hari untuk membelah diri dan masa tunasnya rata – rata 2-5
tahun. Penyakit kusta dapat ditularkan kepada orang lain melalui saluran
pernapasan dan kontak kulit (Widoyono, 2011)
Penyakit kusta disebabkan oleh bakteri yang bernama Mycobacterium
Leprae. Dimana bakteri ini adalah kuman aerob, tidak membentuk spora,
berbentuk batang, dikelilingi oleh membrane sel lilin yang merupakan ciri
dari spesies mycobacterium, berukuran panjang 1 – 8 micr, lebar 0,2 – 0,5
micro biasanya berkelompok, da nada yang tersebar satu – satu, hidup dalam
sel dan bersifat tahan asam (BTA) atau gram positif, tidak mudah diwarnai,
13
namun jika diwarnai akan tahan terhadap dekolorisasi oleh asam atau alcohol
sehingga oleh karena itu dinamakan sebagai basil “tahan asam”.
Mycobacterium Leprae belum dapat di kultur di laboratorium. Kuman ini
menular kepada manusia melalui kontak langsung dengan penderita
(keduanya harus ada lesi baik mikroskopis maupun makroskopis, dan adanya
kontak yang lama dan berulang – ulang) dan melalui pernapasan, bakteri
kusta ini mengalami proses perkembangbiakan dalam waktu 2-3 minggu,
pertahanan bakteri ini dalam tubuh manusia mampu bertahan 9 hari diluar
tubuh manusia kemudian kuman membelah dalam jangka 14-21 hari dengan
masa inkubasi rata-rata dua hingga lima tahun bahkan juga dapat memakan
waktu lebih dari 5 tahun. Setelah 5 tahun, tanda-tanda seorang penderita
penyakit kusta mulai muncul, antara lain kulit mengalami bercak putih,
merah, rasa kesemutan bagian anggota tubuh hingga tidak berfungsi
sebagaimana mestinya. Penatalaksanaan kasus yang buruk dapat
menyebabkan kusta menjadi progresi, menyebabkan kerusakan permanen
pada kulit saraf, anggota gerak, dan mata (Kemenkes, 2015)
4. Patofisiologi
Kusta dikenal dengan penyakit paling ditakuti karena deformitas atau
cacat tubuh. Kelainan kulit yang tanpa komplikasi pada penyakit kusta dapat
hanya berbentuk macula saja, infiltrate saja, atau keduanya. Haruslah berhati
– hati dan buatlah diagnosis banding dengan banyak penyakit kulit lainnya
yang hamper menyerupainya. Sebab penyakit kusta ini mendapat julukan the
greatest immitator pada ilmu penyakit kulit.
Secara inspeksi, penyakit ini mirip penyakit lain, ada tidaknya
anastesi local sangat banyak membantu penentuan diagnosis, meskipun tidak
selalu jelas. Teknik untuk menilai adanya anastesi local adalah dengan cara
menggoreskan ujung jarum suntik ke sisi tengah lesi kea rah kulit normal.
Apabila pasien tidak mengalami sensasi nyeri pada area goresan, maka tes
anastesi local dinyatakan positif. Cara menggoresnya mulai dari tengah lesi
ke arah kulit normal.
Respon pada saraf perifer akan terjadi pembesaran dan nyeri pada n.
ulnaris, n. aurikularis magnus, n. popliteal lateralis, n. tibialis posterior, n.
medianus, n. radialis, n. fasialis.
Respon kerusakan saraf ulnaris memberikan manifestasi anastesia
pada ujung jari bagian anterior kelingking dan jari manis, clawing kelingking
dan jari manis, atrofi, hipotenar, dan otot interoseus dorsalis pertama.
Respon kerusakan saraf medianus memberikan manifestasi anastesia
pada ujung jari bagian anterior, ibu jari, tulunjuk, dan jari tengah, tidak
mampu aduksi ibu jari, clawing ibu jari, jari telunjuk, jari tengah, dan ibu jari
kontraktur.
Respon kerusakan saraf radialis memberikan manifestasi anesthesia
dorsum menus tangan gantung (wrist drop), tidak mampu ekstensi jari – jari
atau pergelangan tangan (Muttaqin & Sari, 2011)
15
5. Manifestasi Klinis
Untuk kepentingan pengobatan, pada tahun 1987 telah terjadi perubahan
klasifikasi. Yang dimaksud dengan kusta PB adalah BTA negatif pada
pemeriksaan kerokan jaringan kulit, yaitu tipe I, TT Dan BT menurut
klasifikasi Ridley-Joping
Tabel 5 : Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik kusta multibasilar
(MB)
SIFAT LEPROMATOSA ( BORDERLINE MID
LL) LEPROMATOSA BORDERLINE (
( BL) BB)
Lesi
a. Bentuk Makula Makula Plakat
Infiltrasi difus Plakat Dome – shaped
Papul Papul Punched – out
Nodus
b. Jumlah Tidak terhitung, Sukar dihitung, Dapat dihitung,
tidak ada masih kulit
Kulit sehat Ada kulit sehat Sehat jelas ada
Asimetris
c. Distribusi Simetris Hampir simetris Agak kasar, agak
berkilat
d. Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Agak jelas
Lebih jelas
e. Batas Tidak jelas Agak jelas
Tidak ada sampai Tak jelas
f. Anestesia tidak jelas
BTA
a. Lesi kulit Banyak ( ada globus Banyak Agak banyak
)
b. Sekret Banyak ( ada Biasanya negatif Negatif
hidung globus)
Tes lepromin Negatif Negatif Biasanya Negatif
Sumber : (Menaldi, Bramono, & Indriatmi, 2015)
16
f. Anestesia
BTA
a. Lesi kulit Hampir selalu Negatif atau Biasanya
negatif hanya 1+ negatif
b. Tes lepromin Positif kuat ( 3+) Positif lemah Dapat positif
lemah atau
negatif
Sumber : (Mandal, Wilkins, & Mayon-White, 2008)
Bila pada tipe – tipe tersebut disertai BTA positif, maka akan
dimasukkan ke dalam kusta MB, sedangkan kusta MB adalah semua
penderita kusta tipe BB, BL, dan LL atau apa pun klasifikasi klinisnya
dengan BTA positif, harus diobati dengan rejimen MDT – MB.
Karena pemeriksaan kerokan jaringan kulit tidak selalu tersedia di
lapangan, ada tahun 1995 WHO lebih menyederhanakan klasifikasi klinis
kusta berdasarkan hitung lesi kulit dan syaraf yang terkena. Hal ini
tercantum pada tabel berikut:
17
6. Komplikasi
a. Ulkus neuropatik, deformitas wajah dan ekstremitas.
b. Amyloidosis sekunder pada pasien lepromatosa.
c. Ginekomastia, pembentukan jaringan parut di testis.
d. Reaksi reversal (reaksi lepra tipe I)
Disebabkan oleh peningkatan respon imunitas selular pada penyakit
borderline yang disebabkan masuknya sel – sel inflamasi ke dalam lesi yang
sudah ada. ;esi kulit menjadi membengkak dan merah; gejala neuritikdan
paralitik meningkat. Dapat terjadi anesthesia kornea.
e. Eritmia nodosum leprosum (reaksi lepra tipe II)
Disebabkan oleh vaskulitis, kemungkinan dicetuskan oleh infiltrasi
neutrofilik yang diperantai oleh TNE. Terjadi pada keadaan lepromatosa
20
7. Cara Penularan
Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta multi tipe Multi
Basilar (MB) kepada orang lain dengan cara penularan langsung. Cara
penularan yang pasti belum diketahui tetapi sebagian besar para ahli
berpendapat bahwa pada penyakit kusta dapat ditularkan melalui saluran
pernafasan dan kulit. Timbulnya penyakit kusta pada seseorang
membutuhkan waktu yang relative lama, tergantung dari beberapa faktor
antara lain :
a. Faktor penyebab
Kuman kusta dapat bertahan hidup di luar tubuh manusia sekitar 1-9 hari
tergantung pada suhu atau cuaca hanya kuman yang masih utuh atau solid
yang dapat menimbulkan penularan, selain itu kuman kusta juga
mempunyai waktu pembelahan yang lam yaitu 2-3 minggu.
b. Faktor sumber penularan
Penderita kusta tipe MB dianggap sebagai satu-satunya sumber
penularan penyakit kusta meskipun kuman kusta dapat hidup di hewan
armadillo, simpanse dan telapak kaki tikus putih.Penderita tipe MB ini
apabila sudah minum obat sesuai dengan regimen WHO secara teratur
tidak menjadi sumber penularan lagi.
c. Faktor daya tahan tubuh
Sebagian besar manusia kebal terhadap penyakit kusta (95%). Seseorang
dalam lingkungan tertentu termasuk dalam salah satu dari tiga kelompok
berikut, yaitu :
21
8. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan bakterioskopik ( kerokan jaringan kulit)
Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu diagnosis dan
pengamatan pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan mukosa hidung yang
diwarnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam ( BTA), antara lain
dengan ZIEHL- NEELSEN. Bakterioskopik negatif pada seseorang
penderita, bukan berarti orang tersebut tidak mengandung kuman M. Leprae.
Pertama – tama harus ditentukan lesi dikulit yang diharapkan paling padat
oleh kuman, setelah terlebih dahulu menentukan jumlah tempat yang akan
diambil. Mengenai jumlah lesi juga ditentukan oleh tujuannya, yaitu untuk
riset atau rutin. Untuk riset dapat diperiksa 10 tempat dan untuk rutin
sebaiknya minimal 4 – 6 tempat, yaitu kedua cuping telinga bagian bawah
dari 2 – 4 lesi lain yang paling aktif, berarti yang paling eritematosa dan paling
infiltratif. Pemilihan kedua cuping telinga tersebut tanpa menghiraukan ada
22
tidaknya lesi di tempat tersebut, oleh karena atas dasar pengalaman tempat
tersebut diharapkan mengandung kuman paling banyak. Perlu dilihat bahwa
setiap tempat pengambilan di tempat yang sama pada pengamatan
pengobatan untuk dibandingkan hasilnya.
Cara pengambilan bahan dengan menggunakan skapel steril. Setelah lesi
tersebut didesinfeksi kemudian dijepit antara ibu jari dan jari telunjuk agar
menjadi iskemik, sehingga kerokan jaringan mengandung sedikit mungkin
darah yang akan mengganggu gambaran sediaan. Irisan yang dibuat harus
sampai di dermis., melampaui subepidermal clear zone agar mencapai
jaringan yang diharapkan banyak mengandung sel Virchow ( sel lepra) yang
di dalamnya mngandung kuman M. Leprea. Kerokan jaringan itu dioleskan
di gelas alas, difiksasi di atas api, kemudian diwarnai dengan pewarnaan yang
klasik, yaitu Ziehl Neelsen. Untuk pewarnaan ini dapat digunakan modifikasi
Ziehl Neelsen dan cara - cara lain dengan segala kelebihan dan
kekurangannya disesuaikan dengan keadaaan setempat.
Sediaan mukosa hidung diperoleh dengan cara nose blows, terbaik
dilakukan pagi hari yang ditampung pada sehelai plastik. Perhatikan sifat dan
tubuh ( discharge) tersebut, apakah cair, serosa, bening, mukoid,
mukopurulen, purulen, ada darah atau tidak. Sediaan dapat dibuat langsung
atau plastik tersebut dilipat dan kirim ke laboratorium. Dengan kapas lidi
bahan dioleskan mereta pada gelas alas. Fiksasi harus pada hari yang sama,
pewarnaan tidak perlu pada hari yang sama.
Cara lain mengambil bahan kerokan mukosa hidung dengan alat
semacam skapel kecil tumpul atau bahan olesan dengan kapas lidi. Sebaiknya
diambil dari daerah septum nasi, selanjutnya dikerjakan seperti biasa. Sediaan
dari mukosa hidung jarang dilakukan karena :
1) Kemungkinan adanya M. Atipik.
2) M. Leprae tidak pernah positif kalau pada kulit negatif.
3) Bila diobati, hasil pemeriksaan mukosa hidung negatif lebih dulu
bila dibandingkan dengan kerokan jaringan kulit.
4) Rasa nyeri saat pemeriksaan.
23
IB penderita : 18 : 6 = 3+
IM penderita : 33 : ( 33 + 395) = ..... %
b. Pemeriksaan histopatologik
Makrofak dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah
ada yang mempunyai nama khusus, antara lain sel kupffer dari hati, sel
alveolar dari paru, sel glia dari otak, dan yang dari kulit disebut histiosit.
Salah satu tugas makrofag adalah melakukan fagositosis. Kalau ada kuman
( m. Leprae), masuk, akibatnya akan bergantung pada Sistem Imunitas
Seluler ( SIS) orang itu. Apabila SIS – nya tinggi, makrofag akan mampu
memfagosit M. Leprae. Datangnya histiosis ke tempat kuman disebabkan
25
c. Pemeriksaan Serologik
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi
pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. Leprae. Antibodi yang
terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap m. Leprae, yaitu antibodi anti
phenolic glycolipid – 1 ( PGL – 1) dan antibodi antiprotein 16 Kd serta 35
Kd. Sedangkan antibodi lain antibodi anti – lipoarabinomanan ( LAM)
yang juga dihasilkan oleh kuman M. Tuberculosis.
Kegunaan pemeriksaan serologik ini adalah membantu diagnosis
kusta yang meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas.
Disamping itu dapat membantu menentukan kusta subklinis, karena tidak
didapati lesi kulit, misalnya pada nerakontak serumah.
Macam – macam pemeriksaan serologik kusta adalah :
a. Uji MLPA ( Mycobacterium Leprae Particle Aglutination )
b. Uji ELISA ( Enzyme Linked Immunosorbent Assay )
c. ML dipstick test ( Mycobacterium leprae dipstick )
d. ML flow test (Mycobacterium leprae flow test )
(Menaldi, Bramono, & Indriatmi, 2015)
9. Penatalaksanaan
a. Mengenal MDT (Multy Drug Therapy)
Kemoterapi Kusta dimulai pada tahun 1949 dengan DDS sebagai obat
tunggal (monoterapi DDS). DDS harus diminum selama 3-5 tahun untuk
PB, sedangkan untuk MB 5-10 tahun, bahkan seumur hidup. Kekurangan
monoterapi DDS adalah terjadinya resistensi, timbulnya kuman persisters
serta terjadinya pasien defaulter. Pada tahun 1964 ditemukan resistensi
terhadap DDS. Oleh sebab itu pada tahun 1982 WHO merekomendasikan
pengobatan kusta dengan Multy Drug Therapy (MDT) untuk kusta tipe PB
Maupun MB.
b. Tujuan Pengobatan MDT
1) Memutuskan mata rantai penularan
2) Mencegah resistensi obat.
3) Memperpendek masa pengobatan.
27
promosi kesehatan) dan resiko (area yang perawat dapat mencegah atau
potensi masalah yang dapat ditunda). Perawat ahli dapat dengan cepat
mengidentifikasi kelompok karakteristik klinis dari data pengkajian dan
diagnosa keperawatan. Perawat pemula mengambil proses yang lebih
berurutan dalam menentukan diagnosis keperawatan yang tepat (NANDA,
2015).
a. Data Umum
Identitas Pasien
1. Usia : Kaji secara lengkap tentang umur, penyakit kusta dapat
menyerang semua usia. Mulai dari anak-anak, dewasa, dan lansia
(Rahariyani, 2008).
2. Jenis kelamin : Lebih banyak pada laki-laki daripada perempuan
rasio pria dan wanita 2,3:1,0 (Rahariyani, 2008).
3. Jenis pekerjaan
b. Pengkajian 13 Domain NANDA
1) Health Promotion
a) Kesehatan Umum
Alasan masuk rumah sakit/keluhan utama : Pasien
sering dating ke tempat pelayanan kesehatan dengan keluhan
adanya bercak putih yang tidak terasa atau dating dengan
keluhan kontraktur pada jari – jari (Rahariyani, 2008).
b) Vital sign, meliputi :
(a) Tekanan darah
(b) Nadi
(c) Suhu
(d) Respirasi
c) GCS (Glasgow Coma Scale), meliputi :
(a) E (Eye)
(b) V (Verbal)
(c) M (Motorik)
(d) Pupil : Isokor/Anisokor
(e) Reflek cahaya : +(-)/+(-)
38
f) Sexuality
Pada klien kusta kemungkinan akan mengalami gangguan
pada system reproduksi karena setelah menyerang saraf tepi
kusta dapat menyerang system reproduksi pada laki – laki
yaitu testis (Abata, 2013).
g) Coping/Stress Tolerance
Kusta terkenal sebagai penyakit yang menakutkan dan
menjijikan. Ini disebabkan adanya deformitas atau kecacatan
yang ditimbulkan. Oleh karena itu, perlu dikaji bagaimana
konsep diri klien dan respons masyarakat di sekitar klien
(Rahariyani, 2008)
h) Life Principles
Pada klien kusta perlu dikaji tentang keyakinan klien terhadap
Tuhan untuk menilai koping pasien terhadap kondisinya saat
ini ( (Muttaqin & Sari, 2011)
i) Safety/Protection
(1) Alergi : Adakah alergi terhadap obat atau makanan.
(2) Penyakit autoimun
(3) Tanda infeksi
(4) Gangguan thermoregulasi : adakah peningkatan atau
penurunan suhu tubuh pada pasien.
(5) Gangguan/resiko (komplikasi immobilisasi, jatuh,
aspirasi, disfungsi neurovaskuler peripheral, kondisi
hipertensi, perdarahan, hipoglikemia, sindrome disuse,
gaya hidup yang tetap).
j) Comfort
Pada klien kusta yang terjadi kerusakan pada saraf perifer yang
menyebabkan kecacatan yang manifestasi klinis awalnya
jarang menimbulkan rasa nyeri (Muttaqin & Sari, 2011)
k) Growth/Development
Kusta dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan karena
terjadinya deformitas atau kecacatan (Kemenkes, 2015)
44
2. Diagnosis Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan respon
manusia (status kesehatan atau resiko perubahan pola) dari individu atau
kelompok dimana perawat secara akunbilitas dapat mengidentifikasi dan
memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga status kesehatan,
menurunkan, membatasi, mencegah dan mengubah (Nursalam, 2008).
Diagnosa yang dapat muncul pada pasien kusta adalah sebagai berikut:
a. Ketidakpatuhan berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang
pengobatan
b. Hambatan mobilitas fisik Berhubungan dengan Penurunan syaraf
motorik (Kekuatan Otot)
c. Nyeri (akut/kronis) Berhubungan dengan proses inflamasi jaringan.
d. Kerusakan integritas kulit Berhubungan dengan lesi dan proses
inflamasi.
e. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan ketidakmampuan dan
kehilangan fungsi tubuh.
f. Defisiensi Pengetahuan Berhubungan dengan Kurang informasi
terhadap penyakit.
g. Resiko infeksi Berhubungan dengan Kerusakan pada kulit,
Pertahanan tubuh menurun (NANDA International, 2015 ;
Rahariyani, 2008)
3. Intervensi keperawatan
Adalah tindakan yang dirancang untuk membantu klien dalam beralih dari
tingkat kesehatan saat ini ketingkat yang diinginkan dalah hasil yang
diharapkan
45
2. Hambatan
finansial
3. Intensitas
pengobatan
4. Kompleksitas
regimen
pengobatan
5. Pengobatan
berbiaya tinggi
Individual
1. Harapan tidak
sesuai dengan
fase
perkembangan
2. Keyakinan
kesehatan tidak
sesuai dengan
rencana
3. Kurang
dukungan social
4. Kurang
ketrampilan
untuk
melakukan
pengobatan
5. Kurang
motivasi
6. Kurang
pengetahuan
tentang
pengobatan
7. Nilai spiritual
tidak sesuai
dengan rencana
8. Nilai – nilai
tidak sesuai
dengan rencana
9. Pengaruh
kebudayaan
tentang
aktivitas
sesuai usia
8. Fisik tidak
bugar
9. Penurunan
ketahanan
tubuh
10. Penurunan
kendali otot
11. Penurunan
massa otot
12. Malnutrisi
13. Gangguan
muskuloskelet
al
14. Gangguan
neuromuskula
r, Nyeri
15. Agens obat
16. Penurunan
kekuatan otot
17. Kurang
pengetahuan
tentang
aktivitas fisik
18. Keadaan mood
depresif
19. Keterlambatan
perkembangan
20. Ketidaknyama
nan
21. Disuse, kaku
sendi
22. Kurang
dukungan
lingkungan
(mis.fisik atau
sosial)
23. Keterbatasank
etahanan
kardiovaskular
24. Kerusakan
integritas
struktur tulang
25. Program
pembatasan
gerak
26. Keengganan
memulai
pergerakan
27. Gaya hidup
monoton
51
3. Ketidakakurat fisiologi,dengan
an mengikuti cara tepat
tes 3. Gambarkan
4. Perilaku tidak tanda dan gejala
tepat yang biasa
(mis.,hysteria, muncul pada
bermusuhan,a penyakit,
gitasi,apatis) dengan cara
5. Pengungkapan tepat
masalah 4. Gambarkan
Faktor yang proses penyakit,
berhubungan: dengan cara
1. Keterbatasan yang tepat
kognitif 5. Identifikasi
2. Salah kemungkinan
interpretasi penyebab,
informasi dengan cara
3. Kurang yang tepat
pajanan 6. Sediakan
4. Kurang minat informasi pada
dalam belajar pasien tentang
5. Kurang dapat kondisi,dengan
mengingat cara yang tepat
6. Tidak fameliar
dengan sumber
informasi
5. Implementasi
Adalah pelaksanaan dari rencana/intervensi keperawatan untuk mencapai
tujuan yang spesifik. Tahap implementasi dimulai setelah intervensi
keperawatan disusun dan ditujukan pada perawat untuk membantu klien
dalam mencapai tujuan yang diharapkan (Nursalam, 2008)
6. Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses
keperawatan yang menandakan keberhasilan dari diagnosa keperawatan,
intervensi keperawatan dan implementasi keperawatan (Nursalam, 2008)
53
2. Batasan karakteristik
a. Eksaserbasi gejala
b. Gagal mencapai hasil
c. Komplikasi terkait perkembangan
d. Mengingkari perjanjian
e. Perilaku tidak taat
b. Akomodasi
Suatu usaha harus dilakukan untuk memahami ciri kepribadian pasien
yang dapat mempengaruhi kepatuhan. Pasien yang mandiri harus
dilibatkan secara aktif dalam program pengobatan.
c. Modifikasi faktor lingkungan dan sosial.
Membangun dukungan sosial dari keluarga dan teman – teman sangat
penting, kelompok pendukung dapat dibentuk untuk membantu
memahami kepatuhan terhadap program pengobatan.
d. Perubahan model terapi
Program pengobatan dapat dibuat sesederhana mungkin dan pasien
terlibat aktif dalam pembuatan program tersebut.
e. Meningkatkan interaksi profesional kesehatan dengan pasien.
Suatu hal yang penting untuk memberikan umpan balik pada pasien
setelah memperoleh informasi diagnosa.( Notoatmodjo, 2010).
6. Teori Perilaku
Kepatuhan merupakan suatu perilaku dalam bentuk respon atau reaksi
terhadap stimulus atau rangsangan dari luar organisme. Dalam memberikan
respon sangat bergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain. Green
(1980, dalam Notoatmodjo, 2012) menjabarkan bahwa perilaku seseorang
dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu predisposisi, faktor pemungkin, dan faktor
penguat. Ketika faktor tersebut akan diuraikan sebagai berikut:
b. Faktor-faktor predisposisi (Predisposing factors)
Faktor predisposisi merupakan faktor anteseden terhadap perilaku yang
menjadi dasar atau motivasi perilaku. Faktor predisposisi dalam arti
umum juga dapat dimaksud sebagai prefelensi pribadi yang dibawa
seseorang atau kelompok kedalam suatu pengalaman belajar. Prefelensi
ini mungkin mendukung atau menghambat perilaku sehat. Faktor
predisposisi melingkupi sikap, keyakinan, nilai-nilai, dan persepsi yang
berhubungan dengan motivasi individu atau kelompok untuk melakukan
suatu tindakan. Selain itu status sosial-ekonomi, umur, dan jenis kelamin
juga merupakan faktor predisposisi. Demikian juga tingkat pendidikan
dan tingkat pengetahuan, termasuk kedalam faktor ini.
c. Faktor Pemungkin (enabling factors)
Faktor ini merupakan faktor antedesenden terhadap perilaku yang
memungkinkan aspirasi terlaksana. Termasuk didalamnya adalah
kemampuan dan sumber daya yang dibutuhkan untuk melakukan suatu
perilaku. Faktor-faktor pemungkin ini melingkupi pelayanan kesehatan
(termasuk didalamnya biaya, jarak, ketersediaan transportasi, waktu
pelayanan dan keterampilan petugas).
59
Lampiran 1
Lampiran 2
Pertemuan ke : 1 (satu)
Waktu pertemuan : 30 menit
Pokok bahasan : Kusta
Sasaran : Klien dan Keluarga penderita kusta
Tempat :
Penyuluh : Risa Sri Rahayu
A. Latar Belakang
B. Tujuan
1. Tujuan Instruksional Umum
Setelah mengikuti kegiatan penyuluhan selama 25 menit,
diharapkan keluarga dapat menginformasikan dan mengetahui tentang
pencegahan kusta sehingga dapat menjaga kesehatan dan lingkungan
sekitar.
2. Tujuan Instruksional Khusus
Setelah dilakukan pembelajaran selama 25 menit, diharapkan
keluarga mampu untuk :
a. Menjelaskan pengertian kusta
b. Menjelaskan penyebab kusta
c. Menyebutkan tanda dan gejala kusta
d. Menyebutkan jenis-jenis kusta
e. Menjelaskan penularan kusta
f. Menjelaskan penatalaksanaan kusta
C. Metode
66
1. Ceramah
2. Tanya jawab
3. Diskusi dengan klien
D. Media
1. Leaflet
E. Kegiatan Penyuluhan
Kegiatan Media dan Alat
Tahap Pengajar Kegiatan Penyuluhan
F. Evaluasi Lisan
1. Jelaskan pengertian kusta?
2. Apakah penyebab kusta?
3. Sebutkan tanda dan gejala kusta?
4. Bagaimana cara penularan kusta?
5. Bagaimana cara pengobatan kusta?
G. Jawaban
1. Kusta adalah penyakit menular, menahun yang disebabkan oleh kuman
kusta (Mycobacterium leprae) yang menyerang kulit, saraf tepi dan
jaringan tubuh lainnya
2. Kusta disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae
3. Tanda dan gejala kusta adalah terdapat kelainan kulit berupa bercak putih
seperti panu ataupun bercak kemerahan yang kurang rasa/hilang rasa, tidak
gatal, tidak sakit, tidak tumbuh bulu, dan tidak keluar keringat.
4. Kusta menular dari penderita kusta tipe basah yang tidak diobati ke orang
lain melalui pernafasan dan kontak kulit yang lama dan terus menerus
5. a. Kusta kering (PB) diobati dengan MDT (multidrug therapy) selama 6-9
bulan, obat diminum setiap hari.
b. Kusta basah (MB) diobati dengan MDT (multidrug therapy selama 12-
18 bulan, obat diminum setiap hari.
c. Setiap pasien dengan hasil kerokan jaringan kulit positif (BTA positif),
tanpa melihat klasifikasi klinis harus diberi pengobatan kusta MB
68
H. Materi
(1) Pengertian
Kusta adalah penyakit menular, menahun yang disebabkan oleh
kuman kusta (Mycobacterium leprae) yang menyerang kulit, saraf tepi dan
jaringan tubuh lainnya.
Kusta bukan penyakit keturunan, dan bukan pula disebabkan oleh
kutukan, guna-guna, dosa ataupun makanan. Ini anggapan yang salah di
masyarakat sehingga penderita menjadi terlambat berobat dan
menyebabkan cacat.
Kusta adalah penyakit yang menular melalui pernafasan dan kontak
kulit yang lama dan terus menerus dengan penderita kusta MB yang tidak
diobati. Masa inkubasi kuman kusta adalah 2-5 tahun.
(2) Klasifikasi
Kusta kering (pausi basiler)
(a) Ada 1-5 bercak
(b) Kerokan jaringan kulit negatif (tidak terdeteksi Mycobacterium
leprae)
Kusta basah (multi basiler)
(a) Lebih dari 5 bercak
(b) Kerokan jaringan kulit positif (BTA positif)
(3) Manifestasi Klinis
Pada awalnya penderita kusta tidak merasa terganggu, hanya
terdapat kelainan kulit berupa bercak putih seperti panu ataupun bercak
kemerahan yang kurang rasa/hilang rasa, tidak gatal, tidak sakit, tidak
tumbuh bulu, dan tidak keluar keringat.
Pada keadaan lanjut dan tidak mendapatkan pengobatan yang tepat
penyakit kusta dapat menyebabkan kecacatan.
(4) Cara Penularan
Cara penularan penyakit kusta dapat melalui saluran nafas dan kulit.
Penyakit kusta tidak hanya dirtularkan oleh manusia tetapi juga binatang
seperti armandillo, monyet dan mangabey. Mycobacterium leprae hidup
pada suhu rendah. Bagian tubuh manusia yang memiliki suhu rendah yaitu
69
mata, saluran nafas bagian atas, otot, tulang, testis, saraf perifer dan kulit.
Kemudian akan menimbulkan tanda dan gejala pada apenderitanya.
(5) Penatalaksanaan
(a) Kusta kering (PB) diobati dengan MDT (multidrug therapy) selama 6-
9 bulan, obat diminum setiap hari.
(b) Kusta basah (MB) diobati dengan MDT (multidrug therapy selama
12-18 bulan, obat diminum setiap hari.
(c) Setiap pasien dengan hasil kerokan jaringan kulit positif (BTA
positif), tanpa melihat klasifikasi klinis harus diberi pengobatan kusta
MB
I. Daftar Pustaka
Kandun, I Nyoman. 2006. Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit
kusta. Jakarta : Depkes RI
McDougal, A. Colin. 2005. Atlas Kusta. Tokyo : Sasakawa Memorial Health
Foundation
70
Lampiran 3
Lampiran 4
Nama Responden : :
Umur :
Jenis kelamin :
Nama obat :
Waktu minum obat :
Hari /
tanggal
Nama Pagi Sisa Pagi Sisa Pagi Sisa Pagi Sisa Pagi Sisa Pagi Sisa Pagi Sisa
obat obat obat obat obat obat obat obat